- Home
- Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran: Rekonstruksi Kurikulum Dan Pembelajaran Di Indonesia.
June 2, 2017 | Author: Asmuni Asmuni | Category: Educational Research, Learning and Teaching
Share Embed
Laporkan tautan ini
Deskripsi Singkat
Volume 1 No 1 Tahun 2015
ISSN: 2443-1923
PROSIDING SEMINAR NASIONAL HASIL PENELITIAN PENDIDIKAN DAN PEMBELAJARAN
PROSIDING
www.stkipjb.ac.id
SEMINAR NASIONAL HASIL PENELITIAN PENDIDIKAN DAN PEMBELAJARAN “Rekonstruksi Kurikulum dan Pembelajaran di Indonesia”
Jombang, 25-26 ARRIL 2015
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
STKIP PGRI JOMBANG JL. PATTIMURA III/20 JOMBANG Telp.(0321) 861319-854318 FAX. (0321)854319
PROSIDING ISSN: 2443-1923
SEMINAR NASIONAL HASIL PENELITIAN PENDIDIKAN DAN PEMBELAJARAN “REKONSTRUKSI KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN DI INDONESIA”
STKIP PGRI JOMBANG 25 - 26 APRIL 2015
VOLUME 1 Nomor 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
HAK CIPTA
PROSIDING SEMINAR NASIONAL HASIL PENELITIAN PENDIDIKAN DAN PEMBELAJARAN “REKONSTRUKSI KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN DI INDONESIA”
STKIP PGRI JOMBANG 25 - 26 APRIL 2015
Editor Drs. Asmuni, M.Si. Dr. Wiwin Sri Hidayati, .M.Si Dr. Agus Prianto, M.Pd. Wahyu Indra Bayu, M.Pd. Khoirul Hasyim, M.Pd Banu Wicaksono, S.S., M.Pd. Risfandi Setyawan, M.Pd.
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Pendidikan Matematika Pendidikan Ekonomi Pendidikan Jasmani dan Kesehatan Pendidikan Bahasa Inggris Pendidikan Bahasa Inggris Pendidikan Jasmani dan Kesehatan
Mitra Ahli Prof. Dr. Ali Maksum, M.Psi Prof. Dr. Joko Nurkamto, M.Pd Prof. Dr. Nyoman S. Degeng, M.Pd
Universitas Negeri Surabaya Universitas Sebelas Maret Surakarta Universitas Negeri Malang
Diterbitkan Oleh: STKIP PGRI JOMBANG
Hak Cipta © 2015 STKIP PGRI JOMBANG
ISI DI LUAR TANGGUNG JAWAB EDITOR/PENERBIT
ii
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
PERSONALIA SEMINAR NASIONAL HASIL PENELITIAN PENDIDIKAN DAN PEMBELAJARAN “REKONSTRUKSI KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN DI INDONESIA” STKIP PGRI JOMBANG 25 - 26 APRIL 2015
Steering Committee Dr. Winardi, M,Hum. Drs. Asmuni, M.Si. Dra. Siti Maisaroh, M.Pd. Dr. Agus Prianto, M.Pd. Dr. Nanik Sri Setyani, M.Si. Drs. Kustomo, M.Pd. Dr. Wiwin Sri Hidayati, M.Pd. Drs. Adib Darmawan, M.A. Dr. Susi Darihastining, M.Pd. Drs. M. Setyowahyu, S.H., M.M.
Ketua STKIP PGRI Jombang Pembatu Ketua I STKIP PGRI Jombang Pembantu Ketua II STKIP PGRI Jombang Pembatu Ketua III STKIP PGRI Jombang Kaprodi Pendidikan Ekonomi Kaprodi PPKn Kaprodi Pendidikan Matematika Kaprodi Pendidikan Bahasa Inggris Kaprodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Kaprodi Pendidikan Jasmani dan Kesehatan
Organizing Committee Dr. Munawaroh, M.Kes. Tatik Irawati, S.Pd., M.Pd. Rifa Nurmilah, S.Pd., M.Pd. M. Farhan Rafi, M.Pd. Cahyo Tri Atmojo, S.Pd., M.M. Mu’minin, S.Pd., M.A. Ahmad Sauqi A., M.A. Afi Ni’amah, S.Pd., M.Pd. Drs. Pahriyono, M.Si
Ketua Sekretaris Bendahara Sie Kesekretariatan Sie Makalah dan Prosiding Sie Persidangan Sie Perlengkapan Sie Konsumsi Sie Akomodasi
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
iii
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
KATA PENGANTAR Puji syukur kita panjatkan kehadhirat Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang atas limpahan Rahmat-Nya, bahwa Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran dengan tema “Rekonstruksi Kurikulum dan Pembelajaran di Indonesia” dapat terlaksana, dan hasilnya dapat diterbitkan dalam bentuk prosiding. Seminar ini diselenggarakan dalam rangka Dies Natalis STKIP PGRI Jombang ke-38, dan akan diselenggarakan rutin setiap tahun. Karenanya prosiding ini merupakan volume pertama, dan akan terbit secara rutin setahun sekali. Dengan demikian seminar ini merupakan babak baru kegiatan akademik rutin STKIP PGRI Jombang pada tahun-tahun yang akan datang. Tahun 2015 merupakan tonggak membangun budaya meneliti bagi para dosen, khususnya di STKIP PGRI Jombang. Karena hasil penelitian para dosen dapat diseminarkan secara nasional dan diterbitkan dalam prosiding yang diselenggarakan di kampus sendiri. Hal ini merupakan tuntutan profesi dosen, sekaligus sebagai kewajiban pengelola dan penyelenggara perguruan tinggi sebagaimana telah diamanatkan oleh undang-undang pendidikan tinggi (UU 12/2012). Tahun 2015 ini pantas disebut sebagai “tahun perubahan” bagi perguruan tinggi, terutama dalam rangka memenuhi tuntutan UU-DIKTI, KKNI, dan SN-DIKTI. Kurikulum dan pembelajaran dikti wajib direkonstruksi dan disesuaikan dengan tuntutan KKNI dan SN-DIKTI, di samping memenuhi tuntutan pengguna lulusan, tuntutan global, dan perkembangan ipteks. Karena itulah tema seminar ini sengaja diluncurkan sebagai wahana interaksi akademis dan pertukaran gagasan dalam rangka menyongsong perubahan kurikulum KPT-DIKTI yang berbasis KKNI dan SN-DIKTI, beserta pembelajarannya. Sementara prosiding ini diterbitkan sebagai wahana pertukaran informasi dari hasil penelitian pendidikan dan pembelajaran dalam semangat saling asah, asih dan asuh dengan sesama pembelajar dalam menyikapi tantangan masa depan. Karena setiap pembelajar memikul tanggungjawab profesional untuk menyiapkan generasi masa depan yang kritis, kreatif dan inovatif, mandiri, bertanggung jawab serta memiliki karakter yang tangguh dan berdaya saing tinggi. Hal ini hanya dapat dicapai melalui pengembangan keilmuan secara berkelanjutan dan implementasi pembelajaran yang tepat dan berhasil guna. Ucapan terima kasih disampaikan kepada semua pihak yang telah mendukung terlaksananya seminar dan prosiding ini, baik secara langsung maupun tidak langsung. Khususnya kepada Prof. Dr. Ali Maksum (Guru Besar UNESA Surabaya & Sekretaris Pelaksana KOPERTIS VII Jawa Timur), Prof. Dr. Djoko Nurkamto (Guru Besar UNS Surakarta), dan Prof. Dr. Nyoman S. Degeng (Guru Besar UM Malang) yang telah berkenan menjadi narasumber. Akhirnya, dengan mengharap Rahmat dan Ridha-Nya semoga hasil-hasil penelitian yang dirumuskan dalam prosiding ini dapat memberi inspirasi dan manfaat bagi perkembangan pendidikan dan pembelajaran di Indonesia dalam rangka menyiapkan anak bangsa yang cerdas, berkarakter dan berdaya saing dalam menghadapi arus globalisasi. Salam, Ketua Panitia / Editor Asmuni
iv
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
DAFTAR ISI Halaman Sampul Halaman Hak Cipta Personalia Kata Pengantar Daftar Isi
i ii iii iv v
Keynote Speakers Kurikulum dan Pembelajaran di Perguruan Tinggi: Menuju Pendidikan yang Memberdayakan
3 – 14
Prof. Dr. Ali Maksum, M.Si.
Pengembangan Kurikulum Pendidikan Tinggi Berbasis KKNI dan SN-Dikti
15 – 32
Pokok-Pokok Pikiran Revolusi Mental Menggubah Pembelajaran: Pada Pendididkan Dasar, Menengah Dan Tinggi
33 – 50
Prof. Dr. Joko Nurkamto, M.Pd.
Prof. Dr. I Nyoman Sudana Degeng. M.Pd.
Integrasi Soft Skills dalam Pembelajaran
Dr. Wiwin Sri Hidayati, M.Pd & Drs. Asmuni, M. Si.
51 – 56
Presentasi Sub Tema: Kurikulum dan Pembelajaran Pendidikan Tinggi Problem Based Learning untuk menumbuhkan Critical Thinking dan Hasil Belajar Mahasiswa
59 – 66
Khoirul Hasyim
Podcast untuk Meningkatkan Kemampuan Menyimak Mahasiswa STKIP PGRI Jombang
67 – 74
Strategies of Successful and Less Successful Students of English Education Department STKIP PGRI Jombang in Completing Tenses Tasks
75 – 85
Pembelajaran Berbasis Proyek Melalui Program Magang Sebagai Upaya Peningkatan Soft Skills Mahasiswa Untuk Mata Kuliah Akuntansi
86 – 96
Yunita Puspitasari, Adib Darmawan, & Ida Setyawati
Erma Rahayu Lestari & Banu Wicaksono
Yulia Effrisanti
Pengaruh Penggunaan Media Jejaring Sosial Edmodo terhadap Partisipasi Mahasiswa dalam Diskusi Kelas pada Materi Ajar Teoretis dan Praktis
97 – 106
Asmuni & Wiwin Sri Hidayati
Implementasi Penggunaan Edmodo dalam Mata Kuliah Belajar Pembelajaran
107 – 114
Ima Chusnul Chotimah & Rosi Anjarwati
Improving The Ability In Structure I of Students STKIP PGRI Jombang Through The Process-Product Writing Approach
115 – 124
Chalimah & Afi Ni’amah
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
v
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Proses Konstruksi Mahasiswa Calon Guru dalam Membuat Strategi Penyelesaian Masalah Pembagian Bilangan Pecahan
125 – 140
Peningkatan Kompetensi Mengajar Mahasiswa Peer Teaching Program Studi Pendidikan Jasmani dan Kesehatan STKIP PGRI Jombang Melalui Lesson Study
141 – 150
Esty Saraswati Nur Hartiningrum, Lia Budi Tristanti, & Edy Setio Utomo
Basuki & Novita Nur S.
Student’s Verified Strategies of Paraphrasing (A Case Study of the Sixth Semester of English Students through Verbal Report)
151 – 164
Banu Wicaksono & Erma Rahayu Lestari
Tuturan Fatis Guru Besar dalam Perkuliahan Kelas Linguistik
165 – 174
Meningkatkan Kemampuan Berbicara Bahasa Inggris dengan Sulih Suara
175 – 185
The Implementation of Task-Based Writing for Teaching Expository Text
186 – 194
Pahriyono
Muhammad Farhan Rafi & Tatik Irawati Lestari Setyowati & Sony Sukmawan
EFL Students Mispronouncing English Vowels
195 – 206
Analisis Kesalahan Mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika STKIP PGRI Pasuruan dalam Menyelesaikan Soal Persamaan Diferensial Linier Homogen dan Tak Homogen
207 – 216
Analisis Keterampilan Mengajar Calon Guru Pendidikan Jasmani, Olahraga Dan Kesehatan (Studi pada Mahasiswa S1 Program Studi Pendidikan Jasmani dan Kesehatan STKIP PGRI Jombang yang Menempuh Program PPL)
217 – 224
Analisis Permasalahan Pemanfaatan Media Karikatur dalam Pembelajaran Ekonomi (Analisis pada Mahasiswa Praktikan Micro Teaching STKIP PGRI Jombang)
225 – 231
Ninik Suryatiningsih & Addini Zuhriyah
Rif’atul Khusniah
Wahyu Indra Bayu & Risfandi Setyawan
Nanik Sri Setyani
Perbandingan Bentuk Pemberian Hadiah Berupa Nilai Dengan Hukuman Berupa Tugas Terhadap Hasil Belajar Mata Kuliah Gulat Pada Mahasiswa Angkatan 2011D dan 2011E Program Studi Penjaskes STKIP PGRI Jombang
232 – 236
Perspektif Sikap Berperilaku Moral Ekonomi Mahasiswa Fakultas Ekonomi Program Kependidikan UM
237 – 248
Rahayu Prasetiyo, Yudi Dwi Saputra, & Joan Rhobi Andrianto
Muhammad Basri
Re-Konstruksi Perilaku Melalui Pembelajaran Karakter Ulul Albab Dalam Rangka Mewujudkan SDM Perbankan Syariah Berdaya Saing Global
249 – 258
Siswanto, Yayuk Sri Rahayu, & Nihayatu Aslamatis Sholekah
vi
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Manajemen Sarana Prasarana dalam Meningkatkan Proses Pembelajaran di STKIP PGRI Pasuruan
259 – 269
Pengaruh Gaya Kepemimpinan Demokratis Terhadap Kinerja Pengurus Koperasi Karpindo PPLP PT PGRI Jombang
270 – 283
Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Penduduk, Pendidikan dan Pengangguran Terhadap Kemiskinan Di Kota Surabaya
284 – 295
Analisis Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Inflasi di Indonesia: Pendekatan Error Correction Model (ECM)
296 – 309
Hukum Perlindungan Konsumen Dalam Pembangunan Ekonomi
310 – 317
Suchaina
Munawaroh
Norida Canda Sakti
Lina Susilowati
Heppy Hyma Puspytasari dan Roy Wahyuningsih
Struktur Tingkat Perbandingan Frasa Ajektiva dalam Majalah Jaya Baya
318 – 324
Heny Sulistyowati
Analisis Pengembangan Potensi Ekonomi Lokal Untuk Menguatkan Daya Saing Daerah Di Kabupaten Jombang
325 – 335
Masruchan
Evaluasi Manajemen Penyelenggaraan Jatim Sprint 60 Meter
336 – 344
Hubungan Motivasi Berprestasi dan Disiplin Diri dengan Prestasi Renang 50 Meter Gaya Bebas
345 – 354
Agus Tomi
Ahmad Yani
Presentasi
Sub Tema: Kurikulum dan Pembelajaran Pendidikan Menengah Pengembangan Kurikulum dalam Implementasi Pendidikan Karakter Di SMK
357 – 366
Diah Puji Nali Brata
Penerapan SEM (Sport Education Model) dalam Konteks Kurikulum 2013
367 – 378
Rama Kurniawan & Adang Suherman
Efektifitas Model Pembelajaran Inkuiri Berbasis Karakter Untuk Meningkatkan Moralitas Ekonomi Siswa Kelas X SMAN 3 Jombang
379 – 387
Ayu Dwidyah Rini
The Effect of Task Planning on Students’ EFL Writing Cohesion
388 – 399
Rofiqoh
Survey Keterampilan Mengajar Guru Pendidikan Jasmani dan Olahraga
400 – 410
Internalisasi Nilai-Nilai Kearifan Lokal Dalam Pembelajaran Ekonomi SMA
411 – 419
Hendra Mashuri & Rizki Apriliyanto Leny Noviani
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
vii
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Pengaruh Penerapan Metode Tutor Sebaya, Pemberian Tugas, dan Motivasi Belajar terhadap Prestasi Belajar Siswa pada Kompetensi Keahlian Adminstrasi Perkantoran di SMK Negeri I Magetan dan SMK PSM 2 Kawedanan Magetan
420 – 433
Efektivitas Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) dalam Meningkatkan Motivasi dan Prestasi Belajar Siswa Kelas XII APK-1 Semester 1 SMK Negeri 1 Magetan Materi Mengolah Data/Informasi Tahun 2013/2014
434 – 448
Pengaruh Metode Pembelajaran Simulasi, Drill, dan Motivasi Belajar terhadap Hasil Belajar Siswa pada Kompetensi Keahlian Akuntasi di SMK Negeri 1 Magetan dan SMK PSM 2 Kawedanan Magetan Tahun Pelajaran 2013-2014
449 – 463
Tutik Aminah
Arum Yuliani
Rina Sumaiyanti
Penerapan Metode Role Playing Terhadap Hasil Belajar Keterampilan Dasar Smash Normal (Open Smash) Dalam Permainan Bolavoli Pada Peserta Didik Kelas X AK 1 SMK PGRI 1 Jombang
464 - 470
Pengaruh Media Presentasi Program Adobe Flash, Powerpoint dan Motivasi Terhadap Hasil Belajar Kompetensi Mengelola Kas Bank pada Siswa Kelas XI Akuntansi di SMK 1 Magetan dan SMK PSM 2 Kawedanan Tahun Pelajaran 2013/2014
471 – 483
Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Motivasi Belajar Siswa Terhadap Prestasi Belajar Pada Mata Pelajaran Ekonomi (Studi Pada Siswa Kelas X SMK Matsna Karim Desa Bulurejo Kecamatan Diwek Kabupaten Jombang)
484 – 493
Pengaruh Bahan Ajar Berbasis Media Audio Visual Terhadap Hasil Belajar Siswa Kelas X Pada Mata Pelajaran Ekonomi SMA Negeri 2 Bondowoso
494 – 502
Peran MGMP Dalam Meningkatkan Profesionalisme Guru Ekonomi Tingkat SMA Di Kabupaten Jombang
503 – 513
Olivia Dwi Cahyani
Sri Winarningsih
Dwi Wahyuni
Dedy Wijaya Kusuma
Diah Dinaloni
Pengaruh Pembelajaran Variasi dan Kombinasi Aktivitas Bermain Bolavoli Terhadap Kemampuan Melakukan Passing Atas, Bawah dan Servis Atas Bolavoli Pada Siswa Kelas X Madrasah Aliyah Negeri 5 Jombang
514 – 525
Kinerja Guru Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan SMAN, dan SMKN Se-Kabupaten Mojokerto Berdasarkan Latar Belakang Pendidikan Tahun 2014
526 – 537
Mohammad Zaim Zen & Achmed Zoki
Puguh Setya Hasmara, Arsika Yunarta, & Dian Wahyudin
viii
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pendidikan Sistem Ganda (PSG) Di SMKN 2 Selong Tahun Pelajaran 2013/2014
538 – 548
Analisis Metakognisi Siswa Dalam Menyelesaikan Soal-Soal Bangun Datar Berdasarkan Kemampuan Matematika
549 – 560
Pengaruh Dukungan Organisasi dan Potensi Kreatif Terhadap Praktek Kerja Kreatif (Studi Terhadap Para Guru Di Kabupaten Jombang)
561 – 576
Muhamad Ali
Mochammad Edy Santoso & Oemi Noer Qomariyah
Agus Prianto
Kepemimpinan Kepala Sekolah pada Sekolah Negeri di Pondok Pesantren (Studi Multikasus pada Tiga Sekolah Negeri di Pondok Pesantren Darul Ulum Rejoso Peterongan Kabupaten Jombang)
577 – 584
Penempatan Program Keahlian Di Sekolah Menegah Kejuruan Dalam Membentuk Kreativitas Siswa
585 – 594
Firman
Mayasari
Presentasi
Sub Tema: Kurikulum dan Pembelajaran Pendidikan Dasar Implementasi Pembelajaran Kooperatif Tipe Student Teams Achievement Division (STAD) dan Metode Jigsaw Serta Motivasi Belajar Terhadap Hasil Belajar Siswa Kelas VIII SMPN 2 Ngariboyo dan SMPN 1 Ngariboyo
597 – 612
Penerapan Metode Polya Dalam Menyelesaikan Soal Cerita Pada Pokok Bahasan Aritmatikasosial di Kelas VII Putra SMP Yadika Bangil
613 – 623
Pengaruh Model Project Based Learning pada Pembelajaran Penjasorkes Terhadap Kreativitas Siswa (Studi pada Siswa Kelas VIII-A SMP Negeri 1 Plosoklaten Kabupaten Kediri)
624 – 636
Sugiharto
Andika Setyo Budi Lestari
Hasan Saifuddin & Bayu Budi Prakoso
Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Gerak Dasar Lompat Jauh Dengan Menggunakan Alat Bantu Tradisional
637 – 646
Nur Ahmad Muharram & Ardhi Mardiyanto
Pengaruh Metode Mengajar dan Persepsi Kinestetik Terhadap Keterampilan Dasar Bermain Sepak Bola
647 – 657
Slamet Raharjo
Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Dengan Pendekatan Pembelajaran Open Ended Materi Pokok SPLDV Di Kelas VIII MTsN Denanyar Jombang
658 – 667
Ahmad Bahrul Ulum & Oemi Noer Qomariyah
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
ix
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Kesalahan Siswa Sekolah Dasar dalam Merepresentasikan Pecahan pada Garis Bilangan
668 – 678
Efektivitas Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Course Review Horay Pada Pembelajaran Segiempat
679 – 690
Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Group Investigation dalam Pembelajaran Matematika untuk Meningkatkan Aktivitas dan Hasil Belajar Siswa
691 – 697
Eny Suryowati
Titik Idayanti & Ama Noor Fikrati
Veni Saputri
Pegaruh Penerapan Model Pembelajaran Taktis dan Kemampuan Motorik Terhadap Hasil Belajar Bolavoli Pada Siswa Putra Kelas VIII SMPN 4 Lamongan
698 – 709
Ilmul Ma’arif, Zakaria Wahyu Hidayat, & Kahan Tony Hendrawan
Perbandingan Metode Pembelajaran Whole Practice dan Part Practice Terhadap Hasil Belajar Dribbling Bolabasket (Studi Kelas V SDK Santo Yusup Surabaya)
710 – 717
Pengaruh Modifikasi Permainan Bolabasket Terhadap Kebugaran Jasmani Siswa SMPKr Petra Jombang
718 - 726
Arnaz Anggoro Saputro
Mecca Puspitaningsari & Nurdian Ahmad
Perencanaan, Pelaksanaan, dan Problematika Pembelajaran Menulis Siswa Kelas V SDN IV Sukorejo Perak Jombang
727 – 736
Mu’minin
Kompetensi Guru Dalam Pelaksanaan Pembelajaran Pendidikan Jasmani Dan Kesehatan Di MIN Rejoso Kecamatan Peterongan Kabupaten Jombang
737 – 747
Agus Budi Hartono
Bentuk Tuturan Masyarakat Manduro Sebagai Pendukung Pembelajaran Bahasa Indonesia
748 – 761
Diana Mayasari
Penerapan Model Pembelajaran Scramble Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Bahasa Arab Siswa Kelas V MI Muhammadiyah I Jombang Tahun Pelajaran 2013/2014
762 – 771
“Javanesse Cultural School” (JCS) Untuk Anak Usia Dini: Sebuah Konsepsi Untuk Mengembalikan Karakter Lokal
772 – 780
Mindaudah
M. Syaifuddin S. & Erni Munastiwi
Pelaksanaan Pendidikan Inklusif Pada Sekolah Dasar Di Kabupaten Banyuwangi
781 – 793
Aliya Fatimah
x
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Volume 1 Nomor 1 Tahun 2015 Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran “Rekonstruksi Kurikulum dan Pembelajaran di Indonesia” STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia 25 - 26 April 2015
Keynote Speakers
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
2
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Kurikulum dan Pembelajaran di Perguruan Tinggi: Menuju Pendidikan yang Memberdayakan Ali Maksum Guru Besar Unesa, Sekretaris Pelaksana Kopertis Wilayah VII Jawa Timur “Education is the most powerful weapon which you can use the change the world” Nelson Mandela Saya sengaja mengutip pernyataan yang melegenda dari mantan Presiden Afrika Selatan dan peraih nobel perdamaian tersebut guna memperkuat keyakinan kita bahwa pendidikan merupakan kunci utama meraih kesuksesan. Jika kita ingin memperbaiki kehidupan, memperbaiki masa depan, memperbaiki keluarga, memperbaiki masyarakat, memperbaiki bangsa, dan bahkan mengubah dunia, maka jawabannya satu: Pendidikan. Dalam konteks ini, pendidikan dimaknai sebagai upaya sadar dan terencana yang memungkinkan setiap individu belajar secara aktif mengembangkan potensi dirinya menuju insan paripurna. Seseorang yang ingin sukses dan menjadi pemenang dalam kehidupan perlu menempatkan pendidikan sebagai pilar terdepan. Negara yang ingin maju dan berhasil perlu menempatkan pendidikan sebagai agenda utama pembangunan. Sejumlah data bisa ditunjukkan untuk menyatakan bahwa tingkat pendidikan suatu bangsa berbanding lurus dengan kemajuan bangsa itu sendiri. Menurut data World Bank 2014, angka partisipasi kasar pendidikan tinggi di Indonesia baru mencapai 27%, sementara Malaysia 36%, Thailand 51%, Australia 83%, Amerika 95%, dan Korea 98%. Dilihat dari struktur pendidikan, 55,31% tenaga kerja kita berpendidikan SD ke bawah dan hanya 11,98% berpendidikan perguruan tinggi (Kompas.com, 2014), sementara di Singapura, lebih dari 90% pekerjanya berpendidikan menengah dan tinggi. Terkait dengan Human Development Index, Indonesia ada pada posisi 121 dari 187 negara, sementara Philipina pada peringkat 114, Thailand 89, Malaysia 62, dan Singapura ada pada peringkat 9 (UNDP, 2014). Demikian juga data global competitivenss report 2013-2014 menunjukkan bahwa posisi Indonesia ada pada peringkat 38, sementara Thailand pada posisi 37, Malaysia 24, dan Singapura pada posisi 2 (World Economic Forum, 2013). Tentu, hal yang demikian tidak boleh menjadikan spirit kita melemah untuk berubah dan berbenah menuju yang lebih baik. Kita harus punya keyakinan kuat bahwa Indonesia adalah negara besar, dengan penduduk 250 juta, 17.000-an pulau, lebih dari 1000 suku bangsa, dan 700 bahasa daerah, aneka tanaman tumbuh subur, dan keindahan alam laksana pecahan surga. Tetapi lagi-lagi, harus diakui bahwa prestasi bangsa ini belum sebanding dengan potensi yang dimiliki. Pertanyaannya kemudian, mengapa Indonesia dengan sejumlah kekayaan dan kemewahan alam yang diberikan oleh Tuhan belum bisa membuat bangsa ini menjadi negara maju? Dari sisi waktu kemerdekaan, Indonesia lebih dulu merdeka dibanding Malaysia yang diberikan kemerdekaan oleh Inggris pada 1957, lebih dulu dibanding Singapura yang memisahkan diri dengan Malaysia pada 1965, dan hanya selisih 2 hari dengan Korea yang merdeka pada 15 Agustus 1945. Dilihat dari jumlah perguruan tinggi, Indonesia paling banyak dibanding sejumlah negara Asean, bahkan dibandingkan dengan China sekalipun yang memiliki penduduk
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
3
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
1,3 milyar. Indonesia juga memiliki rasio guru-murid yang lebih baik dibanding Malaysia, China, Inggris, dan Amerika. Dari telaah dan perenungan mendalam, saya sampai pada kesimpulan bahwa yang membuat suatu bangsa maju bukan karena keberlimpahan sumberdaya alam atau lamanya suatu negara berdiri, tetapi lebih pada kualitas manusianya. Sementara itu, kualitas manusia hanya dapat dihasilkan melalui pendidikan yang memberdayakan, sebuah proses pendidikan yang membuat individu menjadi mandiri, mampu berpikir kritis, inovatif, berkarakter, dan berdaya saing.
Pendidikan yang memberdayakan Pendidikan yang memberdayakan menempatkan peserta didik sebagai insan yang aktif dan dengan segenap potensi yang dimilikinya, mampu mengonstruksi pengetahuan dan pengalamannya. Sebagaimana lima pilar yang dikampayekan Unesco (2009a), yakni learning to know, learning to do, learning to be, learning to live together, and learning to transform one self and society. Dengan demikian, individu pembelajar tidak sekadar tahu tetapi juga mampu mengonstruksi pengetahuan, terampil menerapkan pengetahuan yang dimiliki, baik dalam konteks dirinya maupun lingkungan masyarakatnya. Setiap individu, menurut Debono (2015), memiliki kemampuan mengorganisasikan dirinya, yang kemudian disebut sebagai selforganizing system. Individu sebagai suatu sistem, akan mampu mengelola ikhwal dirinya untuk maju dan berkembang (Mayer, 2014). Sejalan dengan ini, fungsi institusi pendidikan adalah menciptakan lingkungan dan iklim belajar yang memungkinkan segenap potensi pembelajar teraktualisasikan. Sumber-sumber belajar seperti perpustakaan, laboratorium, buku, jurnal, dan internet cukup tersedia dan dapat diakses dengan mudah. Proses pembelajaran harus mampu memberikan inspirasi, menumbuhkan dan memperkuat rasa keingintahuan (curiosity) mahasiswa terhadap sesuatu. Rasa keingintahuan yang kuat akan menumbuhkan budaya belajar, keberanian bertanya, dan keinginan mencipta. Kondisi yang demikian merupakan iklim yang baik bagi munculnya inovasi dan kemajuan suatu bangsa. Inilah yang dipikirkan dan dilakukan oleh Singpura, Korea, dan China, yaitu how to instill a culture of enquiry and critical thinking into their education systems (Leslie, 2014). Bertalian dengan pendidikan yang memberdayakan, ada tiga esensi dasar yang menjadi “roh” penyelenggaraan pendidikan, yakni pendidikan yang mencerdaskan, pendidikan yang menyejahterakan, dan pendidikan yang memanusiakan. Sebagaimana tersurat dalam pembukaan UUD 1945, pendidikan berkelindan dengan upaya negara mencerdaskan kehidupan bangsa. Esensi dasarnya adalah to train the individual mind and to maintain personal independence. Seseorang yang terdidik dengan baik, akan mampu menggunakan akal sehatnya dengan baik, mampu berpikir kritis dan konstruktif, serta mampu memecahkan masalah dan mengambil keputusan secara efisien dan efektif. Sayangnya, pendidikan kita selama ini cenderung membuat peserta didik sangat tergantung dengan perintah guru, sehingga peserta didik merasa inferior, miskin kreatifitas dan inovasi, dan dalam jangka panjang merusak kemampuannya mengatasi masalahnya sendiri (Maksum, 2011). Karena itu, tidak mengherankan dalam ajang kompetisi yang menguji kemampuan berpikir kritis dan kemampuan mengatasi masalah, seperti PISA (programme for international student assessment), dari 65 negara yang dilakukan asesmen, Indonesia ada pada peringkat 64, sementara Malaysia pada peringkat 52, Thailand 50, Singapura 2, dan China 1 (OECD, 2013). Dalam realitas kehidupan sehari-hari, indikasi rendahnya level berpikir dan kemampuan memecahkan masalah juga masih banyak terjadi di 4
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
masyarakat. Misalnya, banyak anggota masyarakat yang terkena penipuan berkedok investasi dan penipuan dengan modus hadiah, yang nyata-nyata tidak masuk akal sehat. Demikian juga orang begitu mudah melakukan tindak kekerasan, menyakiti, dan bahkan menghilangkan nyawa orang lain karena hal yang sepele. Dibutuhkan kesadaran yang kuat bahwa tujuan utama pendidikan bukan untuk mencari nilai atau mendapatkan ijazah. Apalagi menempuh jenjang pendidikan tinggi sekadar untuk prestise dan mendapatkan pengakuan yang sejatinya semu. Penyelenggaraan pendidikan yang sekadar berorientasi pemerolehan ijazah tanpa akuntabilitas dan proses yang benar, tidak saja melanggar ketentuan tetapi juga mendestruksi kecerdasan publik, menjadi lemah pikir yang dalam jangka panjang dapat berujung pada pembodohan bangsa. Itulah mengapa pemerintah, dalam hal ini Dikti dan Kopertis, melarang keras penyelenggaraan kelas jauh, pendidikan di luar domisili tidak sesuai ketentuan, pemendekan masa studi, dan pengebirian SKS. Dikti dan Kopertis sebagai representasi negara punya kewajiban untuk melindungi kepentingan publik. Setelah bisa dipastikan kemampuan berpikir kritis dan konstruktif terbentuk, proses berpikir perlu dijaga agar tetap jernih, jangan sampai terjadi bias atau sesat pikir. Hal yang demikian bisa terjadi apabila seseorang tidak lagi independen, misalnya karena ada muatan emosi, kepentingan pribadi, dan tekanan dari luar. Perlu diingat, sesar pikir bisa menyebabkan sesat perilaku. Hukum dan aturan sulit ditegakkan manakala berhimpitan dengan kerabat keluarga dan pertemanan yang muatan emosinya begitu kuat. Pengadaan barang dan penyelenggaraan kegiatan bisa koruptif apabila ada kepentingan pribadi untuk mendapatkan keuntungan. Demikian juga suatu kebijakan yang pruden bisa berbelok ditengah jalan jika ada intervensi atau tekanan dari luar. Intinya, pola pikir dan sikap imparsial perlu dirawat agar seseorang bisa tetap berpikir jernih dan memiliki laku jalan lurus. Pendidikan yang memberdayakan juga berarti menyejahterakan. Ada relasi yang cukup kuat antara tingkat pendidikan dan kesejahteraan. Pendidikan yang baik akan mengangkat derajat seseorang. Individu yang terdidik dengan baik akan dapat membuka dan menciptakan peluang bagi diri dan orang lain yang berdampak pada ekonomi. Dari aspek ekonomi, per capita income Indonesia sebesar 4.730 US$, sementara Thailand 9.280 US$, Malaysia 16.270 US$, Jepang 36.750, dan Singapura telah mencapai 60.110 US$ (World Bank, 2014). Dalam hal ini, kita bisa belajar dari Malaysia, Singapura, dan Korea. Bukankah pada awal kemerdekaan mereka kondisinya relatif mirip sebagai negara yang baru merdeka, yakni terjadi keterbelakangan ekonomi yang masif. Terlebih mereka tidak memiliki sumberdaya alam yang cukup dibanding Indonesia. Sekarang bisa kita lihat bagaimana kehebatan mereka dalam kesejahteraan ekonomi. Lagi-lagi, kunci keberhasilan mereka adalah menempatkan pendidikan yang bermutu sebagai piliar utama. Tesis ini yang rupanya menginspirasi program beasiswa bidikmisi Kemdikbud, memutus mata rantai kemiskinan bagi keluarga kurang mampu dengan memberikan kesempatan kepada calon mahasiswa, yang secara ekonomi kurang beruntung namun secara akademik sangat potensial, melalui pendidikan yang bermutu. Setelah mereka lulus, maka diharapkan bisa mendapatkan atau menciptakan pekerjaan yang dapat mengangkat ekonomi keluarga. Kesejahteraan tidak hanya bermakna ekonomi, melainkan juga kualitas hidup manusia yang ditunjukkan oleh kondisi kesehatan, baik fisik maupun psikis. WHO memperkirakan sekitar 70% kematian di dunia disebabkan oleh penyakit nonmenular, seperti jantung, hipertensi, kardiovaskular, dan diabetes melitus, yang sebagian besar disebabkan karena gaya hidup yang tidak sehat. Kementerian Kesehatan RI mencatat bahwa jumlah penderita stroke Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
5
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
pada 2015 meningkat lebih dari 100%. Pada tahun 2013 tercatat 12,1 penderita per 1000 penduduk, sementara pada 2015 menjadi 25-35 orang per 1000 penduduk (Kompas, 16 April 2015). Sebuah penelitian yang dilakukan di Jakarta juga menunjukkan bahwa ada 67% penduduk Jakarta mengalami kelebihan berat badan atau obesitas, 95% penduduk wanita memiliki lingkar perut di atas normal, dan pada saat yang sama, 87% pria memiliki riwayat hipertensi (The Jakarta Post, May 11, 2012). Data-data tersebut berkaitan erat dengan budaya gerak, dalam hal ini olahraga, yang masih rendah. Fakta tersebut juga sejalan dengan hasil penelitian Komnas Penjasor 2011 bahwa tingkat kebugaran jasmani remaja kita (14-17 tahun) sangat memprihatinkan, putra 33,66 ml/kg/min dan putri 24,23 ml/kg/min. Secara rinci, untuk remaja putra, 56% kategori sangat rendah, 15% kategori rendah, 23% kategori sedang, dan hanya 6% masuk kategori baik ke atas. Sementara untuk putri, 64% masuk kategori sangat rendah, 30% kategori rendah, 3% kategori sedang, dan hanya 2% masuk kategori baik. Pendidikan yang memberdayakan juga mengandung makna memanusiakan. Istilah “memanusiakan” penting untuk digaris bawahi mengingat seseorang bisa kehilangan kemanusiaannya manakala limbic system yang merupakan locus berprosesnya syahwat “kebinatangan” tidak terkelola dan terdidik dengan baik. Nafsu ingin menguasai, menghancurkan orang lain yang tidak sejalan, keserakahan ekonomi, termasuk libido ada di wilayah ini. Karena itu, kesanggupan untuk menahan dan mengelola syahwat-syahwat instinktif yang dapat mendistorsi sifat kemanusiaan perlu dirawat. Acapkali kita tidak tahan atas godaan kemewahan dan kenikmatan di sekitar kita, apakah itu berupa kedudukan, rekognisi sosial, materi, bonus, komisi, dan bentuk gratifikasi lainnya. Eksperimen klasik Walter Mischel terhadap sekelompok anak usia 4-5 tahun sungguh menarik untuk disimak. Anak-anak dimasukkan ke dalam ruangan, duduk secara beraturan, dan di hadapan setiap anak disediakan marhsmello (semacam permen-coklat). Mereka diberi dua opsi, pertama, ketika bel berbunyi anak-anak boleh langsung makan marhsmello tersebut, atau opsi kedua menahan diri sampai 15 menit hingga eksperimenter datang dan memberikan marhsmello dua kali lipat. Ada sebagian yang memilih opsi pertama dan sebagian yang lain memilih opsi kedua. Seteleh mereka remaja dan dewasa dicek lagi, hasil penelitian menunjukkan bahwa anak yang bisa menunda kenikmatan (delayed gratification) bisa lebih sukses dikemudian hari, baik dalam akademik, kompetensi sosial, dan kemampuan menghadapi tekanan, dibanding dengan mereka yang tidak dapat menahan diri (Maksum, 2014). Laku keserakahan sebagian bangsa ini bisa kita lihat dari indeks persepsi korupsi yang dikeluarkan oleh lembaga Transparency International tahun 2014, Indonesia ada pada peringkat 107 dari 175 negara yang disurvei dengan skor 34 pada rentang skala 0-100. Sementara Philipina dengan skor 38, Malaysia 52, Jepang 76, dan Singapura 84. Demikian juga dalam penyalahgunaan narkotika, BNN memprediksi prevalensi pengguna narkoba di Indonesia pada 2015 mencapai 5,1 juta orang dan sekitar 50 orang meninggal setiap hari akibat narkoba. Tentu, hal ini sangat mengkawatirkan, kita berada dalam darurat narkoba. The last but not least adalah soal terorisme yang menghentak kemanusiaan. Kelompok radikal yang menggunakan emosi agama ini, tanpa disadari ideologinya telah menelisik jauh pada sejumlah remaja kita. Mereka menganggap kebenaran ada pada dirinya dan pihak yang berbeda dianggap salah dan absah untuk dihancurkan. Sejatinya mereka merupakan anak-anak yang baik, tetapi salah asuhan dan salah jalan menempuh kekerasan “suci” untuk memperoleh “surga”. Sebagian besar persoalan kebangsaan sebagaimana yang telah diuraikan di atas akan bisa diatasi dengan pendidikan yang memberdayakan: mencerdaskan, menyejahterakan, dan 6
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
memanusiakan. Pertanyaannya sekarang, bagaimana mewujudkan tujuan tersebut? Rekonstruksi kurikulum menjadi agenda yang urgen untuk dilakukan.
Kurikulum, antara dokumen dan implementasi Secara sederhana, kurikulum dapat diartikan sebagai seperangkat rencana dan pengaturan mengenai capaian pembelajaran lulusan, bahan kajian, proses, dan penilaian yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pendidikan. Kurikulum menjadi urgen karena merupakan peta jalan menuju harapan, yakni manusia Indonesia yang hendak kita wujudkan. Perlu disadari bahwa tantangan generasi berubah dari waktu ke waktu, dan karena itu pula, kurikulum tentu perlu menyesuaikan dengan kebutuhan jamannya. Dalam konteks pendidikan tinggi, kurikulum mengalami beberapa kali perubahan (Kemdikbud, 2014b). Pada tahun 1990-an, konsep ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) mendapatkan tempat yang terhormat dalam diskursus pembangunan, termasuk di dalam dunia pendidikan. Karena itu, pada kurikulum 1994 bisa disebut sebagai kurikulum berbasis isi, yang diarahkan pada penguasan Iptek. Memasuki tahun 2000, Unesco mempromosikan empat pilar pendidikan, yakni learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together. Beriringan dengan itu, sekitar 2002, istilah kompetensi menjadi wacana yang sangat kuat bertalian dengan kualitas lulusan. Oleh karenanya, kurikulum saat itu dikatakan sebagai kurikulum berbasis kompetensi. Lalu, bagaimana halnya dengan kurikulum yang sekarang? Keluarnya sejumlah peraturan perundang-undangan seperti UU No. 12 tahun 2012 tentang pendidikan tinggi, Perpres No. 8 tahun 2012 tentang kerangka kualifikasi nasional Indonesia (KKNI), dan Permendikbud No. 49 tahun 2014 tentang standar nasional pendidikan tinggi, memberikan pesan kuat bahwa pendidikan tinggi harus mampu melahirkan manusia Indonesia yang cakap, berkarakter, dan berdaya saing. Pendidikan tinggi berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa (Kemdikbud, 2012a). Selain itu, pendidikan tinggi harus mampu memberdayakan mahasiswa menjadi manusia terdidik (educated person) yang berpengetahuan, kreatif, inovatif, dan berkarakter. Manusia Indonesia juga harus mampu sejajar dan bersaing dengan warga bangsa yang lain. Kualifikasi manusia Indonesia seperti itulah yang diharapkan bisa terbentuk melalui proses pendidikan di perguruan tinggi. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian terkait dengan keterampilan yang dibutuhkan diabad 21. Ada lima keterampilan pokok yang perlu dimiliki, yakni keterampilan beradaptasi, berkomunikasi kompleks, memecahkan masalah nonrutin, manajemen diri, dan berpikir sistem (National Academy of Sciences, 2011). Lalu, bagaimana kurikulum dikembangkan? Sesuai semangat UU no 12 tahun 2012 yang memberikan otonomi pada perguruan tinggi, maka pengembangan kurikulum diserahkan sepenuhnya pada otonomi kampus. Entitas program studi dan asosiasi keilmuan, termasuk asosiasi profesi menjadi think tank penyusun kurikulum. Tentu menjadi lebih baik, jika penyusunan kurikulum melibatkan pemangku kepentingan, terutama pengguna lulusan. Ada dua model struktur yang dapat digunakan dalam menyusun kurikulum, yakni model serial dan model parallel (Kemdikbud, 2014b). Model serial adalah pendekatan yang menyusun mata kuliah berdasarkan logika struktur keilmuan. Mata kuliah disusun dari yang paling dasar menuju lanjutan. Dalam model ini dikenal istilah matakuliah prasyarat, yang menunjukkan keterhubungan matakuliah yang satu dengan yang lain. Adapun model paralel menyajikan mata kuliah pada setiap semester sesuai dengan tujuan kompetensinya. Model ini lebih menyerupai
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
7
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
sistem blok, menyusun matakuliah berdasarkan ketercapaian kompetensi, bukan sekadar pembelajaran semesteran. Selain dua model tersebut, ada model lain yang bisa juga dipertimbangkan untuk diterapkan, yakni model konsekutif dan model konkuren. Kedua model ini biasanya diterapkan dalam konteks pendidikan guru. Model konsekutif adalah menyusun struktur matakuliah secara berurutan dengan memperhatikan capaian pembelajaran. Ada pembedaan yang tegas antara penguasaan kompetensi keilmuan dan kompetensi pedagogik. Mengacu model konsekutif, maka pendidikan guru didesain menjadi 4+1, yakni empat tahun fokus pada penguasaan kompetensi keilmuan dan satu tahun kompetensi profesi. Adapun model konkuren menyusun kurikulum yang mengintegrasikan antara kompetesi keilmuan dan kompetensi profesi pada saat yang bersamaan, sebagaimana yang selama ini dilakukan di lembaga pendidikan tenaga kependidikan. Apakah kurikulum yang telah didesain sedemikian rupa pada gilirannya dapat mewujudkan tujuan yang hendak dicapai? Di sinilah persoalannya. Pergulatan antara kurikulum sebagai dokumen dan kurikulum in action. Acapkali kurikulum sebagai dokumen telah tersusun dengan begitu baik, namun pelaksanaannya jauh panggang dari api. Dalam konteks ini, peran pengelola kurikulum, dalam hal ini ketua program studi dan peran pelaksana kurikulum, yakni dosen, menjadi sangat urgen. Ada korelasi yang sangat kuat antara kepemimpinan akademik dan kualitas dosen terhadap keberhasilan pelaksanaan kurikulum, Semakin tinggi komitmen Kaprodi dan dosen dalam melaksanakan kurikulum, semakin tinggi pula peluang keberhasilan capaiancapaian kurikulum.
Capaian pembelajaran dan KKNI Ada semacam missing link antara lulusan perguruan tinggi dengan dunia kerja. Persoalan pengangguran bukan semata karena ketiadaan pekerjaan, tetapi juga ketidaksesuaian antara jenis pekerjaan dan lulusan yang memenuhi kualifikasi yang dibutuhkan. Artinya, ada sejumlah pekerjaan yang tidak bisa diisi oleh lulusan perguruan tinggi. Pemangku kepentingan tidak tahu capaian pembelajaran yang dimiliki oleh lulusan. Kemampuan apa saja yang dimiliki oleh lulusan perguruan tinggi jenjang diploma, sarjana, magister, dan doktor? Bagaimana pula dengan mereka yang memiliki kemampuan memadai meski tidak diperoleh melalui pendidikan formal? Pertanyaan lanjutan yang tidak kalah pentingnya adalah apakah lulusan pendidikan sarjana di Indonesia setara dengan lulusan sarjana dari Singapura, Malaysia, atau Thailand? Begitu juga berlaku sebaliknya? Dalam konteks ini, globalisasi pendidikan menjadi pertimbangan, terlebih seiring kebijakan masyarakat ekonomi Asean yang akan berlaku pada akhir 2015. Ikhwal inilah yang pada dasarnya melatarbelakangi keluarnya Perpres no. 8 tahun 2012 mengenai kerangka kualifikasi nasional Indonesia (KKNI), yang merupakan kerangka penjenjangan kualifikasi SDM yang menyetarakan capaian pembelajaran bidang pendidikan dengan pelatihan dan pengalaman kerja. Ada 9 level dalam KKNI, yang dari perspektif pendidikan formal, level 1-2 adalah pendidikan menengah, level 3-6 adalah pendidikan diploma dan sarjana, level 7 profesi, level 8 magister, dan level 9 doktor. Dari perspektif dunia kerja, level 1-3 adalah operator, 4-6 teknisi/analis, dan 7-9 ahli. KKNI pada dasarnya juga merupakan respons Indonesia setelah meratifikasi konvensi Unesco tentang pengakuan pendidikan, ijazah, serta gelar pendidikan tinggi di Asia dan Pasifik pada 16 Desember 1983 dan diperbarui pada 30 Januari 2008 (Unesco, 2005). Sungguh disadari bahwa di setiap Negara memiliki cara, sistem, dan budaya yang berbeda satu sama lain. Pada saat yang sama, ada kebutuhan untuk menyetarakan beberapa perbedaan tersebut, mengingat 8
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
terjadinya masifikasi pendidikan tinggi dewasa ini (Unesco, 2009b). Adanya KKNI memberikan kesempatan kepada siapapun dia, dengan kompetensi yang dimiliki dapat disejajarkan satu dengan yang lain. Pencapaian KKNI dapat dilakukan melalui berbagai jalur, yaitu pendidikan formal, pengembangan profesi, peningkatan karier di dunia kerja, dan akumulasi pengalaman individu. Terkait dengan KKNI, apa yang perlu dilakukukan oleh kampus? Perguruan tinggi perlu menggunakan KKNI sebagai rujukan dalam merencanakan sistem pembelajaran sehingga lulusannya sesuai dengan kualifikasi jenjang KKNI. Mengacu Permendikbud No. 73 tahun 2013 tentang penerapan KKNI bidang pendidikan tinggi, perguruan tinggi, melalui Prodi, perlu menyusun deskripsi capaian pembelajaran minimal mengacu level KKNI. Capaian pembelajaran merupakan kemampuan yang diperoleh seseorang melalui internalisasi pengetahuan, sikap, ketrampilan, kompetensi, dan akumulasi pengalaman kerja. Dengan demikian, Prodi dengan segenap sumberdaya yang dimiliki, multitrack and multimethod, mengupayakan terwujudnya capaian pembelajaran. Setelah dipastikan rumusan capaian pembelajaran, langkah berikutnya adalah menyusun, melaksanakan, dan mengevaluasi kurikulum mengacu KKNI. Terakhir, mengembangkan sistem penjaminan mutu internal untuk memastikan capaian pembelajaran yang telah ditetapkan. Unsur capaian pembelajaran mencakup sikap dan tata nilai, kemampuan, pengetahuan, dan tanggung jawab. Seluruh unsur ini menjadi kesatuan yang saling mengait dan juga membentuk relasi sebab akibat. Dengan demikian, dalam konteks capaian pembelajaran, siapapun orang di Indonesia, dalam perspektif sebagai SDM, pertama-tama harus memiliki sikap dan tata nilai keindonesiaan, padanya harus dilengkapi dengan kemampuan yang tepat dan didukung oleh pengetahuan yang sesuai, maka padanya berlaku tanggung jawab sebelum dapat menuntut haknya (Kemdikbud, 2014b).
Pemenuhan standard Capaian pembelajaran dalam kurikulum dapat dioptimalkan apabila ada standarisasi, mulai dari masukan, proses, dan keluaran. Secara lebih komprehensif, ada Permendikbud no. 49 tahun 2014 tentang standar nasional pendidikan tinggi (SNPT), yang bisa dijadikan kerangka kerja mewujudkan capaian pembelajaran. Terdapat 10 standar yang perlu dipenuhi, yaitu: standar kompetensi lulusan, isi pembelajaran, proses pembelajaran, penilaian pembelajaran, dosen dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana pembelajaran, pengelolaan pembelajaran, pembiayaan pembelajaran, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat. Dalam setiap standar tersebut terdapat ketentuan yang perlu diacu dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi. Meski demikian perlu diingat bahwa sejatinya SNPT adalah kriteria minimal tentang penyelenggaraan tridharma, yang bertujuan menjamin tercapainya tujuan pendidikan tinggi dan mencapai mutu sesuai kriteria yang ditetapkan. Karena merupakan kriteria minimal, maka perlu diupayakan dan didorong agar perguruan tinggi melampaui kriteria yang ditetapkan. Pada saat yang sama, penetapan standar juga perlu dievaluasi dan disempurnakan secara periodik dan berkelanjutan. Pada kesempatan ini, saya ingin memberikan penekanan pada beberapa standar yang menuntut perhatian lebih. Pertama adalah masalah dosen. Dosen merupakan “roh” dari sebuah perguruan tinggi. Maju mundurnya perguruan tinggi sangat tergantung pada kualifikasi dan kompetensi dosennya. Kualifikasi pendidikan minimal seorang dosen adalah S2 untuk program studi diploma dan sarjana, sementara untuk program pascasarjana adalah S3. Meski kebijakan ini sudah diberlakukan sejak 2005, bersamaan dengan ditetapkannya UU no. 14 than 2005 Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
9
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
tentang guru dan dosen, tetapi hingga sekarang masih banyak dosen yang berstatus S1. Berdasarkan data di PD-Dikti pada 12 April 2015, terdapat 38.796 atau 22% dari total 178.270 dosen yang masih bergelar S1 di Kementerian Ristek dan Pendidikan Tinggi. Sementara itu, dosen yang berkualifikasi S2 sebanyak 61% dan S3 sebanyak 13%, serta yang memperoleh jabatan professor baru 3%. Sebuah perguruan tinggi dianggap unggul, menurut BAN-PT, manakala jumlah dosen bergelar Doktor ≥ 50% dan yang memiliki jabatan akademik professor ≥ 30%. Seorang dosen juga perlu memperbarui pengetahuan dan keterampilan dengan mengikuti sejumlah seminar, pelatihan, dan sejenisnya. Untuk bisa memberikan inspirasi dan pencerahan kepada mahasiswa, rasanya tidak mungkin seorang dosen hanya mengandalkan pengetahuan masa lampau, buku yang digunakan sudah tertinggal lebih dari 10 tahun, tidak pernah melakukan penelitian dibidangnya, dan abai terhadap perkembangan keilmuan terkini. Kedua, terkait sarana dan prasarana. Mengenai sarana prasarana, tidak cukup sekadar adanya ruang kuliah, tetapi juga laboratorium, perpustakaan, dan tempat diskusi yang memungkinkan mahasiswa berinteraksi dan menggunakan sumber-sumber belajar secara optimal. Demikian juga tempat/ruang untuk pengembangan bakat dan minat mahasiswa seperti karya ilmiah, olahraga, dan kesenian. Dosen juga diberikan tempat/ruang untuk menjalankan aktifitas profesinya seperti membaca, menyiapkan perkuliahan, dan menerima konsultasi mahasiswa. Masih banyak perguruan tinggi yang belum bisa menyediakan fasilitas, baik bagi dosen dan mahasiswa, meski dalam standar yang minimal. Ketiga, proses pembelajaran. Proses pembelajaran dilakukan dengan memperhatikan kelayakan, baik dalam kuantitas maupun kualitas. Dalam satu semester, pertemuan dilakukan selama 16 kali pertemuan. Perlu juga diingat bahwa pengertian 1 sks setara dengan 160 menit kegiatan belajar per minggu per semester. Dalam bentuk pembelajaran kuliah 1 sks mencakup 50 menit tatap muka, 50 menit terstruktur, dan 60 menit mandiri. Pembelajaran akan optimal jika sks diterapkan secara murni dan konsisten. Mahasiswa belajar tidak hanya saat bertemu dengan dosen, tetapi ditindaklanjuti dalam bentuk pendalaman melalui kegiatan tersruktur dan mandiri. Dalam konteks pembelajaran, yakni interaksi antara dosen, mahasiswa, dan sumber belajar, perlu dijaga keseimbangan terkait beban kerja. Bagi mahasiswa, beban normal belajar adalah 8 jam per hari atau 48 jam per minggu, setara dengan 18 SKS per semester. Sementara itu bagi dosen, beban kerja yang mencakup tridharma dan tugas tambahan, paling sedikit 40 jam per minggu atau setara dengan 12 sks. Dengan memperhatikan ketentuan tersebut, diharapkan iklim akademik akan tumbuh sehingga capaian pembelajaran dapat terwujud. Beban belajar/kerja yang jauh di bawah atau di atas normal tentu tidak diharapkan, apalagi yang berkorelasi negatif dengan penguatan iklim akademik. Perlu kesadaran yang cukup kuat dari dosen bahwa paradigma pembelajaran sudah berubah, tidak lagi berpusat pada dosen, tetapi mahasiswa (Kemdikbud, 2014b). Dalam konteks ini, mahasiswa belajar mencari dan mengonstruksi pengetahuan, bukan sekadar menerima pengetahuan dari dosen. Demikian juga pengetahuan harus dipandang sebagai hasil konstruksi atau hasil transformasi oleh pembelajar, bukan sesuatu yang sudah jadi yang tinggal ditransfer ke mahasiswa. Peran dosen lebih sebagai fasilitator dan motivator, sementara mahasiswa menunjukkan kinerja kreatif, yang mengintergrasikan kemampuan kognitif, psikomotor, dan afektif. Metodenya mengarah pada inquiry and discovery dan sumber belajarnya bersifat multi demensi dan kontekstual. Penilaian juga sebaiknya dalam bentuk authentic assessment atau performance assessment, yaitu penilaian atas proses perolehan, penerapan pengetahuan dan ketrampilan, 10
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
melalui proses pembelajaran yang menunjukkan kemampuan mahasiswa dalam proses dan produk. Penilaian model ini terdiri dari tiga kegiatan pokok, yakni dosen memberi tugas, mahasiswa menunjukkan kinerjanya, dan dinilai berdasarkan indikator tertentu dengan instrumen yang disebut Rubrik (Kemdikbud, 2014b). Perlu diketahui bahwa rubrik merupakan panduan penilaian yang menggambarkan kriteria yang digunakan dosen dalam menilai dan memberi tingkatan ketercapaian hasil belajar mahasiswa. Dalam rubrik termuat daftar karakteristik unjuk kerja yang diharapkan terwujud dalam proses dan hasil kerja serta dijadikan panduan untuk mengevaluasi masing-masing karakteristik tersebut. Keempat, terkait dengan penelitian. Perguruan tinggi harus memiliki kebijakan terkait arah, fokus, dan mekanisme penelitian. Jangan sampai perguruan tinggi hanya menghabiskan waktu untuk mengelola proses belajar-mengajar. Pengajaran hanyalah salah satu dari tridharma perguruan tinggi. Para dosen harus didorong untuk melakukan penelitian. Dosen perlu dirangsang untuk meraih dana penelitian dari luar institusi. Bagi mereka yang masih pemula, institusi perlu memberikan insentif, meski tidak besar, misalnya 3-5 juta per proposal. Dalam menciptakan budaya meneliti, keterlibatan dosen dan keikutsertaan mahasiswa dalam penelitian menjadi penting. Seiring dengan produk penelitian, publikasi ilmiah menjadi keniscayaan. Jumlah artikel yang terpublikasi, artikel yang disitasi, bahkan diperolehnya hak kekayaan intelektual, termasuk paten merupakan indikator utama kualitas penelitian di suatu perguruan tinggi.
Soal mutu, jangan ditawar Berdasarkan data PD-Dikti pada 26 Maret 2015, jumlah perguruan tinggi di Indonesia sebanyak 4.268, terdiri dari 365 PTN dan 3.903 PTS, dengan total prodi sebanyak 21.864. Sementara itu, jumlah mahasiswa sebesar 7,4 juta, terdiri dari 2,8 juta di PTN dan 4,6 juta di PTS. Adapun jumlah dosen bergelar Doktor sebesar 22.430 (12%) dan yang memiliki jabatan akademik profesor sebesar 4.948 (3%) dari keseluruhan 184.551 dosen. Bandingkan dengan jumlah perguruan tinggi di Amerika, yakni 4.599 dengan 21 juta mahasiswa. Dari segi kuantitas, sangat boleh jadi yang kita miliki sudah lebih dari cukup. Namun dari segi mutu, masih menyisakan persoalan yang serius. Pendidikan yang tidak bermutu tidak saja merugikan lulusan, tetapi dalam jangka panjang akan menjadi beban bangsa. Untuk mewujudkan pendidikan yang bermutu memang butuh biaya, tetapi ketersediaan biaya tidak serta merta pendidikan bermutu akan terwujud. Dalam konteks yang mikroskopik, misalnya iklim akademik, tidak dibutuhkan biaya mahal. Ketika mahasiswa disediakan jaringan listrik dan wifi, maka para mahasiswa dengan mudah mengakses segala informasi yang ada di internet. Mereka bisa menjelajahi perkembangan keilmuan terkini melalui berbagai tulisan, jurnal, dan kegiatan akademik yang tersaji di dunia maya. Bahkan sejumlah perguruan tinggi hebat, seperti MIT, bahan ajarnya dapat diunduh melalui website yang ada secara gratis. Yang justru menjadi keprihatinan kita selama ini adalah soal curiosity, rasa ingin tahu yang lemah terhadap pengetahuan yang terwujud dalam kerja yang “sistematis” dan penuh “kesungguhan”. Kebiasaan jalan pintas menjadi mainstream laku sebagian komunitas akademik. Misalnya, ingin mendapatkan ijazah, tetapi tidak mau menjalani kuliah secara wajar. Membutuhkan artikel tidak mau berproses secara wajar, alih-alih dengan membaca, meneliti, dan menulis, tetapi justru mencari tulisan orang lain yang serupa, yang pada akhirnya berujung pada tindakan plagiasi.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
11
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Saya ingin memberikan penguatan perlunya budaya membaca dan menulis dengan mengutip hasil penelitian Robert Wilson, et.al. (2013), neurologist pada Rush University Medical Center Chicago. Mereka meneliti 300 orang lanjut usia dan memeriksa kapasitas memori dan keterampilan berpikir setiap tahun. Mereka juga ditanya mengenai kebiasaan, menulis, dan aktifitas kognitif lainnya, termasuk saat masa anak-anak dan remaja. Mereka diikuti perkembangannya sampai meninggal dan selanjutnya diperiksa kondisi otaknya untuk membuktikan adanya demensia. Hasil penelitian cukup mengejutkan bahwa subyek yang jarang membaca dan menulis, mengalami penurunan fungsi kapasitas mental 48% lebih cepat dibanding rata-rata subyek penelitian. Karena itu, mari kita semua menjadikan kebiasaan membaca dan menulis sebagai gaya hidup, yang tidak saja berpengaruh pada profesionalisme sebagai dosen, tetapi juga meninggikan kualitas hidup kita sebagai manusia. Budaya mutu harus menjadi bagian dari budaya kerja akademik kita. Apalagi sudah dikeluarkan Permendikbud no 50 tahun 2014 tentang sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi. Dalam Permendikbud tersebut dinyatakan bahwa sistem penjaminan mutu merupakan kegiatan sistemik untuk meningkatkan mutu pendidikan tinggi secara berencana dan berkelanjutan, memastikan kesesuaian antara penyelenggaraan pendidikan dengan standar yang telah ditentukan. Ada dua model penjaminan mutu, pertama bersifat internal yang lazim disebut SPMI dan kedua bersifat eksternal yang dilakukan oleh BAN-PT. Keduanya berjalin berkelindan dalam mengupayakan terwujudnya mutu pendidikan tinggi. Sudah bukan waktunya lagi kita bekerja sekadar menggugurkan kewajiban, tidak pernah berpikir apakah yang kita kerjakan memberikan manfaat dan nilai lebih kepada pihak lain. Terlalu besar resiko yang harus ditanggung manakala mutu dikorbankan. Tidak bisa lagi kita mengajar hanya sekadar mengalihkan pengetahuan yang kita miliki kepada mahasiswa, tanpa ada jaminan hal itu dapat mengubah dan menginspirasi mahasiswa kearah yang lebih konstruktif. Ketika kita meneliti, tidak cukup sekadar memenuhi kredit poin kenaikan pangkat, tanpa pernah berpikir apakah yang kita teliti berkontribusi pada ilmu pengetahuan dan kemaslahatan umat manusia. Ada banyak ukuran mutu yang bisa digunakan untuk menilai keunggulan sebuah perguruan tinggi. Misalnya, berapa proporsi guru besar dan doktor yang dimiliki, publikasi ilmiah yang dihasilkan, termasuk paten, yang diyakini berkontribusi besar terhadap peningkatan kesejahteraan umat manusia. Dalam konteks publikasi ilmiah, kita juga masih kalah jauh dengan sejumlah negara Asean. Pada tahun 2013, publikasi Indonesia sebanyak 4.175, sementara Thailand 11.313, Singapura 17.052, dan Malaysia sebanyak 23.190 (www.scimagojr.com – diunduh 17 Nov 2014). Perkembangan publikasi ilmiah Malaysia begitu luar biasa, pada tahun 2007 sebanyak 5000 dan tahun 2013 menjadi empat kali lebih. Pada suatu forum kerjasama antar universitas, saya sempat berdiskusi dengan Naib Canselor (Rektor) Universiti Sultan Zainal Abidin di Malaysia, Prof. Yahya bin Ibrahim, apa yang dilakukan perguruan tinggi di Malaysia terkait percepatan publikasi ilmiah yang belakangan ini begitu signifikan? Prof. Yahya menyatakan bahwa yang utama adalah mendorong dosen dan mahasiswa mengunggah karya ilmiah yang dihasilkan, baik dari skripsi, tesis, disertasi, dan bentuk penelitian lainnya. Hal yang sama sejatinya telah dilakukan di Indonesia, dengan keluarnya surat edaran Dirjen Dikti pada Januari 2012. Dalam surat tersebut dinyatakan bahwa dalam rangka meningkatkan publikasi karya ilmiah, maka lulusan S1 harus mengasilkan karya yang dipublikasikan di jurnal ilmiah, S2 pada jurnal nasional terakreditasi, dan S3 pada jurnal internasional. Meski belum signifikan, seiring waktu langkah ini dapat membangkitkan kinerja publikasi kita.
12
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Daftar Bacaan Debono, E. (2015). Serious creativity: How to be creative under pressure and turn ideas into action. London: Vermilion. Kemdikbud (2014a). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia nomor 49 tahun 2014 tentang standar nasional pendidikan tinggi. Jakarta: Kemdikbud. Kemdikbud (2014b). Buku kurikulum pendidikan tinggi. Jakarta: Ditjen Dikti, Kemdikbud. Kemdikbud (2014c). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia nomor 50 tahun 2014 tentang sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi. Jakarta: Kemdikbud. Kemdikbud (2013). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia nomor 73 tahun 2013 tentang penerapan kerangka kualifikasi nasional Indonesia bidang pendidikan tinggi. Jakarta: Kemdikbud. Kemdikbud (2012a). Undang-undang nomor 12 tahun 2012 tentang pendidikan tinggi. Jakarta: Kemdikbud. Kemdikbud (2012b). Peraturan Presiden nomor 8 tahun 2012 tentang kerangka kualifikasi nasional Indonesia. Jakarta: Kemdikbud. Kompas (2015). Ancaman saat tubuh menua, edisi 16 April, h.14 Kompas.com (2014). BPS: Kualitas tenaga kerja Indonesia masih rendah, edisi 5 februari. Leslie, I. (2014). Curious: The desire to know and why your future depends on it. London: Quercus. Maksum, A. (2014). National mental model and competitiveness: Transformation toward achieving and progressive behavior. Anima, Indonesian Psychological Journal, vol. 29, no. 2. Maksum, A. (2011). Membangun mental prestatif: Tugas utama pendidikan ke depan. Dalam Sirkit Syah dan Martadi, “Rekonstruksi Pendidikan”. Surabaya: Unesa University Press. Mayer, J.D. (2014). Personal intellegence: The power of personality and how it shapes our lives. New York: Scientific American/Farrar, Straus and Giroux. National Academy of Sciences (2011). Assessing 21st Century Skills: Summary of a Workshop. Washington: Division of Behavioral and Social Sciences and Education. OECD (2013). PISA 2012 Results in Focus: What 15-year-olds know and what they can do with what they know. Scimago (2014). The SCImago Journal & Country Rank, diunduh 17 Nov 2014. The Jakarta Post (2012). Study shows 67 percent of Jakartans overweight, Edisi 11 Mei. UNDP (2014). Human development report 2014. New York: United Nation Development Program. Unesco (2005). The Regional convention on the recognition of studies, diplomas and degrees in higher education in Asia and the Pacific. Kunming, China: Academic Degrees Committee of the State Council. Unesco (2009a). Education for Sustainable Development. France: Division for the coordination of United Nations priorities in education. Unesco (2009b). Trends in global higher education: Tracking an academic revolution. A report prepared for the Unesco 2009 world conference on higher education. France: Division for the coordination of United Nations priorities in education. Wilson, R., et al. (2013). Life-span cognitive activity, neuropathologic burden, and cognitive aging. Neurology, vol. 81, no. 4 Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
13
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
World Bank (2014). World development indicators. Washington: International Bank for Reconstruction and Development. World Economic Forum (2014). The Global Competitiveness Index 2013–2014.
14
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Pengembangan Kurikulum Pendidikan Tinggi Berbasis KKNI dan SN-DIKTI Joko Nurkamto Guru Besar dan Kepala Lembaga Pengembangan Pendidikan UNS Suarakarta
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
15
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
16
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
17
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
18
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
19
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
20
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
21
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
22
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
23
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
24
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
25
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
26
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
27
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
28
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
29
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
30
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
31
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
32
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
POKOK-POKOK PIKIRAN Revolusi Mental Menggubah Pembelajaran: Pada Pendididkan Dasar, Menengah, dan Tinggi Nyoman S. Degeng Guru Besar dan Teknolog Pembelajaran, Universitas Negeri Malang
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
33
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
34
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
35
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
36
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
37
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
38
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
39
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
40
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
41
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
42
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
43
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
44
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
45
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
46
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
47
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
48
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
49
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
50
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Integrasi Soft Skills dalam Pembelajaran Dr. Wiwin Sri Hidayati, S.Pd., M.Pd Dosen dan Ketua Prodi Pendidikan Matematika STKIP PGRI Jombang Drs. Asmuni, M.Si Dosen dan Pembantu Ketua I STKIP PGRI Jombang
Soft Skills Klaus (2007) menyatakan bahwa soft skills encompass personal, social, communication, and self management behaviours, they cover a wide spectrum: self awareness, trustworthiness, conscientiousness, adaptability, critical thinking, organizational awareness, attitude, innitiative, emphathy, confidence, integrity, self-control, leadership, problem solving, risk taking and time management. Pernyataan ini menjelaskan bahwa soft skill meliputi personal, sosial, komunikasi, dan perilaku manajemen diri, yang mencakup spektrum yang luas: kesadaran diri, kepercayaan, kesadaran, kemampuan beradaptasi, berpikir kritis, kesadaran organisasi, sikap, inisiatif, empati, kepercayaan diri, integritas, pengendalian diri, kepemimpinan, pemecahan masalah, pengambilan risiko dan manajemen waktu. Aribowo (dalam Sailah, 2008) membagi soft skills menjadi dua bagian, yaitu intrapersonal skills dan interpersonal skills. Intrapersonal skills adalah keterampilan seseorang dalam mengatur diri sendiri. Adapun interpersonal skills adalah keterampilan seseorang yang diperlukan dalam berhubungan dengan orang lain. Dua jenis keterampilan tersebut dirinci sebagai berikut, intrapersonal skills terdiri dari: transforming character, transforming beliefs, change management, stress management, time management, goal setting & life purpose, accelerated learning techniques. Interpersonal skills terdiri dari: communication skills, relationship building, motivation skills, leadership skills, self-marketing skills, negotiation skills, presentation skills, public speaking skills. Zhang (2012) membuat definisi hard skills dan soft skills sebagai berikut, "hard skills are the technical skills required to perform a certain type of task, and soft skills are interpersonal skills, such as communication, teamwork, and conflict management". Hard skills adalah keterampilan teknis yang diperlukan untuk melakukan jenis tugas tertentu, dan soft skills merupakan keterampilan interpersonal, seperti komunikasi, kerja sama tim, dan manajemen konflik. Elfindri dkk. (2010:67), mendefinisikan Soft skills sebagai keterampilan dan kecakapan hidup, baik untuk diri sendiri (intrapersonal), maupun berkelompok atau bermasyarakat (interpersonal). Coates (2006) menyebutkan bahwa intrapersonalitas adalah keterampilan yang dimiliki seseorang dalam mengatur dirinya sendiri, seperti manajemen waktu, manajemen stres, manajemen perubahan, karakter transformasi, berpikir kreatif, memiliki acuan tujuan positif, dan teknik belajar cepat. Sedangkan interpersonalitas adalah keterampilan berhubungan atau berinteraksi dengan lingkungan kelompok masyarakatnya dan lingkungan kerjanya serta interaksi dengan individu manusia sehingga mampu mengembangkan unjuk kerja secara maksimal, kemampuan memotivasi, kemampuan memimpin, kemampuan negosiasi, kemampuan presentasi, kemampuan komunikasi, kemampuan menjalin relasi, dan kemampuan bicara di muka umum. Yuliani (2012), mendefinisikan soft skills sebagai bentuk kompetensi perilaku sehingga dikenal pula sebagai keterampilan interpersonal atau people skills, yang
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
51
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
mencakup keterampilan komunikasi, resolusi konflik dan negosiasi, efektivitas pribadi, pemecahan masalah secara kreatif, pemikiran strategis, membangun tim, keterampilan mempengaruhi dan keterampilan menjual (gagasan atau ide). Rani (2006), menjelaskan bahwa: Soft Skills have two parts. One part involves developing attitudes and attributes, and the other part involves fine-tuning communication skills to express attitudes, ideas and thoughts well. Crucial to successful work is the perfect integration of ideas and attitudes, with appropriate communication skills in oral, written and non-verbal areas. Attitudes and skills are integral to soft skills. Each one influences and complements the other. Tulisan ini menjelaskan bahwa soft skills memiliki dua bagian, yaitu bagian yang melibatkan pengembangan sikap dan atribut, dan bagian lainnya melibatkan ketepatan keterampilan komunikasi untuk mengekspresikan sikap, ide dan pikiran dengan baik. Penting untuk pekerjaan yang sukses adalah integrasi sempurna dari ide-ide dan sikap dengan keterampilan komunikasi yang tepat secara lisan, tertulis, dan nonverbal. Sikap dan keterampilan merupakan bagian integral dari soft skill. Rujukan lainnya, Sharma (2009), menyebutkan bahwa soft skills adalah seluruh aspek dari generic skills yang juga termasuk elemen-elemen kognitif yang berhubungan dengan non academic skills. Menurut Widhiarso (2009), soft skills adalah seperangkat kemampuan yang mempengaruhi bagaimana kita berinteraksi dengan orang lain. Soft skills merupakan kemampuan yang tidak nampak dan seringkali berhubungan dengan emosi manusia. Donata (2010) menjelaskan bahwa Soft skills are intangible interpesonal skills that are associated with an individual’s ability to effectively interact with others and/or lead others. These skills are not easy to measure but they can be observed in individuals who possess the ability to interact with people well. Penjelasan di atas menunjukkan bahwa soft skills adalah keterampilan interpersonal yang berhubungan dengan kemampuan individu untuk berinteraksi dengan orang lain secara efektif. Keterampilam ini tidak mudah diukur, tetapi dapat diamati dengan melihat ketika seseorang berinteraksi dengan orang lain. Patrick (2001), mengelompokan soft skill dapat dikategorikan ke dalam 7 area yang disebut Winning Characteristics, yaitu, communication skills, organizational skills, leadership, logic, effort, group skills, and ethics. Kemampuan nonteknis yang tidak terlihat wujudnya (intangible) namun sangat diperlukan itu, disebut soft skills. Chaturvedi (2011) menuliskan soft skills are essentially to be categorized as self development skills, interaction skills, leadership skills, organization skills and communication skills. Artinya, soft skills dikategorikan sebagai keterampilan pengembangan diri, keterampilan berinteraksi, keterampilan kepemimpinan, keterampilan berorganisasi, dan keterampilan komunikasi. Soft skills melengkapi hard skills (bagian dari IQ), yang merupakan persyaratan teknis pekerjaan dan banyak kegiatan lainnya. Soft Skill atau keterampilan lunak merupakan tingkah laku personal dan interpersonal yang dapat mengembangkan dan memaksimalkan kinerja manusia (melalui pelatihan, pengembangan kerja sama tim, inisiatif, dan pengambilan keputusan lainnya. Selanjutnya, Klaus (2007) menyatakan "...What, then, are soft skills? Soft skills are those personality traits and interpersonal skills that balance technical skills and quantitative job requirements". Soft skills adalah ciri-ciri kepribadian dan keterampilan interpersonal. Lorenz (2009) menyebutkan "soft skills refer to a cluster of personal qualities, habits, attitudes and social graces that make someone a good employee and compatible to work", yang berarti soft skills mengacu pada sekelompok kualitas pribadi, kebiasaan, sikap dan rahmat sosial yang membuat seseorang karyawan yang baik dan kompatibel untuk bekerja. Soft skills adalah 52
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
keterampilan seseorang dalam berhubungan dengan orang lain (termasuk dengan dirinya sendiri). Atribut soft skills, dengan demikian meliputi nilai yang dianut, motivasi, perilaku, kebiasaan, karakter dan sikap. Atribut soft skills ini dimiliki oleh setiap orang dengan kadar yang berbeda-beda, dipengaruhi oleh kebiasaan berfikir, berkata, bertindak dan bersikap. Namun, atribut ini dapat berubah jika yang bersangkutan mau merubahnya dengan cara berlatih membiasakan diri dengan hal-hal yang baru. Soft Skills included in Measuring Assessing Soft Skills (MASS) Materials Manners, Ownership of tasks, Attendance, Motivation, Professionalism, Work output Conduct in workplace, Timekeeping, Verbal Communication, Organisation/ planning, Team-working/ Respect, Helping others, Conscientiousness, Ability to ask for help, Adaptability/ Flexibility, (Kechagias,. 2011: 83-84). Maksudnya, beberapa hal yang merupakan penilaian dalam soft skills yaitu, kemampuan kerja, kepedulian, motivasi, profesionalisme, pengaruh hasil kerja di tempat kerja, kedisiplin, komunikasi verbal, organisasi atau perencanaan, kerjasama atau rasa hormat, membantu orang lain, waspada, kemampuan untuk membantu, adaptasi atau loyalitas. Berbeda dengan soft sklls, hard skills adalah penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi, dan keterampilan teknis yang terkait sesuai bidang ilmu. Hard skilsl merupakan keterampilan teknis yang dibutuhkan untuk profesi tertentu. Contoh, guru olah raga membutuhkan keterampilan menangkap bola, programmer wajib menguasai teknik pemrograman dg bahasa tertentu. Hard skills dibutuhkan untuk dapat bekerja sesuai tujuan. Hard skills berhubungan dengan kompetensi inti untuk setiap bidang keilmuan lulusan. Contoh, seseorang sarjana pendidikan harus menguasai hard skill di bidang menyusun perangkat pembelajaran. Berdasarkan definisi di atas, penulis memberikan definisi soft skills sebagai jalinan atribut personalitas baik intrapersonal skills maupun interpersonal skills. Sedangkan hard skills adalah penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi, dan keterampilan teknis yang terkait sesuai bidang ilmu. Integrasi Soft Skills dan Hard Skills dalam Pembelajaran Pengajaran dan pembelajaran di sekolah memiliki komponen sosial, emosional, dan akademis yang kuat. Bagaimana agar siswa tidak bosan dalam belajar? Pendidik harus memberikan muatan-muatan lain seperti memberi motivasi, memberi pujian, memberi jokes yang disampaikan baik secara verbal maupun nonverbal dengan ekspresi wajah yang ceria, dan memberikan senyuman yang tidak dipaksakan. Agar hal tersebut dapat dilakukan maka harus dibarengi dengan mengatur emosi ketika menghadapi berbagai macam karakter siswa yang berada dalam kelas. Sebagaimana kita ketahui bahwa siswa yang berada dalam satu kelas sangat mungkin kemampuannya heterogen. Untuk itulah guru/pendidik juga harus mengelola manajemen stres. Selain itu, guru/pendidik juga harus menguasai keterampilan manajemen waktu, agar apa yang sudah direncanakan sebelumnya dapat dilaksanakan dengan benar. Hal tersebut untuk mendukung ketika mengajar. Bagaimana mengelola waktu dalam mengajar bukanlah hal yang mudah, apalagi jika sebelumnya tidak membuat perencanaan sama sekali. Oleh karena itu pendidik harus sudah membuat alokasi waktu yang dituangkan dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), mulai dari kegiatan pendahuluan, kegiatan inti, dan kegiatan penutup. Komunikasi baik verbal maupun nonverbal, manajemen waktu dan manajemen stres adalah sebagian kecil dari atribut soft skills yang sebaiknya dimiliki dan dikembangkan oleh pendidik yang dapat diintegrasikan dalam pembelajaran. Guru sebagai salah satu komponen Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
53
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
dalam sistem pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan siswa, memiliki peranan penting dalam menentukan arah dan tujuan dari suatu proses pembelajaran. Kemampuan yang dikembangkan tidak hanya ranah kognitif dan psikomotorik semata yang ditandai dengan penguasaan materi pelajaran dan keterampilan, melainkan juga ranah kepribadian siswa. Pada ranah ini siswa harus menumbuhkan rasa percaya diri sehingga menjadi manusia yang mampu mengenal dirinya sendiri yakni manusia yang berkepribadian yang ungggul dan mandiri. Manusia utuh yang memiliki kemantapan emosional dan intelektual, yang mengenal dirinya, yang mengendalikan dirinya dengan konsisten dan memiliki rasa empati (tepo seliro). Menurut Howard Gardner dalam bukunya yang bejudul Multiple Inteligences (1993), bahwa ada 2 kecerdasan yang berkaitan dengan kemampuan mengembangkan kepribadian yaitu: 1. Kecerdasan Interpersonal (interpersonal Intelligence) adalah kemampuan untuk mengerti dan menjadi peka terhadap perasaan, intensi, motivasi, watak, dan temperamen orang lain. Kepekaan akan ekspresi wajah, suara dan gerak tubuh orang lain (isyarat), dan kemampuan untuk menjali relasi dan komunikasi dengan berbagai orang lain. 2. Kecerdasan Intrapersonal (intrapersonal intelligence) adalah kemampuan memahami diri dan bertindak adaptif berdasarkan pengetahuan tentang diri. Kemampuan berefleksi dan keseimbangan diri, kesadaran diri tinggi, inisiatif dan berani. Soft skill yang diberikan kepada siswa/mahasiswa oleh guru dapat diintegrasikan dengan materi pembelajaran. Menurut Saillah (2008), materi soft skills yang perlu dikembangkan kepada para mahasiswa, tidak lain adalah penanaman sikap jujur, kemampuan berkomunikasi, dan komitmen. Untuk mengembangkan soft skills dengan pembelajaran, perlu dilakukan perencanaan yang melibatkan para guru, siswa, alumni, dan dunia kerja, untuk mengidentifikasi pengembangan soft skills yang relevan. Menurut Sudrajat (2009), guru dalam melaksanakan pembelajaran harus memperhatikan hal-hal berikut ini: volume dan intonasi suara guru dalam proses pembelajaran harus dapat didengar dengan baik oleh peserta didik; tutur kata guru santun dan dapat dimengerti oleh peserta didik; guru menyesuaikan materi pelajaran dengan kecepatan dan kemampuan belajar peserta didik; guru menciptakan ketertiban, kedisiplinan, kenyamanan, keselamatan, dan kepatuhan pada peraturan dalam menyelenggarakan proses pembelajaran; guru memberikan penguatan dan umpan balik terhadap respons dan hasil belajar peserta didik selama proses pembelajaran berlangsung; guru menghargai peserta didik tanpa memandang latar belakang agama, suku, jenis kelamin, dan status sosial ekonomi; guru menghargai pendapat peserta didik; guru memakai pakaian yang sopan, bersih, dan rapi; pada tiap awal semester, guru menyampaikan silabus mata pelajaran yang diampunya; dan guru memulai dan mengakhiri proses pembelajaran sesuai dengan waktu yang dijadwalkan. Setiap orang termasuk peserta didik sudah memiliki soft skills walaupun berbeda-beda. Soft skills ini dapat dikembangkan menjadi lebih baik atau bernilai (diterapkan dalam kehidupan sehari-hari) melalui proses pembelajaran. Pendidikan soft skills tidak seharusnya melalui satu mata pelajaran khusus, melainkan dintegrasikan melalui mata pelajaran yang sudah ada atau dengan menggunakan strategi pembelajaran yang berpusat pada siswa. Instrumen Soft Skills dalam Pembelajaran Kechagias (2011: 131), Soft skills assessment is a new and as yet underdeveloped domain. Hali ini menunjukkan bahwa penilaian Soft skills adalah domain baru dan belum berkembang. Widhiarso (2011), menyebutkan bahwa soft skills lebih didominasi oleh 54
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
komponen kepribadian individu sehingga prosedur pengukurannya sedikit berbeda dengan pengukuran komponen abilitas individu. Oleh karena itu pengukuran soft skills akan mengarah pada karakteristik yang sifatnya internal pada diri individu seperti dimensi afektif, motivasi, dan interes. Pengukuran soft skills dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut: 1. Pelaporan diri, sebagaimana tes yang diartikan sebagai sekumpulan sampel respon yang menunjukkan atribut ukur pada diri individu, pengukuran soft skills juga menghasilkan sejumlah respon dari individu yang menunjukkan tingkat soft skills yang dimiliki. Pelaporan diri merupakan sekumpulan stimulus berupa pernyataan, pertanyaan atau daftar deskripsi diri yang direspon oleh individu. Pernyataan merupakan turunan dari domain ukur yang sifanya teoritik konseptual setelah melalui proses operasionalisasi menjadi indikator-indikator. Setelah domain ukur dan indikator telah ditetapkan, proses penyusunan instrumen pengukuran selanjutnya adalah penulisan item. Misalnya mengukur tingkat kesenangan individu diwujudkan melalui pernyataan “Saya senang bisa berinteraksi dengan banyak orang” atau “Saya lebih suka bekerja sama dibanding dengan bekerja sendirian”. Item ini kemudian direspon dengan kontinum dari sangat setuju sampai sangat tidak setuju. Proses penulisan item ini merupakan seni tersendiri yang membutuhkan kepekaan dalam membahasakan indikator empirik perilaku individu. 2. Checklist, adalah jenis alat ukur afektif atau perilaku yang memuat sejumlah indikator, biasanya kata sifat atau perilaku yang diisi oleh seorang penilai. Checklist lebih banyak dipakai untuk mengukur aspek psikologis yang tampak, misalnya perilaku. Sama seperti self report, penyusunan item-item pada checklist juga diawali dari operasionalisasi aspek-aspek domain ukur yang sifatnya konseptual menjadi seperangkat indikator yang sifatnya operasional. Pada pengukuran soft skills, checklist lebih tepat dipakai untuk mengukur dimensi perilaku mahasiswa misalnya cara mempresentasikan makalah, cara berinteraksi dengan orang lain, atau strategi mengatasi masalah. Teknik peer evaluation antar mahasiswa biasanya menggunakan checklist. 3. Pengukuran performansi, beberapa soft skills banyak yang terkait dengan abilitas relatif aktual seperti komunikasi efektif, pemecahan masalah, berpikir kreatif atau berpikir kritis sehingga pengukuran dengan menggunakan self report pada tataran tertentu kurang relevan. Desain yang tepat untuk mengukur komponen ini adalah pengukuran performansi. Pengukuran performansi merupakan pengukuran terhadap proses atau hasil kinerja individu terhadap tugas yang diberikan. Penyekoran dilakukan dosen berdasarkan rubrik yang telah dibuat sebelumnya. Rubrik merupakan panduan penyekoran yang memuat kriteria performansi. Penyekoran dapat dilakukan ketika subjek sedang bekerja atau hasil pekerjan yang diberikan. Sebelum diaplikasikan kepada subjek, instrumen yang dibuat perlu dievaluasi kualitasnya yang ditunjukkan oleh properti psikometris instrumen tersebut dari data uji coba instrumen soft skills. Pengukuran soft skills terhadap mahasiswa perlu dikenakan pada setiap kategori mahasiswa, dari mahasiswa baru, mahasiswa tingkat menengah dan mahasiswa tingkat akhir. Solichin (2011) menggunakan beberapa cara untuk mengumpulkan data pada penelitiannya tentang tingkat kompetensi soft skills guru, yaitu; kuesioner berupa daftar pertanyaan /pernyataan yang diberikan kepada responden untuk diisi, observasi yaitu melakukan pengamatan terhadap perilaku guru sebagai responden dalam menularkan soft skills kepada anak didiknya, dan wawancara yaitu melakukan tanya jawab dengan para responden untuk mendapatkan informasi yang mendukung kuesioner dan pengamatan. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
55
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Instrumen untuk memperoleh hasil belajar nontes terutama dilakukan untuk mengukur hasil belajar yang berkenaan dengan soft skill, terutama yang berhubungan dengan apa yang dapat dibuat atau dikerjakan oleh peserta didik dari apa yang diketahui atau dipahaminya. Dengan kata lain, instrumen seperti itu terutama berhubungan dengan penampilan yang dapat diamati dari pada pengetahuan dan proses mental lainnya yang tidak dapat diamati dengan panca indra (Widoyoko, 2009:104). DAFTAR PUSTAKA Chaturvedi, A .2011. "Communicative Approach toSoft & Hard Skills". Jurnal VSRD-IJBMR, Vol. 1 (1), 2011, 1-6. Coates, D.E. 2006. People Skill Training: Are You Getting a Return on Your Investmen .(http://www.2020insight.net/Docs4/PeopleSkill.pdf, diakses tanggal 15 Juli 2010). Donata. 2010. "How to Differentiate Between Hard Skills And Soft Skills" (http://factoidz.com/job-requirements-the-importance-of-hard-skills-and-soft-skills-inthe-workplace/. diakses tanggal 30 November 2012). Elfindri, dkk. 2010. Soft Skills untuk Pendidik. Baduose Media. Goleman, D. 2006. Kecerdasan Emosional. Edisi Bahasa Indonesia terjemahan T. Hermaya. Jakarta: PT SUN. Gymnasium 56760 Neapolis (Thessaloniki). Kechagias, K. 2011. Teaching and Assessing Soft Skills. Publisher: 1st Second Chance School of Thessaloniki (Neapolis) Str. Strempenioti, 1st and 3rd Klaus, P. 2007. The Hard Truth About Soft Skills. Collins Harper. Lorenz. K. 2009. "Top 10 Soft Skills for Job Hunters". (http://jobs.aol.com/articles/2009/ 01/26/top-10-soft-skills-for-job-hunters/, diakses tanggal 20 Januari 2011). Patrick S. O. 2001. Making College Count: a Real Wolrd Look at How to Succeed in and After College, Monster.Com, USA. Rani, S.M. E .2006. "Need and Importance of Soft Skills In Students". Vol.-II 3 Jan-June (Summer) 2010. (http://www.inflibnet.ac.in/ojs/index.php/JLCMS/article/viewFile/119/ 116, diakses tanggal 30 November 2012). Sailah, I. 2008. Pengembangan Soft Skills di Perguruan Tinggi. Jakarta: Tim Kerja Pengembangan Soft Skiils Direktorat Kelembagaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Sharma, A. 2009. Professional Development for Teachers. (http://schoolofeducators.com/2009/ 02/importance-of-soft-skills-development-in-education, diakses tanggal 30 Juli 2010). Solichin, E. 2012. Tingkat Kompentensi Soft Skills Guru. Penelitian. Sudrajat, A. 2009. "Standar Pelaksanaan Proses Pembelajaran". (http://akhmadsudrajat.word press. com/2009/05/26/standar-pelaksanaan-1roses-pembelajaran/, diakses tanggal 10 Januari 2010) Widhiarso, W. 2009. "Evaluasi Pembelajaran Mata Kuliah Umum Kependidikan". Makalah disampaikan pada kegiatan seminar dan sarasehan di FIP UNY tanggal 14 Februari 2009. Widoyoko, S. Eko Putra. 2009. Evaluasi Program Pembelajaran: Panduan Praktis Bagi Pendidik dan Calon Didik, Yogyakarta: Pustaka Belajar. Yuliani, S. 2012. "Apa itu Soft Skills". (http://sriyuliani.staff.fisip.uns.ac.id/kuliah/apa-itu-softskills/, diakses tanggal 30 November 2012). Zhang, A. 2012. "Cooperative Learning and Soft Skills Training in an IT Course" Journal of Information Technology Education: Research Volume 11, P 67-79.
56
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Volume 1 Nomor 1 Tahun 2015 Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran “Rekonstruksi Kurikulum dan Pembelajaran di Indonesia” STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia 25 - 26 April 2015
Presentasi Sub Tema: Kurikulum dan Pembelajaran Pedidikan Tinggi
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
58
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Problem Based Learning untuk menumbuhkan Critical Thinking dan Hasil Belajar Mahasiswa Khoirul Hasyim 1 ([emailprotected]) Abstract This study aims to determine how the role and impact of Problem Based Learning (PBL) using authentic materials in developing critical thinking skills and also enhancing learning outcomes of students of English Language Education students of STKIP PGRI Jombang in English Morphology class. Positive hypothesis in this study is that PBL was able to enhance student learning outcomes and able to develop critical thinking skills. This study is a quantitative by using experimental design. The sample was selected by using purposive sample technique. There are 40 students which is divided into two groups: the experimental group and the control group. The data obtained was processed using SPSS 16.0 for Windows. The results of this study showed that PBL is significant in improving student learning out come, especially on English Morphology class. In addition, the group work which is applied during the teaching learning process were able to develope students’ communication ability. Selection of cases based on the ability of the group and the selection of reference toward materials and problem-solving strategies which is chosen by students in cases of english morphology class is effective to develope the critical thinking process that is based on social conditions and contexts of the reality. Key Words: problem based learning, critical thinking, learning outcome Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana peran dan dampak Problem Based Learning (PBL) dengan menggunakan materi otentik dalam menumbuhkan keterampilan berpikir kritis dan meningkatkan hasil belajar mahasiswa program studi pendidikan bahasa inggris STKIP PGRI Jombang dalam perkuliahan English Morphology. Hipotesis positif pada penelitian ini adalah bahwa PBL mampu meningakatkan hasil belajar mahasiswa dan mampu menumbuhkan keterampilan berpikir kritis. Penelitian ini menggunakan pendekatan keuantitatif dengan menggunakan desain eksperimental. Sample dipilih dengan menggunakan teknik purposif sample yang berjumlah 40 mahasiswa yang terbagi dalam dua kelompok yaitu kelompok eksperimental dan kelompok kontrol. Data yang didapatkan diolah menggunakan SPSS 16.0 untuk program windows. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa PBL siginifikan dalam meningkatkan kemampuan belajar mahasiswa, utamanya pada perkuliahan English Morphology. Selain itu, proses kerja kelompok yang diterapkan pada perkuliahan mampu menumbuhkan kemampuan berkomunikasi. Pemilihan kasus-kasus yang berdasarkan kemampuan kelompok serta pemilihan bahan acuan dan strategi pemecahan masalah pada kasus-kasus morfologis terbukti mampu membawa mahasiswa kepada proses berpikir kritis yang berdasarkan kondisi sosial dan konteks yang ada. Kata Kunci: problem based learning, berpikir kritis, hasil belajar
Pendahuluan Permasalahan yang sering muncul dalam dunia pendidikan tinggi adalah lemahnya kemampuan mahasiswa dalam menggunakan kemampuan berpikirnya untuk menyelesaikan
1
Dosen Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris, STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
59
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
masalah. Mahasiswa cenderung dijejali dengan berbagai informasi yang seringkali hanya terfokus pada kemampuan kognitif saja. Banyak sekali pengetahuan dan informasi yang dimiliki mahasiswa tetapi sulit untuk dihubungkan dengan situasi yang mereka hadapi. Alih-alih dapat menyelesaikan masalah, pengetahuan mereka seperti tidak relevan dengan apa yang mereka hadapi. Ketika mahasiswa mengikuti sebuah pendidikan tiada lain untuk menyiapkan mereka menjadi manusia yang tidak hanya cerdas tetapi mampu menyelesaikan persoalan yang akan mereka hadapi di kemudian hari dalam kehidupan dunia nyata yang sebenar-benarnya. Hal tersebut menjadi sebuah permasalahan yang harus dipecahkan “Setiap perguruan tinggi dihadapkan permasalahan untuk menentukan bagaimana menyajikan materi perkuliahan sehingga mahasiswa tidak hanya mendapatkan pengetahuan tentang disiplin, tetapi juga menjadi pribadi yang pembelajar yang otonomi yang mamapu mengembangkan kemampuan memecahkan masalah yang nantinya dapat diterapkan dalam pendidikan dan karir mereka selanjutnya.” (Stanford, 2011:1) Sudah sering mendengar keluhan mahasiswa betapa beratnya mereka mengikuti beban dari sebuah materi kuliah. Mereka dituntut untuk mengetahui segala hal yang dituntut oleh kurikulum. Walaupun kapasitas intelektualnya dapat menjangkau beban tersebut, mahasiswa seperti telepas dari dunianya. Padahal yang mereka hadapi harus dapat diselesaikan dengan kemampuan sendiri. Oleh karena itu, pendidikan harus membekali mereka dengan kemampuankemampuan yang dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan yang mereka hadapi. Kemampuan tersebut adalah kemampuan memecahkan masalah. Kemampuan ini dapat dikembangkan melalui pembelajaran dimana masalah dihadirkan di proses perkuliahan dan mahasiswa diminta untuk menyelesaikannya. Dengan segala pengetahuan dan keterampilan yang mereka miliki. Pembelajaran bukan lagi sebagai “transfer of knowledge”, tetapi mengembangkan potensi mahasiswa secara sadar melalui kemampuan yang lebih dinamis dan aplikatif. Sebagaimanahalnya dengan mata kuliah English Morphology, keberadaaanya merupakan hal penting bagi para pembelajar Bahasa Inggris utamanya dalam mengenali dan memahami proses terbentuknya kata. Sebagai dasar pengetahuan tentang proses terbentuknya kata, keberadaan morfologi sebagai suatu ilmu akan dapat memberikan landasan tentang bagaimana menghasilkan dan membentuk kata dengan benar secara gramatikal. Lebih lanjut, dari dasar pemroduksian kata yang benar maka akan dapat dihasilkan susunan kalimat yang benar sesuai dengan tata aturannya. Kehadiran contoh-contoh kasus morfologis, umumnya adalah contoh kata yang sengaja dibuat-buat dan seringkali kata tersebut jarang ditemukan pada teks-teks sehari-hari. Hal tersebut mengakibatkan kesenjangan antara apa yang dikaji dan dibahas dalam perkuliahan dengan apa yang ada di dunia nyata. Terpisahnya pengalaman dunia nyata dengan pembelajaran yang terjadi di kelas menyebabkan rendahnya motivasi mahasiswa dalam proses pembelajaran di perkuliahan. Hal tersebut terlihat dari hasil kuesioner yang diambil pada studi pendahuluan. Rendahnya motivasipun berdampak pula pada hasil belajar mahasiswa yang rendah pula. Pola perkuliahan yang tidak terpusat kepada mahasiswa membawa dampak minimnya keaktifan mahasiswa dalam proses pembelajaran di kelas. Karenanya model pembelajaran yang diterapkan semestinya berubah menjadi terpusat kepada mahasiswa dengan menggunakan materi otentik yang ada di dunia nyata. Kehadiran materi yang berbasis otentik pada pembelajaran membuat pembelajaran menjadi kontekstual sehingga akan mampu menumbuhkan sikap berpikir kritis
60
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
terhadap fenomena-fenomena kebahasaan yang ada pada dunyia nyata atau fenomena kebahasaan yang berlaku sinkronis. Pembelajaran berbasis pemecahan masalah (problem based learning) merupakan metode mengajar dengan fokus pemecahan masalah yang nyata, proses dimana pembelajar didorong untuk lebih aktif terlibat dalam materi pelajaran dan mengembangkan keterampilan berpikir kritis (Arends, 2008). PBL (problem based learning) yang sangat erat hubungannya dengan kemampuan berpikir tinggi (berpikir kritis) dikarenakan pembelajaran ini memadukan antara kemampuan pembelajar dengan topik bahasan maupun lingkungan. Hal tersebut menunut pembelajar untuk aktif berpikir secara terpadu serta kontekstual terhadap masalah-masalah pemahaman yang mereka hadapi (Anitah, 2008). Dalam pendapatnya mengenai PBsL, Duch (1996), Finkle dan Torp (1995) menyatakan bahwa adanya permasalahan nyata sebagai konteks untuk para pembelajar belajar untuk berpikir kritis serta keterampilan memecahkan masalah nyata yang ditemuai dalam kehidupan sehari-hari, dan memperoleh pengetahuan merupakan ciri khas yang dimiliki PBL. Dengan demikian, sangatlah jelas bahwa PBL dirancang untuk membantu pembelajar mengambangkan keterampilan berpikir untuk menyelesaikan masalah dengan melibatkan kamampuan intelektualnya melalui situasi nyata sehingga menjadi pembelajar yang mandiri dan otonomi. Lebih jauh lagi, Stanford (2011) mengungakpakan bahwa PBL mampu membawa mahasiswa untuk bekerjasama dengan kelompok mereka untuk memecahkan masalah yang nyata dan kompleks sehingga dapat mengembangkan isi pengetahuan yang didapatkan sebagaimana mereka memecahkan masalah, menemukan alasan penyebab, berkomunikasi, serta kemampuan untuk menilai diri sendiri. Permasalahan tersebut tentunya dapat mengelola keteretarikan pembelajar terhadap materi yang mereka pelajari dikarenakan mereka menyadari bahwa mereka sedang belajar kemamapauan yang mereka butuhkan agar supaya dapat suskes dalam bidang yang mereka pelajari. PBL dilaksasakan dengan sumsi bahwa proses pembelajaran adalah aktif, terintegrasi, dan melibatkan proses pengonsktruksian faktor-faktor konteks dan sosial (Barrows, 1996; Gijselaers, 1996). Dalam pandangannya, Wilkerson and Gijselaers (1996) menyatakan bahwa PBL bercirikan pembelajaran yang berpusat pada siswa, dimana tugas pengajar adalah sebagai fasilitator dan diseminator yang bertugas untuk menstimulasi dan memberikan batasan dalam proses pembelajaran. Hal itu menegaskan bahwa peran pengajar diharapakan mampu mengembangkan ketertarikan pembelajar terhadap materi yang sedang mereka pelajari, melakukan pengayaan materi, menciptakan situasi kerja kelompok, dan mengarahkan pembelajar untuk mampu menjadi pembelajar yang otonomi. Dalam kaitannya dengan berpkir kritis, dalam PBL pembelajar harus belajar secara sadar terhadap segala informasi yang mereka miliki terhadap permasalahan yang sedang mereka hadapi, serta tentang bagaimana menerapkan strategi guna memecahan masalah tersebut. Memiliki kemampuan dalam menggunakan beragam pemikiran akan membantu pembelajar mampu memecahkan masalah secara efektif dan menjadi pembelajar yang otonomi. Dalam proses inilah, keterampilan berpikir kritis akan muncul, sebagai akibat dari pengetahuan mengenali kemampuan diri sendiri sehingga mampu untuk mencari dan manyadari kebutuhan pengetahuan terhadap apa yang sedang dipelajari. Selain itu, pemilihan dan pengaplikasian strategi dalam memcahkan masalahpun akan menstimuli munculnya kemampuan berpikir kritis berdasaskan faktor konteks dan sosial nyata yang mereka hadapi.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
61
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Dalam memahami informasi dan kenyataan sosial, PBL yang juga bercirikan kerja kelompok dapat menumbuhkan komunitas belajar dimana pembelajar bebas untuk mengomunikasikan ide-ide yang mereka miliki serta menyampaikan pertanyaan-pertanyaan terkait materi yang sedang dipelajari (Allen, Duch, & Groh, 1996). Hal tersebut menunjukkan bahwa ketrampilan berkomunikasi (atau mengomunikasian ide) akan meningkat seiring ketertarikan dan motivasi yang mereka dapatkan dari kelompok dimana mereka terlibat secara aktif dalam sebuah kerja sama yang terpercaya yang dilakukan oleh sesama anggota kelompok. Terhadap hal yang demikian, kerja kelompok akan dapat meningkatkan kemampuan para pembelajar, utamanya mendukung terciptanya proses berpikir kritis. Sejalan dengan hal tersebut, Asmuni et. al (2014) dalam kajiannnya menyatakan bahwa PBL efektif untuk meningkatkan kemampuan analitis pembelajar yang mendukung berkembangnya kemampuan berpikir kritis mahasiswa. Secara umum, banyak pendapat para pakar yang menyatakan bahawa PBL merupakan sebuah metode yang efektif dalam menumbuhkembangkan kemampuan memecahkan masalah kepada para pembelajar. Pembelajar akan membuat sebuah hubungan yang kuat antara konsep teori ketika mereka mempalajari kenyataan dengan kemampuan yang mereka miliki dengan menggunakan informasi yang mereka miliki dengan aktif dari pada hanya menerima informasi secara pasif (Gallaher, 1997; Resnick & Klopfer, 1989). Meskipun pembelajaran yang aktif membutuhkan tugas-tugas tambahan (untuk pembelajar), namun Kingsland (1996) menyatakan bahwa hasil observasinya terhadap proses belajara dengan menggunakan PBL menunjukkan hasil yang memuaskan. Kemampuan pembelajar dalam memecahkan masalah siring dengan tumbuhnya keterampilan memecahkan masalah yang mereka lakukan dalam proses pembelajaran berbasis PBL, kenyataannya mampu menumbuhkan kepercayaan diri pembelajar terutama dalam pemecahan masalah. Hal tersebut juga mendukung tumbuhnya pola belajar mandiri (otonomi). Keterampilan inilah yang nantinya akan sangat membantu mereka dalam dunia kerja yang akan mereka hadapi nantinya. Kepercayaan diri tidak tumbuh dengan sendirinya, karenanya dibutuhkan pengajar yang berfungsi sebagai diseminator, fasilitator yang mengarahkan pembejaran kepadda sebuah situasi pembelajaran yang bagus dimana tercipta hubungan positif antara pengajar dan pembelajar serta antara sesama pembelajar. Kepemilikan pembelajaran akan proses belajar yang mereka lakukan, akan mampu menumbuhkembangkan keterampilan yang mereka miliki yang nantinya akan mampu meningkatkan motivasi dan keterperolehan hasil belajar yang lebih baik (MacKinnon,1999).
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan menggunakan desain eksperimental. Sebuah desain eksperimental digunakan dimana sikap dan prestasi belajar dinilai pada sebelum dan sesudah perlakuan diberikan. Data dikumpulkan pada sebuah instrumen penelitian yang dapat mengukur sikap dan prestasi belajar, serta informasi lainnya dikunpulkan dan dianalisa dengan menggunakan prosedur statistik dan pengujian hipotesis (Creswell, 1994: 22). Senada hal itu, Sugiyono (2012:7) menyatakan bahwa metode penelitian kuantitatif dapat diartikan sebagai metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti pada populasi atau sampel tertentu. Teknik pengambilan sampel pada umumnya dilakukan secara random, pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian, analisis data
62
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
bersifat kuantitatif/statistik dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan (Sugiyono, 2012: 7). Populasi dalam penelitian ini adalah kelas morfologi pada program studi Pendidikan Bahasa Inggris STKIP PGRI Jombang Jawa Timur Indonesia. Sebagai sampel, penelitian ini menentukan dua kelas berbeda yaitu kelas morfologi pada angkatan 2012 A dan kelas morfologi angkatan 2012 B. Tiap-tiap kelompok sampel masing-masing terdiri dari 20 mahasiswa dengan asumsi bahwa mereka memiliki pengetahuan tingkat pengetahuan yang setara berdasarkan uji homogenitas yang dilakukan sebelum penentuan sampel pada studi awal. Sampel tersebut dipilih secara pusposif, dimana purposif sampel menunjukkan bahwa peneliti memandang sampel sebagai seperangkat strategi, memilih siapa, dimana dan bagaimana menjalankan penelitian tersebut (Palys, 2008). Kelas morfologi angkatan 2012 A sebagai eksperimental grup yang mengaplikasikan metode PBL. Sedangkan, kelas morfologi angkatan 2012 B sebagai kelas kontrol yang mengapilkasikan metode diskusi dan ceramah. Pengambilan istrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes tulis yang berisi soal kasus-kasus morfologi yang bersumber dari teks-teks nyata yang ada di kehidupan seharihari. Data hasil pembelajaran kemudian diolah dengan menggunakan independen sampel t-test pada SPSS 16.0 untuk program windows. Pengujian terhadap hipotesis menggunakan prosedur statistik dimana investigator menggambarkan kesimpulan-kesimpulan berdasarkan sampel penelitian (Creswell, 1994: 13). Penelitian ini menggunakan beberapa prosedur sebagai berikut: (1) menentukan permasalahan pemelitian, (2) mentukan hipotesis, (3) memilih sampel, (4) memformulasikan prosedur pengumpulan data, (5) menerapkan PBL kepada kelompok eksperimental, (6) mengumpulkan data dari kedua kelompok sampel, (7) mengolah data yang terdiri dari pengecekan data, pengkalisifikasian data, penilaian dan tabulasi data, (8) menganalisa data secara statistik dengan menggunakan t-test dan, (9) menyimpulkan hasil analisis data.
Hasil Penelitian Pada penelitian ini perlakuan berbeda diterapkan pada kedua kelompok sampel. Pada kelompok eksperimental, beberapa strategi langkah pengejaran dimulai yang diadopsi dari Dion (1996) dengan memperkenalkan sebuah permasalahan (topik tertentu) pada kelas perkuliahan sebelumnya dengan sangat ringkas dan sekilas (unsur-unsur topik yang diperkenalkan tidaklah dijelaskan secara mendetil). Kemudian pada kelas PBL di awal dijelaskan tujuan-tujuan strategi yang digunakan beserta harapan-harapan setelah selesai perkuliahan. Langkah selanjutnya adalah membagi kelas menjadi kelompok-kelompok kecil yang beranggotakan 6 mahasiswa per kelompok. Setelah itu, setiap kelompok diberikan data-data morfologis yang diambil dari koran berbahasa Inggris dengan instruksi beserta soal-soal morfologis yang harus mereka pecahkan. Langkah selanjutnya adalah memberikan kesempatan kepada setiap kelompok untuk berdiskusi. Dalam diskusi tersebut mahasiswa memilih data-data morfologis yang diambil dari teks nyata berdasarkan kemampuan yang dimiliki kelompok. Pada proses selanjutnya, saat kelompok melakukan analisa dan diskusi, dosen memantau perkembanan diskusi dan meluruskan hal-hal yang menyimpang terlalu jauh dari bahasan yang mereka tentukan. Menunjukkan sumbersumber referensi yang bisa diacu. Pada akhir pembelajaran, semua kelompok memaparkan hasil temuan analisa mereka terhadap kasus-kasus morfologi yang mereka pilih serta sumber-sumber referensi yang mereka jadikan dasar. Pada tahapan ini diskusi kelas secara menyuluruh melibatkan semua kelompok Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
63
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
yang ada. Saling memberi masukan ide dan pertanyaan terjadi pada tahapan ini. Kemudian kelas diakhiri dengan menginventarisir data dan hasil analisis dan temuan setiap kelompok beserta strategi pemecahannya, termasuk permasalahan yang muncul dalam kelompok kecil mereka. Kelas eksperimental ini dilakukan selama tiga kali pertemuan yang menyesuaikan terhadap jumlah kelompok dan alokasi waktu perkuliahan. Berbeda dengan kelas kontrol, pembelajaran dimulai dengan brain storming tentang topik yang dibahas. Kemudian diberikan ceramah terhadap materi yang sedang dibahas oleh dosen. Pada tahapan ini mahasiswa hanya berlaku sebagai pendengar. Artinya perkuliahan masih terpusat pada dosen. Tahapan selanjutnya adalah melakukan diskusi klasikal. Pada diskusi ini dosen menyajikan kasus-kasus morfologis dan bersama-sama dengan mahasiswa menganalisa dan memecahkan kasus morfologis yang ada. Hal yang menjadi pembeda yang signifikan pada diskusi yang terjadi adalah mahasiswa tidak menentukan permasalahan atau kasus morfologis yang ada. Kecenderungannya adalah masalah morfologis tersebut merupakan sajian pilihan dosen. Pada akhir pembelajaran dosen mengulas kembali materi yang dibicarakan tanpa memberikan tugas apapun. Kelas ceramah dan diskusi ini berlaku selama 3 pertemuan. Pada pertemuan ke-4 diberikan tes berupa pemecahan dan analisa kasus morfologis secara individu kepada semua sampel penelitian. Penerapan PBL pada kelas eksperimental menunjukkan perbedaaan hasil belajar yang signifikan. Signifikansi tersebut terlihat dari pemerolehan nilai dari hasil post-test yang diberikan kepada kedua kelompok sampel. Hasil tes tersebut sebagaimana terlihat pada tabel berikut: Table 1.1 Kelompok Kontrol (menggunakan PBL) Kelompok Eksperimental Kelompok Kontrol Subyek Nilai No. Subyek Nilai 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
64
A B C D E F G H I J K L M N O P Q R S T
87,50
A1
57,50
85,00 86,00 91,00 79,50 79,00 87,00 88,00 85,50 83,00 84,00 85,00 88,50 85,00 85,00 87,00 87,00 87,00 91,50 85,50
B2 C3 D4 E5 F6 G7 H8 I9 J10 K11 L12 M13 N14 O15 P16 Q17 R18 S19 T20
71,00 75,00 76,50 65,50 75,00 70,50 73,00 65,00 67,50 70,00 72,50 65,00 65,00 67,50 63,00 78,50 71,00 73,50 63,00
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Data pada tabel di atas kemudian di analisa menggunakan SPSS 16.0 untuk program windows dan didapatkan hasil sebagai berikut:
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
65
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Group Statistics kelas Nilai
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
Kelas A
20
85.70
3.063
.685
Kelas B
20
69.05
5.336
1.193
Independent Samples Test
Levene's Test for Equality of Variances t-test for Equality of Means
F
nilai Equal variances Equal variances assumed not assumed 8.430
Sig. T
.006 12.103
12.103
Df Sig. (2-tailed) Mean Difference Std. Error Difference 95% Confidence Interval of Lower the Difference Upper
38 .000 16.650 1.376 13.865 19.435
30.293 .000 16.650 1.376 13.842 19.458
Analisis t-test untuk kedua sampel independen dilakukan dengan asumsi varian yang sama. Maka Ho= kedua sampel adalah identik (PBL dan Ceramah Diskusi adalah sama). Sedangkan Ha= kedua sampel adalah tidak identik ( PBL dan Ceramah Diskusi adalah tidak sama). Berdasakan hasil perhitungan SPSS diperoleh nilai t hitung sebesar 12, 103 dan T tabel untuk taraf signifikansi pada data homgen adalah (sig. > 0.05) yang artinya bahwa ada pebedaan yang signifikan antara hasil belajar kelompok ekperimental (PBL) dengan kelompok kontrol (ceramah diskusi). Dari data t hitung 12,103 > 0.05 juga menunjukkan bahwa efektifitas pembelajaran yang berorientasi (bertolok ukur pada nilai) menyatakan bahwa PBL efektif dalam meningkatkan kemampuan analisa morfologi mahasiswa. Pada kemampuan berpikir kritis, jelaslah tampak bahwa ulasan dan penyimpulan tentang cara-cara yang ditempuh kelompok yang berupa strategi pemecahan masalah, termasuk juga dengan pemilihan berbagai sumber acuan teori yang dipilih terhadap kasus morfologis yang mereka pilih dapatlah pula dikatakan bahwa hal tersebut menunjukkan tingkat berpikir tinggi, yang artinya berpikir secara kritis berdasarkan input sosial (berupa kemampuan kelompok) serta kanyataan kasus morfologis yang dipecahkan.
Rekomendasi 1.
66
Kebutuhan untuk menentukan metode pembelajaran yang tepat sesuai dengan kebutuhan pembelajar sangatlah diperlukan. Utamanya pada kasus pembelajar di tingkatan perguruan tinggi yang seharusnya mampu menerapkan proses berpikir secara kritis terhadap persoalan-persoalan nyata yang mereka temui, sehingga nantinya bisa menunjang karir mereka di dunia kerja.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
2.
3.
Penerapan PBL akan menjadi sebuah mata elang baru dalam mengembangkan proses berpikir kiritis serta kemampuan hasil belajar, terutama dengan menggunakan materi otentik yang ada di dunia nyata. PBL bisa diterapkan dalam berbagai pembelajaran terutama yang menuntut dan mengarahkan pembelajar untuk menjadi pembelajar yang otonom, dalam kaitannya mampu mengenali kemampuan diri sendiri serta kemampuan untuk mengomunikasikan ide-ide baru serta berani untuk manyampaikan klarifikasi terhadap permasalahn yang mereka hadapi.
Daftar Pustaka Allen, D. E., Duch, B. J., & Groh, S. E. 1996. The power of problem-based learning in teaching introductory science courses. In L. Wilkerson & W. H. Gijselaers (Eds.), Bringing problem-based Learning to higher education: Theory and practice.San Francisco: Jossey-Bass. Arrends Richard I. 2008. Learning To Teach edisi ke-7 buku 2. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Asmuni & Hasyim, Khoirul. 2014. Students’ analytical ability toward case and policy on teaching profession through the integration of hard skills and soft skills by using problem-based learning strategy. (a case study on the students of teaching profession class at STKIP PGRI Jombang). Paper on The 7th International Conference on Educational Research: 13-14 September 2014, Faculty of Education, Khon Kaen University, Thailand. P. 903-909 Barrows, H. S. 1996. Problem-based learning in medicine and beyond: A brief overview. In L.Wilkerson & W. H. Gijselaers (Eds.), Bringing problem-based learning to higher education: Theory and practice. San Francisco: JosseyBass. Creswell, J. W. 1994. Research Design : Quantitative And Qualitative Approach. London : Sage Dion, L. 1996. But I teach a large class. Available on-line at: http://www.udel.edu/pbl/cte/spr96-bisc2.html. Finkle, S.L. y Torp, L.L., 1995. Introductory Documents. Illinois Math and Science Academy. Gijselaers, W. H. 1996. Connecting problembased practices with educational theory. In L.Wilkerson & W. H. Gijselaers (Eds.), Bringing problem-based learning to higher education: Theory and practice. San Francisco: Jossey-Bass. Gallagher, S. A.1997. “Problem-based learning: Where did it come from, what does it do, and where is it going?” Journal for the Education of the Gifted, 20 (4), 332-362. Kingsland, A. J. 1996. “Time expenditure, workload, and student satisfaction in roblembased learning.” In L. Wilkerson & W. H. Gijselaers (Eds.), Bringing problem-based Palys, Ted.2008. Purposive Sampling in Lisa M. Given (Ed.).2008. The Sage Encyclopedia of Qualitative Research Methods. Sage: Thousand Oaks, CA, Vol.2, pp.697-698. Resnick, L. B., & Klopfer, L. E. 1989. “Toward the thinking curriculum.” In L. B. Resnick & L. E.Klopfer (Eds.), Toward the thinking curriculum:Current cognitive research (pp. 118). Reston, VA: Association for Supervision and Curriculum Development. Sri Anitah W. dkk. 2008.Strategi Pembelajaran, Jakarta. Penerbit Universitas Terbuka Stanford. 2011. Problem Based Learning. Stanford University Newslwtter on Teaching. Winter, Vol. 11, No. 1 Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
67
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Podcast untuk Meningkatkan Kemampuan Menyimak Mahasiswa STKIP PGRI Jombang Yunita Puspitasari 2 Adib Darmawan 2 & Ida Setyawati 2 ([emailprotected]) Abstract Teaching listening strategies that do not provide training but leaning on listening tests can lead to students’ failure in comprehending aural texts. This article discusses how listening teaching does not turn into listening test. Podcast is chosen as listening teaching material because it has variety of themes, levels of difficulty, inexpensive and easily segmented. Podcast can facilitate students to practice listening strategies. Two cycles of collaborative action research was conducted to find out how to apply Podcast in Listening I. The research findings show that Podcast are not only able to enhance students' listening ability but also increase their active participation during learning activities. The results illustrate procedures in using Podcast as teaching materials that can enhance students’ listening ability. The procedures includes of two instructional stages, namely PrePod and PresPod. Keywords: Podcast, materials, listening ability, teaching listening Abstrak Pengajaran strategi menyimak yang tidak menyuguhkan latihan, tetapi lebih bersandar pada tes menyimak dapat menyebabkan kegagalan memahami teks lisan. Artikel ini mendiskusikan bagaimana pengajaran menyimak tidak menjadi tes menyimak. Podcast dipilih sebagai materi pengajaran menyimak karena podcast memiliki tema yang bervariasi, tingkat kesulitan yang beragam, murah dan mudah disegmentasi. Podcast dapat memfasilitasi mahasiswa untuk berlatih strategi menyimak. Dua siklus penelitian tindakan kolaborasi dilakukan untuk mengetahui bagaimana Podcast digunakan dalam mata kuliah Listening I. Hasil penelitian menunjukan bahwa Podcast tidak hanya dapat meningkatkan kemampuan menyimak mahasiswa, tetapi juga dapat meningkatkan partisipasi aktif mereka dalam kegiatan belajar. Hasil penelitian berupa prosedur pengajaran menggunakan Podcast sebagai materi pengajaran yang dapat meningkatkan kemampuan menyimak mahasiswa. Prosedur tersebut meliputi dua tahap, yaitu PrePod dan PresPod. Kata Kunci: Podcast, materials, listening ability, teaching listening.
Pendahuluan Diskusi tentang pengajaran bahasa, terutama bahasa Inggris, masih tentang bagaimana menciptakan suasana yang nyaman dalam proses belajar mengajar, karena suasana seperti itu dapat memotivasi belajar bahasa. Saepulmillah (2008) berpendapat bahwa motivasi merupakan salah satu faktor kunci yang mempengaruhi keberhasilan siswa dalam belajar bahasa. Dengan demikian, mengajar bahasa Inggris harus disampaikan dalam suasana nyaman yang dapat memotivasi belajar siswa. Dalam rangka membangun suasana tersebut, guru* harus kreatif dan inovatif. Sejalan dengan itu Brown (2007: 68) menyebutkan bahwa teknik pengajaran kelas merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi motivasi dalam belajar bahasa asing. Dengan demikian, guru memiliki peran penting dalam menentukan strategi pengajaran yang efektif dan dapat memotivasi siswa. Guru juga memiliki tanggung jawab untuk mendorong 2
Dosen Pendidikan Bahasa Inggris, STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur
68
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
siswa belajar bahasa Inggris baik di dalam maupun di luar kelas. Guru juga perlu memberikan kesempatan kepada siswa mendapatkan eksposur ke bahasa target. Di antara empat keterampilan berbahasa, menyimak merupakan keterampilan berbahasa yang dapat menampung masukan bahasa dan memfasilitasi siswa untuk belajar bahasa asing. Melalui keterampilan ini siswa dapat memperoleh bahasa. Keterampilan menyimak yang baik membuka lebih banyak kesempatan bagi siswa untuk mendapatkan masukan lebih dari bahasa target, Inggris. Selain itu, menyimak merupakan media komunikasi dengannya pesan ditransfer. Dalam hal ini, menyimak tidak dapat diabaikan begitu saja dalam pengajaran bahasa, serta sebagai media untuk mengkomunikasikan bahasa. Richards dan Renandya (2002: 235) menyatakan bahwa pemahaman melalui menyimak adalah inti dari akuisisi bahasa kedua dan karena itu menuntut perhatian yang jauh lebih besar dalam pengajaran bahasa. Gebhard (2000: 143) bahkan secara langsung menunjukkan bahwa mendengarkan bukanlah keterampilan pasif. Menyoroti pentingnya menyimak, Nations dan Newton (2009: 37) menyatakan bahwa menyimak adalah prekursor alami untuk berbicara. Tahap awal perkembangan bahasa dimulai dengan menyimak. Menyimak dianggap sebagai keterampilan kali pertama, di antara empat keterampilan berbahasa, yang diperkenalkan dalam pembelajaran bahasa. Kegiatan menyimak merupakan proses interaktif, karena itu harus disajikan dalam proses pengajaran sebagai suatu proses interaktif. Dengan demikian, penting untuk mengajarkan menyimak secara efektif. Sayangnya, usaha yang dilakukan dalam menghadirkan menyimak efektif dalam pengajaran menyimak masih sangat kecil (Saha dan Talukdar: 2008). Saha dan Talukdar juga menunjukkan bahwa kesalahpahaman Pendekatan Komunikatif di Bangladesh membuat guru tidak memberikan praktek menyimak yang memadai bagi para siswa. Kasuskasus serupa masih terjadi di beberapa kelas bahasa Inggris di Indonesia, siswa jarang mendapatkan kegiatan menyimak yang dapat membangkitkan motivasi mereka dalam belajar bahasa Inggris. Dalam kelas tersebut guru biasanya hanya duduk dan memainkan kaset sementara siswa mendengarkan dengan keras agar dapat menjawab beberapa pertanyaan. Strategi menyimak jarang disajikan. Tampaknya bahwa karakteristik bahasa alami yang diucapkan sama sekali tidak ada dan praktek menyimak tidak ada.. Masalah lain muncul dari segi materi dan fasilitas belajar. Guru sering mengeluhkan keterbatasan materi dan fasilitas dalam mendukung pengajaran. Khususnya, dalam penelitian ini, penelitian awal menunjukkan bahwa mahasiswa menemukan kesulitan dalam menangkap ucapan-ucapan, tidak terbiasa dengan kosakata lisan, dan gagal untuk mendapatkan tujuan dari teks lisan. Walaupun fasilitas telah memadai, mahasiswa menganggap menyimak itu sulit karena mereka harus menangkap apa yang mereka dengar dalam waktu yang terbatas. Alhasil, mereka lelah dan sulit untuk berkonsentrasi. Mahasiswa mengalami kesulitan dalam mengingat pesan dari apa yang telah mereka dengarkan, jika diberikan kesempatan menyimak yang terbatas; sehingga mereka lemah dalam menangkap pesan lisan. Perlu digaris bawahi bahwa dosen** seharusnya mengajar menyimak bukan menguji menyimak. Sekali lagi, peran dosen sangat penting dalam menentukan bagaimana proses belajar mengajar secara efektif dapat meningkatkan kemampuan siswa menyimak. Brown (2007: 340) menganjurkan guru untuk mengambil peran sebagai fasilitator yang menawarkan bantuan kepada siswa dalam menciptakan sebuah pengajaran yang menarik dan memotivasi. Dengan demikian pengajaran menyimak harus disajikan dengan tepat agar dapat mendukung proses pembelajaran yang bermakna.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
69
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Perkembangan praktek belajar mengajar telah membawa beberapa wawasan bagaimana mengajar menyimak. Sebuah alternatif pengajaran menyimak yang dapat menjawab kebutuhan para siswa adalah penggunaan Internet. Internet menawarkan fitur yang luar biasa untuk pengajaran menyimak. Salah satu dari beragam fitur Internet yang populer untuk mengajar menyimak adalah Podcast. Meskipun ada banyak fitur lainnya yang dapat menjadi sumber yang bagus untuk mengajarkan menyimak seperti Facebook, Webblog, Videocast, dan You-tube, Podcast masih mengungguli dalam pengajaran menyimak. Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa Podcast secara signifikan dapat meningkatkan kemampuan siswa menyimak (Baehaqi: 2009; Juniardi: 2008; Yamarmanto: 2008). Oleh karena itu, di antara alternatif dalam mengajar menyimak sebagaimana disebutkan di atas, penelitian tentang Podcast sebagai strategi alternatif untuk meningkatkan kemampuan menyimak masih perlu dilakukan. Artikel ini menggambarkan bagaimana Podcast diimplementasikan dengan model yang berbeda, dan pada setting dengan fasilitas yang memadai namun dengan input sekolah yang berbeda. Tidak seperti penelitian terdahulu (Juniardi: 2008;Yumarnamto dan Wibowo: 2008; Kavaliauskienė: 2008, Najamuddin: 2009), kali ini Podcast dihadirkan dengan segmemtasi Podcast dan Podcast worksheet yang berisi key concept, self monitoring, 5wh/1h, dan tabel informasi. Kekhususan inilah yang membuat penelitian tentang masih Podcast perlu dilakukan. Gambaran strategi pengajaran menyimak dengan menggunakan Podcast pada artikel ini dikhususkan pada penggunaan Podcast dalam meningkatkan kemampuan menyimak mahasiswa STKIP PGRI Jombang. Artikel ini diawali dengan pembahasan metode penelitian yang digunakan, dilanjutkan dengan paparan hasil penelitan. Berikutnya artikel ini menyajikan pembahasan hasil penelitian, simpulan dan saran.
Metode Penelitian Metode Penelitian Tindakan Kolaboratif digunakan untuk menggambarkan bagaimana strategi tersebut dapat meningkatkan kemampuan menyimak mahasiswa. Penelitian ini mengikuti siklus penelitian tindakan sebagai prosedur penelitian (Koshy, 2005:4); siklus dapat dilihat pada Gambar 1.
Cycle 1 PLAN
Cycle n
Cycle 2 ACT
REVISED PLAN
ACT
REFLECT
REFLECT
OBSERVE
OBSERVE
Gambar 1 Diagram Prosedur Penelitian Tindakan (Kemmis dan Mc Taggart, 2000:595 dikutip dalam Koshy, 2005: 4)
70
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Peneliti bertindak sebagai praktisi dan memulai penelitian dengan melakukan studi pendahuluan. Di sini, kolaborator adalah dua dosen dari Program Studi Pendidikan bahasa Inggris STKIP PGRI Jombang yang membantu peneliti dalam mengamati proses belajar mengajar, administrasi tes menyimak dan kuesioner. Para kolaborator memegang gelar master dari universitas terkemuka dan telah mengajar bahasa Inggris di perguruan tinggi selama lebih dari sepuluh tahun. Peneliti dengan bantuan kolaborator membuat perencanaan. Dengan menggunakan kolaborator, peneliti percaya bahwa temuan akan lebih dapat dipercaya, karena pengumpulan data melalui triangulasi teknik dan sumber data. Subyek penelitian adalah mahasiswa semester tiga STKIP PGRI Jombang. Subjek dipilih karena di kelas ini ditemukan banyak permasalahan berkenaan dengan kemampuan menyimak mahasiswa seperti yang telah dibahas pada pendahuluan. Ada 40 mahasiswa di kelas A yang mengambil mata kuliah Listening I. Kelas ini terdiri dari siswa yang heterogen dalam hal kemampuan menyimak, jenis kelamin, sosial ekonomi, dan etnis, karena pembagian kelas angkatan tahun 2011 dilakukan secara acak dari kelas 2011A sampai dengan kelas 2011F. Penelitian tindakan kolaboratif ini terdiri dari dua siklus, setiap siklus terdiri dari empat pertemuan. Tiga pertemuan adalah pelaksanaan strategi, dan pertemuan terakhir dikhususkan untuk tes hasil belajar. Sebelum pelaksanaan strategi, kriteria keberhasilan telah ditetapkan untuk merefleksikan keberhasilan siklus. Keberhasilan itu ditetapkan pada kemampuan menyimak mahasiswa dan partisipasi mahasiswa selama pelaksanaan strategi. Berdasarkan kriteria keberhasilan, instrumen penelitian dipilih. Data penelitian dikumpulkan melalui tes hasil belajar, daftar periksa observasi, dan catatan lapangan. Tes hasil belajar diberikan untuk memperoleh bukti pada kemampuan menyimak mahasiswa, sementara daftar periksa observasi dan catatan lapangan digunakan untuk merekam partisipasi siswa selama pelaksanaan penggunaan Podcast dalam pengajaran menyimak. Data kemampuan menyimak dianalisis secara kuantitatif untuk melihat poin peningkatan kemampuan yang dinyatakan meningkat jika rata-rata tes hasil belajar mahasiswa melebihi rata-rata tes awal sebanyak 20 poin. Data pada partisipasi siswa dianalisis secara kualitatif, yaitu dengan data reduction, data display dan conclusion drawing. Dua siklus dilakukan, karena pada siklus I peningkatan kemampuan menyimak siswa belum terlihat. Hal ini ditunjukkan oleh rata-rata tes hasil belajar mereka pada siklus 1 yang tidak mencapai 20 poin peningkatan sebagai kriteria keberhasilan, meskipun secara umum pengamatan menunjukkan peningkatan partisipasi mahasiswa. Oleh karena itu, beberapa revisi dibuat dalam hal prosedur pengajaran untuk mendapatkan cara pengajaran yang lebih efektif . Revisi dibuat sebelum pelaksanaan siklus ke dua, antara lain: penggunaan kamus dan pemberian bimbingan dosen secara intens pada tiap kelompok.
Hasil Penelitian Berdasarkan permasalahan yang didapat pada penelitian pendahuluan, diketahui bahwa kemampuan menyimak mahasiswa kurang. Selain itu, data kuesioner tentang proses pembelajaran menyatakan bahwa proses pembelajaran menyimak dan materi pengajaran sebelum adanya tindakan kurang bervariasi. Permasalahan yang muncul tersebut kemudian diatasi dengan memberikan tindakan berupa penggunaan Podcast sebagai sumber materi. Pada Siklus 1, peningkatan partisipasi mahasiswa dalam proses belajar dan pembelajaran belum dapat memenuhni kriteria keberhasilan yang telah ditetapkan. Rerata skor tes hasil belajar menyimak hanya dapat meningkat 11.58 poin. Hal tersebut dikarenakan masih ada 10 mahasiswa denga Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
71
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
poin peningkatan di bawah 10 poin. Akan tetapi, mahasiswa menunjukan anutisasme mereka pada proses pembelajaran di kelas. Mahasiswa mendapati Podcast sebagai media sekaligus sumber belajar yang menarik. Selain itu segementasi Podcast membantu mereka berlatih strategi menyimal. Pada Siklus 2, setelah dilakukan revisi pada langkah-langkah pembelajaran, peningkatan pada kemampuan menyimak tampak jelas dengan rata-rata poin peningkatan 20.31. Kemampuan menyimak mahasiswa sudah dapat menjawab tingkat kemampuan yang ditetapkan pada kriteria sukses. Pada aspek keterlibatan mahasiswa dalam proses belajar mengajar, level kategori partisipasi mahasiswa masuk kategori baik. Dengan kata lain sekitar 26 sampai dengan 35 mahasiswa menunjukkan kontribusi positif pada proses belajar mengajar menyimak dengan menggunakan Podcast.
Pembahasan, Simpulan, Saran Data dari pengamatan menunjukkan bahwa mahasiswa bisa memiliki pemahaman yang lebih baik dengan meminta dosen untuk memutar ulang Podcast. Pengulangan ini bisa dilakukan untuk Podcast utuh atau potongan ucapan-ucapan yang merupakan segmentasi dari file audio Podcast. Harmer (2007:305) menganjurkan bahwa siswa akan mendapatkan lebih banyak manfaat dari pembelajaran menyimak jika materi audio diputar ulang dua kali atau lebih. Dia juga menyatakan bahwa dalam kegiatan menyimak, guru harus memberikan bantuan yang tepat sehingga siswa akan memahami lebih baik dari yang mereka lakukan sebelumnya. Temuan menunjukkan bahwa dalam pembelajaran teks lisan perlu diperdengarkan berulang-ulangan dengan bimbingan dari dosen agar mereka dapat berlatih menyimak secara efektif. Dengan demikian kegiatan menyimak yang membatasi mahasiswa dalam menyimak teks lisan tidak dapat memberikan pengalaman belajar yang bermakan kepada mahasiswa. Dosen dapat memberikan bimbingan bagaimana menyimak yang efektif dengan bantuan segmentasi Podcast. Aktifitas pembelajaran semacam ini tidak mudah dilakukan dengan kaset ataupun CD (Compact Disk). Segmentasi bisa dilakukan dengan CD, tapi tidak semudah seperti memotong file-file Podcast. Hasil penelitian menunjukkan manfaat lebih dari file audio Podcast dibanding dengan kaset atau CD dalam meningkatkan kemampuan menyimak mahasiswa. Podcast merupakan materi pengajaran menyimak yang mudah didapat dan murah. Jika dibandingkan dengan materi menyimak pada kaset ataupun CD, Podcast tentu saja lebih murah. Tidak semua isi materi pengajaran yang ada dalam kaset dan CD sesuai dengan tujuan instruksional pembelajaran sehingga diperlukan biaya lebih, karena untuk memenuhi tujuan instruksional kadang memerlukan lebih dari satu kaset atau CD. Hal lain adalah bahwa meskipun kaset komersial atau CD mudah didapat dan hadir dalam varian tingkat kesulitan dan tema, audio dalam kaset dan CD tidak mudah disegmentasi. Temuan menunjukkan bahwa segmentasi bahan audio Podcast sangat diperlukan untuk membantu mahasiswa berlatih menyimak. Dosen dapat memainkan podcast yang sudah tersegmentasi untuk membantu mahasiswa mengenali potongan-potongan kalimat kunci. Memperdengarkan podcast yang tersegmentasi juga dapat mengubah persepsi mahasiswa bahwa mereka harus mengetahui arti dari semua kata-kata dalam teks lisan untuk memahami pesan teks. Beberapa mahasiswa berpersepsi bahwa setiap kata atau ujaran yand ada dalam teks lisan itu pentingnya. Sayangnya, persepsi seperti ini secara tidak sadar sering dipupuk oleh guru/dosen (Ur, 1996:111). Upaya untuk memahami setiap kata atau ujaran dalam teks lisan sering mengakibatkan pemahaman yang tidak efektif serta perasaan kelelahan dan kegagalan. Ur (1996:112) sependapat bahwa mahasiswa sebaiknya diajarkan 72
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
untuk menyimak efektif, memilih kosakata atau ujaran kunci yang penting dan mengabaikan kosakata yang mungkin dapat diabaikan. Khususnya dalam penelitian ini, Podcast digunakan di kelas secara offline dengan segmentasi. Podcast bisa meningkatkan kemampuan menyimak jika digunakan dalam bentuk segmen dan file utuh, dan dengan mempertimbangkan kebutuhan mahasiswa dan tujuan instruksional. Penggunaan Podcast di kelas semacam ini sejalan dengan apa yang Kavaliauskienė (2008) telah sarankan, bahwa Podcast, pembelajaran secara online, akan lebih baik dalam meningkatkan siswa jika dikombinasikan dengan tatap muka di kelas. Memperdengarkan segementasi Podcast sambil membimbing dan memberikan model bagaimana mendapatkan potongan kata-kata yang tepat, seperti dalam penelitian ini, telah menunjukkan bahwa Podcast yang digunakan secara offline dengan tatap muka, dapat meningkatkan kemampuan mahasiswa. Pada penelitian ini terungkapkan bahwa mahasiswa yang jarang mendengarkan teks lisan otentik masih membutuhkan bimbingan untuk memahami teks dan memperdengarkan file audio dengan berulang-ulang sesuai kebutuhan mahasiswa dapat membantu mahasiswa memahami pesan teks lisan dengan lebih baik. Hal ini mendukung Stanley (2006) dan Beare (2009) bahwa Podcast tetap dapat memberikan keuntungan jika digunakan di dalam kelas, karena Podcast merupakan akses mendapatakan bahasa otentik. Temuan juga menunjukkan bahwa mahasiswa tertarik dengan materi audio baru. Podcast itu menarik bagi para mahasiswa karena berisi bahasa yang otentik diucapkan oleh penutur bahasa Inggris (Kilickaya: 2004). Selama mengajar beberapa mahasiswa bahkan menirukan ucapan-ucapan otentik tersebut. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Juniardi (2008), ia menyatakan bahwa mahasiswa menyukai materi Podcast, karena kontekstual dan otentik. Beberapa penelitian lain (Yumarnamto dan Wibowo: 2008; Kavaliauskienė: 2008, Najamuddin: 2009) juga menegaskan bahwa Podcast dapat mencuri perhatian mahasiswa. Motivasi positif tersebut dapat mendorong pembelajaran mahasiswa. Penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan Podcast sebagai materi pembelajaran dapat memotivasi mahasiswa. Motivasi ini berkontribusi banyak dalam meningkatkan kemampuan mahasiswa (Sapulmillah: 2008, Harmer, 2007:98). Selain itu, penelitian ini juga mengungkapkan bahwa terbatasnya bahan ajar tidak bisa disalahkan, karena Podcast adalah alternatif yang baik sebagai sumber materi. Chinnery (2007) mengatakan Podcast yang dapat memerangi hambatan dalam pengajaran seperti kualitas audio yang buruk dan keterbatasan bahan ajar . Selain itu, Man-Man (2006) menyatakan bahwa dengan imajinasi dan kreativitas, guru bahasa kedua/asing akan mampu melakukan yang terbaik dalam menggunaan teknologi-teknologi baru untuk mengembangkan siswa mereka. Dari temuan dan menyoroti studi sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa penggunaan podcast sebagai materi menyimak mengungguli sumber materi lain seperti kaset dan CD. Dengan keunggulan tersebut Podcast sebagai materi pengajaran menyimak dapat meningkatkan kemampuan menyimak mahasiswa STKIP PGRI Jombang, Hasil penelitian menunjukkan peningkatan kemampuan siswa . Peningkatan nilai tes prestasi mencapai lebih dari 20 poin dan peningkatan partisipasi mahasiswa mencapai kategori baik. Penggunaan Podcast sebagai materi adalah salah satu cara yang tepat untuk mengajarkan dan memberikan kontribusi yang bermanfaat dalam meningkatkan kemampuan siswa dalam memahami teks lisan. Oleh karena itu, prosedur tertentu harus diikuti. Prosedur dibagi menjadi dua yaitu, PrePod dan PresPod. Persiapan sangat penting dalam menerapkan strategi ini. PrePod adalah tahapan persiapan yang dilakukan dalam menguunakan Podcast pada mata kuliah menyimak. Pertama, guru harus Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
73
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
menelusuri untuk mencari Podcast yang sesuai dengan kebutuhan baik mahasiswa dan tujuan instruksional. Kedua, guru harus memanipulasi podcast sehingga mereka siap untuk disajikan di kelas. Manipulasi itu terutama dalam hal segmentasi Podcast yang dapat memfasilitasi mahasiswa dalam memahami teks lisan dan mempraktekkan strategi mereka . Persiapan selanjutnya adalah membuat lembar kerja mahasiswa yang mendukung penyajian materi podcast. PresPod adalah proses presentasi Podcast dalam pembelajaran menyimak. Dalam presentasi, teknik tiga-fase mencakup kegiatan awal, inti dan akhir. Dalam presentasi ini guru harus dapat memfasilitasi para siswa untuk berlatih strategi . Fase-fase itu antara lain: (1) membangun konteks pembelajaran dan melakukan brainstorming, (2) memberikan pertanyaan prediksi pada konteks, (3) memanfaatkan gambar dan membahas tata bahasa dan kosa kata penting yang akan muncul di Podcast, (4) memberikan bantuan personal (5) membiarkan mahasiswa secara intensif mendengarkan Podcast, (6) dan menanggapi kartu yang disediakan dalam lembar kerja, (7) memberikan pemodelan strategi dengan menggunakan Podcast tersegmentasi, (8) diskusi kelompok dan mengidentifikasi informasi dalam teks, (9) diskusi kelas untuk meninjau tugas dalam lembar kerja, dan (10) melakukan refleksi pembelajaran. Studi ini mengungkapkan bahwa Podcast membuat pengajaran menyimak menjadi menyenangkan dan teks lisan mudah dimengerti. Selama proses belajar, mahasiswa terlihat lebih menikmati kelas menyimak dengan Podcast, jika dibandingkan dengan pengajaran konvensional seperti yang biasanya dilakukan sebelum pelaksanaan strategi ini. Dengan kata lain, melalui strategi ini mahasiswa mendapat banyak pengalaman, mahasiswa lebih termotivasi untuk bekerja lebih keras, menciptakan suasana yang positif, dimana belajar berbagi diperoleh dan dibahas secara interaktif. Penggunaan Podcast mendorong kesempatan berinteraksi dan berkomunikasi antara mahasiswa. Podcast juga mendorong mahasiswa mengembangkan strategi menyimak seperti menyimak untuk ide-ide pokok dan detail. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penelitian ini. Penelitian ini hanya mengukur keberhasilan melaui tes kemampuan menyimak mahasiswa dan partisipasi mahasiswa dalam pembelajaran dalam kelas. Kegiatan pembelajaran individu atau menyimak ekstensif hanya untuk melatih pembiasaan belajar mandiri, bukan merupakan variable penelitian. Penelitian ini hanya terfokus pada kegiatan pembelajaran di dalam kelas sehingga peneliti selanjutnya dapat meneliti pada lingkup yang lebih luas. Pada penelitian ini strategi penggunaan Podcast diperkaya dengan adanya lembar kerja yang berisi Key concept, Self Monitoring card, 5Wh dan 1H, dan tabel. Lembar kerja dibuat sesuai kebutuhan mahasiswa karena itu lembar kerja Podcast dapat dibuat dalam bentuk lain. Dengan persiapan yang matang dan kreatifitas dosen lembar kerja Podcast dapat dibuat menarik dan bermakna untuk memfasilitasi mahasiswa mengasah keterampilan berbahasa.
Daftar Pustaka Beare, K. 2009. Introduction to English Listening Podcast. (Online), (http://esl.about.com/od/ englishlistening/a/intro_podcasts.html, accessed October 10, 2009) Brown, H.D. 2007.Teaching by Principle: An Interactive Approach to Language Learning Pedagogy. New York: Longman. Chinnery, G. M. 2007. Going to the MALL: Mobile Assisted Language Learning. Language Learning and Technology, 10 (1): (pp. 9-16)
74
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Gebhard, J.G. 2000. Teaching English as a Foreign or Second Language: A Teacher SelfDevelopment and Methodology Guide, Ann Arbor: Michigan University Press. Harmer, J. 2007. The Pracrice of English Language Teaching. Harlow: Pearson Education Limited. Juniardi, Y. 2008. Improving Students’ Listening Skill through Podcasting Program. Paper presented in Asia TEFL Conference Bali, 23rd August. Kavaliauskienė, G. 2008. Podcasting: A Tool for Improving Listening Skills. (Online). (http://www.iatefl.org.pl/call/j_techie33.html, accessed on 15 November 2009) Kilickaya, F. 2004. Authentic Material and Cultural Content in EFL Classrom. (Online), (http://iteslj.org/Techniques/Kilickaya-AutenticMaterial.html, accessed on 15 November 2009) Koshy, V. 2005. Action Research for Improving Practice. London: Paul Chapman Publishing. Thesis Man-Man, T. 2006. Developing Students’ Listening and Speaking Skills through ELT Podcasts. Education Journal. 34 (2):115-134. Nation, I.S. P. & Newton, J. 2009. Teaching ESL/EFL Listening and Speaking. New York: Routledge. Richard, J.C. & Renandya, W. A. 2002. Methodology in Language Teaching: An Anthology of Current Practice. Cambridge: Cambridge university Press. Saepulmillah, A. (2008). The use of English Pop Songs in the Teaching of Listening at MTs. Pamoyanan Tasikmalaya. (UnPublished Thesis).State University of Malang. Saha, M. & Talukdar, A. R. 2008. Teaching Listening as an English Language Skill. (Online) (http:// httpwww.articlesbase.com/languages/articles/teaching-listening-as-an-englishlanguage-skill/367095.html, retrieved on September 12, 2010) Stanley, G. 2006. Podcasting: Audio on the Internet Comes of Age, TESL-EJ, 9 (4). Ur, Penny. 1996. A Course in Language Teaching: Practice and Theory. Cambridge: Cambridge University Press. Yumarnamto, M & Wibowo, B. H. S. 2008. Podcasts and Videocasts from the Internet to Improve Students’ Listening Skills. Paper presented in Asia TEFL Conference Bali, 23rd August.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
75
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Strategies of Successful and Less Successful Students of English Education Department STKIP PGRI Jombang in Completing Tenses Tasks Erma Rahayu Lestari 3 ([emailprotected]) Banu Wicaksono 3 ([emailprotected]) Abstract Student centered learning as the idea of constructivism theory has become an education research focus. Investigating strategy of learners in completing tenses task, teachers may adjust their teaching method to the students’ need within structure lesson. This research aims at identification of learning strategies used by both successful and less successful learners in completing tenses tasks. Within this case study research, twenty students were selected as subject of the research. They were grouped into successful and less successful learners based on tenses test given previously. They were subjected to perform think aloud and interview sections. The result of this study indicates that successful learners uses cognitive strategies in varied and advanced way they uses elaboration strategy with correct picturing of sentence situation and context. Grouping strategy, which classifies verbs into event or state, is reported to used as well. While less successful learner applies analyzing expression strategy that focus on the time expressions and deduction strategy which lies sentence analysis to tenses patterns. Keywords: learning strategies, successful learners, less successful Abstrak Pengajaran berpusat pada pembelajar dalam teori konstruktivis menjadi focus penelitian pendidikan saat ini. Mengetahui strategi pembelajar yang digunakan untuk menyelesaikan soal tenses akan memberikan informasi cara mereka belajar sehingga penyesuaian dapat dilakukan pada metode pengajaran mata kuliah structure. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui strategi apa yang digunakan oleh pembelajar yang berhasil dan yang kurang berhasil pada saat menyelesaikan soal-soal tenses, Dengan menggunakan metode penelitian case stud, dua puluh orang dipilih menjadi responden dan dibagi menjadi pembelajar yang berhasil dan yang kurang berhasil berdasarkan pada tenses test. Mereka diminta untuk menjalankan think aloud dan interview. Hasil dari penelitian menunjukan bahwa pembelajar yang berhasil menerapkan strategi kognitif mereka dengan cara yang lebih beragam. Mereka menjawab soal dengan elaboration strategy dengan mengilustrasikan situasi dan konteks kalimat. Selain itu mereka juga mengunakan grouping strategy dimana mereka mengklasifikasikan event atau state verbs. Sementara itu pembelajar yang kurang berhasil lebih banyak bergantung pada analyzing expression strategy yang terfokus pada penggunaan keterangan waktu. Selain itu mereka juga banyak menerapkan deduction strategy untuk menganalisa kalimat berdasarkan rumus tenses Kata Kunci: strategi belajar, pembelajar yang berhasil, pembelajar yang kurang berhasil
Introduction Learning strategies are some procedures applied by the learners to facilitate them learning second or foreign language. Oxford (1990: 63) defines learning strategies as “specific actions, behaviors, steps, or techniques --such as seeking out conversation partners, or giving oneself encouragement to tackle a difficult language task -- used by students to enhance their own learning.” The learners are aware that they face difficulties in learning a language. Based on the awareness, they start thinking a set of actions that can ease the difficulty and improve their
3
Dosen Prodi. Pendidikan Bahasa Inggris STKIP PGRI Jombang
76
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
understanding, such as seeking the meaning of words within their dictionary, making conversation with partners, discussing with the teacher and so forth. Learning strategies are good indicators of how learners come up to tasks or problems that appear during the process of language learning. In other words, learning strategies give language teacher valuable clues about how their students assess the situation, plan, select appropriate skills to understand, learn, remember new input presented in the language classroom. However, there are some areas in language learning strategies which remain scarce and researchers are only beginning to make inroads. Anderson (2005:766) writes that there is a great lack in studying learning strategies used by L2 learners to learn and understand the elements of grammar. Grammar is the basis of language, thus mastery of grammar is a prerequisite for effective language learning. Oxford (1990: 17) asserts that grammar is also language skill and it intersects and overlaps with the four language skill in particular way. It is noticed that STKIP PGRI students have problem in grammar learning especially in learning tenses. Students still need to learn tenses since tenses to be one subject that should be mastered as the basis of their knowledge. In practice, STKIP PGRI Jombang English Education Department students are recognized to vary in range from the most successful learners with most excellent scores in English tenses to the unsuccessful one. The various range of students’ achievement, in fact, is apart from the way of teaching. There is a trend in STKIP PGRI Jombang to leave inductive way of teaching and teach students more deductively, including the teaching of tenses in grammar subject. This condition gets the students to learn the lesson more independently. Despite the revision way of teaching, the students’ problem of better understanding in tenses persists. The reason to this issue may lie on the students themselves. Students are not aware that generally they use different strategies while learning English tenses. Therefore, no wonder their achievements in learning are different as well. Brown (2007: 118) assumes that those who are successful use good learning strategies, while those who are unsuccessful may not use them. Learning strategies used by the both group tenses learners may become a good investigation that will uncover the gap between two. Furthermore, besides the learning strategies understanding by the learners, learning strategies in learning tenses should be recognized by the teacher because teacher can help students to optimize their strategies that results to the better tense learning achievement. If teachers are familiar with the learning strategies, they can introduce the strategies or even teach them to the students. Besides teaching the learning strategies, teachers may create a situation in classroom in which the learners can apply better learning strategies. Richard (2001:101) promotes that an institution need to have an analysis for developing curriculum and learners is one of the key factors. Since there is lack awareness of the learning strategies used by students in completing tenses task, the researcher considers to find answer to the following research questions: In what ways do successful and less successful students of English Education Program, STKIP PGRI Jombang differ in their application of learning strategies to complete tenses task?
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
77
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Review of Related Literature The study on grammar learning strategies conducted by Yalçin (2005) purposes in investigating the way of language learners make conscious effort to learn grammar by using language learning strategies; and it also looks at the relationship between strategy use and grammar learning achievement. She finds out that successful second language learners are aware of the strategies they use, but the less successful learners are reported less in using strategies for they do not know how to choose the appropriate strategies. However the research does not show any significant relations between grammar learning strategies to students’ achievement, for the broadness scope of attainments. For that reason, she advices the next researchers to explore more on grammar learning strategies. The next study was done by Choomthong (2011) that investigated Thai EFL learners’ difficulties in learning English passive and the learning strategies they use. She discovers that Thai students are difficult in deciding the situation of when passive voice should be used, in manipulating English tenses into passive, in mastering irregularities, in mastering the syntactic construction of passive voice. Furthermore, she reveals that most of the Thai students, even the competence ones, use translation strategies in learning foreign language. The characteristics of strategies for grammar learning give the perimeter to formulate the grammar learning taxonomy. Since there is no exact taxonomy, we may derive the strategies from the existing ones. Since the strategies from O’Malley and Chamot (1990), and Oxford (1990) are well developed and possible to uncover the learner way of learning, they may use complementary. This research runs with cognitive strategies by O’Malley and Chamot (1990), and Oxford (1990) that meet the strategies for grammar learning characteristics in completing tenses task. Table of Strategies for Learning Grammar Adopted from Gurata (2008) Learning strategies Cognitive Strategies Practicing (Oxford, 1990)
Definition
Elaboration (O’Malley
Relating new information to prior knowledge; relating different
Repeating, formally practicing with sounds and writing systems, recognizing and using formulas, recombining, and practicing naturalistically. Resourcing (O’Malley Using target language reference materials (i.e. dictionaries, and Chamot, 1990) textbooks, etc.) Grouping (O’Malley and Classifying words, terminology, numbers, or concepts according Chamot, 1990) to their attributes. Note Taking (O’Malley Writing down key words and concepts in abbreviated verbal, and Chamot, 1990) graphic, or numerical form to assist performance of a language task. Highlighting (Oxford, Using a variety of emphasis techniques (e.g. underlining, 1990) starring, or color-coding) to focus on important information in a passage Deduction/Induction Applying rules to understand or produce the second language or (O’Malley and Chamot, making up rules based on language analysis. 1990) Imagery (O’Malley and Relating new information to visual concepts in memory via Chamot, 1990) familiar, easily retrievable visualizations, phrases, or locations
78
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
and Chamot, 1990)
parts of the new information to each other; making meaningful personal associations to information presented; using mental or actual pictures or visuals to represent information Transfer (O’Malley and Using previously acquired linguistic and/or conceptual Chamot, 1990) knowledge to assist comprehension or production Inferencing (O’Malley Using available information to guess meanings of new items, and Chamot, 1990) predict outcomes, or fill in missing information Analyzing expressions Determining the meaning of a new expression by breaking it (Oxford, 1990) down into parts; using the meanings of various parts to understand the meaning of the whole expression Analyzing Contrastively Comparing elements of the new language with elements of one’s (Oxford, 1990) own language to determine similarities and differences Translating (Oxford, Using the first language as a base for understanding and/or 1990) producing the second language One part of English grammar is tenses.There is always a question on how many tenses in English are. In the term of grammatical expression, Payne (2011: 280) argues English verbs have three morphological forms that are usually described as present tense (two forms) and past tense. These are reasonable terms, since most of the uses of the forms include the time of speaking and most of the uses of the past tense form have something to do with the past. The tense basic forms as suggested by Payne (2011)are present, future and past tense. Future may includes into present since the future still have relation to the time of speaking or present. Payne (2011: 281) comprises some major usages. Present tense may describe the state of now, habitually over a period of time that includes now, future or the planning of which includes now, possible/ probable conditional future situation, and vivid narrative past. Payne (2011: 281) gives the most common function of past tense that clearly explains the completed situation presented or occurred before the time of speaking. The next paradigm that goes together with tense is aspect. Kroeger (2005: 152) characterizes aspect through the questions Is the situation changing or static? Is the event spread over period of time, or is it thought of as being instantaneous? Does the situation have a definite end point, or is it open-ended? Does the situation involve a single unique event, or an event which is repeated over and over? Based on the aspect characteristics, Kroeger (2005: 152) divides it into lexical aspect and morphological aspect. Lexical aspect focuses on the predicate of a sentence. There are two types of predicate, events and states. The former describes a situation which is changing over time; for example the predicate can be used naturally to answer the question what happened?, the predicate also can normally be expressed in progressive and the predicate in present tense implies habitual interpretation. The later describes a situation which is relatively static or unchanged. Since it is static, it cannot answer the questions what happened? and it only implies temporal state at a particular time. Morphological aspect deals mostly on perfective and imperfective aspects. Payne (2011: 287) says that “in perfective aspect a situation is viewed in its entirely, including its beginning, middle and completion.” English does not have a specific grammatical form to express perspective aspect. On the other hands Payne (2011:288) describes a situation with an ongoing Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
79
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
state or process as imperfective aspect. Habitual, progressive, and iterative aspects are all subtypes of imperative.
Research Method Subjects This study takes STKIP PGRI Jombang as the research site since English grammar is still a subject in English department curriculum. The subject of the study specified to the students who had taken Integrated Course subject previously. There are three classes with 50 up to 60 students each class. They were given grammar test from Azar (2000: 76) with the tenses part focus. Students who met grammar tenses test correct answer above 80% attributed as successful learners, meanwhile less successful learners were students who had tenses grammar test correct answer below 40%. Ten students were selected to be successful learners and ten others were selected to be less successful learners. They were selected since they not only met category score of successful and less successful learners, but they also voluntarily and willingly participated in this study.
Instrument 1. Interview
The interview in this research was semi structured adapted from the learning strategies taxonomy of Oxford (1990) and O’Malley and Chamot (1990). Besides the interview questions are also adapted from SILL (Strategy Inventory for Language Learning) develops by Oxford (1990). The interview was conducted in Bahasa Indonesia since subjects had better understanding to the questions and had better responses in Bahasa Indonesia. The researcher recorded, transcribed, translated, coded and categorized to identify the patterns of the responses. 2. Think aloud Think aloud based on Someren et al (1994: 8) is psychological protocols to obtain the way people run cognitive processes that take place during the problem solving. Think aloud has been adapted to learning strategies research to elicit the invisible brain process in learning. Think aloud were conducted while the subjects were completing a task. During task accomplishment, they were demanded to spoke out aloud to what they were thinking. The task that was used in think aloud protocols was taken from Hashemi with Murphy (2004). The problems were in the form of choosing correct verb form in the brackets within paragraph or conversation as proposed by Brown (2003: 226) that the assessment technique for grammar may represented in the form of tense changing within paragraph. The task was divided into five groups. The first group was dealing with present and present progressive in paragraph; the second was present perfect, and present perfect progressive in dialogue; the third was past and past progressive in paragraph; the fourth was past and past perfect in paragraph; the fifth was future, future continuous or the future perfect in dialogue. Before the think aloud protocols, there was a training session to give knowledge what they were supposed to do in the process. The researchers gave an example with difference questions, after that they practiced think aloud with questions example. The subjects were given opportunity to chose to think aloud in Bahasa Indonesia or in English, and they preferred to use Bahasa Indonesia.
80
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Data Analysis The first stage of data analysis is organizing the data into categories of successful and less successful learner. The next is making the transcription of the recorded verbal data from interview and think aloud protocol. Researcher listened to the recording data then made transcription. She then translated the interview transcript into English. Researcher didn’t translate think aloud transcription to maintain the true content that will be different in meaning as it’s translated. The last is interpreting the data to answer the research questions by comparing the way the strategy implemented by successful and less successful learners. Maintaining data validity, researcher conducts verification process by doing member checking or respondent validation as proposed by Lincoln and Guba (1985: 314). Researcher conducts the process during the interview session when she and the respondents discuss the recorded interview. Respondents are free to comment whether they affirm, add or change their answer.
Result Inferencing cognitive strategy was used when subject made a guess to fill information. Successful learners used inferencing strategy in conjunction with grouping strategies in answering present and present continuous question. “I’m thinking or I think my pronunciation is much better than when I arrived, and I understand almost everything now. Ee… I think my…saya kira ini pakai present simple karena menunjukan sesuatu pendapat… ya…dari kata think.” (I think this uses present simple because it shows an opinion … yes … from the word think) This subject guessed the answer in present tense since he classified the word think to its attribute of state verb. In answering another question, successful learners used inferencing strategy with elaboration strategy. A subject made a guess based on the mental pictures he created. “He has offered or has been offering me some works. Saya kira ini menggunakan has offered atau present perfect karena di kalimat ini Steve telah ee… menawarkan pekerjaan … mm… maksudnya itu saya sudah ditawari maksudnya itu kejadian ini sudah complete jadi menggunakan present perfect.” (I think this uses has offered or present perfect because in this sentence Steve has ee… offered works … mm … it means I have been offered, means that situation has completed so it uses present perfect) He made a guess at the beginning, create a mental picture and ensure himself to approve his guess. He created mental picture by putting himself in the situation from the phrase “it means I have been offered”. In this case elaboration helps him to get the answer. However elaboration strategy failed him once when he didn’t have complete elaboration. “When we arrived or had arrived we arrived or we had oh ini saya kira pakai past perfect dan kemudian pakai reserved or past simple karena yang pertama menunjukan aktifitas itu dilakukan atau sudah terjadi ketika aktifitas yang lainnya sudah terjadi” ( I think this uses past perfectand then I use reserved or past simple because the first one shows the activity that has done when other activity completed) In this case he seemed in rush to complete the question. He didn’t have clear picture of the situation since he couldn’t locate which situation happened first. Successful learners frequently used inferencing with elaboration strategy. When we looked back to his interview data, successful learners studied tenses using elaboration strategy
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
81
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
in the form of making context or situation analysis to the dialogue or sentence examples. Context and situation analysis also helped him to understand tenses usages or functions. The other strategy that helped successful learners completing the task was resourcing. As reported in interview session, he used dictionary and TOEFL book, during think aloud he brought both references on purpose. He looked up tenses explanation twice from TOEFL book. When he used dictionary, he didn’t use it for translating the whole sentence. He use it once as he didn’t know the meaning of suspected in Bahasa Indonesia. Besides resourcing strategy, there were translating and analyzing expression strategies. Translating strategy applied by successful learners when he got difficulty in elaborating the condition of the sentence. After translating, she could locate a word or a phrase with certain attribute so she could determine the next strategy. “Yeah, so every day since then I’ve looked or I’ve been looking at his work online. Jadi setiap hari setelah itu saya melihat… ini saya kira menggunakan present perfect progressive karena ee… di kalimat ini menunjukkan bahwa di kejadian ini telah dilakukan di waktu lampau dan masih terjadi pada waktu sekarang dari kata-kata so every day since then I’ve been looking his work online.”(translating … this I think it uses present perfect progressive because ee… in this sentence shows that this situation had been done in past time and still continuing to the present from the word so every day since then I’ve been looking his work online. She firstly translated the sentence, and then he made a guess from picturing the situation. At the end she made up her mind as she knew the presence of time expression. The strategy for this case may be sequenced in this way: translating, inferencing, elaborating and analyzing expression. She also applied his way in using translating strategy which was completed with other strategies in another question. The strategies she used were in this sequence: translated the sentence, looked up explanation from his book and spotted the time expression. She missed elaborating strategy since she didn’t make any situation analysis, and this failed her to give correct answer. The way how strategy utilized in think aloud had been revealed. The following is the explanation of the use of certain strategy for certain question. Dealing with answering tenses questions, successful learners consistently used inferencing strategy. One subject used to infer first and followed by the supporting information to determine the answer. This caused by his understanding that different tenses should be treated by different strategy. When he answered present and present continuous tense questions set, he applied grouping strategy for some questions with event or state verb option such think or own. As the question didn’t focus on the verb aspect, he used elaboration to analyze the situation, “Mm saya kira ini juga pakai present progressive karena e… di kalimat ini menunjukan temporary action.” (I think this uses present progressive because e … this sentence shows temporary action). He also used analyzing expression strategy to locate the time expression such on weekdays and these days. Those strategies took him to correct answers. For the next question set about present perfect and present perfect continuous, successful learners employed mostly inferencing based on the information form elaboration strategy. They elaborated the event on the sentence whether it is continuing or completed event. The use of the strategy reflects on this statement “saya kira ini menggunakan present perfect karena kejadian ini sudah terjadi … ee is completed.” (I think this uses present perfect because the occasion has
82
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
already happened… ee is completed). Once he used analyzing expression strategy when he spotted time expression so every day since then. Answering past and past continuous tense questions set, one of successful learners used resourcing strategy as he was not sure to his own context analysis. This also happened to the next question set. He seemed experiencing difficulty to answer the two question sets. However he still maintained correct answer for past and past continuous tense from the help of his book. While the next questions set he didn’t go with his book but he only relied on his incomplete elaboration. This made him get wrong answer for some questions. The last questions set were finished using analyzing expression strategy. Successful learners focused his attention on the presence of time expression, “Saya kira ini menggunakan you’ll be doing. Terlihat dari time signalnya this time next Sunday.” (I think this uses you’ll be doing. It is seen from the time expression this time next Sunday). The strategy helped him to get the 3 correct answers and 1 wrong one. From the data of successful learners, it could be concluded that there were several factors that affected his learning tense. The first was the inferencing strategy which was used in conjunction with other strategies. The second was elaborating strategy that could describe the situation or sentence context clearly. The third strategy was the use of analyzing expression that refers to the time expression did not always provide a sentence understanding correctly. The fourth was grouping strategy that gave attribute to the verbs as event or state ones. Similar to successful learners, less successful learners also applied inferencing strategy, however the information they used for guessing came from analyzing expression strategy “I’m thinking or I think my pronunciation is much better than when I arrived, and I understand almost everything now. Disini sudah jelas ada time signal now yang ee… ini ee… mengenai function yang changing situation karena pronunciationnnya much better ee… dan sebelum dia datang jadi jawabannya I’m thinking.” (Here is clear of the existence of time signal now that ee… this ee… it’s about changing situation function because the pronunciation is much better ee … and before he arrived, so the answer is I’m thinking) One of less successful learners inferred the answer was I’m thinking. He used analyzing expression as he gave the meaning of various parts such now as the time expression of present continuous, and much better as the expression of changing situation. His wrong focus in analyzing expression gave his wrong understanding to the whole sentence. Another wrong interpretation when using analyzing expression strategy showed in this quotation: “I think jawabannya itu I’m helping Robbie’s dad karena disini ada time signal yang jelas yaitu on weekdays.(I think the answer is I’m helping Robbie’s Dad because there is a very clear time expression of on weekdays).” She believed that on weekdays was time expression showing progressive events. Less successful learners depended a lot on time expression cues in answering the first questions set about present and present continuous and the second questions set about present perfect and present perfect continuous. They got difficulties to locate time expressions in past and past continuous questions set. They then started to use elaboration strategies in answering past perfect and past tense set of questions. Using elaboration strategy, one of less successful learners made her own mental picture as done by successful learners. She imagined the situation and then determined the answer.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
83
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
“All speakers mm… apa menyiapkan dengan baik. Jadi karena sudah disiapkan dengan baik jadi jawabannya pastilah had prepared dikarenakan sudah lampau. Sudah disiapkan dengan sangat baik jadi menggunakan tenses past perfect.” (All speakers mm … what, prepared well. So, since it had prepared well so the answer must be had prepared because it was in the past. Had been prepared well so it uses past perfect tense.) Here, she tried to imagine the sequences of the situation. She pictured that preparation had to be done long before an occasion and she knew that a situation happened before other situation should use past perfect. When we compare think aloud data and interview data, this subject reported her way of learning that mostly depended on understanding and memorizing tense pattern. During the interview she didn’t report the use of analyzing expression and elaboration strategy. She might take that time expression was the part of tenses pattern, that was why she didn’t especially mentioned it in the interview session. Elaboration strategy in the way of using mental picture in understanding context or situation was never be the preference of less successful learners. Some other strategies applied by less successful learners were deduction/ induction, transfer, translating, resourcing and grouping strategies. The first was used in answering past and past continuous question set. They looked up tenses pattern since they had difficulty in determining sentence form appeared in “while” conjunction. “While her friends were shopping, she was going or went to look round an art gallery. Sedikit membingungkan lagi, mungkin saya harus melihat referensi saya lagi mengenai past progressive. Ee… disini dikatakan setelah while ada ee… was atau were subject plus were atau was plus verbing. Setelah itu baru subject ee… subject plus apa ya… “(a bit confusing, maybe I need to check my references about past progressive. Ee…here stated that after while is ee… was or were subject plus were or was plus verb ing. After that subject ee… subject plus what is it…) This subject checked the pattern of past continuous using while in her own note. This strategy didn’t help her answering this question since she could not understand the use of the tense completely. The next was transfer strategy which was used as she recalled her English course material or used any reference from it. The reference she mentioned in the quotation was her course notes. She used to look up the tense pattern explanation on her course note book instead of target language reference. She preferred to have it because the course note was easier to read. This transfer strategy revealed in her interview data as well. For translating strategy, less successful learners had the same application as successful learners. She translated the sentence to gain understanding and then she applied other strategy. The last two strategies, resourcing and grouping strategies, were not frequently used. Less successful learners also equipped herself with dictionary to looked up words she doesn’t know. While grouping strategies was used once. She realized that the word think might indicate state aspect at the time she completed past and past continuous question. Less successful learners treated every tenses questions set with different application of strategies. Answering present and present continuous question set, most of them only made use of two cognitive strategies, inferencing and analyzing expression strategy. Many times they looked for the time expression at the beginning. When they assumed the inexistence of time expression, they decided the sentence as present tense. However they sometimes misunderstood
84
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
the time expression that got them to the wrong answer, “I think jawabannya itu I’m helping Robbie’s dad karena disini ada time signal yang jelas yaitu on weekdays.” (I think the answer is I’m helping Robbie’s dad because it has clear time signal on weekdays). Less successful learners maintained analyzing expression strategy to the next question set of present perfect and present perfect continuous. Since they got difficulty to locate the time expression, they started to have reference assistance. The strategy they applied didn’t guarantee to get correct answer. For past and past continuous tense questions set, some less successful learners started to analyze the question with various strategies. As one strategy didn’t give any help, they applied different one. But the used of diverse strategy didn’t help them to get certain correct answer. This practice remained to the next. Less successful learners once again made use of analyzing expression for answering the last question set. They recognized some familiar time expression. When they read the time expression completely, they got correct understanding and answer. The other way around, incomplete reading lead them to wrong answer. Do you know what you will do or you’ll be doing this time next Sunday? Disini juga sangat jelas ada next Sunday. Nah jadi jawabannya bisa dipastikan you will do karena next Sunday adalah time signal dari future Here also had a clear time expression next Sunday. So the answer certainly is you will do because next Sunday is future time expression. From the data of less successful learners, it could be concluded that there were several factors that affected her learning tense. The first was recognizing time expression as analyzing expression strategy didn’t help her to get correct answer. The second was deduction/ induction strategy in the form of tenses pattern applicable to sentence also didn’t help her in understanding sentence in certain tenses. The third was elaboration and grouping strategy that need more attention to gain better understanding. In conclusion, successful learners apply some strategies to be the factors for their understanding. The factors are the use of inferencing strategy which was used in conjunction with other strategies, elaborating strategy with correct picturing of sentence situation and context, and grouping strategy which classifying verbs into event or state aspect. Less successful learners apply some strategies to be the factors for their misunderstanding. The factors are analyzing expression that focus on the time expressions and deduction strategy which lies sentence analysis to tenses patterns.
Recommendation Successful learners’ strategies give us cues in conducting tenses teaching. Strategies that need to integrate in teaching tenses are grouping, elaborating, and analyzing expression. Grouping strategy is better to introduce present tenses since there are state and event aspects play important role. Elaborating strategy, then, helps learners to analyze past events by picturing the sequence of situation. While analyzing expression is useful in determining tenses in future.
References Anderson, N.J. 2005. L2 Strategies. In Eli Hinkel (Ed). Handbook of Research in Second Language Teaching and Learning. Pp 757-772. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates Inc. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
85
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Azar, Betty Schrampfer. 2002. Understanding and Using English Grammar 3rd Edition. New York: Pearson Education. Brown, H. Douglas. 2003. Language Assessment Principle and Classroom Practices. California: Long man. Brown, H. Douglas. 2007. Principle of Language Learning and Teaching, fifth edition. New York: Pearson Education Inc. Choomtong, Daranee. 2011. A Case Study of Learning English Passive of Thai EFL Learners: Difficulties and Learning Strategies. The Asian Conference on Language Learning 2011 Oficial Proceeding. 73-87. Gurata, Ali. 2008. The Grammar Learning Strategies Employed by Turkish University Preparatory School EFL Students. Bilkent University. Unpublished. Hashemi, Louise, with Murphy, Raymond. 2004. English Grammar In Use Supplementary Exercises. Cambridge: Cambridge University Press. Kroeger, Paul R. 2005. Analyzing Grammar: An Itroduction. New York: Cambridge University Press. Lincoln, Y., Guba, E. 1985. Naturalistic Inquiry. Sage Publications, Newbury Park, CA. O'Malley, J.M. & Chamot, A.U. 1990. Learning Strategies in Second Language Acquisition. Cambridge. U.K.: Cambridge University Press. Oxford, R.L. 1990. Language Learning Strategies: What Every Teacher Should Know. Boston: Heinle & Heinle. Payne, Thomas E., 2011. Understanding English Grammar: A linguistic Introduction. Cambridge: Cambridge University Press. Richard, Jack C. 2001. Curriculum Development in Language Teaching. New York: Cambridge University Press. Someren, Maarten W., et al. 1994. The Think Aloud Method. A Practical Guide to Modelling Cognitive Processes. London: Academic Press. Yalçin, T.F. 2005. An Analysis of the Relationship between the Use of Grammar Learning Strategies and Student Achievement at English Preparatory Classes. Journal of Language and Linguistics Studies. Vol 1. No.2. 155-169.
86
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Pembelajaran Berbasis Proyek Melalui Program Magang Sebagai Upaya Peningkatan Soft Skills Mahasiswa untuk Matakuliah Akuntansi Yulia Effrisanti 4 ([emailprotected]) Abstract The aim of this research is to know the project based learning through apprentice project can be used to rise up soft skills of student for accounting. This research is class action research with project based learning method. This research is started from define COOP Dikti as a project or task for student. Apprentice has been done for four month and the purpose is student can help owner to improve accounting problem. Monitoring has been done over project. The result of this research shows that over apprentice project, student learn and able to communicate with the owner, deliver the ideas based on the accounting subject of learning, student are able to grow up their confidence, control the emotional or feeling when the idea is delivered and the owner did not accept their idea, improvisation, and work team. The conclusion of this research is project based learning through of apprentice project can be used to grow up the soft skill of students. Keywords: Project based learning, apprentice, soft skills, accounting Abstrak Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah pembelajaran berbasis proyek melalui program magang bisa digunakan sebagai upaya peningkatan soft skills mahasiswa untuk mata kuliah akuntansi. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas dengan menggunakan metode pembelajaran berbasis proyek. Penelitian diawali dengan penentuan program magang COOP Dikti sebagai proyek atau penugasan kepada mahasiswa. Magang dilaksanakan selama empat bulan dengan tujuan mahasiswa bisa membantu pemilik memperbaiki permasalahan akuntansi. Monitoring dilakukan selama proses magang dilaksanakan. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa selama proses magang, mahasiswa belajar dan dituntut untuk bisa berkomunikasi dengan pemilik, menyampaikan pendapat sesuai dengan ilmu akuntansi yang dimiliki, menumbuhkan kepercayaan diri, mengendalikan emosi/ perasaan saat ide yang diberikan kurang berkenan pada pemilik, improvisasi, dan kemampuan bekerja secara tim. Kesimpulan dari penelitian ini adalah pembelajaran berbasis proyek melalui program magang bisa digunakan sebagai upaya peningkatan soft skills mahasiswa. Kata Kunci: pembelajaran berbasis proyek, magang, soft skills, akuntansi
Pendahuluan Perkembangan dunia pendidikan terutama pendidikan tinggi di Indonesia yang meningkat pesat, menyebabkan semakin banyak pula jumlah siswa yang melanjutkan pendidikannya di pendidikan tinggi. Hal ini tentunya mendorong perguruan tinggi untuk meningkatkan kualitasnya termasuk kualitas lulusan atau alumnus dari perguruan tinggi tersebut. Apalagi tuntutan dalam dunia kerja yang akan dimasuki oleh lulusan perguruan tinggi semakin hari semakin tinggi. Seringkali kualitas lulusan perguruan tinggi hanya dilihat dari tingginya nilai indeks prestasi atau hard skills saja. Padahal menurut Djoko Hari Nugroho (2009), hampir semua perusahaan dewasa ini mensyaratkan adanya kombinasi yang sesuai antara hard skills dan soft skills untuk semua posisi karyawannya. Di dunia kerja saat ini, pendekatan hanya pada hard 4
Pendidikan Ekonomi STKIP PGRI Jombang
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
87
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
skills sudah ditinggalkan. Mereka berpendapat bahwa tidak ada gunanya jika seorang karyawan memiliki kemampuan hard skills yang baik, namun soft skillsnya buruk. Hal ini bisa dilihat pada iklan lowongan kerja berbagai yang juga mensyaratkan kemampuan soft skills dalam persyaratan pekerjaannya, seperti team work (bekerja secara tim), kemampuan komunikasi, dan interpersonal relationship (hubungan yang baik dengan rekan kerja). Saat rekruitmen karyawan, banyak perusahaan cenderung memilih calon yang memiliki kepribadian lebih baik meskipun hard skillsnya tidak terlalu tinggi dengan alasan memberikan pelatihan ketrampilan jauh lebih mudah daripada pembentukan karakter. Dari pendapat tersebut bisa disimpulkan bahwa dalam dunia kerja yang dibutuhkan tidak hanya hard skills saja tetapi soft skills juga memiliki peranan yang penting. Apalagi di tahun 2015 ini MEA (Masyarakat Ekonomi Asean) akan dilaksanakan. Dengan pelaksanaan MEA ini, tenaga kerja-tenaga kerja dari negara yang tergabung dalam MEA ini, bisa dengan mudah memasuki atau menduduki posisi yang dibutuhkan oleh dunia kerja di Indonesia. Sehingga persaingan dalam memasuki dunia kerja juga semakin sulit. Oleh sebab itu, seyogyanya perguruan tinggi tidak hanya mempersiapkan lulusannya dengan nilai yang tinggi saja (hard skills), tetapi juga mempersiapkan kemampuan kecerdasan emosional atau soft skills. Pembelajaran berbasis proyek menurut Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu Pendidikan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (2013) adalah metode pembelajaran yang menggunakan proyek/kegiatan sebagai media. Menurut Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu Pendidikan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (2013) pula, salah satu manfaat dari metode pembelajaran ini adalah melibatkan peserta didik untuk belajar mengambil informasi dan menunjukkan pengetahuan yang dimiliki, kemudian diimplementasikan dengan dunia nyata. Adapun ketrampilan yang diperoleh diantaranya adalah kemampuan bekerja dengan baik dengan orang lain, membuat keputusan bijaksana, mengambil inisiatif, memecahkan masalah yang kompleks. Ketrampilan-ketrampilan tersebut merupakan suatu perwujudan dari soft skills yang seyogyanya dimiliki oleh mahasiswa. STKIP PGRI Jombang sebagai satu-satunya sekolah tinggi ilmu keguruan yang ada di kota Jombang Jawa Timur, telah menyadari adanya kebutuhan dalam dunia kerja tersebut. Meskipun sekolah tinggi ini tujuan utamanya adalah mencetak tenaga guru yang berkualitas, tetapi juga mempersiapkan lulusannya untuk bekerja di bidang non kependidikan. Dalam meningkatkan hard skills dari mahasiswa, cara yang dilakukan diantaranya dengan memberikan materi atau kegiatan akademik yang sesuai dengan kebutuhan dunia pendidikan dan dunia kerja saat ini, sehingga pemahaman mahasiswa akan materi yang ada dikurikulum cukup baik. Sedangkan untuk meningkatkan soft skills, mahasiswa diarahkan pada kegiatan non akademik seperti mengikuti kegiatan himpunan mahasiawa prodi (HMP), seminar, kewirausahaan, magang dan praktek kerja lapangan (PPL). Untuk mendorong mahasiswa lebih aktif lagi dalam meningkatkan soft skills ini, mulai tahun 2014 kemarin, keaktifan mahasiswa ini juga dijadikan dasar pertimbangan dalam nilai kelulusan mahasiswa. Misalnya untuk mahasiswa yang aktif dalam kegiatan organisasi intra kampus, memiliki sertifikat kegiatan, seminar ataupun mengikuti program magang, mendapatkan nilai yang lebih dibandingkan dengan mahasiswa yang tidak mengikuti kegiatan apapun. Pada tahun 2014 STKIP PGRI Jombang berkesempatan menerima hibah Dikti untuk melakukan program magang yang dikenal dengan istilah program COOP dimana mahasiswa melaksanakan magang di UKM dengan jangka waktu 4 bulan. Adapun tujuan dari program ini 88
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
sesuai dengan pedoman program COOP tahun 2014 salah satunya adalah peningkatkan kemampuan mahasiswa dalam mengimplementasikan materi-materi yang didapat selama perkuliahan dalam kehidupan nyata atau dunia kerja dimana dalam program ini lokasinya adalah di UKM yang ada di Jombang. Dalam program magang tahun 2014 ini, bidang yang dituju adalah pemasaran dan akuntansi, yang sesuai dengan mata kuliah yang ada di sekolah tinggi ini. Mata kuliah akuntansi pada program studi pendidikan ekonomi STKIP PGRI Jombang dilakukan dua kali yaitu pada semester I untuk pengantar akuntansi, dan semester III untuk akuntansi keuangan. Selama ini proses pembelajaran untuk mata kuliah akuntansi hanya dalam perkuliahan di kelas sehingga yang terasah adalah hard skills atau kemampuan akademik dari mahasiswa. Oleh karena itu, dengan adanya program COOP ini, diharapkan juga bisa mengasah soft skills mahasiswa untuk hal-hal yang berkaitan dengan akuntansi. Penentuan bidang akuntansi dipilih berdasarkan pada kebutuhan dari UKM itu sendiri. Mayoritas permasalahan yang ada di UKM adalah dalam bidang pemasaran dan akuntansi. Sehingga program magang ini salah satunya difokuskan pada bidang akuntansi agar UKM juga mendapatkan manfaat dari program magang COOP ini dengan adanya peningkatan sistem tata kelola keuangan pada UKM. Karena program magang COOP Dikti ini dilaksanakan pada sepuluh UKM dengan jumlah mahasiswa peserta sebanyak 15 orang, maka pada penelitian ini dibatasi pada pelaksanaan magang satu mahasiswa pada bidang akuntansi, dengan penempatan lokasi di UKM yang bergerak di bidang perdagangan busana yaitu butik Layla Collection. Adapun rumusan masalah untuk penelitian ini adalah apakah pembelajaran berbasis proyek melalui program magang COOP Dikti bisa digunakan sebagai upaya peningkatan soft skills mahasiswa untuk mata kuliah akuntansi. Sedangkan tujuannya adalah untuk mengetahui apakah pembelajaran berbasis proyek melalui program magang COOP Dikti bisa digunakan sebagai upaya peningkatan soft skills mahasiswa untuk mata kuliah akuntansi.
Landasan Teori Pembelajaran berbasis proyek menurut Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu Pendidikan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (2013) merupakan metode belajar yang menggunakan masalah sebagai langkah awal dalam mengumpulkan dan mengintegrasikan pengetahuan baru berdasarkan pengalamannya dalam beraktifitas secara nyata. Adapun keuntungan pembelajaran berbasis proyek menurut Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu Pendidikan Kementrian dan Kebudayaan (2013:3) adalah : 1. Meningkatkan motivasi belajar peserta didik untuk belajar, mendorong kemampuan mereka untuk melakukan pekerjaan penting, dan mereka perlu untuk dihargai 2. Meningkatkan kemampuan pemecahan masalah 3. Membuat peserta didik menjadi lebih aktif dan berhasil memecahkan problem-problem yang kompleks 4. Meningkatkan kolaborasi 5. Mendorong peserta didik untuk mengembangkan dan mempraktikkan ketrampilan komunikasi 6. Meningkatkan ketrampilan peserta didik dalam mengelola sumber
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
89
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
7. Memberikan pengalaman kepada peserta didik pembelajaran dan praktik dalam mengorganisasi proyek, dan membuat alokasi waktu dan sumber-sumber lain seperti perlengkapan untuk menyelesaikan tugas 8. Menyediakan pengalaman belajar yang melibatkan peserta didik secara kompleks dan dirancang untuk berkembang sesuai dunia nyata 9. Melibatkan para peserta didik untuk belajar mengambil informasi dan menunjukkan pengetahuan yang dimiliki, kemudian diimplementasikan dengan dunia nyata 10. Membuat suasana belajar menjadi menyenangkan, sehingga peserta didik maupun pendidik menikmati proses pembelajaran Sedangkan langkah-langkah operasional dalam pembelajaran ini adalah : 1. Penentuan pertanyaan mendasar 2. Menyusun perencanaan proyek 3. Menyusun jadwal 4. Monitoring 5. Menguji hasil 6. Evaluasi pengalaman Program kerja praktik (magang) menurut Chandra suharyanti, dkk (2013) adalah suatu kegiatan pembelajaran di lapangan yang bertujuan untuk memperkenalkan dan menumbuhkan kemampuan mahasiswa dalam dunia kerja nyata. Sedangkan menurut Sumardiono (2014:43) magang adalah proses belajar dari seorang ahli melalui kegiatan di dunia nyata. Jadi intinya program magang merupakan kegiatan pembelajaran yang dilakukan untuk mendapatkan pengalaman dalam berkontribusi dan berkarya di kehidupan nyata. Dengan demikian diharapkan setiap mahasiswa mampu mengikuti dan memahami kegiatan kerja yang dilakukan di dunia usaha sehingga mahasiswa tersebut mendapatkan sesuatu yang baik dan berguna bagi dirinya serta mampu menunjukkan kinerjanya secara maksimal. Selain itu dapat membentuk mental motivasi mahasiswa sebagai tenaga kerja yang siap kerja dan mampu mandiri serta berjiwa pekerja keras, jujur, bertanggungjawab, serta ulet dalam bekerja (Chandra Suharyanti,dkk, 2013:4). Program magang COOP Dikti sendiri sudah dilakukan sejak tahun 2004. Tapi sejak tahun 2009, magang ini lebih ditekankan pada Usaha Kecil Menengah (UKM). Menurut buku pedoman program COOP 2014 yang dikeluarkan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Perguruan Tinggi, program ini merupakan program yang menginterasikan berbagai latar belakang ilmu yang di dapat di bangku kuliah dengan pengalaman nyata dunia usaha. Adapun sasaran program COOP (2014) menurut buku pedoman program COOP ini adalah : 1. Mendidik mahasiswa agar memiliki jiwa wirausaha, ulet dan kreatif, bertanggung jawab dan mampu bekerjasama 2. Meningkatkan kualitas lulusan perguruan tinggi khususnya kesiapan dalam menghadapi dunia kerja. 3. Menciptakan hubungan kerjasama yang baik antara mahasiswa, perguruan tinggi, dan UKM 4. Membantu dan mendorong UKM agar lebih mandiri, sehat, dan berdaya Adapun soft skills menurut Djoko Hari Nugroho (2009) merupakan ketrampilan yang lebih banyak terkait dengan sensitivitas perasaan seseorang terhadap lingkungan di sekitarnya. Sedangkan yang dimaksud dengan soft skills menurut Chandra Suharyanti dkk (2013) yaitu kemampuan-kemampuan yang tidak terlihat pada diri setiap manusia yang dapat berkembang
90
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
seiring pengetahuan tentang yang ada dalam diri setiap orang tersebut tentang bagaimana menjalani hidupnya dan mengantisipasi setiap masalah yang dihadapinya saat itu. Secara garis besar soft skills bisa digolongkan ke dalam dua kategori yaitu intrapersonal dan interpersonal skills (Djoko Hari Nugroho, 2009:119). Intrapersonal skill mencakup self awareness (self confident, self assessment, trait & preference, emotional awareness) dan self skill (improvement, self control, trust, worthiness, time/source management, proactivity, conscience). Sedangkan interpersonal skills mencakup social awareness (political awareness, developing others, leveraging diversity, service orientation, emphaty), dan social skill (leadership, influence, communication, conflict management, cooperation, team work, sinergy). Haryono Jusup (2005:4) mendefinisikan akuntansi dari dua sudut pandang yaitu sudut pandang pemakai jasa akuntansi dan sudut pandang proses kegiatannya. Ditinjau dari sudut pemakainya, akuntansi dapat didefinisikan sebagai suatu disiplin yang menyediakan informasi yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan secara efisien dan mengevaluasi kegiatankegiatan suatu organisasi. Informasi yang dihasilkan akuntansi diperlukan untuk : i. Membuat perencanaan yang efektif, pengawasan dan pengambilan keputusan oleh manajemen ii. Pertanggungjawaban organisasi kepada para investor, kreditur, badan pemerintah, dan sebagainya. Sedangkan definisi akuntansi dari sudut proses kegiatannya yaitu sebagai proses pencatatan, penggolongan, peringkasan, pelaporan, dan penganalisisan data keuangan suatu organisasi. Definisi ini menunjukkan bahwa kegiatan akuntansi merupakan tugas yang kompleks dan menyangkut bermacam-macam kegiatan. Didalam akuntansi, suatu transaksi harus dicatat secara debet dan kredit. Antara debet dan kredit ini harus sama jumlahnya. Hal ini terdapat dalam rumus pokok persamaan akuntansi yaitu harta (aktiva) merupakan jumlah dari kewajiban (utang) dan kekayaan bersih (modal). Atau bisa dituliskan sebagai berikut : Harta (aktiva) = Kewajiban (utang) + Kekayaan bersih (modal) Dengan memahami rumus ini, diharapkan akan dapat menganalisis debet dan kredit dengan benar. Dan untuk selanjutnya, tidak akan mengalami kesulitan dalam menjurnal atau menganalisis transaksi. Secara umum, siklus akuntansi bisa dilihat pada Gambar1sebagai berikut : Transaksi Bukti-bukti Transaksi Jurnal
Buku Besar
Sub buku besar
Neraca Lajur Laporan Keuangan Gambar 1 Siklus akuntansi
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
91
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Dalam praktik akuntansi yang sesungguhnya, pencatatan atas suatu transaksi atau sekelompok transaksi yang sama, harus didasari oleh tanda bukti berupa dokumen-dokumen transaksi seperti faktur, kwitansi, dan lain sebagainya. Pengaruh masing-masing transaksi ini dianalisis dahulu pengaruhnya terhadap elemen-elemen persamaan akuntansi. Hasil analisis transaksi tersebut dituangkan dalam suatu alat pencatatan yang disebut jurnal (Al Haryono Jusup, 2005:120). Jurnal adalah alat untuk mencatat transaksi perusahaan yang dilakukan secara kronologis (berdasarkan urutan waktu terjadinya) dengan menunjukkan rekening yang harus didebet dan dikredit beserta jumlah rupiahnya masing-masing. Setelah diposting atau dicatat di jurnal, maka dilakukan pencatatan ke buku besar. Buku besar terdiri dari bermacam-macam rekening dan merupakan sumber data untuk menyusun laporan keuangan (Tuti Trisnawati, 2009:36). Setelah itu, dibuatlah jurnal penyesuaian agar rekening-rekening menunjukkan saldo yang tepat untuk periode yang bersangkutan. Kemudian dibuatlah neraca lajur yang berfungsi untuk mempermudah penyusunan laporan keuangan. Neraca lajur adalah suatu kertas berkolomkolom (berlajur-lajur) yang dirancang untuk menghimpun semua data akuntansi yang dibutuhkan pada saat perusahaan akan menyusun laporan-laporan keuangan dengan cara yang sistematis (Al.Haryono Jusup, 2005:232). Dengan selesainya neraca lajur, maka penyusunan laporan keuangan akan menjadi lebih mudah karena dalam neraca lajur ini memuat semua informasi yang diperlukan untuk menyusun neraca dan laporan laba rugi yang merupakan elemen dari laporan keuangan. Laporan keuangan, paling tidak terdiri dari tiga laporan yaitu neraca, laporan laba rugi, dan laporan perubahan modal. Al Haryono Jusup (2005:21-25) mendefinisikan neraca, laporan laba rugi, dan laporan perubahan modal sebagai berikut: o Neraca adalah suatu daftar yang menggambarkan aktiva, kewajiban, dan modal yang dimiliki oleh suatu perusahaan pada saat tertentu o Laporan laba rugi adalah laporan yang dibuat untuk menggambarkan hasil operasi perusahaan dalam suatu periode waktu tertentu o Laporan perubahan modal adalah laporan yang dibuat untuk menggambarkan alasan yang menjadi penyebab terjadinya perubahan jumlah modal pemilik.
Metode Penelitian Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas. Penelitian dilakukan pada satu orang mahasiswa program studi pendidikan ekonomi peserta magang Dikti pada UMKM di Jombang yang bergerak di bidang perdagangan busana dengan fokus pada bidang akuntansi. Magang ini dilakukan selama empat bulan yaitu mulai akhir Juli hingga akhir November 2014. Sedangkan proses pembuatan laporan akhir program magang dilakukan satu minggu setelah program magang berakhir. Indikator yang digunakan untuk melihat adanya peningkatan pada soft skills mahasiswa adalah intrapersonal skills (meningkatnya kepercayaan diri mahasiswa, kemampuan mengelola emosi, improvisasi) dan interpersonal skills (meningkatnya kemampuan berkomunikasi dengan orang lain/pemilik usaha, kemampuan bekerja secara tim). Penelitian diawali dengan penentuan pertanyaan mendasar yaitu bagaimana pelaksanaan proses akuntansi di UMKM. Dilanjutkan dengan menyusun perencanaan proyek yaitu dengan menentukan program magang COOP Dikti sebagai sarana untuk mengetahui dan memperbaiki pelaksanaan proses akuntansi di UMKM yang telah ditentukan. Kemudian dilanjutkan dengan penyusunan jadwal magang. Program magang dilakukan mulai 21 Juli-21 November 2014. Selama proses magang berlangsung, dilakukan monitoring antara peneliti dengan peserta magang dengan frekuensi satu minggu sekali untuk membahas perkembangan dan kesulitan 92
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
yang dihadapi peserta dalam proses magang. Langkah berikutnya adalah menguji hasil yang diperoleh dari program magang mulai dari pengumpulan data, kedisiplinan, pengolahan dan penyajian data. Dan yang terakhir adalah mengevaluasi pengalaman yang diperoleh selama proses magang berlangsung.
Hasil Penelitian Pembelajaran ini dimulai dengan penentuan pertanyaan mendasar mengenai bagaimana pelaksanaan proses akuntansi di UMKM. Dari sini disusunlah rencana menggunakan program magang Coop Dikti sebagai upaya peningkatan soft skills mahasiswa terutama di bidang akuntansi. Magang pada penelitian ini dilakukan pada UKM butik Layla Collection yang berlokasi di Jl Kusuma Bangsa Jombang Jawa Timur. Pada minggu pertama, yang dilakukan adalah mengobservasi sistem yang telah ada atau telah dilaksanakan pada UKM tersebut. Dari sini bisa ditemukan apa saja yang sudah berjalan dengan baik dan apa yang harus diperbaiki. Dari hasil observasi, didapatkan temuan bahwa UKM ini telah melakukan pembukuan secara teratur meskipun tidak terlalu rapi. Selama ini yang melakukan proses akuntansi adalah pemiliknya sendiri. Sedangkan untuk pencatatan setiap transaksi pengeluaran, dilakukan oleh pegawai dari butik tersebut yang bertugas pada saat itu. Hal ini karena pegawai pada butik ini dibagi menjadi dua shift. Pencatatan pengeluaran ini dijadikan satu buku dengan pencatatan penjualan dan pembelian. Pengeluaran untuk UKM dan pribadi kadangkala juga masih tidak terpisah. Proses akuntansi yang dilakukan selama ini adalah secara manual. Berdasarkan dari temuan-temuan yang didapat pada saat observasi, mahasiswa mengkomunikasikan beberapa saran dan perbaikan selama proses magang kepada pemilik UKM. Terkait dengan pembukuan yang belum rapi, mahasiswa berinisiatif untuk merapikan pembukuan yang ada. Pemilik butik menyambut baik hal ini karena sebenarnya pemilik juga berniat untuk memperbaiki hanya saja masih belum ada kesempatan. Untuk pencatatan penjualan dan pembelian, akhirnya dipisahkan. Dalam perbaikan ini, mahasiswa ikut memberikan kontribusi atau berimprovisasi mengenai kolom-kolom apa saja yang perlu ditambahkan dalam buku tersebut dan cara pencatatan agar terlihat rapi dan mudah dibaca serta dipahami. Selain itu mahasiswa belajar meningkatkan kepercayaan dirinya untuk mengaplikasikan ilmu yang diperoleh di bangku kuliah dan juga belajar berkomunikasi dengan orang lain untuk menyampaikan pendapatnya . Pencatatan transaksi akuntansi sebelum prsoses magang bisa dilihat pada gambar 2 dan pencatatan transaksi akuntansi setelah adanya proses magang mahasiswa terlihat pada gambar 3.
Gambar 2 Pencatatan transaksi akuntansi sebelum program magang Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
93
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Gambar 3 Pencatatan transaksi akuntansi setelah program magang Dalam proses magang ini, mahasiswa mengetahui adanya kekeliruan dalam penggunaan istilah retur. Dalam catatan pemilik, yang dimaksud retur adalah pemakaian barang dagangan untuk pemilik butik sendiri padahal penggunaan istilah retur yang benar adalah pengembalian barang dagangan yang dibeli karena adanya cacat barang. Mahasiswa mencoba mengkomunikasikan kekeliruan istilah ini kepada pemilik, namun ternyata pemilik tidak berkenan untuk mengubah kekeliruan tersebut. Sehingga sampai proses magang berakhir, tidak ada perbaikan dalam pengertian retur. Pada kasus ini, mahasiswa juga mempelajari cara menyampaikan pendapat dan berkomunikasi dengan orang lain tanpa bermaksud untuk menggurui. Selain itu, mahasiswa juga mempelajari mengelola emosi atau berbesar hati karena saran yang disampaikan tidak diterima oleh pemilik. Pada bulan September, pemilik UKM meminta mahasiswa untuk melakukan analisa atas penjualan bulanan selama 2014. Permintaan ini disambut dengan baik oleh mahasiswa untuk menunjukkan kemampuan menganalisa data. Bahkan mahasiswa berinisiatif memberikan warna yang berbeda setiap tiga bulan untuk diagram batang penjualannya sehingga analisa lebih mudah dilakukan. Hasil ini bisa dilihat pada gambar 4. Mahasiswa tidak hanya membuatkan diagram batang hasil penjualan saja tetapi juga melakukan analisa misalnya mengapa di bulan Juli penjualannya tinggi sedangkan di bulan Juni penjualannya lebih sedikit dibandingkan bulan Juli. Dari kasus ini, bisa meningkatkan kepercayaan diri yang dimiliki mahasiswa karena mahasiswa merasa memiliki kemampuan yang diakui oleh orang lain. Selain itu mahasiswa juga belajar cara bekerja sebagai suatu tim meskipun tim tersebut hanya terdiri dari mahasiswa tersebut dan pemiliknya serta cara menyampaikan pendapat atau inisiatif kepada orang lain. Disini juga terlihat adanya improvisasi dari mahasiswa yaitu dalam pemberian warna untuk bulan-bulan tertentu agar lebih mudah dalam melakukan analisa.
94
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Gambar 4 Hasil diagram batang analisa penjualan Untuk pengeluaran pribadi dan UKM yang kadangkala tidak terpisah, mahasiswa menyarankan kepada pemilik untuk dipisah agar sesuai dengan standar akuntansi. Pemilik menyambut baik saran dari mahasiswa dan akhirnya memisahkan antara pengeluaran pribadi dengan UKM. Dengan diterimanya saran ini, mahasiswa merasakan adanya peningkatan kepercayaan diri karena ilmu yang didapat di bangku perkuliahan bisa diimplementasikan. Hal ini juga tidak terlepas dari kemampuan mahasiswa untuk berkomunikasi dengan pemilik. Adanya pemutihan yang dilakukan setahun dua kali oleh pemilik barang. Tujuan dari pemutihan ini adalah untuk mencocokkan stok/persediaan barang antara catatan dengan barang yang ada. Dengan dilibatkannya mahasiswa pada kegiatan ini, menambah pengetahuan mahasiswa mengenai cara menghitung stok/persediaan barang yang tentunya bisa meningkatkan kepercayaan diri mahasiswa dan kemampuan dalam bekerja secara tim karena dalam melakukan pemutihan ini dilakukan bersama-sama dengan karyawan yang lain. Terakhir, mahasiswa memberikan pandangan mengenai akuntansi yang terkomputerisasi dengan menggunakan program SmEA (Smart Excell Accounting). Pemilik menginginkan mahasiswa untuk memberikan contohnya. Dan ternyata pemilik berkenan atas akuntansi yang terkomputerisasi ini sehingga mahasiswa pun membuatkan akuntansi yang terkomputerisasi dengan menggunakan program SmEA ini. Contoh dari akuntansi terkomputerisasi yang dibuat oleh mahasiswa bisa dilihat pada gambar 5. Hanya saja, pemilik menghendaki akuntansi komputerisasi ini untuk jurnal harian dan buku besar saja. Meskipun demikian, hal ini meningkatkan kepercayaan diri mahasiswa karena merasa memiliki kemampuan dalam bidang ilmu akuntansi yang berguna bagi pemilik UKM meskipun tidak semua proses akuntansi bisa dibuatkan komputerisasinya.
Gambar 5 Hasil pencatatan akuntansi terkomputerisasi
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
95
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Dari kegiatan-kegiatan yang dilakukan selama proses magang ini, terlihat bahwa mahasiswa tidak hanya menerima perintah dari pemilik saja. Tetapi juga memberikan saran pada pemilik UKM walaupun tidak semua saran tersebut bisa diterima. Dengan memberikan saran, mahasiswa merasakan adanya peningkatan kepercayaan diri, peningkatan kemampuan untuk berkomunikasi dan bernegosiasi dengan pemilik UKM, mengasah kemampuan berimprovisasi, dan meningkatkan kemampuan bekerja secara tim. selain itu, terdapat peningkatan kemampuan mengelola emosi mahasiswa sehubungan dengan tidak diterimanya saran yang diberikan. Tahap monitoring dilakukan selama proses magang berlangsung. Secara rutin, setiap satu minggu atau dua minggu sekali mahasiswa berkomunikasi untuk menyampaikan perkembangan-perkembangan maupun kesulitan-kesulitan yang dihadapi selama berada di tempat magang. Tahap berikutnya dari proses pembelajaran berbasis proyek adalah memberikan penilaian atas tugas yang telah diberikan kepada mahasiswa. Penilaian ini diberikan berdasarkan kedisiplinan dalam hal ini kedisiplinan mahasiswa untuk datang ke tempat magang dan melaksanakan tugasnya sesuai dengan jadwal, keaktifan mahasiswa dalam memberikan sumbangan tenaga dan pemikiran mengenai akuntansi selama proses magang ini serta pertanggungjawaban mahasiswa atas kegiatan yang dilaksanakan baik secara tertulis maupun secara lisan. Dari kriteria-kriteria tersebut, peneliti sebagai dosen pemberi tugas memberikan nilai 85 atau nilai A kepada mahasiswa tersebut. Tahap terakhir adalah mengevaluasi pengalaman yang telah diperoleh. Dari proses magang ini, mahasiswa mendapatkan pembelajaran proses akuntansi yang ada di dunia kerja secara nyata. Mulai dengan data yang berasal dari transaksi, membuat jurnal, buku besar, serta membuat analisa dari data-data penjualan yang ada. Bahkan mahasiswa berinisiatif untuk membuat proses akuntansi menggunakan komputer dengan program excell (SmEA). Selain mendapatkan tambahan ilmu akademis (hard skills) atas kegiatan magang COOP Dikti ini, mahasiswa juga mendapatkan peningkatan soft skillsnya yang berupa peningkatan kepercayaan diri, peningkatan dalam mengelola emosi, peningkatan berimprovisasi, peningkatan kemampuan berkomunikasi dengan pemilik, dan peningkatan kemampuan bekerja secara tim.
Simpulan Metode pembelajaran berbasis proyek adalah metode belajar yang menggunakan masalah sebagai langkah awal dalam mengumpulkan dan mengintegrasikan pengetahuan baru berdasarkan pengalamannya dalam beraktifitas secara nyata. Salah satu cara adalah melalui program magang, dimana dalam penelitian ini program magang yang digunakan adalah program magang COOP Dikti. Dari proses magang yang telah dijalani, ternyata mahasiswa mendapatkan banyak manfaat dalam meningkatkan soft skillsnya. Adapun manfaat yang diperoleh adalah mahasiswa bisa meningkatkan kemampuan berkomunikasi dengan orang lain dalam menyampaikan pendapat atas pengetahuan ilmu akuntansi yang diperoleh dalam perkuliahan. Hal ini juga meningkatkan kepercayaan diri mahasiswa bahwa mereka memiliki keahlian dalam bidang akuntansi yang berguna bagi orang lain. Kemampuan soft skills lainnya yang diperoleh selama proses magang COOP Dikti ini adalah kemampuan untuk bekerja secara tim, kemampuan berimprovisasi, dan kemampuan dalam mengelola emosi mahasiswa bilamana pemilik tidak berkenan atas saran yang disampaikan.
96
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Daftar Pustaka Jusup,Al Haryono. 2005. Dasar-dasar Akuntansi jilid II. Penerbit STIE YKPN Yogyakarta Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan Dan Penjaminan Mutu Pendidikan. 2013. Model Pembelajaran Berbasis Proyek (Project Based Learning). Diambil pada tanggal 25 Maret 2015 dari http://docs.google.com/document Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan. 2015. Pedoman Umum Program Belajar Bekerja Terpadu (Program COOP) Nugroho,Djoko Hari. 2009. Integrasi Soft Skill Pada Kurikulum Prodi Elektronika Instrumentasi-STTN Untuk Persiapan SDM PLTN. Seminar Nasional V SDM Teknologi Nuklir Yogyakarta. Diambil pada tanggal 17 Maret 2015 dari jurnal.sttn-batan.ac.id/wpcontent/uploads/2010/03/A-14_ok.pdf Suharyanti,Chandra, Wiedy Murtini, Tutik Susilowati. 2013. Pengaruh Proses Pembelajaran dan Program Kerja Praktek Terhadap Pengembangan Soft Skills Mahasiswa. Diambil pada tanggal 17 Maret 2015 dari download.portalgaruda.org/article=172534&val=4074 Sumardiono. 2014. Apa Itu Homeschooling. Penerbit PT. Gramedia Trisnawati,Tuti. 2009. Akuntansi untuk Koperasi dan UKM. Penerbit Salemba Empat Widiatmoko dan S.D. Pamelasari. 2012. Pembelajaran Berbasis Proyek Untuk Mengembangkan Alat Peraga IPA Dengan Memanfaatkan Bahan Bekas Pakai, Jurnal Pendidikan IPA Indonesia. Diambil pada tanggal 25 Maret 2015 dari http://journal.unnes.ac.id/ index.php/jpii
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
97
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Pengaruh Penggunaan Media Jejaring Sosial Edmodo terhadap Partisipasi Mahasiswa dalam Diskusi Kelas pada Materi Ajar Teoretis dan Praktis Asmuni 5 ([emailprotected]) Wiwin Sri Hidayati 6 ([emailprotected]) Abstract This study aimed in obtaining empirical evidence of: (1) the influence of using social network media Edmodo to student participation in class discussions on teaching materials which are theoretical and practical; (2) the relationship between the use of social network media Edmodo with student participation in class discussion on the theoretical teaching materials; (3) the relationship between the use of social network media Edmodo with student participation in class discussion on practical teaching materials. This research is experimental study by using a factorial design. Variables consists two independent variables, namely the use of social media Edmodo (x1) and without the use of Edmodo (x2). The dependent variable consists of two variables, namely the participation of students in a class discussion on the theoretical teaching material (y1), and practical (y2). The experiment was conducted in STKIP PGRI Jombang, East Java, Indonesia. The study population is students participating in the course Philosophy of Education in odd semester academic year 2014/2015, there are 186 students. Samples were taken by using random sampling 174 students. Data collection techniques uses authentic assessment techniques. The data analysis techniques uses multivariate analysis of variance (MANOVA) using SPSS v.16.0 for Windows. The research proves that (1) there is the influence of social network media use Edmodo to student participation in class discussions on teaching materials which are theoretical and practical; (2) there is a relationship between the use of social network media Edmodo with student participation in class discussion on the theoretical teaching materials; (3) there is a relationship between the use of social network media Edmodo with student participation in class discussion on practical teaching materials. Keywords: edmodo, participation, discussion, theoretical, practical. Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh bukti empiris tentang: (1) pengaruh penggunaan media jejaring sosial Edmodo terhadap partisipasi mahasiswa dalam diskusi kelas pada materi ajar teoretis dan praktis; (2) hubungan antara penggunaan media jejaring sosial Edmodo dengan partisipasi mahasiswa dalam diskusi kelas pada materi ajar teoretis; (3) hubungan antara penggunaan media jejaring sosial Edmodo dengan partisipasi mahasiswa dalam diskusi kelas pada materi ajar praktis. Penelitian ini adalah jenis penelitian eksperimen dengan desain faktorial. Variabel penelitian terdiri dari dua variabel independen, yaitu penggunaan media jejaring sosial Edmodo (x1) dan tanpa Edmodo (x2). Variabel dependen terdiri dua variabel, yaitu partisipasi mahasiswa dalam diskusi kelas pada materi ajar teoretis (y1), dan praktis (y2). Penelitian dilaksanakan di STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur. Populasi penelitian adalah mahasiswa peserta matakuliah Filsafat Pendidikan pada semester gasal tahun akademik 2014/2015 yang berjumlah 186 mahasiswa. Sampel diambil dengan teknik random sampling sebanyak 174 mahasiswa. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik assesment otentik. Teknik analisis data menggunakan analisis varian multivariat (MANOVA) dengan aplikasi SPSS v.16.0 for windows. Hasil penelitian membuktikan bahwa (1) terdapat pengaruh penggunaan media jejaring sosial Edmodo terhadap partisipasi mahasiswa dalam diskusi kelas pada materi ajar teoretis dan praktis; (2) terdapat hubungan antara penggunaan media jejaring sosial Edmodo dengan partisipasi mahasiswa dalam diskusi kelas pada materi ajar teoretis; dan (3) terdapat hubungan antara penggunaan media jejaring sosial Edmodo dengan partisipasi mahasiswa dalam diskusi kelas pada materi ajar praktis. Kata Kunci: edmodo, partisipasi, diskusi, teoretis, praktis. 5 6
Dosen Program Studi PPKn, STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur Dosen Program Studi Pendidikan Matematika, STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur
98
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Pendahuluan Sistem pembelajaran merupakan bagian penting untuk mampu menghasilkan lulusan yang berdaya saing tinggi. Sistem pembelajaran yang baik mampu memberikan pengalaman belajar kepada mahasiswa untuk membuka potensi dirinya dalam menginternalisasikan knowledge, skills dan attitudes serta pengalaman belajar sebelumnya (Ilah Sailah, dkk., 2014). Permendikbud No. 49 Tahun 2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi, telah mengharuskan sistem pembelajaran di perguruan tinggi berbasis pada capaian pembelajaran (Pasal 5, 6, 7), serta proses pembelajarannya memiliki karakteristik yang mencerminkan sifat interaktif, holistik, integratif, saintifik, kontekstual, tematik, efektif, kolaboratif, dan berpusat pada mahasiswa (Pasal 11 ayat (1)). Oleh karena itu pola pembelajaran di perguruan tinggi yang terpusat pada dosen (Teaching Centered Learning) dinilai sudah tidak memadai lagi, dan harus diubah menjadi berpusat pada mahasiswa (Student Centered Learning) (Ilah Sailah, dkk., 2014). Di sisi lain, teknologi informasi dan komunikasi (ICT) semakin berkembang dan semakin terjangkau oleh dosen dan mahasiswa. Komputer/laptop dan internet, misalnya, bukan lagi sebagai sesuatu yang asing bagi mereka. Hal ini sangat memungkinkan untuk memanfaatkan ICT sebagai media/teknologi pembelajaran, seperti untuk penerapan model blended learning (kombinasi pembelajaran tatap muka dengan pembelajaran melalui internet), atau sebagai penunjang (support/complement) pembelajaran. Model pembelajaran ini memiliki beberapa keunggulan, antara lain dapat meningkatkan pedagogi, akses dan fleksibilitas, serta efektifitas dan efisiensi (Graham, 2009). Apalagi belakangan ini tersedia banyak aplikasi berbasis internet, seperti email, web blog, facebook, twitter, instagram, line, watsap, BBM, fb massanger, dan lain-lain yang mudah diakses secara gratis. Namun pada umumnya beberapa fasilitas ini hanya dimanfaatkan sebagai jejaring sosial (social network) saja, meskipun fasilitas itu memang disediakan sebagai media jejaring sosial (dan bisnis), tetapi dengan kreativitas dan inovasi guru/dosen dapat dimanfaatkan untuk keperluan pendidikan dan pembelajaran. Pada prinsipnya media jejaring sosial adalah media pertukaran yang dinamis (dynamic exchange) antar orang, kelompok, dan institusi dalam lingkungan yang kompleks, dan memiliki karakteristik instrinsik sesuai dengan maksud penggunanya, antara lain membantu komunikasi, bertukar informasi, menambah teman, atau bahkan untuk modus berbagai kejahatan. Karakteristik instrinsik inilah yang memungkinkan dapat diubah pemanfaatannya sebagai sarana yang ideal untuk meningkatkan proses pendidikan, di samping ia memang menyediakan berbagai manfaat untuk setting pendidikan. Seperti facebook dapat di-setting untuk keperluan pendidikan, yaitu melalui fasilitas pengelolaan group, tetapi terdapat kelemahan masalah privasi, sehingga tidak cocok untuk sarana pembelajaran kelas (Arroyo, 2011), meskipun facebook juga menyediakan pengaturan privasi. Berbeda dengan media jejaring sosial Edmodo, meskipun seperti Facebook, tetapi Edmodo merupakan media jejaring sosial bersifat pribadi yang menyediakan platform yang aman untuk pembelajaran kelas (Arroyo, 2011), karena fitur Edmodo disesuaikan dengan kebutuhan pembelajaran menyediakan fasilitas khusus untuk guru/dosen (Teacher), siswa/mahasiswa (Student), dan orang tua (Parent), pengaturan kelas (groups) beserta code/PIN-nya secara khusus, fasilitas diskusi (post), tugas (assignment), ujian (quiz), polling, dan sebagainya. Dengan demikian media jejaring sosial Edmodo lebih efektif untuk diskusi kelas (group) daripada Facebook, meskipun Edmodo tidak menyediakan fasilitas ataupun tautan untuk teleconference.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
99
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Polling yang dilakukan peneliti (Teacher) bulan September 2014 terhadap mahasiswa (Student) group Filsafat Pendidikan, pada umumnya merespon positif. Data menunjukkan 22,99% votes menyatakan sangat setuju (SS) bahwa diskusi melalui "Edmodo" dapat meningkatkan keterampilan komunikasi interpersonal secara tertulis, 77,01% menyatakan setuju (S), 0% yang menyatakan tidak setuju (TS) dan sangat tidak setuju (STS). Ini artinya bahwa diskusi melalui media jejaring sosial Edmodo dapat meningkatkan ketrampilan komunikasi interpersonal. Namun ironisnya, media jejaring sosial Edmodo kurang dikenal dan kurang digunakan oleh guru/dosen untuk keperluan pembelajaran, terlebih lagi siswa atau mahasiswanya (Thongmak, 2013). Hal ini menunjukkan, bahwa dalam kasus Thailand (Thongmak, 2013) khususnya, dan di Negara-negara berkembang lainnya, termasuk Indonesia, penggunaan media jejaring sosial Edmodo sebagai media/teknologi pembelajaran belumlah sampai pada predikat memuaskan. Di sisi lain (pengalaman peneliti), tingkat partisipasi mahasiswa dalam diskusi kelas (aktivitas pembelajaran tatap muka) di masing-masing kelas relatif rendah, bahkan kadang hanya didominasi oleh mahasiswa tertentu yang memiliki kemampuan komunikasi lisan baik, sementara mahasiswa lainnya tidak jarang pula hanya sebagai pendengar setia, diam sambil menonton temannya yang penuh semangat mendiskusikan materi perkuliahan. Oleh karena itulah penelitian ini bertujuan untuk memperoleh bukti empiris tentang: (1) pengaruh penggunaan media jejaring sosial Edmodo terhadap partisipasi mahasiswa dalam diskusi kelas pada materi ajar teoretis dan praktis; (2) hubungan antara penggunaan media jejaring sosial Edmodo dengan partisipasi mahasiswa dalam diskusi kelas pada materi ajar teoretis; (3) hubungan antara penggunaan media jejaring sosial Edmodo dengan partisipasi mahasiswa dalam diskusi kelas pada materi ajar praktis.
Landasan Teori Media jejaring sosial Edmodo lahir setelah media jejaring sosial Facebook berkembang pesat jumlah penggunanya. Hampir setiap orang yang memiliki jaringan internet, baik komputer (PC), laptop, tablet, atau ponsel pasti mengenal dan mungkin memiliki account Facebook. Edmodo diciptakan oleh Nic Borg dan Jeff O'Hara pada akhir tahun 2008. Borg & O’Hara menyadari kebutuhan lingkungan sekolah untuk berkembang memenuhi tuntutan dunia abad ke21. Keberhasilan platform jejaring sosial sebelumnya, seperti MySpace dan Facebook, menunjukkan bahwa banyak siswa sebagai pengguna media jejaring sosial tersebut tetapi aktivitas mereka tidak terhubung dengan belajar dan pembelajaran di sekolah. Borg & O'Hara percaya bahwa jejaringan sosial diarahkan pada kebutuhan peserta didik bisa memberi dampak besar terhadap bagaimana mereka berkolaborasi, dan belajar dalam dunia mereka, daripada mengandalkan setting guru mereka di sekolah (Gushiken, 2013). Jadi bisa dikatakan bahwa Edmodo merupakan media jejaring sosial yang dipersiapkan untuk belajar dan pembelajaran bagi guru dan siswa, dosen dan mahasiswa, sehingga tercipta sistem pembelajaran yang inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Terbukti, lebih dari 18 juta pengguna (2008-2013), Edmodo berhasil mengumpulkan pujian dari guru dan siswa. Guru menggunakan Edmodo untuk mengirim pengumuman dan tugas bagi siswa mereka. Siswa menggunakan Edmodo untuk berkomunikasi dengan guru-guru mereka untuk bertanya tentang pelajaran dan pekerjaan rumah, dan berkolaborasi dengan sesama siswa pada kegiatan dan ide-ide proyek. Di samping itu lingkungan Edmodo bebas dari iklan, game, dan gangguan lain yang mungkin mengganggu belajar siswa (Gushiken, 2013).
100
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Karakteristik media jejaring sosial Edmodo dapat pula dipahami dari fitur-fitur yang disediakan. Fitur Edmodo berbasis pengguna, yaitu guru/dosen (Teacher), siswa/mahasiswa (Student), dan orang tua (Parent), sehingga fitur-fiturnya pun disesuaikan dengan kebutuhan pendidikan dan pembelajaran, yaitu fitur: (a) Groups, digunakan oleh Teacher untuk mengelompokkan students berdasarkan kelas, mata kuliah/pelajaran, atau lainnya yang dilengkapi dengan code PIN masing-masing. (b) Alert, digunakan oleh Teacher untuk memberi pesan penting/khusus. (c) Assignment, digunakan oleh Teacher untuk memberi tugas kepada students. Fitur ini dilengkapi dengan batas waktu (deadline) dan attach file (melampirkan file) sehingga students dapat mengunduh dan/atau mengirim laporan tugas dalam bentuk file kepada Teacher. (d) Quiz, digunakan oleh Teacher untuk memberi assesmen beserta batas waktu penyelesaiannya. (e) Gradebook, digunakan oleh Teacher untuk memberi nilai students dari hasil Assignment dan Quiz. (f) Polling, digunakan oleh Teacher untuk mengetahui respon student tentang sesuatu yang terkait dengan pelajaran dan proses pembelajaran (umpan balik). (g) File and Links, digunakan oleh Teacher dan students untuk mengirim pesan dan link pada group. (h) Library, digunakan untuk menyimpan dan menyebarkan berbagai sumber belajar kepada students maupun group. (i) Parents Codes, berfungsi untuk memberi kesempatan kepada orangtua/wali masing-masing students untuk invite sehingga dapat memantau aktivitas belajar anaknya. Contoh fitur-fitur Edmodo dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah ini.
Gambar 1: Fitur-fitur pada ‘Home’ Edmodo (edmodo.com) Fitur yang tersedia pada aplikasi jejaring sosial Edmodo tersebut sangat memungkinkan peluang bagi mahasiswa untuk meningkatkan penguasaan substansi mata kuliah dan kemampuan komunikasi interperpersonal. Sebab edmodo telah menyediakan fitur untuk posting dan reply (seperti facebook), sehingga dosen dengan mahasiswa, atau mahasiswa dengan mahasiswa, dapat berinteraksi secara tertulis mengenai seputar perkuliahan (lihat Gambar 2).
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
101
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Gambar 2: Fitur posting dan reply Edmodo (edmodo.com) Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa pendekatan diskusi yang dihasilkan meningkat kuat dalam jumlah bicara mahasiswa dan bersamaan pengurangan jumlah bicara dosen, serta perbaikan substansial dalam pemahaman teks (Murphy, et al., 2009). Artinya partisipasi mahasiswa dalam diskusi kelas dapat meningkat seiring peningkatan kemampuan komunikasi interpersonal, begitu juga sebaliknya. Dasar pemikiran teoritis untuk menjelaskan peran diskusi kelas (sebagai strategi pembelajaran) sebagian besar dari teori sociocognitive dan sosial budaya. Menurut Piaget, interaksi sosial adalah sarana utama untuk mempromosikan penalaran individu. Demikian pula Vygotsky, pembelajaran dipahaminya sebagai proses budaya. Menurut Wertsch, Del Rio, dan Alvarez sebagaimana dikutip oleh Murphy, et al (2009), menjelaskan bahwa ketika mahasiswa berinteraksi dengan orang lain dalam kelompok dengan cara yang mendalam dan bermakna, maka temuan yang dihasilkan berada di luar kemampuan dan disposisi dari mahasiswa secara individual. Mahasiswa ke diskusi membawa nilai sosial dan budaya yang unik, latar belakang pengalaman, dan pengetahuan sebelumnya dan asumsi. Melalui interaksi, mahasiswa menggabungkan cara berpikir dan berperilaku, bahwa pengetahuan, keterampilan, dan disposisi yang diperlukan untuk mendukung transfer ke situasi lain memerlukan pemecahan masalah independen. Dengan demikian secara teoretis, proses interaksi atau komunikasi interpersonal yang dihasilkan dari proses diskusi, baik melalui diskusi dalam media jejaring sosial Edmodo maupun diskusi kelas (tatap muka), terdapat hubungan dan saling berpengaruh. Meskipun harus dipahami pula bahwa masih banyak variabel (faktor) lain yang harus dipertimbangkan, terutama kemampuan ICT mahasiswa.
Metode Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksperimen dengan menggunakan desain faktorial (factorial design), karena penelitian ini bertujuan untuk menentukan efek dari perlakuan dua variabel independen terhadap dua variabel dependen (Gall, Gall & Borg, 2007; Miller, 1996). Varibel independen (x) terdiri dari dua variabel, yaitu variabel uji (x1) dan 102
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
variabel kotrol (x2). Variabel uji (x1) adalah penggunaan media jejaring sosial Edmodo, dan variabel kontrol (x2) adalah tanpa penggunaan media jejaring sosial Edmodo. Variabel kontrol (experimental control) diperlukan untuk menghindari ‘pengganggu’ (intervening variable) agar dapat memastikan bahwa satu-satunya variabel yang yang berubah secara sistematis adalah variabel uji (x1), sekaligus untuk meminimalkan variasi acak dalam data sehingga dapat menyoroti pengaruh variabel uji (x1) tersebut (Miller, 1996). Demikian juga variabel dependen (y) juga terdiri dari dua variabel, yaitu partisipasi mahasiswa dalam diskusi kelas pada materi ajar teoretis (y1), dan materi ajar praktis (y2). Kedua variabel dependen ini mengacu desain tindakan berulang (repeated measures design) dari Miller (1996), dimana variabel y2 merupakan tindakan berulang dari variabel y1. Artinya, bahwa variabel y2 (materi ajar praktis) merupakan penerapan dari varibel y1 (teori dari aliran Filsafat Pendidikan) berupa kajian atau analisis kritis terhadap masalah-masalah aktual dan faktual pendidikan (dan pembelajaran) di Indonesia. Varibel y1 dilaksanakan pada paruh semester pertama (sebelum ujian tengah semester), sedangkan variabel y2 dilaksanakan pada paruh semester kedua (sesudah ujian tengah semester). Penelitian dilaksanakan di STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia. Populasi adalah mahasiswa peserta matakuliah Filsafat Pendidikan pada semester gasal tahun akademik 2014/2015 (September 2014 s.d Februari 2015) yang berjumlah 186 mahasiswa yang dikelompokkan ke dalam 4 (empat) kelas pararel. Pembelajaran pada empat kelas ini diperlakukan sama, yaitu sama-sama diterapkan strategi pembelajaran diskusi kelompok kecil (small group discussions) di luar jam perkuliahan (terstruktur), dan presentasi dalam diskusi kelas (class discussion), serta diskusi umum (semua kelas) dalam media jejaring sosial Edmodo di luar jam perkuliahan sebagai perkuliahan mandiri. Karena bersifat mandiri, maka diskusi umum dalam media jejaring sosial Edmodo sifatnya tidak wajib, sehingga hanya sebagian yang aktif dan sebagian lainnya tidak invite di media jejaring sosial Edmodo. Sampel diambil dengan teknik random sampling, dengan ketentuan bahwa yang menjadi sampel penelitian adalah mahasiswa (populasi) yang aktif mengikuti diskusi kelas (perkuliahan tatap muka) minimal 90% dari total pertemuan, dengan tanpa memandang jenis kelamin dan segala latar belakangnya. Ketentuan sampel ini sengaja dibuat oleh peneliti dengan maksud agar sampel dengan aktivitas belajar yang relatif sama sehingga dapat diperoleh data yang relatif homogin. Dari hasil analisis dokumen (presensi) dan laporan penilaian presentasi dari teman sekelas diketahui bahwa mahasiswa yang memenuhi kriteria sampel (sebelum maupun sesudah tengah semester) sebanyak 174 mahasiswa, terdiri dari 89 mahasiswa aktif berdiskusi dalam media jejaring sosial Edmodo dan 85 mahasiswa tidak invite. Metode pengumpulan data menggunakan asesmen otentik dalam bentuk laporan proses (reporting process) presentasi dan diskusi kelas yang (antara lain) berisi nama dan NIM (Nomor Induk Mahasiswa) yang berpartisipasi aktif dalam setiap diskusi kelas. Adapun analisis data menggunakan metode analisis varian multivariat (multivariate analysis of variance) atau MANOVA. Hal ini beralasan bahwa dalam penelitian ini varian yang dibandingkan berasal dari dua variabel terikat (dependent) dan dua variabel bebas (independent), variabelnya bersifat acak, maka yang paling efektif untuk uji statistiknya adalah MANOVA (Miller, 1996; Izenman, 2008; Jobson; 1991), dengan menggunakan aplikasi SPSS v.16.0 for windows.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
103
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Hasil Penelitian Asumsi MANOVA bahwa varian tiap-tiap variabel dependen adalah sama (homogen). Demikian pula matriks varian/covarian dari variabel dependen adalah sama. Homoginitas varian maupun matriks varian/covarian dari variabel dependen merupakan syarat penggunaan uji statistik MANOVA (Miller, 1996; Izenman, 2008; Jobson; 1991). Dalam penelitian ini uji homogenitas varian tiap-tiap variabel dependen menggunakan uji Levene’s sebagaimana disajikan pada Tabel 1 sebagai berikut: Tabel 1 Uji Levene’s (Homoginitas varian tiap-tiap variabel dependen) Levene's Test of Equality of Error Variancesa F
df1
df2
Sig.
Y1
.122
1
172
.727
Y2
8.787
1
172
.003
Tests the null hypothesis that the error variance of the dependent variable is equal across groups. a. Design: Intercept + X
Pada Tabel 1 terlihat bahwa hasil uji Levene’s menunjukkan bahwa nilai Fy1 = 0,122 pada signifikansi 0,727 dan nilai Fy2 = 8,787 pada signifikansi 0,003. Jika pada uji MANOVA ditetapkan probabilitas signifikansi 0,05 berarti variabel y1 tidak signifikan karena Sig.y1 = 0,727 > 0,05 yang berarti bahwa variabel y1 memiliki varian yang homogen sesuai dengan asumsi MANOVA. Namun pada variabel y2 ternyata signifikan karena Sig.y2 = 0,003 < 0,05 yang berarti bahwa variabel y2 tidak homogen dan menyalahi asumsi MANOVA. Meskipun demikian syarat uji MANOVA dinilai masih kuat (robust) dan bisa dilanjutkan analisisnya. Sedangkan uji homogenitas matriks varian/covarian dari variabel dependen menggunakan uji Box’s M sebagaimana disajikan pada Tabel 2 sebagai berikut: Tabel 2 Uji Box’s M (Homoginitas matriks varian/covarian dari variabel dependen) Box's Test of Equality of Covariance Matricesa Box's M
5.842
F
1.923
df1
3
df2
5.713E6
Sig.
.123
Tests the null hypothesis that the observed covariance matrices of the dependent variables are equal across groups. a. Design: Intercept + X
Pada Tabel 2 terlihat bahwa nilai Box’s M = 5,842 pada signifikansi 0,123. Jika pada uji MANOVA ditetapkan probabilitas signifikansi 0,05 berarti Sig.Box’s M = 0,123 > 0,05 maka hipotesis nol diterima. Dengan demikian dapat diputuskan bahwa matriks varian/covarian dari variabel dependen memiliki varian yang homogen, sehingga uji MANOVA memenuhi syarat
104
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
untuk dilanjutkan. Dengan kata lain, bahwa uji MANOVA pada penelitian ini “lulus” uji homogenitas sehingga layak dijadikan metode analisis data (uji statistik). Berdasarkan hasil uji MANOVA terbukti bahwa terdapat perbedaan partisipasi mahasiswa dalam diskusi kelas pada materi ajar teoretis (y1) dan praktis (y2) antara yang aktif berdiskusi dalam media jejaring sosial Edmodo (x1) dengan yang tidak mengikuti diskusi dalam media jejaring sosial Edmodo (x2). Hal ini terlihat pada Tabel 3 sebagai berikut: Tabel 3 Uji Multivariat Multivariate Testsb Effect Intercept
X
Value
F
Hypothesis df
Error df
Sig.
Pillai's Trace
.957
1.887E3a
Wilks' Lambda
.043
1.887E3a
2.000
171.000
.000
Hotelling's Trace
22.074
1.887E3a
2.000
171.000
.000
Roy's Largest Root
22.074
1.887E3a
2.000
171.000
.000
Pillai's Trace
.316
39.457a
2.000
171.000
.000
Wilks' Lambda
.684
39.457a
2.000
171.000
.000
Hotelling's Trace
.461
39.457a
2.000
171.000
.000
Roy's Largest Root
.461
39.457a
2.000
171.000
.000
2.000
171.000
.000
a. Exact statistic b. Design: Intercept + x
Hasil uji multivariat (MANOVA) pada Tabel 3 membuktikan bahwa nilai F dari effect x (Edmodo) dengan analisis Pillai’s Trace, Wilk’ Lambda, Hotelling’s Trace, dan Roy’s Largest Root menunjukkan pada Sig. (signifikansi) 0,000. Jika pada uji MANOVA ditetapkan probabilitas signifikansi 0,05 berarti nilai F dari analisis Pillai’s Trace, Wilk’ Lambda, Hotelling’s Trace, dan Roy’s Largest Root semuanya lebih kecil dari 0,05. Dengan demikian nilai F dari analisis Pillai’s Trace, Wilk’ Lambda, Hotelling’s Trace, dan Roy’s Largest Root semuanya signifikan. Artinya, bahwa terdapat perbedaan yang signifikan dari kedua varibel dependen (y1 dan y2) antara kedua variabel independen (x1 dan x2). Selanjutnya pada uji between-subjects effects disajikan pada Tabel 4 sebagai berikut: Tabel 4 Uji between-subjects effects Tests of Between-Subjects Effects Source
Dependent Variable
Corrected Model
y1
16.519a
1
16.519
17.858
.000
y2
55.939b
1
55.939
78.808
.000
y1
1944.105
1
1944.105
2.102E3
.000
y2
2227.526
1
2227.526
3.138E3
.000
y1
16.519
1
16.519
17.858
.000
y2
55.939
1
55.939
78.808
.000
Intercept
Y
Type III Sum of Squares
Df
Mean Square
F
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Sig.
105
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923 Error
Total
Corrected Total
y1
159.096
172
.925
y2
122.089
172
.710
y1
2129.000
174
y2
2423.000
174
y1
175.615
173
y2
178.029
173
a. R Squared = .094 (Adjusted R Squared = .089) b. R Squared = .314 (Adjusted R Squared = .310)
Pada Tabel 4 terlihat bahwa pada sumber Y nilai Fy1 = 17,858 pada Sig. (signifikansi) 0,000 dan nilai Fy2 = 78,808 pada Sig. (signifikansi) 0,000. Jika pada uji MANOVA ditentukan probabilitas signifikansi 0,05, berarti nilai Fy1 maupun nilai Fy2 lebih kecil dari 0,05. Hal ini membuktikan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan variabel y1 yang diakibatkan oleh varibel x1. Demikian pula terdapat perbedaan yang signifikan variabel y2 yang diakibatkan oleh varibel x1. Dengan demikian hasil penelitian ini membuktikan bahwa (1) terdapat pengaruh yang signifikan penggunaan media jejaring sosial Edmodo terhadap partisipasi mahasiswa dalam diskusi kelas pada materi ajar teoretis maupun praktis. (2) Terdapat hubungan yang signifikan antara penggunaan media jejaring sosial Edmodo dengan partisipasi mahasiswa dalam diskusi kelas pada materi ajar yang bersifat teoretis. (3) Terdapat hubungan yang signifikan antara penggunaan media jejaring sosial Edmodo dengan partisipasi mahasiswa dalam diskusi kelas pada materi ajar yang bersifat praktis.
Rekomendasi 1. Penggunaan media jejaring sosial Edmodo efektif untuk dipraktikan dalam pembelajaran di perguruan tinggi, baik untuk matakuliah yang bersifat teoretis maupun praktis (terapan atau analisis), karena banyak ragam kompetensi yang dapat diperoleh mahasiswa. 2. Penelitian lanjutan yang berfokus pada penggunaan jejaring sosial Edmodo masih sangat diperlukan, terutama yang terkait dengan pengembangan atribut-atribut soft skills.
Daftar Pustaka Arroyo, C. G. (2011). On-line social networks: innovative ways towards the boost of collaborative language learning. International Conference ICT for Language Learning, 4th edition. Basori (2013). Pemanfaatan social learning network ”Edmodo” dalam membantu perkuliahan teori bodi otomotif di Prodi PTM JPTK FKIP UNS. Jurnal JIPTEK 6(2), Juli 2013, 99105. edmodo.com (https://www.edmodo.com) Gall, M.D., Gall, J.P., & Borg, W.R. (2007). Educational research: An introduction, eighth edition. Boston: Person Education, Inc. Graham, C. R. (2009). Blended learning models. Encyclopedia of Information Science and Technology, 375-382. Gushiken, B. (201). Integrating edmodo into a high school service club: to promote interactive online communication. TCC Worldwide Online Conference.
106
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Ilah Sailah, dkk. (2014). Buku kurikulum pendidikan tinggi. Jakarta: Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Izenman, A.J. (2008). Modern multivariate statistical techniques: regression, classification, and manifold learning. New York, NY: Springer Science+Business Media, LLC. Jobson, J.D. (1991). Applied multivariate data analysis, volume I: regression and experimental design. New York, NY: Springer Science+Business Media. Thongmak, Mathupayas (2013), Social network system in classroom: antecedents of edmodo adoption. Journal of e-Learning and Higher Education, Vol. 2013 (2013), pp. 1-15. Miller, S. (1996). Experimental design and statistics (2nd edition). New York: Routledge. Murphy, P. K., et al. (2009). Examining the effects of classroom discussion on students’ comprehension of text: a meta-analysis. Journal of Educational Psychology, 101(3), 740764. Kemendikbud. (2014). Permendikbud (Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan) RI Nomor 49 Tahun 2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
107
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Implementasi Penggunaan Edmodo dalam Mata Kuliah Belajar Pembelajaran Ima Chusnul Chotimah 7 ([emailprotected]) Rosi Anjarwati 7 ([emailprotected]) Abstract There are several subjects that must be covered by the students of STKIP PGRI Jombang. One of them is Belajar Pembelajaran in second semester of English Department. In the fact, the students found difficulty in understanding the material because of the lack of time. Edmodo is one of electronic media which has some benefits, such as: easy and affordable. This Classroom Action Research concerned to solve that problem by appliying Edmodo as a media that could be accessed outside the class, so that the lecturer could give the feedback of students’ understanding in the form of summary whenever and wherever they are. The result of the data analysis which was got through test and questionnaire showed that there was improving on the students ability in understanding the material of Teaching and Learning. Keywords: Learning Learning, Edmodo Abstrak Ada beberapa jenis mata kuliah wajib yang harus ditempuh oleh mahasiswa STKIP PGRI Jombang. Salah satunya adalah Belajar Pembelajaran yang berada di semester 2 untuk prodi Bahasa Inggris. Pada kenyataanya, mahasiswa menemukan kesulitan dalam memahami materi karena terbatasnya waktu. Edmodo adalah salah satu media elektronik yang memiliki beberapa keunggulan, diantaranya mudah dan terjangkau. Penelitian Tindakan Kelas ini bertujuan untuk mengatasi permasalahan tersebut dengan menerapkan Edmodo sebagai media yang dapat diakses diluar kelas sehingga dosen dapat memberikan umpan balik terhadap pemahaman mahasiswa yang dituangkan dalam bentuk resume kapanpun dan dimanapun. Hasil analisis data yang didapat dari tes dan kuesioner menunjukkan adanya peningkatan kemampuan siswa dalam memahami materi mata kuliah Belajar Pembelajaran. Kata Kunci: Belajar Pembelajaran, Edmodo
Pendahuluan Pendidikan di tingkat perguruan tinggi di Indonesia mempunyai peran yang cukup penting dalam perkembangan bangsa dan negara karena di tingkat inilah anak bangsa (mahasiswa) telah dapat berpikir kritis. Berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 12 tahun 2012 tentang pendidikan tinggi, pasal 1 (2): “Pendidikan Tinggi adalah jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program diploma, program sarjana, program magister, program doktor, dan program profesi, serta program spesialis, yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi berdasarkan kebudayaan bangsa Indonesia. “Terdapat beberapa jenis pendidikan tinggi di Indonesia, diantaranya adalah Universitas, Institut, Akademi serta Sekolah Tinggi. Salah satu Sekolah Tinggi yang berkembang di kabupaten Jombang adalah STKIP PGRI Jombang. Di STKIP PGRI Jombang, terdapat beberapa program studi dengan beberapa jenis mata kuliah. Belajar Pembelajaran merupakan salah satu mata kuliah yang harus ditempuh oleh mahasiswa program studi Bahasa Inggris. Mata kuliah ini bertujuan agar mahasiswa mampu memahami hakikat belajar, menganalisis teori-teori belajar dan landasan filosofisnya, menganalisis berbagai teori pembelajaran dan mampu merancang serta mengembangkan 716
STKIP PGRI Jombang
108
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
berbagai alternatif aplikasi model pembelajaran disesuaikan dengan teori-teori pembelajaran yang mendasarinya. Sebagai mata kuliah yang berbahasa Indonesia, Belajar Pembelajaran seharusnya akan lebih mudah dipahami oleh mahasiswa program studi Bahasa Inggris yang merupakan bahasa nasional. Pada kenyataannya mahasiswa dikelas 2014 C mengalami kesulitan dalam memahami materi mata kuliah ini. Kesulitan tersebut disebabkan kurang maksimalnya penjelasan materi yang disampaikan oleh teman sesama mahasiswa dalam bentuk presentasi serta terbatasnya waktu bagi dosen untuk mengulas kembali dan memberi umpan balik terhadap hasil presentasi dan diskusi. Berdasakan kondisi tersebut diatas, peneliti ingin menggunakan teknologi informasi sebagai media karena perkembangan dan kemajuan dibidang ilmu pengetahuan dan penerapannya sangat bergantung pada teknologi informasi. Ada empat manfaat teknologi informasi dalam dunia pendidikan menurut Mirfani, yaitu: (1) sebagai alat pengelolaan pengetahuan, (2) sebagai alat pembelajaran, (3) sebagai alat pengelolaan usaha, dan (4) sebagai alat pengkajian. Salah satu bentuk teknologi informasi adalah internet; dan dalam penelitian ini peneliti menggunakan Edmodo. Edmodo adalah platform pembelajaran yang aman bagi guru (dosen), siswa (mahasiswa) dan sekolah (kampus) berbasis sosial media. Edmodo menyediakan cara yang aman dan mudah bagi kelas untuk terhubung dan berkolaborasi, berbagi konten dan akses pekerjaan, nilai dan pemberitahuan sekolah. (Haris, 2013) Edmodo memiliki beberapa keunggulan diantaranya dapat membantu pengajar membangun sebuah kelas virtual berdasarkan pembagian kelas nyata di sekolah, dimana dalam kelas tersebut terdapat penugasan, quiz dan pemberian nilai pada setiap akhir pembelajaran. Selain itu, pembelajaran dapat dilakukan dimana saja, kapan saja dan dapat dilakukan dari alat apa saja yang mendukung. Berdasarkan pertimbangan diatas, peneliti menerapkan Edmodo sebagai media alternatif dalam rangka memecahkan persoalan yang dihadapi dalam mata kuliah Belajar Pembelajaran di kelas 2014 C Program Studi Bahasa Inggris STKIP PGRI Jombang.
Landasan Teori Hakikat Belajar Pembelajaran Berbicara tentang Belajar dan Pembelajaran, tidak bisa dipisahkan dari konsep pendidikan. Pendidikan ialah segala pengalaman belajar yang berlangsung dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup serta pendidikan dapat diartikan sebagai pengajaran yang diselenggarakan di sekolah sebagai lembaga pendidikan formal (Mudyahardjo, 2001:6). Berdasarkan pengertian diatas, pendidikan diartikan secara sempit yaitu hanya pada area formal. Muhibinsyah (2003: 10) memberikan pengertian yang agak luas tentang pendidikan, yaitu sebuah proses dengan metode-metode tertentu sehingga orang memperoleh pengetahuan, pemahaman, dan cara bertingkah laku yang sesuai dengan kebutuhan.
Manfaat Teknologi Informasi dalam Pendidikan Dalam era modern dan globalisasi seperti saat ini, kehidupan manusia tidak dapat terlepas dari teknologi. Peningkatan layanan informasi yang lebih baik dalam pendidikan adalah salah satu dampak pesatnya perkembangan teknologi informasi dan internet. Penerapan teknologi juga bermanfaat bagi pendidikan terutama untuk mewujudkan pendidikan nasional Indonesia.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
109
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Menurut Suripto, Fatmasari & Purwatiningsih, manfaat teknologi informasi dalam pendidikan antara lain: akses ke kerpustakaan, akses ke pakar, melakukan kuliah atau pembelajaran online, menyediakan layanan informasi akademi dan administrasi suatu institusi pendidikan, menyediakan fasilitas mesin pencari data, menyediakan fasilitas diskusi, menyediakan fasilitas direktori alumni ke sekolah serta menyediakan fasilitas kerjasama. Diantara manfaat tersebut diatas, manfaat yang nyata dapat diperoleh oleh guru (dosen) dan siswa (mahasiswa) adalah manfaat pada proses pembelajaran. Yang pertama adalah Virtual Experiment. Demonstrasi dengan bantuan teknologi informasi ini digunakan untuk menampilkan suatu kegiatan eksperimen di depan kelas. Maksud dari virtual eksperiment disini adalah suatu kegiatan laboratorium yang dipindahkan didepan komputer. Yang kedua yaitu kelas virtual; Maksud kelas virtual di sini adalah siswa belajar mandiri yang berbasiskan web, misalnya menggunakan Edmodo. Bentuk kelas maya yang telah di kembangkan di sekolahsekolah yang memiliki fasilitas teknologi informasi. (Suripto, Fatmasari & Purwatiningsih).
Pengertian Edmodo Edmodo adalah platform microblogging pribadi yang dikembangkan untuk guru dan siswa, dengan mengutamakan privasi siswa. Guru dan siswa dapat berbagi catatan, tautan, dan dokumen. Edmodo menggunakan desain yang mirip dengan Facebook, dan menyediakan guru/dosen dan siswa/mahasiswa tempat yang aman untuk menghubungkan, berkolaborasi dan berbagi konten. Guru/dosen juga dapat mengirim nilai, tugas dan kuis untuk siswa/mahasiswa. Situs Edmodo tersebut gratis dan mudah digunakannya selama seorang guru dan murid bisa terhubung dengan internet. Edmodo adalah sebuah jawaban bagi sebuah ruang kelas virtual yang nyaman dan aman, dikarenakan: 1) Siswa bisa berinteraksi dalam pantauan gurunya (bebas cyber crime dan cyber bullying); (2)Tidak ada orang luar yang bisa masuk dan melihat kelas virtual yang dibuat oleh seorang guru tanpa mendapat kode khusus dari guru yang bersangkutan; (3) Guru bisa memulai pertanyaan, menaruh foto atau video, menaruh presentasi bahan ajar, yang kesemuanya bebas untuk diunduh oleh siswa dan dikomentari; (4) Murid bisa kembali kapan saja untuk mengulang materi yang diberikan gurunya, bahkan PR bisa diberikan melalui edmodo. Murid juga bisa mengumpulkan PR nya lewat edmodo; (5) Guru bisa menaruh nilai dari pekerjaan siswa sebagai acuan bagi siswa; (6) Kelas virtual yang dibuat seorang guru tidak terbatas, guru bisa menaruh bahan ajar untuk digunakan di angkatan atau tahun ajaran berikutnya; (7) Siswa bisa bekerja sama dengan siswa lain dalam grup kecil yang dibentuk oleh gurunya; (8) Siswa yang pendiam bisa bebas berkata-kata dan berpendapat tanpa khawatir dipermalukan, sementara si anak tipe aktif bisa posting pertanyaan kapan saja asal ia terhubung dengan internet. Berdasarkan manfaat tersebut diatas, Edmodo sangat sesuai untuk diterapkan dalam mata kuliah Belajar Pembelajaran yang membutuhkan waktu ekstra diluar tatap muka di kelas. Selain manfaat- manfaat yang sudah dipaparkan, Edmodo memiliki kelebihan yaitu mengadaptasi tampilan seperti facebook, secara sederhana Edmodo relatif mudah untuk digunakan bahkan untuk pemula sekalipun, Compatibility. Edmodo mendukung preview berbagai jenis format file seperti: pdf, pptx, html, swf dan sebagainya. Dan aplikasi, Edmodo tidak hanya dapat diakses dengan menggunakan PC (laptop / desktop) tetapi juga bisa diakses dengan menggunakan gadget berbasis Android OS.
110
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Metode Penelitian Penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas dimana peneliti bertindak sebagai dosen dan sebagai peneliti. Dalam melakukan penelitian ini, peneliti menyusun beberapa tahapan, diantaranya: Perencanaan, Implementasi, Observasi, dan Refleksi.
Perencanaan Dalam tahapan ini, peneliti mempersiapkan materi yang terangkum dalam beberapa topik yang akan didiskusikan selama 1 semester pada mata kuliah Belajar Pembelajaran. Peneliti juga membuat grup Edmodo Belajar Pembelajaran kelas 2014 C. Pada tahapan perencanaan, terdiri dari 3 langkah, diantaranya: menyiapkan strategi pembelajaran yang sesuai, membuat Rencana
Menyiapkan Strategi Pembelajaran Strategi penggunaan media Edmodo yang diaplikasikan pada mata kuliah Belajar Pembelajaran adalah sebagai berikut: Pertama, dosen meminta mahasiswa untuk membuat alamat email dan kemudian masuk di grup Edmodo Belajar Pembelajaran kelas 2014 C pada minggu pertama. Kemudian dosen membagi kelas menjadi 10 grup dan diberikan topik materi yang akan mereka presentasikan. Masing-masing grup harus membuat makalah berdasarkan topik dan dikumpulkan 2 minggu kemudian. Kedua, kelompok pertama mempresentasikan topik materi yang ada dalam makalah mereka dan dilanjutkan dengan pemberian komentar dan tanya jawab dari mahasiswa dan dosen memberikan umpan balik dari kegiatan tersebut. Sedangkan bagi mahasiswa yang lain harus merangkum tentang materi tersebut dan mengirimkan hasil rangkumannya ke grup Edmodo kelas 2014 C paling lambat 3 hari setelah pertemuan di kelas. Kegiatan ini dilakukan setiap minggu. Ketiga, dosen memberikan komentar terhadap hasil resume mahasiswa setiap minggu untuk mengetahui sejauh mana mahasiswa memahami materi yang sudah dipresentasikan.
Membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Rancangan pembelajaran terdiri dari kegiatan presentasi dari masing-masing grup dan mahasiswa yang lain membuat resume dan mengirimkan hasil resume mereka ke grup Edmodo. Ada 4 topik yang dibahas, diantaranya: Konsep Belajar Pembelajaran, Prinsip Belajar Pembelajaran, Peran Guru dalam Belajar Pembelajaran dan Teori-teori dalam Belajar Pembelajaran.
Kriteria Keberhasilan. Dalam penelitian tindakan kelas ini ada dua criteria of succes; (1) 75% dari mahasiswa mendapatkan nilai lebih dari atau sama dengan 75, dan (2) respon positif dari mahasiswa berdasarkan isian kuesioner yang diberikan, yaitu lebih dari atau sama dengan 70%.
Implementasi Ketika semua perangkat pembelajaran siap untuk digunakan, peneliti mengimplementasikan aktivitas-aktivitas yang sudah di design dengan menggunakan Edmodo sebagai media elektronik pada mata kuliah Belajar Pembelajaran. Subjek penelitian ini adalah mahasiswa program studi Bahasa Inggris angkatan 2014/2015 kelas 2014 C pada semester kedua STKIP PGRI Jombang yang berjumlah 22 mahasiswa.
Observasi Data dan sumber data.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
111
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah data kuantitatif. Data tersebut yakni dari hasil tes mahasiswa dan hasil isian kuesioner mahasiswa terhadap penggunaan Edmodo sebagai media pembelajaran. Data tersebut didapat dari mahasiswa yakni dari hasil tes dan kuesioner.
Alat dan tehnik pengumpulan data. Dalam memperoleh data, peneliti menggunakan tes untuk mengetahui seberapa jauh pemahaman mahasiswa terhadap materi, dan kuesioner terhadap penggunaan Edmodo sebagai media pembelajaran. Kuesioner dipakai untuk mengetahui bagaimana respon mahasiswa terhadap penggunaan Edmodo sebagai media pembelajaran elektronik pada mata kuliah Belajar Pembelajaran.
Refleksi Pada bagian ini peneliti menganalisa hasil implementasi penggunaan Edmodo sebagai media pembelajaran elektronik pada mata kuliah Belajar Pembelajaran pada siklus awal. Adapun data yang dianalisa adalah dari hasil tes dan isian kuesioner yang disi oleh mahasiswa. Tahapan ini membahas seberapa jauh strategi yang dikembangkan dapat memecahkan masalah dan faktor-faktor yang menyebabkan strategi tersebut tidak berhasil dalam memecahkan masalah tersebut. Dalam penelitian ini, peneliti merefleksi apakah strategi yang telah diaplikasikan dalam proses belajar pembelajaran dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada mata kuliah Belajar Pembelajaran. Data diolah kemudian dipadukan dengan kriteria keberhasilan untuk mengetahui apakah data tersebut memenuhi kriteria atau tidak. Hasil dari refleksi tersebut, kemudian digunakan sebagai dasar memutuskan untuk merevisi starategi yang diaplikasikan pada siklus berikutnya untuk mendapatkan hasil yang lebih baik dari pembelajaran atau peneliti memutuskan untuk mengakhiri penelitian tersebut karena hasil tersebut sudah memenuhi kriteria keberhasilan.
Hasil Penelitian Temuan pada Siklus 1 Siklus pertama dilaksanakan selama 4 pertemuan pada tanggal 2, 9, 16 dan 23 Maret 2015. Ada 4 topik yang dibahas pada siklus pertama, diantaranya: Konsep Belajar Pembelajaran, Prinsip Belajar Pembelajaran, Peran Guru dalam Belajar Pembelajaran, dan Teori-teori dalam Belajar Pembelajaran. Topik-topik tersebut sesuai dengan Silabus dan SAP yang dibuat oleh dosen sebelum melakukan kegiatan belajar pembelajaran. Dalam siklus pertama, peneliti menemukan bahwa hasil dari tes menunjukkan 54,55% mahasiswa mendapatkan nilai lebih dari atau sama dengan 75. Kenyatannya, mahasiswa mengalami kesulitan dalam menghubungkan teori dengan kenyataan yang ada di lapangan. Mahasiswa juga kurang mendapatkan referensi atau sumber yang berhubungan dengan studi kasus yang kerap terjadi di lapangan khususnya di dunia pendidikan Adapun instrument kedua yang digunakan oleh peneliti yang berhubungan dengan respon mahasiswa adalah kuesioner. Ada empat indikator dalam kuesioner tersebut. Indikator pertama tentang ketertarikan mahasiswa dalam menggunakan Edmodo. Dalam indikator ini, peneliti menemukan lebih dari 81,82% mahasiswa tertarik ketika dosen menjelaskan Edmodo dan 95,45% mahasiswa antusias saat dosen meminta mereka untuk mendaftar sebagai pengguna Edmodo dalam mata kuliah Belajar pembelajaran. Indikator kedua tentang media yang digunakan, dalam hal ini adalah media Edmodo. Dalam indikator ini, peneliti menemukan sekitar 68,18% dari mahasiswa merasa mudah dalam
112
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
memahami instruksi yang diberikan oleh dosen dalam Edmodo. Masih dalam indikator yang sama peneliti menemukan sekitar 45,45% dari mahasiswa mengalami kesulitan dalam mengoperasikan Edmodo. Itu disebabkan oleh berbagai hal, diantaranya: tidak semua mahasiswa bisa mengakses Edmodo dari gadget mereka, sinyal yang kurang bagus sehingga sebagian dari mereka mengalami kesulitan bergabung dalam grup Edmodo. Selanjutnya, peneliti juga menemukan sekitar 72,73% mahasiswa menyatakan termotivasi untuk belajar pada mata kuliah ini ketika diminta untuk menulis resume di Edmodo. Indikator ketiga tentang kemampuan memahami materi yang diperoleh mahasiswa selama proses pembelajaran dengan menggunakan Edmodo. Dalam indikator ini ditemukan bahwa sekitar 86,36% mahasiswa merasa terbantu dalam memahami materi dan komentar serta feed back dari dosen membantu mereka dalam meningkatkan pemahaman terhadap mata kuliah Belajar Pembelajaran. Ditemukan juga 72,27% mahasiswa merasa bahwa komentar dan feed back dari teman-teman mereka membantu dalam meningkatkan pemahaman terhadap mata kuliah Belajar Pembelajaran. Indikator yang keempat tentang pendapat mahasiswa dalam mengerjakan instruksi dari dosen selama proses belajar pembelajaran. Ditemukan bahwa sekitar 81,82% mahasiswa selalu mengerjakan instruksi yang ada di Edmodo dan sekitar 63,64% mahasiswa selalu mengerjakan instruksi yang ada di Edmodo sesuai dengan durasi waktu yang ditentukan. Berdasarkan hasil analisa diatas, implementasi penggunaan Edmodo sebagai media elektronik dalam mata kuliah Belajar Pembelajaran belum mendapatkan hasil yang maksimal. Hal ini dibuktikan dari hasil tes mereka belum memenuhi kriteria keberhasilan. Walaupun dari hasil kuesioner sebagaian besar dari mahasiswa merasa mengalami peningkatan pemahaman setelah menggunakan media Edmodo. Namun hasil tes memiliki bukti yang berbeda. Dalam hal ini, peneliti perlu untuk merevisi strategi sebelum siklus yang kedua diaplikasikan, sehingga bisa mencapai kriteria keberhasilan. Peneliti perlu untuk lebih sering memberikan quis berupa pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan topik di setiap pertemuan. Quis tersebut diberikan satu hari setelah topik tersebut dipresentasikan via Edmodo. Mahasiswa diminta untuk aktif memberikan komentar terhadap pertanyaan tersebut. Dan bagi mahasiswa yang masih mengalami kesulitan, mereka bisa melakukan tanya jawab dengan dosen pengajar via Edmodo. Dalam hal ini, diharapkan mahasiswa bisa berdiskusi dan menemukan solusi tentang kesulitan yang mereka hadapi kapanpun dan dimanapun.
Temuan di Siklus 2 Siklus kedua dilaksanakan pada tanggal 30 Maret, 6 dan 13 April 2015. Pada siklus ini, peneliti mengaplikasikan penggunaan Edmodo untuk mengirimkan hasil resume mahasiswa dan dosen memberikan komentar pada tulisan tersebut. Selain itu, dosen juga memberikan latihan setiap minggunya dengan memberikan quis berupa pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan materi setiap minggunya. Mahasiswa diminta untuk aktif memberikan komentar terhadap pertanyaan tersebut. Mahasiswa juga bisa melakukan tanya jawab tentang materi yang belum mereka fahami via Edmodo, dan dosen memberikan feed back terhadap pertanyaan mahasiswa. Setelah peneliti mengaplikasikan strategi yang sudah direvisi sebelumnya, peneliti memberikan tes untuk mengetahui hasil kemampuan mereka dalam memahami materi. Setelah menganalisa hasil tes mahasiswa, peneliti menemukan bahwa 77,27% mahasiswa mendapatkan nilai lebih dari atau sama dengan 75. Begitu juga dari hasil kuesioner, lebih dari 72% di setiap Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
113
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
pertanyaan yang ada dalam kuesioner mendapatkan respon positif dari mahasiswa. Hasil analisa diatas menunjukkan bahwa implementasi penggunaan Edmodo sebagai media pembelajaran mata kuliah Belajar Pembelajaran mahasiswa program studi Bahasa Inggris angkatan 2014/2015 kelas 2014 C STKIP PGRI Jombang mencapai kriteria keberhasilan. Adapun peningkatan respon positif mahasiswa dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 1 Tabel Respon Mahasiswa selama Penelitian Tindakan kelas No
Bentuk Pertanyaan dalam Kuesioner
1.
Mahasiswa tertarik mempelajari mata kuliah Belajar Pembelajaran ketika dosen menjelaskan Edmodo Mahasiswa merasa antusias saat dosen meminta mendaftar sebagai pengguna Edmodo dalam mata kuliah Belajar pembelajaran Mahasiswa merasa mudah memahami instruksi yang diberikan oleh dosen dalam Edmodo Mahasiswa menemukan kesulitan dalam mengoperasikan Edmodo Mahasiswa termotivasi untuk belajar mata kuliah Belajar Pembelajaran ketika diminta untuk menulis resume di Edmodo Mahasiswa merasa terbantu dalam memahami materi dengan adanya Edmodo Komentar dan feed back dari dosen membantu mahasiswa dalam dalam meningkatkan pemahaman terhadap mata kuliah Belajar Pembelajaran Komentar dan feed back dari temanteman membantu mahasiswa dalam meningkatkan pemahaman terhadap mata kuliah Belajar Pembelajaran Mahasiswa selalu mengerjakan instruksi yang ada di Edmodo Mahasiswa mengerjakan instruksi yang ada di Edmodo sesuai dengan durasi waktu yang ditentukan
S
2.
3.
4. 5.
6.
7.
8.
9. 10.
Hasil respon mahasiswa (%) Siklus 1 Siklus 2 KS TS S KS
TS
81,82
13,64
4,54
90,91
9,09
95,45
4,55
95,45
4,55
68,18
31,82
90,91
9,09
45,45
40,91
13,64
22,73
77,27
72,73
22,72
4,55
81,82
18,18
86,36
13,64
90,91
9,09
86,36
13,64
86,36
13,64
72,27
22,73
81,82
18,18
81,82
18,18
86,36
9,09
4,55
63,64
31,82
4,54
72,73
22,72
4,55
*S: Setuju; KS: Kurang Setuju; TS: Tidak Setuju. Tabel 1 menunjukkan ada peningkatan hasil respon mahasiswa dalam proses pembelajaran dengan menggunakan media Edmodo. Berdasarkan hasil pada temuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa setelah peneliti melaksanakan tahapan implementasi, observasi, dan analisa hasil temuan selama penelitian berlangsung, peneliti memutuskan bahwa penelitian tindakan kelas tentang penggunaan Edmodo sebagai media pembelajaran elektronik pada mata kuliah Belajar Pembelajaran mahasiswa Program Studi Bahasa Inggris angkatan 2014/2015 kelas 2014 C STKIP PGRI Jombang dapat
114
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam memahami mata kuliah tersebut, dimana hasil tes mahasiswa telah mencapai kriteria keberhasilan. Keputusan ini juga didukung dengan hasil respon positif mahasiswa yang dituangkan dalam kuesioner. Peneliti menyatakan bahwa penelitian tindakan kelas ini berhasil. Oleh karena itu, peneliti memutuskan untuk mengakhiri penelitian.
Simpulan Penggunaan Edmodo sebagai media pembelajaran elektronik dapat meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam memahami materi. Edmodo dapat membuat mahasiswa tertarik dan termotivasi untuk belajar mata kuliah Belajar Pembelajaran. Mahasiswa juga merasa terbantu dengan adanya komentar dan feed back baik dari dosen atau teman-teman, sehingga mahasiswa dapat meningkatkan pemahaman terhadap mata kuliah Belajar Pembelajaran. Akhirnya, Edmodo adalah salah satu media yang bisa digunakan dalam proses pembelajaran, khususnya pada mata kuliah dasar umum Belajar Pembelajaran.
Daftar Pustaka Haris.2013. Panduan Edmodo bagi Teacher. Materi Pelatihan E-Learning baginDosen dan Mahasiswa Universitas Darussalam Ambon. Latief, Adnan. 2010. Tanya Jawab Metode Penelitian Pembelajaran Bahasa. Malang: UM Press. Mirfani. 2011. Manfaat Teknologi bagi Pendidikan. http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._ADMINISTRASI_PENDIDIKAN/195706161986011. Diakses pada tanggal 18 April 2015 Mudyahardjo, R.2001. Filsafat Ilmu Pendidikan: Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya Muhibinsyah.2003. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Suripto, Fatmasari & Purwatiningsih. 2012. Penggunaan Teknologi Informasi Komunikasi danDampaknya dalam Dunia pendidikan. http://www.pustaka.ut.ac.id/dev25/pdfprosiding2/fisip201013.pdf. Diakses pada tanggal 17 April 2015 Undang-Undang Pendidikan Tinggi RI tahun 2012. www.edmodo.com. Diakses pada tanggal 18 April 2015 www.fkip.unidar.ac.id. Diakses pada tanggal 18 April 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
115
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Improving The Ability In Structure I of Students STKIP PGRI Jombang Through The Process-Product Writing Approach Chalimah 8 Afi Ni’amah 8 Abstract This study is aimed at one main purpose : improving the ability in structure 1 especially in telling past events through the process-product writing approach. The design of this study belongs to a classroom action research. In this study, classroom action research is used to introduce the process-product writing approach to teach grammar to the students of 2014 B at STKIP PGRI Jombang. This study was started by conducting a preliminary study which was then followed by cycles comprising several procedures include planning the action, implementing the action, observing the action, and analyzing and reflecting on the action. Based on the findings, it can be concluded that the process-product writing approach could improve the students’ ability in grammar. 83% of the students could master the process of editing (process writing approach) and 96% of the students are excellent at grammar (product writing approach). Keywords: Improving, Structure 1, Process-product approach.
Abstrak Studi ini ditujukan pada satu tujuan utama: meningkatkan kemampuan structure 1 khususnya tentang past melalui process-product writing approach. Desain studi ini termasuk penelitian tindakan kelas. Pada studi ini, penelitian tindakan kelas digunakan untuk memperkenalkan process-product writing approach untuk mengajar grammar bagi mahasiswa 2014 B di STKIP PGRI Jombang. Studi ini dimulai dengan melaksanakan preliminary study yang kemudian diikuti dengan siklus yang melibatkan beberapa prosedur termasuk perencanaan tindakan, pelaksanaan tindakan, observasi, analisa, dan refleksi. Berdasarkan temuan, dapat disimpulkan bahwa process-product writing approach bisa meningkatkan kemampuan mahasiswa di grammar. 83% mahasiswa bisa menguasai proses editing (process writing approach) dan 96% mahasiswa sangat baik pada grammar (product writing approach). Kata Kunci:Meningkatkan, Structure 1, Process-product approach.
Introduction The Teaching of English in the Indonesian Context English in Indonesia is considered as a foreign language, meaning that it is not used for social (Huda, 2004: 46) as well as official communication (Widiati & Cahyono, 2006: 142). Its being foreign language gives implications to its teaching. Gebhard (2000: 3) states that the objective of the teaching of English as a foreign language is usually to make the students able to pass the entrance examination, not to prepare them to be able to communicate by using English. Besides, in foreign language settings the students do not have chance to apply what they have studied to communicative situation outside the classroom. It is quite often to happen that the English they hear and read in the classroom is the only comprehensible English they have. The foregoing review of literature shows that practicing teachers are faced with a range of options for grammar instruction in their classrooms. There are, however, many types of difficulties faced by students and teachers with regard to grammar instruction in an EFL 8
Dosen Program studi Pendidikan Bahasa Inggris STKIP PGRI Jomban, Jawa Timur
116
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
context. Identifying such difficulties and being consciously aware of them would help teachers find ways of overcoming them and provide effective grammar instruction. In teaching grammar, these areas have to be considered: grammar as rules, grammar as form, and grammar as resource. A better approach is perhaps to see grammar as one of many resources that we have in language which helps us to communicate. We should see how grammar relates to what we want to say or write, and how we expect others to interpret what our language use and its focus.
The Nature of the Process-Product Writing Approach The process writing approach is considered as a correction to the previous approach namely product oriented approach (Cahyono, 2001: 6). In product oriented approach the teachers tend to focus on evaluating the students’ final products (Widiati, 2004: 69). Moreover, Widiati (2004) argues that this approach does not tell us how the writers themselves experience the genuine process of writing. Unlike the product oriented approach, the process writing approach focuses on the process a writer participates in when he/she creates meaning (Montague, 1995: 1). This approach relies on the belief that “writing is not a single activity, but one which is recursive” (Widiati & Cahyono, 2006: 141). By recursive it means that to produce a piece of writing, a writer follows some stages that can be performed from the time he/she starts writing up to the time the final product is finished. Their opinion is in line with Raimes (1987, cited in Cahyono, 2001: 6). She states that the process writing approach views “writing as a creative process consisting of a series of stages occurring recursively throughout the process and feeding on one another.” Responding to the old product oriented approach, Brown (2001: 335) asserts that actually there is nothing wrong with the product oriented approach which gives more attention to the grammar of the students’ piece of writings. Shih (1986, cited in Brown, 2001: 335) states that process approach do most of the following: a. focus on the process of writing that leads to the final written product; b. help student writers to understand their own composing process; c. help them to build repertoires of strategies for prewriting, drafting, and rewriting; d. give students time to write and rewrite; e. place central importance on the process of revision; f. let students discover what they want to say as they write; g. give students feedback throughout the composing process (not just on the final product) as they attempt to bring their expression closer and closer to the intention; h. encourage feedback from both the instructor and peers; i. include individual conferences between teacher and student during the process of composition. Product approach do most of the following: a. model texts are read, and then features of the genre are highlighted b. do controlled practice of the highlighted features c. organize the ideas d. use the skills, structures and vocabulary they have been taught to produce the product to show what they can do as fluents and competent users of the language To sum up, the process writing approach does not seem that to create a piece of text follows a linear way. Rather, it follows several steps from the beginning of the writer starts writing his/her ideas up to the time he/she finishes completing the final version of his/her text. If Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
117
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
the process writing approach has been finished, it will be followed by the product approach. In the next section, the process-product writing approach is discussed in greater detail.
The Process-Product Writing Approach The process writing approach which gives more attention to the process of the writer experiences in the process of text making rather than to the final product comprises several stages. However, many writers propose several ideas of the stages themselves. According to Gebhard (2000: 226-230), there are four stages involved in the process of text making-prewriting, drafting, revising, and editing. Christenson (2002: 41) offers the process writing approach comprises five stages, i.e., prewriting, drafting, revising, editing, and publishing. Taking into account the schemes of stages in the process of writing proposed by some writers above, it is apparent that in general the process of writing consists of four stages, that is prewriting, drafting, revising, and editing. Consequently, in connection with this study, the process writing stages used are prewriting, drafting, revising, and editing. The first stage in the process writing approach is prewriting. According to Seow (2001: 316), at this stage a writer stimulates his/her thoughts to generate ideas and collect information for writing. Seow’s (2001) opinion is similar to Christenson’s (2002: 41). She states that prewriting activity involves everything the writer does before starting the actual task of writing. This activity includes activating schemata, generating ideas, and making plans for approaching the writing task. Smalley, Ruetten, and Kozyrev (2001: 3) affirm that in this prewriting activity the writer thinks about the topic and generates ideas. In general, prewriting stage has something to do with how the writer generates ideas for his/her writing. There are various techniques that can be used to generate ideas at the prewriting stage. These include brainstorming, free writing, WH-questions plus, and clustering. Brainstorming, according to Smalley, et al., (2001: 4) is “a sudden insight and connection”. In brainstorming spontaneity is needed and there is no right or wrong answer (Seow, 2001: 316). Gebhard (2000: 227) says that in brainstorming the writer calls out associations as many as possible of the topic given and at the same time they jot down their ideas. The next technique is free writing. Its meaning is writing without stopping (Smalley, et al, 2001: 5). It means that the writer writes everything coming to his/her mind without thinking too much about whether the ideas are correct or the grammar is right. One rule should be applied in free writing activity, in that don’t stop writing (Calderonello & Edwards, 1986: 25).So when the writer does free writing he/she does not interrupt the flow of the ideas. Another technique that can be used to generate ideas is WH-questions plus. As the name implies, in using this technique a writer produces who, why, what, where, when, and how questions about a certain topic and gives answers to the questions as fully as possible. It means that the writer may create another series of WH-questions to the answers of the first series (Seow, 2001: 316 and Smalley, et al., 2001: 6). WH-questions plus may help the writer to determine what he/she knows and what he/she would like to know about the topic (Calderonello & Edwards, 1986: 26). The last technique is clustering. According to Smalley, et al. (2001: 6), clustering is a process of making visual maps of the writer’s ideas. In using this technique what the writer needs to do is placing a circled key word in a center of a page. Then, from the circled word draw a line and write an idea associated with the word. The writer keeps doing this until he/she cannot think of any more ideas (Gebhard, 2000: 227 and Smalley, et al., 2001: 6).
118
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
After finishing the process of generating ideas, the writer comes to the next stage of the process writing approach, namely drafting. Brown (2001: 348) calls this stage and also the revising stage as “the core for process writing”. Christenson (2002: 41) and Gebhard (2000: 228) state that drafting is the process of writing the ideas down on paper. In writing the first draft, the writer may not be overly concerned with the grammatical correctness; rather the writer should focus more to get the ideas down on paper (Smalley, et al., 2001: 8). At the revising stage, the writer takes a second look especially of the content and organization of his/her ideas in his/her drafts to make the writer’s intent clearer to the reader(Christenson 2002: 41, Gebhard, 2000: 228 and Seow, 2001: 317). At this stage, the writer may add sentences to connect the ideas, to change the order of the sentences or paragraphs, to substitute another way of saying something or even to throw away the ideas that are not relevant to the topic or that are repetitive (Calderonello & Edwards, 1986: 11 and Smalley, et.al, 2001: 8). In doing revision, Seow (2001: 318) suggests that the writer may work in pairs and read each other’s draft. By listening attentively to his/her own draft, the writer will be more conscious of what he/she has written. The final stage of process writing approach is editing. After paying attention to the content and organization of his/her ideas at the revising stage, at this stage the writer starts thinking about the process of tidying up his/her writing. It means that the writer checks the sentences to make sure that they are grammatically and mechanically correct. Checking the mechanics include checking the spelling, punctuation, capitalization, and word choice or diction (Christenson 2002: 41, Smalley, et al., 2001: 9, and Seow, 2001: 318). A simple checklist may be used to help the writer to do self/peer revision. Seow (2001) provides some examples of the questions that can be utilized to check grammar. The examples are “Have you used your verbs in the correct tense?”, “Have you checked for subject-verb agreement?”, and “Have you used all your pronouns correctly?” Then, to check the mechanics, the writer can employ questions such as “Have you capitalize all first letter in each sentence?”, “Have you spelled all words correctly?”, and “Have all sentences been given correct punctuations?” In brief, the process writing approach consists of four stages, i.e., prewriting, drafting, revising, and editing. Besides, in the process of text creation the writer deals with different activities in each stage before he/she finishes his/her piece of writing. The most important thing to keep in mind is that “process is not the end; it is a means to the end.” (Brown, 2001: 337). After the process writing approach has been done, the writer goes to the second process namely product writing approach by focusing on the example given by the lecturer and compared it with their writing indidually, check their sentences based on the examples and theory given by the lecturer individually, and as the end result of the learning process, students use their skills, structures, and vocabulary to make better or revision to produce better product in grammatically writing.
Research Method The design of this study belongs to a classroom action research. According to Koshy (2007: xii), The main role of action research is to facilitate practitioners to study aspects of practice – whether it is in the context of introducing an innovative idea or in assessing and reflecting on the effectiveness of existing practice, with the view of improving practice.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
119
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
The design of the research follows a model proposed by Kemmis and McTaggart (2000, cited in Koshy, 2007: 4). They propose that action research comprises four stages, namely planning the action, implementing the action, observing the action, and reflecting on the action. In this study, the researcher acted as the teacher/lecturer who implemented the processproduct writing approach to the students. Meanwhile her collaborator acted as an observer who observed the students’ progress during the teaching and learning process. The observation was emphasized on the activities which showed the criteria of success. This research was conducted at STKIP PGRI Jombang. It is located in Jln Pattimura III/20 Jombang in class of 2014 B. Time allotment for the teaching of structure 1 is 2 x 100’ for each meeting. Those time allotments are used for the regular teaching and learning process in the classroom/in its language laboratory. The procedures of this research are adapted from a model proposed by Kemmis and McTaggart (2000, cited in Koshy, 2007: 4). A preliminary study was conducted to know the real condition of the lecturers’ and the students’ problem in the teaching and learning process of English, especially in the teaching and learning process of writing. In addition to asking the students to write, to make sure the researcher about the problems they have, the researchers also administer questionnaires to the students. The result of the analysis on the students’ compositions and questionnaires will be used as a basis for the researcher to prepare the lesson plan. In the first step the researcher and her collaborative lecturer prepared the strategy, the lesson plan, the instruments, the criteria of success, and the introduction session of the strategy. In the teaching and learning process, the teacher-researcher assigned the students to follow the process-product writing approach which comprised four steps, namely prewriting, drafting, revising, and editing in writing grammatically correct. At the prewriting stage, the class activity was designed to guide students to generate, select, and order ideas of the topic given. In generating ideas, Wh-questions plus were utilized. At the drafting stage, the students were directed to put down the generated ideas at the prewriting stage into paper without considering grammar excessively. At the revising stage, the students were led to revise their drafts. The revision was made in terms of content and organization. In doing revision, the students were given revising guidelines. At the editing stage, the students edited their revised drafts by using the editing guidelines. The editing process covered grammar, vocabulary and mechanics (spelling, punctuation, and capitalization). In each stage of the process-product writing approach, the lecturer gave the students examples to make them easier in accomplishing the tasks. Finally, the students had to take a look at the examples of correct writing grammar 1 and made sure that their grammar was definitely correct
Result Table 1. The Analytic Scoring Rubric for the Students’ final compositions Aspect of writing Content
120
5
Final Score 30
Excellent
4
24
Good
3
18
Average
Weighting
Score
30%
Criteria Main ideas stated clearly and accurately. Main ideas stated fairly clearly and accurately. Main ideas somewhat unclear and
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Organization
Vocabulary
Grammar
Mechanics
25%
20%
20%
5%
2 1 5
12 6 25
Poor Very poor Excellent
4
20
Good
3
15
Average
2
10
Poor
1
5
Very poor
5
20
Excellent
4
16
Good
3
12
Average
2
8
Poor
1
4
Very poor
5
20
Excellent
4
16
Good
3 2
12 8
Average Poor
1
4
Very poor
5 4
5 4
Excellent Good
3
3
Average
2
2
Poor
1
1
Very poor
inaccurate. Main ideas not clear and accurate. Main ideas not at all clear and accurate. Well organized and perfectly coherent. Fairly well organized and generally coherent. Loosely organized but main ideas clear, logical but incomplete sequencing. Ideas disconnected, lacks logical sequencing No organization, incoherent. Very effective choice of words and word forms. Effective choice of words and word forms. Adequate choice of words but some misuse of vocabulary and word forms. Limited range, confused use of words and word forms. Very limited range, very poor knowledge of the words and word forms. No errors, full control of complex structure. Almost no errors, good control of structure. Some errors, fair control of structure. Many errors, poor control of structure. Dominated by errors, no control of structure. Mastery of spelling and punctuation. Few errors in spelling and punctuation. Fair number of spelling and punctuation errors. Frequent errors in spelling and punctuation. No control over spelling and punctuation.
The adaptation is made in terms of giving different weighting to each aspect of writing. The weighting is based on Jacobs et al (1981 in Weigle, 2002: 116) scoring profile. Cohen’s analytic scoring rubric provides feedback to the students on what aspects of writing they are good or poor. For the lecturer, the rubric supplies information on specific aspects of the students’ writing for planning instruction. The criteria of success play significant roles in this research study. They show the researcher what kind of data should be collected and when to stop the study. Furthermore, they provide the evidence of the strength of the strategy utilized in this study. This action research is considered to be successful if it meets the following criteria. (1) 80% of the students’ final compositions obtain a final score of 70 in the analytic scoring rubric.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
121
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Table 2. The Description of the Criteria of Success No
1
Criteria of Success
Data
80% of the students’ final compositions obtain a final score of 70 in the analytic scoring rubric.
The students’ final products after the implementation of the processproduct writing approach
Sources of Data The students’ final products
Instruments Portfolios
Procedures of Data Collection Collecting the students’ final products after the implementation of the approach complete
Tompkins (1994, cited in Kalesu, 2005) suggests that the introduction session be started by explaining the process-product approach, describing and demonstrating each stage to make it clearer for the students to follow, and guiding students as they develop several brief compositions to experience the writing process and focus on the correct grammar. The introduction session is done in two meetings. In the first meeting, the students learn the prewriting and the drafting stages. The first round of the implementation of the process-product writing approach in teaching grammar to the students. Then, it will be followed by the discussion and reflection of what have been done in the classroom during the implementation of the approach. In the implementation of the process-product writing approach, the researcher acted as the practitioners who carried out the teaching and learning process. (1) Prewriting The lecturer explained the objectives of the lesson to be achieved by the students. Then, she delivered a number of questions concerning the topic orally to activate the students’ background knowledge on the topic discussed. Next, the lecturer gave a model on how to generate, select, and order ideas. She asked them to do prewriting activity on a topic given. (2) Drafting The lecturer gave the students a model of how to make a rough draft based on the generated ideas in prewriting stage. Then, she asked the students to write their own rough drafts based on the ordered ideas at the prewriting stage. (3) Revising Before asking the students to revise their drafts, the lecturer equipped students with a model of a rough draft and revision guidelines for helping them revise their drafts. She guided them working on step-by-step revision. She first asked the students to check the sample draft whether it contained a topic sentence or not. Then, she asked them to identify all supporting details whether they refered to topic sentence or not. Finally, she asked them to arrange the details logically. After discussing the sample draft, the lecturer asked the students to revise their drafts by using the revising guidelines. (4) Editing After telling the students that they were going to edit their revised rough drafts, she gave the students a model of a revised rough draft and editing guidelines. She provided them a model of a revised rough draft and editing guidelines for leading them to work on editing drafts. She asked them to check the sample of a revised draft whether or not the spelling of each word, the capitalization, and the punctuation are correct. After having discussion on the model of revised draft, the lecturer asks the students to do editing activities by employing the editing guidelines. In the product assessment, the students must be able to imitate the correct pattern. 122
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Observing the action is the process of recording and collecting data about any aspects or events referring to the criteria of success that take place in the teaching and learning process. Observation on the implementation of the process-product writing approach takes into account two important aspects: data and data sources and research instruments and procedure of data collection. Considering the criteria of success, the researcher employed qualitative and quantitative data. Qualitative data are the results of (1) the observation and field notes about any activities of the students which show the criteria of success, (2) questionnaires about the students’ responses to the implementation of the process-product writing approach; and (3) portfolios of the students’ work at each stage of the process-product writing approach. While quantitative data is obtained from the result of the students’ final compositions which are collected after each round of the implementation of the process-product writing approach completed. To collect the data, there are four kinds of research instruments the researcher develops such as observation checklist, field notes, portfolios, and questionnaire. The data on the students’ progress at each stage of the process-product writing approach which is obtained through observation checklist, field notes, and portfolios will be analyzed qualitatively. It means that the data will be elaborated in words than in numbers. It happens also to the data on the students’ response to the implementation of the process writing approach which will be obtained through questionnaire. Then the data on the students’ final products will be analyzed by using the analytic scoring rubric determined. Reflection is intended to evaluate the effect of the action that has been carried out to the students’ ability in writing recount texts. For this reason, the result of the data analysis will be checked against the criteria of success predetermined to draw a conclusion. If all the criteria of success have been fulfilled, the action is stopped and if one of the criteria of success is not yet met, the study is continued to the next cycle by revising and improving the plan. The revision and improvement is focused on the relevant criteria which are not yet met in the first cycle. In order to know whether or not the implementation of the action plan in cycle 1 was successful, both the researcher and her collaborator did the observation, and then analyzed the data taken from the observation checklist, field notes, and students’ final writing. The analysis was focused on the result of the teaching and learning grammar through process-product writing approach. From the students’ side, it was found that most students were active involved in the writing process. It was proved by the result of the observation checklist that total point earned 30 out of 32 possible or 93.75% of the students were actively involved during teaching and learning process. Furthermore, the students felt relax and happy during the process of teaching and learning. From the lecturer’s side, she had good performance in conducting the teaching learning process in the classroom. She did all of the activities that had been planned in all the stages of process-product writing approach well. Consequently, the process of teaching and learning ran smoothly in each stage of the process-product writing approach. In addition, she was also patient in guiding the students through all the stages. The analysis was concerned with the subjects’ competence in every stage of using the process writing approach. The result of the observation on the subjects’ improvement in the writing process in cycle 1 could be seen in table below.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
123
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
No
Stages
1
Prewriting
2
Drafting
3
Revising
4
Editing
5
Imitating Checking
Demonstrated Competence
and
Explore, select, and ordering ideas to make an outline Write a rough draft as a development of the outline Rewrite the draft as the lecturer suggested Identify the mechanical and grammar errors Imitate and recheck based on the basic pattern (focus on grammar only)
Level of Achievement Good Fair Poor 75%
4%
21%
75%
8%
17%
79%
8%
13%
83%
13%
4%
83%
14%
3%
The analytical scoring rubric on the subjects’ product was adapted from Berhman (2003) as seen in the table below. Component of writing Content Organization Vocabulary Grammar Mechanics
Excellent Pre-test Cycle 1 (%) (%) 79 83 92 96 88
Good Pre-test Cycle 1 (%) (%) 54 50 -
Fair Pre-test Cycle 1 (%) (%) 29 29 38 -
Poor Pre-test Cycle 1 (%) (%) -
Conclusions Based on the findings, it can be concluded that the process-product writing approach could improve the students’ ability in grammar. 83% of the students could master the process of editing (process approach) and 96% of the students are excellent at grammar (product approach
References Brown, H.D. 2001. Teaching by Principles: An Interactive Approach to Language Pedagogy. (2nd Ed). White Plains, NY: Addison Wesley Longman. Berhman, C.H. 2003. Ready to Use : Writing Proficiency Lesson & Activities. San Fransisco: John Wiley & Sons. Cahyono, B. Y. 2001. Second Language Writing and Rhetoric: Research Studie in the Indonesian Context. Malang: State University of Malang Press. Calderonello, A.H. & Edwards Jr, B.L. 1986. Roughdrafts: The Process of Writing. Boston, MA: Houghton Mifflin Company. Christenson, T.A. 2002. Supporting Struggling Writers in the Elementary Classroom. Newark, DE: International Reading Association. Gebhard, J.G. 2000. Teaching English as a Foreign or Second Language: A Teacher Selfdevelopment and Methodology Guide. Ann Arbor, USA: The University of Michigan Press. Huda, N. 2004. Peningkatan Penguasaan Bahasa Inggris untuk Menghadapi Globalisasi [Improving English Mastery to Face Globalization]. Kumpulan Artikel: Lustrum ke-10 Universitas Negeri Malang. Malang: Universitas Negeri Malang. Kalesu, A. 2005. Implementing the Process Writing Approach to Develop the Writing Ability of the Third Year Students of SMP 9 Palu. Unpublished Thesis. Malang: Graduate Program State University of Malang. Koshy, V. 2007. Action Research for Improving Practice: A Practical Guide. London: Paul Chapman Publishing.
124
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Nunan, D. 1999. Second Language Teaching and Learning. Boston: Heinle & Heinle. Raimes, A. 1983. Techniques in Teaching Writing. New York: Oxford University Press. Seow, Anthony.2001. The Writing Process and Process Writing. In J.C. Richards & W.A. Renandya,. 2001. Methodology in Language Teaching: An Anthology of Current Practice. Cambridge: Cambridge University Press. Smalley, R.L., Ruetten, M.K., & Kozyrev, J.R. 2001. Refining Composition Skills: Rhetoric and Grammar. (5th Ed). Boston, MA: Heinle & Heinle. Weigle, Sara Cushing. (2002). Assessing writing. Cambridge: Cambridge University Press Widiati, U & Cahyono, B. Y. 2006. The Teaching of EFL Writing in the Indonesian Context: The State of the Art. Jurnal Ilmu Pendidikan, 13(3): 139-150. Widiati, U. 2004. Approaches to Teaching Writing in the ESL Context. Kumpulan Artikel: Lustrum ke-10 Universitas Negeri Malang. Malang: Universitas Negeri Malang.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
125
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Proses Konstruksi Mahasiswa Calon Guru dalam Membuat Strategi Penyelesaian Masalah Pembagian Bilangan Pecahan Esty Saraswati Nur Hartiningrum 9 ([emailprotected]) Lia Budi Tristanti 9 ([emailprotected]) Edy Setiyo Utomo 9 ([emailprotected]) Abstract Problem solving the issue of dividing fractions, teachers often explain the cross-product strategy. This strategy is efficient and profitable is widely applicable in all contexts and domains. However, this strategy does not match the mental operations involved in building strategies and less meaningful in certain situations. In the cross-product strategy, fractional division is often understood without meaning. Preservice would eventually become a teacher, where teachers are influential in the process of student activities in the uses strategies to solve math problems. Hence the need for a study of the construction process of candidates for Master's students in making the division problem-solving strategies fractions. The strategy is constructed of non-traditional strategies are not cross product. However, non-traditional strategies should be in conformity with the concept of division, especially division of fractions. The strategy is constructed of preservice in problem solving division of fractions is flipped and multiplying Strategy, the strategy of using decimal, divide the numerator and denominator strategy, the common denominator strategies, strategies for reducing repetitive, recurrent summation strategy and strategy using algebraic manipulation Keywords: Construction Process , Strategies , Division of Numbers Fractions Abstrak Menyelesaikan masalah pembagian bilangan pecahan, guru sering menjelaskan mengenai strategi perkalian silang. Strategi ini menguntungkan yaitu efisien dan secara luas berlaku di seluruh konteks dan domain. Namun strategi ini tidak cocok dengan operasi mental yang terlibat dalam membangun strategi dan kurang bermakna dalam situasi tertentu. Dalam strategi perkalian silang, pembagian pecahan sering dipahami tanpa makna. Mahasiswa calon guru ini nantinya akan menjadi seorang guru, dimana guru berpengaruh dalam proses kegiatan siswa dalam menggunaan strategi untuk menyelesaikan masalah matematika. Oleh karena itu perlu adanya suatu penelitian tentang proses konstruksi mahasiswa calon guru dalam membuat strategi penyelesaian masalah pembagian bilangan pecahan. Strategi yang dikonstruksi bukanlah strategi non tradisional yaitu perkalian silang. Meskipun demikian, strategi non tradisional tersebut harus sesuai dengan konsep pembagian khususnya pembagian pecahan. Strategi yang dikonstruksi mahasiswa dalam menyelesaikan masalah pembagian pecahan adalah Startegi membalik dan mengalikan, strategi penggunaan desimal, strategi membagi pembilang dan penyebut, strategi penyebut umum, strategi pengurangan berulang, strategi penjumlahan berulang dan startegi menggunakan manipulasi aljabar. Kata Kunci: Proses Konstruksi, Strategi, Pembagian Bilangan Pecahan
Pendahuluan Matematika timbul karena pikiran-pikiran manusia, yang berhubungan dengan ide, proses dan penalaran (Russeffendi, 2006: 260). Matematika terbentuk dari pengalaman manusia dalam dunianya secara empiris. Kemudian pengalaman itu diproses di dalam dunia rasio, diolah secara analisis dengan penalaran di dalam struktur kognitif sehingga sampai terbentuk konsep-konsep matematika supaya konsep-konsep matematika yang terbentuk itu mudah dipahami oleh orang lain dan dapat dimanipulasi secara tepat, maka digunakan bahasa matematika atau notasi 9
Dosen Prodi Pendidikan Matematika STKIP PGRI Jombang
126
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
matematika yang bernilai global (universal). Konsep matematika didapat karena proses berpikir, karena itu logika adalah dasar terbentuknya matematika. Dapat dikatakan bahwa matematika merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari struktur yang abstrak dan pola hubungan yang ada didalamnya. Pecahan adalah bagian dari konsep matematika. Yim (2009) menyatakan pembagian dengan bilangan pecahan memberikan siswa berkesempatan untuk merenungkan makna perkalian dengan bilangan pecahan dan pembagian dengan bilangan bulat, konsep pecahan yang senilai, dan konsep timbal balik, yang berkaitan dengan satu sama lain. Pembagian bilangan pecahan merupakan suatu konsep yang menarik karena hasilbagi pada pembagian bilangan asli itu lebih kecil dari deviden namun hasil bagi pada pembagian bilangan pecahan itu lebih besar dari deviden. Geller (dalam Walle, 2010) menyatakan seorang guru harus merangsang siswa untuk membuat strategi sendiri dalam menyelesaikan soal. Oleh karena itu sebelum guru merangsang siswanya untuk membuat strategi sendiri dalam menyelesaikan soal, seorang guru juga harus berpikir bagaimana dia membuat strategi sendiri dalam menyelesaikan soal. Tujuan dari observasi ini adalah melihat bagaimana calon guru menyelesaikan soal pembagian bilangan pecahan, dan bagaimana mereka mengkonstruk strategi untuk menyelesaikan soal tersebut.Strategi pembagian bilangan pecahan yang dikembangkan oleh beberapa penelitian dalam proses pembelajaran dalam kelas disajikan dalam Tabel 1 berikut Tabel 1. Strategi Penyelesaian Soal Pembagian Bilangan Pecahan Arti Pembagian Pembagian sebagai kebalikan dari perkalian Pembagian sebagai pengukuran
Strategi
Pembagian sebagai pengukuran
Strategi pengulangan pembagian
Pembagian sebagai pengukuran
Strategi penggunaan desimal
Pembagian sebagai determinan dari tingkat satuan Pembagian sebagai kebalikan
Menggunakan tingkat satuan
Contoh (b, c, d 0)
Membalik dan mengalikan
Strategi penyebut umum (Warrington 1997)
Kamu dapat mereduksi/mengurangi
sebanyak 8 kali dari 6 (Schifter
et al. 1999)
(Carpenter et al. 1981)
Sinicrope et al. (2002) Menggunakan hukum distributif
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
127
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Arti Pembagian dari perkalian
Strategi
Pembagian sebagai dari kebalian produk kartesian Pembagian sebagai determinan dari tingkat satuan
Strategi membagi pembilang dan penyebut
Contoh (b, c, d 0)
Wearne and Hiebert (1988)
Pembagian sebagai determinan dari tingkat satuan Pembagian sebagai determinan dari tingkat satuan
Strategi mengalikan dengan penyebut dan membagi dengan pembilang dari pembagi Strategi Mengubah pembagi menjadi 1 Strategi Mengubah deviden menjadi 1
(Ashlock 1986; Ma 1999; Tirosh 2000)
. (Yim, 2009)
. (Yim, 2009)
(Yim, 2009)
Penelitian-penelitian tersebut dilakukan di negara dengan kondisi dan budaya yang berbeda di Indonesia. Dari penelitian-penelitian yang sudah ada, belum ada penelitian yang merumuskan proses konstruksi mahasiswa calon gutu dalam membuat strategi penyelesaian masalah pembagian bilangan pecahan. Oleh karena itu, Peneliti bermaksud melakukan penelitian untuk mendeskripsikan proses konstruksi mahasiswa calon guru dalam membuat strategi penyelesaian masalah pembagian bilangan pecahan.
Metode Penelitian Penelitian ini tergolong penelitian kualitatif dan lokasi yang dipilih pada penelitian ini adalah Program Studi Pendidikan Matematika Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Persatuan Guru Republik Indonesia (STKIP PGRI) Jombang. Pengambilan subjek penelitian ini dipilih berdasarkan strategi penyelesaian masalah pembagian pecahan yang bukan strategi tradisional formal. Instrumen dalam penelitian ini ada dua macam, yaitu instrumen utama dan instrumen bantu. Instrumen utama adalah peneliti sendiri, karena peneliti sendiri yang berhubungan dengan subjek penelitian dan tidak dapat diwakilkan, sedangkan instrumen pendukung ada 2 macam, yaitu: tugas penyelesaian masalah pembagian pecahan dan pedoman wawancara. Soal yang digunakan peneliti adalah:
128
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Linda mempunyai
meter bahan pakaian yang akan digunakan untuk
membuat baju anak-anak. Setiap pola baju membutuhkan
meter bahan.
Berapa banyak baju yang bisa dibuat dari bahan pakaian yang dia miliki? Pengumpulan data penelitian dimulai dengan pemberian soal kepada para subjek. Subjek diminta untuk menyelesaikan soal. Hasil pekerjaan subjek kemudian dianalisis untuk melihat gambaran proses konstruksi strategi penyelesaian masalah pembagian pecahan yang ditampilkan melalui wawancara. Hasil wawancara kemudian ditranskip dan digabung dengan hasil pekerjaan tertulis subjek. Gambaran proses konstruksi strategi yang diungkap melalui penelitian ini mengacu pada penyelesaian soal.
Hasil Penelitian dan Pembahasan Ketika subjek diberikan suatu tugas pemecahan masalah. Subjek memaparkan bahwa pokok permasalahannya adalah membagi bahan kain sebesar
dengan
karena bahan kain
tersebut akan dibuat baju dan setiap baju membutuhkan
bahan kain. Sehingga subjek
menggunakan pembagian bilangan pecahan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Namun strategi pembagian bilangan pecahan dari subjek tersebut yang berbeda dengan strategi formal tradisional. Pemaparan strategi yang digunakan oleh subjek adalah sebagai berikut: Strategi formal tradisional. Subjek merubah bilangan pecahan campuran terlebih dahulu menjadi bilangan pecahan, baru menyelesaikannya dengan operasi pembagian bilangan pecahan. Merubah dengan cara 4 dikalikan 3 kemudian ditambah 2 dan merubah
menjadi
,
menjadi , dengan cara 1
dikalikan 6 kemudian ditambah 1, sehingga permasalahannya berubah menjadi
.
Strategi formal tradisonal yaitu pembagi bilangan pecahan itu dibalik kemudian dikalikan. Alasan Subjek menggunakan strategi ini karena saat di sekolah dulu dia diajarkan seperti itu dan dia tidak mengetahui alasan mengapa membalik dan mengalikan. Namun subjek yakin bahwa strategi yang dia gunakan tersebut adalah benar karena berdasarkan pengalaman dalam menyelesaikan masalah Subjek.
Gambar 1. Strategi Formal Tradisional yang Dikonstruk oleh Subjek Subjek membuat bentuk umum dari strategi tersebut yaitu
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
129
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Gambar 2. Bentuk Umum Strategi Formal Tradisonal
Strategi 1. Strategi pembagian yang pertama digunakan oleh Subjek adalah menggubah setiap bilangan pecahan menjadi desimal kemudia membaginya. Alasan Subjek menggunakan strategi ini adalah karena dia berpikir bahwa penyebut adalah pembagi dari pembilang, dengan membagi 14 dengan 3 yaitu 14 3 = 4.66 dan
itu sama
itu sama dengan membagi 7 dengan 6
yaitu 7 6 = 1.66. Selanjutnya membagi 4.66 dengan 1.66, 4.66 1.66 = 4 (Lihat Gambar 3). Subjek menyadari bahwa strategi ini kurang efektif ketika seseorang tidak memahami konsep operasi bilangan desimal yaitu letak titik (Pada umumnya di Indonesia menggunakan istilah “koma”) dan tidak semua bilangan pecahan dapat direpresentasikan dalam bentuk desimal misal bentuk desimal ini tidak berakhir jadi hasilnya itu pendekatan bukan hasil pasti. Misal
, jika diselesaikan dengan menggunakan srategi ini (menunjukkan strategi I) maka
hasilnya adalah 5, nilai 5 ini adalah hasil pastinya. Jika didapat nilai pendekatan. (menggunakan
3
angka
dirubah ke bentuk desimal maka
(menggunakan 3 angka desimal) dan desimal),
sehingga
(menggunakan 3 angka desimal). Nilai 4.997 merupakan nilai pendekatan sehingga ada kesalahan dari nilai pendekatan itu. “Itu akan menimbulkan banyak permasalahan” ungkap Subjek. Subjek mengungkapkan bahwa sebelumnya ia belum pernah menggunakan strategi ini karena sebelumnya ia tidak pernah menemukan strategi ini ketika membaca buku atau sumber yang lain. Namun biasanya hanya merubah bentuk pecahan menjadi desimal, bukan menyelesaikan pembagian bilangan pecahan dengan merubah ke desimal terlebih dahulu. Oleh karena itu, “saya menggunakan ide merubah pecahan ke desimal untuk menyelesaikan masalah ini” ungkap Subjek.
Gambar 3. Strategi 1 yang dikonstruksi oleh Subjek
Strategi 2. Strategi pembagian kedua yang digunakan oleh Subjek adalah membagi 4 dengan 1 hasilnya 4 dan membagi dengan hasilnya 4 (lihat Gambar 4). Namun Subjek tidak bisa meyakini strategi dapat digunakan dengan baik karena ketika ada masalah lain yaitu
130
.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Gambar 4. Strategi 2 yang dikonstuksi oleh Subjek
Strategi 3. Strategi pembagian ketiga yang digunakan Subjek adalah membagi penyebut dengan penyebut dan membagi pembilag dengan pembilang (seperti aturan dalam perkalian bilangan pecahan).
(Lihat Gambar 5). Subjek yakin jika strategi ini dapat
digunakan untuk menyelesaikan masalah pembagian pecahan secara umum dengan cara mencoba beberapa contoh pembagian bilangan pecahan. Subjek mengungkapkan bahwa sebelumnya ia belum pernah menggunakan strategi ini karena sebelumnya ia tidak pernah menemukan strategi ini ketika membaca buku atau sumber yang lain.
Gambar 5. Strategi 3 yang dikonstruksi oleh Subjek
Strategi 4. Strategi pembagian yang keempat adalah kedua pecahan tersebut diubah menjadi bilangan bulat dengan cara membagi dengan penyebut dari masing-masing pecahan (lihat Gambar 6).
Gambar 6. Strategi 4 yang dikonstruksi oleh Subjek Saat subjek mendapatkan ide ini, dia langsung terinspirasi dengan bentuk umum dari pembagian bilangan pecahan (lihat Gambar 7). Dia sangat senang ketika dapat menemukan ide untuk alasan dari strategi formal tradisional. kedua bilangan pecahan dikalikan dengan b (penyebut dari pecahan I) kedua bilangan pecahan dikalikan dengan d (penyebut dari pecahan II) merubah dalam bentuk bilangan pecahan pembagi itu sama dengan penyebut dalam bilangan pecahan
Gambar 7. Bentuk Umum Strategi Formal Tradisional yang dikonstruksi oleh Subjek Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
131
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Subjek II. Subjek merubah bilangan pecahan campuran terlebih dahulu menjadi bilangan pecahan, baru menyelesaikannya dengan operasi pembagian bilangan pecahan. Merubah menjadi , dengan cara 4 dikalikan 3 kemudian ditambah 2 kemudian dikalikan dengan Merubah
menjadi
hasilnya
.
, dengan cara 1 dikalikan 6 kemudian ditambah 1, sehingga
permasalahannya berubah menjadi
.
Strategi pembagian pertama yang digunakan Subjek II adalah membalik dan mengalikan, yaitu pembagi bilangan pecahan itu dibalik kemudian dikalikan
.
Alasan subjek II menggunakan strategi ini karena saat di sekolah dulu dia diajarkan oleh guru seperti itu dan dia tidak mengetahui alasan mengapa membalik dan mengalikan. Subjek II yakin bahwa strategi yang dia gunakan adalah benar karena berdasarkan pengalaman dalam menyelesaikan masalah pembagian bilangan pecahan. Subjek II juga membuat bentuk umum dari strategi ini yaitu
(lihat Gambar 8).
Gambar 8. Strategi 1 yang dikonstruksi oleh Subjek II
Strategi pembagian kedua yang digunakan oleh subjek II adalah pengurangan berulang. Subjek II mendapatkan ide ini dari konsep dasar dari operasi pembagian adalah pengurangan berulang sampai hasilnya 0. , sehinggga , 4 diperoleh dari banyaknya mengurangi sampai hasilnya 0 (lihat Gambar 9). Subjek II mengungkapkan ia akan mengalami kesulitan jika hasilnya adalah bukan bilangan bulat, misalnya . Sehingga Subjek II menyimpulkan strategi ini dapat digunakan untuk pembagian bilangan pecahan dengan hasil bilangan bulat. Bentuk umum dari strategi ini adalah . Hasil baginya adalah n, mengurangi dengan bilangan yang sama yaitu kali sampai hasilnya 0 (lihat Gambar 10).
sebanyak n
Gambar 9. Strategi 2 yang dikonstruksi oleh Subjek II
Gambar 10. Bentuk Umum Strategi 2 yang Dikonstruksi oleh Subjek II 132
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Strategi pembagian ketiga yang digunakan oleh subjek II adalah penjumlahan berulang. Subjek II mendapatkan ide ini dari konsep dasar dari operasi perkalian adalah penjumlahan berulang sampai hasilnya bilangan yang akan dibagi. itu artinya mencari banyaknya
sampai didapat
yaitu
,
sehinggga , 4 diperoleh dari banyaknya sampai hasilnya (Lihat Gambar 11). Seperti halnya strategi pengurangan berulang, Subjek II mengungkapkan ia akan mengalami kesulitan jika hasilnya adalah bukan bilangan bulat. Misalnya , kita harus menjumlahkan beberapa
sampai hasilnya . Hal tersebut tidak pernya kita
dapatkan, . Sehingga Subjek II menyimpulkan strategi ini dapat digunakan untuk pembagian bilangan pecahan dengan hasil bilangan bulat. Subjek II juga menuliskan bentuk umum dari strategi ini yaitu . Hasil baginya adalah n, menjumlahkan
dengan bilangan yang sama sebanyak n kali
sampai hasilnya (lihat Gambar 12).
Gambar 11. Strategi 3 yang Dikonstruksi oleh Subjek II
Gambar 12. Bentuk Umum Strategi 3 yang dikonstruksi oleh subjek II Strategi pembagian keempat adalah kedua bilangan dikalikan penyebut pecahan. (lihat Gambar 13). Subjek II menuliskan bentuk umum dari strategi ini yaitu (lihat Gambar 14): kedua bilangan pecahan dikalikan dengan b (penyebut dari pecahan I) menggunakan sifat invers b dalam perkalian
kedua bilangan pecahan dikalikan dengan d (penyebut dari pecahan II) pembagi itu sama dengan penyebut dalam bilangan pecahan sehingga akan ditemukan seperti strategi I. Subjek menemukan alasan/ asal mula didapatkan algoritma tersebut.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
133
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Gambar 13. Strategi 4 yang Dikonstruksi oleh Subjek II
Gambar 14. Bentuk Umum dari Strategi 4 yang Dikonstruksi oleh Subjek II
Pada saat menuliskan bentuk umum dari Strategi 4 ini, subjek II langsung ini mengungkapkan bahwa ia telah menemukan alasan dari algoritma membalik dan mengalikan. Subjek II : “ini seperti bentuk umum dari strategi yang pertama tadi, sekarang saya tahu alasan kenapa pembagian bilangan pecahan itu harus dibalik dan dikali” Pengamat : “Dari mana kamu bisa mengetahui alasan itu?” Subjek II : “Dari ini tadi (sambil menunjukkan hasil kerjanya), kedua pecahan dikalikan dengan masing-masing penyebut” Pengamat : “Kenapa harus dikalikan dengan masing-masing penyebut?” Subjek II : “agar pecahan ini menjadi bilangan bulat, sehingga muda dibaginya” Pengamat : “Apakah harus dikalikan dengan masing-masing penyebut pecahan itu?” Subjek II : “Ya.... emmmmmm (bergumam sambil berpikir beberapa menit) Pengamat : “Apa kamu sedang berpikir? Memikirkan apa?” Subjek II : “sepertinya tidak harus dikalikan dengan penyebut pecahan” Pengamat : “Trus dikalikan dengan apa?” Subjek II : “sebentar (terdiam beberapa menit), bisa juga dikalikan dengan kebalikan dari bilangan pecahan ini (menunjukkan pembagi bilangan pecahan)”
Pada saat subjek menjelaskan bentuk umum dari strategi keempat ini, dia mendapatkan ide lagi untuk alasan dari algoritma pembagian yaitu membalik dan mengalikan (lihat Gambar 15). kedua bilangan pecahan dikalikan dengan invert dari
(pembagi bilangan pecahan)
menggunakan sifat invers dalam perkaliann
134
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
sifat dari pembagi 1 yaitu a 1 = a
Gambar 15. Bentuk Umum dari Strategi 5 yang Dikonstruksi oleh Subjek II
Strategi keenam yang dikonstruksi oleh subjek II adalah membagi penyebut dengan penyebut dan membagi pembilang dengan pembilang (seperti aturan dalam perkalian bilangan pecahan). . Subjek mengungkapkan bahwa sebelumnya ia belum pernah menggunakan strategi ini karena sebelumnya ia tidak pernah menemukan strategi ini ketika membaca buku atau sumber yang lain. Namun, Subjek II yakin jika strategi ini dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah pembagian pecahan secara umum karena
Gambar 16. Strategi 6 yang Dikonstruksi oleh Subjek II
Hasil mengkonstruksi subjek dalam strategi menyelesaikan masalah pembagian pecahan disajikan dalam Tabel 2. Tabel 2. Strategi Penyelesaian Soal Pembagian Bilangan Pecahan Strategi Membalik dan Mengalikan
Karakteristik a) Strategi formal yang dianggap sebagai cara yang lebih umum untuk membagi bilangan pecahan b) Membangun pengetahuan perkalian dan pembagian
Contoh (b, c, d 0)
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
135
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Strategi Strategi penggunaan desimal
Strategi membagi pembilang dan penyebut
Strategi penyebut umum
136
Karakteristik bilangan asli a) Strategi informal yang dibangun berdasarkan pengetahuan tentang hubungan pecahan dan desimal b) Mengkonver si semua pecahan menjadi bilangan desimal c) Mnggunakan operasi pembagian bilangan desimal d) Strategi ini kurang efektif ketika bentuk desimal ini tidak berakhir jadi hasilnya itu pendekatan bukan hasil pasti Srategi informal dengan membagi penyebut dengan penyebut dan membagi pembilang dengan pembilang a) Membangun pengetahuan dari pembagian bilangan bulat dan pecahan yang ekuivalen b) Mengalikan dengan penyebut deviden dan mengalikan
Contoh (b, c, d 0)
Kurang efektif untuk soal
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Strategi
Strategi pengurangan berulang
Strategi penjumlahan berulang
Karakteristik dengan penyebut pembagi c) Mengkonver si bilangan pecahan menjadi bilangan bulat d) Menggunaka n pembagian bilangan bulat e) Memberikan alasan untuk algoritma membalik dan mengkalikan a) Strategi informal yang dibangun berdasarkan pengetahuan tentang pembagian bilangan bulat dari pengurangan berulang b) Mengurangi Deviden dengan bilangan yang sama (pembagi) c) Kurang efektif jika hasil baginya bukan bilangan bulat a) Strategi informal yang dibangun berdasarkan pengetahuan tentang invers pembagian adalah perkalian, dimana
Contoh (b, c, d 0)
. Hasil baginya adalah n, mengurangi
dengan bilangan yang sama yaitu
sebanyak n kali
sampai hasilnya 0
. Hasil baginya adalah n, menjumlahkan
dengan bilangan yang sama sebanyak n kali sampai
hasilnya
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
137
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Strategi
Karakteristik perkalian itu adalah penjumlahan berulang b) Menjumlaha n Pembagi sampai didapatkan jumlah dari deviden c) Kurang efektif jika hasil baginya bukan bilangan bulat Menggunakan a) Strategi manipulasi formal yang aljabar menuntut siswa untuk memanipulas i bilangan pecahan b) Mengubah deviden = 1, dengan cara mengalikan dengan invers dari penyebut dari deviden dan mengalikan dengan invers dari pembilang deviden c) Memberikan alasan untuk algoritma membalik dan mengkalikan Menggunakan a) Strategi manipulasi formal yang aljabar menuntut siswa untuk memanipulas i bilangan pecahan b) Mengubah deviden = 1, dengan cara mengalikan dengan
138
Contoh (b, c, d 0)
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Strategi
Karakteristik invers dari pembilang deviden dan mengalikan dengan invers dari penyebut dari deviden c) Memberikan alasan untuk algoritma membalik dan mengkalikan Menggunakan a) Strategi manipulasi formal yang aljabar menuntut siswa untuk memanipulas i bilangan pecahan b) Mengubah pecahan kedua (pembagi) menjadi 1 yaitu mengalikan dengan invers dari pembilang pembagi dan mengalikan dengan invers dari penyebut dari pembagi c) Memberikan alasan untuk algoritma membalik dan mengkalikan Menggunakan a) Strategi manipulasi formal yang aljabar menuntut siswa untuk memanipulas i bilangan pecahan b) Mengubah pecahan kedua (pembagi) menjadi 1
Contoh (b, c, d 0)
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
139
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Strategi
Karakteristik yaitu mengalikan dengan invers dari penyebut dari pembagidan mengalikan dengan invers dari pembilang pembagi c) Memberikan alasan untuk algoritma membalik dan mengkalikan Menggunakan a) Strategi manipulasi formal yang aljabar menuntut siswa untuk memanipulas i bilangan pecahan b) Mengubah deviden = 1 dengan cara kedua pecahan dikalikan dengan invers dari deviden c) Memberikan alasan untuk algoritma membalik dan mengkalikan
Contoh (b, c, d 0)
=
Simpulan Berdasarkan pembahasan hasil penelitian ditarik kesimpulan bahwa subjek mengkonstruksi berbagai strategi dalam menyelesaikan masalah pembagian pecahan. Subjek tidak hanya menggunakan strategi formal tradisional, namun subjek juga dapat mengkonstruk sendiri strategi formal tradisional tersebut yaitu melalui manipulasi aljabar. Selain strategi formal tradisional, subjek juga mengkontruk berbagai strategi penyelesaian masalah pembagian, yaitu strategi penggunaan desimal, strategi membagi pembilang dan penyebut pecahan kedua dan strategi penyebut umum.
140
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Saran Berdasarkan simpulan di atas, maka disarankan untuk penelitian selanjutnya adalah sebagai berikut: a. Mendalami proses berpikir mahasiswa calon guru dalam mengkonstruksi strategi menyelesaian masalah pembagian b. Mendalami penerapan strategi menyelesaikan masalah pembagian dalam proses pembelajara
Daftar Pustaka Ashlock, R. B. 1986. Error patterns in computation: a semi-programmed approach (4th ed.). Columbus, OH: Charles E. Merrill Publishing Company. Russefendi, E.T.2006. Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya Dalam Pengajaran Matematika Untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito. Santrock, John W. 2011. Educational psychology. McGraw-Hil: New York. Sinicrope, R., Mick, H., & Kolb, J. 2002. Fraction division interpretations. In B. Litwiller & G. Bright (Eds.), Making sense of fractions, rations, and proportions: 2002 Year Book (pp. 153–161). Reston, VA: National Council of Teachers of Mathematics. Walle, John A Van De. 2002. Matematika Sekolah Dasar dan Menengah, Pengembangan Pengajaran. Erlangga: Jakarta. Warrington, M. 1997. How Children Think about Division with Fractions. Mathematics Teaching in the Middle School, 2(6), 390–397. Wearne, D., & Hiebert, J. 1988. A Cognitive Approach to Meaningful Mathematics Instruction: Testing a Local Theory Using Decimal Numbers. Journal for Research in Mathematics Education, 19, 371–384. Yim, Jaehoon. 2009. Children’s Strategies for Division by Fractions in the Context of the Area of a Rectangle. Educ Stud Math (2010) 73:105–120. DOI 10.1007/s10649-009-9206-0. Springer Science + Business Media B.V. 2009.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
141
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Peningkatan Kompetensi Mengajar Mahasiswa Peer Teaching Program Studi Pendidikan Jasmani dan Kesehatan STKIP PGRI Jombang Melalui Lesson Study Basuki 10 ([emailprotected]) Novita Nur Synthiawati 10 ([emailprotected]) Abstract This study aim to improve the teaching competence of peer teaching student of Physical Education and Health in STKIP PGRI Jombang through lesson study. This study used a class action research design. The form of action was an attempt to improve the competence of peer teaching students through lesson study. The results of this study showed the average at the beginning of the test was 57%, first cycle was 65% and in the second cycles was 72.8% and the third cycle was 88.7%. The conclusion of this study in the first cycle, almost all students still impaired adaption due to students of peer teaching were asked to be more creative and inovative in doing plan, do and see that influenced the competence of peer teaching students. The second cycle, peer teaching students had been able to adapt well, seen most of the students were able to do plan, do and see well and the learning process could be optimized. The third cycle could be seen clearly that the changeover of each student in implementing plan, do, and see were better Keywords: Competence, Peer Teaching Student, Lesson Study Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kompetensi mengajar mahasiswa peer teaching Pendidikan Jasmani dan Kesehatan di STKIP PGRI Jombang melalui lesson study. Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian tindakan kelas (classroom action research). Bentuk tindakan tersebut adalah usaha meningkatkan kompetensi mahasiswa peer teaching melalui lesson study. Hasil penelitian ini diperoleh rata-rata pada tes awal adalah 57%, siklus satu adalah 65% dan di siklus dua adalah 72. 8% dan siklus ketiga adalah 88.7%. Kesimpulan penelitian ini pada siklus pertama, hampir semua mahasiswa masih mengalami gangguan adaptasi karena mahasiswa peer teaching dituntut untuk lebih kreatif dan inovatif dalam melakukan plan, do dan see sehingga berpengaruh terhadap kompetensi mahasiswa peer teaching. Siklus kedua, mahasiswa peer teaching sudah dapat beradaptasi dengan baik, terlihat sebagian besar mahasiswa mampu melakukan plan, do dan see dengan baik dan proses pembelajaran dapat optimal. Dan siklus 3 perubahannya sudah bisa dilihat dengan jelas bahwa masing-masing mahasiswa dalam melaksanakan plan, do, dan see dengan lebih baik lagi. Kata Kunci: Kompetensi, Mahasiswa Peer Teaching, Lesson Study
Pendahuluan Menjadi pendidik tidaklah mudah, banyak tunutan yang harus dikuasai apalagi untuk menjadi pendidik yang profesional. Pemerintah telah menetapkan kompetensi-kompetensi yang wajib dimiliki oleh seorang pendidik. Kompetensi pendidik yang wajib dimiliki antara lain: kompetensi personal, kompetensi professional, kompetensi paedogogik, dan kompetensi social. Kompetensi pendidik yang wajib dimiliki diantaranya adalah: 1) kompetensi personal artinya secara individu seorang pendidik harus sehat jasmani dan rohani dan dapat bertanggungjawab kepada masyarakat dan pemerintah, 2) kompetensi profesional artinya pendidik harus dapat menjalankan pekerjaannya sebagai pendidik sesuai dengan profesinya, 3) kompetensi 1017
Dosen Prodi Pendidikan Jasmani dan Kesehatan STKIP PGRI Jombang
142
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
paedagogik artinya pendidik harus mempunyai kemampuan untuk mengajar dan membimbing anak, dan 4) kompetensi sosial bahwa seorang pendidik harus dapat menghargai peserta didik, bergaul dengan teman sejawat dan berhubungan dengan masyarakat (Suparlan, 2004:126). Selain itu Seorang pendidik juga dituntut mengetahui karakteristik peserta didik, sesuai dengan pendapat Usman, (1990:3) bahwa peserta didik adalah manusia dengan berbagai potensi yang akan berkembang. Berkaitan dengan kompetensi yang wajib dimiliki pendidik, setiap perguruan tinggi baik negeri maupun swasta berusaha menanamkan kompetensi tersebut untuk mengahasilkan calon pendidik yang berkompeten. Banyak cara yang dilakukan perguruan tinggi untuk mengahasilkan mahasiswa yang berkompeten dalam bidangnya terutama bidang pendidikan. Selain memunculkan matakuliah yang bersifat pendidikan, seperti: dasar-dasar pendidikan, perkembangan peserta didik, strategi pembelajaran, belajar dan pembelajaran dan sebagainya. Perguruan tinggi juga masih menyelenggarakan kegiatan micro teaching atau juga dikenal dengan peer teaching dan praktek pendidikan lapangan (PPL) atau Real Teaching yang guna untuk memantapkan dan memperdalam ilmu dalam pendidikan terlebih dalam hal bagaimanakah mahasiswa nantinya mampu mengajar/mendidik dengan baik. Seorang pendidik diharapkan mempunyai keterampilan mengajar dan membimbing peserta didik dengan baik. Tujuan dari pembelajaran dapat tercapai dengan optimal tentunya didukung dari keterampilan pendidik tersebut. Menurut Mosston dan Asworth (1994:6) mengungkapkan ada tiga hal penting yang harus diperhatikan pada setiap kali akan mengajar (setiap kali pertemuan) yang meliputi: sebelum pertemuan (pre-impact), pada saat pertemuan (impact), dan sesudah pertemuan (post impact). Sedangkan menurut lutan (2002:90) secara umum, sistematika pengajaran dibagi menjadi tiga bagian: (a) pendahuluan, berisi tentang membuka kelas, (b) inti, dan (c) penutup (Lutan, 2002:90). Tahap pendahuluan, Syarifudin (1997:16) menyatakan bahwa “pada tahap pendahuluan meliputi: (1) kejelasan informasi, (2) pemberian tugas atau aba-aba, (3) bentuk pengelolaan kelas dengan kejelasan formasi peserta didik dan posisi pendidik, (4) tingkat aktivitas gerak peserta didik, (5) pemanfaatan fasilitas, sarana dan prasarana yang disesuaikan dengan situasi pembelajaran yang berlangsung”. Tahap pendahuluan merupakan fase untuk menyiapkan perhatian peserta didik kepada kegiatan yang akan berlangsung, menyiapkan fisik dan mental peserta didik untuk mengikuti kegiatan pembelajaran inti. Bagian pendahulan diisi dengan kegiatan memusatkan kembali perhatian anak kepada pengajaran, biasanya diawali dengan kegiatan pemanasan berupa rangsangan aktivitas jasmani yang ringan (Lutan, dkk. 2002: 90). Tahap inti, pendidik harus mempunyai gaya mengajar yang baik agar proses pembelajaran dapat diterima oleh peserta didik. Selain itu pendidik juga agar peserta didik tidak bosan dalam melaksanakan aktivitas gerak berulang-ulang dan tidak lama menunggu giliran untuk bergerak. Lutan (2002: 92) berpendapat bahwa dalam bagian ini ada dua tugas utama yang lazim dilakukan oleh pendidik, yakni: (1) penyediaan pengalaman gerak, (2) pelaksanaan pengalaman yang bertujuan untuk mendidik. Tahap ini dapat dikatakan merupakan tahap dimana peserta didik merealisasikan pola gerak menjadi tindak gerak (Syarifudin, 1997: 27). Tahap penutup adalah tahap menutup pelajaran yang dilakukan pendidik untuk mengakhiri kegiatan inti pelajaran. Maksudnya adalah memberikan gambaran menyeluruh tentang apa yang telah dipelajari peserta didik, mengetahui tingkat pencapaian peserta didik, dan tingkat keberhasilan pendidik dalam proses belajar mengajar. Lutan, dkk (2002:93) menyatakan “Pada tahap penutup dapat diberikan penenangan, berupa pemberian tugas ringan”. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
143
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Lutan (1988: 428) mengemukakan “tahap penenangan isinya ialah semacam kegiatan untuk memulihkan kembali kondisi fisik dan psikis peserta didik ke dalam keadaan yang normal. Latihan relaksasi seperti lari pelan, stretching pasif, dan message antar teman, dapat dilakukan untuk memulihkan fungsi fisiologis ke dalam keadaan normal seperti sebelum berlatih”. Pada tahap terakhir ini juga perlu dilakukan semacam tinjauan kembali hasil yang telah dicapai. Pada tahap penutup ini, peran pendidik tidak hanya mengumpulkan peserta didik untuk dibubarkan. Akan tetapi, selain itu juga memberikan semacam pelemasan otot dan pendidik hendaknya memberikan evaluasi atau rangkuman terhadap pembelajaran yang telah dilaksanakan. Berawal dari hal-hal tersebut, mahasiswa perguruan tinggi yang terutama mengambil jalan untuk menjadi pendidik atau calon pendidik harus menguasai kompetensi. Sebenarnya setiap perguruan tinggi pendidikan tentu sudah membekali mahasiswanya dengan bekal yang tergolongan tidak sedikit mulai jenis matakuliah teori yang terkait dengan pendidikan maupun praktek. Sama halnya dengan perguruan tinggi di STKIP PGRI Jombang program studi Pendidikan Jasmani dan Kesehatan yang juga dibekali dengan kegiatan Peer Teaching. Hasil penelitian awal melalui observasi yang dilakukan pada mahasiswa Peer Teaching prodi penjaskes STKIP PGRI Jombang angkatan 2012 diperoleh data sebagai berikut: a) aspek sikap sebesar 64,10% dengan kata lain cukup baik, b) aspek keterampilan mengajar sebesar 48,72% dengan kata lain kurang baik. Berdasarkan data yang diperoleh menunjukkan fakta bahwa untuk mahasiswa Peer Teaching prodi penjaskes sebagian besar belum menunjukkan seorang pendidik yang baik, padahal secara teori dan praktrek sudah diberikan dalam matakuliah. Observasi awal diketahui bahwa rata-rata skor keberhasilan mahasiswa peer teaching memiliki kompetensi sebesar 56,41% dengan taraf keberhasilan termasuk dalam cukup baik. Berdasarkan permasalahan diatas, maka perlu dilakukan penelitian tindakan kelas (PTK) dengan judul “Peningkatan Kompetensi mengajar mahasiswa peer Teaching Program Studi Pendidikan Jasmani dan Kesehatan STKIP PGRI Jombang”.
Metode Penelitian Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan rancangan penelitian tindakan kelas (PTK) atau Classrom Action Research. Rancangan penelitian ini terdiri dari perencanaan, pelaksanaan tindakan, observasi, dan refleksi pada setiap siklusnya, Kristiyanto (2010: 55). Subjek penelitian ini adalah mahasiswa peer teaching prodi Pendidikan Jasmani dan Kesehatan STKIP PGRI Jombang. Jumlah mahasiswa sebanyak 24 orang terdiri dari mahasiswa laki-laki 20, dan mahasiswa perempuan sebanyak 4 orang. Perencanaan adalah sebuah langkah yang awal, yaitu langkah untuk merencanakan tindakan yang telah dipilih untuk memperbaiki keadaan. Pelaksanaan tindakan adalah tahapan untuk melaksanakan hal-hal yang telah direncanakan dalam tahap perencanaan. Observasi adalah tahapan mengamati kejadian yang ada pada saat pelaksanaan tindakan. Refleksi adalah suatu bentuk perenungan yang sangat mendalam dan lengkap atas apa yang telah terjadi. Perencanaan penelitian ini berisi upaya untuk meningkat kompetensi mahasiswa peer teaching. Upaya-upaya inilah yang harus disiapkan untuk mencapai tujuan dalam pembelajaran. Kristiyanto (2010: 55) mengungkap hal-hal yang perlu diperhatikan yaitu: 1) pembuatan skenario pembelajaran, 2) persiapan sarana pembelajaran, 3) persiapan instrumen penelitian untuk pembelajaran, 4) simulasi pelaksanaan tindakan. Selain dengan pembuatan SAP juga 144
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
indikator capaian kompetensi peer teaching. Mahasiswa yang sudah bisa atau dikatakan memiliki kompetensi mengajar adalah mahasiswa peer teaching yang bisa melakukan atau sesuai indikator indikator sebagai berikut: a) sikap, antara lain: (1) keteladanan (2) tanggung jawab (3) semangat (4) komitmen (5) empati), (6) kerjasama, (7) disiplin, b) keterampilan mengajar, antara lain: (1) Menyiapkan Pembelajaran, (2) Membuka Pembelajaran (presensi, lingkup materi, apersepsi, tujuan: KAP), (3) Mengelola Waktu dan Arena Pembelajaran, (4) Mengelola Pemanasan dan Pendinginan, (5) Menempatkan Diri (memposisikan diri di arena pembelajaran), (6) Membuat Perintah, (7) Memonitor Perintah, (8) Memberi Umpan Balik (pengakuan kebenaran/ koreksi), (9) Mencatat Kemajuan Belajar Siswa, (10) Bertanya/Refleksi/ Menggali Pengalaman Belajar Siswa, (11) Menutup Pembelajaran (Apresiasi, tindak lanjut pertemuan, pembiasaan), (12) Mengevaluasi Diri Pada tahap tindakan, peneliti menyakini bahwa pada tahap ini dapat melaksanakan tindakan sesuai perencanaan yang telah dikesepakati dalam SAP. Tindakan penelitian melalui lesson study yang didalamnya meliputi plan, do, see. Tindakan yang diberikan yaitu mahasiswa berperan sebagai guru model dengan bergantian dan ada yang berperan sebagai observer. Plan, mahasiwa melakukan dengan tim. Do, mahasiwa melakukan plan dengan di observasi oleh observer. See, mahasiwa melakakukan refleksi bersama-sama dengan observer. Pada tahap observasi peneliti melakukan observasi terhadap tes yang dilakukan mahasiswa di tiap akhir siklus. Sedangkan pada tahap refleksi, dari data yang diperoleh pada tahap observasi data kemudian dikumpulkan dan dianalisis. Analisis data pada penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Analisis ini dilakukan dengan mendiskripsikan temuan-temuan yang terjadi selama proses pembelajaran berlangsung. Berdasarkan hasil analisis dilakukan refleksi melalui diskusi terfokus yang hasilnya untuk membuat keputusan berlanjut kesiklus selanjutnya atau tidak. Untuk mendiskripsikan data yang diperoleh menggunakan rumus persentanse, Sudijono (2001:40):P = F/N x 100% P = persentase F = frekuensi N = jumlah responden Sebagai patokan terhadap hasil analisis persentase digunakan klasifikasi pada tabel 1 berikut ini: Tabel 1 Persentase Taraf Keberhasilan No Persentase Klasifikasi 1 76%-100% Baik 2 56%-75% Cukup Baik 3 40%-55% Kurang Baik 4 < 40% Tidak Baik (Sumber Arikunto, 1998: 246)
Hasil Penelitian Berdasarkan hasil observasi awal mahasiswa kompetensi peer teaching Prodi Penjaskes STKIP PGRI. Jumlah mahasiswa sebanyak 24 orang terdiri dari mahasiswa laki-laki 20, dan mahasiswa perempuan sebanyak 4 orang. Mahasiswa yang sudah bisa atau memiliki kompetensi dikatakan baik adalah mahasiswa yang bisa melakukan dengan baik dan benar sesuai indikator sebagai berikut: (a) aspek sikap, antara lain: (1) keteladanan (2) tanggung jawab (3) semangat (4) komitmen (5) empati, 6) kerjasama, (7) disiplin, b) keterampilan mengajar, antara lain(1)
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
145
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Menyiapkan Pembelajaran, (2) Membuka Pembelajaran (presensi, lingkup materi, apersepsi, tujuan: KAP), (3) Mengelola Waktu dan Arena Pembelajaran, (4) Mengelola Pemanasan dan Pendinginan, (5) Menempatkan Diri (memposisikan diri di arena pembelajaran), (6) Membuat Perintah, (7) Memonitor Perintah, (8) Memberi Umpan Balik (pengakuan kebenaran/ koreksi), (9) Mencatat Kemajuan Belajar Siswa, (10) Bertanya/Refleksi/ Menggali Pengalaman Belajar Siswa, (11) Menutup Pembelajaran (Apresiasi, tindak lanjut pertemuan, pembiasaan), (12) Mengevaluasi Diri. Data observasi awal kompetensi mahasiswa peer teaching dapat dilihat pada tabel 2 di bawah ini: Tabel 2 Hasil observasi sikap Skor Keberhasilan Taraf No Indikator sikap mahamahasiswa (%) Keberhasilan 1 Keteladanan 63,33 cukup baik 2 tanggung jawab 63,33 cukup baik 3 Semangat 65,83 cukup baik 4 Komitmen 64,17 cukup baik 5 Empati 62,50 cukup baik 6 Kerjasama 65,83 cukup baik 7 Disiplin 65,83 cukup baik Rata-rata 64,40 cukup baik
Tabel 3 Hasil observasi keterampilan mengajar Skor Keberhasilan No Indikator keterampilan mengajar mahamahasiswa (%) 1 Menyiapkan Pembelajaran, 51,67 2 Membuka Pembelajaran (presensi, lingkup 49.17 materi, apersepsi, tujuan: KAP), 3 Mengelola Waktu dan Arena Pembelajaran, 50 4 Mengelola Pemanasan dan Pendinginan, 48,33 5 Menempatkan Diri (memposisikan diri di 48,33 arena pembelajaran), 6 Membuat Perintah, 47,50 7 Memonitor Perintah, 48,33 8 memberi Umpan Balik (pengakuan 48,33 kebenaran/ koreksi) 9 Mencatat Kemajuan Belajar Siswa 50 10 Bertanya/Refleksi/ Menggali Pengalaman 49,17 Belajar Siswa 11 Menutup Pembelajaran (Apresiasi, tindak 46,67 lanjut pertemuan, pembiasaan), 12 Mengevaluasi Diri 47,50 Rata-rata 48,75
Taraf Keberhasilan kurang baik kurang baik kurang baik kurang baik kurang baik kurang baik kurang baik kurang baik kurang baik kurang baik kurang baik kurang baik Kurang baik
Tabel 4 Hasil observasi awal kompetensi mengajar mahasiswa peer teaching Skor Keberhasilan Taraf No Aspek Kompetensi mahamahasiswa (%) Keberhasilan 1 Sikap 64.4 Cukup baik 2 keterampilan mengajar 48.75 Kurang baik Rata-rata 57 Kurang baik 146
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Berdasarkan tabel hasil observasi awal kompetensi mengajar mahasiswa peer teaching di atas dapat diketahui bahwa rata-rata skor kompetensi mengajar mahasiswa adalah 57% dengan kata lain cukup baik. Untuk kompetensi mahasiswa peraspek yaitu: a) aspek sikap sebesar 64,4% dengan kata lain cukup baik, b) aspek keterampilan mengajar sebesar 48, 75% dengan kata lain kurang baik.
Siklus I Pada siklus I pelaksanaan plan dilakukan oleh tim mahasiswa yang terdiri dari tim mahasiswa yaitu 2 mahasiswa. Sesi Do, mahasiwa yang sebagai guru model melakukan pembelajaran sesuai dengan Plan dan diobserver oleh mahasiswa. Sesi See, guru model dan observer melakukan refleksi secara bersama-sama. Setelah 3 pertemuan dilakukan tes diakhir siklus I. Diperoleh data dari observasi siklus I sebagai berikut: Tabel 5 Hasil observasi sikap No
Indikator sikap
1 2 3 4 5 6 7
Keteladanan Tanggung jawab Semangat Komitmen Empati Kerjasama Disiplin Rata-rata
Skor Keberhasilan mahamahasiswa (%) 69,17 74,17 67,50 70,83 68 68,33 69,17 69,52
Taraf Keberhasilan cukup baik cukup baik cukup baik cukup baik cukup baik cukup baik cukup baik cukup baik
Tabel 6 Hasil observasi keterampilan mengajar No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Indikator keterampilan mengajar Menyiapkan Pembelajaran, Membuka Pembelajaran (presensi, lingkup materi, apersepsi, tujuan: KAP), Mengelola Waktu dan Arena Pembelajaran, Mengelola Pemanasan dan Pendinginan, Menempatkan Diri (memposisikan diri di arena pembelajaran), Membuat Perintah, Memonitor Perintah, memberi Umpan Balik (pengakuan kebenaran/ koreksi) Mencatat Kemajuan Belajar Siswa Bertanya/Refleksi/ Menggali Pengalaman Belajar Siswa Menutup Pembelajaran (Apresiasi, tindak lanjut pertemuan, pembiasaan), Mengevaluasi Diri Rata-rata
Skor Keberhasilan mahasiswa (%) 61,67 57,5
Taraf Keberhasilan cukup baik cukup baik
62,5 63,33 63
cukup baik cukup baik cukup baik
61,67 61,67 59,17
cukup baik cukup baik cukup baik
62,5 58,33
cukup baik cukup baik
60
cukup baik
55,83 60,56
cukup baik cukup baik
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
147
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Tabel 7 Hasil observasi siklus I kompetensi mengajar mahasiswa peer teaching Skor Keberhasilan Taraf No Aspek Kompetensi mahasiswa (%) Keberhasilan 1 Sikap 69,52 Cukup baik 2 keterampilan mengajar 60,56 Cukup baik Rata-rata 65 Cukup baik Berdasarkan tabel hasil observasi siklus I kompetensi mengajar mahasiswa peer teaching adalah 65 % dengan taraf kata lain cukup baik. Untuk kompetensi mengajar mahasiswa peraspek yaitu: a) aspek sikap sebesar 69,52 % dengan kata lain cukup baik, b) aspek keterampilan mengajar sebesar 60,56% dengan kata lain cukup baik. Hasil pembelajaran yang dilaksanakan di siklus I dapat diketahui bahwa dengan lesson study membuat mahasiswa belajar berulang-ulang baik dari sesi plan, do, dan see sehingga mampu membuat mahsiswa tersebut menjadi tahu dan mengerti atau bagaimana melakukan yang terbaik meskipun melalui proses mencoba dan mencoba terus. (Lutan (1988:354) mengemukakan bahwa keterampilan motorik yang berbeda-beda dapat diubah dengan efek belajar atau pengalaman. Pada pembelajaran yang dilakukan mahasiswa peer teaching memiliki kelebihan dan kekurangan. Adapun kelebihan dalam proses pembelajaran yang sudah dilakukan di siklus I diantaranya adalah sebagai berikut: 1) Mahasiswa peer teaching menjadi terdorong untuk selalu melaksanakan atau do menjadi baik setelah direfleksi bersama-sama. 2) Pembelajaran yang diberikan/dilakukan menjadi lebih menarik dan tidak membosankan. Sementara itu kekurangan atau kelemahan yang terdapat dalam pembelajaran pada siklus I diantaranya adalah mahasiswa peer teaching belum memahami benar tentang lesson study sehingga penerapannya memerlukan waktu untuk beradaptasi. Dari kelemahan yang terjadi pada saat pembelajaran di siklus I maka pada pembelajaran di siklus berikutnya (siklus II) diharapkan tidak terulang lagi. Untuk siklus selanjutnya tindakan yang diberikan dengan menambahkan 1 mahasiswa dan 1 dosen. Setelah adanya penambahan diharapkan dapat meningkatkan pemahaman dan dapat meningkatkan plan, do, dan see lebih optimal lagi.
Siklus II Pada siklus II pelaksanaan plan dilakukan oleh tim mahasiswa dengan dosen yang terdiri dari tim mahasiswa yaitu 3 mahasiswa dan 1 dosen. Sesi Do, mahasiwa yang sebagai guru model melakukan pembelajaran sesuai dengan Plan dan diobserver oleh mahasiswa dan dosen. Sesi See, guru model dan observer melakukan refleksi secara bersama-sama. Setelah 3 pertemuan dilakukan tes diakhir siklus II. Observasi siklus II diperoleh data sebagai berikut:
No 1 2 3 4 5 6 7
148
Indikator sikap Keteladanan tanggung jawab Semangat Komitmen Empati Kerjasama Disiplin Rata-rata
Tabel 8 Hasil observasi sikap Skor Keberhasilan mahamahasiswa (%) 73,33 77,50 75 74,17 75 75 74,17 74,88
Taraf Keberhasilan cukup baik baik cukup baik cukup baik cukup baik cukup baik cukup baik cukup baik
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Tabel 9 Hasil observasi keterampilan mengajar Skor No Indikator keterampilan mengajar Keberhasilan mahasiswa (%) 1 Menyiapkan Pembelajaran, 73,33 2 Membuka Pembelajaran (presensi, lingkup materi, 68,33 apersepsi, tujuan: KAP), 3 Mengelola Waktu dan Arena Pembelajaran, 71,67 4 Mengelola Pemanasan dan Pendinginan, 70 5 Menempatkan Diri (memposisikan diri di arena 66,67 pembelajaran), 6 Membuat Perintah, 71,67 7 Memonitor Perintah, 70 8 memberi Umpan Balik (pengakuan kebenaran/ 71,67 koreksi) 9 Mencatat Kemajuan Belajar Siswa 72,5 10 Bertanya/Refleksi/ Menggali Pengalaman Belajar 72,5 Siswa 11 Menutup Pembelajaran (Apresiasi, tindak lanjut 69,17 pertemuan, pembiasaan), 12 Mengevaluasi Diri 70,83 Rata-rata 70,69
Taraf Keberhasilan cukup baik cukup baik cukup baik cukup baik cukup baik cukup baik cukup baik cukup baik cukup baik cukup baik cukup baik cukup baik cukup baik
Tabel 10 Hasil observasi siklus II kompetensi mengajar mahasiswa peer teaching Skor Keberhasilan Taraf No Aspek kompetensi mahasiswa (%) Keberhasilan 1 Sikap 74,88 Cukup baik 2 keterampilan mengajar 70,69 Cukup baik Rata-rata 72,8 Cukup baik Berdasarkan tabel hasil observasi siklus I kompetensi mengajar mahasiswa peer teaching adalah 72,8 % dengan taraf kata lain cukup baik. Untuk kompetensi mengajar mahasiswa peraspek yaitu: a) aspek sikap sebesar 74,88 % dengan kata lain cukup baik, b) aspek keterampilan mengajar sebesar 70,69% dengan kata lain cukup baik. Hasil pembelajaran yang dilaksanakan di siklus II sudah terlihat perubahan dari pada siklus I. pada siklus II mahasiswa peer teaching mengalami peningkatan yang jelas pada aspek keterampilan mengajar. Ini sesuai dengan pendapat widiartha dkk (2008:9) bahwa dengan proses lesson study yang melibatkan para guru dalam kelompok-kelompok diskusi kecil dengan aktifitas merencanakan mengajar, mengajar, melakukan observasi proses belajar mengajar dan melakukan diskusi setelah pembelajaran untuk melakukan berbagai perbaikan bagi proses pembelajaran berikutnya. Adapun kelebihan dalam pembelajaran di siklus II selain memotivasi guru dalam mengajar untuk lebih baik lagi dalam mengajar dan membuat pembelajaran lebih menarik, seperti yang dikemukakan widiartha dkk (2008:9) dengan lesson study akan membuat seorang pendidik dipaksa mempelajari hal positif dari pendidik yang lain. Ternyata dengan jalan selalu berdiskusi dapat menemukan solusi-solusi permasalah dalam pembelajaran tersebut. Sementara itu kekurangan atau kelemahan yang terdapat dalam pembelajaran pada siklus II adalah mahasiswa peer teaching belum begitu memahami karakteristik siswa sehingga dalam penerapan lesson study belum maksimal. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
149
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Siklus III Pada siklus III pelaksanaan plan dilakukan oleh tim mahasiswa dengan dosen yang terdiri dari tim mahasiswa yaitu 4 mahasiswa dan 2 dosen. Sesi Do, mahasiwa yang sebagai guru model melakukan pembelajaran sesuai dengan Plan dan diobserver oleh mahasiswa dan dosen. Sesi See, guru model dan observer melakukan refleksi secara bersama-sama. Setelah 3 pertemuan dilakukan tes diakhir siklus III . Diperoleh data dari observasi siklus III sebagai berikut: Tabel 8 Hasil observasi sikap Skor Keberhasilan No Indikator sikap Taraf Keberhasilan mahasiswa (%) 1 Keteladanan 87,50 baik 2 tanggung jawab 88,33 baik 3 Semangat 83,33 baik 4 komitmen 83,33 baik 5 empati 85,83 baik 6 kerjasama 85,83 baik 7 disiplin 86,67 baik Rata-rata 85,83 baik Tabel 3 Hasil observasi keterampilan mengajar Skor Keberhasilan No Indikator keterampilan mengajar mahasiswa (%) 1 Menyiapkan Pembelajaran, 89,17 2 Membuka Pembelajaran (presensi, lingkup 81,67 materi, apersepsi, tujuan: KAP), 3 Mengelola Waktu dan Arena Pembelajaran, 83,33 4 Mengelola Pemanasan dan Pendinginan, 79,17 5 Menempatkan Diri (memposisikan diri di arena 81,67 pembelajaran), 6 Membuat Perintah, 85 7 Memonitor Perintah, 77,5 8 memberi Umpan Balik (pengakuan kebenaran/ 82,5 koreksi) 9 Mencatat Kemajuan Belajar Siswa 79,17 10 Bertanya/Refleksi/ Menggali Pengalaman Belajar 80,83 Siswa 11 Menutup Pembelajaran (Apresiasi, tindak lanjut 78,33 pertemuan, pembiasaan), 12 Mengevaluasi Diri 80 Rata-rata 81,53
Taraf Keberhasilan cukup baik cukup baik cukup baik cukup baik cukup baik baik baik baik baik baik baik baik baik
Tabel 2 Hasil observasi siklus III kompetensi mengajar mahasiswa peer teaching No 1 2
150
aspek kompetensi Sikap keterampilan mengajar Rata-rata
Skor Keberhasilan mahasiswa (%) 85,83 81,53 83,7
Taraf Keberhasilan baik baik baik
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Berdasarkan tabel hasil observasi siklus III kompetensi mengajar mahasiswa peer teaching adalah 83,7 % dengan taraf kata lain cukup baik. Untuk kompetensi mengajar mahasiswa per-aspek yaitu: a) aspek sikap sebesar 85,83 % dengan kata lain cukup baik, b) aspek keterampilan mengajar sebesar 81,53% dengan kata lain cukup baik. Hasil pembelajaran yang dilaksanakan di siklus III sudah terlihat perubahan lebih baik lagi dari pada siklus II. Pada siklus III mahasiswa peer teaching mengalami peningkatan yang jelas pada aspek sikap dan keterampilan mengajar. Ini berarti bahwa pembelajaran menggunakan lesson study lebih efektif dan kompetensi mengajar pendidik yang dalam hal ini guru model menjadi meningkat kompetensisnya. Hasil ini selaras dengan penelitian Prof Kiyomi dari Universitas Tokyo Jepang menyatakan bahwa lesson study merupakan bentuk pelatihan professional yang palling efektif (Syamsuri, Istamar dan Ibrohim, 2008).
Simpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian ini dapat ambil kesimpulan bahwa pembelajaran lesson study dapat meningkatkan kompetensi mengajar meliputi aspek sikap dan keterampilan mengajar. Kesimpulan dapat diperjelaskan persiklus yaitu: 1. Pada siklus pertama, hampir semua mahasiswa masih mengalami gangguan adaptasi karena mahasiswa peer teaching dituntut untuk lebih kreatif dan inovatif dalam melakukan plan, do dan see sehingga berpengaruh terhadap kompetensi mengajar mahasiswa peer teaching. 2. Pada siklus kedua, mahasiswa sudah dapat beradaptasi dengan baik, terlihat sebagian besar mahasiswa mengalami perubahan yang jelas terutama pada aspek keterampilan mengajar. 3. Pada siklus ketiga, mahasiswa sudah menunjukan perubahan yang jelas terlihat dari aspek sikap dan keterampilan mengajar.
Daftar Pustaka Arikunto, Suharsimi. 1998. Manajemen Penelitian. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Cerbin, Bill dan Kopp, Bryan. 2005. Lesson Study College Teachers: An. On Line Guide. Kristiyanto, Agus. 2010. Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dalam Pendidikan Jasmani dan Kepelatihan Olahraga. Surakarta: UNS Press Lutan, R. 1988. Belajar Keterampilan Motorik, Pengantar Teori Dan Metode. Jakarta: Departemen Pendidikan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan. Lutan, R. Dkk. 2002. Supervisi Pendidikan Jasmani. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Dirjen Pendidikan Dasar Dan Menengah. Mosston, M. & Ashworth, S. 1994. Teaching Physical Education. 4th. Ed. Machmillan: College Publishing Company Syamsuri, Istamar dan Ibrohim. 2008. Lesson Study (Studi Pembelajaran) model Pembinaan Pendidik secara Kolaboratif dan Berkelanjutan: dipetik dari Program SISTTEMSJICA dikabupaten Pasuruan-jawa Timur (2006-2008). Malang: FMIPA UM
Sudijono, A. 1987. Pengantar Statistika Pendidikan. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Suparlan. 2004. Mencerdaskan Kehidupan Bangsa. Jakarta: Hikayat Syarifuddin. 1997. Pokok-pokok Pengembangan Program Pembelajaran Pendidikan Jasmani. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Undang-Undang No. 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Usman, Muhamad. 1990. Menjadi Guru Profesional. Bandung: Angkasa Widiartha, Putu.A dan Sudarmanto, Dwi dan Ratnaningsih, Nining. 2008. Lesson Study Sebuah Upaya Peningkatan Mutu Pendidik Pendidikan Nonformal.Surabaya: Guna Wijaya. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
151
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Student’s Verified Strategies Of Paraphrasing (A Case Study Of The Sixth Semester of English Students Through Verbal Report) Banu Wicaksono 11 ([emailprotected]) Erma Rahayu Lestari 11 ([emailprotected]) Abstract This research is a case study to uncover strategies in paraphrasing verified from their understanding and their quality of paraphrasing. Eight students of the sixth semester of English Department STKIP PGRI Jombang were voluntarily willing to enrol the study. They completed paraphrasing tasks and directly participated in retrospective interview adapted from Ericsson and Simon’s (1993) verbal report protocol. This procedure is done to reveal students’ strategies in paraphrasing verified to the understanding of the results of the interview. To investigate the extent to which students in paraphrasing strategy associated with the quality of their paraphrasing, researchers adapted paraphrase quality assessment from McInnis (2006) using two raters to maintain the validity of the assessment. The results of the verbal report show that there are 15 paraphrases strategies used by the subjects. Cognitive and compensation strategy are strategies that are commonly performed by all subjects. There is also an indication of a discrepancy between the subjects’ strategy in paraphrasing and their knowledge of paraphrasing. Subjects’ quality of paraphrasing is not only affected by strategies used but also their mastery of English. Keywords: Paraphrasing Strategies, Verbal Report Abstrak Penelitian ini adalah penelitian studi kasus untuk mengungkap strategi mahasiswa dalam berparafrase yang terverifikasi dari pemahaman pengertian parafrase dan kualitas parafrase mereka. Delapan mahasiswa semester enam Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris STKIP PGRI Jombang secara sukarela menjadi subyek dalam penelitian ini. Mereka menyelesaikan tugas paraphrase sekaligus melaporkan secara lisan apa yang mereka pikirkan dan kerjakan dengan mengadaptasi langkah verbal report protocol dari Ericsson dan Simon (1993). Prosedur ini dilakukan untuk mengungkap strategi parafrase yang diverifikasikan dengan pemahaman paraphrase dari hasil wawancara. Untuk menyelidiki sejauh mana strategi mahasiswa dalam berparafrase dihubungkan dengan kualitas parafrase mereka, peneliti mengadaptasi penilaian kualitas parafrese dari McInnis (2006) dengan menggunakan dua rater untuk menjaga validitas penilaian. Hasil dari verbal report menunjukan bahwa ada 15 strategi parafrese yang digunakan oleh para subyek. Strategi kognitive dan kompensasi merupakan strategi yang umum dilakukan oleh semua subjek. Hasil penelitian ini mengindikasikan adanya ketidak sesuaian antara strategi dan pemahaman parafrase, serta kualitas parafrase yang tidak hanya dipengaruhi oleh penggunaan strategi tetapi juga penguasaan subyek terhadap Bahasa Inggris. Kata Kunci: Paraphrasing Strategies, Verbal Report
Introduction The spread of English as the international language is increasing ever more in our globalized world, and the academic community is no exception. In today's academic society, the acquisition of English for Academic Purposes (EAP) skills can be considered to be an essential skill. One of the indicators associate with academic success is often associated with one’s academic writing ability. 11
Dosen Prodi. Pendidikan Bahasa Inggris STKIP PGRI Jombang
152
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Applying academic writing skill, normally students require some techniques on academic skills; one of academic skills is paraphrasing. Oshima and Hogue (2000: 127) describe paraphrasing as “a way of restating other ideas, meaning and information in our own words”. It means that in doing paraphrase, students should have engaged with and understood the ideas from their source materials, whilst still recognizing that the ideas they are discussing are not their own. Campbell in B. Kroll (1990: 211) argues that in order to be a success in academic writing students should appropriately integrate the ideas from other sources. The lack understanding the idea of paraphrasing may result in a suspected case of plagiarism, which is often interpreted as “academic dishonesty”. Considering the arguments, paraphrase is becoming one of the most important techniques in writing skills of English learners. Students may study paraphrasing strategies by the book instructions; however they, as learners, have individual differences. Dornyei (2005: 1) gives the term of individual differences as “characteristics or traits in respect of which individuals may be shown to differ from each other.” In learning, students are exposed to the same materials but they have different brain process that results to different mastery. The brain process is known as learning strategies. Wenden (1987: 6) suggests that “learning strategies refers to language learning behavior learners actually engage in to learn and regulate the learning of second language”. This study is adapted from McInnis (2009) who employs the criteria for “Paraphrase Appropriateness” to analyze the quality of paraphrasing. She graded the students’ appropriateness of paraphrase using her own checklist for paraphrase appropriateness. Depending on the meeting of seven criteria of good paraphrase taken from Purdue University Online Writing Lab (2009), she was able to classify each student’s paraphrase into following four categories: appropriate (meets all criteria), somewhat appropriate (meets 5-6) criteria) somewhat inappropriate (meets 3-4 criteria) and inappropriate (meets fewer than 3 criteria). Verbal protocols as noted by Park (2009: 287) have been widely applied to investigate the process of students’ attempt in learning or performing a task using their own strategies. He also adds that the mind process is “stable and can be verbalized…with their attention still focused on task performance” (Park, 2009: 287). These protocols begin with administering the task for students, and then they are encouraged to verbalize the thought content. The verbal report may occur concurrently with the task The present study is conducted in STKIP PGRI Jombang for there are various concept and strategies of students on paraphrase. It is crucial to conduct a study in viewing students’ definition of paraphrasing strategies as well as their paraphrasing strategies and how their strategies affect the quality of their paraphrase.
Method This research is qualitative. The subjects in this study were 8 students of STKIP PGRI Jombang who were selected from 14 students who already enrolled the recruitment of the research. All the subjects were the sixth semester students who had already taken English Writing I, II, and III courses. Those criteria of selection were taken on the basis that all the students on that semester were already master some techniques on paraphrasing and also have sufficient vocabulary since they already got the paraphrasing material in Writing II course on the third semester and thesis writing seminar in semester five. To sum up, the subject of this study were taken based on a purposeful sampling. This method is in line with the theory of
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
153
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Paton (2002) which states that the purposeful sampling is a non-random method of sampling where the researcher selects “information-rich” cases for study in depth. The researcher employed some instruments to collect the data:
1. Written Task. The written task is used to know the students ability in paraphrasing. The tasks in this study were in the form of sentences that should be paraphrased by the subjects. The task was taken from Brown (2006), “The principle of Language Learning and Teaching” chapter one. The theme of the reading task is also adjusted to the subjects’ background (education). To match with the paraphrasing strategies suggested by Sharpe (2007) and Belly (2006), the six sentences with possible structure for paraphrasing works were chosen. The first sentence was chosen since it dealt with chronological, the second dealt with substituting multiple synonyms, the third dealt with the use of strong verb to report. The last two sentences dealt with chronological and coordination.
2. Verbal Report. Through verbal report subjects reported through verbalization their thought concerning their learning strategies as they were currently perform a task of sentence level paraphrasing. Citing Ericsson and Simon (1993) on the level of verbalization, this study applied the two levels of verbalization, named talk-aloud and think-aloud in the initial process of the data collection. In this process, the student have verbalized all their thinking process and recorded their verbalization using voice recorder tool. The verbal report process ended with retrospection which was conducted in line with interview process so the subjects were not be distracted when they have to verbalized their thinking process. By applying this strategy subjects only focused on their thought while they were performing the given task.
3. Interview. Interview in this study was designed unstructured since the purpose was to elicit students’ paraphrasing strategies. This also completed the data from verbal report. What have been collected in level 1 and 2 of verbal report have been cross checked to the subjects’ response through the interview. This method was benefit to data triangulation in getting valid information. To have a depth analysis, the interview was conducted man-in-man after the task completion. The interview was also recorded. This research applies the following steps of data analysis: Step 1: Transcribing the Verbal Data (Task Completion and Interview). In this step the researcher transcribed in full the reports of the eight subjects who had verbalized their thought during the task completion and the interview session. Step 2 : Coding. After transcribing the verbal data, the researcher categorized each unit of data according to its function and purpose. To answer question number two, the coding system for classifying students’ paraphrasing strategies was done. The coding classified the data into general category (capital alphabet) and sub-category (lowercase alphabet). The researcher also recruited a second coder (one of the lecturers of Writing II, English Department of STKIP PGRI Jombang) to verify and participate on categorizing all of the transcribed verbal reports of the subjects, as well as later to judge the quality of subjects’ paraphrasing through the appropriateness of paraphrases. Step 3: Data Reflection. To address research question 1 on how to the students define paraphrasing, the researcher elaborated the data from the unstructured interview conducted at
154
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
the end of verbal report. The interview was designed to complete the verbal report data to elicit students’ definition or perception on paraphrasing and their paraphrasing strategies. What have been collected in level 1 and 2 of verbal report have been cross checked to the subjects’ response through the interview. Thus this method was also benefit to data triangulation in getting valid information. To address research question 2, to know the verified paraphrasing strategies used by students, the researcher elaborated the data from the verbal report protocol coded using adapted learning strategies from Oxford (1990) and paraphrasing strategies by Sharpe (2007), Oshima and Hogue (2000), and Bailey (2006).To verify the student’s strategies used in paraphrasing, the researcher compared and analyzed the verbal report and interview transcriptions that already coded previously. To address research question 3 on relating the students ’verified paraphrasing strategies and their qualities of paraphrasing, the researcher elaborated the data from grading the students’ paraphrasing quality or appropriateness issued by McInnis (2009). The researcher than verified the data to be cross-checked to reveal students verified perception and strategies of paraphrasing taken from the first and the second research questions.
Finding and Discussion Finding The Subject’s Knowledge of Paraphrasing. After conducting the verbal report protocols and interview as a method of data collection the students perception of paraphrasing revealed. When asked about their typical conception on paraphrasing the subjects’ responses varied. In the case of paraphrasing definition, all of the subjects agreed that paraphrasing was used when they wanted to rephrase or rewrite the information from an outside source in their own words without changing the original meaning. All the 8 subjects believed that changing the sentence or the paragraph in their own language was necessary in order to avoid from doing plagiarism. Therefore, words substitution was needed in order to paraphrase. However, the subjects had varied methods in performing their way to paraphrase. Some of them had missed perception on ways of paraphrasing which latter on would affect their paraphrasing quality. The following table summarizes subjects’ perception, their ways to paraphrase and their mistake seeing from Sharpe’s (2007) suggestions: Table 1. Summary of Subjects’ Definition and their Ways to Paraphrase Definition of Paraphrase Rephrase / rewrite the information from outside sources using their own words without changing the original meaning
Subjects’ Name Subject 1, Subject 2, Subject 3, and Subject 5,
Subject 6
Ways to Paraphrase
Other Findings
Choose synonyms for word and phrases (use keywords and vocabularies substitution) and use alternative grammar structures
Paraphrasing could be shorter or (mostly longer than its original sentence. Personal opinion can be used in order to explain or support the idea.
Choose synonyms for word and phrases (use keywords,
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
155
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Subjects’ Name
Definition of Paraphrase
Paraphrase is simply changing a sentence or paragraph using their own words
Ways to Paraphrase
Subject 4, Subject 7 and Subject 8
Other Findings
vocabularies substitution) and use alternative grammar structures. Paraphrased sentence should be in about the same length) Mostly emphasize on vocabulary substitution
Student’s Verified Strategies for Paraphrasing. In order to map student’s verified paraphrasing strategies, the verbal report data coded and processed using adapted learning strategies from oxford (1990) and suggested paraphrasing strategies from Sharpe (1997). The average data of student’s paraphrasing strategies that used to complete all tasks (6 questions) can be summarized from the following table: Table 2. The Frequency/ Trend of Student’s Paraphrase Strategies was Mapped using Oxford (1990) DIRECT STRATEGIES
S
Memory Strategy
S1
K w 5
S2
Compens Cognitive strategies ation (DS-CogS) Strategies
el
Ct rd
5
1
6
dg rs p y 6 6
2
2
6
S3
5
6
S4
2
S5
6
1
S6
S7
INDIRECT STRATEGIES Affecti Social Metacognitive ve strategi strategies strategi es es
To so Dic
ovl Ipt sm
se
Tr
dcu
1
5
6
1
1
1
6
6
1
4
1
1
2
4
3
6
6
6
1
6
1
4
6
2
6
3
6
4
6
4
6
1
6
1
1
6
6
6
3
5
4
4
3
1
6
6
6
6
6
2
6
5
6
6
6
6
6
6
6
4
6
6
S8
1
6
6
6
1
6
6
6
∑
13 25 2
4
12 32 23 33
%
52. 27.1 1 4.2
Note: s = subject
156
48 34 48 34 12 36 70. 100 8 100 70.8 25.0 75.0
8.3 25.0 66.7 47.9 68.8
5 10.4
dic = using dictionaries or thesaurus
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
kw =using keyword from the original source. el =elaborating or associating unknown words from the original source. ct = citing original sources rd = reading to gain understanding dgp = recognizing and using different formula and pattern from the original source to the paraphrase work. rsy =recombining the synonym to = translating the original source. so = summarizing the original source.
ovl = over viewing and linking with already known material. ipt = identifying the purpose of a language task sm = self-monitoring for the mistakes or problems in paraphrasing se = self-evaluating for checking paraphrasing work tr = taking risk in using unknown cues dcu = developing cultural understanding to the nature of paraphrasing. % = the percentage of the strategy used by eight subjects to finish the current task.
a. Direct Strategies 1) Memory Strategies a)
Using Keyword from the Original Source Finding or using keyword as a strategy in paraphrasing was applied by subject 1. He took “production tempo” (speed), “increase” (to be greater), and “multi word” (much more word) as the key words. The words “sophisticated” (high), “repertoire” (vocabularies understanding) and “mushrooming” (increasing) became keywords on task 4. “Complex structures” (complex understanding) and expand (enlarge) became keyword on task 5. Dealing with this study, however not all subjects used key words as their strategy to paraphrase. Subject 2, 3, 4, 6, 7, and 8 did not approve this strategy although they admitted using keywords in the interview. When the researcher interviewed Subject 3 after doing the verbal report, she admitted finding the key words as her method of paraphrasing. While in fact, she actually only found the difficult words. Here we found some misunderstanding about the terms of key words. b) Elaborating or Associating Unknown Words from the Original Source. This strategy is a part of the direct strategy where the subjects associating the unknown word, phrases or even a sentence to elaborate unknown information from the source sentence. In other words, when subjects may not be familiar with a given theme they might associate the phrases or sentences by elaborating the ideas of the sentences. The example of using elaboration to associate unknown words was performed by Subject 3. When Subject 3 got difficulties in deciding the word “what come to be known”, she tried to elaborate this meaning by taking account to the previous words or phrases. She started to translate the sentence in Bahasa Indonesia to have text understanding but in vain. This was caused by her limitation on vocabulary mastery. Her effort to translate the vocabulary was only based on her prediction without checking dictionary. Finally, she decided to elaborate the sentence by connecting each phrases to its context. c) Using Citation. Taking citation to acknowledge the author/ writer ideas is very important to account. In order not to commit in plagiarism, an appropriate paraphrasing should provide the information of from whom the ideas originated. As being discussed in problems of the study number 1, from
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
157
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
the conducted interview, mostly all subjects were aware the important of putting citation. They were also aware of their task to paraphrase the six sentences. However, only two of them realized the important of putting the citation. They admit that they only concentrated on transforming a sentence using their own words or phrases and maintaining the original meaning from the source. This condition can be seen from the following interview excerpt from Subject 3: Interviewer Subject 3 Interviewer Subject 3
: Clark (2003) what does it means? : So, it is from his opinion. : So when we paraphrase, is it important to contribute the name? : yes, actually… but at the previous time I do not focus on the name. … I only focus on how to transform the sentence.
2) Cognitive Strategies a) Reading Text to Gain Understanding. Reading the text carefully was the strategies that applied by all the subjects. To gain comprehension of the text, they read and reread the original sentence they would paraphrase. They identified and grouped words or phrases logically in order to understand the idea of the text. To comprehend the idea of the sentence completely, they often looked up dictionary to find the meaning of words that was not understood. The applied example of this strategy performed by Subject 1 when he was paraphrasing task 1: The first quotation I found was: "Modern" research on child language acquisition dates back to the latter part of the Eighteenth century, after the German philosopher Dietrich Tiedemann recorded his observation of the psychology and linguistics development of his young son”. The word that I still do not understand here is dates back, latter part, and acquisition. However after I searched in the dictionary, acquisition here in my understanding is related to language abilities or language skills and of course dealing with children. b) Recognizing and Using Different Formula and Pattern from the Original Source to the Paraphrase Work. Recognizing text structure in this case refers to understanding meaning through analyzing the cohesive devices and discourse markers that contribute to the logical relation of ideas. Usually the aims of these strategies were to make syntactic shift of paraphrased sentence. As they realized that syntactical shift is needed in paraphrasing, all the subjects of the study applied this strategy to make their paraphrase appropriate.”When we borrow ideas from outside sources or another person’s text we should write that ideas using our own language and sentence pattern without changing the original meaning” (Subject 3) c) Recombining the Synonym and Grammar Change in Paraphrasing. Finding and recombining synonyms seem to be one of the most productive processes in the paraphrasing tasks conducted by all of the subjects (Subject 1 to 8) since they really understood the important of using this the strategies to make appropriate paraphrasing. Before deciding to use a particular synonym of a word, subjects took some specific processes such as checking the appropriateness of the level of formality, accuracy in certain contexts, and word choices. Some of them found the synonyms from dictionary, some of them took the facility of finding synonyms on Microsoft Word program to guess the meaning of the words or check for certain synonyms. The data below reflect such a cognitive strategy:
158
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
I try to reverse the construction … later than the German philosopher Dietrich Tiedemann.. this one recorded.. for the word recorded I will use surveillance.. of psychological and linguistic improvement of his little young oh sorry little son. So, the paraphrasing of this sentence would be) improvement of his little son.. the new research for child language acquisition come from. So at the eight century.. OK, I will put this word in front …. So.. of the eighteen century later than .. I will try to write the paraphrasing)… Of the eighteen century, later than the German Philosopher Dietrich Tiedemann surveillance of the physiological and linguistics improvement of his little son, the new research for child language acquisition come from (Subject 6). d) Translating the Original Source. Translating the original source is a strategy of paraphrasing used by all subjects. Using this strategy, students could bridge their lack understanding and the rules of Standard English. This cognitive strategy allows learners to use their own native language as a basis for understanding the new vocabularies or words in the second/ foreign language. Since all the subjects are not English native, this strategy is very helpful in transforming the source idea. For subjects who have low quality paraphrasing, Subject 7 and Subject 8, translating seemed to be the main strategy to paraphrase after reading the original quotation. Subject 7 for example, when the researcher revealed her first strategies used in paraphrasing, she admitted to translate the original sentences first to Bahasa Indonesia than she paraphrased it still in Bahasa Indonesia. To make English paraphrasing, off course, she just definitely translated her paraphrase she already did in Bahasa Indonesia to the target language (English). The first thing I did in paraphrasing was translating the sentence into Bahasa Indonesia than paraphrase it also in Bahasa Indonesia. After that to have English paraphrasing, I directly translated my paraphrased sentence in Bahasa Indonesia to English (Subject 7) e) Summarizing the Original Source. As one of paraphrasing strategies, summarizing the original source was conducted to reduce or to simplify the original source and to capture the gist or idea of the paragraph. After analyzing the key information and difficult vocabulary in task 1, Subject 2 directly reduced or simplified the original source. To make it simple, this sentence emphasized on how the increase of children’s vocabulary increased day by day to be combined into a sentence. So it can be written as the child acquisition can be seen by their development on vocabularies day by day (Subject 2). This strategy, however, was not widely used by the subject. They prefer to translate the original sentences in order to uncover the ideas of sentence rather than to summarize. Only Subject 5 and 7 applied this strategy to paraphrase.
3) Compensation Strategies. Compensation strategies help students to use the language even they have large gaps in knowledge. This strategy was intended to make up for a lack of knowledge in the areas of grammar and vocabulary. a) Using Dictionaries or Thesaurus. Dictionary appears to be an important tool for almost all the subjects not only to find the meaning of newly encountered words but also to confirm and check their understanding of meaning existing in their repertoire of vocabulary. During the task, all the subjects were provided with dictionary either electronic (through hand phone) or Bilingual (English-English) dictionary. The following excerpt from Subject 1 shows the utilization of dictionary:
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
159
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
The word that I still do not understand here is Dates back, latter part, and the latter is acquisition. But after I searched the dictionary for word acquisition here in my understanding related to language abilities or language skills and of course dealing with children or the children. And on the back dates, which I found here is something that has done or something to do ... " (Subject 1) b. Indirect Strategies 1) Metacognitive Strategies. These strategies go beyond purely cognitive devices and provide the students with a way to coordinate their learning process. Metacognitive strategies have positive effects to support cognitive strategies. Meaning the use of metacognitive strategies assists students in applying cognitive strategies in task completion. a) Over Viewing and Linking with Already Known Material. This strategy dealt with over viewing comprehensively a key concept, principle, or set of materials in an upcoming language activity and associating it with what student has already known. This strategy can be accomplished in many different ways, learning why the activity is being done, building the needed vocabulary, and making the associations. Below is the example script taken from Subject 6’s verbalized report in case of linking with already known materials. “…if not mistaken, I ever known the word insight. It means wawasan (perception). For the word “derived” it comes from what come to be known as the series method” (Subject 6). b) Identifying the Purpose of a Language Task. This strategy dealt with the subject consciousness in identifying the purpose of language task. All subjects of the study actually aware their purpose of doing the task. That was why before starting their paraphrasing task they clarified what would they do concerning the task. This strategy helped the students maintained their purpose of doing task in order to fully aware of what they doing. Quotation bellow represented the fact of her awareness of the task: “Here, I will try to quote from many sources about Language Acquisition for Children” (Subject 1). Here I’d like to paraphrase for number one (Subject 2, Subject 4) I have opinion that the key words of this paragraph “Modern” research on child language acquisition so I don’t need to change that sentence but I have to change another sentence as usual I do in paraphrasing (Subject 6) c) Self-Monitoring for the Mistakes or Problems in Paraphrasing. When the subjects got difficulties in paraphrasing the original sentence, they performed many different strategies. Many subjects performed self-monitoring as a metacognitive strategy, in order to take control over their mistakes or their difficulties when they paraphrased. Selfmonitoring actually is an internal mental process in which individual record data of what they were doing in order to adjust or encounter their difficulties. It involved checking, verifying and correcting of their performance during a paraphrasing task. Subject 3, Subject 5, Subject 6, Subject 7 and Subject 8 were the subjects who often practiced this strategy. d) Self-Evaluating for Checking Paraphrasing Work. Evaluating the full sentence of paraphrase was commonly the last step taken by all the subjects in both groups to check the accuracy of grammar and equality of meaning. This was especially visible as this strategy occurred close to the reading of the full original text before the subjects decided to stop doing the task. Subjects 2, 3, 4, 6 and 7 applied this self-evaluating
160
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
strategy. Subject 4 and Subject 8 always used this strategy to check the completeness of their paraphrasing. The following excerpt reflects this strategy. The paraphrase will be: Furthermore the German philosopher Dietrich Tiedemann made a note of his monitoring from his young son which is about expansion of the psychological and linguistics to the last part of the century after seventeenth (Subject 4)
2) Affective Strategies a) Taking Risk in Using Unknown Cues. When subjects found unknown or unsolved words, even after consulting dictionary, to paraphrase the source, they tried to solve the meaning of the unfamiliar words by finding a gist or hint, whether from the context or their previous understanding. In order to complete their paraphrasing finally they had to decide to use the unknown cues, even they might not understand whether the cues was correct or not. “I want to shorten the words more and more words are spoken every day to language since the words already referred to language (Subject 5). In applying this strategy, Subject 5 had already taking risk to simplify the phrases. She made wrong generalization of the words “more words are spoken every day” to language since language cannot replace the words “more and more words are spoken every day”. Whenever the subjects did not comprehend the appropriate meaning, when they did not correlate to the sentence’s context mostly they often made mistakes. The example of this case is performed by Subject 4 when she must replace the word “repertoire” to “list of song”. Thus, this effort leads the subject to wrong perception.
3) Social Strategies a) Developing Cultural Understanding to the Nature of Paraphrasing. This affective strategy provided learners a background knowledge of the culture of the speakers of the language for a better understanding of new vocabulary words and exploring cultural and social norms. This strategy included questioning for clarification, asking for explanation, or verification to become aware of social norms. Over here I find two new vocabularies the first one is tempo and the second is multiword. Ok I will look up at dictionary first. I find that the tempo word is speed ee ... maybe I can change it into speed but this related with the ability of speaking so I will change it into speed of speaking. (Subject 1) Subject 1 noticed that there were two words that he didn’t know the meaning. For the first word, tempo, he looked up the meaning at dictionary, however he thought that the dictionary meaning of the word didn’t match to the sentence meaning. He, then, considered background of the text and he came to an understanding of the word tempo into speed of speaking. The process of considering background of the text might include into the condition of understanding vocabulary by exploring cultural or social norm. He took the way of verifying the word from dictionary.
How do the students’ verified paraphrasing strategies relate to the quality of their paraphrase? This question links three domain areas. The first domain was connected to student’s perceptions on paraphrasing, the second was related to student’s paraphrasing strategies, and the last domain was students’ paraphrasing quality. This discussion revealed how the relationship between them in determining the quality of students paraphrases. The researcher has classified the subject into three categories or paraphrasing quality by finding the mean of their Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
161
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
paraphrasing quality from the two raters based on McInnis (2009: 48) qualification. The lowest achievement (inappropriate paraphrasing) was Subject 5, Subject 7 and Subject 8. Subject 2 and Subject 6 ware in the classification of somewhat inappropriate. The best from all (somewhat appropriate) was Subject 1, Subject 3 and Subject 4. a) Somewhat Appropriate Group. The subjects perceived that the purpose of paraphrasing is to simplify the content, to avoid plagiarism, to improve clarity of the content, and to reformulate the same ideas using different words. To them, such a concept and definition of paraphrasing seemed already set as in their in long-term memory and easily applied when the subjects were writing the paraphrases during the task. The words I don’t’ understand here are: dates back, latter part, and acquisition. After I checked dictionary, the word acquisition relates to language ability, while dates back means something that was done or something to do (Subject 1 finding the appropriate definition or synonyms of difficult vocabularies) Children who are at school age will learn both something which can be talked and which can’t be talked as they learn about the social functions of their language (the use of appropriate alternative grammar structure using coordination performed by Subject 4) The social function of children language is should be learned in their school in order they understand the word that should be avoided or the word is should be used (Subject 3). (the use of sufficient syntactical shift, word order, active to passive performed by Subject 4) b) Somewhat Inappropriate Paraphrasing Group. This group actually also have applied what somewhat appropriate group did. On the understanding on paraphrasing, actually Subject 6 had better capacity of knowledge as revealed from the interview. She had a better understanding on what paraphrasing is and she even gave appropriate way to paraphrase. She stated that paraphrasing was to rephrase / rewrite the information from outside sources using their own words without changing the original meaning. In the matter of how to paraphrase, Subject 6 explained that “when we paraphrase, the paraphrased sentence should be in about the same length. We also should choose appropriate synonyms for word and phrases (use keywords, vocabularies substitution) and use alternative grammar structures”. She also revealed the important to cite or referring attribution to original author by mentioning the source. However, since her lack proficiency in English, she often made some mistakes in elaborating and defining the core of the sentence. “The contraction tempo now days starts to raise many words are uttered in daily life and many combinations uttered as multiword sentences” (Subject 6). Subject 6 made mistakes in finding the synonym or the equivalent word of production tempo and the use of wrong order word to replace “many combinations uttered as multiword sentences” became “combinations of multi-word sentences are uttered”. c) In appropriate Paraphrasing Group. Inappropriate or unacceptable paraphrasing is usually caused by making only superficial changes to the original text such as replacing some of the words with synonyms or changing the sentence order. Unacceptable paraphrasing usually showed ones did not have a significant understanding of the subject and opens the possibility of misrepresenting the original author's ideas.
162
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
The last group was classified as inappropriate paraphrasing group since the subjects perform inappropriate paraphrasing. When we referred back to their knowledge or understanding on paraphrasing, this group acknowledge that paraphrasing was simply changing a sentence or paragraph using their own words by “retaining the original meaning” (Subject 7 and Subject 8).
Discussion Through verbal report protocols suggested by Ericson and Simon (1993), the researcher attempted to gather, explore and analyze student’s perception and their strategies in paraphrasing the six sentences provided. It is also approved to describes or investigate the process of student’s attempt in performing a task using their own strategies. This idea is in line with Park (2009: 287) mentioning that this method is widely used to investigate student’s strategies in learning though administering the tasks then encourages them to verbalize the thought content. The finding of the study shows that almost all the subjects (5 subjects: Subject 1, 2, 3, 5, and 6) actually understand well on the definition of paraphrase. They argue that paraphrasing is rewriting the information from outside sources using their own words without changing the original meaning. For example from the interview data, Subject 3 believed that to paraphrase is to cite an outside article using our own words. Therefore, when she paraphrased a sentence she considered that the use of citation is a must. However, from the interview conducted at the end of verbal protocol, she admitted that she forgot to cite the citation since she only focused on how to transform the sentence. Thus, the finding seems to be correlates to Liao and Tseng (2010) from which they discovered the mismatch between the subject perception and behavior. Although the students aware the important of paraphrase they failed to produce acceptable paraphrase since they do not have sufficient experience and practice. However, for some subjects of the study, the application of verbal report protocols to reveal their paraphrasing strategies seems to have some limitation. Obviously, subjects can verbalize only thoughts and processes about which they are consciously aware. Thus, processes that are automatic and executed outside of conscious awareness are not likely to be included in verbal protocols, and other means of assessing such processes must be used. Also, nonverbal knowledge is not likely to be reported. They admit that they do not accustom to this procedure. To eliminate this limitation, the researcher previously provides some examples and instruction deals with verbal report protocols. The researcher applies the paces of data collection includes: subject recruitment, introducing subject to the task (verbal report training session), the paraphrasing session, and ended with post task interview and follow up. This steps, as the result can help the students to follow and complete the verbal report protocols, even though at the time of doing this protocols they still not feeling comfortable. The researchers then evaluated the verified paraphrasing strategies used by students. In doing so, the researcher uses the data from the written task and the interview script. The researcher discovered that the subjects used a variety of strategies, which did not always conform to their self-reported perceptions of what constitutes effective and appropriate paraphrasing. For example, some subjects verbalized an effort to avoid direct copying by citing or referring to original author and mentioning the source but in fact most of them forgot to write the citation. To discover students paraphrasing strategies, the learning strategies taxonomy issued by oxford (1990) can be said to be very helpful in mapping out the students’ paraphrasing Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
163
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
strategies. The use of learning strategies taxonomy also justified by Macaro (2001: 20) that it can be justified to all language learning types. The researcher then evaluated the quality and appropriateness of six paraphrases produced by the eight subjects relates to the subjects’ verified paraphrasing strategies. This study adapted the previous research by McInnis (2009) in which she applied her own taxonomy on criteria for paraphrasing appropriateness. This checklist for paraphrasing appropriateness proved to be able to map the quality of students’ paraphrasing in this study. Using this checklist, all of the subjects’ paraphrasing quality eventually could be graded. The uses of the second coder also help the researcher to have a reliable data. Like Keck (2006) and McInnis (2006) the researcher also recommend the use of the second rater for the further researchers since this method is beneficial to data triangulation in order to get a valid or objective data. Additionally, from the finding, strategies that were verbalized by subjects during the task and from the interview at the end of verbal report process show a disconnection between perceived and actual appropriateness. The result indicates that the quality of subjects paraphrasing determined not only by how the subjects integrate their understanding to the terms of paraphrasing and the variety of paraphrasing strategies they used but also depends on their English proficiency.
Conclussion and Sugestion The perceptions which were obtained from students’ verbalized report on paraphrasing and stimulated recall interview indicate that the subjects had already had sufficient knowledge on paraphrasing. They clarified that paraphrasing is the using of our own words to express someone else’s idea whilst still preserving the main ideas of the original source. However, some subjects reflected misperception on defining paraphrasing. On the matter of students paraphrasing strategies, the data is formulated from Oxford (1990) learning strategies which also taking from Sharpe (2007) suggestions in paraphrasing. The result showed about 15 integrated strategies (direct and indirect strategies) applied by the subjects basing on Oxfords (1990) classifications on direct and indirect strategies. Those strategies were using keyword from the original source, elaborating or associating unknown words from the original source, using citation, reading text to gain understanding, recognizing and using different formula and pattern from the original source to the paraphrase work, recombining the synonym and grammar change in paraphrasing, translating the original source, summarizing the original source, using dictionaries or thesaurus, over viewing and linking with already known material, identifying the purpose of a language task, self-monitoring for the mistakes or problems in paraphrasing, self-evaluating for checking paraphrasing work, taking risk in using unknown cues, developing cultural understanding to the nature of paraphrasing. To the questions of how students’ strategies affect the quality of their paraphrase, the answer revealed from confronted the quality of paraphrasing from McInnis criteria’s to the subjects’ foreknowledge of paraphrasing and the strategies applied in paraphrasing. The result indicates that the quality of subjects paraphrasing determined by how the subjects integrate their understanding to the terms of paraphrasing and the variety of paraphrasing strategies they used. The subjects’ quality of paraphrasing also depends on their English mastery. Thus, even though they have the same perception or even different, the quality of paraphrasing always relate on their English proficiency. Based on the conclusion, it is suggested to English teacher to establish a consistent policy as well as provide the objective nature of judging the quality and appropriateness of 164
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
paraphrases. Hopefully, the teaching of how to paraphrase is not merely thought in the Writing class but integrates this skill to the students’ daily academic writing activities using various strategies of paraphrasing. For the next researchers, the exploration study of other academic skills such as on summarizing and synthesizing will also be worth pursuing.
References Bailey, Stephen. 2006. Academic Writing. A Handbook for International Students. Second Edition. Routledge. 2 Park Square, Milton Park, Abingdon, Oxon OX14 4RN Brown, H. Douglas. 2003. Language Assessment Principle and Classroom Practices. California: Longman. Campbell, C. (1990). Writing with others’ words: Using Background Reading Text in Academic Compositions. In B. Kroll (Ed.), Second language writing: Research Insights for the Classroom (pp. 211-230). Cambridge: Cambridge University Press. Dörnyei, Z. (2005). The Psychology of the Language Learner: Individual Differences in Second Language Acquisition. Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Ericsson, K. A., & Simon, H. A. (1993). Protocol analysis: Verbal Reports as Data (Rev. ed.). Cambridge, MA: Bradford Books/MIT Press. Keck, C. (2006). The Use of Paraphrase in Summary Writing: A Comparison of L1 and L2 Writers. Journal of Second Language Writing, 15, 261-278. Liao, Ming-Tzu and Tseng, Chiung-Ying (2010). Students' Behaviors and Views of Paraphrasing and Inappropriate Textual Borrowing in an EFL Academic Setting. PanPacific Association of Applied Linguistics 14(2), 187-211 Macaro, Ernesto. 2001: Learning Strategies in Foreign and Second language Classroom. London: Continuum. Mcinnis, Lara. 2009 Analyzing English L1 and L2 Paraphrasing Strategies Through Concurrent Verbal Report and Stimulated Recall Protocols. Department of Curriculum, Teaching and Learning University of Toronto. Unpublished. Meriam Websters Dictionary, Definition of Synonym, retrieved November 8, 2013. URL: www.merriam-webster.com/dictionary/synonym Oshima, Alice & Hogue, Ann. 2000. Writing Academic English, Third Edition, Young Publishing House. Oxford, R.L. 1990: Language Learning Strategies: What Every Teacher Should Know. Boston: Heinle & Heinle. Park, Siwon. 2009. Verbal Report in Language Testing. The Journal of Kananda University of International Studies Vol. 21 (2009) Purdue University Online Writing Lab. (2009). Quoting, Paraphrasing and Summarizing. Retrieved October 27, 2013, from www.owl.english.purdue.edu/owl/resource/563/01/ Sharpe, Pamela. J. (2007). Barron’s TOEFL iBT Internet-Based Test with 10 audio CDs. Bina Rupa Aksara Shi, L. (2004). Textual Borrowing in Second-Language Writing. Written Communication, 21(2), 171-200. Wenden, A. and Rubin. Joan. 1987. Learner Strategies in Language Learning. New Jersey: Prentice Hall.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
165
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Tuturan Fatis Guru Besar dalam Perkuliahan Kelas Linguistik Pahriyono 12 ([emailprotected]) Abstract Interpersonal contact is inevitably occurred in any social lives. It should be maintained to create the convivial gregariousness considerably concented to be a nature of human communication, including in learning interaction and communication. Based on the pragmatic perspective, the interpersonal contact is maintained by performing phatic utterances defined as a type of speech in which ties of union are created by a mere exchange of words. This study is aimed at analyzing and describing the functions of phatic utterances performed by the Professors in the linguistic classes. The phatic utterances are the data of this study analyzed by the model developed by Yin (2011) covering (1) compiling, (2) disassembling, (3) reassembling, (4) interpreting), and (5) concluding. The result reveals that the phatic utterances performed by the Professors have some functions such as (1) to brek silence, (2) to give reinforcement, (3) to keep conversation going on, (4) to make chit-chat, (5) to express solidarity, (6) to create a good sound of feeling, and (7)to say good bye. Keywords: phatic utterance, interpersonal contact, language function, learning interaction. Abstrak Kontak interpersonal yang pasti terjadi dalam setiap kehidupan sosial. Ini harus dijaga untuk menciptakan gregariousness ramah jauh menyetujui untuk menjadi sifat komunikasi manusia, termasuk dalam interaksi dan komunikasi pembelajaran. Berdasarkan perspektif pragmatis, kontak interpersonal yang dipertahankan dengan melakukan ucapan-ucapan phatic didefinisikan sebagai jenis pidato di mana hubungan serikat diciptakan oleh pertukaran hanya kata-kata. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan menjelaskan fungsi dari ucapan-ucapan phatic dilakukan oleh Profesor di kelas bahasa. Ucapan phatic adalah data penelitian ini dianalisis dengan model yang dikembangkan oleh Yin (2011) yang meliputi (1) kompilasi, (2) pembongkaran, (3) menyusun kembali, (4) menafsirkan), dan (5) hasil concluding. Hasil kajian ini mengungkapkan bahwa ucapan-ucapan phatic dilakukan oleh Profesor memiliki beberapa fungsi seperti (1) ke brek diam, (2) untuk memberikan penguatan, (3) untuk menjaga percakapan terjadi, (4) untuk membuat chit-chat, (5) untuk mengekspresikan solidaritas, (6) untuk membuat suara yang bagus perasaan, dan (7) untuk mengucapkan selamat tinggal. Kata kunci: tuturan phatic, kontak interpersonal, fungsi bahasa, interaksi belajar.
Pendahuluan Kemampuan berbahasa yang dimiliki manusia merupakan satu dari tanda-tanda kebesaran Allah SWT yang patut untuk dikaji sehingga dapat diperoleh manfaat khususnya dalam pengembangan ilmu kebahasaan dan penggunaan bahasa dalam kehidupan sehari-hari. Berbahasa merupakan bagian hidup manusia, baik verbal maupun non-verbal. Dengan berbahasa manusia bisa menyampaikan apa yang ada di pikiran dan perasaannya, serta apa yang menjadi keinginan dan tujuannya. Dengan berbahasa pula terjadi sebuah interaksi interpersonal dan interaksi sosial sehingga terjadi saling tukar pikiran dan berbagi perasaan.Ini yang menjadi kebutuhan manusia dalam membangun kehidupan sosial di mana mereka berada.Jadi, saling bertutur kata, bertukar kata-kata, dan bercerita antara satu dengan lainnya merupakan kodrat dan kebutuhan dasar manusia. Diakui bahwa ketika seseorang itu bertutur kata dia pasti memiliki maksud (intentionatau sense) yang hendak disampaikan kepada orang lain dan biasanya menghendaki adanya pengaruh 12
Dosen Pendidikan Bahasa Inggris, STKIP PGRI Jombang
166
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
(efek) dari tuturannya itu (Austin, 1962). Dalam teori penggunaan bahasa dinyatakan bahwa interaksi verbal adalah lebih menitikberatkan pada interaksi makna yang mengedepankan konteks sebagai penentu maknanya dari pada interaksi bentuk.Interaksi semacam ini disebut dengan istilah pragmatik (Huang, 2007; Gazdar, 1979). Dunia pendidikan tinggi juga tidak terlepas dari adanya interaksi atau komunikasi verbal yang terjadi antara dosen/guru besar dan mahasiswa. Komunikasi verbal yang dilakukan partisipan tersebut menggunakan bentuk-bentuk linguistik tertentu yang memiliki makna dan fungsi tertentu pula (Jumanto, 2006). Misalnya, seorang dosen menggunakan tuturan (ungkapan) untuk menunjukkan emosinya, ‘saya senang mengajar Bahasa Inggris’, ‘saya suka berbicara Bahasa Inggris’. Ungkapan semacam itu bersifat ekspresif atau emotif yang menunjukkan perasaan atau isi hati penutur. Juga, terdapat tuturan lain yang dapat digunakan oleh penutur dengan tujuan menyuruh orang lain melakukan sesuatu, misalnya ‘hidupkan AC-nya’, ‘tutup pintu itu’, dan sejenisnya. Tuturan seperti itu bersifat direktif yang bertujuan menyuruh orang lain melakukan sesuatu. Tuturn expresif atau emotif serta tuturan direktif tersebut di atas mengacu pada penutur (speaker) atau mitra tutur (hearer).Di samping itu, terdapat tuturan yang mengacu pada pihak atau orang ketiga atau sesuatu yang dibicarakan, kemudian fungsi tuturan ini dinamakan fungsi referensial (Jakobson, 1960). Misalnya, ‘Bahasa Inggris itu bahasa internasional’, ‘mahasiswa itu bernama Jayanti’, ‘Rani itu cantik sekali’, dan sejenisnya. Dalam komunikasi verbal pada manusia seringkali juga tidak mengacu pada seseorang atau sesuatu apapun tetapi itu lebih berfungsi pada upaya menjaga kontak interpersonal dan/atau kontak sosial di antara mereka.misalnyadalam Bahasa Inggris, ‘hello’, ‘how’re you?’, ‘nice day, isn’t it? Dan dalam Bahasa Indonesia, misalnya ‘selamat pagi, Prof.’, ‘mau mengajar, Prof?’, ‘Wah, kalian Nampak semangat ya, kuliah’, dan sejenisnya.Tuturan-tuturan semacam itu sering diucapkan ketika seseorang saling bertemu yang merupakan fenomena komunikasi verbal yang dikenal dengan istilah ‘komuni fatis’ (phaticcommunion) (Malinowski, 1923), fungsi fatis (phaticfunction)(Jakobson, 1960), ‘tuturan fatis’ (phaticutterance) (Kreidler, 1998), dan komunikasi fatis (phaticcommunication) (Jumanto, 2006). Komuni fatis merupakan komunikasi yang tidak dimaksudkan untuk mencari atau mengirimkan informasi, tetapi lebih sebagai komunikasi yang memiliki fungsi sosial untuk memantapkan atau mempertahankan kontak sosial dan interpersonal (Richard etal., 1992). Sehubungan dengan hal ini, Jumanto (2006) menggunakan istilah komunikasi fatis untuk tujuan yang sama dari hasil penelitiannya pada masyarakat modern penutur jati Bahasa Inggris.Adapun penelitian ini berfokus pada kajian bagaimanakah fungsi tuturan fatis guru besar dalam perkuliahan kelas linguistik Program Doktor Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta? Mengingat pentingnya fungsi tindak tutur fatis untuk menjaga kontak interpersonal dan/atau sosial, maka dalam dunia pendidikan tinggi hubungan atau kontak personal antardosen dan mahasiswamerupakan aspek penting demi keberhasilan aktivitas pembelajaran.Penelitian ini merupakan kajian pragmatik yang menitikberatkan pada aspek tuturan fatis dalam peristiwa tutur yang terjadi di kampus dalam perkuliahan guru besar dalam kelas linguistik Program Doktor Pascasarjana di Universitas Sebelas Maret Surakarta. Tentu penelitian ini berbeda dengan kajian yang dilakukan oleh peneliti terdahulu seperti Malinowski (1923) yang mengambil objek kajian komuni fatis (phaticcommunion) dalam kehidupan masyarakat primitif yang menggunakan bahasa lokal (daerah) di Papua, dan Jumanto (2006) yang mengkaji komunikasi fatis dengan objek kajian masyarakat modern yang berbahasa Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
167
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Inggris di Jakarta. Adapun penelitian ini mengkaji tuturan fatis (phaticutterance) dengan objek kajian perkuliahan guru besar dalam kelas linguistik Program Doktor Universitas Sebelas Maret Surakarta. Tipikal penutur juga berbeda antara penelitian terdahulu tersebut dengan penelitian ini, yaitu kajian komuni fatis (Malinowski, 1923) dengan tipikal penutur primitif berlatar belakang tidak berpendidikan berprofesi bertani/berkebun, dan komunikasi fatis (Jumanto, 2006) dengan tipikal penutur modern berlatar belakang pendidikan tinggi berprofesi nonpendidikan, sedangkan kajian tuturan fatis (penelitian sekarang) dengan tipikal penutur berpendidikan doktor dengan profesi guru besar.Adapun dari aspek metodologi, antara penelitian terdahulu dan sekarang memiliki kesamaan, yaitu menggunakan metode etnografi komunikasi.
Landasan Teori Dalam penggunaan bahasa sehari-hari termasuk dalam kehidupan dunia pendidikan ditemukan penggunaan tuturan seperi ‘apa kabar?’, ‘mau mengajar, pak?’, ‘wah, kalian nampak lebih semangat, ya’, dan sebagainya.Tuturan-tuturan terebut lebih menekankan pada fungsi menjaga hubungan baik antara penutur dan mitra tutur yang disebut sebagai tuturan fatis (Phaticutterance).Tuturan fatis ini masih tetap dipandang penting karena memiliki tujuan dan maksud tersendiri yaitu menjaga kontak interpersonal dalam kehidupan sosial (Kreidler, 1998). Tuturan fatis di antaranya adalah ucapan salam, ucapan perpisahan, ucapan terima kasih, dan sejenisnya. Juga semua ungkapan tentang komentar terhadap cuaca, bertanya tentang kondisi kesehatan.Juga frasa-frasa yang digunaka untuk mendoakan seseorangsaat memulai perjalanan, peringatan hari ulang tahun, hari-hari besar nasional, hari-hari besar keagamaan, dan lain-lain.Dalam aktivitas pembelajaran di kelas juga digunakan tuturan fatis oleh guru, dosen, guru besar, termasuk juga siswa dan mahasiswa, seperti sapaan ‘pak!’, ‘selamat pagi, pak!’, ‘wah, ide anda baik sekali’, ‘tugas kalian sudah bagus, tapi perlu beberapa tambahan’, dan sejenisnya.Jadi, tuturan fatis pada dasarnya memiliki satu fungsi utama yaitu menjaga kontak interpersonal dan/atau kontaks sosial di samping memiliki fungsi spesifik lainnya atas dasar konteks tuturan. Karl Buhler (1918 dalam Jumanto, 2006) seorang berkebangsaan Jerman yang menjelaskan fungsi bahasa dengan model organon. Model tersebut dikembangkan berlandaskan atas kerangka konsep dasar komunikasi yang mencakup tiga komponen pokok yaitu pengirim (sender), pesan (message), dan penerima (receiver). Dalam model Buhler dijelaskan aktivitas komunikasi verbal antara penutur/pengirim (speaker/sender) dan mitra tutur/penerima (listener/receiver) dengan menggunakan media atau tanda (S = sign). Di dalam model itu terdapat lingkaran yang menggambarkan fenomena akustik yang konkrit. Juga, terdapat segitiga yang melambangkan tiga faktor variabel dalam model tesebut, yaitu pengirirm, tanda yang digunakan, dan penerima. Berdasarkan atas model Buhler tersebut, fungsi bahasa mencakup tiga aspek, yaitu 1) fungsi ekspresif, 2) fungsi apelatif, dan 3) fungsi representatif. Fungsi ekspresif adalah fungsi yang didasarkan atas bahasa sebagai gejala dan digunakan untuk mengungkapkan perasaan penutur; fungsi apelatif adalah fungsi yang didasarkan atas bahasa sebagai sinyal yang memiliki daya tarik untuk mengarahkan perasaan dan perilaku penutur; dan fungsi representatif yaitu fungsi yang didasarkan atas bahasa sebagai lambang yang dapat digunakan untuk membicarakan objek dan berbagai keadaan (objectsandstatesofaffairs).
168
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Malinowski (1923) juga mengembangkan nosi fungsi bahasa dengan mendasarkan pemikirannya pada gagasan Buhler.Dalam interaksi dan komunikasi sehari-hari, manusia menggunakan bahasa sebagai alat yang belakangan diyakini dan ditemukan secara empiris bahwa bahasa berfungsi lebih dari sekedar alat komunikasi.Terdapat fungsi bahasa yang lebih menitik beratkan pada cara bertindak (modeofaction) yang digagas oleh Malinowski (1923) bahwa bahasa berfungsi sebagai pengikat sosial dan pencipta kehidupan yang harmonis, ramah tamah, penuh persahabatan dan kedekatan personal sehingga tercipta kehidupan yang menyenangkan dan damai serta saling menghormati di antara satu dengan lainnya. Kemudian Malinowski (1923) mencetuskan istilah untuk itu yang dikenal dengan nama komuni fatis (phaticcommunion), yaitu tipe tuturan yang digunakan untuk menciptakan ikatan sosial yang harmonis dengan semata-mata saling bertukar kata-kata.Istilah komuni fatis merupakan pernyataan teori (statementoftheart) dari Malinowski (1923) yang didasarkan atas hasil penelitian pada masyarakat primitif di Papua-Melanesia, dengan fokus kajian pada beberapa bahasa dari suku-suku primitif di wilayah tersebut. Jadi, bahasa dalam bentuk asli dan fungsi primitifnya memiliki ciri pragmatik, yaitu sebagai sebuah cara dari perilaku manusia, sebagai sebuah elemen yang tak terpisahkan dari tindakan manusia yang dilakukan secara bersama-sama (concertedhumanaction). Jakobson (1960) menjelaskan bahwa komunikasi itu terjadi mencakup enam faktor penting yang selalu ada dalam tindak komunikasi verbal.Enam faktor tersebut mencakupi 1) penutur (addresser) yang menyampaikan 2) pesan (message) kepada 3) mitra tutur (addressee). Agar supaya pesan tersebut dapat dioperasikan, maka dibutuhkan yang namanya 4) konteks (context) yang diacu, dan dikenali oleh mitra tutur, baik itu yang bersifat verbal ataupun yang bisa diverbalkan, lalu 5) kode, yang juga bisa dikenali oleh penutur dan mitra tutur sebagian ataupun keseluruhannya, yang juga disebut sebagai encoder dan decoder dari pesan; dan selanjutnya 6) kontak (contact), yaitu saluran fisik (physicalchannel) dan hubungan psikologis (psychologicalconnection) antara penutur dan mitra tutur sehingga dimungkinkan komunikasi tetap terjaga dan dipertahankan. Jadi, menurut Jakobson (1960) bahwa enam faktor komunikasi tersebut memiliki peran penting dalam menetapkan sebuah fungsi bahasa sehingga komunikasi dapat berjalan dengan baik dan lancar atau bisa disebut sebagai komunikasi yang efektif. Enam fungsi bahasa menurut Jakobson (1960) tersebut meliputi: 1) fungsi bahasa emotif (emotive), fungsi yang memberikan penekanan pada pengirim pesan (penutur) dan merupakan ungkapan langsung dari sikap penutur tentang apa yang sedang dibicarakan; 2) fungsi bahasa konatif (conative), fungsi yang memberikan penekanan pada petutur; 3) fungsi bahasa referensial (referential), fungsi yang memberikan penekanan pada acuan atau konteks yang sedang dibicarakan; 4) fungsi bahasa fatis (phatic), fungsi yang menitik beratkan pada kontak (contact) yang terjadi antara penutur dan mitra tutur; 5) fungsi bahasa metalingual (metalingual), fungsi yang menitik beratkan pada kode (code) yang digunakan oleh penutur dan petutur; dan 6) fungsi bahasa puitis (poetic), fungsi yang menitik beratkan pada pesan (message) yang disampaikan sehingga dapat melahirkan citra dalam perasaan, kesan yang mendalam, dan pesan dipandang berhasil. Jumanto (2006) melakukan penelitian dengan fokus kajian fungsi komunikasi fatis yang terjadi di kalangan penutur jati (nativespeakers) bahasa Inggris.Tiga ragam bahasa Inggris terbesar di dunia (the American, the British, dan the Australian) dipilih dalam penelitiannya.Dengan berpijak di atas pundak para raksasa terdahulu seperti Malinowski, Buhler, Jakobson, dan lain-lain, Jumanto dapat menemukan dua belas fungsi komunikasi fatis di Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
169
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
kalangan penutur jati bahasa Inggris. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa fungsi-fungsi fatis masih banyak digunakan oleh penutur jati bahasa Inggris di era modern seperti sekarang ini. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada beda antara temuan Malinowski yang obyeknya adalah masyarakat primitif dengan Jumanto dengan obyek masyarakat modern. Sesungguhnya mereka ingin hidup damai, ramah tamah, harmoni, saling menghormati, dan dalam ikatan sosial yang kuat serta hubungan interpersonal yang tetap terjaga dengan berbahasa dan berkomunikasi yang bersifat fatis. Terdapat dua belas fungsi komunikasi fatis dijelaskan Jumanto (2006), yaitu 1) memecahkan kesenyaapan, 2) memulai percakapan, 3) melakukan basa-basi, 4) melakukan gossip, 5) menjaga agar percakapan tetap berlangsung, 6) mengungkapkan solidaritas, 7) menciptakan harmoni, 8) menciptakan perasaan nyaman, 9) mengungkapkan empati, 10) mengungkapkan persahabatan, 11) mengungkapkan penghormatan, dan 12) mengungkapkan kesantunan.
Metode Penelitian Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan metode etnografi komunikasi.Terdapat beberapa alasan mengapa digunakannya metode etnografi komunikasi dalam penelitian ini. Pertama, metode etnografi komunikasi dapat memperlihatkan proses komunikasi khususnya saat melakukan tindak tutur fatis. Kedua, metode etnografi komunikasi menawarkan suatu cara pendokumentasian yang sistematis dan rinci tentang interaksi komunikasi yang berupa tindak tutur fatis. Ketiga, metode etnografi komunikasi dapat menyingkap peran budaya dalam interaksi komunikasi khususnya ketika melakukan tindak tutur fatis (Watson-Gegeo, 1995). Peristiwa tutur dalam penelitian ini adalah perkuliahan kelas linguistik Program Doktor di Universitas Sebelas Maret Surakarta pada bulan September 2011 sampai dengan bulan Agustus 2012. Adapun data penelitian ini berupa tuturan fatis yang digali dari sumber data, yaitu guru besar bidang linguistikyang berjumlah empat orang. Instrumen penelitian yang digunakan adalah observasi dengan teknik rekam (recording), simak (listening), dan catat (note-taking). Dalam melakukan observasi, peneliti berpartisipasi aktif di dalam kelas sebagai mahasiswa.Data penelitian yang telah didapat dianalisis dengan teknik analisis data yang dikembangkan oleh Yin (2011) yang mencakupi lima tahap, yaitu (1) compiling (pengumpulan), (2) disassembling (pelabelan atau pengkodean), (3) reassembling (pengelompokan dalam bentuk tabel, grafik, dafar, dan sejenisnya), (4) interpreting (penafsiran dalam bentuk naratif), dan (5) concluding (penyimpulan).
Hasil Penelitian Tuturan fatis yang diproduksi oleh guru besar dalam perkuliahan kelas linguistik di Program Doktor Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta memiliki beberapa fungsi fatis di antaranya adalah 1) memecahkan kesenyapan (to breakthesilence), 2) memberikan penguatan (to give reinforcement), 3) menjaga percakapan tetap berlangsung, 4) melakukan basa-basi (to make chit-chat), 5) mengungkapkan solidaritas (to express solidarity), 5) menciptakan perasaan nyaman (to create good sound of feeling) , dan 6) mengungkapkan perpisahan (to say good bye). Fungsi fatis tersebut dapat dijelaskan sebagaimana berikut ini. 1. Memecahkan Kesenyapan (to break silence) Suasana senyap yang dimaksud dalam perkuliahan ini adalah suasana di mana para mahasiswa dalam keadaan pasif, tidak bersuara, dan terlihat serius atau nampak tidak 170
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
bersemangat mendengarkan penjelasan guru besar.Dalam situasi seperti ini, guru besar hanya berbicara sendiri tanpa adanya reaksi apapun dari mahasiswa.Situasi semacam ini tentu tidak diinginkan oleh para guru besar sehingga mereka mencoba memecahkan kesenyapan tersebut dengan berbagai cara seperti yang ditemukan dalam penelitian ini yang dijelaskan berikut ini. Fungsi fatis memecahkan kesenyapan dilakukan oleh para guru besar dengan beberapa caraseperti a) memberi salam awal pertemuan kuliah, dan b) memberikan contoh menarik terkait materi perkuliahan, dan c) bercanda. a) Memberi salam awal pertemuan Tuturan berikut ini digunakan oleh para guru besar dalam memberikan salam awal perkulihan, yaitu Selamat Pagi, Bapak-Ibu…!, Selamat Siang, Bapak-Ibu….!, Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Ketika para mahasiswa duduk tenang tanpa kata di ruang kelas sebelum kuliah dimulai, situasi terlihat senyap lalu guru besar mengucap salam tersebut sebagai salam awal perkuliahan dan dialog atau tanya-jawab seputar materi kuliah atau guru besar yang bersangkutan bercerita terlebih dahulu sebelum memulai kuliahnya. Salam semacam itu termasuk tuturan fatis yang difungsikan untuk membuka kran kontak interpersonal. Oleh karenanya salam tersebut seringkali tidak menghendaki adanya jawaban dari mitra tutur, dan penutur tidak merasa terserang muka positif dan muka negatifnya apabila salamnya tidak mendapat jawaban dari mitra tutur. Jadi, salam awal pertemuan perkuliahan pada umumnya dilakukan oleh semua guru besar, tetapi pada akhir perkuliahan, mereka tidak mengucapkapkan salam akhir pertemuan melainkan hanya ungkapan penutup dan ungkapan perpisahan. b) Memberikan contoh menarik terkait materi perkuliahan Selama perkuliahan berlangsung seringkali terasa senyap, mahasiswa terdiam tanpa ada reaksi apapun, lalu guru besar biasanya memecahkan kesenyapan tersebut dengan cara membuat contoh yang begitu menarik terkait materi yang disampaikan. Contoh yang mereka buat cenderung bernuansa hangat, aktual, segar, dan terkadang berbau seksual sehingga mengundang mahasiswa bereaksi dan merespon pernyataan gur besar tersebut dan suasana kelas berubah menajdi tidak senyap. Di antara tuturan fatis yang digunakan para guru besar tersebut adalah (i) Pak, kalo di Solo sing ati-ati…; (ii) Misalnya, Pak Prih pulang habis kuliah ini, ketika sampek Madiun berhenti pijet, lalu sampai di rumah ditanya sama istri: “kok lama pak”. Pak Prih jawab: “Iya tadi macet di jalan”; (iii) Misalnya, istri masak sampai keringatan, suami datang, lalu dihidangkan. Suami berkomentar enak padahal masakan sejatinya tidak enak. Haaa…haaa….; (iv) Misalnya, ‘mangan gak mangan pokok e kumpul’ sebenarnya ‘kumpul gak kumpul pokok e mangan’. Haaa….haaa….; (v) Misalnya, itu dalam Bahasa Inggrisnya apa pak, orang laki-laki yang serba takut terhadap cewek? Sudah jatuh cinta tapi ndak mau mengunjungi, haaa..haaa… Dalam Bahasa Inggrisnya disebut “chiken”, haa…haaa….; (vii) Jadi orang itu jangan tua-tua keladi, tapi tua-tua kelapa, artinya semakin tua semakin banyak santannya, supaya senang istrinya, haaa…haaa…. Contoh-contoh tersebut berkategori contoh ringan dan sederhana namun terkait dan mengena dan memang ditujukan untuk memecah kesenyapan kelas sehingga terjadi kontak yang akrab, hidup dan menyenangkan dan itu identik dengan karakteristik tuturan fatis. c) Bercanda Cara lainnya yang digunakan oleh guru besar dalam memecahkan kesenyapan dalam perkuliahan adalah dengan bercanda. Di antara tuturan bercanda yang diproduksi para guru besar tersebut adalah (i) Jadi, gini ya, kalo mau tahu tentang hal ini, ya sinau dewe…., Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
171
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
haaa…haaa…; (ii) Jadi, kalau mau jadi doktor kudu sinau maneh; (iii) Saya ndak mau anda jadi lulusan doktor “tembre-tembre” itu; (iv) Orang Inggris itu orang yang paling jelek lidahnya; (v) Coba pak, jelaskan! Sing “ceto” gitu loh….; (vi) Ayo pak Joni coba jawab, pak. Pak Joni ini lama ndak pernah perang, la mau perang gimana ndak ada musuhnya…. Dalam bercanda terkadang tiba-tiba terjadi dialog akrab antara guru besar dengan mahasiswa seperti berikut ini. Guru besar: Pak, buku dan referensi lainnya jadikan istri kedua. Nanti kalo ngerjakan disertasi juga gitu jadikan dia istri kedua. Mahasiswa: Wah, ceritanya nambah ini, Prof. Guru besar: Nambah ndak apa-apa, tapi kalo ganti jangan…, haaa…haaaa…. 2. Memberikan penguatan (to give reinforcement) Tuturan fatis yang digunakan guru besar dalam memberikan penguatan dilakukan dengan cara a) memuji, misalnya Wah, ide itu bagus sekali pak, nanti akan lebih bagus apabila dikembangkan dengan eksplorasi teori-teori lain pak; b) menyatakan setuju dengan pendapat mitra tutur, misalnya Ok, bagus, saya setuju pak. Mungkin ada tambahan dari yang lain? Penutur mengetahui bahwa tuturan tersebut pasti dikehendaki oleh mitra tutur meskipun mungkin secara fakta ide mitra tutur tidak seperti yang dikatakan oleh penutur tetapi tuturan ini memiliki daya ilokusi yang besar dalam memberikan penguatan dan penutur tidak begitu menghendaki adanya respon dari mitra tutur, tetapi yang terpenting yang menjadi tujuan penutur adalah terjalinnya kontak interpersonal antara penutur dan mitra tutur. 3. Menjaga percakapan tetap berlangsung (to keep conversation going on) Untuk menjaga percakapan tetap berlangsung, para guru besar memproduksi tuturan fatis dengan cara a) Menghindari kesenyapan ketika sedang berbicara, di antaranya (i) Hmmmm…, (ii) Aaaa, begini, pak…., dan sebagainya; b) Mengalihkan topik atau fokus pembicaraan, di antaranya (i) Baik!…, (ii) Baiklah, pak!, (iii) Ok…, (iv) Oklah…!, dan sebagainya; dan c) Memberikan tanda sedang mendengarkan, di antaranya (i) iya…iya…, (ii) ya pak.., ya…, (iii) Hhe ehh…, dan sebagainya. Tuturan tersebut di atas tidak menunjukkan arti yang jelas akan tetapi memiliki fungsi yang sangat penting dalam penggunaan bahasa. Penutur memiliki maksud yang dapat dimaknai sebagai cara untuk menjaga percakapan tetap berlangsung atau tidak terputus. Jadi, tuturan tersebut tergolong sebagai tuturan fatis karena dari segi arti dapat dikatakan tidak jelas tetapi memiliki fungsi penting yang secara sengaja diproduksi penutur untuk menjaga percakapan tetap berlangsung. 4. Melakukan Basa-Basi (to makae chit-chat) Para guru besar melakukan basa-basi dengan cara bertanya sesuatu yang sudah jelas dan/atau bertanya sesuatu yang penutur sendiri sudah tahu. Tuturan berikut dapat dikategorikan sebagai tuturan fatis yang berfungsi untuk melakukan basa-basi yang dilakukan guru besar dalam perkulihan mereka, yaitu (i) Kenapa orthografi kata ‘baik’ dan ‘itik’ itu berbeda?; (ii) Bapak tahu orang sakit Polio?; (iii) Itu Kira-kira apa maksudnya?; (iv) Itu masuk tindak tutur apa, pak?; (v) Apa itu yang dimaksud dengan ‘truth conditional semantics’?; (vi) Sekarang hari apa pak? Jumat ya kan?; (vii) Baiklah, sampai di mana pembahasan kita? Sampai pada tindak tutur ya. Guru besar seringkali membuat kalimat tanya semacam itu di tengah-tengah perkuliahannya dan pertanyaan tersebut yang pada akhirnya dijawab sendiri melalui penjelasan atau ilustrasi. Mitra tutur mengetahui bahwa penutur tentu tahu apa jawaban yang sesungguhnya
172
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
dari pertanyaan tersebut, oleh karenanya mitra tutur tidak menjawabnya dan penutur tidak mempermasalahkan hal itu. Jadi, pertanyaan penutur tersebut merupakan pertanyaan basa-basi yang hanya ditujukan agar kontak interpersonal antara penutur dan mitra tutur tetap terjaga dalam perkuliahan. 5. Mengungkapkan solidaritas (to express solidarity) Diantara beberapa cara yang dipakai guru besar dalam mengungkapkan solidaritas, yaitu a) mengucapkan do’a, di antaranyaSemoga hal ini bisa menggugah pemikiran anda semua; b) mengucapkan terima kasih, di antaranya (i)Terima kasih atas perhatiannya ya pak; (ii) Matur nuwun bapak ibu, ketemu lagi hari apa pak?dan c) setuju dan tertarik pada pendapat mitra tutur, di antaranyaSaya tertarik dengan masalah itu, bu. Ungkapan solidaritas dalam bentuk do’a jarang sekali diungkapkan oleh guru besar, tetapi dalam bentuk ungkapan terima kasih seringkali dilakukan. Ungkapan maturnuwun yang diungkapkan guru besar sebagai penutur didasarkan atas pertimbangan kultur jawa tengah (solo) bukan atas dasar pertimbangan power dan distance. Oleh karenanya ungkapan matur nuwun dirasa tidak mengancam muka mitra tutur karena tuturan tersebut dibalut oleh konteks kultural jawa tengah (solo) yang sangat popular dengan ungkapan tersebut dalam setiap situasi. 6. Menciptakan perasaan nyaman (to create good sound of feeling) Dalam hal ini, guru besar melakukannya dengan cara a) memberi semangat, di antaranya (i) Jadi sekalipun S3 tetap sinau lebih giat lagi, bukunya itu “diuyel-uyel” gitu loh, jangan hanya istrinya saja yang “diuyel-uyel” itu, haaa…haaa, (ii) S3 memang harus banyak eksplorasi, (iii) Bacanya yang kuat ya pak; dan b) memberikan ungkapan yang menenangkan, di antaranya (i) Kalo mengalami kebuntuan masalah disertasi, ya jangan diam, tahu-tahu lama ndak pernah kelihatan, waaaahh…., datang saja ke saya, nanti saya bantu, (ii) Sudah pak, yang penting dikerjakan dulu, kalau sudah selesai langsung di email gitu saja, waktunya saya kasi sampai akhir semester ini. Tuturan (ai) tersebut di atas bertujuan memberi semangat dengan strategi bercanda sehingga kontak interpersonal antara penutur dan mitra tutur terasa hangat dan tetap terjaga, tidak ada ketegangan.Penggunaan kata “uyel-uyel” (Bahasa Jawa) mengacu pada suatu tindakan meremas-remas, megang-megang objek secara intensif atau berulang kali tanpa mengenal lelah dan putus asa. Kata tersebut akan terasa humoris apabila digunakan untuk mengungkapkan perilaku suami kepada istri yang dicintai. Atas dasar ini, guru besar meminjam kata tersebut sebagai latar pemberian semangatnya kepada mitra tutur.Adapun tuturan lainnya bersifat langsung atau literal digunakan oleh guru besar dalam memberikan perasaan nyaman kepada mitra tutur. 7. Mengungkapkan perpisahan Pada akhir pertemuan, para guru besar mengungkapkan tuturan perpisahan yang dikategorikan sebagai tuturan fatis. Ungkapan perpisahan berikut digunakan oleh para guru besar dalam mengakhiri perkuliahan mereka, di antaranya adalah (i) Sudah sampai di sini dulu, sudah jam setengah sembilan; (ii) Saya kira cukup, saya sudah siap mau makan siang dulu, haaa…haaa; (iii) Saya kira cukup itu yang bisa saya sampaikan, cukup banyak ya, cukup banyak ya….; (iv) Baik, sekian bapak-ibu, untuk minggu depan kita bicara bagian 3 dan 4 ya…; (v) Demikian bapak/ibu. Kita ketemu lagi minggu depan. Tolong dipelajari materi yang saya berikan; (vi) Matur nuwun bapak ibu, ketemu lagi hari apa pak? (vii) Gitu pak ya. Ini mohon maaf ya, sudah di sms….; (viii) Saya rasa bisa kita akhiri pak ya. Terima kasih atas
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
173
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
perhatiannya….; (ix) Habis ini pak Pri (Supriyadi) ya, ya sudah sampai di sini pak ya….; dan (x) Masih ada kuliah lagi habis ini?, kita sampai di sini aja, terima kasih. Tuturan (i) merupakan tuturan fatis yang digunakan untuk mengungkapkan perpisahan yang diungkapkan secara tidak langsung. Frase sudah jam setengah Sembilan merupakan pemarkah lingual yang menunjukkan waktu berakhirnya perkuliahan sesuai dengan jadual yang telah disepakati oleh penutur dan mitra tutur. Meskipun mitra tutur sudah tahu bahwa jam setengah sembilan itu berakhirnya perkuliahan, penutur memberitahukan kepada mitra tutur dengan tujuan utama bukan menginformasikan akan tetapi untuk mengungkapkan perpisahan dan penutur tidak begitu peduli apakah tuturannya tersebut mendapat jawaban atau tidak dari mitra tutur. Atas dasar itu, tuturan (i) tersebut dikategorikan sebagai tuturan fatis yang berfungsi sebagai ungkapan perpisahan. Demikian juga dengan tuturan lainnya yang memiliki fungsi yang sama. Ungkapan sudah sampai di sini dulu, saya kira cukup, sekian bapak-ibu, demikian bapakibu, gitu pak ya, saya rasa bisa kita akhiri…, ya sudah sampai di sini…., dan kitasampai di sini aja…merupakan ungkapan penutup perkuliahan yang pada umumnya diikuti oleh ungkapan perpisahan baik yang langsung (literal) seperti (v) kita ketemu lagi minggu depan, ataupun yang tidak langsung (non-literal) seperti (iii) saya sudah siap mau makan siang dulu, haaa…haaa; (iv) untuk minggu depan kita bicara bagian 3 dan 4 ya…;(vii) Ini mohon maaf ya, sudah di sms…., dan sebagainya.Pada umumnya ungkapan-ungkapan penutup yang diproduksi guru besar dalam perkuliahan ini bersifat sederhana dan sebagaian besar diikuti dengan ungkapan perpisahan yang berstruktur tidak langsung.Ungkapan perpisahan langsung jarang sekali digunakan karena ungkapan tidak langsung dalam perspektif pragmatik termasuk ungkapan yang berkategori lebih santun.
Simpulan Berdasarkan atas hasil analisis data yang diperoleh dalam penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa tuturan fatis yang memiliki fungsi utama menjaga kontak interpersonal digunakan oleh para guru besar dalam perkuliahan Program Doktor Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. Tuturan-tuturan fatis tersebut memiliki fungsi spesifik di antaranya adalah 1) memecahkan kesenyapan yang dilakukan dengan cara a) memberi salam pada awal pertemuan, b) memberikan contoh menarik terkait dengan materi kuliah, dan c) bercanda; 2) memberikan penguatan (reinforcement) dengan cara a) memuji, dan b) setuju dengan pendapat mitra tutur; 3) menajaga percakapan tetap berlangsung, dilakukan dengan cara a) menghindari kesenyapan ketika sedang berbicara, b)mengalihkan topik atau fokus pembicaraan, dan c)memberikan tanda sedang mendengarkan4) basa-basi, dilakukan dengan cara bertanya sesuatu yang sudah jelas dan/atau bertanya sesuatu yang penutur sendiri sudah tahu. 5) mengungkapkan solidaritas, dilakukan dengan cara a) memberikan do’a, b) mengucapkan terima kasih, dan c) setuju/tertarik dengan pendapat mitra tutur; 6) menciptakan perasaan nyaman, dilakukan dengan cara a) memberi semangat, dan b) memberi ungkapan yang menenangkan; dan 7) mengungkapkan perpisahan.
Daftar Pustaka Austin, J.L. (1962). How to do things with words. London: Oxford University Press. Gazdar, Gerald (1979). Pragmatics: Implicature, Presupposition, and Logical Form, Academic Press, Inc., Florida.
174
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Horn, Laurence R. & Ward, Gregory (20060.The Handbook of Pragmatics, Blackwell Publishing Co, Victoria. Huang, Yan (2007). Pragmatics, Oxford University Press, Inc., New York. Jakobson, Roman (1960). ‘Concluding Statement: Linguistics and Poetics’, dalam T. Sebeok (ed.),StyleinLanguage, MIT Press, Cambridge, MA., hal. 350-377. Jumanto (2011).Pragmatik: Dunia Linguistik Tak Selebar Daun Kelor. WorldPro Publishing, Semarang. Jumanto (2008).Komunikasi Fatis di Kalangan Penutur Jati Bahasa Inggris. WorldPro Publishing. Semarang. Kreidler,Charles W. (1998). Introduction to English Semantics, Blackwell Publishing Co., Victoria. Maleong, L.J. (1991). Metodologi Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung. Malinowski, Bronislaw (1923). ’The Problem of Meaning in Primitive Languages’, dalam Ogden, C.K. dan I.A. Richards (eds), The Meaning of Meaning. K. Paul, Trend, Trubner, London, hal. 296-336. Mey, Jacob L. (2001). Pragmatics: An Introduction (2nd Edition), Blackwell Publishers Inc., Massachussetts. Richards, J.C., Jonathan Hull, and Susan Proctor. 1990. Interchange: English for Int’lCommunication. Cambridge: Cambridge University Press. Smith, Barry (2003). John Searle: Contemporary Philosophy in Focus, Cambridge University Press, Inc., Cambridge. Watson-Gegeo, Karen Ann. (1995). “Ethnography in ESL: Defining the Essentials,” Reading on Second Language Acquisition, (ed). H. Douglas Brown dan Susan Gonzo, 36-53. Englewood Cliffs,NJ: Prentice-Hall Regents. Wijana, I D ewa Putu (1996).Dasar-Dasar Pragmatik, Andi Offset, Jogyakarta. Yin, Robert K. 2011.Qualitative Research: From Start to Finish. New York: The Guilford Press
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
175
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Meningkatkan Kemampuan Berbicara Bahasa Inggris dengan Sulih Suara Muhammad Farhan Rafi 13 ([emailprotected]) Tatik Irawati 13 ([emailprotected]) Abstract The intent of this action research was to know how the implementations of dubbing film can improve the ability of the students’ speaking. This study focuses collaborative classroom action research which researchers and the teacher worked together to apply the research. The research had two cycles by applying the procedures; planning, implementing, observing and reflecting. The data collected by having some instruments; observation, questionaire and test. The research subject is 39 students of 2013 C STKIP PGRI Jombang. When the research and data analysis finished, the result showed that there were a significant improvement in students’ participant and thw achievement of speaking skill. At the beginning of research in preliminary study, the average score of the students was 72, whereas Criteria Minimum of Achievement was 78. At the end of cycle 1 improved to 74.48, and improved to 83 at the end of cycle 2. It means that the students’ participant and the score were increasing after doing the action. In particular, dubbing film can improve students’ achievement in speaking. Key Words: Dubbing Film, Speaking Ability Abstrak Penelitian ini dimaksudkan untuk menegetahui bagamana perapan tehnik sulih suara yang dapat meningkatkan kemampuan speaking mahasiswa. Penelitian ini difokuskan pada penelitan tindakan kelas secara kolaboratif dimana peneliti dan guru bekerjasama dalam pelaksanaan penelitian. Penelitian ini dilaksanakan dengan dua siklus dengan beberapa prosedur: perencanaan, tindakan, observasi dan refleksi. Instrument yang digunakan adalah observasi, kuesioner, dan tes. Sedangkan subjek penelitian adalah mahasiswa STKIP PGRI Jombang angkatan 2013 C yang berjumlah 39 mahasiswa. Dari hasil penelitian ditemukan ada peningkatan kemampuan mahasiswa baik dari proses pembelajaran yang lebih positif dan nilai yang lebih baik. Pada penelitian awal nilai rata-rata speaking mahasiswa adalah 72 sedangkan standart ketuntasan adalah 78. Pada akhir siklus pertama hasil nilai rata-rata speaking mahasiswa adalah 72 dan meningkat menjadi 83 pada akhir siklus kedua. Dari hasil ini berarti partisispasi dan nilai mahasiswa meningkat setelah penelitian. Maka bisa disimpulkan bahwa sulih suara dapat meningkatkan kemampuan berbicara pada mahasiswa. Kata kunci: Sulih suara, Kemampuan Berbicara
Pendahuluan Dalam sillabus mata kuliah speaking for daily conversation, diterangkan bahwa pada hasil belajar mahasiswa harus mampu berbicara bahasa Inggris dalam percakapan sehari-hari secara fasih dan lancar. Tetapi pada hasil test pada ujian akhir semester 2013-2014 ditemukan bahwa banyak mahasiswa yang masih belum mampu mencapai hasil yang maksimal. Dalam proses pembelajarannya, ditengarai ada beberapa hal yang mengakibatkan mahasiswa lemah dalam berbicara bahasa inggris diantaranya terbatasnya pembendaharaan kosakata mahasiswa, sehingga membuat mahasiswa kesulitan untuk mengungkapkan idenya, Cara pegucapan yang belum sempurna merupakan penghambat yang lain yang menghasilkan makna yang tidak sesuai dengan yang dimaksutkan, dan susunan kalimat yang tidak sesuai dengan ilmu kebahasaan 13
Dosen Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris, STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia
176
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
menimbulkan makna yang membingungkan. Selain itu ketidak percayaan diri dan kurang berani berbicara dalam proses pembelajaran serta merasa takut berbuat kesalahan dalam berbicara membuat mahasiswa untuk memilih menjadi mahasiswa yang pasif. Sedangkan bekomunikasi dalam bahasa inggris dibutuhkan beberapa hal yang harus di miliki, seperti jumlah kosakata yang telah dimiliki, mengetahui bentuk susunan kalimat dan mampu menggunakan, dan menguasai cara pengucapannya. Hal ini akan membuat mahasiswa mampu berkomunikasi secara lancar dan akurat. Menurut Cahyono dan Widiati (2011: 29), keberhasilan mahasiswa dalam mengembangkan kemampuan berkomunikasinya dapat dilihat dalam kelancarannya, keakuratannya dan keefektifannya. Para mahasiswa saat ini, dituntut untuk mampu menguasai ketrampilan berbahasa, salah satunya adalah berbicara, dan ketrampilan tersebut dapat berhasil dengan seringnya berlatih dengan teman yang juga mempunyai ketrampilan tersebut. Di masyarakat Indonesia sangat jarang seseorang berbicara bahasa inggris sehingga ini mempersulit mahasiswa untuk menemukan partner yang bisa diajak berlatih sehingga mahasiswa hanya bisa berlatih dalam kegiatan formal.di sekolah atau lembaga kursus. Karena pembelajaran ketrampilan ini hanya bisa ditemukan dalam kegiatn formal, maka pengajar harus mampu memaksimalkan dirinya untuk membantu para mahasiswa untuk berlatih. Dalam pengajaran berbicara bahasa inggris, menurut Cahyono dkk (2011:36) pengajaraanya harus menerapkan pendekatan pengajaran bahasayang bersifat komunikatif. Para mahasiswa bisa saling berinteraksi dalam proses pembelajaran sehingga mereka mampu meningkatkan kemapuan berbicara bahasa inggrisnya. Berdasarkan fakta di atas, kesulitan mahasiswa dan hasil yang belum memuaskan dalam ketrampilan berbicara pada mahasiswa di STKIP PGRI Jombang mungkin disebabkan karena teknik yang kurang efektif dari pengajaran ketrampilan berbicara dan ini menyebabkan kegiatan belajar mengajar menjadi tidak menarik. Ada beberapa masalah, pertama, guru tidak membuat perencanaan yang baik yang mencakup tujuan umum dan khusus instruksional, bahan ajar dan media untuk pengajaran. Blaz (2001:137) menyatakan bahwa penggunaan media pembelajaran selama instruksi dapat memfasilitasi dan meningkatkan belajar mahasiswa. Namun, untuk membantu mahasiswa untuk bisa berbicara, guru harus lebih kreatif untuk mencari tahu bahan otentik dan media yang tepat yang membantu mahasiswa untuk terlibat dalam pengajaran ketrampilan berbicara. Salah satu media yang bisa digunakan adalah film. Penggunaan film dalam pembelajaran, menurut Dewi (2013) film memberi dampak yang positif terhadap para mahasiswa. Mahasiswa termot ivasi dan tertarik untuk belajar serta mahasiswa mempunyai sikap penasaran untuk mengembangkan ketrampilan yang diperolehnya. Selain itu dengan film, kosakata, cara pengucapan dan pemahaman dalam berbicara bahasa Inggris dapat diperoleh dengan baik. Dalam film,terdapat subtitles yang juga membantu pelajar untuk lebih focus terhadap kalimat yang muncul dalam film tersebut, sehingga akam mampu membuat mahasiswa untuk lebih mudah memahami makna kalimat tersebut dan juga cara pengucapannya. Dengan adanya permasalahan dalam pembelajaran ketrampilan berbicara di atas dan efektifnya media film, maka peneliti menggrnakan tehnik Sulih suara untuk menyelesaikannya. Sulih suara merupakan penggatian suara para karakter dalam sebuah film. Tehnik Sulih suara memberikan kemudahan kepada mahasiswa untuk berdialog tanpa kesulitan membuat dialog seperti dalam pembuatan drama. Para mahasiswa hanya perlu menirukan percakapan yang muncul dalam film. Menurut Burston (2005) Keuntungan tehnik Sulih suara dalam pengajaran Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
177
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
ketrampilan berbicara membuat mahasiswa memahami kalimat – kalimat dalam percakapan dengan mudah karena dipraktikkan berulang-ulang, pengucapan yang sesuai dengan penutur asli karena mahasiswa menirukan langsung sesuai dengan percakapan yang muncul dalam film, dan penggunaan kosakata dan susunan kalimat yang benar dalam percakapan mereka. Selain itu, para mahasiswa akan merasa bangga bahwa mereka terlibat dalam pengisisan suara pada sebuah film yang menjadi film favorit mereka. Berdasarkan uraian diatas maka peneliti melibatkan mahasiswa dalam teknik Sulih suara. Peneliti berfokus pada peningkatan kemampuan berbicara bahasa Inggris di STKIP PGRI Jombang dengan menggunakan salah satu tehnik pembelajaran kooperatif, yaitu Sulih suara. Landasan Teori
Ketrampilan Berbicara (Speaking) Ketrampilan berbicara bahasa Inggris (speaking) merupakan salah satu ketrampilan bahasa yang dalam proses pembelajarannya memerlukan kemampuan penguasaan komponenkomponen bahasa yaitu kosakata, susunan kalimatdan cara pengucapannya. Menurut Keith dan Morrow (1990:70) Ketrampilan berbicara adalah sebuah kegiatan dengan mengucapkan kalimat-kalimat yang dilakukan oleh dua atau beberapa orang yang bertindak sebagai pembicara dan pendengar sehingga mereka dapat bereaksi sesuai dengan apa yang mereka maksud. Tarigan (1995: 149) menambahkan bahwa ketrampilan berbicara adalah ketrampilan menyampaikan pesan melalui bahasa lisan. Keterkaitan antara bahasa lisan dan pesan sebagai media penyampaian sangat berat. Pesan yang diterima oleh pendengar adalah dalam bentuk bunyi bahasa bukan dalam bentuk yang lain. Kemudian pendengar mengalihkan pesan dalam bentuk bunyi bahasa itu menjadi bentuk apa yang diucapkan oleh pembicara. Dalam ketrampilan berbicara, menurut Tarigan (1995: 149) terdapat beberapa tujuan umum dalam berbicara, yaitu 1) menghibur, pembicara menarik perhatian pendengar denga cara, seperti humor, spontanitasm menggairahkan, kisah-kisah jenaka, petualangan dan sebagainya untuk menimbulkan suasana gembira pada pendengarnya. 2) menginformasikan, tujuan ini dilaksanakan untuk menjelaskan suatu proses, menguraikan, menafsirkan, atau menginterpretasikan sesuatu hal, memberi, menyebarkan atau menanamkan pengetahuan. 3) menstimulasi berbicara, menurut Tarigan berbicara itu harus pintar merayu, mempengaruhi, atau meyakinkan pendengarnya. Hal ini bisa tercapai jika pembicara benar-benar mengetahui kemauan, minat, inspirasi, kebutuhan dan cita-cita pendengarnya. Menurut Arsjad dan Mukti (1993: 17-20) seorang pembicara harus menguasai topic yang sedang dibicarakan dan harus berbicara dengan jelas dan tepat. Beberapa factor yang harus diperhatikan oleh pembicara untuk keefektifan berbicara adalah 1) ketepatan ucapan (pronunciation), pengucapan bunyi-bunyian harus tepat, begitu juga dengan penempatan tekanan, durasi dan nada yang sesuai, 2) pemilihan kosakata (vocabulary) harus jelas dan tepat dan bervariasi sehingga dapat memancing kepahaman dari pendengar, 3) Tatabahasa (Grammar), kalimat yang diucapkan harus tepat sesuai dengan susunan bahasa yang benar.
Pengajaran Berbicara di Kelas EFL (English as the Foreign Language). Mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis adalah empat keterampilan bahasa yang diperoleh dalam tahapan yang berbeda dalam fase perkembangan bahasa mahasiswa. Belajar bahasa kedua atau asing berarti belajar untuk berkomunikasi dengan orang lain. Dalam berkomunikasi akan melibatkan interaksi dengan satu atau lebih pelaku. Berkomunikasi yang
178
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
efektif juga meliputi pendengaran yang baik, sebuah pemahaman tentang bagaimana perasaan pihak lain dan sebuah pengetahuan tentang bagaimana aturan untuk mengambil giliran atau membiarkan pihak lain untuk berbicara juga. Menurut (Harmer, 1997). Ada beberapa unsur dalam berbicara yaitu keistimewaan bahasa, pengelolaan bahasa dan interaksi pihak lain. Pengajaran berbicara (speaking) di kelas EFL (English as the Foreign Language) di Indonesia sudah menggunakan konsep communicative competence, di mana konsep ini sudah menekankan pada penerapan pendekatan pengajaran bahasa yang bersifat komunikatif (communicative language teaching). Dalam pendekatan ini, para mahasiswa sudah saling berinteraksi dalam proses pembelajaran, aktivitas kelas menjadi pusat kegiatan yang meningkatkan kemampuan berbicara mahasiswa. Menurut Bambang dan Widiati (2011: 38) pengajaran berbicara bisa ditekankan pada latihan berbicara secara akurat dan lancar yang meliputi pengucapan dan tata bahasa. selain itu, bertujuan untuk memahami bentuk bahasa seperti frasa, kalimat dan dialog. Para mahasiswa bisa mempraktikkan dan menghafalkan bentuk bahasa tersebut dengan cara pengulangan dan drilling. Dalam penerapan kelas speaking, kegiatannya bisa diklasifikasikan menjadi kegiatan individu atau kelompok. Kegiatan individu bisa menerapkan bercerita, mendiskripsikan sesuatu dan berpidato. Sedangkan kegiatan kelompok bisa menerapkan Dubbing, role-play, presentasi, debat dan diskusi. Dan saat ini kegiatan kelompok lebih dominan dari pada kegiatan individu. Kegiatan kelas berbicara di Indonesia telah banyak menggunakan instruksi yang bermacam-macam pola. Menurut Kasim (2004) terdapat lima kegiatan kelas yang bisa diterapkan yaitu kegiatan guru dangan kelas,guru dengan kelompok,guru dengan murid, murid dengan murid dan murid dengan guru. Dalam kegiatan ini, guru hanya sebagai fasilitator yang membantu mahasiswa untuk lebih memahami makna dari pada bentuk kalimat sehingga mahasiswa lebih termotivasi dalam kegiatan kelas berbicara tersebut.
Sulih Suara Salah satu strategi pembelajaran kooperatif yang dikembangkan adalah Dubbing. Dubbing dalam bahasa Indonesia berarti sulih suara dan biasanya digunakan di dalam dunia perfilman. Penggunaan tehnik ini diperkirakan akan mampu membuat mahasiswa lebih terlibat dan termotivasi untuk belajar berbicara karena rasa penasaran dan tertantang untuk menghasilkan suara yang terdengar bagai suara penutur aslinya. Menurut Suwartono (2006) rasa penasaran, keasyikan dan tantangan dalam kelas berbicara akan menjaga kesinambungan pembelajaran hingga di luar lingkungan akademik. Tehnik Sulih suara adalah tehnik pengisian suara terhadap rekaman yang banyak diteapkan oleh stasiun-stasiun televisi untuk tayangan film atau sinema asing. Dalam tehnik Dubbing biasanya bahasa asing diganti dengan bahasa Indonesia. Dalam dunia entertainment juga terdapat tehnik yang serupa untuk seni tarik suara, yang populer dengan istilah karaoke. Kita bisa memanfaatkan tehnik ini sebagai cara untuk melatih berbicara bahasa Inggris dengan cara menggantikan suara penutur aslinya. Menurut Suwartono (2006) Cara yang demikian memberikan beberapa keuntungan: 1) mahasiswa belajar pelafalan sekaligus mengekspresikan seni, 2) mahasiswa merasa senang dalam belajar, dan 3) seperti pembelajaran bahasa pertama karena dilaksanakn di bawah sadar.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
179
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Prosedur Sulih suara dalam Pengajaran Berbicara Bahasa Inggris Menurut Bintoro (2013) Prosedur tehnik Sulih suara sebagai berikut (1) pemutaran sebuah film dengan durasi yang tidak lama. Tujuan pemutaran film tersebut adalah supaya mahasiswa mengetahui alur cerita film tersebut. (2) mahasiswa menyimak film tersebut untuk mengetahui isi cerita. (3) Bagilah mahasiswa menjadi 5 atau 6 orang sesuai dengan jumlah peran yang akan di dubbing-kan. Kelompok-kelompok harus beragam dalam hal gender, etnis, ras, dan kemampuan. (4) Kelompok berdiskusi dalam menentukan peran atau tokoh yang akan mereka dubbing-kan. Mahmahasiswa bebas menggunakan kreatifitasnya ntuk menentukan perannya. (5) Mahasiswa melatih percakapan yang mereka dapatkan sesuai dengan perannya. Mahasiswa harus berbicara sesuai dengan penutur asli yang terdapat pada film tersebut. (6) Kelompok mempresentasikan hasil dubbing yang telah mereka lakukan dengan merekam atau praktik secara langsung. (7) Pada akhir sesi, memberikan penilaian dari hasil dubbing mereka. Ada beberapa manfaat dari teknik Sulih suara. Pertama, Sulih suara mempromosikan pembelajaran kooperatif yang dapat memberikan efek menyenangkan pada diri mahasiswa karena pembelajaran tidak monoton. Hal ini senada dengan Suwantoro (2006) ia mengatakan Sulih suara menimbulkan rasa senang dan keasyikan tersendiri bagi mahasiswa yang menggunakannya. Bintoro (2013) menyatakan bahwa di Sulih suara, setiap mahasiswa dapat bereksplorasi sesuai kreativitasnya dalam meningkatkan kemampuan bicara. Suwantoro (2006) menambahkan bahwa Sulih suara melibatkan lebih dari satu orang dan setiap mahasiswa akan melaksanakan tugas pembelajaran bersama-sama. Bahkan diantara anggota dalam kelompok akan bisa saling mengisi, terutama yang kemampuannya kurang akan menampatkan contoh atau model, sehingga timbul rasa percaya diri. Tidak ada mahasiswa dapat berhasil sepenuhnya kecuali semua orang bekerja sama dengan baik sebagai sebuah tim.
Metode Penelitian Penelitian ini dimaksudkan untuk memecahkan suatu masalah dalam pengajaran berbicara. Oleh karena itu, desain penelitian ini adalah penelitian tindakan di mana suatu aksi dirancang untuk mengatasi suatu masalah, (Kemmis dan Mc Taggart, 1998:5, Ary et.al, 2006:539). Aksi di sini adalah suatu strategi atas beberapa kendala yang muncul, dengan kata lain suatu strategi digunakan untuk memecahkan masalah. Dalam hal ini desain penelitian tindakan kolaboratif diterapkan karena peneliti bekerja bersama-sama dengan dosen Speaking di STKIP PGRI Jombang yang terlibat dari awal sampai akhir proses kegiatan penelitian. Melalui desain penelitian tindakan kolaboratif, peneliti ingin mengusulkan penggunaan Sulih suara sebagai teknik untuk memecahkan masalah dalam kelas berbicara (speaking), karena masih kurangnya kemampuan mahasiswa dalam berkomnikasi menggunakan bahasa Inggris. Teknik Sulih suara digunakan di dalam kelas dalam bentuk grup lengkap serta tersegmentasi. Dengan adanya segmentasi mahasiswa dapat berlatih untuk berkomunikasi dengan bahasa Inggris. Dengan teknik dubbing mahasiswa dapat berkomunikasi sesuai dengan susunan kalimat,cara pengucapan yang benar dan kosakata yang sesuai dengan maknanya. Untuk menggambarkan bagaimana teknik tersebut dapat meningkatkan kemampuan menyimak mahasiswa, penelitian ini mengikuti siklus penelitian tindakan sebagai prosedur penelitian (Kemmis dan McTaggart, 2000:595 seperti dikutip dalam Koshy, 2005:4); siklus dapat dilihat pada Gambar 1
180
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Cycle 1
Cycle 2
Cycle n
REVISED PLAN
PLAN ACT
REFLECT
REFLECT
Gambar 1 Diagram Prosedur Penelitian Tindakan (Kemmis dan Mc Taggart, dalam Koshy, 2005: 4)
Peneliti bertindak sebagai praktisi dan memulai penelitian dengan melakukan studi pendahuluan. Di sini, kolaborator adalah dosen mata speaking for daily conversation di STKIP PGRI Jombang yang membantu peneliti dalam mengamati proses belajar, administrasi tes menulis dan kuesioner. Peneliti dengan bantuan kolaborator membuat perencanaan. Dalam merencanakan strategi, peneliti sendiri menyiapkan strategi yang di terapkan dengan teknik Sulih suara. Membuat rencana pelajaran, sedangkan kolaborator membantu peneliti dalam penetapan kriteria keberhasilan. Dalam melaksanakan tindakan peneliti bertindak sebagai praktisi yang mengajar mendengarkan dengan menggunakan Sulih suara sedangkan kolaborator bertindak sebagai pengamat yang mengamati pelaksanaan tindakan di kelas dengan menggunakan ceklis observasi dan catatan lapangan. Pada akhir siklus, tes dan kuesioner diberikan untuk menggambarkan prestasi mahasiswa dan respon terhadap strategi. Setelah menerapkan strategi peneliti dan kolaborator mengevaluasi pelaksanaan strategi dan mendiskusikan kemungkinan memodifikasi strategi jika strategi tidak dapat memenuhi kriteria keberhasilan. Proses siklus berakhir setiap kali masalah telah dipecahkan atau kriteria keberhasilan yang telah dicapai. Dengan menggunakan kolaborator, peneliti percaya bahwa temuan akan lebih dapat dipercaya. Para kolaborator memegang gelar master dari universitas terkemuka dan telah mengajar bahasa Inggris di perguruan tinggi selama lebih dari sepuluh tahun. Setting dari penelitian ini adalah STKIP PGRI Jombang, yang merupakan salah satu kampus di kabupaten Jombang. Subyek penelitian adalah Mahasiswa kelas 2013 C semester genap. Subjek ini dipilih karena di kelas ini ditemukan banyak berkenaan dengan kemampuan bebicara. Ada 39 mahasiswa di kelas 2013 C yang mengikuti proses. Kelas ini terdiri dari mahasiswa yang heterogen dalam hal kemampuan, jenis kelamin, sosial ekonomi, dan etnis.
Penelitian Pendahuluan. Untuk mendapatkan informasi aktual maka studi pendahuluan akan dilakukan. Melalui studi pendahuluan peneliti dan kolaborator-nya akan menganalisis fenomena yang muncul dalam proses pembelajaran. Dengan demikian, itu akan dapat mengidentifikasi masalah yang mendesak untuk dipecahkan. Data yang akan diperoleh menyangkut kondisi riil permasalahan yang dihadapi oleh dosen dan mahasiswa dalam proses pengajaran dan pembelajaran. Penelitian pendahuluan dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan deskripsi dan informasi sebagai Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
181
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
alat bukti terhadap masalah. Ini, kemudian, dapat digunakan sebagai dasar dalam memutuskan cara terbaik (action) untuk memecahkan masalah.
Perencanaan. Perencanaan adalah tahap di mana persiapan yang cermat dibuat sebelum melakukan tindakan. Pada bagian ini, peneliti menyajikan: (a) Strategi Pembelajaran (b) Rencana Pelaksanaan Pembelajaran dan (c) Kriteria keberhasilan
Strategi Pembelajaran. Dalam melakukan penelitian ini, peneliti akan menerapkan penggunaan teknik Sulih suara dalam pembelajaran ketrampilan berbicara bahasa Inggris. Dengan memanfaatkan teknik Sulih suara mahasiswa akan mendapatkan lebih banyak kesempatan untuk berlatih keterampilan berbicara dan mendapatkan lebih banyak input bahasa target secara otentik.
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). RPP dirancang dengan tujuan memberikan guru dengan pedoman kegiatan belajar mengajar dari ajaran mendengarkan dengan memanfaatkan teknik Sulih suara dalam pembelajaran ketrampilan berbicara bahasa Inggris.. Rencana pelajaran yang dikembangkan oleh peneliti mencakup hal-hal berikut: (1) tujuan instruksional (2) bahan pembelajaran dan media pembelajaran (3) kegiatan belajar mengajar dan (4) penilaian. Tujuan instruksional dari mata kuliah Speaking 3 yang berdasarkan silabus adalah bahwa mahasiswa mampu mengembangkan topik pembicaraan dan memiliki ketrampilan dalam berbicara Bahasa Inggris secara tepat, lancar dan akurat pada tingkat intermediate serta mampu menunjukkan kepercayaan diri, keantusiasan dalam bekerjasama dengan tim dan memainkan perannya selama bercakap-cakap menggunakan Bahasa Ingris pada tingkat intermediate. Tujuan instruksional dalam penelitian ini dibatasi pada bagaimana mahasiswa mampu berbicara bahasa Inggris secara tepat, lancar dan akurat dengan topik yang terdapat dalam sebuah film dan mahasiswa mampu berdialog dengan kosakata, pengucapan dan tata bahasa sesuai dengan penutur aslinya. Dalam studi ini, bahan pembelajaran dan media yang dipilih disesuaikan dengan tujuan instruksional. Sulih suara digunakan sebagai teknik. Beberapa media yang digunakan untuk mendukung pelaksanaan strategi tersebut adalah video, movie dan transcript movie. Kegiatan pembelajaran di kelas dilakukan dengan menerapkan teknik Sulih suara dengan mengikuti prosedur pengajaran strategi seperti disebutkan sebelumnya. Penilaian ini dilakukan pada akhir siklus untuk mengetahui apakah pelaksanaan strategi dapat meningkatkan kemampuan ketrampilan berbicara bahasa Inggris mahasiswa. Tes prestasi digunakan untuk menilai kemampuan ketrampilan berbicara bahasa Inggris mahasiswa. Sebuah tes dilakukan untuk melihat apakah mahasiswa telah memperoleh pengetahuan atau keterampilan tertentu dalam waktu tertentu (Djiwandono, 1996:17, Brown, 2004:47). Tes prestasi dibuat oleh peneliti untuk mengukur kemampuan ketrampilan berbicara bahasa Inggris mahasiswa, sebagaimana yang ternyatakan dalam tujuan instruksional. Tes diberikan setelah implementasi strategi, yaitu menggunakan tehnik Sulih suara untuk pengajaran ketrampilan berbicara bahasa Inggris.
Kriteria sukses. Kriteria keberhasilan ditetapkan untuk mengkonfirmasi apakah pelaksanaan strategi dapat meningkatkan kemampuan ketrampilan berbicara bahasa Inggris mahasiswa. Penelitian ini dianggap berhasil jika dua kondisi terpenuhi.
182
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Pertama, ditunjukkan dengan data yang dihasilkan dari skor mahasiswa pada tes prestasi sebanyak lebih dari 70% mahasiswa yang nilainya lebih dari standard ketuntasan yang diberikan pada akhir siklus yang menunjukkan peningkatan. Peningkatan yang dimaksud adalah adanya peningkatan skor mahasiswa pada tes prestasi jika dikonfirmasi dengan skor pada studi pendahuluan dengan standard ketuntasan 78. Kedua, mahasiswa terlibat secara aktif dalam proses belajar mengajar selama pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan teknik Sulih suara. Hal ini tercermin ketika mahasiswa memberikan respon yang baik pada setiap langkah pembelajaran seperti yang ditunjukkan dalam ceklis observasi dan catatan lapangan. Ini berarti bahwa hampir dalam semua kegiatan belajar mengajar di setiap tahap respon mahasiswa muncul di kategori Baik atau 34 sampai 39 mahasiswa terlibat dalam kegiatan belajar mengajar. Dengan demikian, peneliti dapat berasumsi bahwa mereka menikmati kegiatan yang diberikan oleh dosen dan merasa bahwa teknik Sulih suara yang disajikan dalam pembelajaran ketrampilan berbicara bahasa Inggris dapat membantu mereka berbicara bahasa Inggris secara tepat, lancar dan akurat.
Implementasi. Peniliti akan berperan sebagai yang melaksanakan pengajaran menulis dengan menggunakan Sulih suara dalam pembelajaran ketrampilan berbicara bahasa Inggris.
Observasi. Pengamatan akan dilakukan selama pelaksanaan tindakan. Mengamati adalah proses pencatatan dan pengumpulan data tentang setiap aspek atau peristiwa yang terjadi selama implementasi. Menurut Suyanto dan Sukarnyana (2001:51) fungsi pengamatan adalah untuk mengetahui (1) kesesuaian untuk melaksanakan dan merencanakan tindakan, dan (2) seberapa sukses pelaksanaan aksi mencapai kriteria keberhasilan. Dalam penelitian ini, observasi adalah proses pengumpulan data dalam penggunaan Sulih suara untuk meningkatkan kemampuan ketrampilan berbicara bahasa Inggris mahasiswa.
Sumber Data. Data dalam penelitian ini akan menjadi data kuantitatif dan kualitatif. Data tersebut akan diambil dari sumber data yang berbeda. Data kuantitatif diambil dari hasil test menulis, sedangkan data kualitatif diperoleh dari setiap detail faktual yang berhubungan dengan implementasi strategi seperti: sikap mahasiswa terhadap strategi pembelajaran, keterlibatan mahasiswa dalam kegiatan pembelajaran serta aspek lain yang ditemui selama pelaksanaan penggunaan Sulih suara dalam pengajaran ketrampilan berbicara bahasa Inggris.
Instrumen Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data. Setelah mendefinisikan sumber data, menentukan instrumen penelitian dan teknik untuk mengumpulkan data pasti dilakukan dalam penelitian. Dalam studi ini, peneliti akan menggunakan tiga instrumen untuk memperoleh data dari sumber data yang berbeda: tes prestasi, ceklis observasi, dan kuesioner. Spesifikasi data berdasarkan kriteria keberhasilan, dan instrumen yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 1 Tabel 1 Spesifikasi pada Sumber Data dan Instrumen yang digunakan No 1.
Instrument Test
Data Score
Variable skor penilaian kinerja mahasiswa dalam berbicara bahasa Inggris secara tepat, lancar dan akurat.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
183
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
2.
Ceklis Observasi
Kegiatan mahasiswa dalam proses belajar mengajar di kelas Kinerja mahasiswa dalam penerapan penggunaan teknik Sulih suara dalam pembelajaran ketrampilan berbicara bahaasa Inggris.
Keterlibatan mahasiswa dalam proses pembelajaran. Sikap mahasiswa selama proses belajar mengajar. Langkah-langkah pembelajaran yang diterapkan sebagaimana yang direncanakan.
3.
Kuesioner
Refleksi mahasiswa terhadap pelaksanaan penggunaan Sulih suara dalam pembelajaran ketrampilan berbicara bahaasa Inggris.
Pendapat mahasiswa tentang pelaksanaan penggunaan Sulih suara dalam pembelajaran ketrampilan berbicara bahaasa Inggris.
Refleksi. Dalam merefleksikan, analisis data dilakukan. Data yang diperoleh selama penelitian ini diklasifikasikan dan dianalisis. Analisis ini berfokus pada (1) kemampuan berbicara bahasa Inggris dan (2) partisipasi mahasiswa dalam proses pengajaran dan proses pembelajaran dengan menggunakan Sulih suara. Jika salah satu kriteria keberhasilan tidak tercapai, siklus lain perlu dilakukan, dan beberapa aspek dapat direvisi.
Hasil Penelitian Siklus 1 pada penilitian dilaksanakan pada tanggal 9, 16, dan 23 Pebruari 2015. Peneliti menemukan beberapa temuan pada siklus awal ini di antaranya kebanyakan mahasiswa masih mendapatkan banyak kesulitan dalam melaksanakan prosedur penelitian. Pada awal pertemuan peneliti dan kolaborator melaksanakan kegiatan awal yaitu mahasiswa mendiskusikan bagian film yang akan di sulih suarakan. Pada tahap ini mahasiswa sangat aktif tapi masih merasa kesulitan untuk menentukan bagian film dan pemilihan karakter pada film yang dipilih. Pada pertemuan berikutnya mahasiswa membaca transkrip film yang akan disulih suarakan agar bisa mendapatkan kelancaran dalam berdialog, pada tahap ini ditemukan banyak mahasiswa yang belum memahami arti dialog dan kesalahan dalam pengucapan kata atau kalimat. Pada pertemuan yang ketiga ini peneliti menemukan kebanyakan mahasiswa kesulitan mengikuti dialog para tokoh yang ada pada film sehingga apa yang mereka ucapkan tidak sesuai dengan film. Dalam pelaksanaan tehnik sulih suara pada pembelajaran speaking, dari hasil kuesiner, ditemukan motivasi mahasiswa dalam kelas speaking selama pelaksanaan teknik Jigsaw. Persepsi mahasiswa tentang keinginan mereka untuk berbicara bahasa inggris menggunakan tehnik sulih suara masih rendah karena kesulitan mereka pada pengucapan. Isu kedua adalah persepsi mahasiswa tentang kegunaan dari teknik sulih suara juga membantu mereka untuk mengekpresikan kalimat bahasa Inggris sesuai dengan native. Isu ketiga adalah pada persepsi mahasiswa tentang kemudahan berbicara dengan tehnik sulih suara juga masih rendah. Hal ini
184
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
jelas menunjukkan bahwa mahasiswa belum banyak termotivasi selama teknik sulih suara yang diterapkan pada siklus pertama. Berdasarkan hasil nilai berbicara mahasiswa, beberapa mahasiswa masih belum serius dalam melakukan sulih suara film pada kelas speaking. Meskipun ada sedikit peningkatan nilai Rata-rata dari studi awal untuk mahasiswa pada siklus pertama. Rata-rata untuk yang pertama adalah 72 dan nilai rata-rata mahasiswa pada siklus pertama adalah 74,48. Ini menunjukan bahwa nilai mahasiswa masih dibawah criteria ketuntasan yaitu 78. Dari hasil yang telah tertulis diatas, peneliti merevisi beberapa strategi yang akan diterapkan di antaranya peneliti memberikan motivasi kepada mahasiswa dengan mendampingi dalam diskusi pemilihan dialog pada film. Mahasiswa membaca script dengan memperhatikan cara pengucapan dengan lebih serius. Mahasiswa diberi waktu lebih banyak untuk mendrilling dialog dan mempraktekkan hasil latihan sulih suara. Siklus 2. Pelaksanaan siklus kedua pada tanggal 6 dan 13 April 2015, pada siklus ini peneliti menemukan bahwa ada perubahan positif pada proses sulih suara mahasiswa. Kemampuan mahasiswa dalam berbicara juga sudah meningkat yang ditunjukkan pada table 2 Tabel 2 hasil nilai rata-rata pada siklus penelitian tindakan kelas No 1.
Aspek Penilaian awal Hasil nilai speaking 72 mahasiswa
Siklus 1
Siklus 2
74.48
83
Table 2 menunjukkan bahwa pelaksanaan belajar mengajar kelas speaking dengan menggunakan tehnik sulih suara meningkatkan hasil nilai mahasiswa. Melihat dari hasil proses belajar mengajar dan hasil nilai mahasiswa pada siklus kedua, ada peningkatan yang positif pada proses sulih suara pada kelas speaking serta peningkatan nilai pada hasil mahasiswa yang mencapai rata-rata 83 yang berarti lebih besar dari standart ketuntasan. Sehingga penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tehnik sulih suara secara bertahap dan secara positif dapat meningkatkan kemampuan speaking mahasiswa. Pada intinya tehnik sulih suara merupakan tehnik yang efektif untuk meningkatkan kemampuan speaking mahasiswa. Tehnik ini juga mampu meningkatkan motivasi mahasiswa dalam mengembangkan kemampuan berbicara mereka dengan baik. Mahasiswa lebih lancar dalam berbicara bahasa Inggris dan mampu mengucapkan kalimat dengan fasih. Sulih suara dapat membantu mereka untuk lebih pecaya diri dan kreatif dalam mengembangkan kemampuan bahasa inggrisnya. Pada kesimpulannya, tehnik sulih suara merupakan salah satu tehnik yang tepat pada pembelajaran kelas speaking pada mahasiswa.
Daftar Pustaka Arsjad, M. G. & Mukti, U. S. 1988. Pembinaan Kemampuan Berbicara Bahasa Indonesia. Jakarta: Airlangga Bintoro, A. F. 2013. Peningkatan Ketrampilan Berbicara dengan Teknik Sulih Suara dan Analisis Kesalahan Bahasa pada Siswa Kelas V SD Negeri Sriwulan I Sayung Demak. Piwulang Jawi. 2 (1) hal. 1-7 Blaz, D. 2001. A Collection of Performance Task and Rubrics: Foreign Language Larchmont: Eye on Education.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
185
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Brown, H. D. 2001. Teaching by Principles: An Interactive Approach to Language Pedagogy (2nd ed.). White Plains: Addison Wesley Longman. Burston, J. 2005. Video Dubbing Projects in the Foreign Language Curriculum. CALICO Journal. 23 (1) hal. 79-92 Cahyono, B.Y, & Widiati, U. 2011. The Teaching of English as a Foreign Language in Indonesia. Malang: UM Press Dewi, A. S. 2013. Using Animation Film to Enhance Students’ Speaking Skill. Language Edu. 2 (7): hal 1984-1990 Kemmis, S. & McTaggart, R. (Eds.).1988. The Action Research Planner (3rd ed.). Victoria: Deakin University Press. Koshy, V. 2005. Action Research for Improving Practice: A Practical Guide. London: Paul Chapman. Suwartono. 2006. Pembelajaran Pelafalan Bahaasa Inggris melalui Teknik Sulih Suara. Cakrawala Pendidikan. 27 (1): hal. 41-56 Tarigan, D. 1995. Materi Pokok Pendidikan Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud Latief, Adnan. 2010. Tanya Jawab Metode Penelitian Pembelajaran Bahasa. Malang: UM Press
186
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
The Implementation of Task-Based Writing for Teaching Expository Text Lestari Setyowati ([emailprotected]) Sony Sukmawan ([emailprotected]) Abstract Many EFL students often consider writing as not only the most difficult skill to master, but also a demanding activity. One way to help students to write is through the application of task-based writing. The purpuse of this research is to find out the effect of Task-Based in Writing Expository text. The research was conducted in October 2013, consisting of two cycles in Classroom Action Research design by using task-based writing. The task-based writing consisted of pre-task, during task, and post-task. Unfortunately, the result of the study shows that Task-Based is unable to improve the students’ writing in expository text. In the discussion, some factors that might hinder the success of the application of Task Based Writing are discussed. Keywords: writing performance, task-based writing, expository writing Abstrak Banyak para pembelajar Bahasa Inggris sebagai bahasa asing merasa bahwa menulis adalah keterampilan bahasa yang paling sulit untuk dikuasai. Salah satu cara untuk menolong siswa agar dapat memiliki kemampuan menulis bahasa Inggris adalah dengan menerapkan Task-Based Writing (Menulis Berbasis Tugas). Tujuan penelitian ini adalah untuk mencari efektifitas TaskBased Writing untuk menulis teks Expositoris. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2013 dengan menggunakan Penelitian Tindakan Kelas di kelas Writing III. Terdapat dua siklus dalam penelitian ini. Dalam pendekatan TaskBased Writing, terdapat tiga tahap pembelajaran, yaitu tahap sebelum menulis (pre-task), selama menulis (during task), dan setelah menulis ( post-task). Hasil penelitian menunjukkan bahwa Task-Based Writing tidak mampu meningkatkan kemampuan kinerja siswa dalam menulis teks eskpositoris. Dalam bagian pembahasan, disebutkan beberapa kemungkinan faktor yang mempengaruhi ketidakmampuan metode ini dalam meningkatkan kemampuan menulis teks ekspositoris. Kata Kunci: Kinerja menulis, Task-Based Writing, menulis teks exspositoris
Introduction Having the ability to write in foreign language, especially in English, is very important in this modern era. Many jobs required writing skill and many of our daily activity also require writing skill, such as writing email, letters, job application, writing recipes. However, based on the author’s experience of teaching writing, many writing lectures often trapped in problems which they are not aware of. The first is the product approach writing which is often used in writing classes. This approach will do little benefit for the students since they are only given the example of the model text, then are required to create a composition based on the model. Second, writing classes usually, but not always, are teacher-centered. Based on the observation, during the teaching and learning writing, the students of writing classes were silent as they only listen to the lecturer’s explanation about the introductory paragraph, formulating good sentences, punctuation, spelling, diction, cohesive devices, transitions between paragraph, main ideas, sentence connector grammar, conjunction, and other writing elements, and lillte practice was given to train the student’ writing skill.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
187
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Basically, there are better ways of presenting these in writing classing, rather than merely just ‘explaining’. Ironically, writing classes under the author’s observation for the preliminary study in this mini research do little to write in writing class. Most of the time, the students’ activity was ‘listening task’, and not ‘writing task’. Because of these problems, many students feel writing is boring and not challenging. When the author asked them personally why they did not like writing classes, most of them said‘difficult’, ‘not easy’, or ‘I do not know what to write’. Based on the above description, the author was challenged to solve the students writing problem and to improve quality of the teaching through the application of Task-Based learning by conducting a mini classroom action reserach. In order to achieve the objective, Task-Based Learning, is chosen the students writing problems. Task-Based writing possess several characteristics which is believed able to solve the students’ writing problem. Those characteristics are, according to Ellis (2011), ‘meaning’ focused, goal directed, clearly defined outcome, and the participants choose the linguistics resources needed to complete the task. Interestingly, though Task-based emphasizes meaning over form but it can also be used for learning form. Because of those features, Task-based teaching offers the opportunity for ‘natural’ learning inside the classroom. Ellis further argues that this approach is intrinsically motivating since it is compatible with a learner-centered educational philosophy, and at the same time allows for teacher input and direction.
Literature Review Task-Based Learning (TBL) shares distinctive characteristics from other approaches. TBL is known for its task cycles. Willis (1998) divides the components of Task-Based Learning framework into Pre-task phase (an introduction to topic and task), task cycle (task-planningreport), and Language focus (analysis and practice). The Pre-Task is the preparation stage in which the teacher explores the topic with the class by using various means in order that students get the general idea about the task being completed. The next stage is Task cycle in which students do the task in pairs or small groups while the teacher keep the distance so that they can have the ‘private’ feel and mistakes in language are tolerated. Next, the planning stages. Here, the students prepare to report to the whole class. Since reporting is public, students naturally want to be accurate so the teacher stands by to offer help in language advice. The last stage in Task cycle is Reporting. In this stage, some groups are required to present their reports to the class, or exchange written reports, and compare results. In reporting stage, the teacher acts as a chairperson, and then comments on the content of the reports. In the Language Focus (Analysis) section, students examine the text and then discuss specific features of the text . They can focus on the new words, phrases and patterns . While in the Practice part, the teacher conducts practice of new words, phrases, and patterns occurring in the data, either during or after the Analysis. Components of a TBL Framework PRE-TASK PHASE INTRODUCTION TO TOPIC AND TASK Teacher explores the topic with the class, highlights useful words and phrases, and helps learners understand task instructions and prepare. Learners may hear a recording of others doing a similar task, or read part of a text as a lead in to a task.
188
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
TASK CYCLE TASK Students do the task, in pairs or small groups. Teacher monitors from a distance, encouraging all attempts at communication, not correcting.
PLANNING REPORT Students prepare to report to the Some groups present their reports whole class (orally or in writing) to the class, or exchange written how they did the task, what they reports, and compare results. decided or discovered. The Teacher acts as a chairperson, and teacher stands by to give then comments on the content of language advice. the reports.
LANGUAGE FOCUS ANALYSIS PRACTICE Students examine and then discuss specific features Teacher conducts practice of new words, phrases, of the text or transcript of the recording. They can and patterns occurring in the data, either during or enter new words, phrases and patterns in after the Analysis. vocabulary books. Adapted from Jane Willis 1998 “ Task Based Learning Framework”
Previous Research on Task-Based A lot of research has been done to prove the effectiveness of TBLT in improving students’ writing competence. For example, the result of an experimental Study conducted by Birjandi and Malmir (2009) on 120 Iranian advanced EFL learners’ shows that task-based approach was more effective than traditional approach in teaching narrative and expository writing . Similarly, Cao (2012) in her experimental study shows similar results of study. In her research, she wanted to find out whether Task-based approach can bring forth significant improvement in college EFL learners’ writing competence . The result of her study shows that this approach can enhance the college EFL learners’ writing competence as compared to the common writing methods used in Chinese EFl context. Moreover, the Task-based approach can also help learners creativity in writing. This is confirmed by the research conducted by Marashi and Dadari (2012) who investigated the impact of using task-based writing on EFL learners’ writing performance and their creativity. After doing an experimental study on 89 intermediate EFL learners , they came to a conclusion that this approach can enhance the students’ writing performance as well as their creativity. After being confirmed that this approach is effective to improve the EFL learners writing, I am going to apply the task based writing to solve the students writing problems as well as to improve their writing performance. A lot of research has been done to prove the effectiveness of TBLT in improving students’ writing competence. For example, the result of an experimental Study conducted by Birjandi and Malmir (2009) on 120 Iranian advanced EFL learners’ shows that task-based approach was more effective than traditional approach in teaching narrative and expository writing . Similarly, Cao (2012) in her experimental study shows similar results of study. In her research, she wanted to find out whether Task-based approach can bring forth significant improvement in college EFL learners’ writing competence . The result of her study shows that this approach can enhance the college EFL learners’ writing competence as compared to the common writing methods used in Chinese EFl context. Moreover, the Task-based approach can also help learners creativity in writing. This is confirmed by the research conducted by Marashi and Dadari (2012) who investigated the impact of using task-based writing on EFL learners’ writing performance and their creativity. After doing an experimental study on 89 intermediate EFL learners , they came to a conclusion that this approach can enhance the students’ writing performance as well as their creativity. After being confirmed that this approach is effective to
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
189
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
improve the EFL learners writing, Task-Based teaching is used to teach writing to solve the students writing problems as well as to improve their writing performance.
Method The study employs Classroom Action Research (CAR). Koshy (2005) defines action research as an enquiry which is carried out in order to understand, evaluate and then modify educational program in order to improve educational practice. One of the proposed designs of action research is Classroom Action Research (CAR). The design is based on the consideration that the teacher as researcher attempts not only to solve the problem of the particular classroom, but also to improve the quality of teaching. One of the distinctive features of CAR design is the cycles to be implemented in the research; which consist of planning, acting, observing, and reflecting (Kemmis and Taggart, 2007). The participants of the study were 21 intermediate EFL students taking Writing II in their third semester of English Education at College of Teachers Training and Education (STKIP) PGRI Pasuruan in the academic year 2013-2014 in their third semester. The class which is taken is 2012 D. This class was taken because their writing achievement is the lowest among the other 3 classes. There are 32 students in one class, however, only 17 students were taken as the subjects of the study on the basis of the attendance and papers submitted during the research. Two cycles were conducted in which each cycle consists of two meetings. The duration of each meeting was 90 minutes. The first cycle was conducted on 11 October and 16 October 2013. The second cycle was conducted on 16 October and 22 October 2013. Based on the English Education syllabus, the third semester students should have the ability to write good English paragraph : paragraph writing in narrative, descriptive, and expository type of texts by using different types of paragraph development. This research, however, focused on expository developed by example and detail) (Cycle 1), and expository paragraph developed by process analysis (Cycle 2). The final drafts of the students writing in each cycle were collected along with their draft of brainstorming activities. The scoring criteria for the students writing includes content (the thesis statement, the development of body, and the conclusion), organization of ideas , and language (see Appendix 1). All the writing was marked by the lecturer herself. The cycles are stopped when the criteria of success has been reached (Appendix 2)
First Cycle The topic of the first cycle is entertainment. The pre-task lasted 15 minutes. In this section, A You Tube video about The Avengers (3:00) film thriller was presented. It was played to prepare the students’ background knowledge followed by guided questions and answer, whether they watched the movie, whether they like the movie, and what makes the movie interesting. After that, the students were given a model text taken from the internet about one’s dislike in horor movies. In the model text, the students should identify the thesis statement, main ideas, conclusion, and conjunction. The During Task stage (practice and production phase), lasted 75 minutes. Before students do the practice stage, a short video of Fatin Sidqia singing “Diamond” during the X Factor competition was played. Then the students are given choices to write whether they want to write about their favourite singer or favourite movies. In this stage, the students, in pair, were asked to make brainstorming about their choice, such as what makes them like/dislike the movie or the singer, and give examples and details of their specific characters. Later on, they wrote the first draft in pair. The draft should consist thesis
190
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
statement. When the time is over, the brainstorming activity and the first draft. In Meeting 2, the production phase was continued and lasted 50 minutes. The students revised the draft in pair based on the feedback given by the lecturer in their first draft and brainstorming activity. The post-task (report) lasted 50 minutes. Here, the students were asked to read their writing and friends were invited to give feedback.
Second cycle The topic of cycle two was recycling. In Cycle two, the students were asked to make something from unused materials. Similar to the 1st cycle, the Pre-task last for 15 minutes. In the pre-task a short video from You Tube is shown to the students. The video entitled Making of Table Mats with Waste Plastic (3:51). After the students watched the video, class discussion followed. The lecturer asked the students what were other objects that can be recycled, and what product that be produced from recycled materials. Then, the students were shown slides about empty drinking bottles which transformed into bowling toys. From that point, the students were curious of how to make that. During-Task stage lasted about 75 minutes which covered several activities. First, a model text of how to make bowling toys was given, and, similar to the first cycle, students were asked to indentify its structure, the steps, the transition, and the language. Then, in pair, they were asked to find an unused material that can be recycled and transformed into other beneficial objects, and to brainstorm their ideas. After that, they made the first draft of the writing. During the practice and production stage, the lecturers offers help to the students if they had problems with their composition. In the next meeting, came the post-task phase which lasted 60 minutes. In their report, the students made a process writing of how to make a new item from unused things. In the post-task phase, students in pair, were asked to report their products in front of the class through the use of slides in which they have explain how to make their objects from unused materials. After the presentation, came the language focus. Here, the class gave comments in terms of contents and language.
Finding The impact on the students’ writing quality. In order to know the impact of the implementation of Task-based on the quality of the students’ writing, the final piece of writing in each cycle was marked the lecturer which also become the researcher. The raw scores ranked based on the Institution Standard are shown in Table 1. Table 1. Students’ scores category Score 91 – 100 84 – 90 77 – 83 71 – 76 66 – 70 61 – 65 55 – 60 0 - 54 N
Total Cycle 1 4 13 17
Category % 24%
76% -
Cycle 2 4 13 17
% 24% 76% -
Excellent Very Good Good Average Below Average Poor Very Poor Fail
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
191
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Total Score Mean
1343 79
1343 79
Table 1, the same of percentage reach the criteria of ‘excellent’ and the same amount of students reach the ‘average’ shows us that in Cycle 1, none of the students reaches the criteria of ‘excellent’. Based on the criteria of success no 4, which says that this action research will be considered succesful if 80% of the students’ score falls at the ‘average’ criteria, the result of the research shows that the criteria of success has not been reached.
The Students ability to develop the Content. The criteria of success states that the result of the research is considered successful if 80% students fall under the ‘good’ criteria, in which they are able to make thesis statement and conclusion and develop the body of the paragraph based on the controlling idea as stated in thesis. Table 2 shows that the criteria of success no 1 has not been reached. Table 2Content ( Cycle 1) Criteria Excellent Good Average Below Total Average Content (Paragraph 4 13 17 development) Percentage 24% 76 % 100 Cycle 2 Content development) Percentage
(Paragraph 4 24 %
12
1
17
71 %
5%
100
The Students ability to organize the paragraph. The criteria of success states that the result of the research is considered successful if 80% students fall under the ‘good’ criteria, in which they are able to develop the ideas by using particular paragraph organization (example details and process). The result shows that the criteria number 2 has not been reached. Table 3 Organization ( Cycle 1) Criteria
Excellent
Good
Organization
4
13
Percentage
24 %
76 %
Cycle 2 Organization Percentage
4 24 %
13 76 %
Average
Below Average -
Total
-
-
100
-
-
17 100
-
17
The Students ability in the use of Language. The criteria of success states that the result of the research is considered successful if 75% students have no problems in the language (vocabulary, tenses, spelling) used in the writing. The result shows that criteria number 3 has not not been reached.
192
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Table 4 Language ( Cycle 1) Criteria Language Percentage
Excellent Good Average Below Total Average 6 11 17 35 % 65 % 100
Cycle 2 Language Percentage
-
7 41 %
10 59 %
-
17 100
Discussion One of the disctinction of Classroom Action research is its goal to solve the problems in the classroom and to improve the quality of teaching. The use of Task-based in teaching writing based on many research conducted by previous researchers (Birjandi and Malmir, 2009; Cao, 2012; Marashi and Dadari, 2012) show that Task-Based is effective. However in this research, the result shows otherwise. The result of this mini scale research shows that Task-Based is unable to improve the students’ writing in exspository text. Four criteria of success set prior the research was unable to be reached. Among the four criteria of success, the language criteria is the one which reaches the worst percentage although there is improvement of from cycle 1 (Good: 35 %) to cycle 2 (Good: 41 %). The researchers believed that if the students have better ability in their language, this reserach would have been successful. Let us take a look to one of the students’ writing written by Amri. Kamen Raider My favorite genre of movies is superhero movies because their gesture that excited to copied, their super power, and their costume is unique. My first superhero movies is Kamen Raider. Kamen Raider is a fiction hero from Japan, back then I was around 10 years old when I watch it. Every time I watch it, I copied their gesture. Kamen Raider have a super power, like they can summon a weapon that can destroy a giant stone, and slice an iron. And with their power they can changing and wear a costume. Just the choosen one that can be a Kamen Raider. The enemy of Kamen Raider is a monster. Those monsters hunt human to make them slave and rule the world. The duty of Kamen Raider is to help human from the monster. Until now every time I watch it that’s make me excited copied their gesture, imagine about have a super power, and wear a costume. (Amri, 2012 D, Writing II) Any writing teacher naturally will judge that this writing is not quite good because of its grammatical problems, and it is understandable especially when it disturbs the meaning or the message. In most writing classes, former writing teachers mostly focused on the accuracy . If there are a lot of grammatical errors in the students’ writing, writing teachers will judge that the composition is bad. Writing teacher will be attempted to comment more accuracy instead of content. Because of this, many students feel discouraged and unmotivated when they are assigned to write. Basically, having studied English systematically for almost 10 years (as they have been learning English from Elementary School). College students in general are supposed to have built a solid foundation for sentence structure and other grammatical items, let alone the English Education students. But unfortunately, the expectation does not really reflect the reality. Most students still do not possess solid ground for their grammatical competence.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
193
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Judging the students’ writing quality should not only focus in the perfect sentences created by the students on paper, but good writing should be seen as a whole, whether they have been able to state their thesis statement and developed it well in the body, then concludes the main points in the conclusion. At this point, Task-Based has served its function well since its mainly focus is in content. Task-Based Teaching, as stated by Ellis (2004) and Nunan (2004) offers students to focus more on content or meaning. Because grammar is not the primary focus, students can shift their attention to the content of their writing, such as the topic, the ideas, how to develop and generate the ideas, and how to connect them between paragraphs. In this research, aside of being unable to reach the criteria of success, Task-based helps the students with the content of their writing is through the application of pre-task, the provision of You Tube videos to prepare the background knowledge in the pre-task, and the brainstorming activity. This can be seen that none of the students fall in the criteria of below average in terms of content and organization. Despite of this research inability to reach the criteria of success, it does mean that this research is a failure. The use of Task-Based in teaching writing has given some benefits that students can take. There are some weaknesses in this research which makes the research is unable to reach the criteria of success. First, the first author positioned herself as a lecturer who taught the class and at the same time also acted as the researcher. This is dangerous since it will give bias in the tecahing and scoring. She was also positioned herself as the sole scorer in this research which made her unable to be objective. The previous researcher should have at least two raters to score the same writing to minimize the subjectivity. Second, perhaps the criteria of success is too high so that the reserachers put too much hope to the students. The future researcher perhaps should see the students’ ability in reality and set the criteria of success carefully, not just something thrown away because we believe they can. Third, the writing product was written in group, thus she was unable to see clearly whether their writing products are their true reflection ability in writing. Therefore, the future researchers should give individualize writing assignments, so that the real reflection of the students’ writing ability can be seen. And fourth, more cycles are needed if this resarch was to be successful. During the application of this mini research, the researcher has limited time constraint to finish as the students’ class was planned to be used for the lesson study program. In the researchers’ opinion as writing teachers, Task-Based instruction, has some weaknesses. First, until the end of Cycle 2, students still have problems in their writing, especially in accuracy. Task-Based could not really help these students’ problems in grammar though there is a specific phase called “Language Focus”. Within Willis (1998) framework, the post-task should be the place for language focus in which students and teacher can give feedback. During this phase, feedbacks were given. But when the final drafts were collected and read, it turned out that problems in grammar, sentence structure, spelling, and choice of words were not solved completely. Ideally students should give feedback to other friends, but since not all have a solid ground of grammar ability, many of them were unable to give appropriate feedback. Peers should have sufficient background knowledge in the language itself to be able to give proper feedbacks to other students’ writing. If they do not have solid ground in grammar, problems in accuracy will continue to arise. The Post-task or the language focus will work very well if it is applied in EFL context with high level proficiency learners. If it is applied within EFL context with low or intermediate level proficiency, the post task cannot really help students to spot their own weaknesses in the language. 194
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Conclusion The research shows that Task-Based is unable to improve the students’ writing performance due to some weaknesses discussed above. When it is said to be unable, it does not mean it is a failure. Looking at the tables presented in the finding section, it can be seen that none of the students in this mini scale research is in the category of below average. In terms of content and organization criteria, almost none of the student are in the average criteria. These shows that basically Task-Based is an appropriate technique to be implemented in the writing classes. It shares benefits to the students with its phases of learning. Some suggestions are addressed to the future researcher. First, more detail and planned preparations are needed to better the result of the study. Second, the writing product should be done individually, not in pair/group. Three, more time is needed to find the real impact of writing. And Fourth, realistic criteria of success should be set carefully so that the students’ writing skill can be reached realistically.
References Birjandi, Parviz and Ali_Malmir. 2009. The Effect of Task-Based Approach on the Iranian Advanced EFL Learners’ Narrative vs. Expository Writing. The Iranian Journal of Applied Language Studies (IJALS) Vol 1, No 2. Cao, Linying. 2012. A Feasibility Study of Task-based Teaching of College English Writing in Chinese EFL Context. English Language Teaching; Vol. 5, No. 10 Ellis, Rod. 2004. Task-Based Language Learning and Teaching. Oxford: Oxford University Press. Kemmis, Stephen and Robin McTaggart.2007. Participatory Action Research: Communicative Action And The Public Sphere. (Online). (http://www.sagepub.com/upmdata/21157_Chapter_10.pdf), accessed on 20 March 2013 Koshy, V. 2005. Action Research for Improving Practice: A Practical Guide. Great Britain: TJ International Ltd. Marashi, Hamid and Lida Dadari. 2012. The Impact of Using Task-based Writing on EFL Learners’ Writing Performance and Creativity. Theory and Practice in Language Studies. Vol. 2, No. 12: 2500-2507. Nunan, David. 2004. Task-Based Language Teaching. Cambridge: Cambridge University Press. Willis, Jane. 1998. Task-Based Learning: What kind of Adventure?. UK: Ashton University. (Online). (http://www2.uni-uppertal.de/FB4/anglistik/multhaup/ methods_elt/pop_ups/ tbl_willis.htm), accessed on 14 March 2013.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
195
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
EFL Students Mispronouncing English Vowels Ninik Suryatiningsih 14 & Addini Zuhriyah14 ([emailprotected]) Abstract Pronunciation as the part of speech component is the important part of spoken language. The researcher focuses the pronunciation made by English Department Students of STKIP PGRI Pasuruan, because she wants to know their ability to pronounce English words, especially in English vowels whether their pronunciation correct or not. The design of this study is a descriptive study. The aimed of this research is to give original view of variable, indication and condition. The result from the students mispronunciation was showed that there were five kinds of vowels; [I] vowel, [i:] vowel, [æ] vowel, [α] vowel and [Ɛ] vowel known as mispronunciation. The mispronouncing vowels include of mispronouncing on [I] vowel 68 times or 46 %, [i:] vowel 9 times or 6 %, [æ] vowel 24 times or 16 %, [α] vowel 19 times or 13 % and [Ɛ] vowel 29 times or 19 %. And the dominant mispronouncing on vowel is mispronouncing on [I] vowel 68 times or 46 %. Keywords: Pronunciation, Vowel, Mispronouncing Abstrak Pronunciation adalah bagian dari komponen kata dan merupakan bagian yang sangat penting dalam berbahasa. Peneliti fokus pada pronunciation yang dihasilkan oleh mahasiswa program studi Pendidikan Bahasa Inggris STKIP PGRI Pasuruan, sebab peneliti ingin mengetahui kemampuan pengucapan kata-kata Bahasa Inggris, khusunya vowel dengan benar. Disain penelitian ini adalah diskriptif kualitatif yang bertujuan untuk memberikan beberapa fariabel, indikasi dan kondisi. Hasil dari kesalahan mahasiswa melafalkan terdapat pada 5 (lima) vowel, yaitu [I] ,[i:], [æ], [α] dan [Ɛ]. Dan kesalahan pelafalan [I] sebesar 46% ,vowel [i:] awbwaE 6%, vowel [æ] sebesar 16%, vowel [α] sebesar 13% dan vowel [Ɛ]sebesar 46% Kata Kunci: Pronunciation, Vowel, Kesalahan pengucapan
Introduction Pronunciation as the part of speech component is the important part of spoken language. It provides the basic knowledge of the sound including the stress, rhythm, and intonation. So, in speaking English we must have pronunciation ability in producing kinds of English sounds, to avoid misunderstanding when we want to say something to another person. Many students in Indonesia have a problem in pronunciation. Some of them cannot pronounce words well. It is caused on many factors, such as : (1) the area in which they grew up; (2) the area in which they now live; (3) the existence of speech or voice disorder; (4) their ethnic group; (5) their social class; and (6) their education. If there is one who wants to learn pronunciation, he might be ready to face the difficult problems like what Jones (1973 : 2), that the student of spoken English or any other spoken language is faced at the outset with 5 kinds of difficulties in pronunciation, such as (1) they have to recognize readily and certainly the variation of speech sounds occurring in the language, (2) they have to learn to make the foreign sound with his own organs of speech. (3) they must learn the proper usage in the matter of the sound attributes or prosodies as they are often called 14
Dosen Prodi Pendidikan Bahasa Inggris STKIP PGRI Pasuruan, Jawa Timur
196
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
(especially length, stress and voice pitch). (4) they must learn to use those sounds in their proper places in connected speech. (5) they must learn to pronounce sounds, i.e. to join a sequence rapidly and without stumbling. The ability in pronouncing sounds correctly without stumbling cannot be achieved in a short time. Clarey and Dixson in their book “Pronunciation Exercise” in English say that a student must first hear a sound clearly before they can reproduce it. Consequently, all pronunciation details should be continued over as long as a period of time as possible (Clarey and Dixson, 1976: 7). The researcher conducted the study at second semester students of the English Department of STKIP PGRI Pasuruan because in that time they get pronunciation course for the first time. And pronunciation is important part in speaking. So, the researcher wants to know their ability in pronouncing words. Based on the background above, the problem is : are the students’ pronunciation in pronouncing the English vowel [i:], [I],[æ], [ε] and [α] correct ?
Review of Related Literature In this chapter some related literature in accordance with the pronunciation of English vowels is discussed. It covers : (1) Pronunciation; (2) The nature of pronunciation; (3) Technique of teaching pronunciation; (4) The expectations of teaching pronunciation; and (5) English segmental elements.
Pronunciation. Pronunciation is one of the basic elements that one must possesses when he or she learns a language. Most people think that the most important thing in learning a foreign language is to be able to use the foreign language in communication. Soemardono (1991 : 3) says that actually everything one wants to express originally appears in the form of speech. Speech is inseparable from pronunciation. This statement confirms that even though there is written form of communication, which makes pronunciation a very crucial matter. Learn the pronunciation of an English word by looking it up in a dictionary and reading about how it is pronounced. Dictionaries tell us about pronunciation through a special system called phonetic transcription. To communicate effectively the speaker and the listener must have good pronunciation that can be understood by both. Carrel and Tiffany (1960 : 1) say that what one says may be more important then how he says it; yet it is an evident that there can be no fully effective communication through spoken language unless the manner of speaking gives force and impact to the thoughts and feeling that are to be conveyed. The acquisition of speaking skill, through whatever study and practice, is necessary; therefore it deserves a careful and conscientious attention from serious students. No two people pronounce exactly alike. The differences arise from a variety of causes such as locality, early influences, and social surroundings. Besides, there are also individual peculiarities for which it is difficult or impossible to account (Jones, 1967 : 11). The foreign learner often find difficulties in recognizing which type of language is spoken due to these differences. We cannot possible at the present time to regard any special type as ‘standard’ or intrinsically ‘better’ than other types.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
197
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
The pronunciation of a foreign language is a two-fold process. It involves aural receptivity or the recognition of sounds as well as the actual production of sounds. In other words, a student is faced with the problem of recognizing the significant sounds in the language he or she is learning before he or she can learn to produce them (Lado and Fries, 1968 : iii). For the information, Carrel and Tiffany (1960) say that the ability to speak well is an attribute that has both utility and beauty. There are many other kinds of English through out the world. American English is a kind of English, which is used in the United States of America (USA). It is one of the two most popular kinds of English in the world. When people talk about teaching or learning American English, they usually think of the General American Standard of English. General American is the kind of English used by educated American on television and in the press, and it is described in the dictionaries of American English, such as Merriam-Webster and Random House Dictionaries (www.esl-about.com). Pronunciation refers to the way a word or a language is usually spoken, or the manner in which someone utters a word. If someone said to have “correct pronunciation” then it refers to both within a particular dialect. A word can be spoken in different ways by various individuals or groups, depending on many factors, such as : (1) the area in which they grew up, (2) the area in which they now live, (3) the existence of a speech or voice disorder, (4) their ethnic group, (5) their social class, and (6) their education.
The Meaning of Pronunciation. Pronunciation is definitely the biggest thing that people notice when we are speaking English ([emailprotected]). Good pronunciation should be one of the first things that we learn in English. We can live without advance vocabulary—we can use simple words to say what we want to say. We can live without advance grammar—we can use simple grammar structures instead. But there is no such thing as “simple pronunciation”. If we don’t have good pronunciation, we have bad pronunciation. And the results of bad pronunciation are tragic. Pronunciation is the way in which a language for a particular word or sound is pronounced. Fachrurrazy (2002) explains that pronunciation includes pronunciation itself (i.e. the way of certain sound is produced, stress (i.e. the pronunciation of the words or syllables with more force than the surrounding words or syllables), and intonation (i.e. rise and fall of pitch of the voice in speaking, especially as this effects the meaning of what is said). Harris (1969 : 81) also underlines that pronunciation includes the segmental features— vowels and consonants—and the stress and intonation patterns. One of the definitions of pronunciation is given by Carrel and Tiffany (1960 : 4). According to them, pronunciation refers to the choice of sounds used in forming words.
The Technique of Teaching Pronunciation. As stated in [emailprotected]. itesm.mx, most of the literature on pronunciation deals with what and how to teach, while the learner remains an abstract, silent body in the classroom. By examining our students’ reflection, we give voice to their beliefs and concern about pronunciation learning. The finding suggests that students benefit from detailed phonetic or phonological instruction, which in turn, allows them to employ metacognitive strategies in a larger communicative context. The article also underlines that socio-affective factors, while often ignored, are a significant aspect of pronunciation learning.
198
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Morley (1994 : 70) underlines that the prevalent focus in pronunciation teaching nowadays should be on designing “new-wave instructional programs. We assume that by giving students the skills to analyze their language learning processes, we would help them keep improving even after they have left the context of the classroom. Reflective practice has played an important role in both teaching and learning. Pennington (1992), for example, asserts that reflective practice should become the means for not only enhancing classroom practice, but also developing motivated and confident second language learners. According to Fachrurrazy (1993: 57), there are some techniques which can be used for teaching pronunciation. They are : (1) giving a model for the correct pronunciation, stress, or intonation and asking students to repeat or imitate, (2) giving example sound or stress at the initial, medial and final position, and asking students to read, (3) putting sound in minimal pairs and asking students to pronoun, (4) introducing students to regular pattern of stress or pronunciation, and (5) predicting the students’ problem in pronunciation, stress or intonation and training them. Morley (1994), underscores the importance of speech-monitoring abilities and speech modification strategies for use beyond the classroom as an important goal for pronunciation teaching. Writing about the role of perception in pronunciation learning, Yule, Hoffman and Domico (1987), emphasize the need for self-monitoring skills. Self-monitoring is critical for creating independent and competent learners and is a necessary part of the consciousness raising process.
The Expectation of Teaching Pronunciation. The role of pronunciation in the different schools of language teaching has varied widely from having virtually no role in the grammar-translation method to being the main focus in the audio-lingual method where emphasis is on the traditional notions of pronunciation, minimal pairs, drills and short conversations (Castillo, 1990 : 3). Morley (1991 : 484) states, ‘the pronunciation class … was one that gave primary attention to phonemes and their meaningful contrasts, environmental allophonic variations and combinatory phonotactic rules, along with … attention to stress, rhythm, and intonation.’ In many language programmers the teaching of pronunciation was pushed aside, as many studies conclude ‘that little relationship exists between teaching pronunciation in the classroom and attained proficiency in pronunciation; the strongest factors found to affect pronunciation (i.e. native language and motivation) seem to have little to do with classroom activities’ (Suter, 1976 : 233-53, Purcell and Suter, 1980 : 271-87).
English Segmental Elements. Two main classes in English segmental elements are consonant and vowel. A consonant is defined as sound made by a closure in the vocal tract, or by a narrowing which is so marked that air cannot escape without producing audible friction. Vowels are sounds that have no such structure : air escape in a relatively unimpeded way through the mouth or nose. (Crystal,1995b : 152).
English Vowel. Vowel is a voice sound in the pronunciation which the air passes through mouth in a continuous stream, there being no construction and no narrowing such as would produce audible friction (Ward, 1952 : 65). Vowels can be classified according to the part of the tongue that is raised, the height to which it is raised, and the position of the lips (Jones, 1956).
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
199
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
According to the part of the tongue which is raised, there are three kinds of vowels (Jones, 1956 : 15). First, in front vowel. In the production of these vowels the ‘front’ of the tongue is raised in the direction of the hard palate. The front vowels include : i:, I, e, and æ. The second is back vowels. In the pronunciation of these vowels, the ‘back’ of the tongue is raised in the direction of the soft palate. The back vowels include : α:, Ɔ, Ɔ:, u, u: and Λ. The third is central vowels. These vowels are the intermediate between front and back vowels. The central vowels include : Ə: and Ə. According to the height to which it is raised, there are four kinds of vowel (Jones, 1956 : 56). First is close vowel. Close vowels are vowels produced by holding the tongue as high as possible, consistently without producing a frictional noise. Close vowels include : i:, I, u and u:. Second is an open vowel. Open vowels are vowels produced by holding the tongue as low as possible. They are : æ, α:, Ɔ, Ɔ:. The third is half close vowel. Half close vowels are vowels produced by positioning the tongue at one third of the distance from close to open vowels. They include : Ə: and Ə. The fourth is half open vowels. Half open vowel are vowels produced by positioning the tongue at two third of the distance from close to open vowels. They include : e and Λ.
English Diphthongs. Beside pure vowels, there are also vowels, which are not pure, called diphthong. Diphthong is a vowel during the formation of which the organs of speech perform a clearly perceptible movement (Jones, 1967). There are many diphthongs in English. A diphthong is defined as an independent vowel-glide not containing within itself either a ‘peak’ or a ‘through’ of prominence. By a vowel-glide it means that the speech-organs start at in the position of one vowel and move in the direction of another vowel. By independent we mean that the glide is expressly made, and is not merely an unavoidable concomitant of sounds preceding and following (Jones, 1967). During the formation of a diphthong the tongue does not remain stationary, as the case with pure vowels (monophthong), but performs a gradual movement in the direction of the second element, till the position required for that sound is reached. From this it is understood that a diphthong is not a succession of two well – defined vowels (as for instance in doing), but a gliding sound which only the beginning and the end have more or less clearly definable tongue – position. Another classification of English diphthong is based on the change of prominence (Jones, 1967). A diphthong is called falling diphthong when the beginning of a diphthong is more prominent than the end (Kruisinga, 1970 : 9). There are many falling diphthongs in English, but there are nine of them, which are essential for foreign learners (Jones, 1967). He numberes them from 13 to 21. They are eI, ou, aI, au, ƆI, IƏ, ƐƏ, ƆƏ, uƏ as mentioned previously. A diphthong is called a rising diphthong when the beginning of the diphthong is less prominent than the end. According to Jones (1967), there are three raising diphthongs ĭƏ, ŭƏ, ŭǐ. The mark over the first letter indicates the prominence.
Research Method The design of this study is a descriptive study. According to Arikunto (2005 : 34), descriptive study is aimed to give original view of variable, indication and condition. This study was conducted to depict a situation at the time of the study in order to get definite information. It was intended to identify mispronouncing in pronouncing vowels [i:], [I],[æ], [ε] and [α],
200
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
which exist in the students’ speeches in their attempt to use the target language and to determine the areas of the difficulties faced by the students in pronouncing [i:], [I],[æ], [ε] and [α] vowels. The subjects of the study were the second semester students of English Department of STKIP PGRI Pasuruan taking pronunciation course. Because it is the first time they got the pronunciation course. There were four classes, those are class A, class B, class C and class D. The researcher observed in class A. There are 35 students in this class. The researcher chose this class randomly, because, the distribution of the students not based on their ability. So, the researcher had assumption that all of the classes had equal ability and the ability all of the classes’ enough to represented with one class. And certainly the second semester students of English Department have to pronounce English vowels [i:], [I],[æ], [ε] and [α] well. It’s to improve the sound in that case. The reading aloud test was done to collect the data. It was because the reading aloud test is easy to score. The administration of the test on vowels [i:], [I], [æ], [ε] and [α], were done with the help from an English lecturer of pronunciation course of the second semester students of English Department at STKIP PGRI Pasuruan. The researcher also gives the right pronunciation with its phonetic symbols to make the readers know how the right pronunciation of each words. Table 3.1 Table of Phonetic Symbol Kinds of Words [æ] vowel : 1. After 2. Answer 3. That 4. Thanks 5. Cat [i:] vowel : 6. Please 7. Leave 8. People 9. Be 10. See [I] vowel : 11. Hit 12. Milk 13. Big 14. Swim 15. Minute [α] vowel : 16. Month 17. Young 18. Sun 19. Brother 20. Colour [Ɛ] vowel :
Phonetic Symbol æftƏ(r) ænsƏ(r) ðæt θæŋk kæt pli:z li:v pi:pl bi: si: hIt mIlk bIg swIm mInIt mαnθ jαŋ sαn brαðƏ(r) cαlƏ(r)
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
201
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
21. 22. 23. 24. 25.
Men Yellow Said Yesterday Friend
mƐn yƐlloƱ sƐit ‘jƐstƏdI frƐnd
In order to make this research run effectively the researcher used an instrument. The instrument is tape recorder. The researcher used a tape recorder to record the students’ voices. The researcher gave some words on a piece of paper and then the researcher asked the students to read it. There were 25 words, i.e. 5 words testing [i:] sound, 5 words testing [i] sound, 5 words testing [æ] sound, 5 words testing [ε] sound and 5 words. When the students read, the researcher recorded their voices. After all of the students finished to read, the researcher analyzed it. In this study, the data were presented quantitatively in order to find out the frequency of occurrence of the mispronunciations. To analyze the data the researcher did some activities. First, the researcher prepared some words for a test. Second, the researcher recorded the students’ voices and the last the researcher calculated their mispronouncing. The frequency of occurrence of the mispronouncing previously identified were counted and tabulated. The number of mispronouncing were then presented in the form of percentage, the quantitatively data are expected to show the students’ difficulties in pronouncing vowels [i:], [i], [æ], [ε] and [α]. The higher percentage of mispronouncing, and the more difficult the pronunciation for the students, will be presented with the table. Then, to know the proportion of the type of mispronouncing, it was calculated by using this formula: Number of mispronouncing of vowel x 100% Total number of mispronouncing
Findings The classification of mispronunciation is classifying mispronunciation in pronouncing English vowels. The researcher identified the students’ mispronunciation in pronouncing English vowel, as follow : Mispronouncing on Pronouncing. a. Mispronunciation in pronouncing [I] vowel. Mispronunciation of this vowel was because the students’ lips were too relaxed. And they didn’t make their tongue a little bit lower. The students were not habitual to pronounce [I] sound because in Indonesian they didn’t find this vowel so they need a process. e.g. a. Big – bi:g b. Milk – mi:lk c. Hit – hi:t The right pronunciation is as follows : a. Big – bIg b. Milk – mIlk c. Hit – hIt 202
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
b. Mispronunciation in pronouncing [i: ] A mispronunciation in this vowel was because the students’ didn’t spread their lips. So, the sound that produced was like [I] vowel. And the students still confused to differentiate betweens [i:] vowel and [I] vowel. e.g. a. Please – plIz b. Leave – lIv c. People -- pIpl The right pronunciation is as follows : a. Please – pli:z b. Leave – li:v c. People – pi:pl c. Mispronunciation in pronouncing [æ] vowel. Mispronunciation in this vowel was because the students’ mouths were almost closed. They didn’t spread their lips, push their tongue to the front. So, the sound that produced was like [Ɛ] vowel. And, because the students didn’t find this vowel in Indonesian words. e.g. a. Cat – kƐt b. Answer – ƐnsƏr c. That -- ðƐt The right pronunciation is as follows : a. Cat – kæt b. Answer – ænsƏr c. That – ðæt d. Mispronunciation in pronouncing [α] vowel. A mispronunciation of this vowel was because the student’s mouth was not too opened. So, the sound that produced was like [Ə] vowel. e.g a. Month – mƏnθ b. Sun – sƏn c. Colour – colƏ(r) The right pronunciation is as follows : a. Month – mαnθ b. Sun – sαn c. Colour – cαlƏ(r) e. Mispronunciation in pronouncing [Ɛ] vowel Mispronunciation of this vowel was because the students were not habitual to pronounce [Ɛ] sound because in Indonesian they didn’t find this vowel and they need a process. So, the sounds that produced were like [Ə] or æ sound. e.g. a. Men – mƏn b. Yellow – yælloƱ c. Said -- sæit The right pronunciation is as follows : a. Men – mƐn b. Yellow – yƐlloƱ c. Said -- sƐit
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
203
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Tabulating Mispronunciation. The result from the students mispronunciation was showed that there were five kinds of vowels; [I] vowel, [i:] vowel, [æ] vowel, [α] vowel and [Ɛ] vowel known as mispronunciation. The mispronouncing vowels include of mispronouncing on [I] vowel 68 times or 46 %, [i:] vowel 9 times or 6 %, [æ] vowel 24 times or 16 %, [α] vowel 19 times or 13 % and [Ɛ] vowel 29 times or 19 %. And the dominant mispronouncing on vowel is mispronouncing on [I] vowel 68 times or 46 %. The data were taken from the students’ pronunciation given by the lecturer, so the researcher collected and calculated them. The result was showed that the mispronunciation on words ‘after’, ‘month’, and ‘men’ were 6 times or 0,04 %; ‘please’, ‘yellow’, ‘brother’, ‘see’ and ‘friend’ were 1 time or 0,006 %; ‘young’ was 9 times or 0,06 %; ‘hit’ was 17 times or 0,11 %; ‘milk’ and ‘swim’ were14 times or 0.09 %; ‘big’ was 21 times or 0,14 %; ‘leave’ and ‘that’ were 5 times or 0,03 %; ‘answer’ was 3 times or 0,02 %; ‘people’, ‘minute’ and ‘cat’ were 2 times or 0,01 %; ‘said’ was 20 times or 0,13 %; ‘thanks’ was 8 times or 0,05 % and ‘color’ was 4 times or 0,03 %. The dominant mispronouncing on the type of mispronunciation in words was ‘big’ 21 times or 0,14 %. There were three words that the students well in their pronunciation; they were ‘sun’, ‘be’ and ‘yesterday’. The data were taken from the students’ pronunciation given by the researcher, so the researcher collected and calculated them.
Discussion. This part of chapter IV discusses the finding that has been described in the previous part. The discussion attempts to the problem, and explain the findings. Mispronouncing on Pronunciation. a. Mispronunciation in pronouncing [I] vowel. These mispronunciations were happened because they couldn’t differentiate betweens [I] vowel and [i:] vowel. The right pronunciation [I] vowel could produce if the students’ lips were relax and lower their tongue a little. e.g. a. Big – bIg b. Swim – swIm c. Minute – mInIt b. Mispronunciation in pronouncing [i:] vowel. Mispronunciation on [i:] vowel were happened because when they pronounced [i:] vowel not too long, sometimes like [I] vowel or [Ɛ]. If they wants to produce the right [i:] vowel they should spread their lips. e.g. a. Be – bi: b. See – si: c. Please – pli:z c. Mispronunciation in pronouncing [æ] vowel Mispronunciation in this vowel was happened because they’re pronouncing like [Ɛ] vowel. The right pronouncing [æ] vowel can be produced if they open their mouth, spread their lips, push their tongue to the front. e.g. a. That – ðæt b. Thanks – θæŋk c. Cat -- kæt
204
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
d. Mispronunciation in pronouncing [α] vowel. This mispronounciation was happened because the students were not too opened their mouth. If they want to produce the right pronouncing of [α] vowel, their mouth should be opened. e.g. a. Young -- yαŋ b. Sun -- sαŋ c. Brother -- brαð Ə(r) e. Mispronunciation in pronouncing [Ɛ] vowel. Mispronunciation on [Ɛ] vowel happened because sometimes their pronunciation like [Ə] vowel. The right pronunciation [Ɛ] vowel can be produced if the students’ mouths are almost closed, and the students spread their lips. e.g. a. Said -- sƐd b. Yesterday – yƐstƏda Based on the findings that have been described on the previous part, it can be seen that the highest percentage of mispronunciation made by the second semester students of English Department at STKIP PGRI Pasuruan was in the [I] vowel. It showed on table 4.1, that mostly students have made mispronunciation especially in the [I] vowel which reached 68 times or 46 % than the other vowels, which involved mispronouncing on [i:] vowel; [æ] vowel; [α] vowel and [Ɛ] vowel. And the lowest percentage of the type of mispronouncing is [i:] vowel, which reached 9 times or 6 %. One of the factors caused of the highest percentage of mispronouncing English vowels were the students’ pronunciation were not correct. It means that the students’ lips didn’t relax, and they didn’t make their tongue a little bit lower. There are many factors that make the students’ pronouncing is not correct, for examples : (1) the area in which they grew up; (2) the area in which they now live; (3) if they have speech or voice disorder; (4) their ethnic group; (5) their social class; (6) their education; (7) the English pronunciation is different with Indonesian pronunciation; and (8) in Indonesian pronunciation of vowels they didn’t faced the vowels like in EnglishNo two people pronounce exactly alike. The differences arise from a variety of causes such as locality, early influences, and social surroundings. Besides, there are also individual peculiarities for which it is difficult or impossible to account (Jones, 1967 : 11). Someone ability in pronunciation influenced with kinds of factors. Pronunciation problems happened when speaking a second language because most people are used to hearing and making sounds, which only exist in their mother tongue. Here are a few suggestion on how to train the students’ pronunciation : (1) the students’ learn to recognize that English sounds and Indonesian sounds are different; (2) they learn to hear clearly and think about how sounds are made when they are listening; (3) discover how this sounds are made and (4) practice moving your jaw, tongue, lips etc. as correctly as possible so that they are able to make the problematic English sounds clearly (www.freeencyclopedia.com). Considering those factors the students have made errors very frequently in pronouncing [I]. Most of the students felt that learning pronunciation was difficult enough for them. It is a good idea to try to imitate English words whenever we are listening to anything in English such as watching TV, watching a movie, listening to the radio or music, etc. We should also try to pronounce English words whenever we are somewhere alone with a little time to spare, e.g. while waiting for the bus, taking a shower, or surfing the web. Once your mouth and tongue get used to the new sounds, you will not find them difficult at all. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
205
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
The researcher also gives some tips for the reader who wants to learn the English pronunciation: (1) do not confuse pronunciation of words with their spelling; (2) imagine a sound in our mind before we say it. Try to visualize the positioning of your mouth and face. Think about how we are going to make the sound; (3) listen to and try to imitate each word when listening the radio or watching TV; (4) the English language has many different dialects, and words can be pronounced differently. It is important, however, that we are pronouncing words clearly to ensure effective communication and finally (5) we must practice what we are learning. Remember that we are teaching our mouth a new way to move. We are building muscles that we do not use in our own language. It is like going to the gym and exercising our body. Use the program to exercise our mouth a little bit each day
Conclusion The total numbers of mispronouncing were 149, mispronouncing on [I] vowel was 68 times or 46 %; mispronouncing on [i:] vowel was 9 times or 6 %; mispronouncing on [æ] vowel was 24 times or 16 %; mispronouncing on [α] vowel was 19 times or 13 %; and mispronouncing on [Ɛ] vowel was 29 times or 19 %. The researcher also tried to find out the causes of that mispronouncing from the students’ pronunciations. The factors causes of mispronunciations were : (1) the English pronunciation is different from Indonesian pronunciation; (2) the students couldn’t differentiate betweens the short i or [I] and the long i or [i:] and (3) in Indonesian pronunciation of vowels they didn’t face the vowels like in English. The other factors for examples : (1) the students forgot to pronounce English vowel correctly, although they had already learnt in their previous meeting; (2) sometimes the students feel nervous; (3) the area in which they grew up; (4) the area in which they now live; (5) if they have speech or voice disorder; (6) their ethnic group; (7) their social class; and (8) their education.
Suggestions At the end of this study, the researcher would like to give some suggestions based on the result of this study as follows : 1. To the Lecturer. From the frequency of those mispronouncing, it shows that pronunciation still needs more attention especially in [I] vowel, the teaching strategy or method used in process of teaching learning English especially in pronouncing skill, giving feedback to know the area of the difficulties in learning English pronunciation. 2. To the Students. They should pay attention to the English pronunciation that are different from the Indonesian pronunciation, they also should listen to how the sounds in real words and sentences and listen to and try to imitate each word when listening the radio or watching TV. References _____. Defitinion of Phonology, (OnLine), (http :// www.freedictionary.com, accessed on March, 15th 2014). _____. Defition of Mispronouncing, (OnLine), (http://www.yourdictionary.com/misprono uncing, accessed on March, 14th 2014).
206
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
_____. Pronunciation Problems, (OnLine), (http :// www.lc.usk.hk.com/sac/advice/english/ pronunciation, accessed on March, 14th 2014). Adhistiani, E.L. 2004. A Study of the Pronunciation of English Diphthong Use by Having Javanese Language Background. Thesis : State University of Malang. Dalton, D.F.2009. Some Techniques for Teaching Pronunciation, (OnLine), (http;//d [emailprotected], accessed on March, 24th 2014). Gimson, A.C. 1969. An Introduction to the Pronunciation of English. London : Edward Arnold. Hedeman, C. & Westerbeek, J.J. 1969. An Introduction to the Study of English Sound. Groningen : Noordhoff N.V. Jones, Daniels. 1973. The Pronunciation of English. Cambridge : The University Press. Kenyon, J.S. 1969. American Pronunciation. Michigan : George Wahr Publishing Company Ann Weber. Lane, Linda. 2005. Focus on Pronunciation 1. New York : Pearson Education. Manser, M.H. 1995. Oxford Learner’s Pocket Dictionary : New Edition. Oxford ; Oxford University Press. Otlowski, Marcus.2009. The Expectation of Pronunciation, (OnLine), (http://otlowski @cc.kochi-u.ac.jp, accessed on March, 24th 2014). Rakhmawati, Indra. 2008. The Error Analysis in Writing Descriptive Paragraph Made by the First Year Students of SMAN 4 Pasuruan. Thesis : STKIP PGRI Pasuruan. Rini, Sulistyo. 2008. A Study on Teaching Speaking of the Second Year Students on SMA Negeri 1 Pasuruan. Thesis : STKIP PGRI Pasuruan. Sirindorn, Y.R. 2008. A Study on the Students’ Error of English Pronounce in Expository Text at the Second Year Students of SMA Negeri 1 Kejayan. Thesis : STKIP PGRI Pasuruan. Vitanova, Gergana & Miller, Ann.2009. Reflective Practice in Pronunciation Learning, (Online), (http ://[emailprotected], accessed on March, 21st 2014).
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
207
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Analisis Kesalahan Mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika STKIP PGRI Pasuruan dalam Menyelesaikan Soal Persamaan Diferensial Linier Homogen dan Tak Homogen Rif’atul Khusniah 15 ([emailprotected]) Abstract Identify errors in the student work on the problems need to be done by each lecturer of course, this identification system aims to improve the course in order to obtain better results. The purpose of this study was to: (1) Identifying and classifying any mistakes done by the students in solving problems associated with PD Linear Homogeneous material and not homogenous, (2) Finding what causes students to make mistakes in completing questions relating to materials of PD Linear Homogeneous and PD Linear Non-Homogeneous. This research is a qualitative descriptive study conducted at the department of mathematics education student 2012 class A that followed the course Differential Equations II. The result showed that the most common mistake is to determine y p in the method of indeterminate coefficients and error integrating the inverse operator method. While in the method of variation of parameters, many students are not able to resolve a matter within the prescribed period. Keywords: Analysis of error, Lesson Study, Differential Equations. Abstrak Identifikasi kesalahan mahasiswa dalam mengerjakan soal perlu dilakukan oleh setiap dosen pengampu mata kuliah, identifikasi ini bertujuan untuk memperbaiki sistem perkuliahan sehingga diperoleh hasil yang lebih baik. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk: (1) Mengidentifikasi dan mengelompokkan kesalahan apa saja yang dilakukan mahasiswa dalam menyelesaikan soal-soal yang terkait dengan materi PD Linier Homogen dan Tak Homogen, (2) Menemukan apa yang menjadi penyebab mahasiswa melakukan kesalahan-kesalahan dalam menyelesaikan soal-soal yang berkaitan dengan materi PD Linier Homogen dan PD Linier Tak Homogen. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif yang dilakukan pada mahasiswa prodi pendidikan matematika kelas 2012 A yang mengikuti mata kuliah Persamaan Diferensial II. Hasil penelitian diperoleh kesalahan yang paling banyak terjadi yaitu pada penentuan y_p di metode koefisien tak tentu dan kesalahan mengintegralkan pada metode invers operator. Sedangkan di metode variasi parameter, banyak mahasiswa yang tidak dapat menyelesaikan soal dalam jangka waktu yang ditentukan. Kata Kunci: Analisis kesalahan, Lesson Study, Persamaan Diferensial.
Pendahuluan Pada setiap perkuliahan pastilah terjadi proses “belajar” yang dialami oleh dosen maupun mahasiswa yang hadir pada perkuliahan tersebut. Proses belajar ini melibatkan banyak pihak dan berbagai macam sumber belajar yang akhirnya memberikan suatu perubahan pada pihak yang telah belajar. Perubahan yang terjadi bisa pada tingkah laku, pemahaman maupun pengetahuan. Mata kuliah Persamaan Diferensial II merupakan mata kuliah wajib yang harus ditempuh oleh mahasiswa semester V program studi pendidikan matematika. Mata kuliah ini memuat materi tentang persamaan diferensial orde tinggi dan cara-cara untuk menyelesaikannya. Sebelum menempuh mata kuliah ini mahasiswa wajib menempuh terlebih dahulu mata kuliah persamaan diferensial I yang memuat materi persamaan diferensial orde I. Akan tetapi, pada 15
Dosen Program Studi Pendidikan Matematika STKIP PGRI Pasuruan
208
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
kenyataannya mata kuliah persamaan diferensial II tidak hanya memerlukan pengetahuan dari mata kuliah prasyarat persamaan diferensial I. Banyak pengetahuan dari mata kuliah lain yang diperlukan untuk menyelesaikan soal-soal-soal PD Linier Homogen orde tinggi dan PD Linier Tak Homogen. Yang paling banyak diperlukan yaitu materi-materi pada mata kuliah Kalkulus I dan Kalkulus II khususnya materi tentang turunan dan integral. Perbedaan kemampuan mahasiswa pada materi prasyarat menyebabkan banyak terjadi kesalahan pada saat penyelesaian soal-soal PD Linier Homogen orde tinggi dan PD Linier Tak Homogen. Kesalahan yang banyak dilakukan mahasiswa biasanya berkaitan dengan kurangnya pemahaman terhadap konsep dasar yang harus dikuasai, kurangnya pemahaman terhadap materi persamaan diferensial linier orde tinggi dan persamaan diferensial linier tak homogen, kurangnya ketelitian siswa dan kurangnya penguasaan pada teknik perhitungan. Kesalahan-kesalahan yang terjadi pada saat penyelesaian soal-soal PD Linier Homogen orde tinggi dan PD Linier Tak Homogen hampir sama dan selalu berulang pada angkatan berikutnya. Untuk meminimalisir kesalahan yang berulang dan untuk memperbaiki kualitas belajar dan pembelajaran di kelas, maka diperlukan suatu penelitian yang membahas tentang kesalahan-kesalahan yang sering muncul. Penelitian ini diharapkan dapat mengidentifikasi jenis-jenis kesalahan yang ada dan menemukan faktor penyebab terjadinya kesalahan tersebut. Berdasarkan uraian diatas, penelitian ini bertujuan untuk (1) Mengidentifikasi dan mengelompokkan kesalahan apa saja yang dilakukan mahasiswa dalam menyelesaikan soal-soal yang terkait dengan materi PD Linier Homogen dan Tak Homogen, (2) Menemukan apa yang menjadi penyebab mahasiswa melakukan kesalahan-kesalahan dalam menyelesaikan soal-soal yang berkaitan dengan materi PD Linier Homogen dan PD Linier Tak Homogen. Winkel (1996:53) mengemukakan bahwa Belajar adalah aktivitas mental (psikis) yang berlangsung dalam interaksi dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan pengetahuan pemahaman keterampilan dan nilai sikap. Perubahan itu bersifat konstan dan berbekas. Sedangkan Purwoto (1997: 24) menyatakan bahwa “Belajar adalah suatu proses yang berlangsung dari keadaan tidak tahu menjadi tahu atau dari tahu menjadi lebih tahu, dari tidak terampil menjadi terampil, dari belum cerdas menjadi cerdas, dari sikap belum baik menjadi bersikap baik, dari pasif menjadi aktif, dari tidak teliti menjadi teliti dan seterusnya. Pada pembelajaran matematika, mahasiswa dituntut untuk dapat menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan materi yang dibelajarkan. Menurut Polya (1973) terdapat empat langkah yang dilakukan dalam pemecahan masalah matematika, yaitu: 1) memahami masalah dan mengetahui apa yang diperlukan 2) mengetahui bagaimana berbagai materi dihubungkan kepada data, dalam rangka memperoleh gagasan solusi untuk membuat suatu rencana penyelesaian 3) menyelesaikan persoalan 4) periksa kembali proses dan hasil yang diperoleh. Malau (1996:44) menyatakan bahwa kesalahan yang sering terjadi pada saat menyelesaikan soal-soal matematika dapat dilihat dari beberapa hal antara lain karena kurangnya pemahaman atas materi prasyarat maupun materi pokok yang dipelajari, kurangnya penguasaan bahasa matematika, keliru menafsirkan atau menerapkan rumus, salah perhitungan, kurang teliti dan lupa konsep. Sependapat dengan itu, Suherman (2001:5) menyatakan bahwa konsep-konsep matematika tersusun secara hierarkis, terstruktur, logis dan sistematis mulai dari konsep yang paling sederhana sampai pada konsep yang paling kompleks. Hal ini
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
209
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
mengindikasikan bahwa didalam matematika terdapat konsep prasyarat dimana konsep ini menjadi dasar untuk memahami suatu topik atau konsep selanjutnya. Sriati (1994:8) dalam penelitian yang dilakukannya menyatakan bahwa kesalahan yang biasanya terjadi dalam mengerjakan soal matematika antara lain: 1) Aspek bahasa / terjemahan Yaitu kesalahan dalam mengubah informasi ke dalam ungkapan matematika atau kesalahan memberi makna suatu ungkapan matematika. 2) Aspek tanggapan / konsep Kesalahan dalam menafsirkan konsep, rumus dan dalil matematika. 3) Aspek strategi / langkah penyelesaian Kesalahan ini terjadi jika mahasiswa salah dalam memilih jalan penyelesaian atau jalan yang dipilih tidak tepat, sehingga tidak dapat menentukan pemecahan soal. 4) Kesalahan sistematik Adalah kesalahan yang berkenaan dengan pemilihan yang salah atas teknik ekstrapolasi 5) Kesalahan tanda Adalah kesalahan dalam memberikan atau menulis tanda atau notasi matematika 6) Kesalahan hitung Adalah kesalahan menghitung dalam operasi matematika. Identifikasi kesalahan mahasiswa dalam mengerjakan soal dilakukan dengan memberikan soal dalam bentuk Lembar Kerja Mahasiswa yang harus dikerjakan dalam jangka waktu tertentu. Hasil pekerjaan mahasiswa ini nantinya akan diidentifikasi mengenai kesalahan apa saja yang muncul dan hasilnya akan dikelompokkan dalam beberapa tipe kesalahan dari setiap materi. Materi-materi yang menjadi pokok bahasan pada penelitian ini antara lain: Penyelesaian PD Linier Homogen Orde Tinggi, Penyelesaian PD Linier Tak Homogen dengan Metode Koefisien Tak Tentu, Penyelesaian PD Linier Tak Homogan dengan Metode Variasi Parameter dan Penyelesaian PD Linier Tak Homogen dengan Metode Invers Operator. Analisis kesalahan dalam penelitian ini merupakan penyelidikan dari aspek letak, jenis dan faktor penyebab terjadinya kesalahan dengan cara menguraikan kesalahan yang dilakukan mahasiswa pada hasil pengerjaan Lembar Kerja Mahasiswa. Dalam penelitiannya Siyepu (2013) menyebutkan bahwa “The nature of errors is based on mistakes displayed by students when they attempt to solve mathematical problems. Students demonstrate different mistakes, which arise owing to many different reasons”. Kesalahan yang dimaksud diatas adalah kesalahan yang dilakukan mahasiswa pada saat mengerjakan permasalahan matematika. Dimana kesalahankesalahan tersebut muncul karena berbagai macam alasan yang berbeda dari setiap mahasiswa.
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi dosen pengampu mata kuliah Persamaan Diferensial II untuk memperbaiki rencana pembelajarannya sehingga dapat meminimalisir kesalahan mahasiswa dalam mengerjakan soal-soal yang diberikan dan menghindari terjadinya kesalahan yang berulang. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi kaprodi untuk memperbaiki kurikulum yang ada sehingga materi prasyarat yang diperlukan pada mata kuliah ini benar-benar telah diperoleh oleh mahasiswa sebelum menempuh mata kuliah ini.
210
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif yang bertujuan untuk mendeskripsikan letak kesalahan mahasiswa, jenis kesalahan dan faktor penyebab kesalahan tersebut. Data penelitian ini diperoleh dari hasil pekerjaan mahasiswa pada Lembar Kerja Mahasiswa (LKM). Subjek dalam penelitian ini adalah mahasiswa program studi pendidikan matematika STKIP PGRI Pasuruan yang mengambil mata kuliah persamaan diferensial II pada tahun ajaran 2014/2015 khususnya kelas 2012 A yang mengikuti Open Class pada kegiatan Lesson Study. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sampai Nopember 2014 selama kegiatan Lesson Study berlangsung. Pada saat kegiatan Open Class mahasiswa diberikan soal dalam bentuk Lembar Kerja Mahasiswa yang dikerjakan secara berkelompok dan ada pula yang dikerjakan secara individu. Hasil pekerjaan inilah yang nantinya akan diidentifikasi letak dan jenis kesalahannya serta dianalisa faktor penyebab terjadinya kesalahan tersebut.
Hasil Penelitian Dari 4 (empat) pokok bahasan yang menjadi bahan penelitian, yaitu: Penyelesaian persamaan diferensial linier orde tinggi, penyelesaian persamaan diferensial linier tak homogen dengan metode koefisien tak tentu, penyelesaian persamaan diferensial linier tak homogen dengan metode variasi parameter dan penyelesaian persamaan diferensial linier tak homogen dengan metode invers operator diperoleh beberapa kesalahan yang dilakukan oleh mahasiswa. Kesalahan-kesalahan yang muncul dari setiap pokok bahasan akan dianalisa secara terpisah. Bentuk-bentuk kesalahan yang muncul diuraikan sebagai berikut:
Pokok bahasan Penyelesaian Persamaan Diferensial Linier orde tinggi Jumlah responden sebanyak 4 kelompok masing-masing terdiri dari 4 mahasiswa.
Soal: Bentuk umum PD Linier Homogen Orde-n , , adalah konstanta. Dengan menggunakan notasi operator diferensial (D), Persamaan Diferensial dapat ditulis menjadi: Kesalahan jawaban responden: Kelompok 1:
Kelompok 2: Kelompok 3:
Jawaban seharusnya:
Soal: Pembentukan persamaan karakteristik Kesalahan jawaban responden: Kelompok 1: Kelompok 3:
Kelompok 4:
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
211
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Jawaban seharusnya: Kedua soal diatas merupakan soal yang saling berhubungan, kelompok 1 dan 3 menjawab salah untuk keduanya. Sedangkan kelompok 2 menjawab salah dalam penulisan persamaan menggunakan operator diferensial tetapi benar dalam pembentukan persamaan karakteristiknya. Untuk kelompok 4 terdapat sedikit kesalahan pada saat penulisan persamaan karakteristiknya, yaitu pangkat dari m tidak perlu diletakkan dalam tanda kurung (melambangkan turunan ke) cukup dengan menuliskan pangkatnya saja.
Soal: Selesaikan PD Kesalahan jawaban responden: Kelompok 1: Solusi umum PD Kelompok 2: Solusi umum PD Kelompok 4: Solusi umum PD Jawaban seharusnya: Kesalahan yang banyak terjadi disini adalah pada saat membentuk solusi umum PD. Banyak mahasiswa yang kurang memahami konsep dasarnya. Sedangkan untuk pemfaktoran menggunakan metode sintetis Horner, hampir semua mahasiswa menguasai metode tersebut sehingga tidak ada kesalahan pada saat penentuan akar-akar persamaannya.
Soal: Selesaikan PD Kesalahan jawaban responden: Kelompok 1: memfaktorkan ;
;
Solusi umum PD
Kelompok 3: memfaktorkan ;
;
Solusi umum PD
Jawaban seharusnya: ;
;
Solusi umum PD Letak kesalahan mahasiswa pada soal ini adalah ketika menentukan akar persamaan dimana Diskriminannya < 0, akar yang diperoleh adalah pasangan bilangan kompleks. Sebanyak 25% responden tidak bisa menentukan akar-akar persamaan dan 25% salah dalam perhitungan. Hal ini mengakibatkan kesalahan pada solusi umum PD.
212
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Pokok bahasan Penyelesaian Persamaan Diferensial Linier Tak Homogen dengan Metode Koefisien Tak Tentu Jumlah responden 7 kelompok masing-masing terdiri dari 3 mahasiswa. Soal: Selesaikan PD Kesalahan Jawaban Responden: Langkah 1 menentukan solusi umum PD Homogen Kelompok 1: Kelompok 4: Jawaban seharusnya Pada langkah ini mahasiswa tidak kesulitan dalam mencari akar-akar persamaan, tetapi pada saat pembentukan solusi umum masih terdapat beberapa mahasiswa yang kurang memahami konsep dasarnya sehingga pembentukan solusi umumnya kurang tepat. Langkah 2 menentukan solusi khusus PD Tak Homogen Kelompok 1:
Kelompok 2:
Kelompok 3:
Kelompok 4:
Kelompok 5:
Kelompok 6:
Kelompok 7:
Jawaban Seharusnya
(Aturan Modifikasi)
Sebanyak 100% responden melakukan kesalahan pada saat penentuan
. Kesalahan ini karena
mahasiswa kurang memahami aturan-aturan yang berlaku pada metode ini sehingga mengakibatkan kesalahan pada langkah berikutnya. Kesalahan ini merupakan kesalahan yang fatal karena pembentukan merupakan langkah utama dalam metode ini.
Pokok bahasan Penyelesaian Persamaan Diferensial Linier Tak Homogen dengan Metode Variasi Parameter Jumlah responden 17 mahasiswa. Soal: Selesaikan PD Kesalahan Jawaban Responden: Langkah 2 Menentukan solusi khusus PD Tak Homogen Menentukan persamaan syarat 1 Responden 1 : Responden 11: Tidak menentukan persamaan syarat 1 Jawaban seharusnya
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
213
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Menentukan persamaan syarat 2 Responden 1 : Responden 10: Tidak menentukan persamaan syarat kedua Responden 13: Responden 14: Tidak menentukan persamaan syarat kedua Responden 15 : Responden 16 : Jawaban seharusnya
Menghitung Determinan Wronsky
Responden 1: Tidak menghitung W, hanya menuliskan dengan W saja. Responden 8: Responden 9: Responden 10: Tidak menghitung W Responden 11: Tidak menghitung W Responden 13: Tidak menghitung W Responden 14: Tidak menghitung W Responden 15: Tidak menghitung W Responden 16: Tidak menghitung W
Jawaban seharusnya: Menentukan dan Kesalahan jawaban responden Responden 1, 8, 9, 10, 11, 13, 14, 15 dan 16 tidak mengerjakan Jawaban seharusnya:
Menentukan
dan
dan
(mengintegralkan)
Kesalahan jawaban responden Responden 1, 8, 9, 10, 11, 13, 14, 15 dan 16 tidak mengerjakan Responden 2: Tidak diintegralkan Responden 12: Tidak diintegralkan Jawaban seharusnya:
dan
Membentuk solusi umum PD Tak Homogen Responden 1, 8, 9, 10, 11, 13, 14, 15 dan 16 tidak mengerjakan Responden 17: Tidak membentuk solusi umum PD Tak Homogen
Tidak selesai mengerjakan
Responden 1, 8, 9, 10, 11, 13, 14, 15 dan 16
Pada pokok bahasan ini, tingkat pemahaman mahasiswa masih sangat kurang. Hal ini dibuktikan dengan besarnya tingkat kesalahan yang dilakukan oleh mahasiswa. Dan sebagian besar dari mahasiswa tidak mampu menyelesaikan soal ini dalam jangka waktu yang ditentukan.
214
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Pokok bahasan Penyelesaian Persamaan Diferensial Linier Tak Homogen dengan Metode Invers Operator Jumlah responden 5 kelompok masing-masing terdiri dari 4 mahasiswa. Soal: Selesaikan PD Kesalahan Jawaban Responden: Kesalahan mengintegralkan
Responden 1:
Jawaban seharusnya:
Responden 1:
Responden 2:
Responden 3:
Jawaban seharusnya: Kesalahan memfaktorkan Responden 4:
Jawaban seharusnya:
Kesalahan pemfaktoran ini menyebabkan kesalahan pada proses perhitungan selanjutnya, sehingga jawaban yang diperoleh juga salah. Begitu juga kesalahan pada saat mengintegralkan juga menyebabkan jawaban yang diperoleh salah. Dari uraian diatas, terlihat bahwa kesalahan yang paling sering terjadi yaitu kesalahan pada konsep dasar dan kurangnya pengetahuan dari materi prasyarat.Kesalahan-kesalahan mahasiswa dalam mengerjakan soal-soal yang diberikan seperti yang telah diuraikan sebelumnya, dapat dirangkum sebagai berikut menurut pokok bahasan masing-masing: Kegiatan Open Class 1 Sabtu/ 25 Oktober 2014
Materi Penyelesaian Persamaan Diferensial Linier Homogen Orde Tinggi
Jenis Kesalahan yang ditemukan (Prosentase) 1. Penulisan notasi operator diferensial (75%) 2. Pembentukan persamaan karakteristik (75%) 3. Kesalahan dalam menentukan akar-akar persamaan (25%) 4. Kesalahan dalam perhitungan (25%) 5. Kesalahan dalam pembentukan solusi umum PD (50%)
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
215
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Kegiatan Open Class 2 Sabtu/ 1 Nopember 2014
Open Class 3 Sabtu/ 8 Nopember 2014
Open Class 4 Sabtu/ 15 Nopember 2014
Materi Penyelesaian PD Linier Tak Homogen dengan Metode Koefisien Tak Tentu Penyelesaian PD Linier Tak Homogen dengan Metode Variasi Parameter
Penyelesaian PD Linier Tak Homogen dengan Metode Invers Operator
Jenis Kesalahan yang ditemukan (Prosentase) 1. Kesalahan dalam pembentukan solusi umum PD Homogen (50%) 2. Kesalahan dalam pembentukan solusi khusus PD Tak Homogen ( ) (100%) 1. Kesalahan menentukan persamaan syarat 1 (5,9%) 2. Tidak menentukan persamaan syarat 1 (5,9%) 3. Kesalahan menentukan persamaan syarat 2 (23,52%) 4. Tidak menentukan persamaan syarat 2 (11,76) 5. Kesalahan menghitung determinan Wronsky (11,76%) 6. Tidak menghitung determinan wronsky (41,17%) 7. Tidak menentukan dan (52,94%) 8. Menentukan dan (Tidak mengintegralkan) (64,70%) 9. Membentuk (47,05%) 10. Membentuk solusi umum PD Tak Homogen (58,82%) 11. Tidak selesai mengerjakan (35,29%) 1. Kesalahan dalam memfaktorkan (20%) 2. Kesalahan mengintegralkan (100%)
Simpulan Dari hasil penelitian diperoleh beberapa temuan yang dapat dijadikan sebagai masukan untuk perbaikan pembelajaran selanjutnya sehingga tidak terjadi kesalahan yang berulang. Beberapa kesalahan yang paling banyak terjadi dimana tingkat kesalahan mencapai 100% yaitu kesalahan dalam menentukan pada materi metode koefisien tak tentu dan kesalahan menhitung hasil pengintegralan pada materi metode invers operator. Kesalahan yang pertama dapat diminimalisir dengan cara penguatan pada konsep dasar metode koefisien tak tentu. Sedangkan kesalahan yang kedua merupakan kesalahan pada konsep dasar integral parsial yang merupakan materi dari kalkulus II. Sedangkan untuk materi metode variasi parameter, banyak mahasiswa yang tidak dapat menyelesaikan soal yang diberikan dalam jangka waktu yang ditentukan, hal ini mengindikasikan bahwa pada materi ini mahasiswa perlu waktu yang lebih panjang untuk menguasai konsep dasar metode ini sehingga tidak terjadi kebingungan pada saat menyelesaikan soal.
216
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Daftar Pustaka Malau, L.(1996). Analisis Kesalahan Jawaban Siswa Kelas I SMU Kampus Nommense Pematang Siantar dalam Menyelesaikan Soal-Soal Terapan Sistem Persamaan Linier 2 Variabel. Tesis tidak Diterbitkan. Malang: IKIP Malang Polya, G. (1973). How To Solve It: A New Aspect of Mathematical Method. New Jersey: Princeton University Press. Purwoto. (1997). Strategi Belajar Mengajar. UNS : UNS Press. Siyepu, S.W. (2003). An exploration of students’ errors in derivatives in a university of technology. Journal of Mathematical Behavior ,32 (577– 592). Sriati, A. (1994). Kesulitan Belajar Matematika Pada Mahasiswa SMA : Pengkajian Diagnostik Jurnal Kependidikan. Yogyakarta: Lembaga Penelitian IKIP Yogyakarta. Suherman, E. (2001). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: Kerjasama JICA dengan FMIPA UPI. Winkel, W.S. (1996). Psikologi Pengajaran. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
217
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Analisis Keterampilan Mengajar Calon Guru Pendidikan Jasmani, Olahraga Dan Kesehatan (Studi pada Mahasiswa S1 Program Studi Pendidikan Jasmani dan Kesehatan STKIP PGRI Jombang yang Menempuh Program PPL) Wahyu Indra Bayu 16 ([emailprotected]) Risfandi Setyawan 16 ([emailprotected]) Abstract Teacher which with quality is teacher owning ability at good category its profession area. Teacher competence cover pedagogic competence, personality competence, social competence, and professional competence. In learning process, what most is influencing of learning study is pedagogic competence. Because pedagogic competence this basically is ability of teacher in managing learning start from preparation, execution, evaluation, and assessment of learning to educative participant. This research aim to to obtaining real him about quality teaching skill’s teach candidate of physical education, sport, and health (N=30, Male= 22, Female=8). Assessment of performance use technique of Duration Recording System (DRS), so that can be analysed by using study observation sheet. Result of research indicate that ability in lesson plan category very good (28,4±2,97); ability learning process enter in category good (24±1,26); ability in assessing educative participant enter in category good (10,8±1,21); and teaching skill’s to enter in category good (41,87±7,22). From the result can be concluded that teaching skill’s teach candidate of physical education, sport, and health enter in category good. Keywords: Teaching Skill’s, Teacher Candidate of PESH Abstrak Guru yang berkualitas adalah guru yang memiliki kemampuan pada kategori baik di bidang profesinya. Kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Dalam pembelajaran, yang paling mempengaruhi efektivitas pembelajaran adalah kompetensi pedagogik. Karena kompetensi pedagogik ini pada dasarnya adalah kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran mulai dari persiapan, pelaksanaan, evaluasi, dan penilaian pembelajaran bagi peserta didik. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran nyata tentang kualitas keterampilan mengajar calon guru pendidikan jasmani, olahraga, dan kesehatan (N=30, 22 Laki-laki, 8 Perempuan) dalam mengelola pembelajaran. Penilaian kinerja menggunakan teknik Recording Duration System (DRS), sehingga bisa dianalisis dengan menggunakan lembar observasi pembelajaran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan dalam menyusun RPP masuk dalam kategori Baik Sekali (28,4 ±2,97); kemampuan menjalankan proses pembelajaran masuk dalam kategori Baik (24±1,26); kemampuan dalam menilai peserta didik masuk dalam kategori Baik (10,8±1,21); dan keterampilan mengajar masuk dalam kategori Baik (41,87±7,22). Dari hasil tersebut maka dapat disimpulkan bahwa keterampilan mengajar calon guru pendidikan jasmani, olahraga, dan kesehatan masuk dalam kategori Baik. Kata Kunci: Keterampilan Mengajar, Calon Guru PJOK
Pendahuluan Dalam proses pembelajaran PJOK, pertumbuhan dan perkembangan intelektual, sosial dan emosional anak sebagian besar terjadi melalui aktivitas gerak atau motorik yang dilakukan anak. PJOK menekankan aspek pendidikan yang bersifat menyeluruh antara lain kesehatan, kebugaran jasmani, keterampilan berfikir kritis, stabilitas emosional, keterampilan sosial, 16 1
Dosen Pendidikan Jasmani dan Kesehatan (Penjaskes) STKIP PGRI Jombang
218
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
penalaran dan tindakan moral, yang merupakan tujuan pendidikan pada umumnya. Di dalam pembelajaran yang paling mempengaruhi efektivitas pembelajaran adalah kompetensi pedagogik. Karena kompetensi pedagogik ini pada dasarnya adalah kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran mulai dari persiapan, pelaksanaan, evaluasi, dan penilaian pembelajaran bagi peserta didik. Kompetensi pedagogik adalah kompetensi yang khas, yang akan membedakan guru dengan profesi lainnya. Penguasaan kompetensi ini, menentukan keberhasilan proses dan hasil pembelajaran peserta didik. Kompetensi ini merupakan kemampuan dalam pengelolaan peserta didik yang meliputi pemahaman wawasan atau landasan kependidikan, pemahaman terhadap peserta didik, pengembangan kurikulum/sillabus, perancangan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan diaolgis, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktulaisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Agar proses pembelajaran dalam mata pelajaran (mapel) pendidikan jasmani, olahraga, dan kesehatan (PJOK) dapat berjalan dengan efektif, maka guru dituntut untuk memiliki kompetensi pedagogik tersebut. Pengelolaan proses pembelajaran itu sendiri pada dasarnya merupakan proses interaksi pedagogis antara guru, peserta didik, materi, dan lingkungannya. Makin efektif proses interaksi pedagogis dilakukan guru, maka makin efektiflah proses pembelajaran yang dilakukan guru tersebut (Maksum, 2010). Suroto (2005) menyatakan bahwa guru PJOK yang efektif akan mampu mengelola aktivitas siswanya sehingga dapat menjamin siswanya memiliki kecukupan gerak dan belajar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa guru yang berkualitas berpengaruh besar terhadap efektivitas pembelajaran (Suherman, 2007; Rink, 2002) dan pada gilirannya mempengaruhi prestasi anak didik (Siedentop & Tannehill, 2000). Efektivitas pembelajaran pada dasarnya merupakan cerminan dari efektivitas pengelolaan proses pembelajaran yang dilakukan oleh gurunya. Targetnya adalah siswa belajar. Sementara itu, pengelolaan proses pembelajaran itu sendiri pada dasarnya merupakan proses interaksi pedagogis antara guru, peserta didik, materi, dan lingkungannya. Makin efektif proses interaksi pedagogis dilakukan guru, maka makin efektiflah proses pembelajaran yang dilakukan guru tersebut. Untuk dapat manjalankan proses pembelajaran PJOK secara lebih baik, maka seorang guru harus mampu memerankan fungsi mengajar pada saat menjalankan pembelajarannya. Fungsi mengajar adalah fungsi guru dalam proses belajar mengajar. Penggunaan istilah ini ditujukan agar guru terfokus pada tujuan perilaku yang ditampilkannya pada saat mengajar daripada hanya sekedar terfokus pada perilaku mengajarnya itu sendiri. Lutan, dkk (2002) kualitas pengajaran mencakup dua aspek yaitu proses dan hasil, mutu proses yang melibatkan faktor guru, peserta didik, lingkungan dan tugas ajar sedangkan hasil berkenaan dengan derajat pencapaian tujuan. Faktor guru diyakini memegang peran yang sangat strategis dalam upaya memperbaiki kualitas pendidikan. Untuk dapat meraih proses pembelajaran yang lebih efektif, para guru dapat memilih dan menggunakan berbagai teknik dan keterampilan mengajar secara efektif. Keputusan mengenai teknik dan keterampilan mengajar bagaimana yang akan dipilih untuk menampilkan fungsi mengajar bergantung pada apa yang diketahui (what they know), apa yang diyakini (what they believe), minat (interest), keterampilan (skills), dan kepribadian (personality) gurunya itu sendiri. Sindentop (dalam Hickson & Fishburne, 2001: 4), dalam pembelajaran dikjasor yang terpenting yaitu menjelaskan, umpan balik, demonstrasi dan murid dapat menikmati proses pembelajaran. Sedangkan menurut Silverman (dalam Hickson dan Fishburne, 2001: 4), pembelajaran pendidikan jasmani dikatakan efektif jika, (a) Guru dapat merencanakan dan Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
219
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
mengatur pembelajaran dengan baik, (b) Guru dapat mengantisipasi situasi dalam kelas, (c) Guru menyadari bahwa kemampuan tiap siswa berbeda, (d) Guru harus pandai dalam merencanakan informasi yang disampaikan pada siswa, (e) Guru harus memiliki pengetahuan, kapan menggunakannya, dan menggunakan gaya mengajar yang sesuai, (f) Guru harus memberikan penjelasan dan demonstrasi yang akurat dan tepat, (g) Guru menentukan waktu latihan yang cukup, (h) Guru mampu meminimalisasi waktu yang tidak tepat ketika siswa latihan, (i) Guru mampu meminimalisasi siswa yang diam untuk menunggu giliran latihan. Hasil riset tentang pengajaran menunjukkan bahwa ada tiga butir hal yang penting untuk diperhatikan agar pengajaran PJOK efektif dalam arti bahwa anak didik akan memiliki keterampilan bergerak yang tinggi dengan sikap yang positif terhadap kegiatan fisik. Ketiga hal itu meliputi: (1) peserta didik memerlukan latihan praktek yang tepat dan memadai, (2) latihan praktek tersebut harus memberikan peluang tingkat sukses (rate of success) yang tinggi, dan (3) lingkungan perlu diintrukturisasi sedemikian rupa sehingga menumbuhkan iklim belajar yang kondusif (Mutohir, 2002: 24).
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif, yakni penelitian yang dilakukan untuk menggambarkan gejala, fenomena atau peristiwa tertentu. Pengumpulan data dilakukan untuk mendapatkan informasi terkait dengan fenomena, kondisi, atau variabel tertentu dan tidak dimaksudkan untuk melakukan pengujian hipotesis. Ary, Jacobs, dan Razavieh, (1990: 381) menyatakan :” ... descriptive research is not generally directed toward hypotesis testing. The aim to describe “what exists” with respect to variables or conditions in situation”. Penelitian ini dilakukan pada mahasiswa program studi pendidikan jasmani dan kesehatan (Prodi. Penjaskes) STKIP PGRI Jombang yang menempuh Mata Kuliah Program Pengalaman Lapangan (PPL) pada tahun 2014 yang ditempatkan pada satuan pendidikan SMA di Jombang dan Mojokerto. Sampel diambil secara random sebanyak 30 calon guru (mahasiswa) dari total 175 mahasiswa Prodi. Penjaskes yang menempuh Mata Kuliah Program Pengalaman Lapangan (PPL) pada tahun 2014. Ada empat instrumen yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu instrumen untuk penilaian pembuatan RPP, instrumen untuk penerapan proses pembelajaran, instrumen proses penilaian guru pada peserta didik, dan instrumen keterampilan mengajar guru PJOK. Proses pengambilan data dengan menggunakan teknik Recording Duration System (DRS), sehingga bisa dianalisis dengan menggunakan instrumen penelitian yang digunakan.
Hasil Penelitian Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan dalam menyusun RPP masuk dalam kategori Baik Sekali (28,4±2,97); kemampuan menjalankan proses pembelajaran masuk dalam kategori Baik (24±1,26); kemampuan dalam menilai peserta didik masuk dalam kategori Baik (10,8±1,21); dan keterampilan mengajar masuk dalam kategori Baik (41,87±7,22).
220
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Tabel 1. Nilai Keterampilan Mengajar Calon Guru PJOK No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Nama Calon Guru EP NK MAA ASN MK SLM EB FP AK IR AS MM EB TE AP VDP NAA GA FK APN NS EF SNW LI RF FDP FAF SN FH YP
Pembuatan RPP
Proses Pembelajaran
Penilaian Peserta Didik
Teaching Skill's
32 31 30 26 28 31 31 29 25 30 26 30 31 31 21 25 28 30 30 30 30 30 26 29 28 20 29 26 32 27
24 24 25 26 24 26 25 23 24 23 24 24 25 23 25 24 23 26 25 22 26 24 24 25 23 23 22 24 21 23
9 12 12 12 12 12 9 12 9 12 12 12 11 12 9 12 11 12 11 11 9 10 11 10 11 9 11 10 9 10
37 50 47 25 44 52 50 44 27 49 50 51 43 45 34 40 32 39 39 49 39 41 48 33 34 36 48 43 45 42
Tabel 2. Analisis Keterampilan Mengajar Calon Guru PJOK
Rata-Rata Maksimal Minimal Standar Deviasi
Pembuatan RPP 28,40 32 20 2,97
Proses Pembelajaran 24 26 21 1,26
Penilaian Peserta Didik 10,80 12 9 1,21
Teaching Skill's 41,87 52 25 7,22
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
221
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Ada delapan indikator dalam proses penilaian RPP, yaitu (1) menuliskan identitas RPP dengan lengkap; (2) menyusun indikator pencapaian kompetensi yang layak; (3) menyusun tujuan pembelajaran yang layak; (4) memilih materi pembelajaran yang sesuai; (5) memilih & menggunakan sumber belajar secara optimal; (6) memilih dan memanfaatkan media pembelajaran secara optimal; (7) merancang kegiatan pembelajaran dengan pendekatan saintifik; dan (8) merancang kegiatan penilaian sikap, pengetahuan, dan keterampilan. RPP dirancang sebelum proses pembelajaran dimulai, seperti ungkapan lama “jika kamu ingin sukses, maka kamu harus mempunyai rencana”. RPP layaknya rencana mengajar atau skenario pembelajaran untuk memperoleh tujuan pembelajaran yang sudah dicanangkan. Guru yang efektif adalah guru yang mempunyai perencanaan yang baik tentang pemahaman materi dan pengorganisasian keterampilan untuk membantu peserta didik dalam proses pembelajaran PJOK. Hastie & Martin, (2006), menerangkan bahwa ada beberapa ciri dari guru yang efektif dalam membuat rencana pembelajaran, yaitu, patience, flexibility, persistence, dan selfknowledge. Perencanaan yang efektif adalah buah dari usaha dan kesabaran (patience) dari guru, tanpa ciri itu tidak akan dihasilkan suatu perencanaan yang baik. Kadang suasana kelas tidak kondusif dan tidak sesuai dengan apa yang dirancanakan, maka perencanaan juga harus bersifat fleksibel (flexibility). Suasana yang tak terduga adalah masalah yang sulit bagi banyak guru. Bagaimanapun, guru yang kurang berpengalaman akan menemukan hal tersebut dan tampak akan lebih sulit meenyesuaikan rencana pembelajaran dibandingkan dengan guru yang berpengalaman mengajar (Lee, 2003). Kegigihan (persistence), kadang rencana pembelajaran menjadi serba salah, kadang hasilnya tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Sebagai contoh, apabila kita menggunakan gaya mengajar guided discovery dan peserta didik selalu melakukan kesalahn dalam memberikan solusi, maka yang harus dilakukan adalah mengevaluasi rencana pembelajaran, bukan menyalahkan peserta didik yang salah dalam melaksanakan tugas gerak (solusi). Dengan kegigihan, guru tersebut akan menjadi handal dalam membuat rencana pembelajaran. Yang terakhir adalah pengetahuan diri sendiri (self-knowledge), guru harus yakin bahwa rencana yang telah sudah disusun adalah perencanaan pembelajaran yang efektif. Suatu perencaan pembelajaran bisa saja sukses dilakukan oleh lain guru, tetapi belum tentu akan sukses apabila kita yang menjalankan rencana pembelajaran tersebut, begitu juga sebaliknya. Proses pembelajaran terdiri dari tiga bagian besar, yaitu kegiatan awal pembelajaran, kegiatan inti, dan kegiatan penutup pembelajaran. Ada delapan indikator dalam proses pembelajaran, yaitu (1) melakukan apersepsi, motivasi, penyampaian tujuan; (2) menguasai materi pelajaran; (3) menerapkan strategi pembelajaran yang mendidik; (4) menerapkan pendekatan pembelajaran saintifik (pendekatan berbasis proses keilmuan); (5) memanfaatkan sumber belajar/media dalam pembelajaran; (6) pelibatan peserta didik dalam pembelajaran; (7) menggunakan bahasa yang benar dan tepat dalam pembelajaran; dan (7) menerapkan langkah menutup pelajaran. Untuk memulai proses pembelajaran, guru harus menyampaikan apa yang akan dipelajari oleh peserta didik, apa keuntungannya, dan bagaimana proses penilaian yang akan dilakukan selama proses pembelajaran berlangsung. Selain itu penyampain oleh guru juga harus menimbulkan rasa tertarik dan tidak lupa adalah motivasi dari guru kepada peserta didik untuk mengitu proses pembelajaran. Pada bagian inti, guru mempraktekkan suatu keterampilan/tugas gerak kepada peserta didik, peserta didik akan lebih beruntung apabila ada demonstrasi langsung dari guru, karena hal tersebut merupakan cara komunikasi yang efektif untuk 222
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
memberikan informasi kepada peserta didik terkait tugas gerak atau keterampilan. Pemberian beberapa isyarat selama demonstrasi akan meningkatkan peforma atau kualitas gerak (Roach & Burwitz, 1986) dan khusus untuk anak muda akan memperoleh pola gerakan yang baru (McCullagh, Stiehl, & Weiss, 1990). Hastie & Martin, (2006), menjelaskan ada empat pendekatan dalam memberikan demonstrasi kepada peserta didik, yaitu (1) demonstrasikan keterampilan, tetapi jangan berbicara; (2) ulangi demonstrasi, tetapi dengan gerakan yang pelan; (3) demonstrasikan gerakan yang diperlukan dengan cepat; dan (4) sediakan pandangan yang berbeda. Selama proses pembelajaran berlangsung, tidak sedikit guru yang memberikan pertanyaan kepada peserta didik untuk strategi pemecahan masalah. Ada tiga jenis pertanyaan yang biasa digunakan dalam proses pembelajaran, yaitu (1) pertanyaan penjelasan; (2) pertanyaan konsekwensi; dan (3) pertanyaa pembenaran atau penalaran, Hastie & Martin, (2006). Pertanyaan yang bagus adalah yang meningkatkan pengetahun peserta didik, menantang pengetahuan peserta didik untuk tahun lebih banyak, dan membangun pengalaman yang baru. Setelah memberikan demonstrasi dan pertanyaan kepada peserta didik, maka tugas guru berikutnya adalah pengecekan pemahaman peserta didik tentang tugas gerak. Sidentop & Tannehill (2000) berpendapat bahwa pengecekan secara spesifik untuk meyakinkan peserta didik mendapatkan informasi yang akurat dari guru. Setelah itu adalah memonitor hasil kerja peserta didik. Bagian akhir dari proses pembelajaran adalah penilaian hasil belajar peserta didik. Hastie & Martin, (2006), ada dua tipe penilaian, yaitu penilaian formatif dan penilaian sumatif. Keuntungan dari proses penilaian formatif adalah dapat digunakan sebagai umpan balik bagi guru tentang kemajuan peserta didik, membantu guru memodifikasi pembelajaran, pemberdayaan peserta didik dalam proses penilaian, dan membatu guru dalam mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan selama proses pembelajaran berlangsung. Sedangkan keuntungan untuk penilaian sumatif adalah dilakukan pada akhir proses pembelajaran, penyedian indikator keberhasilan, memungkinkan guru untuk membagi kualitas dan membandingkan peserta didik, bersifat resmi dan ada dokumen pencapaian. Keterampilan mengajar (teaching skills) pada dasarnya adalah berupa bentuk-bentuk perilaku yang bersifat mendasar dan khusus yang harus dimiliki oleh seorang guru sebagai modal awal untuk melaksanakan tugas-tugas pembelajaran secara terencana dan profesional. Keterampilan mengajar (teaching skill’s) dalam penelitian ini mempunyai 12 indikator yang dijadikan pedoman dalam mengaliasa, yaitu (1) menyiapkan pembelajaran; (2) membuka pembelajaran (presensi, lingkup materi, apersepsi, tujuan); (3) mengelola waktu dan arena pembelajaran; (4) mengelola pemanasan dan pendinginan; (5) menempatkan diri (memposisikan diri di arena pembelajaran); (6) membuat perintah; (7) memonitor perintah; (8) memberi umpan balik (pengakuan kebenaran/koreksi); (9) mencatat kemajuan belajar siswa; (10) bertanya/ refleksi/ menggali pengalaman belajar siswa; (11) menutup pembelajaran (apresiasi, tindak lanjut pertemuan, pembiasaan); dan (12) mengevaluasi diri. Untuk indikator menyiapkan pembelajaran, penilaian dilakukan terhadap lima aspek yang dilakukan oleh guru, yaitu (1) membuat RPP; (2) merefresh penguasaan materi; (3) mengecek data kemampuan awal siswa; (4) menyiapkan tempat pembelajaran; dan (5) menyiapkan alatalat pembelajaran. Sedangkan indikator membuka pelajaran, lima aspek yang dianalisis adalah, (1) melakukan presensi; (2) menyampaikan ruang lingkup materi; (3) mengadakan apersepsi; (4) menyampaikan tujuan psikomotor; dan (5) menyampaikan tujuan kognitif dan afektif. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
223
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Untuk indikator mengelola waktu dan arena pembelajaran, aspek yang diharapkan dilakukan oleh guru adalah, (1) menyampaikan waktu yang tersedia untuk pembelajaran; (2) menyampaikan waktu yang tersedia untuk setiap tugas belajar; (3) menyampaikan batas-batas arena pembelajaran; (4) membuat tanda-tanda peningkatan level tugas; dan (5) membuat tanda pembeda dari tugas gerak yang berbeda. Guru akan mengajar lebih baik jika telah merencanakan dan menggunakan keterampilan pengelolaan kelas yang telah dikuasai dengan tepat. Indikator untuk pengelolaan pemansan dan pendinginan adalah, (1) menyebut nama gerak/formasi/permainan; (2) menyampaikan tujuan gerak/formasi/permainan; (3) menyampaikan cara melakukan/indikator kesempurnaan; (4) mengaitkan dengan materi inti; dan (5) mengecek hasil pemanasan/pendinginan. Untuk indikator menempatkan diri (memposisikan diri di arena pembelajaran) adalah (1) pada saat posisi perintah verbal, dia menjamin semua siswa mendengar; (2) pada saat posisi demo, memungkinkan semua peserta didik melihat dan mendengar penjelasan guru; (3) pada saat posisi monitoring total, memiliki sudut pandang penuh; (4) pada saat posisi memberi feedback individu, mendekat ke siswa sasaran; dan (5) pada saat membuka pelajaran, menempatkan posisi siswa di tempat yang aman dan nyaman (a.l. dari sinar matahari). Salah satu hal yang penting dalam memberikan sebuah instruksi tugas gerak kepada peserta didik sehingga tugas gerak bisa tuntas dilaksankan dengan baik oleh peserta didik adalah pemberian feedback (umpan balik). Feedback dari guru (orangtua dan pelatih) dapat mempengaruhi bagaimana peserta didik (anak) merasakan tentang kemampuan untuk mempraktekkan tugas gerak tersebut (Graham, 2008). Feedback terbagi atas general feedback, nonverbal feedback, feedback dengan informasi isi yang spesifik, dan feedback yang berisi nilainilai (Sidentop, 1983). Tabel 3. Jenis-Jenis Feedback general feedback nonverbal feedback
Gerakan yang bagus, Tembakan yang bagus Passing yang bagus, Bagus Adi Senyum, Memberi tanda OK, Memberi tanda jempol Tepuk tangan
feedback with specific Gerakan yang bagus, John! Kamu menembak dari sisi yang tepat information content feedback with value Lompatan yang bagus! Kamu dapat melompat lebih jauh lagi content dengan cara lututnya lebih ditekuk lagi Indikator menutup pembelajaran juga terdapat lima aspek yang harus dianalisa oleh observer, yaitu (1) menyimpulkan proses; (2) hasil; (3) memberikan apresiasi; (4) menyampaikan rencana materi berikutnya dan persiapan yang diperlukan; dan (5) menyampaikan tindak lanjut dalam kehidupan sehari-hari siswa.
Simpulan “Sukses” dalam pembelajaran bisa diartikan sebagai peserta didik belajar dan mengembangkan perilaku secara positif. Dalam pembelajaran PJOK, “sukses” bisa diartikan apabila dalam proses pembelajaran peserta didik “sibuk, senang, dan baik” (Placek, 1984). Dari hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa keterampilan mengajar calon guru PJOK masuk dalam kategori Baik. Sehingga calon guru PJOK bisa dikatakan baik dalam mengelola proses pembelajaran PJOK dan hal ini dapat dijadikan sebagai bahan kajian dalam meningkatkan 224
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
kualitas mengajar calon guru PJOK. Kelemahan harus segera ditutupi dan kelebihan harus tetap dipertahankan dan ditingkatkan, sehingga kualitas guru PJOK yang akan datanag semankin berkembang dan menjadi lebik baik lagi. Perlu diingat bahwa, tugas dasar mengajar adalah untuk menemukan cara membantu peserta didik belajar dan berkembang; untuk mendesain pengalaman pembelajaran supaya peserta didik bisa berkembang dalam hal keterampilan, pemahaman, dan sikap.
Daftar Pustaka Ary, D., Jacobs, L.C., & Razavieh, A. (1990). Introduction to Research in Education. Fort Worth: Harcourt Brace College Publishers. Graham, G. 2008. Teaching Children Physical Education: Becoming a Master Teacher. Champaign, IL: Human Kinetics. Maksum, A. (2010). Kualitas guru pendidikan jasmani di sekolah: antara harapan dan kenyataan. Makalah dipresentasikan dalam forum penelitian Balitbang Depdiknas. McCullagh, P., Stiehl, J., & Weiss, M.R. (1990). Developmental Modeling Effect on the Quatitative and Qualitative Aspects of Motor Performance. Research Quarterly for Exercise and Sport. 61(4): 344-350. Hastie, P. & Martin, E. (2006). Teaching Physical Elementary Education: Strategies for The Classroom Teacher. San Francisco: Pearson Education Inc. Lee, A. (2003). How the Field Envolved. In S.J. Silverman & C.D. Ennis (eds). Student Learning in Physical Education (2nd Edition). Champaigh, IL: Human Kinetics. Placek, J. 1984. A Multicase Study of Teacher Planning in Physical Education. Journal of Teaching in Physical Education. 4: 39-49. Rink, J. E. (2002). Teaching Physical Education for Learning (4th edition). New York: McGraw Hill. Roach, N.K & Burwitz, L. (1986). Observational Learning in Motor Skills Acquisition: The Effet of Verbal Directing Cues. Trend and Developments in Physical Education: Proceedings of the VIII Commonwealth and International Conference on Sport, Physical Education, Dance, Recreation, and Health. Conference ’86 Glasgow, 18-23 Juli. Publication Information: London, New York: E. & F.N. Spon, 1986. Sidentop, D. 1983. Developing Teaching Skills in Physical Education (2nd Edition). Mountain View, CA: Mayfield Publishing Company. Sidentop, D. & Tannehill, D. (2000). Developing Teaching Skills in Physical Education (4th Edition). Mountain View, CA: Mayfield. Suherman, A. (2007). Teacher’s Curricullum Value Orientations dan Implikasinya Pada Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Pendidikan Jasmani. Disertasi. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia. Suroto. (2005). Examining the relationship among students’ physical activity level, students’ learning behaviors, and students’ formative class evaluation during elementary school physical education classes. (Unpublish Doctoral Disertation). University of Tsukuba. Japan
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
225
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Analisis Permasalahan Pemanfaatan Media Karikatur dalam Pembelajaran Ekonomi (Analisis pada Mahasiswa Praktikan Micro Teaching STKIP PGRI Jombang) Nanik Sri Setyani 17 ([emailprotected]) Abstract This study aims to identify the practitioner student problems when trying utilize caricature media on Micro Teaching training process. The success of using instructional media in the learning process depends on (1) the content of the message, (2) how to explain the message, and (3) the characteristics of the message recipient. For that in choosing and using the media, to consider three factors. If the three factors are able to be delivered in the course of learning media will give maximum results. Economic utilization of instructional media at the high school level is required maximum preparation. This is because the characteristics of the message recipient / high school students are students who often or easily bored. One of the interesting learning media according to researchers is the caricature media. It is very suitable for high school students who like to receive the new information, more over when they are learning. This study is a descriptive-qualitative research. It is a method to observe, analyze and describe the phenomenon that occurs, the practitioner issues when utilizing the caricature media on learning process. Conclusion This study shows that students who try to practice the caricature media on the training process Micro Teaching majority (70%) had difficulty in determining / match with the contents of the message. This is due to the limited ability of the caricature media, most still use the media caricature that has been available on the internet. Though the media on the internet is not easy to be associated with the material. So the researchers suggest that there is additional material in the course Learning Media, it is a Photoshop computer program to help the practitioner more easily match the caricature with the material to be taught. Keywords: caricature, media Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi permasalahan mahasiswa praktikan pada saat berlatih memanfaatan media karikatur pada Micro Teaching. Keberhasilan menggunakan media pembelajaran tergantung pada isi pesan, cara menjelaskan pesan, dan karakteristik penerima pesan. Untuk itu dalam memilih dan menggunakan media, perlu diperhatikan ketiga faktor tersebut. Apabila ketiga faktor tersebut mampu disampaikan dalam media pembelajaran tentunya akan memberikan hasil yang maksimal. Pemanfaatan media pembelajaran Ekonomi di tingkat SMA sangatlah diperlukan persiapan yang maksimal. Hal ini karena karakteristik siswa SMA adalah sering atau mudah bosan. Salah satu media pembelajaran yang menarik menurut peneliti adalah media karikatur. Hal ini sangat cocok dengan masa remaja siswa SMA, mereka menyukai kebaruan dari informasi yang diterima, termasuk pada saat proses pembelajaran. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif-kualitatif, yaitu suatu metode yang mengamati, menganalis dan menggambarkan fenomena yang terjadi, yaitu permasalahan praktikan pada saat memanfaatkan media karikatur pada proses pembelajaran. Kesimpulan penelitian ini menggambarkan bahwa mahasiswa yang mencoba mempraktekan Media Karikatur pada proses latihan Micro Teaching sebagian besar (70%) merasa kesulitan dalam menentukan/mencocokkan dengan isi pesan. Hal ini dikarenakan kemampuan membuat media karikatur terbatas, sebagian besar masih menggunakan media karikatur yang sudah tersedia di internet. Padahal media di internet tidak mudah di kaitkan dengan materi. Sehingga peneliti menyarankan ada tambahan materi di mata kuliah Media Pembelajaran, yaitu program komputer ‘photoshope’ untuk membantu praktikan lebih mudah mencocokkan karikatur dengan materi yang harus diajarkan. Kata Kunci : Media Karikatur 17
Dosen Pendidikan Ekonomi STKIP PGRI Jombang
226
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Pendahuluan Untuk meningkatkan kualitas kegiatan Real Teaching (praktek mengajar di sekolah) mahasiswa praktikan harus melalui program penggodokan yang sering disebut dengan Micro Teaching (praktek mengajar di kampus/bersama dengan mahasiswa lain). Pada saat program Micro Teaching mahasiswa diwajibkan menggunakan media pembelajaran dalam latihannya. Mahasiswa sering memilih media power point dan peta konsep karena media ini relatif mudah dibuat dan dipraktekkan. Meskipun pemilihan media sering tidak maksimal, praktikan sering memanfaatkan media power point untuk menghafalkan naskah dengan cara dibaca, sehingga media ini menjadi tidak berfungsi bahkan membosankan. Materi Ekonomi adalah materi yang dinamis, selalu mengalami perubahan setiap saat. Untuk itu pemanfaat media pembelajaran sangatlah penting, apalagi untuk jenjang SMA (sering digunakan tolak ukur program micro teaching). Siswa dalam tahap remaja akan lebih senang belajar dengan menggunakan bentuk-bentuk simbol dengan cara yang semakin abstrak. Pemanfaatan media pembelajaran Ekonomi di tingkat SMA sangatlah diperlukan persiapan yang maksimal. Hal ini dikarenakan karakteristik penerima pesan/siswa SMA adalah siswa yang sering atau mudah bosan. Untuk menghindari kebosanan yang sering muncul di pembelajaran Ekonomi perlu dikembangkan media pembelajaran yang dimunculkan berganti ganti. Salah satu media pembelajaran yang menarik menurut peneliti adalah media karikatur. Hal ini sangat cocok dengan masa remaja siswa SMA, mereka menyukai kebaruan dari informasi yang diterima, termasuk pada saat mereka belajar. Berdasarkan latar belakang tersebut peneliti memilih judul penelitian sebagai berikut: “Analisis Permasalahan Pemanfaatan Media Karikatur dalam Pembelajaran Ekonomi.” (Analisis pada Mahasiswa Praktikan Micro Teaching STKIP PGRI Jombang )
Landasan Teori Media Pembelajaran Kata media berasal dari bahasa Latin, yakni medius yang secara harfiahnya berarti ‘tengah’, ‘pengantar’ atau ‘perantara’(Munadi (2008:6). Menurut Asosiasi Teknologi dan Komunikasi Pendidikan (Association of Education and Comunication Technologi/ AECT) di Amerika, yakni sebagai segala bentuk dan saluran yang digunakan orang untuk menyalurkan pesan/informasi” (Munadi, 2008:8). Sedang pengertian media pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat menyampaikan dan menyalurkan pesan dari sumber secara terencana sehingga tercipta lingkungan belajar yang kondusif dimana penerimanya dapat melakukan proses belajar secara efisien dan efektif. (Munadi, 2008:7-8). Kegunaan Media dalam proses pembelajaran menurut Sadiman (1986:17) adalah: a. Memperjelas penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat verbalistis (dalam bentuk kata kata tertulis atau lisan belaka) b. Mengatasi keterbatasan ruang, waktu dan daya indera c. Penggunaan media secara tepat dan bervariasi dapat mengatassi sikap positif anak didik. Dalam hal ini media berguna untuk: 1) menimbulkan kegairahan belajar 2) memungkinkan interaksi yanglebih langsung antara anak didik dengan lingkungan dan kenyataan 3) memungkinkan anak didik belajar sendiri sendiri menurut kemampuan dan minatnya.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
227
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
d. Dengan sifat yang unik pada tiap siswa ditambah lagi dengan lingkungan dan pengalaman yang berbeda, sedangkan kurikulum dan materi pendidikan ditentukan sama untuk setiap siswa, maka guru banyak mengalami kesulitan bilamana semuanya itu harus diatasi sendiri. Hal ini akan lebih sulit bila latar belakang lingkungan guru dengan siswa juga berbeda. Masalah ini dapat diatasi dengan media, yaitu kemampuannya dalam: 1) memberikan rangsangan yang sama 2) mempersamakan pengalaman 3) menimbulkan persepsi yang sama. Untuk itu seorang guru harus selalu memperhatikan kegunaan media yang dipakai, agar tidak terjadi kesalahan. Guru hanya menghasilkan siswa belajar dengan gembira namun tidak mempengaruhi hasil belajarnya.
Klasifikasi Media Klasifikasi media berdasarkan indera menurut Munadi (2008:54-57), dapat dibagi menjadi empat kelompok: a. Media Audio adalah media yang hanya mampu memanipulasi kemampuan suara semata. Ditinjau dari sifat pesan yang diterima terdiri dari verbal dan non verbal. Ada beberapa jenis media yang dapat dikelompokkan dalam media audio antara lain radio, alat perekam pita magnetic, piringan hitam dan laboratorium bahasa. b. Media visual adalah alat bantu mengajar yang berhubungan dengan indera penglihatan. Jenis media ini gambar, tulisan, maupun objek. c. Media audio visual adalah alat bantu mengajar yang mempunyai bentuk gambar dan mengeluarkan suara secara simultan. Dengan media audio visual ini seseorang tidak hanya melihat tetapi sekaligus dapat mengdengar sehingga dikenal dengan istilah audio visual aids (AVA) atau alat pandang dengar. d. Multi Media adalah media yang melibatkan berbagai indera dalam sebuah proses pembelajaran. Termasuk dalam media ini adalah segala sesuatu yang memberikan pengalaman secara langsung bisa melalui komputer, internet, melalui pengalaman berbuat ataupun terlibat. Masing-masing media tersebut memiliki kelebihan dan kelemahan. Guru harus pandai untuk mengkombinasikan atau mencocokkan dengan isi materi, cara penyampaikan dan karakteristik/kemampuan siswa.
Landasan Pengembangan Penggunaan Media Pembelajaran Menurut Daryanto (2012: 12-16) ada beberapa tinjauan tentang landasan pengembangan penggunaan media pembelajaran, yaitu: a. Landasan Filosofis; Ada suatu pandangan jika mnggunakan jenis media yang menggunakan tehnologi baru akan mengakibatkan proses pembelajaran menjadi kurang humanis. Hal ini tidak benar proses pembelajaran tetap haru humanis (pembelajaran masih tetap menganggap siswa memiliki kepribadian, harga diri, motivasi dan kemmampuan pribadi yang berbeda). b. Landasan Psikologis; Dengan memperhatikan keberagaman dan keunikan proses belajar, ketepatan pemilihan media dan metode pembelajaran akan sangat berpengaruh pada hasil belajar siswa. Agar pelaksanaannya efektif perlu memperhatikaniadakan hal-hal sebagai berikut: 1) Diadakan pemilihan media yang tepat sehingga dapat menarik perhatian siswa dan memberikan kejelasan obyek yang diamati
228
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
2) Bahan pembelajaran yang akan diajarkan disesuaikan dengan pengalaman siswa. c. Landasan Teknologis; Proses teori dan praktek perancangan, pengembangan, penerapan, pengelolaan serta penilaian proses dan sumber belajar harus dikombinasian sehingga menjadi sistem yang maksimal. d. Landasan Empiris; Berdasarkan landasan rasional empiris akan mengakibatkan kesesuaian antara karakteristi pembelajar, materi pelajaran dan media itu sendiri, bukan karena kesukaan guru. Pemanfaat media pembelajaran yang efektif sebaiknya memperhatikan semua landasan tersebut, agar fungsi media pembelajaran untuk mempercepat pemahaman siswa dapat terwujud, tidak sebaliknya siswa menjadi bingung. Seringkali siswa SMA menyatakan bahwa pembelajaran Ekonomi itu membosankan karena selalu diajak untuk menghafalkan konsep yag sering kali tumpang tindih karena materi ekonomi pembagian sangat banyak. Sudut pandang buku satu dengan yang lain kadang berbeda. Ada sebagian buku membagi menjadi empat misalnya, kadang dibuku lain dibagi menjadi lebih banyak, hanya sekedar tinjauannya diperkecil/lebih detail. Peran guru Ekonomi harus bijaksana dalam menghadapi berbagai macam sumber yang berbeda tersebut. Guru harus mampu menyampaikan penyebab dari perbedaan isi buku tersebut. Guru berkewajiban untuk memberi tambahan wawasan melalui proses analisis. Di setiap bahasan/pertemuan hendaknya guru selalu mengerjakan soal/kasus yang komprehensif. Siswa secara otomatis dilatih untuk mengaplikasikan sekaligus menguasai materi dari konsep yang telah dipelajari. Menurut Ritonga (2007) buku paket SMA dilengkapi dengan bahasan Cinta Ekonomi” yang berisikan artikel mengenai tokoh-tokoh mulai dari ekonomi hingga praktisi di dunia bisnis dan juga sinopsis buku-buku Ekonomi. Materi Ekonomi adalah materi yang dinamis, selalu mengalami perubahan setiap saat. Untuk itu pemanfaat media pembelajaran sangatlah penting, apalagi untuk jenjang SMA. Siswa dalam tahap remaja akan lebih senang belajar dengan menggunakan bentuk-bentuk simbol dengan cara yang semakin abstrak. Pemanfaatan media pembelajaran Ekonomi di tingkat SMA sangatlah diperlukan persiapan yang maksimal. Hal ini dikarenakan karakteristik penerima pesan/siswa SMA adalah siswa yang sering atau mudah bosan. Untuk menghindari kebosanan yang sering muncul di pembelajaran Ekonomi perlu dikembangkan media pembelajaran yang dimunculkan berganti ganti. Salah satu media pembelajaran yang menarik menurut peneliti adalah media visual berupa gambar karikatur. Hal ini sangat cocok dengan masa remaja siswa SMA, mereka menyukai simbol yang abstrak dan kebaruan dari informasi yang diterima, termasuk pada saat mereka belajar. Menurut Munadi (2008:85-89) media Visual berupa gambar dibagi tiga, yaitu sketsa, lukisan, dan photo. Media Karikatur termasuk media Sketsa yaitu gambar sederhana atau draf kasar yang melukiskan bagian-bagian pokok suatu objek tanpa detail. Karikatur menurut Ahmad Rohani dalam Munadi (2008:87) adalah suatu bentuk gambar yang sifatnya klise, sindirian, dan lucu. Karikatur merupakan ungkapan perasaan seseorang yang biasanya diekspresikan berdasarkan masalah-masalah politik dan sosial (termasuk ekonomi). Dalam komunikasi pembelajaran, karikatur dapat digunakan untuk melatih siswa berfikir kritis dan memiliki kepekaan atau kepedulian sosial, lebih mempertajam daya pikir dan daya imajinasi peserta didik (Munadi, 2008:87-88). Saat siswa memperhatikan suatu gambar, mereka akan terdorong untuk berbicara lebih banyak, berinteraksi baik dengan gambar-gambar tersebut, maupun dengan sesamanya, membuat hubungan di antara paradoks dan membangun Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
229
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
gagasan-gagasan baru. Gambar merupakan media visual yang penting dan mudah didapat. Dikatakan penting sebab ia dapat mengganti kata verbal, mengkonkritkan yang abstrak, dan mengatasi pengamatan manusia. Gambar membuat orang dapat menangkap idea tau informasi yang terkandung di dalamnya jelas, lebih jelas daripada diungkapkan oleh kata-kata (Munadi, 2008:89). Berdasarkan kajian tersebut media karikatur sangatlah cocok untuk diterapkan pada matapelajaran Ekonomi, khususnya materi yang seringkali membosankan bagi siswa. Siswa diharapkan akan dengan senang hati mengkaji materi melalui media karikatur yang penuh misteri. Kelemahan media ini tentunya pada kesulitan atau kendala mencocokkan gambar karikatur dengan tujuan materi yang diajarkan. Menurut Munadi (2008:86) alasan utama guru tidak menggunakan atau menghadirkan gambar dalam proses pembelajaran adalah ‘tidak bisa menggambar’. Pembelajaran yang efektif memerlukan perencanaan yang baik media maupun unsur pendukung yang lain. Agar pemanfaatan media pembelajaran dapat memberi hasil yang optimal terhadap hasil belajar siswa, maka dalam pemilihan media harus dipertimbangkan beberapa hal, yaitu : a) isi pesan, b) cara menjelaskan pesan, dan c) karakteristik penerima pesan. Apabila ketiga faktor tersebut mampu disampaikan dalam media pembelajaran tentunya akan memberikan hasil yang maksimal. Pemanfaatan media pembelajaran Ekonomi di tingkat SMA diperlukan persiapan yang maksimal. Hal ini dikarenakan karakteristik penerima pesan/siswa SMA adalah siswa yang sering atau mudah bosan. Salah satu media pembelajaran yang menarik menurut peneliti adalah media karikatur. Hal ini sangat cocok dengan masa remaja siswa SMA, mereka menyukai kebaruan dari informasi yang diterima, termasuk pada saat proses pembelajaran di kelas.
Metode Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi permasalahan mahasiswa praktikan pada saat mencoba memanfaatan media karikatur pada proses latihan Micro Teaching. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif-kualitatif, yaitu suatu metode yang mengamati, menganalis dan menggambarkan fenomena yang terjadi, yaitu permasalahan praktikan pada saat memanfaatkan media karikatur pada proses pembelajaran.
Hasil Penelitian Keberhasilan menggunakan media pembelajaran dalam proses pembelajaran tergantung pada (1) isi pesan, (2) cara menjelaskan pesan, dan (3) karakteristik penerima pesan. Untuk itu dalam memilih dan menggunakan media, perlu diperhatikan ketiga faktor tersebut. Apabila ketiga faktor tersebut mampu disampaikan dalam media pembelajaran tentunya akan memberikan hasil yang maksimal. Berdasarkan hasil angket dan wawancara dengan mahasiswa praktikan micro teaching dapat dijelaskan bahwa: 1. Berdasarkan Isi Pesan a. Pada saat memilih Media Karikatur, sebagian besar (90%) menentukan Materi terlebih dahulu baru membuat Karikatur yang cocok. b. Sebagian besar (80% ) Mahasiswa praktikan memilih Media Karikatur dengan cara menentukan Materi terlebih dahulu, kemudian mencari Karikatur (tidak membuat sendiri ) yang cocok, misal lewat internet 230
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
c. Beberapa mahasiswa praktikan (70%) membutuhkan waktu yang relatif lama untuk menentukan karikatur yang cocok dengan materi. Karena sulit mencocokkan materi dengan karikatur yang diperoleh dari internet. 2. Berdasarkan Cara Menjelaskan Pesan a. Beberapa mahasiswa praktikan (60%) sangat diuntungkan dengan media karikatur, karena saya dapat menjelaskan materi dengan menyenangkan. b. Sebagian besar (60%) mahasiswa ada kendala dalam melaksanakan pembelajaran dengan media. c. Beberapa mahasiswa praktikan (60%) kebingungan pada saat proses pembelajaran untuk mengkaitkan Materi dengan media Karikatur 3. Karakteristik Penerima Pesan a. Beberapa mahasiswa praktikan (70%) merasa siswa yang diajar terlihat antusias pada saat menggunakan media Karikatur b. Beberapa mahasiswa praktikan (60%) merasa pada saat menggunakan Media Karikatur siswa terlihat lebih mudah memahami maksud dari materi pembelajaran. c. Beberapa mahasiswa praktikan (70%) merasa rasa bosan yang sering muncul di materi pembelajaran Ekonomi terlihat relatif berkurang pada saat menggunakan media karikatur. Berdasarkan hasil angket tersebut dapat disimpulkan bahwa permasalahan mahasiswa praktikan pada saat mencoba memanfaatan media karikatur pada proses latihan Micro Teaching adalah : a. Beberapa mahasiswa praktikan (70%) membutuhkan waktu yang relatif lama untuk menentukan karikatur yang cocok dengan materi. Karena sulit mencocokkan materi dengan karikatur yang diperoleh dari internet. Hal ini didukung dengan hasil wawancara sebagai berikut: ” … karikatur saya peroleh dari asli internet (berkali kali tidak cocok), pingin menggambar sendiri tapi tidak bisa/tidak ada yang mengajari….”. b. Beberapa mahasiswa praktikan (60%) kebingungan pada saat proses pembelajaran untuk mengkaitkan Materi dengan media Karikatur. Hal ini disimpulkan berdasarkan hasil wawancara sebagai berikut: “ … karena karikaturnya saya peroleh dari internet, seringkali siswa masih bingung mengkaitkan dengan materi yang saya ajarkan”. “ … saya juga bingung pada saat siswa tidak jelas dengan pembelajaran saya/dalam hati memang muncul tidak terlalu pas dengan karikatur yang ditampilkan jika dikaitkan dengan materi yang diajarkan…” Untuk mengatasi hal tersebut, mahasiswa praktikan mencoba menggunakan beberapa strategi untuk mengurangi kelemahan tersebut: 1) memberi bacaan melalui fotocopy sebelum diberi gambar/karikatur. Hal ini didukung dengan hasil wawancara :’ … siswa diberi fotocopy buku/materi terlebih dahulu dan disuruh membaca sebelum digunakan media karikatur. Yang membaca pasti nyambung dengan maksud karikatur. Sehingga kegembiraan mereka melihat karikatur diikuti dengan pemahaman konsep materi lebih cepat.” 2) memngkombinasi dengan foto asli. Hal ini didukung dengan hasil wawancara: ”… Saya menggunakan karikatur yang saya kombinasi dengan foto asli yang diketahui siswa/lingkungan sekitar. Sehingga siswa tidak bosan dengan media yang digunakan…”. 3) mencoba menggambar sendiri melalui program computer photoshope, namun membutuhkan waktu yang lama karena belajar otodidak.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
231
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
4) mahasiswa menyarankan untuk menambah materi pada matakuliah Media Pembelajaran dengan materi menggambar melalui media computer program photoshop misalnya.
Simpulan Kesimpulan penelitian ini menggambarkan bahwa mahasiswa yang mencoba mempraktekkan Media Karikatur pada proses latihan Micro Teaching sebagian besar (70%) merasa kesulitan dalam menentukan/mencocokkan dengan isi pesan. Hal ini dikarenakan kemampuan membuat media karikatur terbatas, sebagian besar masih menggunakan media karikatur yang sudah tersedia di internet. Padahal media di internet tidak mudah di kaitkan dengan materi. Sehingga peneliti menyarankan ada tambahan materi di mata kuliah Media Pembelajaran, yaitu program komputer photoshope untuk membantu praktikan lebih mudah mencocokkan karikatur dengan materi yang harus diajarkan.
Daftar Pustaka Munadi, Yudhi, 2008, Media Pembelajaran Sebuah Pendekatan Baru, Gunung Baru Pers, Jakarta Daryanto, 2012, Media Pembelajaran, PT Sarana Tutorial Nurani Sejahtera, Bandung Ritonga, 2007, Ekonomi untuk SMA Kelas XI, PT Phibeta Aneka Gama, Jakarta Sadiman, Arief.S, 1986, Media Pendidikan, Pengertian, Pengembangan dan Pemanfaatnnya, PT Radja Grafendo Persada, Jakarta
232
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Perbandingan Bentuk Pemberian Hadiah Berupa Nilai dengan Hukuman Berupa Tugas Terhadap Hasil Belajar Matakuliah Gulat pada Mahasiswa Angkatan 2011D dan 2011E Program Studi Penjaskes STKIP PGRI Jombang Rahayu Prasetiyo 18, Yudi Dwi Saputra 18, & Joan Rhobi Andrianto 18 Abstract This study aims to examine indept the comparative form of a gift of value to the punishment of the task to the learning outcomes of students in the course of wrestling. This type of research is comparative research . Samples were 80 students of Physical Education and Health, grade 2011D and 2011E . The Methods of data collection usied the final value of the course of wrestling . The analysis using paired sample t- test at the significant level 0.05 . The analysis results showed that the learning outcomes of students who are rewarded in the form of a lower value than the punishment of the task Keywords: reward, punishment, learning outcomes Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji perbandingan bentuk pemberian hadiah berupa nilai dengan hukuman berupa tugas terhadap hasil belajar mahasiswa pada mata kuliah gulat. Jenis penelitian ini adalah penelitian perbandingan (comparative research). Sampel dalam penelitian adalah 80 mahasiswa program studi Pendidikan Jasmani dan Kesehatan, kelas 2011D dan 2011E. Metode pengumpulan data menggunakan nilai akhir mata kuliah gulat. Teknik analisis data menggunakan paired sample t-test pada taraf signifikansi 0.05. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil belajar siswa yang diberi penghargaan berupa nilai lebih rendah daripada hukuman berupa tugas. Kata Kunci: hadiah, hukuman, hasil belajar
Pendahuluan Pendidikan merupakan upaya manusia untuk memperluas cakrawala pengetahuannya dalam rangka membentuk nilai, sikap, dan perilaku. Sebagai upaya yang bukan saja membuahkan manfaat yang besar, pendidikan juga merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia yang sering dirasakan belum memenuhi harapan. Hal itu disebabkan karena pengajaran tradisional menitik beratkan pada metode imposisi, yakni pengajaran dengan cara menuangkan hal-hal yang dianggap penting oleh guru bagi murid (Hamalik, 2007). Metode ini tidak menerapkan apakah bahan pelajaran yang diberikan itu sesuai atau tidak dengan kesanggupan, kebutuhan, minat dan tingkat perkembangan serta pemahaman murid. Metode ini tidak pula memperhatikan apakah bahan-bahan yang diberikan itu didasarkan atas motif – motif dan tujuan yang ada pada murid. Kegiatan belajar mengajar yang melahirkan interaksi unsur -unsur manusiawi adalah suatu proses dalam rangka mencapai tujuan pengajaran. Guru dengan sadar berusaha mengatur lingkungan belajar agar bergairah bagi peserta didik. Dengan seperangkat teori dan pengalaman yang dimiliki, guru gunakan untuk bagaimana mempersiapkan program pengajaran dengan baik dan sistematis. Dengan pemberian reward dan punishment oleh guru kepada peserta didik
18
Dosen Program Studi Pendidikan Jasmani dan Kesehatan STKIP PGRI Jombang
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
233
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
sebagai alat untuk mencapai tujuan pembelajaran diharapkan akan tercipta lingkungan belajar yang bergairah sehingga hasil belajar peserta didik dapat meningkat. Dalam kegiatan belajar mengajar, terkadang siswa tidak menunjukkan perilaku yang diharapkan seperti halnya siswa terlihat lesu, pendiam, tidak memperhatikan apa yang disampaikan oleh guru. Maka hal tersebut perlu diselidiki faktor-faktor penyebabnya. Penyebab tersebut biasanya berasal dari beberapa faktor antara lain karena siswa merasa terpaksa atau takut pada gurunya, siswa dalam keadaan sakit, lapar, atau memiliki masalah pribadi dan lainlain. Hal ini menunjukkan bahwa siswa tidak memiliki semangat atau tidak terangsang afeksinya untuk melakukan suatu kegiatan belajar mengajar sehingga inti dari pembelajaran tidak tersampaikan secara maksimal. Sehubungan dengan hal tersebut diatas maka seorang pendidik diharapkan mampu menerapkan pola belajar mengajar yang dapat memotivasi semangat belajar siswa. Jadi salah satu tugas penting seorang guru adalah bagaimana cara menumbuhkan motivasi pada diri siswanya. Selain itu juga motivasi belajar sangat mempengaruhi diri peserta didik karena dapat menimbulkan niat belajar untuk menjamin kelangsungan kegiatan belajar. Seseorang yang mempunyai motivasi belajar tinggi adalah seseorang yang mempunyai kebutuhan untuk mencapai hasil belajar yang optimal. Peran aktif pendidik sangat penting. Salah satu hal yang dapat dilakukan oleh seorang pendidik untuk memotivasi siswa adalah memberikan penghargaan ketika siswanya bisa menjawab pertanyaan dari gurunya, baik dengan cara memberikan hadiah atau berupa nilai yang bagus ataupun dengan hukuman berupa tugas. Oleh karena itu peneliti ingin meneliti lebih seksama perbandingan bentuk pemberian hadiah berupa nilai dengan hukuman berupa tugas terhadap hasil belajar.
Landasan Teori Umumnya setiap siswa ingin mengetahui hasil pekerjaannya, yakni berupa angka yang diberikan oleh guru. Murid yang mendapat angka baik, akan mendorong motivasi belajarnya menjadi lebih besar. Sebaliknya murid yang mendapat angka jelek mungkin menimbulkan frustasi atau dapat juga menjadi pendorong agar belajar lebih baik. Sedangkan arti nilai menurut kamus umum bahasa Indonesia nilai adalah: Nomor; gambar bilangan; nilai. Sedangkan menurut Anas sudijono (1996:311), nilai adalah angka (bisa juga huruf), yang merupakan hasil ubahan dari skor yang sudah dijadikan satu dengan skor-skor lainnya, serta disesuaikan pengaturannya dengan standart tertentu. Nilai, pada dasarnya adalah angka atau huruf yang melambangkan seberapa jauh atau seberapa besar kemampuan yang telah ditunjukkan oleh testee terhadap materi-materi atau bahan yang di teskan, sesuai dengan tujuan intruksional khusus yang telah ditentukan. Nilai pada dasarnya juga melambang penghargaan yang diberikan oleh testert kepada testee atas jawaban betul yang diberikan oleh testee dalam tes hasil belajar. Artinya makin banyak jumlah butir soal dapat dijawab dengan betul, maka penghargaan yang diberikan oleh tester kepada testee akan semakin tinggi. Sebaliknya jika jumlah butir item yang dapat dijawab dengan betul itu hanya sedikit, maka penghargaan yang diberikan kepada testee juga kecil atau rendah. Angka dalam hal ini sebagai symbol dari nilai kegiatan belajarnya. Banyak siswa belajar, yang utama justru untuk mencapai angka atau nilai yang baik sehingga siswa biasanya yang dikejar adalah nilai ulangan atau nilai-nilai pada rapot angkanya baik-baik. Nilai-nilai yang baik
234
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
itu bagi para siswa merupakan motivasi yang kuat. Tetapi ada juga, bahkan banyak siswa bekerja atau belajar hanya ingin mengejar pokoknya naik kelas saja. Ini menunjukkan motivasi yang dimilikinya kurang berbobot bila dibandingkan dengan siswa – siswa yang menginginkan nilai baik. Namun demikian semua itu harus diingat oleh guru bahwa pencapaian angka-angka seperti itu belum melupakan hasil belajar yang sejati, hasil belajar yang bermakna. Oleh karena itu, langkah selanjutnya yang ditempuh oleh guru adalah bagaimana cara memberikan angkaangka dapat dikaitkan dengan values yang terkandung didalam setiap pengetahuan yang diajarkan kepada para siswa sehingga tidak sekedar kognitif saja tetapi juga keterampilan dan afeksinya. Hukuman adalah salah satu alat belajar yang juga diperlukan dalam pendidikan. Hukuman diberikan sebagai akibat dari pelanggaran kejahatan atau kesalahan yang dilakukan anak didik. Tidak seperti akibat yang ditimbulkan oleh ganjaran, hukuman mengakibatkan penderitaan atau kedukaan bagi anak didik yang menerimanya. Pemberian hukuman tidak bisa sembarangan, ada peraturan yang mengaturnya. Tidak ada alasan menghukum seseorang tanpa kesalahan. Jadi,hukuman itu dilaksanakan karena ada kesalahan. Di sinilah pangkal bertolaknya. Oleh karena itu, menurut Purwanto hukuman adalah penderitaan yang diberikan atau ditimbulkan dengan sengaja oleh seseorang (orang tua, guru, dan sebagainya) sesudah terjadi pelanggaran, kejahatan, atau kesalahan. Jika begitu, sebagai alat pendidikan, maka hukuman hendaklah senantiasa merupakan jawaban atas suatu pelanggaran yang dilakukan oleh peserta didik, sedikit banyak selalu bersifat menyusahkan peserta didik, dan selalu bertujuan ke arah perbaikan dan untuk kepentingan peserta didik. Ada pendapat yang membedakan hukuman itu menjadi dua macam yaitu : Hukuman preventif yaitu hukuman yang dilakukan dengan maksud agar tidak atau jangan terjadi pelanggaran, sehingga hal itu dilakukan sebelum pelanggaran itu dilakukan. Hukuman represif yaitu hukuman yang dilakukan disebabkan oleh pelanggaran, karena dosa yang telah diperbuat. Jadi hukuman ini dilakukan setelah terjadi pelanggaran atau kesalahan. Dalam konteks ilmu mendidik, tidak tepat jika istilah “preventif” dan “represif” hanya dihubungkan dengan hukuman. Lebih sesuai jika kedua istilah itu dipergunakan untuk memberikan sifat terhadap alat- alat siasat atau alat-alat pendidikan pada umumnya. Tujuan pemberian hukuman bermacam -macam. Itu berarti ada tujuan tertentu yang ingin dicapai dari pemberian hukuman. Dalam perspektif paedagogis, hukuman dilaksanakan dengan tujuan melicinkan jalan tercapainya tujuan pendidikan dan engajaran. Dari berbagai tujuan itulah pada akhirnya melahirkan teori-teori hukuman, sebagai berikut: a. Teori pembalasan Teori inilah yang tertua. Menurut teori ini, hukuman diadakan sebagai pembalasan dendam atas kelalaian dan pelanggaran dan pelanggaran yang telah dilakukan seseorang. Teori ini seratus persen tidak bisa diterapkan dalam pendidikan. Karena dalam kamus pendidikan tidak ada istilah pembalas dendam. Bahkan sifat balas dendam inilah yang hendak dibasmi dan dijauhkan dari diri anak didik. b. Teori perbaikan Menurut teori ini, hukuman dilakukan untuk membasmi kejahatan atau untuk membetulkan kesalahan. Hukuman jenis ini dilakukan untuk membuat seseorang jera melakukan kesalahan yang sama. Karena hukuman ini bersifat paedagogis, maka penerapannya sangat baik dilakukan dalam pendidikan. Hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan untuk meluruskan sikap dan perilaku anak didik sesuai apa yang diharapkan. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
235
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
c. Teori perlindungan Menurut teori ini, hukuman dilakukan untuk melindungi masyarakat dari perbuatanperbuatan yang tidak wajar. Tujuan dilaksanakannya hukuman ini agar masyarakat dapat dilindungi dari berbagai kejahatan yang telah dilakukan oleh pelanggar. d. Teori ganti rugi menurut teori ini hukuman dilakukan untuk mengganti kerugian yang telah diderita akibat kejahatan atau pelanggaran. e. Teori menakut-nakuti Menurut teori ini, hukuman dilakukan untuk menimbulkan emosi negatif dari dalam diri seseorang. f. Hasil Belajar Hasil Belajar adalah kemampuan yang dimiliki peserta didik setelah peserta didik menerima pengalaman belajar. Menurut Gagne hasil belajar harus harus didasarkan pada pengamatan tingkah laku melalui stimulus respon (Sudjana, 2005:19) Hasil belajar berkenaan dengan kemampuan siswa di dalam memahami materi pelajaran. Menurut Hamalik (2007: 31) mengemukakan, “hasil belajar pola-pola perbuatan, nilai-nilai, pengertian-pengertian, sikap-sikap, apresiasi, ablititas dan keterampilan”. Hasil belajar tampak sebagai terjadi perubahan tingkah laku pada diri siswa yang dapat diamati dan diukur dalam bentuk perubahan pengetahuan, sikap dan keterampilan. Perubahan tersebut dapat diartikan terjadinya peningkatan dan pengembangan yang lebih baik dibandingkan dengan sebelumnya. Hamalik, 2007: 155).
Metode Penelitian Jenis penelitian dalam penelitian ini adalah penelitian perbandingan (comparative research). Subyek penelitian ini adalah mahasiswa angkatan 2011D Prodi Penjaskes sebanyak 40 orang dan mahasiswa angkatan 2011E Prodi Penjaskes sebanyak 40 orang. Pengumpulan data dalam penelitian ini adalah menggunakan kartu hasil studi selama mengikuti mata kuliah Gulat. Data dalam penelitian ini dianalisismenggunakan uji beda mean (uji-t).
Hasil Penelitian Mahasiswa kelas 2011 D yang menggunakan penghargaan berupa nilai hasil belajarnya lebih rendah dibandingkan mahasiswa kelas 2011E yang menggunakan bentuk hukuman berupa tugas. Hal ni bisa dilihat dari nilai mean penghargaan berupa nilai sebesar X (144,55) dan mean Y (150,5 dan hukuman berupa tugas mean X (146,4) dan mean Y (154,9). Tabel 1.1 Deskripsi data hasil belajar siswa dengan bentuk penghargaan berupa nilai NO 1 2 3 4 5
236
DESKRIPSI JUMLAH SAMPEL (N) RATA-RATA / MEAN (X) RATA-RATA / MEAN (Y) STANDART DEVIASI (STD DEV) t hitung
STATISTIK 40 144,55 150,5 3,6 -7,51
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Tabel 1.2 Deskripsi data hasil angket motivasi belajar siswa dengan bentuk hukuman berupa tugas. NO 1 2 3 4 5
DESKRIPSI JUMLAH SAMPEL (N) RATA-RATA / MEAN (X) RATA-RATA / MEAN (Y) STANDART DEVIASI (STD DEV) t hitung
STATISTIK 40 146,4 154,9 33,7 -1,146
Adanya perbedaan besar hasil belajar yang menggunakan bentuk penghargaan berupa nilai dan bentuk hukuman berupa tugas terhadap mata kuliah Teori dan Praktek Gulat, jadi dapat kita lihat pada simpulan diatas mahasiswa yang menggunakan bentuk penghargaan berupa nilai lebih rendah daripada siswa yang menggunakan bentuk hukuman berupa tugas. Pada siswa yang menggunakan bentuk penghargaan berupa nilai diperoleh T hitung (-7,51) < t tabel (1,99). Sedangkan siswa yang menggunakan bentuk hukuman berupa tugas diperoleh T hitung (-1,146) < T tabel (1,99).
Simpulan Mahasiswa kelas 2011 D yang menggunakan penghargaan berupa nilai hasil belajarnya lebih rendah dibandingkan mahasiswa kelas 2011E yang menggunakan bentuk hukuman berupa tugas. Dari hasil diatas dapat dilihat bahwa hasil belajar mahasiswa yang menggunakan bentuk penghargaan berupa nilai lebih rendah daripada siswa yang menggunakan bentuk hukuman berupa tugas. Hal ini disebabkan karena pemberian tug bisa diparaktekkan mahasiswa. Sehingga mahasiswa termotivasi untuk memperbaiki gerakannya. Motivasi juga dapat dikatakan sebagai perbedaan antara dapat melaksanakan dan mau melaksanakan. Motivasi lebih dekat pada mau melaksanakan tugas untuk mencapai tujuan. Motivasi adalah kekuatan, baik dari dalam maupun dari luar yang mendorong seseorang untuk mencapai tujuan tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya. Selain itu juga motivasi belajar sangat mempengaruhi diri peserta didik karena dapat menimbulkan niat belajar untuk menjamin kelangsungan kegiatan belajar. Seseorang yang mempunyai motivasi belajar tinggi adalah seseorang yang mempunyai kebutuhan untuk mencapai hasil belajar, yang optimal.
Daftar Pustaka Hamalik, Oemar. 2007. Proses belajar mengajar. Jakarta: Pt Bumi Aksara. M, Sardiman. 1986. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Maksum, Ali. 2006. Metodologi Penelitian Dalam Olahraga. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya. Sudijono, A. 2007. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta : Raja Grafindo Persada Sudjana, Nana. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009, Cet. 14.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
237
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Persfektif Sikap Berperilaku Moral Ekonomi Mahasiswa Fakultas Ekonomi Program Kependidikan UM Muhammad Basri 19 ([emailprotected]) Abstract This study examines the attitudes perspective of Students of Economics Faculty of Economics Education Program State University of Malang in moral behavior economy. This study used a qualitative research design, data collection is done by focus group interviews. The study findings suggest the following things: moral behavior of economics attitudes: there are two criteria imperative positive attitude, namely (a) the attitude of trying to pay tuition on time and (b) hasten to pay debts attitude. There is a negative attitude, delaying the fulfillment of debt attitude. On the criterion of generalization, there are three positive attitude, namely (a) seeks volunteer disaster victims attitude, (b) return the goods being proactive in finding, (c) giving assistance to disaster victims attitude. Associated with the symmetry criteria, there are two positive attitude, namely (a) aspires to increase the burden of fuel a small community and (b) the attitude of trying to help the scavengers to collect junk and give it to scavengers. There are also two attitudes that are less expected, namely (a) stand against fuel price increases that could burden the economic life of small communities, and (b) economically dispose of used goods attitude. Next on the criteria of intrinsic motivation, it was revealed three positive attitude, namely (a) the attitudes of play an active role in the completion of the task group to avoid the neglect of moral norms as well as a changing role in the completion of the task group to hand over some money. (B) the attitude of avoiding the use of public facility for the sake of personal interest, and (c) participation in economic cooperation with the shopping at the cooperative as a consequence of membership. On the other, there are two negative attitude, namely (a) the attitude of using public facilities to private intention, and (b) the attitude of ignoring the consequences of cooperation. Keywords: Pesfective, attitudes, economic morality Abstrak Penelitian ini mengkaji tentang persfektif sikap mahasiswa Fakultas Ekonomi Program Kependidikan Universitas negeri Malang dalam berperilaku moral ekonomi. Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian kualitatif, pengumpulan data dilakukan dengan focus group interview. Temuan penelitian menunjukkan hal-hal berikut: sikap perilaku moral ekonomi: Kriteria imperatif ada dua sikap positif, yakni (a) sikap berupaya membayar SPP tepat waktu dan (b) sikap menyegerakan membayar hutang. Terdapat sikap negatif, yaitu sikap menunda pemenuhan kewajiban. Pada kriteria generalisasi, ada tiga sikap positif, yakni (a) sikap berupaya menjadi sukarelawan korban bencana, (b) sikap proaktif dalam mengembalikan barang temuan, (c) sikap memberikan bantuan terhadap korban bencana. Terkait dengan kriteria simetri, terdapat dua sikap positif, yakni (a) beraspirasi terhadap kenaikan BBM yang memberatkan masyarakat kecil dan (b) sikap berupaya membantu pemulung dengan mengumpulkan barang bekas dan memberikannya kepada pemulung. Terdapat pula dua sikap yang kurang diharapkan, yakni (a) berdiam diri terhadap kenaikan harga BBM yang dapat memberatkan kehidupan ekonomi masyarakat kecil, dan (b) sikap membuang barang bekas bernilai ekonomis. Selanjutnya pada kriteria motivasi intrinsik, terungkap tiga sikap positif, yakni (a) sikap berperan aktif dalam penyelesaian tugas kelompok dengan menghindari sikap mengabaikan norma moral berupa mengganti peran serta dalam penyelesaian tugas kelompok dengan menyerahkan sejumlah uang. (b) sikap menghindari penggunaan fasilitas umum demi kepentingan pribadi, serta (c) peran serta dalam kerjasama ekonomi dengan berbelanja di koperasi sebagai konsekuensi keanggotaan. Di sisi lain, terdapat dua sikap negatif, yakni (a) sikap menggunakan fasilitas umum untuk kepentingan pribadi, serta (b) sikap mengabaikan konsekuensi kerjasama. Kata kunci: Persfektif, sikap, moralitas ekonomi. 19
FKIP Universitas Tanjungpura
238
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Pendahuluan Perilaku ekonomi dapat berupa tindakan di bawah kontrol kemauan (voli-tional behavior) maupun tindakan karena diwajibkan (mandatory behavior), kedua jenis tindakan ini tidak serta merta terjadi, tetapi harus melalui tahapan terbentuknya sikap dan minat ekonomi terlebih dahulu (terutama volitional behavior) (Jogiyanto, 2007). Sikap ekonomi diartikan sebagai kondisi mental yang kompleks sebagai cara menempatkan dan membawa diri yang melibatkan keyakinan dan perasaan serta disposisi untuk bertindak terkait aktivitas ekonomi dengan cara tertentu, sementara minat ekonomi adalah keinginan untuk melakukan perilaku-perilaku ekonomi. Minat dibatasi pada keinginan, dan belum tentu menjadi faktor penentu terjadinya perilaku/tindakan ekonomi. Tahapan dari sikap ke minat hingga menjadi perilaku melalui proses yang disebut proses internalisasi, internalisasi sikap ekonomi akan menghasilkan penentuan sikap yang berhubungan dengan nilai, yang selanjutnya menjadi dasar perilaku ekonomi berupa tindakan ekonomi. Internalisasi sikap dan perilaku ekonomi yang diharapkan dalam proses pendidikan dan pembelajaran yang diselenggarakan baik di bangku pendidikan formal, maupun non formal adalah dalam rangka mencerdaskan kehidupan ekonomi peserta didik/warga belajar, sebagai upaya meningkatkan keadilan dan kesejahteraan ekonomi secara khusus bagi peserta didik/warga belajar dan masyarakat Indonesia secara umum. Hal ini sejalan dengan paham demokrasi ekonomi yang dianut di Indonesia yang berbeda dengan demokrasi ekonomi 'Barat', yang saat ini justru telah menjadi kiblat demokrasi di Indonesia. Terjemahan demokrasi ekonomi di Indonesia adalah bahwa kesejahteraan ekonomi bagi seluruh masyarakat Indonesia (well–being), bukan kesejahteraan dalam arti sempit (welfare) (Swasono, 2010). Selain well– being demokrasi ekonomi di Indonesia juga bermakna keadilan ekonomi. Perilaku ekonomi terdiri atas rasionalitas ekonomi, moralitas ekonomi dan gaya hidup, termasuk di dalamnya adalah efektifitas dalam aktivitas produktif dan efisiensi dalam aktifitas konsumtif (Wahyono, 2001). Dalam penelitian ini dibatasi pada perilaku ekonomi yang berupa moralitas ekonomi, yang teraktualisasi pada: 1) imperatif, yang terdiri atas (a) ketaatan pada aturan pranata dalam perekonomian (b) pemenuhan kewajiban dalam perekonomian; 2) tenggang rasa, yang terdiri atas (a) kepedulian terhadap ke-beradaan orang lain (b) kemampuan untuk menimbang dampak tindakan terhadap pihak lain; 3) kesetaraan, yang terdiri atas (a) kemampuan untuk menimbang kondisi masyarakat sekitarnya dalam perilaku ekonomi (b) Penghargaan terhadap persamaan hak sebagai pelaku ekonomi; dan 4) komitmen, yang terdiri atas (a) sikap mengutamakan norma moral dalam perilaku ekonomi (b) sikap prososial dalam perilaku ekonomi dan (c) sikap mengutamakan kerjasama dalam perilaku ekonomi. (Wahyono, 2001). Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa perilaku seseorang berhubungan dengan sikap dan minat, artinya bahwa sikap seseorang dimediasi oleh minat akan membentuk perilaku seseorang. Bagozzi (1981) melakukan penelitian yang berjudul Attitudes, intentions, and behavior: A test of some key hypotheses, menguji hipotesis tentang hubungan sikap dengan perilaku terhadap 157 sarjana dan staf fakultas, menemukan bahwa sikap mempengaruhi perilaku tetapi melakukannya dengan cara yang tidak langsung, melainkan melalui dampak sikap terhadap minat. Ajzen (1991) yang melanjutkan penelitian sebelumnya atas namanya sendiri, tentang The Theory of Planned Behavior (1985 dan 1987) menemukan bahwa niat untuk
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
239
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
melakukan perilaku dapat diprediksi dengan akurasi yang tinggi dari sikap terhadap perilaku, norma subjektif, dan kontrol perilaku dirasakan. Selanjutnya Kim dan Hunter (1993) meneliti tentang Relationships Among Attitudes, Behavioral Intentions, and Behavior: A Meta-Analysis of Past Research, Part 2, menemukan bahwa ada hubungan yang kuat antara sikap dengan perilaku, yang dimediasi oleh minat berperilaku. Dari ketiga kajian empris tersebut, dalam proyeksi peneliti ada hal penting yang terlupakan, bahwa perilaku terjadi melalui sikap dan minat tidak berlaku pada semua perilaku, melainkan hanya terjadi pada perilaku volitional (perilaku berdasarkan kontrol kemauan), sementara pada perilaku mandatory (perilaku yang diwajibkan) tidak mempertimbangkan minat seseorang untuk melakukan perilaku tersebut. Berdasarkan hal tersebut, peneliti memandang penting untuk melakukan kajian mendalam tentang anteseden minat terhadap perilaku seseorang. Sementara itu, moralitas ekonomi pada prinsipnya tidak dikesampingkan oleh adanya rasionalitas ekonomi, Wahyono (2001) meneliti tentang pengaruh perilaku ekonomi kepala keluarga terhadap intensitas pendidikan ekonomi di lingkungan keluarga. Penelitian dilakukan di kota Malang, dengan sampel penelitian sebanyak 376 orang kepala keluarga yang telah memiliki anak umur 15 tahun ke atas, atau telah duduk di kelas 3 SLTP. Temuan penelitian ini mendukung postulat yang diajukan oleh Klasik, sekaligus membuktikan kebenaran proposisi yg diajukan Etzioni bahwa manusia yang rasional tidak harus mengesampingkan komitmen moral dalam perilaku ekonominya. Penelitian ini juga menyarankan kajian yang lebih komprehensif dan mendalam tentang masalah perilaku ekonomi masyarakat, terutama dalam hubungannya dengan intensitas pendidikan ekonomi di lingkungan keluarga. Pentingnya meneliti persfektif sikap berperilaku moral ekonomi serta proses internalisasinya, dengan asumsi bahwa internalisasi moralitas ekonomi secara teoritis dapat dilakukan melalui pendidikan formal, non formal, dan informal (lingkungan keluarga dan masyarakat), sehingga memungkinkan untuk dilakukan upaya-upaya yang efektif proses internalisasi dimaksud. Penelitian ini dilakukan pada mahasiswa Fakultas Ekonomi program kependidikan dimaksudkan bahwa: a) mahasiswa telah melewati masa pendidikan yang cukup lama dan diproyeksikan telah memperoleh pengetahuan ekonomi yang memadai, selain itu boleh jadi (diproyeksikan) pula bahwa mahasiswa tersebut telah memperoleh pembelajaran ekonomi, baik pada pendidikan nonformal maupun di lingkungan keluarga dan masyarakat sekitarnya; b) sebagai calon guru ekonomi, mahasiswa akan menjadi asset penting dalam mengimplementasikan proses internalisasi sikap dan minat ke dalam moralitas ekonomi peserta didiknya. Berdasarkan konteks penelitian di atas, penelitian ini secara umum difokuskan pada pencarian persfektif sikap berperilaku ekonomi serta proses internalisasinya kepada mahasiswa.
Landasan Teori Jogiyanto (2007) mengatakan bahwa “sikap (attitude) adalah evaluasi kepercayaan (belief) atau perasaan positif atau negatif dari seseorang jika harus me-lakukan perilaku yang akan ditentukan”. Selanjutnya Fishbein dan Ajzen (dalam Jogiyanto 2007) mendefinisikan sikap (attitude) sebagai “jumlah dari afeksi (perasaan) yang dirasakan seseorang untuk menerima atau menolak suatu objek atau perilaku dan diukur dengan suatu prosedur yang menempatkan
240
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
individual pada skala evaluatif dua kutub, misalnya baik atau jelek; setuju atau menolak dan lainnya”.
Sementara Maxwell (2004: 28) menyebutkan "Bagi sementara orang sikap itu menimbulkan kesulitan dalam setiap peluang, bagi yang lain sikap itu membe-rikan peluang dalam setiap kesulitan. Ada yang mendaki dengan sikap positif, se-mentara yang lain jatuh dengan perfektif negatif". Dengan demikian, sikap seseorang terhadap perilaku yang akan dilakukaan menunjukkan seberapa jauh perasaannya menunjukkan perilaku itu baik atau jelek. Selanjutnya Chaplins (dalam Iskandar, 2010) menyatakan bahwa minat memiliki arti: Suatu sikap yang berlansung terus-menerus yang memusatkan perhatian seseorang, sehingga membuat dirinya jadi selektif terhadap objek niatnya. Perasaan yang menyatakan bahwa satu aktivitas, pekerjaan, atau objek itu berharga atau berarti bagi individu. Suatu keadaan motivasi, menuntun tingkah laku menuju satu arah (sasaran) tertentu. Pendapat di atas menunjukkan bahwa sikap berlangsung terus menerus dalam diri individu yang berupa perasaan yang menuntun atau mengarahkan seseorang untuk berperilaku. Terkait dengan hubungan sikap dengan perilaku, Azwar (2010) menyebutkan “sikap terhadap suatu perilaku dipengaruhi oleh keyakinan bahwa perilaku tersebut akan membawa kepada hasil yang diinginkan atau tidak diinginkan”. Selanjutnya Baron dan Byrne, juga Myers dan Gerungan (dalam Wawan dan Dewi, 2010) ada tiga komponen yang membentuk sikap, yaitu: Komponen kognitif (komponen perseptual), yaitu komponen yang berkaitan dengan pengetahuan, pandangan, keyakinan yaitu hal-hal yang berhubungan dengan bagaimana orang mempersepsi terhadap sikap. Komponen afektif (komponen emosional), yaitu komponen yang berhubungan dengan rasa senang atau tidak senang terhadap objek sikap. Rasa senang merupakan hat yang positif, sedangkan rasa tidak senang merupakan hat yang negatif Komponen ini menunjukkan arah sikap, yaitu positif dan negatif. Komponen konatif (komponen perilaku, atau action component), yaitu komponen yang berhubungan dengan kecenderungan bertindak terhadap objek sikap. Komponen ini menunjukkan intensitas sikap,yaitu menunjukkan besar kecilnya kecenderungan bertindak atau berperilaku seseorang terhadap objek sikap. Sikap ekonomi berarti seberapa jauh perasaan seseorang tentang baik atau buruknya perilaku-perilaku ekonomi, baik rasionalitas, moralitas, gaya hidup, efisiensi dalam aktivitas konsumtif, maupun efektivitas dalam aktivitas produktif. Dalam penelitian ini peneliti memfokuskan pada sikap berperilaku ekonomi yang berupa moralitas ekonomi. Moralitas ekonomi adalah bagian dari perilaku ekonomi yang berkaitan de-ngan sikap dan tindakan ekonomi seseorang dalam interaksinya dengan orang lain atau kelompok orang, yang menekankan pada kepedulian seseorang terhadap ke-beradan orang lain. Berbicara moralitas dalam perilaku ekonomi melibatkan paradigma yang cenderung berlawanan. Moralitas berbicara tentang kepedulian terhadap orang la-in, sementara paradigma perilaku ekonomi yang berterima umum yang dilandasi rasionalitas lebih menekankan bagaimana memenuhi laba yang diharapkan. Pencapaian kepuasan yang berupa laba seringkali mengabaikan kepentingan orang lain, dengan kata lain selama tidak bertentangan dengan hukum, apa saja boleh dilakukan untuk
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
241
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
mengumpulkan pundi-pundi laba yang dikehendaki. Sayangnya hukum di Indonesia belum mengatur secara mendalam dimensi moralitas ekonomi secara rasional. Mendalami moralitas ekonomi pancasila akan melahirkan jawaban dari persoalan di atas, meskipun latar belakang yang berbeda akan melahirkan persepsi yang berbeda pula. Latar belakang dimaksud adalah anutan teori klasik-neokalsik/liberal-neoliberal/kapitalis, teori sosialis maupun syariah. Terkait dengan persoalan paradigma di atas, Etzioni (1992) menawarkan paradigma yang dikenal dengan “aku dan kita” atau “komunitas responsif” sebagaimana ungkapannya sebagai berikut: Istilah komunitas responsif digunakan untuk memberikan kedudukan penuh, baik bagi individu maupun kolektivitas bersama. Komunitas yang responsif lebih bersifat mengintegrasikan dibanding agregasi individu pada individualisme yang bersifat sementara, karena agregasi terbentuk dari jalinan kepentingan masing-masing individu untuk memaksimumkan diri, dan kurang hierarkis dan terstruktur dibadingkan komunitas yang otoriter. Baik individu maupun komunitas sepenuhnya esensial, dan karenanya memiliki kedudukan yang sama. individu dan komunitas saling mem-bentuk dan saling membutuhkan. Pandangan Etzioni di atas, jika kita pahami secara mendalam pada prinsipnya terdapat kesamaan dengan konsep moralitas ekonomi pancasila yang ditawarkan para pendiri bangsa. Sudarmanto (2008) mengatakan bahwa: Ekonomi Pancasila sebagai ilmu ekonomi kelembagaan (institutional economics) yang menjunjung tinggi nilai-nilai kelembagaan Pancasila mengandung 5 asas yang mana semua substansi sila Pancasila yaitu (1) etika, (2) kemanusiaan, (3) nasionalisme, (4) kerakyatan/demokrasi, dan (5) keadilan sosial, harus dipertimbangkan dalam model ekonomi yang disusun. Disinilah kelima sila di atas menjadi substansi etika dalam Ekonomi Pancasila. Kalau sila 1 Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi landasan rangsangan moral maka sila 2 sampai 5 menjadi landasan rangsangan sosial ekonomika etik Ekonomi Pancasila. Ekonomi Pancasila dengan kata lain merangkum secara tepat dua elemen utama pencapaian kesejahteraan ekonomi. Selanjutnya konsep ekonomika etik ekonomi Pancasila, yang dikemukakan oleh Mubyarto (dalam Sudarmanto, 2008) dalam bukunya Sistem dan Moral Ekonomi Pancasila dicirikan sebagai berikut: (1) Roda perekonomian digerakkan oleh rangsangan ekonomi, moral dan sosial. (2) Ada kehendak kuat dari seluruh anggota masyarakat untuk mewujudkan keadaan kemerataan sosial ekonomi. (3) Prioritas kebijaksanaan ekonomi adalah pengembangan ekonomi nasional yang kuat dan tangguh, yang berarti nasionalisme selalu menjiwai setiap kebijaksanaan ekonomi. (4) Koperasi merupakan soko guru perekonomian nasional. (5) Adanya imbangan yang jelas dan tegas antara sentralisme dan desentralisme kebijaksanaan ekonomi untuk menjamin keadilan ekonomi dan keadilan sosial dengan sekaligus menjaga efisiensi dan pertumbuhan ekonomi. Ekonomi Pancasila menjunjung tinggi asas keadilan ekonomi bagi seluruh rakyat, sehinggga konsep efisiensi harus berbanding dengan konsep keadilan sosial. Karena konsep keadilan sosial berbicara pemerataan sementara efisiensi berbicara pertumbuhan.
Metode Penelitian Pelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, Pendekatan kualitatif dalam penelitian ini lebih bersifat natural, deskriptif, dan induktif. natural bermakna bahwa latar penelitian
242
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
merupakan sumber data langsung yang alami, sehingga peneliti harus mampu masuk secara langsung ke dalam latar penelitian di Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Malang. Sifat deskriptif dapat diartikan bahwa data yang dikumpulkan berupa kata-kata dan gambar-gambar, sehingga untuk memberikan dukungan terhadap uraian yang disajikan dalam laporan penelitian, diungkapkan kutipan-kutipan dari data sebagai hasil pengungkapan responden. Pemilihan sumber data atau subjek-subjek penelitian akan berlangsung secara bergulir sesuai kebutuhan hingga mencapai kejenuhan, dengan asumsi bahwa data penelitian ini bersumber dari orang-orang, peristiwa-peristiwa, dan situasi yang ada pada latar penelitian. Adapun yang menjadi subjek penelitian adalah mahasiswa pada Program Studi Pendidikan Tata Niaga, Pendidikan Administrasi Perkantoran, Pendidikan Akuntansi, dan Pendidikan Ekonomi yang berada pada semester 4, 6 dan 8, dengan asumsi mereka telah memperoleh pembelajaran bidang ekonomi yang memadai, di antaranya Dasar-dasar Ekonomi (Fundamental economics), Ekonomi Mikro (Microeconomics), Ekonomi Makro (Macroeconomic), Ekonomi Internasional (International Economics) dan Ekonomi Indonesia (Indonesian Economics). Prosedur pengumpulan data yang tepat akan menghasilkan terkumpulnya data sesuai dengan yang diharapkan. Penelitian ini menggunakan menggunakan dua teknik pengumpulan data, yaitu: (1) Wawancara mendalam (in depth interview); (2) Studi dokumen (study of documents). Dalam penelitian ini digunakan focus group interview, yang terdiri atas enam group dengan jumlah anggota kelompok bervariasi, antara tiga hingga tujuh mahasiswa, dengan jumlah keseluruhan informan 32 mahasiswa. Focus group interview dihentikan setelah data yang diperoleh dianggap jenuh, dalam penelitian ini dihentikan setelah kelompok ke enam. Studi dokumentasi (study of documents) digunakan untuk mengumpulkan data non manusia, teknik ini dapat digunakan untuk mendapatkan data pendukung secara efisien, yakni data-data tentang visi Fakultas Ekonomi UM, program studi yang ada, mata kuliah yang diajarkan dan jumlah mahasiswa pada program studi bidang kependidikan. Analisis data pada penelitian kualitatif pada dasarnya telah dimulai pada saat peneliti memasuki latar penelitian bahkan ketika studi pendahuluan dilakukan, tetapi secara umum dimulai ketika menelaah data yang tersedia. Analisis data penelitian ini menggunakan menggunakan model Spradley (1980), yaitu analisis domain (domain analysis), analisis taksonomi (taxonomy analysis), dan analisis komponensial (componential analysis). Validasi terhadap hasil penelitian perlu dilakukan dalam upaya memperoleh kredibilitas hasil penetitian, antara lain dengan perpanjangan waktu pengamatan, triangulasi, member check, audit trail dan expert opinion.
Hasil Penelitian Temuan terkait sikap mahasiswa terhadap perilaku moral ekonomi dengan kriteria imperatif ada dua, Sikap positif yang sangat diharapkan, yakni (1) sikap berupaya membayar SPP tepat waktu dan (2) sikap menyegerakan membayar hutang. Di sisi lain terdapat sikap yang harus dihindari, yaitu sikap menunda pemenuhan kewajiban. Sikap terhadap perilaku moral dengan kriteria generalisasi terungkap bahwa kecenderungan bersikap positif, yakni (1) sikap berupaya menjadi sukare-lawan korban bencana baik mengumpulkan maupun menyalurkan sumbangan, dan (2) sikap proaktif dalam mengembalikan barang temuan, di samping itu terdapat pula sikap positif yang lain yakni (3) sikap memberikan bantuan terhadap korban bencana. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
243
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Terkait dengan kriteria simetri, terdapat dua sikap yang sangat diharapkan, yakni (1) beraspirasi terhadap kenaikan BBM yang memberatkan masyarakat kecil dan (2) sikap berupaya membantu pemulung dengan mengumpulkan barang bekas dan memberikannya kepada pemulung. Sementara itu terdapat dua sikap negatif, yakni (1) berdiam diri terhadap kenaikan harga BBM yang dapat mem-beratkan kehidupan ekonomi masyarakat kecil, dan (2) sikap membuang barang bekas bernilai ekonomis . Selanjutnya yang terkait dengan kriteria motivasi intrinsik, terungkap tiga sikap positif yang sangat diharapkan, yakni (1) sikap berperan aktif dalam penyelesaian tugas kelompok dengan menghindari sikap mengabaikan norma moral berupa mengganti peran serta dalam penyelesaian tugas kelompok dengan menyerahkan sejumlah uang. (2) sikap menghindari penggunaan fasilitas umum de-mi kepentingan pribadi, serta (3) peranserta dalam kerjasama ekonomi dengan berbelanja di koperasi sebagai konsekuensi keanggotaan. Di sisi lain, terdapat dua sikap negatif yang tidak diharapkan, yakni (1) sikap menggunakan fasilitas umum untuk kepentingan pribadi, serta(2) sikap mengabaikan konsekuensi kerjasama. Secara umum, sikap terhadap perilaku moral ekonomi mahasiswa terlihat pada gambar 1. Sikap mahasiswa terhadap perilaku moral dengan kriteria imperatif terlihat bahwa terdapat dua sikap yang sangat diharapkan, yakni sikap berupaya membayar SPP tepat waktu dan sikap menyegerakan membayar hutang. Di sisi lain terdapat sikap yang harus dihindari, yaitu sikap menunda pemenuhan kewajiban. Temuan tersebut menggambarkan bahwa sikap terhadap moralitas ekonomi yang diharuskan (imperatif) merujuk pada norma-norma subjektif yang melahirkan sanksi, sehingga cenderung melahirkan kondisi perseptual, emosional dan konasi seseorang untuk mentaati atau mematuhi aturan dan norma yang ada. Etzioni (1992) menyatakan “ Sifat imperatif tindakan moral itu tercermin pada orang-orang yang bertindak secara moral, merasa bahwa mereka "harus" berperilaku dengan cara yang ditetapkan” . Sementara masih adanya sikap negatif terhadap perilaku moral imperatif lebih karena sanksi (termasuk sanksi moral) yang akan diterima akibat sikap negatif tidak berdampak signifikan terhadap yang bersang-kutan. Sikap terhadap perilaku moral dengan kriteria generalisasi terungkap bahwa kecenderungan bersikap positif, yakni sikap berupaya menjadi sukarelawan korban bencana baik mengumpulkan maupun menyalurkan sumbangan, dan sikap proaktif dalam mengembalikan barang temuan, di samping itu terdapat pula sikap positif yang lain yakni sikap memberikan bantuan terhadap korban bencana. Sikap positif tersebut muncul sebagai dorongan afeksi yang merasakan empati terhadap korban bencana, selanjutnya melahirkan rasa iba (compassion), sehingga terbentuklah perseptual dan kecenderungan untuk membantu sesama. Terkait dengan kriteria simetri, terdapat dua sikap yang sangat diharapkan, yakni beraspirasi terhadap kenaikan BBM yang memberatkan masyarakat kecil dan sikap berupaya membantu pemulung dengan mengumpulkan barang bekas dan memberikannya kepada pemulung. Sementara itu terdapat dua sikap negatif, yakni berdiam diri terhadap kenaikan harga BBM yang dapat memberatkan kehi-dupan ekonomi masyarakat kecil, dan sikap membuang barang bekas bernilai ekonomis. Sikap positif di atas dilandasi oleh perasaan iba (compassion) yang begitu kuat, mengingat beraspirasi terhadap sesuatu yang meberatkan masyarakat kecil merupakan barang langka, apalagi sikap bersedia untuk mengumpulkan barang bekas yang selanjutnya diberikan kepada pemulung secara cuma-cuma. Sementara itu sikap negatif di atas pada dasarnya bukanlah sikap yang betul-betul tidak diharapkan, membuang sampah yang bernilai ekonomis bagi pemulung, tetapi bagi yang bersangkutan belum tentu, 244
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
belum lagi jika dihadapkan bahwa yang bersangkutan berharap pemulung akan memungutnya sendiri di tempat sampah. Sikap negatif yang lainnya yakni sikap cuek terhadap kenaikan harga BBM yang memberatkan masyarakat kecil adalah wajar adanya jika yang bersangkutan mempercayai bahwa pemerintah mencabut subsidi BBM dengan tujuan yang baik. Selanjutnya yang terkait dengan kriteria motivasi intrinsik, terungkap tiga sikap positif yang sangat diharapkan, yakni sikap berperan aktif dalam penyelesaian tugas kelompok dengan menghindari sikap mengabaikan norma moral berupa mengganti peran serta dalam penyelesaian tugas kelompok dengan menyerahkan sejumlah uang. Sikap positif kedua adalah sikap menghindari penggunaan fasilitas umum demi kepentingan pribadi, serta sikap positif ketiga adala peranserta dalam kerjasama ekonomi dengan berbelanja di koperasi sebagai konsekuensi keanggotaan. Di sisi lain, terdapat dua sikap negatif yang tidak diharapkan, yakni menggunakan fasilitas umum untuk kepentingan pribadi, serta sikap mengabaikan konsekuensi kerjasama yang terungkap dengan rasa kurang memiliki terhadap koperasi di mana yang bersangkutan memiliki status keanggotaan. Motivasi intrinsik (mastery atau effectance motivation ) yang dapat menimbulkan sikap positif merupa-kan motivasi berefek besar, sehingga motivasi intrinsik menjadi modal utama dalam banyak hal termasuk penentuan sikap, minat dan perilaku seseorang. Seja-lan dengan hal tersebut, White (1959, dalam Broussard, 2002) menyatakan bahwa Mastery motivation is defined as a general tendency to interact with and to epress-in fluence over the environment.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
245
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015
Gambar 1. Persfektif Sikap Berperilaku Moral Ekonomi
ISSN 2443-1923
246
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Secara umum peneliti menggambarkan pengungkapan informan terkait internalisasi moralitas ekonomi yang dialami oleh mahasiswa Fakultas Ekonomi Program Kependidikan Universitas Negeri Malang melalui tiga jalur, yakni pendidikan formal, non formal dan informal, serta media informasi sebagaimana gambar berikut:
Gambar 2. Jalur Pendidikan Proses Internalisasi Sikap terhadap Moralitas Ekonomi Pidarta (2007) membagi jalur pendidikan di Indonesia menjadi tiga bagian, yaitu (1) Lembaga pendidikan jalur formal, (2) Lembaga pendidikan jalur nonformal (3) Lembaga pendidikan jalur informal pada keluarga dan masyarakat. Terkait dengan temuan penelitian, bahwa ketiga jalur tersebut secara bersama-sama melakukan proses internalisasi moralitas ekonomi kepada mahasiswa, yang membentuk sikap, membentuk minat dan melahirkan tindakan nyata (overt behavior). Selanjutnya Pidarta (2007) menyebutkan:Perbedaan utama kewajiban ketiga lembaga itu ialah pada orientasi pendidikannya. Kalau lembaga pendidikan jalur formal berorientasi kepada pengembangan manusia Indonesia seutuhnya, maka lembaga pendidikan jalur nonformal dan informal mengutamakan pengembangan afeksi dan psikomotor, yang sudah tentu juga mengembangkan kognisi sebagai unsur penunjang. Jika pendidikan formal terkait dengan moralitas akan berorientasi pada kognisi, afeksi dan psikomotor yang lebih bermakna membentuk rasionalitas, perasaan dan tingkah laku bermoral (mempertibangkan keadaan orang lain), maka jalur pendidikan non formal dan informal lebih berorientasi pada pembentukan afeksi dan psikomotor yang bermakna mengedepankan perasaan dan tingkah laku.
Simpulan Penelitian Berdasarkan paparan data dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa sikap perilaku moral ekonomi mahasiswa memperlihatkan dua sisi, yakni sikap positif dan sikap negatif. Sikap moralitas ekonomi tersebut diawali oleh dari persepsi mahasiswa terhadap suatu kejadian, kemudian secara bersama-sama perasaan sebagai bagian kondisi emosional menentukan kecenderungan seseorang untuk berperilaku moralitas ekonomi atau tidak. Temuan terkait sikap mahasiswa terhadap perilaku moral ekonomi dengan kriteria imperatif, terdapat sikap positif yang berupa sikap berupaya membayar SPP tepat waktu dan menyegerakan membayar hutang, sementara di sisi lain terdapat sikap negatif yaitu sikap menunda pemenuhan kewajiban. Sikap yang terakhir terjadi karena adanya persepsi mahasiswa
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
247
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
bahwa pemenuhan kewajiban terkait dengan membayar hutang kepada teman tidak memiliki dampak yang signifikan, sehingga ada kecenderungan mengabaikan kewajiban tersebut. Sikap berperilaku moral ekonomi dengan kriteria generalisasi terungkap bahwa kecenderungan bersikap positif, dalam hal ini digambarkan sikap terhadap korban bencana, terlihat ada kecenderungan bahwa persepsi dan perasaan mahasiswa membentuk kecenderungan untuk berperilaku memberikan bantuan kepada korban bencana. Terkait dengan kriteria simetri, ada kecenderungan persepsi dan perasaan memberikan kecondongan untuk berperilaku peduli terhadap kenaikan harga BBM yang memberatkan masyarakat kecil dan membantu pemulung dengan mengumpulkan barang bekas bernilai ekonomis, meskipun ada pula persepsi bahwa hal tersebut bukan urusan mahasiswa, sehingga cukup berdiam diri terhadap kenaikan harga BBM, begitu pula halnya sikap membuang barang bekas bernilai ekonomis. Selanjutnya yang terkait dengan kriteria motivasi intrinsik, sikap positif berperan aktif dalam penyelesaian tugas kelompok dengan menghindari sikap mengabaikan norma moral berupa mengganti peran serta dalam penyelesaian tugas kelompok dengan menyerahkan sejumlah uang, lebih pada peran perseptual mahasiswa bahwa perilaku tersebut merupakan tanggungjawab, begitu pula halnya sikap menghindari penggunaan fasilitas umum demi kepentingan pribadi, serta peranserta dalam kerjasama ekonomi dengan berbelanja di koperasi sebagai konsekuensi keanggotaan adalah hasil persepsi positif yang menimbulkan kecenderungan berperilaku moral ekonomi. Di sisi lain, sikap negatif menggunakan fasilitas umum untuk kepentingan pribadi, sikap mengabaikan konsekuensi kerjasama juga lahir sebagai hasil perseptual. Proses internalisasi moralitas ekonomi pada mahasiswa tersebut berdasarkan ungkapan informan, bahwa sekolah, orang tua/keluarga, pengajian/ kerohanian, media informasi dan masyarakat sekitar menjadi jalur internalisasi yang dominan dalam membentuk sikap berperilaku moral ekonomi mahasiswa. Sementara lingkungan kampus, teman sebaya, organisasi dan seminar/pelatihan juga menjadi sarana terinternalisasinya sikap berperilaku moral ekonomi meskipun tidak dominan.
Daftar Pustaka Ajzen, I. 1991. The Theory of Planned Behavior. Journal of Organizational Behavior and Human Decision Processes. 50: 179–211. Azwar, S. 2010. Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Bagozzi, R.P. 1981. Attitudes, intentions, and behavior: A test of some key hypotheses. Journal of Personality and Social Psychology. 41(4): 607–627. Broussard, S.C. 2002. The Relationship Between Classroom Motivation and Academic Achievement In First And Third Graders. B.CJ., Lousiana State University. Etzioni, Amitai. 1992. Dimensi Moral Menuju Ilmu Ekonomi Baru, Terjemahan Tjun Surjaman. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Iskandar, H. 2010. Tumbuhkan Minat Kembangkan Bakat. Jakarta: ST Book Jogiyanto. 2007. Sistem Informasi Keprilakuan. Yogyakarta: Penerbit Andi. Kim, M.S., Hunter, J.E. 1993. Relationships among Attitudes, Behavioral Intentions, and Behavior: A Meta-Analysis of Past Research, Part 2. Communication Research Journal. 20 (3) 331–364. Maxwell. J.C. 2004. Sikap 101, Terjemahan Arvin Saputra. 2004. Batam: Interaksara. Pidarta, M. 2007. Landasan Kependidikan: Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta 248
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Sudarmanto, R.Gn. Konsep Dasar Ekonomi Pancasila, http://blog.unila.ac.id/radengunawans/ files/2010/07/Makalah-Filsafat-Ilmu.pdf, diakses pada 06 November 2010. Swasono, Sri Edi. 2010. Indonesia dan Doktrin Kesejahteraan Sosial: dari Klasikal dan Neoklasikal sampai ke The End of Laissez-Fire. Jakarta: Perkumpulan Pra Karsa. Universitas Negeri Malang. 2010. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah: Skripsi, Tesis, Disertasi, Artikel, Makalah, Tugas Akhir, Laporan Penelitian. Edisi Kelima. Malang: Penerbit Universitas Negeri Malang. Wahyono, Hari. 2001. Pengaruh Perilaku Ekonomi Kepala Keluarga terhadap Intensitas Pendidikan Ekonomi di Lingkungan Keluarga. Disertasi tidak diterbitkan. Malang: PPSUM. Wawan, A., Dewi M.. 2010. Teori dan Pengukuran Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Manusia. Yogyakarta: Nuha Medika.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
249
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Re-Konstruksi Perilaku Melalui Pembelajaran Karakter Ulul Albab Dalam Rangka Mewujudkan SDM Perbankan Syariah Berdaya Saing Global Siswanto 20 Yayuk Sri Rahayu 20 & Nihayatu Aslamatis Sholekah 20 ([emailprotected]) Abstract Research purpose is to conduct a re-construction of attitudes and behavior through a series of learning processes in order to enhance the globally Islamic banking human competitiveness. Paradigmatically, this research used critical paradigm to grasp transformation process. Research strategy used theory of planned behavior which is extended with ulul albab concept as the value of local wisdom. The sites of research are learning process in SIM university of Singapore, University Sains Malaysia, and Islamic department – Economic Faculty of UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. The results showed that behavior can be formed with a systems approach, both the State and institutional system. Furthermore, behavior can be shaped with reward and coercion system. Provide challenges to students as a means of empowering. Giving some penalties as coercion reinforcements, are the ways make them to be more discipline and hard work. Keywords: reconstruction, behavior, learning, global competitiveness Abstrak Tujuan Penelitian ini adalah melakukan re-konstruksi sikap dan perilaku melalui serangkaian proses pembelajaran guna mewujudkan calon sumberdaya manusia perbankan syariah yang kompetitif dan berdaya saing global. Secara paradigmatik penelitian ini menggunakan paradigma kritis untuk memahami proses transformasi perilaku. Strategi penelitian menggunakan teori perilaku yang direncanakan -the theory of planned behavior- yang dipertajam dengan konsep ulul albab sebagai nilai-nilai kearifan lokal pada situs penelitian. Situs penelitian tentang proses pembelajaran di SIM University of Singapura, University Sains Malaysia (USM), dan Prodi Perbankan Syariah UIN Maliki Malang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku dapat dibentuk dengan pendekatan sistem, baik negara maupun institusi, dan pendekatan penguatan perilaku melalui bentuk penghargaan dan paksaan. Bentuk penghargaan dapat berupa proses pembelajaran yang memberdayakan kemampuan para mahasiswa dengan memberikan tantangan (challenge). Sedangkan bentuk penguatan perilaku melalui paksaan berupa punishment guna mendorong perilaku disiplin dan kerja keras. Kata Kunci: rekonstruksi, perilaku, pembelajaran, daya saing global
Pendahuluan SDM perbankan syariah di Indonesia perlu ditingkatkan. Ascarya dan Yusmanita (2008) menunjukkan bahwa kualitas SDM perbankan syariah Malaysia lebih tinggi dibandingkan dengan SDM perbankan syariah di Indonesia. Berbagai upaya dapat dilakukan dalam meningkatkan kualitas SDM perbankan syariah di Indonesia. Siswanto (2011) menunjukkan bahwa pemberdayaan psikologikal karyawan perbankan syariah dapat meningkatkan kualitas sumberdaya manusia perbankan syariah, terutama dalam meningkatkan komitmen organisasional. Siswanto (2014) juga menunjukkan bahwa kualitas SDM perbankan syariah dapat ditingkatkan melalui implementasi praktek manajemen sumberdaya manusia berbasis quran (quran-based human resource management). Disamping itu, Siswanto (2013) dalam sebuah peper pada Forum Riset Ekonomi Dan Keuangan Syariah ke-2 di UIN Jakarta juga 20
Jurusan Perbankan Syariah-Fakultas Ekonomi UIN Maliki Malang
250
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
menunjukkan bahwa kualitas SDM perbankan syariah dapat ditingkatkan melalui implementasi variabel spiritualitas di tempat kerja (workplace spirituality). Beberapa kajian telah dilakukan untuk meningkatkan kualitas SDM perbankan syariah, namun masih sangat minim kajian sistematis yang berkaitan dengan upaya merubah sikap dan perilaku melalui proses pembelajaran di lembaga pendidikan. Upaya ini sebenarnya telah dilakukan oleh Siswanto, dkk (2013) dengan melakukan sebuah studi pelacakan (treasure study) guna mewujudkan SDM perbankan syariah yang unggul melalui gagasan kurikulum. Penelitian tersebut menghasilkan serangkaian profil lulusan pada program studi perbankan syariah berdasarkan ekspektasi para stakeholders, yakni; calon pengguna lulusan (lembaga keuangan syariah), praktisi dan akademisi, mahasiswa dan orang tua wali mahasiswa. Berdasarkan serangkaian profil lulusan yang merefleksikan ekspektasi stakeholders tersebut diajukan serangkaian mata kuliah yang merupakan bagian dari kurikulum. Namun demikian, penelitianpenelitian tersebut masih ada celah yang perlu dilengkapi, terutama berkaitan dengan; (1) belum memasukkan aspek SDM perbankan syariah yang berdaya saing global, (2) belum mencakup keseluruhan ruang lingkup kurikulum sebagaimana yang dimaksud dalam Peraturan Pemerintah No. 32, Tahun 2013, (3) perlu mengembangkan kurikulum yang berbasis pelaksanaan program yang meliputi bentuk pembalajaran yang betul-betul dilaksanakan (actual curriculum), (4) mendudukkan peran strategis kurikulum pendidikan, yakni sebagai pedoman penyelenggaraan pembelajaran dalam rangka mencapai tujuan pendidikan, yakni membangun manusia seutuhnya yang berkarakter (DIKTI, 2008: 5), (5) adanya tuntutan peningkatan daya saing SDM Perbankan Syariah di era global dalam menyongsong Masyarakat Ekonomi Asean (MAE) tahun 2015. Berdasarkan latar belakang dan celah penelitian ini, maka dirasa perlu untuk merekonstruksi perilaku melalui serangkaian proses pembelajaran. Proses tersebut diproyeksikan untuk merubah sikap dan perilaku calon lulusan prodi perbankan syariah guna mewujudkan SDM perbankan syariah atau lembaga keuangan syariah yang berdaya saing global. Penelitian ini memiliki fokus dan tujuan melakukan re-konstruksi sikap dan perilaku melalui serangkaian proses pembelajaran guna mewujudkan calon sumberdaya manusia perbankan syariah yang kompetitif dan berdaya saing global. Situs penelitian adalah program studi perbankan syariah, Fakultas Ekonomi, Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang.
Landasan Teori Theory of Planned Behavior Theory of Planned Behavior adalah teori yang meramalkan pertimbangan perilaku karena perilaku dapat dipertimbangkan dan direncanakan.Peach et. al.(2006) dan Wellington et. al. (2006) menyatakan bahwa Theory of Planned Behavior memiliki keunggulan dibandingkan teori keperilakuan yang lain, karena Theory of Planned Behavior merupakan teori perilaku yang dapat mengidentifikasikan keyakinan seseorang terhadap pengendalian atas sesuatu yang akan terjadi dari hasil perilaku, sehingga membedakan antara perilaku seseorang yang berkehendak dan yang tidak berkehendak. Ajzen (2002) mengemukakan bahwa Theory of Planned Behavior telah muncul sebagai salah satu dari kerangka kerja yang paling berpengaruh dan konsep yang populer pada penelitian di bidang kemanusiaan. Menurut teori ini, perilaku manusia dipandu oleh 3 jenis
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
251
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
pertimbangan: a) Kepercayaan mengenai kemungkinan akibat atau tanggapan lain dari perilaku (kepercayaan perilaku). b) Kepercayaan mengenai harapan normatif dari orang lain dan motivasi untuk menyetujui harapan – harapan yang dimiliki berdasarkan kepercayaan normatif. c) Kepercayaan mengenai kehadiran faktor – faktor yang mungkin lebih jauh melintang dari perilaku (Kepercayaan Pengendalian). Teori perilaku yang direncanakan berasumsi bahwa manusia pada umumnya memiliki suatu kesadaran perilaku, dimana mereka senantiasa menimbang serangkaian informasi yang tersedia dan secara implisit maupun eksplisit mempertimbangkan implikasi dari tindakannya (Ajzen, 2005: 117). Beberapa kata kunci dalam teori perilaku yang direncanakan meliputi; sikap yang mendorong perilaku (attitude toward the behavior), norma subyektif (subjective norm), kontrol perilaku yang diharapkan (perceived behavioral control), niat (intention), dan perilaku (behavior).
The theory of Planned Behavior diperluas Konsep Ulul Ablab. Pembelajaran pada program studi Perbankan Syariah (S1) dilakukan sesuai dengan pengembangan pendidikan di Fakultas Ekonomi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang berdasarkan QS Al Baqarah : 151, artinya: Sebagaimana (kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.
Dan Quran Surat Al Jumu’ah ayat , artinya: Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata
Dimana diharapkan dari implementasi ayat tersebut memiliki lima ciri utama: 1. Selalu sadar akan kehadiran Tuhan disertai dengan kemampuan menggunakan potensi kalbu (dzikir), dan akal (pikir) sehingga sampai pada keyakinan adanya keagungan Allah dalam segala ciptaan-Nya 2. Tidak takut kepada siapapun kecuali kepada Allah, mampu membedakan yang baik dan yang buruk 3. Mementingkan kualitas hidup baik dalam keyakinan, ucapan maupun perbuatan, sabar dan tahan uji. 4. Bersungguh-sungguh dan kritis dalam menggali ilmu pengetahuan 5. Bersedia menyampaikan ilmunya kepada masyarakat dan terpanggil hatinya untuk ikut memecahkan problem yang dihadapi masyarakat. (Pusat Studi Tarbiyah Ulul Albab, 2010 : 115)
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Strategi penelitian menggunakan teori perilaku yang direncanakan -the theory of planned behavior- (Ajzen, 1985) yang dipertajam dengan konsep ulul albab sebagai nilai-nilai kearifan lokal pada situs penelitian. Teori perilaku yang direncanakan berasumsi bahwa manusia pada umumnya memiliki suatu kesadaran perilaku, dimana mereka senantiasa menimbang serangkaian informasi yang tersedia dan secara implisit maupun eksplisit mempertimbangkan implikasi dari tindakannya (Ajzen, 2005: 117). Beberapa kata kunci dalam teori perilaku yang direncanakan meliputi; sikap yang mendorong perilaku (attitude toward the behavior), norma subyektif (subjective norm), kontrol perilaku yang diharapkan (perceived behavioral control), niat (intention), dan perilaku (behavior).
252
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Penelitian ini secara paradigmatik menggunakan paradigma kritis. Paradigma kritis memiliki tujuan untuk melakukan perubahan (to transform) dan untuk membebaskan (to emancipate). Paradigma ini dirasa mampu mencapai tujuan yakni melakukan perubahan sikap dan perilaku melalui proses pembelajaran. Ajzen (2005: 117-118) menjelaskan bahwa berdasarkan teori perilaku yang direncanakan, niat dan perilaku merupakan fungsi dari 3 faktor utama, yakni; pertama, sifat dasar individu, kedua, pengaruh lingkungan sekitarnya, dan ketiga, berkaitan dengan persoalan peraturan. Berdasarkan paradigma dan strategi penelitian, diajukan serangkaian langkah-langkah praktis berupa alur pemikiran penelitian dalam rangka mencapai tujuan penelitian. Sikap dan Perilaku SDM Perbankan Syariah Unggul Persepsi Stakeholders The theory of Planned Behavior diperluas Konsep Ulul Ablab
Actual Curriculum
Pembelajaran Pada Prodi Perbankan Syariah Berwawasan global
Gambar 1. Alur Penelitian Tujuan penelitian adalah melakukan re-konstruksi sikap dan perilaku melalui serangkaian proses pembelajaran yang diselenggarakan program studi. Proses pembelajaran yang berorientasi pada pelaksanaan program kegiatan pembelajaran disebut dengan actual curriculum. Program-program kegiatan pembelajaran tersebut berbasis pada proses yang merujuk pada teori perilaku yang direncakan (theory of planned bahavior) dari Ajzen (1985) yang diperluas dengan konsep kearifan lokal ulul albab. Adapun data yang diperoleh untuk melakukan analisis berdasarkan teori perilaku yang direncanakan berasal dari persepsi stakeholders pengguna lulusan prodi perbankan syariah dan dari proses pembelajaran yang berawawasan global. Proses pembelajaran yang berwawasan global yang dimaksud adalah serangkaian proses kegiatan pembelajaran yang dijalankan prodi perbankan syariah yang memiliki orientasi internasional.
Hasil Penelitian Pembelajaran di School of Management Dalam rangka mewujudkan misi, tujuan dan motto dari SOM (School of Management) untuk memberikan lulusan yang tidak hanya kompeten dalam pengetahuan bisnis dan keterampilan, tetapi juga sangat dipandu oleh keyakinan spiritual mereka dan termotivasi oleh altruisme mereka, SOM telah melakukan banyak hal mulai dari penataan sistem pembelajaran, kurikulum sampai pada penyusunan kegiatan pendukung pembelajaran yang diarahkan untuk pembangunan karakter mahasiswa sesuai dengan yang telah ditetapkan. 1. Sistem Pembelajaran
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
253
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Dalam penataan sistem pembelajarn, SOM menetapkan masa studi mahasiswa adalah minimal empat tahun. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa lulusan benar-benar telah menguasai ilmu sesuai dengan kompetensinya dan karakternya telah terbentuk sebagai lulusan SOM University Sains Malaysia. Beberapa syarat kelulusan yang ditetapkan SOM, antara lain: (a) Memenuhi persyaratan minimum yang diperlukan selama penelitian. (b) Memenuhi persyaratan kredit untuk inti umum, inti utama, pilihan, minor dan universitas kursus. (c) Mendapatkan CGPA dari 2,00 dan di atas untuk komponen inti. (d) Mendapatkan CGPA dari 2,00 dan di atas untuk program tersebut. (e) Mencapai kelas C minimum atau titik kelas 2,00 untuk Program University untuk Bahasa Malaysia, Bahasa Inggris, Islam dan Peradaban dan Hubungan Etnis Asia. Sistem pembelajaran untuk beberapa mata kuliah tertentu dibuat berbeda dengan yang lain. Misalnya, mata kuliah Hubungan Etnis, mahasiswa wajib mempelajari kehidupan dan etika yang berlaku pada etnis yang lain. Seorang mahasiswa dengan etnis Melayu wajib mempelajari kebudayaan etnia lain yaitu India dan China, demikian juga sebaliknya. Karena tiga etnis tersebut adalah etnis terbesar di Malaysia maka setiap kelas harus terdiri dari mahasiswa yang berasal dari ketiga etnis tersebut. Tidak boleh ada satu kelas yang terdiri dari satu etnis saja. Hal ini dilakukan untuk mengurangi rasa perbedaan etnis dan masalah-masalah sosial terkait dengan etnis. Pembelajaran pada mata kuliah Keterampilan, mahasiswa diberikan kebebasan untuk memilih keterampilan yang akan dipelajarinya sesuai dengan minat dan bakat masing-masing. Pembelajaran pada mata kuliah ini dapat dilakukan di dalam internal SOM, Universitas, dan kursus eksternal di luar Universitas. Hal ini dilakukan untuk membekali mahasiswa dengan keterampilan lain di luar ilmunya tapi sesuai dengan bakat dan minatnya masing-masing. Sedangkan pada mata kuliah Bahasa Ketiga, mahasiswa diwajibkan untuk memilih salah satu bahasa lain selain Bahasa Malaysia dan Bahasa Inggris. Sama seperti sistem pembelajaran pada mata kuliah keterampilan, pada sistem pembelajaran Bahasa ketiga mahasiswa juga diberikan kebebasan untuk memilih sesuai dengan minat dan bakat masing-masing. Hal ini dilakukan untuk membekali mahasiswa dengan berbagai kemampuan bahasa asing sehingga mereka mampu berdaya saing global. Kegiatan magang atau internship dilakukan selama 6 bulan bagi mahasiswa semester enam. Mahasiswa diberikan kebebasan untuk memilih tempat magang sesuai dengan kualifikasi masing-masing yang biasanya dilakukan pada perusahaan multinasional yang ada di sekitar kampus dan kota-kota lain. Selain itu, bagi mahasiswa yang tidak mampu mencari tempat magang sendiri maka pihak SOM akan mencarikan melaui koneksi yang ada pihak eksternal dan juga internal SOM atau Universitas. Tugas akhir atau skripsi merupakan pilihan sehingga mahasiswa dapat menyelesaikan kuliah tanpa melalui proses skripsi. Setiap semester dilakukan pertemuan semua mahasiswa untuk dilakukan briefing akademik dan character building. 2. Kurikulum Kurikulum terdiri dari 136 SKS yang dapat diselesaikan dalam jangka waktu minimal empat tahun dan tidak boleh kurang dari empat tahun. Kurikulum terdiri dari mata kuliah wajib universitas sebanyak 21 SKS yang berlaku untuk semua mahasiswa baik untuk mahasiswa Malaysia maupun asing, mata kuliah inti umum yang dipelajari oleh semua konsentrasi, dan mata kuliah konsentrasi. Mata kuliah wajib universitas ini terdiri dari Bahasa Malaysia, Bahasa Inggris, Kebudayaan Islam dan Asia, Hubungan Etnis, Kursus Ko-kurikulum, Kursus 254
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Keterampilan, Kursus Bahasa yang Ketiga. Mata kuliah inti umum terdiri dari 59 SKS 17 mata kuliah. Mata kuliah inti utama terdiri dari 20 SKS dan 16 SKS mata kuliah pilihan sesuai dengan jurusan atau konsentrasi masing-masing. Penyusunan kurikulum dilakukan dengan memperhatikan peraturan pemerintah (presentasi pada kementerian pendidikan), masukan dari stakeholders, dan lain-lain. Sedangkan kegiatan peninjauan kurikulum dilakukan setiap 5 tahun sekali. 3. Kegiatan Pendukung Untuk mendukung proses atau sistem pembelajaran dan kurikulum menuju pencapaian visi, misi, dan tujuan SOM juga melakukan beberapa kegiatan pendukung seperti yang talah dijelaskan di atas, yang terdiri dari: (a) Community Outreach, (b) Industry and Community Advisor Panel (ICAP), (c) Unit Keusahawanan dan Kepimpinan Lestari (UKKL), (c) Internship, dan (d) Entrepreneurship and Innovation Unit (EIU). Hasil penelitian menunjukkan bahwa SOM mempunyai misi, tujuan, dan motto untuk memberikan lulusan yang tidak hanya kompeten dalam pengetahuan bisnis dan keterampilan, tetapi juga sangat dipandu oleh keyakinan spiritual mereka dan termotivasi oleh altruisme mereka. Hal ini menjadi latar belakang SOM untuk melakukan berbagai kegiatan dalam rangka pencapaian misi, tujuan, dan mottonya tersebut. Kegiatan-kegiatan tersebut terdiri dari sistem pembelajaran, kurikulum, dan kegiatan pendukung yang semuanya mengarah kepada pembentukan karakter mahasiswa dan lulusan sesuai dengan kompetensi lulusan yang telah ditetapkan. Pada sistem pembelajaran pihak SOM menentukan jangka waktu kelulusan adalah minimal empat tahun untuk memastikan bahwa lulusan telah memiliki kemampuan dan karakter seperti yang diinginkan. Karakter yang dinginkan adalah lulusan yang tidak hanya kompeten dalam pengetahuan bisnis dan keterampilan, tetapi juga sangat dipandu oleh keyakinan spiritual mereka dan termotivasi oleh altruisme mereka. Setiap awal semester dilakukan briefing akademik kepada seluruh mahasiswa baik mahasiswa baru maupun lama sehingga dapat menyegarkan menguatkan kembali misi, tujuan, dan motto SOM. Mahasiswa selalu di-charge rohaninya dengan mengingatkan bahwa mereka adalah civitas akademika SOM yang harus berkarakter tertentu. Selain itu, mahasiswa dibekali dengan keterampilan sesuai dengan minat dan bakat masing-masing. Mahasiswa diwajibkan untuk memilih mata kuliah keterampilan tertentu untuk menunjang kemampuan mereka dalam bidang akademik. Kemudian terdapat mata kuliah-mata kuliah tertentu yang pelaksanaan metode pembelajarannya berbeda dengan mata kuliah yang lain. Jika proses belajar mengajar pada umumnya dilakukan di kelas dengan sistem tutorial, maka untuk mata kuliah tertentu dilaksanakan secara lebih fleksibel. Dalam proses ini, mahasiswa diberi kesempatan dan kebebasan untuk memilih jenis pembelajaran yang dinginkan yaitu dapat dengan mengikuti kursus yang telah disediakan oleh pihak kampus atau mengikuti kursus yang dilaksakna oleh pihak eksternal kampus. Proses pembelajaran internal maupun eksternal ini, dua-duanya diakui sebagai mata kuliah dan dengan bobot yang sama. Dalam menciptakan daya saing global pada lulusan, SOM tidak hanya menekankan pentingnya penguasaan Bahasa Inggris tetapi juga bahasa ketiga sehingga mereka memasukkan bahasa ketiga sebagai salah satu mata kuliah dengan bobot yang cukup besar. Bahasa ketiga ini dapat di pilih bahasa lain selain Bahasa Malaysia dan Bahasa Inggris. Pihak SOM telah memfasilitasi hal ini dengan menyediakan beragam pilihan bahasa. Hal ini dilakukan karena Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
255
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
penguasaan bahasa asing adalah mutlak bagi para lulusan agar mereka mampu bersaing dengan lebih baik. Pada sisi yang lain, SOM juga berusaha memberikan bekal yang baik kepada mahasiswa tentang toleransi dalam ras, etnis, dan suku bangsa. Hal ini dilakukan dengan membuat kelas terdiri dari beragam etnis dan memasukkan mata kuliah ethnic relations pada kelompok mata kuliah inti umum yang wajib diikuti oleh seluruh mahasiswa. Sistem pembelajaran pada mata kuliah ini dilakukan dengan saling mempelajari kebudayaan dan kehidupan etnis lain. Pelaksanaan magang juga dilakukan cukup lama yaitu selama 6 bulan untuk membekali mahasiswa dengan ilmu praktis secara langsung di tempat kerja. Dengan jangka waktu yang panjang tersebut, mahasiswa akan benar-benar tahu bagaimana kondisi di tempat kerja dan kemampuan apa saja yang menjadi tuntutan dunia kerja. Proses ini akan membuat mereka lebih siap untuk masuk ke dunia kerja pada saat lulus dan mengurangi kecanggungan serta ketidakpercayaan diri mereka. Selain itu, beragai kegiatan pendukung yang dilakukan seperti Community Outreach, Industry and Community Advisor Panel (ICAP), Unit Keusahawanan dan Kepimpinan Lestari (UKKL), Internship, dan Entrepreneurship and Innovation Unit (EIU) mampu untuk mendukung pembentukan karakter mahasiswa. Misalnya pada kegiatan UKKL berfungsi sebagai katalis dalam mempromosikan dan mengembangkan peran kepemimpinan yang berkelanjutan di bidang pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat yang mencakup berbagai disiplin ilmu dan organisasi yang akan disampaikan melalui program pengembangan profesional. UKKL juga akan berfungsi sebagai inkubator untuk mengumpulkan ide-ide dan praktek-praktek yang akan disebarkan melalui berbagai program yang diselenggarakan oleh UKKL inovatif. Sedangkan pada kegiatan EIU, menanamkan pola pikir kewirausahaan yang menggabungkan kreativitas, inovasi dan kemampuan analitis kalangan mahasiswa sambil membantu USM dalam merampingkan pengembangan produk baru yang layak secara komersial. EIU mempromosikan kegiatan lintas disiplin dengan menyatukan ide-ide dan inovasi untuk menciptakan peluang dan pertumbuhan baru bagi siswa dan masyarakat. Beragam usaha dan program tersebut di atas yang dilakukan pada dasarnya untuk mencapai misi, tujuan, dan motto SOM. Demikian juga dengan Prodi Perbankan Syariah (S1) Fakultas Ekonomi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang pada dasarnya telah melakukan banyak cara dan program untuk mencapai visi, misis, dan tujuannya. Namun demikian, Prodi Perbankan Syariah (S1) dapat mereplikasi beragam kegiatan yang telah dilakukan di SOM tetapi belum dilakukan di prodi ini. Misalnya untuk kegiatan magang yang terstruktur (PKL), ada baiknya Prodi Perbankan Syariah (S1) meniru pelaksanaan magang di SOM yaitu dengan memperpanjang jangka waktu magang. Saat ini direncanakan bahwa kegiatan magang dilakukan selama 40 hari, mengingat bahwa Prodi Perbankan Syariah (S1) merupakan prodi yang special di mana lulusannya harus mempunyai keterampilan praktek perbankan selain keilmuan perbankan maka tidak ada salahnya jika kegiatan magang (PKL) dilakukan dengan jangka waktu yang lebih lama. Hal ini untuk memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk mempelajari atau mempraktekkan ilmunya secara langsung sehingga mereka menjadi lebih siap untuk bersaing di dunia kerja. Penguasaan bahasa juga harus menjadi perhatian khusus. Prodi Perbankan Syariah (S1) telah melakukan program intensif Bahasa Inggris dan Bahasa Arab sesuai dengan kebijakan universitas. Namun demikian tetap perlu adanya penekanan akan kemampuan berbahasa asing
256
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
karena ini merupakan bekal utama agar mahasiswa dan lulusan mampu berdaya saing global atau menambahkan kemampuan bahasa asing lain selain Bahasa Inggris dan Bahasa Arab. Pembentukan karakter yang dilakukan oleh pihak Prodi Perbankan Syariah (S1) juga sudah cukup baik, di mana mahasiswa baru diwajibkan untuk mengikuti program ma’had selama dua semester dan mendapatkan pola pendidikan ala pesantren. Sehingga mahasiswa tidak hanya mahir secara keilmuan tetapi juga mempunyai kepribadian yang ulul albab.
Krisis Membawa Perubahan Perilaku Singapura merupakan negara kota, karena wilayahnya kecil, dikelilingi oleh negara-negara yang besar seperti Indonesia dan Malaysia. Oleh karena itu, mereka merasa terancam. Berkenaan dengan ini, para siswa di sekolah dididik untuk mampu bersainga, istimewa dan meraka tidak boleh gagal. Singapura menyadari tidak memiliki sumberdaya alam yang melimpah. Sumberdayanya adalah manusia. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh atase pendidikan Indonesia di Singapura, Bapak Dr. Ismunandar, sebagaimana berikut; Jadi psikologis mereka, orang Singpura, merasa terancam. Meraka sadar, negaranya kecil, tidak punya sumberdaya alam. Jadi mereka seringkali merendah, tapi kesannya sombong juga. Mereka mengatakan, “kami ini tidak punya sumberdaya alam apa-apa. Sumberdaya alamnya ya manusia-manusianya.” Tingkat stress di tingkat pendidikan juga nampak. Mereka sudah dikelompokkan berdasarkan kemampuan dan keahliannya. Mereka yang nilainya bagus dapat melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi. Sedangkan, mereka yang nilai minim diarahkan ke jenjang kejuruan. Jenjang sekolah meliputi, setingkat SD selama 6 tahun, setingkat SMP selama 4 tahun. Setelah tingkat SMP, bagi yang nilainya bagus dapat langsung melanjutkan ke politeknik atau ke jenjang SMA untuk melanjutkan perguruan tinggi. Bagi mereka yang nilainya kurang masuk ke tingkat SMK. Namun untuk praktek, pemerintah menyediakan sarana praktek yang sangat memadai. Bahkan untuk jurusan mesin, pemerintah menyediakan praktek mengotak-atik pesawat terbang. Menurut Mr. Goh (Chairman Temasek Foundation) menyatakan bahwa Singapura adalah negara kota yang tidak punya sumberdaya alam apa-apa, tapi justru dengan ketiadaan SDA di Singapura itu membuat kami merasa selalu dalam kondisi krisis, risau, dan karena itu menimbulkan sikap waspada dan selalu siaga masa depan (Huda, 2012: 194).
Negara Denda Menuju Keteraturan Singapura dikenal dengan negara denda. Memang kalau kita cermati, kehidupan dan perilaku masyarakat Singapura terkesan teratur dan tertata sangat rapi. Mulai masuk bandara internasionalnya, Changi, nampak bersih dan teratur. Sangat sulit menemui sampah berserakan. Walaupun tidak nampak petugas bandara yang nampak bersih-bersih, namun kebersihan terjaga dengan baik. Keluar dari bandara, nampak jalan raya yang asri ditumbuhi pohon-pohon terawat di sepanjang jalan tol. Berdasarkan penjelasan salah seorang guide yang memandu rombongan riset jurusan ini, jumlah pohon di Singapura lebih banyak daripada jumlah penduduk Singapura sendiri. Diperkirakan setiap orang Singapura memiliki 6 pohon. Hal inilah yang menjadikan udara di Kota Singapura berkisar kurang lebih 330c. Pohon-pohon tersebut terawat dengan rapi, dan bahkan setiap pohon dilengkapi dengan chip yang diprogram dalam rangka perawatan. Kapan saatnya disiram, dan waktunya dipupuk. Perawatan tersebut demikian tertata. Dan tidak ada
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
257
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
satu orangpun yang berani merusak tanaman di pinggir jalan, karena takut terkena denda. Harga dendanya per daun yang diambil atau dirusak.
Simpulan Penelitian memiliki fokus tentang bagaimana rekonstruksi perilaku melalui proses pembelajaran guna mewujudkan sumber daya insani yang kompetitif. Hasil penelitian berdasarkan pelacakan pada perguruan tinggi di luar negeri (SIM di Singapura dan USM di Penang-Malaysia) menunjukkan bahwa perilaku dapat dibentuk dengan pendekatan sistem, baik Negara maupun institusi, dan pendekatan penguatan perilaku melalui bentuk penghargaan dan paksaan. Bentuk penghargaan dapat berupa proses pembelajaran yang memberdayakan kemampuan para mahasiswa dengan memberikan tantangan (chalange). Sedangkan bentuk penguatan perilaku melalui paksaan berupa denda maupun hukuman guna mendorong perilaku disiplin dan kerja keras. Sistem pemerintah sangat berperan penting dalam proses pembentukan perilaku dan budaya pada tingkat yang lebih mikro.
Saran Penelitian bersifat eksplorasi bagaimana proses pembentukan perilaku di Negara lain guna menyiapkan sumberdaya manusia yang kompetitif dalam persaingan global. Penelitian ini perlu diperluas penerapannya berdasarkan budaya atau culture pendidikan di Indonesia yang memiliki sistem dan pendekatan yang berbeda. Disamping itu, memasukkan kearifan lokal pendidikan di UIN Maliki Malang berdasarkan konsep ulul albab menjadi tantangan tersendiri. Oleh karena itu, untuk penelitian selanjutnya diharapkan mengembangkan hasil temuan ini pada tataran action research berupa pengembangan pembelajaran guna menyongsong era global, terutama dalam menghadapi masyarakat ekonomi ASEAN pada masa mendatang.
Daftar Pustaka Ajzen, I (2005). Attitude, Personality, and Behavior (second editon). England: Open University Press Alamsyah, H (2012). Perkembangan dan Prospek Perbankan Syariah Indonesia: Tantangan Dalam Menyongsong MEA 2015. Milad ke-8 IAEI, 13 April 2012. Ascarya dan Yusmanita D (2008). Comparing The Efficiency Islamic Banks in Malaysia and Indonesia. Buletin Ekonomi & Moneter Bank Indonesia, Vol. 11 No. 2. 2008 Cooper R.K, Sawaf A, (2002). Executive EQ: Kecerdasan Emosional dalam Kepemimpinan dan Organisasi. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. DIKTI (2008). Buku Panduan Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi Pendidikan Tinggi. Jakarta: Sub Direktorat KPS. Gibson, Ivancevich dan Donnelly. (1996). Organisasi. Jakarta: Binarupa Aksara Goleman D. (2003). Emotional Intelligence. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama Huda, M. (2012). Dari Langit Turun ke Bumi: Best Practice for Spiritual Leadership. Surabaya: Pena Semesta Kelompok Penerbit JP Books Kelemen, K and Rumens, N (2008). An Introduction to Critical Management Research. LA: Sage Publication McShane S.L and Von Glinow M.A (2003). Organizational Behavior: Emerging Realities for the Workplace Revolution (second edition). America: McGraw-Hill Robbins, Stephen P. Judge, Timothy A. (2008). Perilaku Organisasi Jilid I. Jakarta: Penerbit Salemba Empat Robbins, Stephen P. (2003). Perilaku Organisasi. Jakarta: PT. Indeks
258
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Robbins, Stephen P. (2006). Perilaku Organisasi Edisi Kesepuluh. Jakarta: PT. Indeks Kelompok Gramedia Robbins, Stephen P. (1994). Teori Organisasi: Struktur, Desain & Aplikasi. Jakarta: Arcan Siswanto (2011). Creating the Superior Islamic Banking trough Improving Quality of Human Resources, Pak.J.Commer.Soc.Sci., Vol. 5 (2), 2011, pp. 216-232. Siswanto (2013). Pengembangan Kualitas SDM Perbankan Syariah Integratif Melalui Implementasi Workplace Spirituality, Finalis Forum Riset Ekonomi dan Keuangan Syariah ke-2, 13-14 November 2013. Siswanto, Yayuk Sri Rahayu, Anas Budiharjo, Nihayatu Aslamatis Sholekah, Ahmad Sidi Pratomo, Eko Fajar Cahyono, Esy Nur Aisyah, Putri Kurnia Widiati (2013). Mewujudkan SDM Perbankan Syariah Yang Unggul Melalui Gagasan Kurikulum Berbasis Karakter Ulul Albab, Riset Kompetitif Fakultas Belum dipublikasikan, Malang 2013. Siswanto (2014). Improving Competitiveness of Islamic Banking Human Resources through Implementation of Quran-Based HRM Practices, European Journal of Business and Social Sciences, Vol 3, No. 3, June 2014, pp. 1-13 Winardi. (2003). Teori Organisasi dan Pengorganisasian. Jakarta: RajaGrafindo Persada Wursanto, Ig. (2003). Dasar-Dasar Ilmu Organisasi. Yogyakarta: Penerbit Andi Offset
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
259
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Manajemen Sarana Prasarana Dalam Meningkatkan Proses Pembelajaran Di STKIP PGRI Pasuruan Suchaina 21 ([emailprotected]) Abstract This research was conducted with the aim to describe the management of infrastructure to improve the learning process in STKIP PGRI Pasuruan. This study used a qualitative descriptive research design case study. The research data on the management of infrastructure were in the form of descriptive to improve the learning process. Data collected by interview, documentation and observation. Instruments used to collect data were in the form of human resource, which was the researcher herself. In order to maintain the validity of the data, it was needed to do performed data triangulation activity. The data analysis activities ranging from stage data reduction, data display, drawing conclusions, and verification of data. Based on the results of the data analysis, four conclusions obtained the following results; First, the state of completeness existing infrastructure in STKIP PGRI Pasuruan in improving the learning process is in good condition, adequate, and has been in a state of high school standards although still much damage and continue to be pursued reform. Second, the problem of management of existing infrastructure in Pasuruan PGRI STKIP concerns in several processes, namely procurement, inventory, use, maintenance, and removal. Third, the problems of infrastructure management efforts undertaken by STKIP PGRI Pasuruan in improving the learning process, namely: (1) compliance standards, (2) review and compliance infrastructure completeness. Fourth, the problem of enabling and inhibiting factors management infrastructure to improve the learning process in STKIP PGRI Pasuruan, namely supporting factors: (1) there is a reliable administrative personnel, (2) the administration team work and good funding, inhibiting factors: (1) lack of administration experts, (2) the user infrastructure that does not fit the technical specifications, (3) the fulfillment of standards towards the University, (4) the layout of the establishment of the building. Keywords: Infrastructure management, learning process Abstrak Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mendeskripsikan tentang manajemen sarana prasarana dalam meningkatkan proses pembelajaran di STKIP PGRI Pasuruan. Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian deskriptif kualitatif jenis studi kasus. Data penelitian berupa paparan tentang manajemen sarana prasarana dalam meningkatkan proses pembelajaran. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik interview, dokumentasi, dan observasi. Instrument yang digunakan berupa manusia, yaitu peneliti itu sendiri. Untuk menjaga keabsahan data, dilakukan kegiatan trianggulasi data. Kegiatan analisis data di mulai dari tahap reduksi data, display data, penarikan kesimpulan, dan verifikasi data. Berdasarkan hasil analisis data tersebut, diperoleh empat kesimpulan hasil penelitian sebagai berikut; Pertama, keadaan kelengkapan sarana prasarana yang ada di STKIP PGRI Pasuruan dalam meningkatkan proses pembelajaran dalam keadaan baik, memadai, dan sudah dalam keadaan standart sekolah tinggi meskipun masih banyak terjadi kerusakan dan terus diupayakan pembenahan. Kedua, masalah manajemen sarana prasarana yang ada di STKIP PGRI Pasuruan menyangkut dalam beberapa proses, yakni pengadaan, inventarisasi, penggunaan, pemeliharaan, dan penghapusan. Ketiga, masalah upaya manajemen sarana prasarana yang dilakukan STKIP PGRI Pasuruan dalam meningkatkan proses pembelajaran, yakni: (1) pemenuhan standart, (2) peninjauan ulang dan pemenuhan kelengkapan sarana prasarana. Keempat, masalah faktor pendukung dan penghambat manajemen sarana prasarana dalam meningkatkan proses pembelajaran di STKIP PGRI Pasuruan, yakni faktor pendukung: (1) terdapat tenaga administrasi yang handal, (2) kerjasama tim administrasi dan pendanaan yang baik, faktor penghambat: (1) kurangnya tenaga ahli administrasi, (2) pemakai sarana prasarana yang tidak sesuai spesifikasi teknis, (3) pemenuhan standart menuju Universitas, (4) tata letak pendirian gedung. Kata Kunci: manajemen sarana prasarana, proses pembelajaran 2118
Dosen STKIP PGRI Pasuruan
260
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Pendahuluan Pada era globalisasi seperti sekarang, kita dituntut kesiapan yang lebih matang dalam segala hal. Bidang pendidikan merupakan salah satu andalan untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang dibutuhkan dalam menghadapi tantangan zaman. Persiapan sumber daya manusia dalam bidang pendidikan dilakukan sejak dari masa pendidikan dasar, menengah, dan tinggi. Lembaga pendidikan pun juga ikut berbenah diri secara terus-menerus dalam mencapai tujuan pendidikan tersebut dengan meningkatkan mutu pendidikan menjadi lebih baik. Supaya peningkatan mutu pendidikan bisa tercapai, maka dalam kegiatan tersebut perlu di tunjang oleh layanan manajemen/pengelolaan yang terencana. Pembelajaran akan berhasil bila didukung adanya pendayagunaan semua sarana dan prasarana pendidikan yang ada secara efektif dan efisien. Sarana dan prasarana yang ada perlu didayagunakan dan dikelola demi kepentingan proses pembelajaran. Pengelolaan itu dimaksudkan agar dalam menggunakan sarana dan prasarana bisa berjalan dengan efektif dan efisien. Pengelolaan sarana dan prasarana merupakan kegiatan yang amat penting, karena keberadaannya akan sangat mendukung terhadap suksesnya proses pembelajaran Dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang sisdiknas pasal 45 ayat 1 disebutkan bahwa: "Setiap satuan pendidikan formal dan nonformal menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan peserta didik". Satu sisi harapan yang dibebankan pada dunia pendidikan sangat banyak, tetapi di sisi lain dunia pendidikan mempunyai banyak masalah yang menghambat dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar di sekolah. (Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tenatng Sisdiknas Pasal 45 Ayat 1). Salah satu masalah yang dihadapi oleh Perguruan Tinggi Swasta adalah masalah sarana pendidikan. Sarana belajar yang lengkap akan menunjang konsentrasi belajar mahasiswa. Seseorang yang belajar dibutuhkan konsentrasi, perhatian, dan pemusatan terhadap suatu hal dengan mengesampingkan semua hal lainnya yang tidak berhubungan. Konsentrasi ini tidak akan berjalan dengan baik apabila tempat atau alat yang digunakan tidak memadai. Masalah sarana pendidikan yang sering dihadapi setiap Perguruan Tinggi Swasta antara lain, sarana penunjang yang kurang memadai dan pengelolaan sarana prasarana kurang optimal. Dalam pengelolaannya, pemeliharaan, atau perawatan yang sering menjadi kendala utama. Mengingat belum ada tenaga profesional yang khusus menangani manajemen sarana prasarana. STKIP PGRI Pasuruan merupakan salah satu Perguruan Tinggi swasta yang menjalankan peranannya di dalam dunia pendidikan yang memiliki visi dan misi yakni: “Perguruan tinggi unggulan dalam bidang kependidikan”. Sedang salah satu misinya adalah: “Menyelenggarakan pendidikan tinggi dengan mengedepankan aspek relevansi, daya saing, serta perluasan akses bagi masyarakat”. Untuk mencapai visi dan misinya, STKIP tentu memilki sejumlah aset dalam bentuk sarana dan prasarana dalam menunjang proses perkuliahan agar berjalan efektif dan efisien. Oleh karena itu, STKIP perlu mengelola sarana dan prasarana yang dimilikinya. Sarana prasarana penunjang yang ada di STKIP sudah cukup baik, akan tetapi masih banyak kekurangan, misalnya pada saat penelitian ini dilakukan tempat parkir yang tersedia tidak teratur, media pembelajaran berupa proyektor dengan jumlah yang terbatas, tidak terdapat kantin, tidak banyak terdapat penghijauan kampus, tidak ada lapangan olah raga, cat tembok hampir memudar, dan perpustakaan yang tidak tertata rapi Akan tetapi, demi menuju Universitas STKIP melakukan banyak perubahan dalam Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
261
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
pengelolaan sarana dan prasarana. Perguruan Tinggi Swasta ini mencanangkan menuju Universitas, sehingga Perguruan Tinggi ini sedang merencanakan beberapa program pengembangan dan peningkatan sarana dan prasarana menuju Universitas mulai dari pengadaan sarana dan prasarana, perbaikan sarana dan prasarana, dan pembenahan manajemen sarana dan prasarana. Upaya tersebut dilakukan untuk lebih meningkatkan mutu Perguruan Tinggi. Dalam hal fasilitas STKIP PGRI Pasuruan melakukan banyak pembenahan, diantaranya pada saat penelitian ini dilakukan terdapat penyediaan media pembelajaran LCD, pengecatan gedung, penataan tempat parkir terpusat, pengadaan food corner dan business center, kampus hijau, serta penataan perpustakaan dengan buku-buku yang cukup lengkap. Akan tetapi, sarana prasarana juga ada yang belum memadai. Ada beberapa sarana prasarana yang sudah memenuhi standarisasi sarana prasarana akan tetapi belum merata serta belum maksimal dalam pengelolaannya. Misalnya pada saat penelitian ini dilakukan terdapat ruang perkuliahan dan laboratorium bahasa yang belum terpenuhi kelengkapannya. Karena itu penulis berkeinginan untuk melakukan penelitian di STKIP PGRI PASURUAN. Rumusan/fokus penelitian ini adalah; 1) Keadaan kelengkapan sarana dan prasarana dalam meningkatkan proses pembelajaran di STKIP PGRI Pasuruan. 2) Manajemen sarana prasarana di STKIP PGRI Pasuruan. 3) Upaya manajemen sarana dan prasarana yang dilakukan STKIP PGRI Pasuruan dalam meningkatkan proses pembelajaran. 4) faktor pendukung dan penghambat manajemen sarana prasarana dalam meningkatkan proses pembelajaran di STKIP PGRI Pasuruan.
Kajian Pustaka Manajemen sarana dan prasarana Pengertian manajemen sarana prasarana pendidikan Manajemen sarana dan prasarana dapat didefinisikan sebagai seluruh proses kegiatan yang direncanakan dan diusahakan secara sengaja dan bersungguh-sungguh serta pembinaan secara kontinu terhadap benda-benda pendidikan, agar senantiasa siap pakai dalam proses belajar mengajar. Manajemen ini dilaksanakan demi tujuan pendidikan yang tealah ditetapkan dapat tercapai secara efektif dan efisien (Mulyono, 2009:184)
Proses manajemen sarana prasarana pendidikan Manajemen sarana dan prasarana pendidikan meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasaan, dan evaluasi kegiatan pengadaan barang, pembagian dan penggunaan barang (inventaris), perbaikan barang, dan tukar tambah maupun penghapusan barang. (Mulyono, 2010: 157) Proses yang dilakukan dalam manajemen sarana dan prasarana pendidikan memiliki beberapa tahap, yaitu sebagai berikut, 1)Perencanaan sarana dan prasarana pendidikan, 2) Pengadaan Sarana dan Prasarana, 3) Pemeliharaan dan Penyimpanan Sarana dan Prasarana, 4) Penggunaan Sarana dan Prasarana, 5) Penghapusan Sarana dan Prasarana.
Ruang lingkup manajemen sarana prasarana pendidikan Ruang lingkup sarana prasarana mencakup fasilitas-fasilitas yang disediakan untuk para civitas akademika. Fasilitas-fasilitas tersebut juga didasarkan pada standar minimum seperti ruang belajar, ruang laboratorium, lapangan olahraga serta pengadaan teknologi yang menunjang pembelajaran siswa. Standar-standar tersebut telah dimuat dalam PP No. 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
262
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Tinjauan Tentang Proses Pembelajaran Pengertian proses pembelajaran Secara umum, proses dapat diartikan sebagai rentetan perubahan yang terjadi dalam perkembangan sesuatu. Proses bisa juga berarti cara terjadinya perubahan dalam diri siswa atau respon yang ditimbulkan (Muhibbinsyah, 2010:47). Menurut Sadiman (1986), pembelajaran (instruction) adalah suatu usaha untuk membuat peserta didik belajar atau suatu kegiatan untuk membelajarkan peserta didik. Dengan kata lain, pembelajaran merupakan upaya menciptakan kondisi agar terjadi kegiatan belajar. Dengan pengertian lain, pembelajaran adalah usaha-usaha yang terencana dalam memanipulasi sumber-sumber belajar agar terjadi proses belajar dalam diri peserta didik. Proses belajar mengajar/pembelajaran pada hakikatnya adalah proses komunikasi yaitu proses penyampaian pesan dari sumber pesan melalui saluran/media tertentu ke penerima pesan (Arief S, 2009).
Kerangka Konsep Penelitian Kerangka konsep penelitian ini adalah kajian tentang pengelolaan manajemen sarana prasarana dalam meningkatkan proses pembelajaran di STKIP PGRI Pasuruan. Kerangka konsep penelitian menggambarkan paradigma hubungan manajemen sarana prasarana di STKIP PGRI Pasuruan dan proses pembelajaran. Maka dari itu peneliti akan mencari informasi tentang pengaruh (1) keadaan kelengkapan manajemen sarana prasarana dalam meningkatkan proses pembelajaran di STKIP PGRI Pasuruan, (2) manajemen sarana prasarana di STKIP PGRI Pasuruan yang terdiri dari pengadaan, inventarisasi, penggunaan, pemeliharaan, dan penghapusan, (2) upaya manajemen sarana prasarana yang dilakukan STKIP PGRI Pasuruan dalam meningkatkan proses pembelajaran, (4) faktor pendorong dan penghambat manajemen sarana prasarana dalam meningkatkan proses pembelajaran di STKIP PGRI Pasuruan terhadap manajemen sarana prasarana dalam meningkatkan proses pembelajaran di STKIP PGRI Pasuruan. Untuk lebih jelasnya, kerangka konsep penelitian ini dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
Metode Penelitian Metode penelitian ini adalah deskriptif kualitatif studi kasus yang bertujuan untuk menggambarkan, meringkaskan berbagai macam kondisi, berbagai situasi atau berbagai fenomena realitas sosial yang ada di masyarakat yang menjadi objek penelitian, dan berupaya Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
263
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
menarik realitas itu kepermukaan sebagai suatu ciri, karakter, sifat, model, tanda, atau gambaran tentang kondisi, situasi, ataupun fenomena tertentu.
Kehadiran Peneliti Peneliti dalam melakukan penelitian bertindak sebagai instrument dan pengumpul data. Peneliti berpartisipasi penuh dengan melakukan penelitian langsung ke lapangan. Hal ini dilakukan agar peneliti mendapatkan data yang valid dan orisinil. Adapun kehadiran peneliti diketahui statusnya sebagai peneliti oleh subjek atau informan.
Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan di STKIP PGRI Pasuruan yang terletak di Jl. Ki Hajar Dewantara No. 27-29 Kelurahan Tembokrejo Kecamatan Purworejo Kota Pasuruan.
Sumber Data Data yaitu kata-kata atau tindakan dan selebihnya itu adalah suatu tambahan seperti dokumen dan lain-lain. (Lexy J. Moleong. 2005:157). Sumber data penelitian yang diambil adalah: 1) Sumber Data Literatur. Yaitu sumber data yang diperoleh peneliti dari buku karangan para ahli yang sesuai dengan masalah yang diteliti, termasuk dalam hal ini karya ilmiah, makalah serta terbitan-terbitan yang berkaitan dengan Manejemen Sarana Prasarana. Termasuk dalam hal ini adalah dokumen-dokumen tentang keadaan lembaga pendidikan dan catatan lain yang mendukung dalam manejemen. 2) Sumber Data Lapangan. Yaitu sumber data yang diproses dari lapangan penelitian, yaitu sumber data manusia, yang terdiri dari Ketua, Pembantu Ketua 1,2, dan 3, kepala BAAK, kepala BAU, satpam, penjual di food corner, pustakawan, laboran, dosen dan mahasiswa STKIP PGRI Pasuruan. Subjek penelitian adalah sumber utama penelitian yang memiliki data penelitian. Dalam penelitian kualitatif, teknik sampling yang sering digunakan adalah purposive sampling dan snowball sampling. Adapun subjek penelitian yang akan penulis ambil sebagai sampel adalah orang yang mengetahui, memahami, dan mengalami permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini. Subjek yang dimaksud adalah: 1) Dr. Hj. Dies Nurhayati, M.Pd selaku ketua STKIP PGRI Pasuruan 2) Drs. Supriyo, M.Pd selaku pembantu ketua 2 bidang administrasi umum dan keuangan STKIP PGRI Pasuruan 3) Dra. Irfah Rasyida, MM selaku pustakawan, Diah Anita, M.Pd selaku laboran, Sugianti, S.Pd selaku kepala BAU STKIP PGRI Pasuruan 4) Drs. Nurus Sobakh, SE,MM selaku dosen ekonomi, M. Yudi H R, SS, M.Pd selaku dosen bahasa inggris, M. Zaini, M.Pd selaku dosen bahasa indonesia di STKIP PGRI Pasuruan 5) Adi selaku kepala keamanan STKIP PGRI Pasuruan 6) Narko selaku penjual di food corner STKIP PGRI Pasuruan 7) Mirna fidatusyaida (prodi matematika), Septian Indra Pratama (prodi bahasa dan sastra Indonesia), Agus Wijayanto (prodi ekonomi), Hirin Muzaki (prodi bahasa inggris), Vina (prodi PKN) sebagai mahasiswa STKIP PGRI Pasuruan
Prosedur Pengumpulan data Untuk mendapatkan data-data yang akurat dalam penelitian maka dalam hal ini digunakan beberapa teknik pengumpulan data sebagai berikut:
In-depth interview (Wawancara mendalam). Wawancara mendalam dilakukan secara berkali-kali dan membutuhkan waktu yang lama bersama informan di lokasi penelitian (bungin, 2012; 111). Informan dalam penelitian ini adalah
264
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
beberapa anggota personil STKIP PGRI Pasuruan sebagaimana sudah tertera di subjek penelitian. Wawancara yang dilakukan untuk mendapatkan data tentang pengelolaan sarana dan prasarana, upaya manajemen sarana dan prasarana, dan factor pendukung dan penghambat manajemen sarana dan prasarana dalam peningkatan proses pembelajaran.
Metode observasi Metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan pengindraan (Bungin, 2012; 118) Penulis melakukan observasi ini untuk mendapatkan data tentang keadaan kelengkapan sarana dan prasarana dalam meningkatkan proses pembelajaran di STKIP PGRI.
Metode Dokumentasi. Metode yang digunakan untuk menelusuri data historis (Bungin, 2012; 124), dimana penulis menggunakan metode ini untuk mendapatkan sumber data yang berkaitan dengan penelitian, profil perguruan tinggi, struktur organisasi, visi dan misi, keadaan dosen, mahasiswa, karyawan, sarana prasarana dalam meningkatkan proses pembelajaran serta dokumen lain yang berkaitan dengan permasalahan penelitian.
Analisis Data. Menurut Robert C. Bogdan (2007) Analisis data kulitatif adalah proses secara sistematis mencari dan mengola berbagai data yang bersumber dari wawancara, pengamatan lapangan, dan kajian dokumen (pustaka) untuk menghasilkan suatu laporan temuan penelitian.
Pengecekan Keabsahan Temuan Menurut Moleong (dalam Bungin, 2012;262) pengujian keabsahan temuan meliputi: 1) Perpanjangan keikutsertaan, 2) Ketekunan pengamatan, 3) Triangulasi, 4) Pengecekan sejawat, 5) Kecukupan referensional, 6) Kajian kasus negatif, 7) Pengecekan anggota. Peneliti melakukan pengecekan data dengan sumber yang sama tetapi dengan metode yang berbeda. Dari hasil wawancara, penulis cocokan dengan observasi dan dokumentasi. Hasil yang didapat yaitu kecocokan data yang disampaikan dengan apa yang peneliti lihat dan dapatkan berupa dokumentasi.
Tahap-tahap penelitian a. b.
c. d.
Proses pelaksanaan penelitian melaui tahapan-tahapan sebagai berikut: Penelitian pendahuluan, dengan menentukan masalah penelitian. Pengembangan desain, dengan pengumpulan data dengan istrumen yang telah dipersiapkan sebelumnya. Pada tahap ini peneliti mulai terjun ke lapangan untuk menggali informasi tentang sarana prasarana serta proses pembelajaran di STKIP PGRI Pasuruan dengan menggunakan metode yang telah ditetapkan. Penelitian sebenarnya, dengan analisis dan penyajian data yaitu menganalisa data dan akhirnya ditarik suatu kesimpulan Tahap pelaporan, peneliti membuat laporan.
Hasil Penelitian Keadaan kelengkapan sarana dan prasarana dalam meningkatkan proses pembelajaran di STKIP PGRI Pasuruan Sarana prasarana merupakan hal yang penting dalam dunia pendidikan. Keberadaannya selalu ditinjau kelengkapannya untuk meningkatkan mutu suatu lembaga pendidikan. STKIP PGRI Pasuruan termasuk salah satu Sekolah Tinggi yang menuju Universitas yang sudah
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
265
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
memenuhi kelengkapan sarana prasarana dan terus melakukan pembenahan dalam meningkatkan proses pembelajaran.
Manajemen Sarana Prasarana Di STKIP PGRI Pasuruan a. Pengadaan dan Inventarisasi STKIP PGRI Pasuruan merupakan Perguruan Tinggi Swasta yang sedang menuju Universitas, dalam hal ini STKIP PGRI Pasuruan sedang melaksanakan program peningkatan mutu STKIP PGRI Pasuruan ke arah Universitas melalui pelaksanaan manajemen sarana prasarana yang baik yakni proses pengadaan, penggunaan, pemeliharaan, inventarisasi, dan pengahapusan sarana prasarana oleh pihak BAU (Bidang Administrasi Umum) dan Pembantu Ketua II. b. Penggunaan Selain perencanaan dan pengadaan sarana prasarana, ada juga proses penggunaan, pemeliharaan, inventarisasi, dan penghapusan. Dalam penggunaan sarana prasarana dalam proses pembelajaran sangat bervariatif, semua sarana prasarana dapat dijadikan sebagai alat atau media pembelajaran tergantung dari strategi atau metode yang digunakan oleh dosen dalam mengajar, selain itu faktor materi ajar juga berpengaruh dalam menentukan penggunaan sarana prasarana. Dalam hal ini pemilihan dalam penggunaan sarana prasarana sangat menentukan keberhasilan proses pembelajaran, disini dosen mempunyai peranan yang penting, dibutuhkan kreativitas dosen dalam pembelajaran, sehingga tujuan pembelajaran yang selama ini diinginkan dapat terwujud dengan baik. c. Pemeliharaan dan penghapusan Semua sarana prasarana yang telah dimiliki hendaknya dirawat dan dijaga dengan baik supaya tidak cepat rusak dan tahan lama. Dengan pemeliharaan yang baik terhadap sarana dan prasarana yang dimiliki maka sarana prasarana pendidikan yang dimiliki akan selalu dalam keadaan siap pakai sehingga dapat dipakai kapan saja saat dibutuhkan. Dengan sarana prasarana yang selalu dalam kondisi siap pakai itu semua civitas akademika dapat dengan lancar menjalankan tugasnya masing-masing. Dalam rangka itu, tentunya semua perlengkapan bukan saja ditata sedemikian rupa melainkan juga dipelihara dengan sebaik-baiknya. Dalam proses pemeliharaan barang di STKIP PGRI Pasuruan diserahkan kepada pihak-pihak yang bertanggung jawab pada masing-masing sarana. Proses ini menyangkut pendistribusian, penggunaan dan peminjaman sarana dan prasarana oleh civitas akademika yang membutuhkannya, peletakan sarana prasarana sesuai dengan tempatnya, serta perawatan sarana prasarana agar dapat berhasil guna dengan baik.
Upaya manajemen sarana prasarana yang dilakukan STKIP PGRI Pasuruan dalam meningkatkan proses pembelajaran. a. Pemenuhan standar Dalam melaksanakan manajemen sarana prasarana yang baik, berbagai upaya dalam perbaikan sarana prasarana terus dilakukan oleh STKIP PGRI Pasuruan demi meningkatkan proses pembelajaran maupun peningkatan mutu STKIP PGRI Pasuruan. Menyangkut upaya yang dilakukan oleh STKIP PGRI Pasuruan dalam manajemen sarana prasarana adalah berupaya untuk memenuhi standar Sekolah Tinggi yang telah di tentukan oleh Pemerintah. b. Peninjauan Ulang Dan Pemenuhan Kelengkapan Sarana Prasarana Upaya terbaik dilakukan oleh STKIP PGRI Pasuruan untuk memberikan pelayanan terbaik tarhadap sarana prasarana yang ada, karena tidak dapat di pandang sebelah mata bahwa
266
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
manajemen sarana prasarana mempunyai peranan penting dalam peningkatan proses pembelajaran maupun mutu dari STKIP PGRI Pasuruan
Faktor Pendukung dan Penghambat Manajemen Sarana Prasarana dalam Meningkatkan Proses Pembelajaran di STKIP PGRI Pasuruan. Suatu program yang telah direncanakan tidak akan bisa berjalan/berhasil secara maksimal jika tersedia faktor pendukung, sedangkan faktor pendukung bisa berasal dari internal maupun eksternal, antara lain: a. Tenaga ahli yang handal Faktor pendukung manajemen sarana dan prasarana pendidikan dalam meningkatkan proses pembelajaran tidak hanya berupa dana saja, akan tetapi partisipasi dan kerjasama seluruh stakeholders dalam hal apapun juga sangat dibutuhkan. Adapun faktor pendukung manajemen sarana dan prasarana pendidikan dalam meningkatkan proses pembelajaran di STKIP PGRI Pasuruan adalah pelaksanaan manajemen sarana dan prasarana pendidikan ditangani oleh tenaga-tenaga administrasi yang ahli dalam bidangnya yang bekerjasama dalam proses pengadaan, pemeliharaan, serta penghapusan barang demi terealisasinya program Sekolah Tinggi. b. Kerjasama tim dan pendanaan Dalam melaksanakan suatu manajemen kerjasama pihak-pihak yang terkait dalam manajemen tersebut merupakan tolak ukur keberhasilan suatu program, di STKIP PGRI Pasuruan kerjasama tim dalam manajemen sarana prasarana merupakan salah satu faktor pendukung keberhasilan manajemen sarana prasarana dalam memenuhi kebutuhan sarana prasarana. Selain faktor-faktor yang dapat mendorong pelaksanaan manajemen sarana prasarana, terdapat pula beberapa faktor penghambat dalam pelaksanaan manajemen sarana prasarana, antara lain: a. Kurangnya Tenaga Ahli dan Pemakai Yang Tidak Sesuai Dengan Spesifikasi Teknis Dalam pemakaian sarana yang berbasis IT, pemakai yang tidak sesuai dengan spesifikasi teknis atau kurangnya pengetahuan mengakibatkan banyak barang yang disediakan cepat mengalami kerusakan. Selain itu, tenaga administrasi manajemen sarana prasarana yang kurang memadai dan kurangnya perhatian dan rasa memilki dari civitas akademik dapat menghambat pelaksanaan manajemen sarana prasarana. b. Pemenuhan Standar Menuju Universitas Untuk menuju Universitas, STKIP PGRI Pasuruan harus melakukan tata ulang manajemen sarana prasarana sesuai dengan standar Universitas, hal ini merupakan salah satu kendala yang menjadi faktor penghambat dalam pelaksanaan manajemen sarana prasarana. c. Tata Letak Gedung Dalam pembangunan sarana prasarana gedung tata letak akan mempengaruhi kenyamanan para pemakai fasilitas. Di STKIP PGRI Pasuruan tata letak gedung perkuliahan yang dekat dengan food corner berakibat pada kendala dalam proses pembelajaran.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
267
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Dalam kondisi baik dan terus melakukan pembenahan Keadaan kelengkap an sarana prasarana dalam meningkat kan proses pembelaja ran di STKIP PGRI Upaya Pasuruan. manajemen
Disesuaikan inventarisasi tahun lalu, pendanaan, pembuatan proposal, dan pembagian jobdiscription
Pendataan dan pencatatan buku keluar masuk barang
Penga daan
Manajemen Sarana Prasarana Dalam Meningkatkan Proses Pembelajaran Di STKIP PGRI Pasuruan
(penjelasan terlampir di halaman berikutnya) faktor
2.
3. 4.
268
Perencanaan pengadaan sarpras mengacu pada inventarisasi pada tahuntahun sebelumnya mengenai penambahan, dan penggantian serta analisis kebutuhan sarpras melalui pengamatan dan permintaan tiap kepala unit. Pengadaan disesuaikan pendanaan yang akan dikeluarkan Membuat proposal pengadaan Apabila pengadaan disetujui maka diadakan pembagian jobdiscription melalui rapat yaitu menyangkut penenggung jawab pembelian yang bertugas mendaftar dan memelihara, penerima barang yang bertugas inventarisasi barang yang dimiliki, dan pendistribusian barang ke masing-masing kepala unit, dan kepala unit bertugas dalam pemeliharaan barang
Pendistribusi an, pemeliharaan berkala, dan pengecekan Wewenang pihak PPLPPT dalam mengelola
Pemeli haraan Pengh apusa n
Manajem en sarana prasarana di STKIP PGRI Pasuruan.
pendu kung
Tenaga ahli administra si handal Kerjasam a tim administra si dan pendanaa n baik
pendukung dan penghambat manajemen pengh sarana ambat prasarana dalam meningkatka Kurangnyn proses Pemakai Pemen a tenaga uhan pembelajara sarpras ahli n di STKIP yang standar tidak administr PGRI menuju sesuai asi Pasuruan univers spesifika itas si teknis
prasarana
1.
Peng gunaa n
invent arisasi
sarana dan prasarana yang dilakukan STKIP PGRI Pasuruan dalam Pemenu meningkatkan Peninjauan han proses ulang dan standar pembelajaran pemenuha menuju n universit kelengkapa as n sarana
PENGADAAN
Sesuai kebutuhan/mat eri ajar dan prosedur peminjaman
INVENTARIS ASI 1. Sarpras yang sudah dibeli atau yang disediaka n didata dan dimasukk an kedalam file computer. 2. Inventaris asi peminjam an atau pengguna an barang dicatat di buku keluar masuk barang
MANAJEMEN SARANA PRASARANA PENGGUNAAN 1.
2.
3.
Penggunaan sarpras disesuaikan kebutuhan agar diperoleh manfaat. Penggunaan sarpras dalam proses pembelajaran disesuaikan dengan materi pelajaran yang dipelajari. Peminjaman dan penggunaan harus memenuhi prosedur dengan menghubungi petugas yang bertangggung jawab mencatat di buku keluar masuk barang.
PEMELIHARAAN
1.
2.
3.
Pendistribusian barang pada pihak yang bertanggung jawab dengan perintah Pembantu Ketua II dan izin Ketua STKIP PGRI Pasuruan. Pemeliharaan dilaksanakan tiap hari dan secara berkala yang meliputi pengawasan, pengecekan keluar masuk barang, pencegahan kerusakan, dan pembersihan barang. Pembantu ketua II melakukan pengecekan dengan berkeliling dan atas laporan tim sarpras serta civitas akademika.
Tata letak gedung
PENGHAPUSAN
1. Apabila terjadi kerusakan sarpras maka menjadi wewenang pihak PPLPPT untuk pengelolaan meliputi diperbaiki atau diganti
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Simpulan Keadaan kelengkapan sarana prasarana yang ada di STKIP PGRI Pasuruan dalam meningkatkan proses pembelajaran dalam keadaan baik, memadai, dan sudah dalam keadaan standar Sekolah Tinggi meskipun masih banyak terjadi kerusakan dan terus diupayakan pembenahan. Manajemen sarana prasarana dalam meningkatkan proses pembelajaran di STKIP PGRI Pasuruan, meliputi pengadaan sarana dan prasarana dilakukan dengan cara perencanaan pengadaan barang dengan analisis kebutuhan akan sarana dan prasarana menampung aspirasi tiap Kepala Unit/melalui observasi langsung oleh staf BAU dan Pembantu Ketua II tentang sarana prasarana yang dibutuhkan, sarana dan prasarana diperoleh dengan cara pembelian, pendayagunaan sarana dan prasarana bervariasi dan pemakaiannya sesuai dengan kebutuhan dan penggunaan sarana dan prasarana dalam pembelajaran disesuaikan dengan materi yang akan dipelajari. Dalam peminjaman barang semua civitas akademik terlebih dahulu menghubungi petugas dan mengisi buku daftar peminjaman. Pemeliharaan sarana dan prasarana dilaksanakan setiap hari dan secara berkala. Pemeliharaan sehari-hari meliputi pengecekan dan pembersihan sarana dan prasarana sedangkan pemeliharaan secara berkala meliputi pengawasan, pemeliharaan yang bersifat pencegahan serta perbaikan sarana dan prasarana. Pemeliharaan dilakukan secara teratur agar selalu dalam keadaan siap pakai ketika dibutuhkan, penghapusan sarana prasarana dilakukan oleh pihak PPLP-PT sehingga barang yang rusak tidak bisa segera dibenahi tanpa keputusan pihak PPLP-PT, dengan demikian banyak barang-barang yang rusak didiamkan tanpa pembenahan secara cepat. Upaya manajemen sarana prasarana dalam meningkatkan proses pembelajaran di STKIP PGRI Pasuruan adalah dengan pemenuhan standar dari standar Sekolah Tinggi menjadi standar Universitas dan juga memenuhi kelengkapan sarana prasarana yang kurang ataupun yang belum dimiliki dengan melakukan pembangunan dan pembelian. Faktor pendorong manajemen sarana prasarana dalam meningkatkan proses pembelajaran di STKIP PGRI Pasuruan antara lain tenaga ahli yang handal yang dimiliki STKIP PGRI Pasuruan untuk menangani pengelolaan sarana prasarana, kerjasama tim, dan dukungan pendaan dalam penyediaan sarana prasarana. Sedangkan faktor penghambat manajemen sarana prasarana adalah kurangnya tenaga ahli dan pemakai yang tidak sesuai
dengan spesifikasi teknis serta tata letak gedung. Daftar Pustaka Alex Aldha Yudi.2012.Pengembangan Mutu Pendidikan Ditinjau Dari Segi Sarana Dan Prasarana.Jurnal Sarana Dan Prasarana,(online), 9 (1): 3-4, (www.ppmunpak.web.id)), diakses 4 Pebruari 2014 Arief S.2009. Media Pendidikan.Jakarta: Rajawali Pers Arikunto, Suharsimi & Lia Yuliana. 2008. Manajemen Pendidikan.Yogyakarta: Aditya Media. Barnawi & Arifin, M.2012.Manajemen Sarana Prasarana Sekolah.Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Bungin, Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana Hariyanto. 2011. Analisis dan Intepretasi Data Kualitatif serta pemeriksaan. (online),(http://www.academika.edu/1422518/analisis_dan_intepretasi_dat a_kualitatif_sertapemeriksaan keabsahan data), diakses 11 Maret 2014 Lexy J Moleong. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosda Karya. Minarti, Sri.2011. Manajemen Sekolah Mengelola Lembaga Pendidikan Secara Mandiri.Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
269
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Muhibbin. 2010. Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru.Bandung: Rosda Karya. Mulyasa, E. 2009. Manajemen Berbasis Sekolah.Bandung: Rosda Karya Mulyono. 2010. Manajemen Administrasi Dan Organisasi Pendidikan.Solo: Ar-Ruzz Media. Salinan Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia. Standar Nasional Pendidikan Tinggi.(online),(www.dikti.go.id), diakses 4 Pebruari 2014 Sugiono. 2009. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Sarana Prasarana.Bandung: Citra Umbara Warsita, Bambang. 2008. Tekonologi Pembelajaran, Landasan dan Aplikasinya. Jakarta: Rineka Cipta Yusuf, Ahmad. 2012. Metodologi Penelitian Kualitatif, (online), (web.Unair.ac.id), diakses 11 Maret 2014 Zain.2013.SaranadanPrasarana.(online),(http://gadogadozaman.blogspot.com/2013/06/manaje men-sarana-dan prasarana.html), diakses 20 pebruari 2014.
270
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Pengaruh Gaya Kepemimpinan Demokratis Terhadap Kinerja Pengurus Koperasi Karpindo PPLP PT PGRI Jombang Munawaroh 22 ([emailprotected]) Abstract The purpose of this study is to explain the existence of a democratic leadership style influence on the performance of the board Cooperative Karpindo PPLP PT PGRI Jombang. Method used by the researchers is Simple Linear Regression analysis with SPSS 16.0 for Windows. The population in this study were all cooperative management Karpindo which amounted to 7 people. While the data collection technique using observation, interview and questionnaire. The results of data analysis showed that the correlation of X and Y is equal to 0.074 means that the influence of these two variables is weak. Democratic leadership style does not have a significant effect on the performance of the board Cooperative Karpindo PPLP PT PGRI Jombang by 6% and 94% are influenced by other factors such as the individual's ability, motivation, solidarity among administrators, and educational level. Keywords: Democratic Leadership Style, Performance Board Abstrak Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan ada tidaknya pengaruh gaya kepemimpinan demokratis terhadap kinerja pengurus Koperasi Karpindo PPLP PT PGRI Jombang. Metode penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah analisis Uji Regresi Linier Sederhana dengan bantuan software SPSS 16.0 for windows. Populasi dalam penelitian ini adalah semua pengurus koperasi Karpindo yang berjumlah 7 orang. Sedangkan teknik pengumpulan datanya dengan menggunakan observasi, wawancara dan penyebaran angket. Hasil analisis data diperoleh bahwa nilai korelasi X dan Y adalah sebesar 0,074 artinya pengaruh kedua variabel tersebut lemah. Gaya kepemimpinan demokratis tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja pengurus Koperasi Karpindo PPLP PT PGRI Jombang sebesar 6% dan 94% dipengaruhi oleh faktor lain seperti kemampuan individu, motivasi, solidaritas antar pengurus, dan tingkat pendidikan. Kata Kunci: Gaya Kepemimpinan Demokratis, Kinerja Pengurus
Pendahuluan Koperasi merupakan lembaga dimana orang-orang yang memiliki kepentingan relatif homogen berhimpun untuk meningkatkan kesejahteraan. Konsepsi demikian mendudukkan koperasi sebagai badan usaha yang cukup strategis bagi anggota dalam mencapai tujuan ekonomis yang pada gilirannya berdampak kepada masyarakat secara luas. Akan tetapi dari tahun ke tahun jumlah koperasi yang ada di tanah air berkurang bahkan gulung tikar. Penyebab koperasi gulung vakum adalah salah urus, dibentuk hanya untuk mendapatkan program kredit dan yang paling dominan koperasi dililit utang akibat salah urus manajemen, menurut Sesmen Koperasi dan UKM. Guru Besar Ikopin Bandung, Prof Dr Yuyun Wirasasmita menyebutkan, kelemahan koperasi bukan kelemahan kaidah namun dikarenakan adanya penyimpangan dari kaidah koperasi sehingga membuat badan usaha itu tidak efektif. Menurut teori keberhasilan koperasi salah satunya adalah kinerja pengurus. Pengurus dalam koperasi mempunyai kedudukan yang sangat menentukan bagi keberhasilan koperasi sebagai organisasi ekonomi yang berwatak sosial. Pengurus koperasi dipilih dari dan oleh 22
Dosen Prodi. Pendidikan Ekonomi STKIP PGRI Jombang
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
271
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
anggota koperasi dalam rapat anggota. Oleh karena itu kinerja pengurus mempunyai kedudukan yang menentukan keberhasilan koperasi. Dengan pengurus yang memiliki kompetensi baik akan dapat membuat koperasi berkembang menjadi lebih baik. Tidak hanya itu hubungan antara pimpinan dan karyawan/pengurus sangat diperlukan untuk menunjang kinerja perusahaan dan sesuai dengan tujuan. Pemimpin juga berguna sebagai pemantau para karyawannya dan menyelaraskan gaya kepemimpinan demokratis yang dapat meningkatkan kinerja karyawan/pengurus secara maksimal, agar dapat mencapai tujuan koperasi. Gaya kepemimpinan demokratis sudah banyak diterapkan di berbagai perusahaan dan organisasi tidak menutup kemungkinan kegagalan dalam usaha yang didirikan akan dialami oleh perusahaan dan organisasi. Apabila itu terjadi keadaan bagi perusahaan dan organisasi yang menerapkan kepemimpinan demokratis akan mengalami kerugian yang tidak sedikit. Disamping itu gaya kepemimpinan akan mempengaruhi bawahan organisasi ,karena sejatinya pemimpin berpengaruh besar terhadap sukses tidaknya organisasi yang dipimpin. Apabila kepemimpinannya baik bisa mempengaruhi bawahannya akan tugas yang harus dilaksanakan maka bawahan melaksanakan tugas dengan baik pula. Begitu pentingnya disiplin kerja bagi setiap instansi di lingkungan pemerintah maupun swasta, maka pimpinan harus dapat memberikan motivasi kepada pegawai agar dapat menjalankan segala aturan yang diberlakukan. Pemerintah mempunyai peran sangat besar dalam pembuatan program pembentukan karakter kepemimpinan. Tanggung jawab pemerintah tidak sekedar membuat program tersebut tetapi yang lebih penting justru identifikasi apakah program sudah sesuai dengan yang dibutuhkan masyarakat untuk bisa berkreasi dan produktif. Pengukuran kinerja secara periodik sangat perlu dilakukan untuk mengidentifikasi tingkat kesenjangan yang terjadi. Kinerja merupakan konsep yang multidimensional dan banyak dipengaruhi berbagai macam faktor. Ukuran kinerja yang layak bagi organisasi koperasi ini tidak sekedar bersifat finansial (input). Selanjutnya monitoring kinerja perlu dilakukan sebagai alat untuk mengevaluasi apakah pembentukan karakteristik jiwa kepemimpinan sudah sesuai dengan apa yang dibutuhkan masyarakat yang ingin belajar . Monitoring kinerja dapat juga digunakan untuk mengidentifikasi apakah pengaruh yang diberikan pimpinan sudah baik. Dengan dilakukan monitoring kinerja secara berkelanjutan, sebenarnya akan membantu meningkatkan efisiensi dan efektivitas gaya kepemimpinan demokratis itu sendiri. Jiwa kepemimpinan tidak hanya dibutuhkan oleh masyarakat melainkan penting pula untuk pemimpin suatu perusahaan atau organisasi guna meningkatkan efisiensi dan efektivitas tujuan yang ingin dicapai. Tidak hanya itu, karakter seorang pemimpin apabila sudah baik maka kinerja pengurus koperasi juga akan tercermin oleh gaya kepemimpinan yang dipakai yaitu gaya kepemimpinan demokratis karena seyogyanya pemimpin tugasnya adalah mempengaruhi pegawai guna mencapai tujuan yang sudah ditargetkan. Tujuan dari sebuah koperasi salah satunya adalah mensejahterakan anggotanya, apabila kepemimpinan suatu koperasi itu bisa mempengaruhi pengurus/pegawai maka tujuan tersebut akan terwujud, Koperasi Karpindo PPLP PT PGRI Jombang yang anggotanya berasal dari STKIP PGRI Jombang dan STIE Dewantara Jombang yang beranggotakan 133 orang. Koperasi Karpindo PPLP PT PGRI Jombang sementara hanya menangani bidang simpan pinjam. Permodalan pada
272
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
koperasi karpindo mengalami kemajuan yang pesat hingga saat ini mencapai satu milyar lebih dengan pertumbuhan modal sendiri mencapai Rp. 663.430.000. Untuk mengurangi resiko usaha simpan pinjam Koperasi Karpindo menempuh beberapa cara:1) kerjasama dengan Asuransi Bumi Putera yaitu asuransi kumpulan yang dikelola oleh asuransi Bumi Putera, artinya setiap anggota secara otomatis mendapatkan perlindungan berupa penghapusan Pinjaman anggota apabila meninggal sesuai dengan ketentuan yang berlaku 2) Mengatasi kelalaian pinjaman, artinya memberlakukan pinjaman berdasarkan kemampuan anggota untuk mengembalikan dengan cara pemotongan gaji, 3) menganalisa pengajuan pinjaman dengan meminta persetujuan pembantu Ketua II 4) Memotong simpanan apabila tidak membayar pinjaman sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Melihat perkembangan dari koperasi karpindo berkembang cukup pesat dapat dikatakan kinerja pengurus maupun anggota koperasisudah baik. Tidak hanya itu, kepemimpinan yang diterapkan adalah kepemimpinan demokratis, sehingga gaya kepemimpinan tersebut bisa diterima oleh pengurus koperasi Karpindo karena gaya kepemimpinan demokratis tidak terfokus pada pimpinannya saja yang ikut andil dalam kebijakan koperasi, melainkan pengurus/anggotanya diikut sertakan dalam hal memberi kebijakan ataupun ide untuk memajukan koperasi Karpindo. Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah: adakah pengaruh gaya kepemimpinan demokratis terhadap kinerja pengurus koperasi Karpindo PPLP PT PGRI Jombang. Sedangkan tujuan yang hendak di capai adalah untuk menjelaskan ada tidaknya pengaruh gaya kepemimpinan demokratis terhadap kinerja pengurus koperasi Karpindo PPLP PT PGRI Jombang
Landasan Teori Gaya Kepemimpinan Demokratis Seorang pemimpin yang demokratis menyadari benar–benar bahwa akan timbul kecenderungan di kalangan para pejabat pimpinan yang lebih rendah dan di kalangan para anggota organisasi untuk melihat peranan satuan kerja di mana mereka berada sebagai peranan yang paling penting, paling strategis dan paling menentukan keberhasilan organisasi mencapai berbagai sasaran organisasional (Sondang, 2010: 41). Seorang pemimpin yang demokratis dihormati dan disegani dan bukan ditakuti karena perilakunya dalam kehidupan organisasional. Perilakunya mendorong para bawahannya menumbuhkan dan mengembangkan daya inovasi dan kreativitasnya, dengan sungguh – sungguh pemimpin yang demokratis mendengarkan pendapat, saran dan bahkan kritik orang lain terutama para bawahan. Bahkan pemimpin yang demokratis tidak akan takut membiarkan para bawahan berprakarsa meskipun ada kemungkinan prakarsa itu akan berakibat pada kesalahan. Jika terjadi kesalahan, pimpinan yang demokratis berada di samping bawahan yang berbuat kesalahan itu bukan untuk menindak atau menghukumnya, melainkan meluruskan sedemikian rupa sehingga bawahan tersebut belajar dari kesalahan itu dan dengan demikian menjadi anggota organisasi yang lebih bertanggung jawab. Satu lagi karakteristik penting seorang pemimpin yang demokratis yang sangat positif ialah cepat ia menunjukkan penghargaan kepada bawahan yang berprestasi tinggi. Penghargaan itu dapat mengambil berbagai bentuk seperti kata-kata pujian, tepukan pada bahu bawahan itu, mengeluarkan piagam penghargaan, kenaikan pangkat atau bahkan juga mengkin promosi jabatan jika keadaan memungkinkan. Seorang pemimpin yang demokratis akan sangat bangga
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
273
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
bila para bawahannya menunjukkan kemampuan kerja yang bahkan lebih tinggi dari kemampuannya sendiri (Sondang, 2010: 43-44). Adapun kinerja adalah pelaksanaan suatu pekerjaan dan penyempurnaan pekerjaan tersebut sesuai dengan tanggung jawabnya sehingga dapat mencapai hasil sesuai dengan yang diharapkan (Rivai dan Basri, 2005:14).
Pengertian Kinerja Kinerja adalah tingkatan keberhasilan seseorang atau keseluruhan selama periode tertentu di dalam melaksanakan tugas dibandingkan dengan berbagai kemungkinan, seperti standar hasil kerja, target atau sasaran atau kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu dan telah disepakati bersama (Rivai dan Basri, 2005:14). Kinerja karyawan adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya (Mangkunegara, 2005:67). Kinerja berasal dari kata job performance atau actual performance (prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang dicapai seseorang) yaitu hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya (Mangkunegara, 2005:75). Lebih lanjut Mangkunegara (2005:75) menyatakan bahwa pada umumnya kinerja dibedakan menjadi dua, yaitu kinerja individu dan kinerja organisasi. Kinerja individu adalah hasil kerja karyawan baik dari segi kualitas maupun kuantitas berdasarkan standar kerja yang telah ditentukan, sedangkan kinerja organisasi adalah gabungan dari kinerja individu dengan kinerja kelompok. Kinerja karyawan adalah hasil pekerjaan atau kegiatan seorang pegawai secara kuantitas dan kualitas untuk mencapai tujuan organisasi yang menjadi tugas dan tanggungjawabnya dimana tugas pegawai negeri adalah bersifat pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat (Sondang,2003:3). Agar seseorang dapat mencapai kinerja yang tinggi tergantung pada keuletan, konsistensi, kedisiplinan, mau menerima saran dari orang lain, kepemimpinan, kerjasama antar rekan kerja, pemgetahuan pekerjaan dan ketangguhan.
Pengukuran Kinerja Pengukuran kinerja merupakan suatu alat manajemen yang digunakan untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan akuntabilitas. Pengukuran kinerja juga digunakan untuk menilai pencapaian tujuan dan sasaran. Pengukuran kinerja digunakan untuk penilaian atas keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan kegiatan, program dan kebijakan sesuai dengan sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan dalam rangka mewujudkan misi dan visi organisasi. Karenanya, sudah merupakan suatu hal yang mendesak untuk menciptakan system yang mampu untuk mengukur kinerja dan keberhasilan organisasi. Untuk dapat menjawab pertanyaan tingkat keberhasilan organisasi, maka seluruh aktivitas organisasi tidak semata-mata kepada input dari program organisasi, tetapi lebih ditekankan kepada output, proses, manfaat, dan dampak program orgaisasi (Sedarmayanti, 2007:195). Sistem pengukuran kinerja membantu pimpinan dalam memantau implementasi strategis kegiatan dengan cara membandingkan antara hasil aktual dengan sasaran dan tujuan strategis. Sistem pengukuran kinerja biasanya terdiri dari metode sistematis dalam penetapan sasaran dan tujuan dan pelaporan periodik yang mengindikasikan realisasi atas pencapaian sasaran tujuan.
274
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Pengukuran kinerja merupakan metode menilai kemajuan yang telah dicapai dibandingkan dengan tujuan yang telah ditetapkan. Pengukuran kinerja tidak dimaksudkan berperan sebagai mekanisme untuk memberikan penghargaan atau hukuman, akan tetapi pengukuran kinerja berperan sebagai alat komunikasi dan alat menajemen untuk memperbaiki kinerja organisasi (Sedarmayanti, 2007:196).
Metode Penelitian Rancangan penelitian yang peneliti gunakan adalah jenis penelitian kuantitaif dengan uji regresi linier sederhana yang tujuannya untuk menjelaskan pengaruh gaya kepemimpinan demokratis terhadap kinerja pengurus Koperasi Karpindo PPLP PT PGRI Jombang dengan desain penelitian sebagai berikut:
Gaya Kepemimpinan Demokratis (X)
Kinerja Pengurus (Y)
Gambar 3.1 variabel X mempengaruhi variabel Y
Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah semua pengurus koperasi sekunder Mitra Tani . Populasi yang hendak di teliti terdiri dari 7 orang pengurus koperasi sekunder Mitra Tani. Karena populasi kurang dari 100 maka sampel ditiadakan.
Variabel Penelitian Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Variabel bebas (X) Variabel bebas dalam penelitian ini adalah gaya kepemimpinan demokratis. dengan indikator: tipe kepemimpinan, pengambilan keputusan, fungsi kepemimpinan, bersikap ramah , mudah ditemui, controlling, Komunikasi, kemampuan memotivasi bawahan 2. Variabel terikat (Y) Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kinerja pengurus. dengan indikator: Kesetiaan, prestasi kerja, kedisiplinan, kerjasama, kreatifitas, kecakapan, tanggungjawab, kepribadian
Metode Pengumpulan Data Metode Pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti adalah observasi, wawancara dan angket dengan 5 alternatif jawaban dan di ujivaliditas dan reliabilitas. Dari hasil uji validitas menunjukkan bahwa untuk butir variabel independen dapat diketahui bahwa keseluruhan dari 20 butir pertanyaan yang diuji, ada 12 butir pertanyaan menunjukkan hasil yang valid. Sedangkan yang tidak valid ada 8 butir dihapus karena 12 butir pertanyaan sudah mewakili indikator. Untuk variabel dependen dapat diketahui bahwa 20 butir pertanyaan yang diuji, ada 15 butir pertanyaan yang menunjukkan hasil sedangkan yang tidak valid ada 5 butir pertanyaan dihapus karena 15 butir pertanyaan sudah mewakili indikator. Adapun hasil analisis uji reliabilitas variabel dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel berikut:
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
275
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Tabel 1 Hasil Uji Reliabilitas angket penelitian Variabel Cronbach Alpha Independent (Gaya Kepemimpinan 0,964 Demokratis) Dependent (Kinerja Pengurus)
0,986
Keterangan Reliabel Reliabel
Sumber: hasil penelitian yang sudah diolah dari program SPSS tahun 2014 Teknik Analisis Data Teknik Analisis data yang peneliti gunakan adalah dengan menggunakan uji regresi linier sederhana dengan rumus sebagai berikut:
Y = a+b.X+e Keterangan: Y = variable terikat (kinerja organisasi) X = variable bebas (gaya kepemimpinan demokratis) a = konstanta b = koefisien regresi e = standard estimation of error (kesalahan prediksi) Peneliti menggunakan software SPSS 16 for windows untuk membantu mengetahui variabel X (variabel bebas) yaitu Gaya Kepemimpinan Demokratis dengan variabel Y (variabel terikat) yaitu kinerja organisasi.
Hasil Penelitian Jumlah responden yang peneliti gunakan adalah 7 responden dari seluruh karyawan Koperasi Karpindo yang ditemui selama 3 hari dan seluruh kuesioner kembali dan layak untuk dianalisis. Pada variabel gaya kepemimpinan demokratis indikator tipe kepemimpinan demokratis mendapat responden paling dominan. Dilihat dari angka yang diperoleh dari tabulasi hasil angket dengan nilai sebesar 71,4% yang menyatakan bahwa pimpinan Koperasi Karpindo senang menerima saran dari bawahan. Pernyataan ketidaksetujuan pada variabel gaya kepemimpinan demokratis yang paling dominan terdapat pada indikator fungsi kepemimpinan yang menyatakan bahwa pimpinan koperasi Karpindo sulit untuk ditemui. Dengan nilai sebesar 28,5% dari nilai tabulasi data angket. Pada variabel kinerja pengurus indikator kesetiaan mendapat responden yang paling dominan. Dilihat dari angka yang diperoleh dari tabulasi hasil angket dengan nilai sebesar 71,4% yang menyatakan bahwa pengurus dapat menjaga nama baik instansi. Pernyataan ketidaksetujuan pada variabel kinerja pengurus terdapat pada indikator kerjasama yang menyatakan bahwa petugas bertanggung jawab dalam melayani anggota. Dengan nilai sebesar 42,8% dari nilai tabulasi data angket.
276
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Tabel 2. Data Hasil Penelitian Angket No. Responden Variabel X Variabel Y 1 Res 1 60 47 2 Res 2 36 58 3 Res 3 46 51 4 Res 4 54 75 5 Res 5 52 75 6 Res 6 57 63 7 Res 7 53 62 Sumber: data yang diolah peneliti dari hasil kuesioner tahun 2014
Analisa Regresi Linier Sederhana Pengujian hipotesis menggunakan analisa regresi linier sederhana digunakan untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh gaya kepemimpinan demokratis terhadap kinerja pengurus yang dapat diinterprestasikan sebagai berikut: Tabel 3. Hasil Uji Regresi Linier Sederhana (deskripsi statistik) Descriptive Statistics Mean
Std. Deviation
N
Kinerja pengurus
61.5714
10.79903
7
Gaya kepemimpinan demokratis
51.1429
7.96719
7
Hasil analisis descriptive diketahui rerata kinerja pengurus sebesar 61,57 atau dalam kategori tinggi berdasarkan interval 1 sampai dengan 100. Rerata gaya kepemimpinan demokratis berada pada nilai 51,14 yang mempunyai arti gaya kepemimpinan demokratis Koperasi Karpindo dapat dikategorikan tinggi berdasarkan interval 1 sampai dengan 100. Tabel 4. Hasil Uji Regresi Linier Sederhana (korelasi) Correlations Gaya kepemimpina n demokratis
Kinerja pengurus Pearson Correlation
Kinerja pengurus
Sig. (1-tailed)
Gaya kepemimpinan demokratis Kinerja pengurus
N
Gaya kepemimpinan demokratis Kinerja pengurus Gaya kepemimpinan demokratis
1.000
.074
.074
1.000
.
.437
.437
.
7
7
7
7
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
277
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Hasil pengujian dapat diketahui nilai korelasi X dan Y adalah sebesar 0,074 artinya hubungan kedua variabel tersebut rendah. Korelasi positif menunjukkan bahwa hubungan antara Gaya Kepemimpinan Demokratis dengan Kinerja Pengurus searah. Untuk melihat hubungan antara variabel antara Gaya Kepemimpinan Demokratis dengan Kinerja Pengurus signifikan atau tidak dapat dilihat dari angka probabilitas (sign). Jika angka probabilitas < 0,05, maka ada hubungan yang signifikan antara kedua variabel, tapi jika angka probabilitas > 0,05, maka hubungan kedua variabel tidak signifikan. Pada perhitungan diatas menunjukkan nilai p value (sign) sebesar 0,437, dengan demikian dapat dikatakan bahwa Gaya Kepemimpinan Demokratis tidak berpengaruh signifikan terhadap Kinerja Pengurus (karena p value > 0,05). Tabel 5. Hasil Uji Regresi Linier Sederhana (variabel entered/removed) Variables Entered/Removedb Model 1
Variables Entered
Variables Removed
Gaya kepemimpinan demokratisa
Method
. Enter
a. All requested variables entered. b. Dependent Variable: Kinerja pengurus Keterangan: Dari tabel diatas, menunjukkan variabel yang dimasukkan adalah variabel Gaya Kepemimpinan Demokratis, sedangkan variabel yang dikeluarkan tidak ada (variabel remove-nya tidak ada).
Analisa Koefisien Determinasi (R2) Adapun koefisien determinasi (R2) digunakan untuk mengetahui seberapa besar kemampuan variabel Gaya Kepemimpinan Demokratis menjelaskan atau mempengaruhi variabel Kinerja Pengurus (Y). Tabel 6. Hasil Uji Regresi Linier Sederhana (model summary) Model Summaryb
Model 1
R .074a
R Square
Adjusted R Square
.060
-.193
Std. Error of the Estimate 11.79692
a. Predictors: (Constant), Gaya kepemimpinan demokratis b. Dependent Variable: Kinerja pengurus Hasil analisis diketahui nilai R koefisien korelasi (R) sebesar 0,074 atau sebesar 7,4% menunjukkan hubungan yang tidak seberapa signifikan antara variabel bebas dengan variabel terikat. Sedangkan koefisien determinasi (R Square) sebesar 0,060 atau sama dengan 6% yang artinya sebesar 6% variabel Gaya Kepemimpinan Demokratis dijelaskan atau dipengaruhi oleh variabel Kinerja Pengurus, sedangkan 94% dijelaskan atau dipengaruhi oleh variabel lain yang mana variabel tersebut tidak diteliti oleh peneliti.
278
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Tabel 7 Hasil Uji Regresi Linier Sederhana (anova) ANOVAb Model 1
Sum of Squares Regression Residual
Df
Mean Square
3.877
1
3.877
695.837
5
139.167
F
Sig. .028
.874a
Total 699.714 6 a. Predictors: (Constant), Gaya kepemimpinan demokratis b. Dependent Variable: Kinerja pengurus Berdasarkan uji anova atau F test, diperoleh F hitung 0,028 dengan tingkat signifikan 0,874 oleh karena probabilitas 0,874 jauh lebih besar dari 0,05 maka model regresi tidak dapat dipakai untuk memprediksi kinerja pengurus. Atau dapat dikatakan gaya kepemimpinan demokratis tidak mempunyai pengaruh dengan kinerja pengurus. Tabel 8. Hasil Uji Regresi Linier Sederhana (Coefisien) Coefficientsa Unstandardized Coefficients Model 1
B (Constant)
56.411
Gaya kepemimpinan .101 demokratis a. Dependent Variable: Kinerja pengurus
Std. Error
Standardized Coefficients Beta
T
31.235 .604
.074
Sig.
1.806
.131
.167
.874
Berdasarkan hasil pengujian diatas maka dapat dibuat persamaan regresi sebagai berikut: Y = 56,411 + 0,101 X. Dimana nilai konstanta sebesar 56,411 artinya jika gaya kepemimpinan demokratis (X) nilainya adalah 0, maka kinerja pengurus (Y) nilainya positif yaitu sebesar 56,411. Pada nilai koefisien regresi sebesar 0,101, ini menunjukkan bahwa jika ada kenaikan variabel kinerja pengurus sebesar 1% maka dapat meningkatkan kinerja pengurus sebesar 10,1%.
Analisa Uji t Penguji Hipotesis (t-Tes) digunakan untuk mengetahui tingkat signifikan antar variabel Gaya Kepemimpinan Demokratis (X) dengan variabel Kinerja Pengurus (Y). Uji signifikan untuk memeriksa benar atau tidak suatu hipotesis nol (Ho). Keputusan menolak atau menerima Ho dibuat dasar nilai statistik (Uji t) yang diperoleh dari hasil perhitungan dan dibandingkan dengan nilai tabel pada derajat bebas tertentu.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
279
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Tabel 9. Hasil Uji Regresi Linier Sederhana Coefficientsa Unstandardized Coefficients Model 1
B (Constant) Gaya kepemimpinan demokratis
Std. Error
56.411
31.235
.101
.604
Standardized Coefficients Beta
T
.074
Sig.
1.806
.131
.167
.874
a. Dependent Variable: Kinerja pengurus Hasil penelitian dapat dilihat dari nilai t hitung sebesar 0,167 dan signifikan 0,874 pada derajat kebebasan (df) = n-k-l (n adalah jumlah responden dan k adalah jumlah variabel independent ) maka df = 7-1-1=5, nilai t tabel 2,571 diperoleh dengan taraf signifikan 0,05. Dengan membandingkan t hitung dengan t tabel dapat di ketahui bahwa: - Apabila t hitung < t tabel, dengan p > α maka Ho diterima dan Ha ditolak, dengan diketahui hasil sesuai ketentuan tersebut artinya secara nyata variabel independen tidak ada pengaruh terhadap variabel dependen. - Demikian pula apabila t hitung > t tabel, dengan p < α maka Ho ditolak maka Ha diterima, dapat diartikan bahwa koefisien tersebut mempunyai pengaruh yang nyata atau variabel independen tersebut secara nyata berpengaruh tehadap variabel dependen. Karena t hitung diketahui sebesar 0,167 < dari t tabel yaitu 2,571 dengan angka probabilitas yaitu sebesar p = 0,874 dengan taraf kesalahan α = 0,05, menunjukkan berarti p > α maka artinya Ho diterima dan Ha ditolak. Jadi dapat disimpulkan bahwa tidak ada pengaruh secara signifikan antara variabel independen (gaya kepemimpina demokratis) terhadap variabel dependen (kinerja pengurus). Setelah data penelitian dianalisis dan memperoleh kesimpulan langkah selanjutnya melakukan interprestasi. Interprestasi merupakan langkah terakhir untuk mendeskripsikan atau menyajikan hasil analisis data. Dari berbagai langkah penelitian yang disajikan sebelumnya dapat di interprestasikan sebagai berikut: a) berdasarkan hasil analisis data diatas, dapat diinterprestasikan hasilnya, bahwa dari uji regresi linier sederhana diperoleh hasil pengujian dapat diketahui nilai korelasi X dan Y adalah sebesar 0,074 artinya hubungan kedua variabel tersebut rendah. Korelasi positif menunjukkan bahwa hubungan antara gaya kepemimpinan demokratis dengan kinerja pengurus; b) pada perhitungan diatas menunjukkan nilai p value (sig) 0,437, dengan demikian dapat dikatakan bahwa gaya kepemimpinan demokratis tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja pengurus (karena p value > 0,05); c) perhitungan koefisien determinasi (R square) diketahui sebesar 0,060 atau sama dengan 6% yang artinya sebesar variabel 6% gaya kepemimpinan demokratis dijelaskan atau dipengaruhi oleh variabel Kinerja Pengurus, sedangkan sisanya sebesar 94% dijelaskan atau dipengaruhi oleh variabel lain; d) pada Uji T, t hitung diketahui sebesar 0,167 < dari t table yaitu 2,571, artinya Ho ditolak dan Ha diterima. Jadi dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh positif atau secara signifikan antara 280
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
variabel independent (gaya kepemimpinan demokratis) terhadap variabel dependent (kinerja pengurus). Berdasarkan hasil analisis data yang peneliti lakukan, berhasil membuktikan bahwa gaya kepemimpinan demokratis berpengaruh terhadap kinerja pengurus. hal ini di buktikan dengan pengujian koefisien korelasi x dan y adalah sebesar 0,074 artinya pengaruh kedua variabel tersebut rendah. korelasi positif menunjukkan bahwa pengaruh antara gaya kepemimpinan demokratis dengan kinerja pengurus searah. Jadi gaya kepemimpinan demokratis berpengaruh sebesar 6% terhadap kinerja pengurus Koperasi Karpindo karena kepemimpinan demokratis tidak seberapa diperlukan dalam kinerja pengurus instansi sebuah koperasi. Karena kinerja koperasi dapat baik dikarenakan dengan adanya kerja sama dan gotong royong antar pengurus maupun anggota koperasi. Hasil signifikannya rendah dikarenakan jumlah responden yang diteliti hanya tujuh orang. Hanya sedikit karena objek yang diteliti adalah pengurus koperasi. Hal ini juga di dukung oleh adanya pengertian umum koperasi di Indonesia menurut UU nomor 17 tahun 2012, didefinisikan sebagai badan hukum yag didirikan oleh orang perseorangan atau badan hukum koperasi, dengan pemisahan kekayaan para anggotanya sebagai modal untuk menjalankan usaha, yang memenuhi aspirasi dan kebutuhan bersama di bidang ekonomi, sosial, dan budaya sesuai dengan nilai dan prinsip koperasi. Jadi kinerja operasional di koperasi semuanya adalah sama kinerjanya berdasarkan kekeluargaan. Pengertian umum menurut UU nomor 25 tahun 1992 bahwa koperasi baik sebagai gerakan ekonomi rakyat maupun sebagai badan usaha berperan serta untuk mewujudkan masyarakat yang maju, adil dan makmur berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam tata perekonomian nasional yang disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi. Suatu koperasi dalam pencapaian tujuan ditetapkan harus melalui sarana organisasi yang terdiri dari sumber daya manusia yang berperan aktif dalam mencapai tujuan organisasi atau instansi yang bersangkutan. Kinerja perorangan mempunyai hubungan yang erat dengan kinerja lembaga. Tidak hanya itu untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan koperasi atau lembaga tertentu harus bercermin pada visi, misi dan asas yang telah ditetapkan. Hasil penelitian juga didukung oleh penelitian Titin Nur Cahyati (2013) meneliti tentang “Pengaruh Kinerja Pegawai Terhadap Kepuasan Pelayanan Pada Kantor Kecamatan Sumobito Kabupaten Jombang” . Hasil penelitian menunjukkan bahwa kinerja pegawai berpengaruh signifikan terhadap kepuasan pelayanan pada kantor Kecamatan Sumobito Kabupaten Jombang sebesar 51,90% dan 48,10% dipengaruhi oleh faktor lain. Sedangkan hasil penelitian kami menunjukkan bahwa di koperasi Karpindo tentang pengaruh gaya kepemimpinan demokratis terhadap kinerja pengurus, mempunyai taraf rendah. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kinerja pengurus dapat dikatakan kurang baik apabila gaya kepemimipinan demokratis tidak bisa diterapkan dengan baik. Hal ini juga didukung dengan hasil uji regresi linier sederhana menunjukkan adanya korelasi yang positif dan bergantung rendah, dan signifikan antara gaya kepemimpinan demokratis dengan kinerja pengurus sebesar 6% sedangkan sisanya dijelaskan atau dipengaruhi oleh variabel lain yaitu kemampuan individu, motivasi, solidaritas antar pengurus, dan tingkat pendidikan. Melihat dari analisa peneliti menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan demokratis tidak cukup berhasil untuk membuat kinerja pengurus koperasi Karpindo dalam kegiatan operasional.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
281
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor lain, faktor pertama yaitu motivasi, yang dimiliki oleh pengurus adalah motivasi intern yaitu motivasi yang timbul dari dalam diri sendiri. Dimana semua para pengurus timbul minat untuk bekerja dengan baik dan tepat sesuai dengan pekerjaan yang telah diterima. Faktor yang kedua yaitu amanah, para pengurus juga selalu amanah dalam mengerjakan tugas yang telah diberikan oleh pimpinan sehingga pekerjaan telah selesai dikerjakan sesuai dengan deadline (batas waktu yang telah ditentukan). Faktor yang ketiga yaitu solidaritas antar pengurus, para pengurus sebenarnya sudah mempunyai tugas masing-masing, akan tetapi apabila ada salah satu misalnya dari bagian kesekretariatan yang tugasnya belum selesai, maka pengurus yang lain ikut membantu tentunya dari bagian yang lain (bendahara). Pengurus tidak membeda-bedakan dalam segi bagian pekerjaan. Mereka mempunyai tujuan yang sama, maka mereka saling membantu, bekerja sama apabila ada pekerjaan yang belum selesai sehingga pekerjaan mereka selesai tepat waktu sehingga kinerja mereka baik. Faktor keempat yaitu kemampuan, kemampuan pengurus juga menjadikan alasan kenapa gaya kepemimpinan demokratis tidak mempengaruhi kinerja pengurus. Kemampuan mereka dapat dikatakan baik, karena sebelum menjadi pengurus di koperasi Karpindo calon pengurus di training terlebih dahulu dengan baik sehingga mendapatkan hasil yang maksimal dilihat dari kinerjanya yang baik selama menyelesaikan pekerjaan. Selain di training untuk mendapatkan mutu kinerja yang baik, pihak koperasi Karpindo diikutkan dalam seminar apabila ada acara seminar tentang koperasi di daerah sekitar. Faktor yang kelima yaitu pelayanan, koperasi Karpindo bergerak dibidang Simpan pinjam yang sistem pembayarannya lewat pemotongan gaji.. Apabila ada anggota yang ingin pinjam mereka dilayani oleh pengurus dengan baik. Faktor keenam yakni koreksi, pihak koperasi Karpindo tiap minggu dan tiap akhir bulan mengadakan koreksi dari setiap pembagian kerja yang telah diberikan kepada pengurus. Apakah sudah sesuai dengan tugas yang telah diberikan. Suatu contoh setiap satu tahun sekali bendahara di koreksi oleh pimpinan, apakah pembukuan sudah balance (seimbang) antara pengeluaran sama pemasukan. Agar bendahara tidak menyalahgunakan wewenang yang telah diberikan oleh atasan. Beberapa faktor diatas yang peneliti peroleh dari data observasi dan wawancara bisa dikatakan hasil penelitian tidak sesuai dengan teori yang ada. Bahwa teori gaya kepemimpinan demokratis perilakunya mendorong para bawahan menumbuhkan dan mengembangkan daya inovasi dan kreativitas. Teori yang ada tidak berlaku untuk kinerja pengurus koperasi Karpindo karena dapat dilihat dari penjelasan beberapa faktor diatas bahwa kinerja pengurus tergolong mandiri dalam menyelesaikan pekerjaan yang telah menjadi tanggung jawabnya sehingga gaya kepemimpinan demokratis tidak mempengaruhi kinerja pengurus koperasi Karpindo.
Simpulan Berdasarkan hasil analisis data serta pengujian yang telah dilakukan maka peneliti dapat menarik kesimpulan bahwa dari uji regresi linier sederhana diperoleh hasil pengujian dapat diketahui nilai korelasi X dan Y adalah sebesar 0,074 artinya pengaruh kedua variabel tersebut lemah. Korelasi positif menunjukkan bahwa pengaruh antara gaya kepemimpinan demokratis dengan Kinerja Pengurus “searah”. Pada tabel koefisien menunjukkan nilai p value (sig) sebesar 0,874, dengan demikian dapat dikatakan bahwa gaya kepemimpinan demokratis tidak berpengaruh secara signifikan terhadap Kinerja Pengurus (karena p value > 0,05) dikarenakan jumlah respondennya kecil yakni sebesar tujuh responden. 282
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Saran Beberapa saran peneliti yang dapat dikemukakan sebagai pertimbangan antara lain: 1. gaya kepemimpinan demokratis rendah sehingga tidak dapat meningkatkan kinerja pengurus koperasi. Diharapkan kedepannya pemimpin dapat lebih meningkatkan gaya kepemimpinan demokratis yang baik sehingga dapat meningkatkan kinerja pegurus koperasi Karpindo 2. gaya kepemimpinan demokratis seharusnya dapat memberikan pengaruh yang baik bagi kinerja pengurus koperasi, karena pada dasarnya gaya kepemimpinan demokratis merupakan gaya kepemiminan yang sangat positif bagi bawahan. 3. untuk peneliti selanjutnya, diharapkan untuk menambah variabel lain yang dapat dijadikan indikator dalam penelitian lanjutan. Hal ini karena masih adanya variabel yang belum ditemukan peneliti yang masih memiliki hubungan yang berkaitan dengan gaya kepemimpinan demokratis dan kinerja pengurus. 4. untuk peneliti selanjutnya, disarankan untuk menambah jumlah responden dengan sampel yang besar minimal 30 respoden dan cukup representative (mewakili).
Daftar Pustaka Alfahrisy, Salim.( 2012). Definisi Angket (online) http://mediainformasill .blogspot. com/2012/04/pengertian-definisi angket.html [19 September 2013 Ammelia, Ima. (2013). Survey Kepuasan Pelanggan Program Study Magister Manajemen Universitas Sriwijaya. Palembang: Universitas Sriwijaya Bungin, Burhan. 2005. Edisi 2. Metodologi Penelitian Kuantitatif. Jakarta : Kencana. Burhani, Rusian. (2012). Kepemimpinan Indonesia di APEC Harus di Manfaatkan Secara Optimal(online)http://www.Antaranews.com/berita/333273/kepemimpinan- indonesia di-apec-harus-dimanfaatkan-optimal[15 September 2013] Cahyati, Titin Nur. (2013.) Pengaruh Kinerja Pegawai Terhadap Kepuasan Pelayanan Pada Kantor Kecamatan Sumobito Kabupaten Jombang. Jombang: STKIP PGRI Jombang. Davina.( 2012). Krisis Kepemimpinan di Indonesia (online) http://www. Davina news.com/2012/06/krisis-kepemimpinan-di-indonesia.html[18 September 2013] Deva. (2008). Kepemimpinan. (online) http:// emperordeva. wordpress. com/ about/makalahtentang-kepemimpinan/ [24 September 2013] Elqorni, Ahmad Kurnia.( 2012). Kinerja Organisasi (online) http:// reconia 4training.wordpress.com/2012/08/23/kinerja-organisasi/ [23 Agustus 2013] Futriana, Merlita. 2013. Metodologi Penelitian (online) http:// merlita futriana0. blogspot.com/p/wawancara.html [19 September 2013] Handoko, T. Hani. (2003). Edisi ke 2. Manajemen. Yogyakarta:BPFE Ilahisa, Maya. (2010). Pengaruh Gaya Kepemimpinan Demokratis Terhadap Produktivitas Kinerja Karyawan Bagian Produksi Di UD. Logam Jaya Ds. Tambar Kec. Jogoroto Kab. Jombang. Jombang: STKIP PGRI Jombang. Mangkunegara, A.A. Anwar Prabu. (2005). Penilaian Kinerja Karyawan. Bandung: Remaja Rosdakarya. Misbah, Daqoiqul. (2013). Tipe atau Macam Kepemimpinan (online) http:// daqoiqul.blogspot.com/2012/05/tipe-atau-macam-kepemimpinan.html [21 Agustus 2013] Mondy, R. Wayne. (2008). Edisi ke 10 jilid 1. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Erlangga. Munawaroh. 2012. Panduan Memahami Metodologi Penelitian. Malang: Intimedia. Pratiwi, Riska.( 2012). Pegaruh Budaya Organisasi Terhadap kinerja Pegawai pada Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Makasar. Skripsi UNIP. Makasar. Priyatno, Duwi. (2008). Mandiri Belajar SPSS. Yogyakarta: Mediakom
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
283
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Sedarmayanti. (2007). Manajemen Sumber Daya Manusia Reformasi Birokrasi dan Manajemen Pegawai Negeri Sipil. Bandung: Refika Aditama. Siagian, Sondang P.( 2010). Teori dan Praktek Kepemimpinan. Jakarta: Rineka Cipta. Sugi. (2012). Pengertian Populasi dan Sampel Dalam Penelitian (online) http:// sugithewae.wordpress.com/2012/11/13/pengertian-populasi-dansampel-dalam-penelitian Sugiyono. (2011). Cetakan ke 18. Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta. Sugiyono. (2011). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. Suharsimi, Arikunto. (2010). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta Thoha, Miftah.( 2010). Edisi 1. Kepemimpinan Dalam Manajemen. Jakarta : Rajawali Pers. Tommy. (2008). Pengaruh Faktor Budaya Organisasi, Gaya Kepemimpinan, dan Kualitas Sumber Daya Manusia Terhadap Kinerja Dinas Pendidikan dan Pengajaran Provinsi Papua (online) http:// www.skripsi-tesis.com/07/02/pengaruh-faktor-budaya-organisasigaya-kepemimpinandankualitas-sumber-daya-manusia-terhadap-kinerja-dinaspendidikan-dan-pengajaran-provinsi-papua-pdf-doc.htm [25 Agustus 2013] Undang –Undang No. 17 Tahun 2012 tentang Koperasi. Veithzal Rivai, Ahmad Fawzi Moh. Basri. (2005). Performance Appraisal. Jakarta: Rajawali. Wadi, Edi Susilo. (2013). Pengertian Metode Observasi Defini Menurut Para Ahli Dalam Penelitian (online) http://shilomediaart- toili. blogspot. Com 2013/05/ pengertianmetode-observasi-definisi.html [18 November 2013] Yulk, Gary. (2001). Edisi ke 5. Kepemimpinan Dalam Organisasi. New York: Indeks.
284
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Penduduk, Pendidikan dan Pengangguran Terhadap Kemiskinan Di Kota Surabaya Norida Canda Sakti 23 ([emailprotected]) Abstract As the second largest city in Indonesia, Surabaya not escape from poverty. Many factors affect poverty in Surabaya, including economic growth, unemployment, population growth rate and others. Residents an important factor to consider because, according to the Malthusian theory that population growth is very rapid and the process will be the source of the causes of poverty. In addition, the unemployment rate and educational progress of an area also influence the rise and fall of the poverty level. In accordance with the identification of problems, the proposed objective is to determine the effect of economic growth, population, education and unemployment on poverty in the city of Surabaya. The results of statistical analysis using the program Eviews 4 shows that economic growth, population, education and unemployment together have significant impact on poverty in the city of Surabaya. Economic growth, education and unemployment have a significant impact on poverty in the city of Surabaya in the period 2004-2013. Keywords: Economic Growth, Population, Education, Unemployment, Poverty Abstrak Sebagai kota terbesar kedua di Indonesia, Surabaya tidak luput dari masalah kemiskinan. Banyak faktor yang mempengaruhi kemiskinan di Surabaya, diantaranya pertumbuhan ekonomi, pengangguran, laju pertumbuhan penduduk dan lainnya. Penduduk merupakan faktor penting yang perlu diperhatikan karena menurut teori Malthus bahwa pertumbuhan penduduk yang sangat pesat akan menjadi sumber dan proses penyebab kemiskinan. Selain itu, tingkat pengangguran dan kemajuan pendidikan suatu daerah turut mempengaruhi naik turunnya tingkat kemiskinan. Sesuai dengan identifikasi masalah, maka tujuan yang ingin dicapai adalah untuk mengetahui pengaruh pertumbuhan ekonomi, penduduk, pendidikan dan pengangguran terhadap kemiskinan di Kota Surabaya. Hasil analisis statistik dengan menggunakan program Eviews 4 menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi, penduduk, pendidikan dan pengangguran secara bersama-sama mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kemiskinan di Kota Surabaya. Pertumbuhan ekonomi, pendidikan dan pengangguran mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kemiskinan di Kota Surabaya dalam kurun waktu tahun 2004-2013. Kata Kunci: Pertumbuhan Ekonomi, Penduduk, Pendidikan, Pengangguran, Kemiskinan
Pendahuluan Kemiskinan merupakan masalah yang dihadapi dan menjadi perhatian banyak orang di dunia ini. Kemiskinan dapat menghambat kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan mempunyai keterkaitan yang erat. Terdapat pendapat bahwa pertumbuhan yang cepat berakibat buruk terhadap kaum miskin, karena mereka akan tergilas dan terpinggirkan oleh perubahan struktural pertumbuhan modern. Usaha peningkatan kualitas sumber daya manusia tersebut tidak akan mungkin dapat tercapai bila penduduk masih dibelenggu oleh kemiskinan itu sendiri. Secara ekonomi, kemiskinan dapat diartikan sebagai adanya kekurangan sumber daya yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan sekelompok orang.
23
Universitas Negeri Surabaya
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
285
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Kualitas sumber daya manusia dapat dilihat dari tingkat pendidikannya. Jika dikaitkan dengan kualitas tenaga kerja, semakin tinggi pendidikan seseorang maka akan meningkatkan produktivitas. Peningkatan produktifitas ini akan meningkatkan pendapatan baik pendapatan individu tersebut, maupun pendapatan nasional. Pertumbuhan penduduk yang disertai peningkatan kualitas pendidikan perlu diupayakan dan dikembangkan guna menurunkan tingkat pengangguran. Pemerintah Kota Surabaya dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) menargetkan menurunkan persentase penduduk miskin dari sekitar 15,01% di tahun 2004 menjadi sekitar 13,01% di tahun 2009. Sedangkan dalam RPJMD 2009-2014 pemerintah menargetkan dari 13,01% menjadi 9,01%. Hasil dari upaya penanggulangan kemiskinan di Kota Surabaya memperlihatkan pengaruh yang kurang mencapai dari hasil yang diharapkan. Hal ini terlihat dari tingkat kemiskinan mengalami fluktuasi pada setiap tahun yaitu dalam kurun waktu tahun 2004 sampai 2013. Rendahnya tingkat kehidupan yang sering sebagai alat ukur kemiskinan hanyalah merupakan salah satu mata rantai dari munculnya lingkaran kemiskinan. Banyak tokoh, peneliti, badan resmi pemerintah, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mempunyai pendapat tersendiri dalam memandang masalah kemiskinan ini. Dalam penelitian ini Kota Surabaya merupakan kota metropolitan yang tak luput dari masalah dimensional ini. Surabaya memiliki kepadatan penduduk yang sangat tinggi dibandingkan di daerah lain di Jawa Timur, sehingga dalam kenyataannya masih terbelenggu kemiskinan dilihat dari data Badan Pusat Statistik dan BAPPEKO. Pada tahun 2004 tingkat kemiskinan sebesar 15,23% dan turun menjadi 11,54% di tahun 2005 dimana target penurunan kemiskinan telah tercapai. Pada tahun 2009 target penurunan kemiskinan telah terlampaui, sedikit meningkat menjadi 12,48%. Pada tahun 2010 kemiskinan mencapai 10,57% dan telah melampaui target dan menurun menjadi 11,50%, di tahun 2012 dan kembali meningkat menjadi 12,88% di tahun 2013. Keberhasilan Kota Surabaya dalam menanggulangi kemiskinan belum sepenuhnya berhasil. Ini terlihat dari tingkat kemiskinan yang masih relatif tinggi, yaitu angka diatas hard core atau diatas 10%. Pemerintah bertugas menekan angka kemiskinan agar tidak terus merangkak naik. Kerjasama dengan Dinas-dinas terkait perlu di galakkan seperti Dinas Pendidikan, Dinas Sosial, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan Dinas Kesehatan. Semua dinas tersebut bisa mengikis angka kemiskinan secara signifikan. Pada tahun 2009 terjadi kenaikan jumlah penduduk miskin di Jawa Timur, karena kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang kemudian memacu kenaikan harga-harga barang kebutuhan lainnya. Tahun 2010 jumlah penduduk miskin kembali mengalami penurunan. Kota Surabaya sebagai ibu kota Jawa Timur pun tidak terlepas dari masalah kemiskinan sehingga pemerintah memberikan perhatian lebih terhadap upaya pengentasan kemiskinan. Jumlah pengangguran di Surabaya tiap tahun mengalami peningkatan. BPS menyebutkan tingkat pengangguran di Kota Surabaya tahun 2008 sebesar 7,16 % dan terjadi kenaikan menjadi 9,68 % pada tahun 2010. Tingginya angka pengangguran di Surabaya ini berpengaruh terhadap jumlah kemiskinan.
286
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Kajian Pustaka Kemiskinan. Menurut Suharto (2009:15), kemiskinan berhubungan dengan kekurangan materi, rendahnya penghasilan dan adanya kebutuhan sosial. (1) Kekurangan materi, yaitu kemiskinan menggambarkan adanya kelangkaan materi atau barang-barang yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari, seperti makanan, pakaian dan perumahan. Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi kesulitan yang dihadapi orang dalam memperoleh barang-barang yang bersifat kebutuhan dasar. (2) Kekurangan penghasilan dan kekayaan yang memadai. Makna “memadai” disini sering dikaitkan dengan standar atau garis kemiskinan (proverty line) yang berbeda-beda dari satu negara ke negara lainnya, bahkan dari satu komunitas ke komunitas lainnya dalam satu negara. Contohnya, Bank Dunia menetapkan seorang dianggap miskin jika pendapatannya kurang dari $2 perhari. Sedangkan BPS berdasarkan asupan kalori (2100 kal). (3) Keterkucilan sosial (social exclution), yaitu ketergantungan dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan pelayanan sosial dan rendahnya aksebilitas lembaga-lembaga pelayanan sosial seperti lembaga pendidikan, kesehatan dan informasi. Penduduk miskin menurut BPS (2012:124) adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan. Sedang, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Sudarwati,2009:28) mendefinisi kemiskinan “sebagai kondisi dimana seseorang atau kelompok orang, laki-laki atau perempuan, tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat”. Indikator kemiskinan (BPS, 2012:125) berdasarkan pendekatan kebutuhan dasar, ada 3 indikator yaitu: Head Count Index, Indeks kedalaman kemiskinan, dan Indeks keparahan kemiskinan. Adapun Head Count Index (HCI-P0), merupakan persentase penduduk miskin yang berada dibawah garis kemiskinan.
Pertumbuhan Ekonomi. Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu proses kenaikan output nasional suatu periode tertentu terhadap periode sebelumnya. Faktor – faktor penting yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi adalah tanah dan kekayaan alam lainnya, jumlah dan mutu dari penduduk dan tenaga kerja, barang – barang modal dan tingkat teknologi, sistem sosial dan sikap masyarakat, dan luas pasar sebagai sumber pertumbuhan. Adapun tanah dan kekayaan alam lainnya menyebabkan pertumbuhan ekonomi semakin cepat terjadi apabila negara tersebut mampu mengelola kekayaan alam yang dimilikinya. Pertumbuhan ekonomi hendaknya menyebar di setiap golongan pendapatan, termasuk di golongan penduduk miskin (growth with equity). Secara langsung, hal ini berarti pertumbuhan itu perlu dipastikan terjadi di sektor-sektor dimana penduduk miskin bekerja (pertanian atau sektor yang padat karya). Sedangkan secara tidak langsung, hal ini berarti diperlukan pemerintah yang cukup efektif mendistribusi manfaat pertumbuhan yang boleh jadi didapatkan dari sektor modern seperti jasa dan manufaktur yang padat modal.
Penduduk. Penduduk adalah semua orang yang berdomisili di wilayah geografis RI selama 6 bulan atau lebih dan atau mereka yang berdomisili kurang dari 6 bulan tetapi bertujuan menetap. Jumlah penduduk suatu daerah atau negara pada setiap saat selalu berubah. Perubahan ini karena adanya kelahiran, kematian, migrasi dan emigrasi. Gambaran mengenai perubahan
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
287
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
jumlah penduduk pada umumnya dilukiskan dalam sebuah tabel yang berisi besar pertambahan jumlah dan prosentase pertambahan jumlah penduduk. Pertumbuhan penduduk yang tinggi akan menyebabkan cepatnya pertumbuhan tenaga kerja, sedangkan kemampuan NSB dalam menciptakan kesempatan kerja baru sangat terbatas. Dengan bertambahnya jumlah penduduk, maka jumlah usia produktif pun juga bertambah. Apabila tidak diikuti dengan bertambahnya lapangan pekerjaan dan sumber daya manusia yang memadai, maka dapat dipastikan jumlah pengangguran akan bertambah dan pendapatan menurun.
Pendidikan. Berdasarkan undang-undang nomor 20 tahun 2003, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Pendidikan merupakan salah satu bentuk modal manusia (human capital) yang menunjukkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Pendekatan modal manusia berfokus pada kemampuan tidak langsung untuk meningkatkan utilitas dengan meningkatkan pendapatan. Angka melek huruf memberikan gambaran tentang kemajuan pendidikan suatu bangsa, serta adanya pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan. Semakin besar angka melek huruf orang dewasa, berarti semakin banyak penduduk yang mampu dan mengerti baca tulis yang akan berpengaruh terhadap penerimaan informasi dan ilmu pengetahuan yang lebih banyak. Pendidikan memainkan peran kunci dalam membentuk kemampuan sebuah negara berkembang untuk menyerap teknologi modern dan untuk mengembangkan kapasitas agar tercipta pertumbuhan serta pembangunan yang berkelanjutan (Todaro, 2000). Semakin tinggi pendidikan seseorang maka akan meningkatkan produktivitas. Peningkatan produktifitas ini akan meningkatkan pendapatan baik pendapatan individu tersebut, maupun pendapatan nasional. Peningkatan pendapatan individu akan meningkatkan kemampuan konsumsi mereka, sehingga dapat mengangkat kehidupan mereka dari kemiskinan. Oleh karena itu, investasi pendidikan akan berpengaruh positif terhadap pengentasan kemiskinan sebagaimana yang telah dibuktikan pada penelitian Hermanto Siregar dan Dwi Wahyuniarti (2008).
Pengangguran. Menurut Sadono Sukirno (2008;13) menjelaskan “pengangguran adalah suatu keadaan dimana seseorang tergolong dalam angkatan kerja ingin mendapatkan pekerjaan tapi belum dapat memperolehnya”. Pengangguran bisa diartikan sebagai angkatan kerja yang sedang mencari pekerjaan yang sesuai dengan keterampilan dan pendidikan yang mereka miliki. Sehingga dengan keterbatasan pendidikan dan keterampilan yang dimiliki menjadikan angkatan kerja tersebut sulit untuk mendapatkan pekerjaan. Masyarakat dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan pendapatan yang mereka peroleh dari bekerja. Jika mereka tergolong pengangguran baik pengangguran penuh maupun setengah menganggur maka mereka akan kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya karena pendapatan yang mereka peroleh tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari bahkan untuk mereka yang tergolong pengangguran penuh tidak akan mendapat pendapatan sama sekali
288
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
sehingga memungkinkan adanya tabungan negatif (hutang) untuk dapat bertahan hidup. Dengan kata lain pengangguran dapat meningkatkan kemiskinan di suatu daerah.
Hasil penelitian yang relevan. Penelitian Rizky dan Majidi (2009) hasilnya adalah (1) Besarnya Produk Domestik Bruto (PDB) mempengaruhi angka pertumbuhan ekonomi, (2) Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2005 sampai 2009 mengalami kenaikan, (3) Secara keseluruhan pendapatan perkapita penduduk di kota Surakarta pada tahun 2005 sampai 2009 mengalami kenaikan, dan (4) Terdapat hubungan yang negatif antara pertumbuhan ekonomi dan garis kemiskinan, Sedangkan penelitian yang dilakukan Desmiwati (2005) hasil penelitian menyebutkan (1) Terdapat hubungan yang positif antara jumlah penduduk miskin terhadap kemiskinan, (2) Terdapat hubungan yang negatif antara PDB terhadap kemiskinan, (3) Angka melek huruf di Indonesia mengalami kenaikan secara signifikan, dan (4) Angka melek huruf berpengaruh negatif terhadap kemiskinan. Penelitian lain yang dilakukan oleh Siregar dan Wahyuniarti (2008) hasil dari penelitian tersebut menyebutkan bahwa (1) pertumbuhan ekonomi berpengaruh signifikan terhadap penurunan jumlah penduduk miskin walaupun dengan magnitude yang relatif kecil seperti inflasi, populasi penduduk, share sektor pertanian dan industri, dan pendidikan. (2) Sektor pendididikan berpengaruh relative besar dan signifikan terhadap penurunan jumlah penduduk miskin. Penelitian juga dilakukan oleh Butar-Butar (2008), hasil penelitiannya adalah (1) Metode yang digunakan adalah analisis statistik regresi berganda, (2) Tingkat pendidikan dari keluarga, jenis pekerjaan dan kepemilikan sumber daya ekonomi secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan di pedesaan. Dengan demikian tingkat kemiskinan akan mengalami perubahan apabila jumlah penduduk berubah dari titik keseimbangannya. Angka melek huruf, pertumbuhan ekonomi dan pengangguran pun turut mempengaruhi naik turunnya tingkat kemiskinan dimana variabel lainnya ceteris paribus.
Metode Penelitian Dalam penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan eksplanasi asosiatif. Pendekatan eksplanasi adalah menjelaskan data yang ada dan menginterprestasikannya, kemudian digunakan analisis regresi berganda. Populasi dalam penelitian ini adalah pertumbuhan ekonomi, penduduk, pendidikan dan pengangguran di kota Surabaya. Sedangkan teknik pengambilan sampel yakni sampling purposive. Sampel yang diambil adalah pertumbuhan ekonomi, penduduk, pendidikan dan pengangguran di kota Surabaya selama periode tahun 2004-2013. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah Pertumbuhan Ekonomi (X1), Penduduk (X2), Pendidikan (X3) dan Pengangguran (X4) di kota Surabaya. Sedangkan variabel terikatnya adalah jumlah kemiskinan di Kota Surabaya yang dinyatakan dengan Y. Teknik analisis kuantitatif digunakan untuk mengetahui pengaruh tingkat pertumbuhan ekonomi, laju pertumbuhan penduduk, tingkat pendidikan (angka melek huruf), tingkat pengangguran terbuka dan persentase penduduk miskin di kota Surabaya
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
289
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
pada tahun 2004-2013 menggunakan uji statistik Analisis regresi berganda dan uji asumsi klasik. Hasil Penelitian Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi di Kota Surabaya. Laju pertumbuhan ekonomi suatu daerah mempunyai peranan yang sangat penting karena dapat menjadi ukuran keberhasilan dalam pembangunan dari berbagai sektor ekonomi. Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi suatu negara berarti semakin makmur negara tersebut sebab kebutuhan masyarakatnya bisa lebih banyak terpenuhi. Pertumbuhan ekonomi dapat diukur dengan menggunakan angka PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) atas harga konstan. PDRB didefinisikan sebagai jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu wilayah atau merupakan jumlah seluruh nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi di suatu wilayah. Perkembangan pertumbuhan ekonomi ini mengalami fluktuasi diakibatkan oleh sectorsektor usaha ekonomi sehingga perkembangan pertumbuhan ekonomi rata-rata setiap tahun ini mengalami kenaikan dan penurunan. Pada tahun 2004 pertumbuhan ekonomi sebesar 3,21%, sedangkan pada tahun 2005 mengalami peningkatan dibanding tahun lalu yaitu menjadi sebesar 4,26%, dalam tahun ini rata-rata sektor dalam PDRB mengalami kenaikan. Pada tahun 2006 pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan menjadi sebesar 3,80% karena penurunan peranan sektor pertanian dan investasi. Pada tahun 2007 pertumbuhan ekonomi mengalami peningkatan dibanding tahun lalu yaitu menjadi sebesar 4,22%. Kenaikan ini disebabkan oleh perkembangan sektor perdagangan, hotel, restoran dan kenaikan jumlah investasi yang cukup tinggi dari tahun sebelumnya. Pada tahun 2008 pertumbuhan ekonomi mengalami peningkatan menjadi 5,66%. Pada tahun 2009 pertumbuhan ekonomi mengalami peningkatan menjadi sebesar 6,33% dibanding tahun lalu. Keduanya disebabkan oleh peningkatan sektor yang serupa pada tahun sebelumnya. Pada tahun 2010 pertumbuhan ekonomi mengalami sedikit peningkatan menjadi sebesar 6,35%. Pada tahun 2011 pertumbuhan ekonomi juga mengalami sedikit peningkatan dibanding tahun sebelumnya menjadi 6,38%.
Perkembangan Penduduk di Kota Surabaya. Peningkatan jumlah penduduk di perkotaan terus meningkat setiap tahunnya Surabaya sebagai kota terbesar kedua setelah Jakarta saat ini telah mengalami permasalahan tersebut. Terlihat dengan semakin meningkatnya jumlah lahan yang tersedia dialihfungsikan sebagai tempat perumahan bagi warga kota Surabaya. Peningkatan jumlah penduduk setiap tahunnya ini pada umumnya dikarenakan oleh beberapa faktor diantaranya adalah urbanisasi, fertilisasi (kelahiran) semakin meningkat dan mortalitas (kematian) yang cenderung menurun. Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Jawa Timur selama periode 2004-2013, laju Pertumbuhan Penduduk di Kota Surabaya setiap tahun mengalami peningkatan. Pada tahun 2004 Laju Pertumbuhan Penduduk Kota Surabaya sebesar 1,62% dan pada tahun 2005 Laju Pertumbuhan Penduduk Kota Surabaya mengalami kenaikan sebesar 0,13% dari tahun sebelumnya sehingga menjadi 1,75%. Kenaikan ini disebabkan peningkatan jumlah angka kelahiran. Tahun 2006 Laju Pertumbuhan Penduduk Kota Surabaya mengalami penurunan yang cukup signifkan sebesar 0,23% dari tahun sebelumnya sehingga menjadi sebesar 1,52%, hal ini dipengaruhi oleh program pemerintah kota yaitu penggalakan program Keluarga Berencana
290
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
(KB). Pada tahun 2007 Laju Pertumbuhan Penduduk Kota Surabaya mengalami penurunan sebesar 0,04% sehingga menjadi 1,48%, hal ini disebabkan peningkatan intensifitas kerjasama program pemerintah dengan Dinas Kesehatan. Tahun 2008 Laju Pertumbuhan Penduduk Kota Surabaya turun sebesar 0,11% dari tahun sebelumnya sehingga menjadi sebesar 1,37%. Penurunan angka ini disebabkan adanya penurunan angka kelahiran bayi (fertilitas). Pada tahun 2009 Laju Pertumbuhan Penduduk di Kota Surabaya mengalami kenaikan yaitu sebesar 0,08% dari tahun sebelumnya sehingga menjadi sebesar 1,45%. Kenaikan ini disebabkan peningkatan jumlah urbanisasi. Tahun 2010 Laju Pertumbuhan Penduduk Kota Surabaya mengalami kenaikan sebesar 0,14% dari tahun sebelumnya sehingga menjadi 1,59% hal ini disebabkan adanya peningkatan angka mortalitas. Tahun 2011 dan 2012 kondisi pertumbuhan penduduk Kota Surabaya naik turun yaitu sebesar 1,63% dan 1,56%. Kenaikan ini dipengaruhi oleh adanya fluktuasi angka kelahiran. Kemudian tahun 2013 Laju Pertumbuhan Penduduk Kota Surabaya mengalami penurunan sebesar menjadi 1,66% dan peningkatan sebesar 0,10% dari tahun sebelumnya, hal ini disebabkan oleh adanya peningkatan urbanisasi.
Perkembangan Pendidikan di Kota Surabaya. Pendidikan adalah salah satu indikator yang dapat digunakan utuk melihat perkembangan kota, termasuk tingkat kecerdasan masyarakat. Di Surabaya, pengembangan kegiatan pendidikan beserta penyediaan fasilitasnya, tidak hanya dilakukan oleh pemerintah, namun juga oleh pihak swasta dan organisasi sosial kemasyarakatan. Angka Melek Huruf (AMH) adalah persentase penduduk usia 10 tahun keatas yang bisa membaca dan menulis serta mengerti sebuah kalimat sederhana dalam hidupnya sehari-hari. Tahun 2004 angka melek huruf Kota Surabaya sebesar 95,51% dan pada tahun 2005 mengalami kenaikan sebesar 0,37% dari tahun sebelumnya sehingga menjadi 95,88% . Tahun 2006 angka melek huruf Kota Surabaya mengalami peningkatan sebesar 0,36% dari tahun sebelumnya sehingga menjadi 96,24%, hal ini disebabkan oleh kerjasama Dinas Pendidikan Kota dan Lembaga Pendidikan di Surabaya dalam program pengentasan angka buta huruf. Tahun 2007 angka melek huruf Kota Surabaya mengalami kenaikan 1,16% dari tahun sebelumnya sehingga menjadi 97,40% kenaikan ini salah satunya disebabkan oleh perkembangan dunia pendidikan. Tahun 2008 angka melek huruf Kota Surabaya mengalami peningkatan yakni sebesar 1,56% dari tahun sebelumnya sehingga menjadi 98,96%. Hal ini disebabkan oleh adanya investasi pendidikan dari Pemerintah Kota Surabaya. Pada tahun 2009 angka melek huruf Kota Surabaya juga mengalami kenaikan sebesar 0,30% dari tahun sebelumnya sehingga menjadi 99,26% pada tahun ini banyak program pendidikan digalakkan seperti lomba antar sekolah se-Surabaya. Tahun 2010 angka melek huruf Kota Surabaya mengalami sedikit penurunan sebesar 1,02% dari tahun sebelumnya sehingga menjadi 98,24%, dan pada tahun 2011 angka melek hurufnya naik menjadi 99,26%. Tahun 2012 angka melek huruf Kota Surabaya mengalami kenaikan yaitu sebesar 1,6% dari tahun sebelumnya sehingga menjadi sebesar 99,84% dan pada tahun 2013 pertumbuhan ekonomi Kota Surabaya mengalami penurunan sebesar 0,19% dari tahun sebelumnya sehingga menjadi 99,65%.
Perkembangan Pengangguran di Kota Surabaya. Pengangguran merupakan suatu masalah yang sangat sulit ditangani yang dapat memberikan efek buruk bagi suatu masyarakat dan negara. Secara umum pengangguran dapat didefinisikan sebagai suatu kondisi dimana sesorang atau individu yang sudah tergolong sebagai
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
291
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
angkatan kerja yang belum mendapat pekerjaan meskipun sudah mencari kerja. Apabila tingkat pengangguran tinggi maka pendapatan nasional negara menjadi menurun dan apabila sesorang menganggur maka mereka tidak bisa mencapai kemakmuran. Oleh karenan itu diharapakan setiap kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah harusnya bisa membawa dampak terhadap penyerapan tenaga kerja. Pada tahun 2004 tingkat pengangguran Kota Surabaya sebesar 6,1% dan pada tahun 2005 tingkat pengangguran Kota Surabaya menglami kenaikan sebesar 1,3% dari tahun sebelumnya sehingga menjadi 6,18%. Kenaikan ini disebabkan peningkatan tingkat partisipasi angkatan kerja yang tidak disertai kenaikan tingkat kesempatan kerja. Tahun 2006 tingkat pengangguran Kota Surabaya mengalami kenaikan sebesar 15% dari tahun sebelumnya sehingga menjadi sebesar 7,11%, hal ini dipengaruhi oleh menurunnya tingkat kesempatan kerja dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pada tahun 2007 tingkat pengangguran Kota Surabaya mengalami penurunan sebesar 4,4% sehingga menjadi 6,88%, hal ini disebabkan oleh peningkatan jumlah kesempatan kerja. Tahun 2008 tingkat pengangguran Kota Surabaya mengalami kenaikan sebesar 5,3% dari tahun sebelumnya sehingga menjadi sebesar 7,16%. Kanaikan ini disebabkan adanya peningkatn tingkat partisipasi angkatan keja. Kemudian pada tahun 2009 pengangguran di Kota Surabaya mengalami kenaikan yang cukup tinggi yaitu sebesar 77% dari tahun sebelumnya sehingga menjadi sebesar 12,07%. Kenaikan ini disebabkan penurunan tingkat kesempatan yang yang cukup banyak sedangkan tingkat partisipasi angkatan kerja menglami kenaikan yang cukup tinggi. Tahun 2010 tingkat pengagguran Kota Surabaya mengalami penurunan sebesar 23% dari tahun sebelumnya sehingga menjadi 9,68% hal ini disebabkan adanya peningkatan kesempatan kerja. Tahun 2011 dan 2012 kondisi tingkat pengangguran Kota Surabaya cukup tinggi yaitu sebesar 11,59 dan 11,84 kenaikan ini dipengaruhi oleh adanya kenaikan partisipasi angkatan kerja. Kemudian tahun 2013 tingkat pengangguran Kota Surabaya mengalami penurunan sebesar menjadi 8,63% dari tahun sebelumnya, hal ini disebabkan oleh adanya peningkatan jumlah kesempatan kerja.
Perkembangan Kemiskinan Di Kota Surabaya. Kemiskinan merupakan masalah yang dihadapi kota Surabaya dan kota lainnya. Indikator untuk mengetahui kemiskinan di daerah dapat menggunakan jumlah penduduk miskin dibawah garis kemiskinan maupun persentase penduduk miskin di bawah garis kemiskinan yang disebut dengan tingkat kemiskinan. Persentase jumlah penduduk miskin di kota Surabaya mengalami fluktuatif mulai dari tahun 2004-2013. Hal-hal yang melatarbelakangi naik turunnya angka penduduk miskin, diantaranya yaitu naiknya jumlah pengangguran dan berkembangnya sistem pendidikan yang digalakkan oleh pemerintah Kota Surabaya. Tahun 2004 kemiskinan Kota Surabaya sebesar 15,23% dan pada tahun 2005 mengalami penurunan sebesar 3,69% dari tahun sebelumnya sehingga menjadi 11,54%. Ini merupakan dampak dari kenaikan tingkat pertumbuhan ekonomi Kota Surabaya. Tahun 2006 kemiskinan Kota Surabaya mengalami peningkatan sebesar 5,02% dari tahun sebelumnya sehingga menjadi 16,56%, hal ini disebabkan oleh peningkatan jumlah pengangguran. Tahun 2007 kemiskinan Kota Surabaya mengalami penurunan 0,39% dari tahun sebelumnya sehingga menjadi 16,17%. Tahun 2008 kemiskinan Kota Surabaya mengalami penurunan yakni sebesar 4,25% dari tahun sebelumnya sehingga menjadi 11,92%. Hal ini 292
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
disebabkan oleh kenaikan pertumbuhan ekonomi terutamam pada sektor restoran, hotel dan perdagangan. Pada tahun 2009 kemiskinan Kota Surabaya mengalami kenaikan sebesar 0,56% dari tahun sebelumnya sehingga menjadi 12,48% karena peningkatan jumlah angka pengangguran. Tahun 2010 kemiskinan Kota Surabaya mengalami penurunan yang berarti sebesar 1,91% dari tahun sebelumnya sehingga menjadi 10,57%. Hal ini merupakan dampak dari penurunan angka pengangguran. Pemerintah pun ikut menunjang turunnya angka tersebut dengan penggalakan Job Fair. Pada tahun 2011 kemiskinan naik menjadi 11,40% akibat kenaikan tingkat pengangguran, begitu pula pada tahun selanjutnya. Tahun 2012 kemiskinan Kota Surabaya mengalami kenaikan yaitu sebesar 0,10% dari tahun sebelumnya sehingga menjadi sebesar 11,50%. Meskipun tingkat pengangguran mengalami penurunan namun pertumbuhan ekonomi pun melemah maka pada tahun 2013 kemiskinan Kota Surabaya mengalami kenaikan kembali sebesar 1,38% dari tahun sebelumnya sehingga menjadi 12,88%.
Hasil Analisis Uji Asumsi Klasik. Dari hasil uji normalitas diketahui nilai probabilitas sebesar 0,542766. Jika digunakan tingkat kepercayaan 95% (α 5%), maka nilai α = 0,05 < probabilitas (0,542766) atau probabilitas sebesar 0,542766 > α 0,05 artinya data berdistribusi normal. Untuk mendeteksi gejala adanya multikolinieritas pada penelitian ini digunakan matriks korelasi (correlation matrix) untuk mengetahui korelasi antar variabel independen dalam suatu persamaan. Dari hasil eviews 4 menunjukkan bahwa koefisien korelasi antara X1 dengan X2 adalah sebesar -0.190954, koefisien korelasi antara X1 dengan X3 sebesar 0.697846, koefisien korelasi antara X1 dengan X4 sebesar 0.647546, koefisien korelasi antara X2 dengan X3 sebesar 0.300533, koefisien korelasi antara X2 dengan X4 sebesar -0.136812, koefisien korelasi antara X3 dengan X4 sebesar 0.574524. Karena tidak ada koefisien korelasi antara variabel bebas yang lebih besar dari 0,8 maka dapat dikatakan pada penelitian ini tidak terdapat adanya gejala multikolinieritas. Untuk menguji ada tidak variasi eror yang berpola (heteroskedastisitas) pada penelitian ini digunakan metode Whiteheteroscesdaticity tes yang telah disediakan dalam program eviews. “Jika probabilitas obs*R-squared > 5% menujukkan tidak ada heteroskesdastisitas dan sebaliknya”. (Yuliadi, 2009:44). Dari hasil uji heteroskedastisitas diketahui nilai probabilitas Obs*R-squared sebesar 0.305259. Jika digunakan tingkat kepercayaan 95% (α 5%), maka nilai α = 0,05 < probabilitas (0.305259) atau probabilitas Obs*R-squared sebesar 0.305259 > 0,05 berarti tidak terdapat heterokedastisitas. Berdasarkan hasil uji autokorelasi diketahui bahwa nilai Durbin-Watson sebesar 2.015020. Berdasarkan Tabel Kaidah Durbin Watson maka d terletak pada range dU < d < 4 dU (1.7209 < 2.015020 < 2.2791). Dengan demikian dapat disimpulkan tidak ada autokorelasi karena besarnya Durbin-Watson sebesar 2,0. Uji linieritas atau uji stabilitas pada penelitian ini dapat diketahui dari nilai probabilitas dengan uji RESET tes melalui program eviews. “Jika nilai probabilitasnya > 5% menunjukan bahwa data tersebut memenuhi asumsi linieritas dan sebaliknya” .(Yuliadi, 2009:64)
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
293
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Dari hasil uji linieritas diketahui nilai probabilitas F statistik sebesar 0,214103. Karena nilai probabilitas F statistik sebesar 0,214103 > 0,05 berarti model pada penelitian ini memenuhi asumsi linieritas.
Analisis Regresi. Berdasarkan analisis regresi ganda (multiple regression)maka diperoleh hasil penelitian sebagai berikut : Y = -31.18112773 – 3.109676264*X1 – 6.345333589*X2 – 0.679209604*X3 + 0.41974495*X4 + ei Tanda koefisien regresi tersebut mengandung makna sebagai berikut: a = -31.18112773 b1 = -3.109676264, artinya jika variabel pertumbuhan ekonomi (X1) mengalami kenaikan sebesar 1%, maka variabel persentase penduduk miskin di Kota Surabaya (Y) mengalami penurunan sebesar 3,10%. b2 = -6.345333589, artinya jika variabel laju pertumbuhan penduduk (X2) mengalami kenaikan sebesar 1%, maka variabel persentase penduduk miskin (Y) mengalami peningkatan sebesar 6,34%. b3= -0,679209604, artinya jika variabel pendidikan (X3) mengalami kenaikan sebesar 1%, maka variabel persentase penduduk miskin akan menurun sebesar 0,67%. b4 = 0,41974495 artinya jika variabel tingkat pengangguran terbuka (X4) mengalami kenaikan sebesar 1%, maka variable persentase penduduk miskin mengalami kenaikan sebesar 0,41%.
Pembahasan Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi berpengaruh positif dan signifikan terhadap kemiskinan di Kota Surabaya. Pertumbuhan ekonomi mempunyai nilai signifikansi sebesar 0,0086 < α (0,05), maka Ho ditolak dan Ha diterima. Penelitian menunjukkan bahwa pengaruh antara pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan yaitu negatif atau berbanding terbalik dan signifikan. Hal tersebut sesuai dengan yang diungkapkan oleh Siregar (2008) bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi berpengaruh signifikan terhadap penurunan jumlah penduduk miskin. Adapun syarat kecukupannya ialah bahwa pertumbuhan ekonomi efektif dalam mengurangi kemiskinan. Syarat utama bagi terciptanya penurunan kemiskinan adalah pertumbuhan ekonomi juga sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Desmiwati (2005) bahwa pertumbuhan ekonomi memang sesuatu yang dibutuhkan dalam mengurangi kemiskinan dengan syarat bahwa pertumbuhan tersebut diiringi dengan pemerataan pendapatan. Pertumbuhan ekonomi Kota Surabaya bergerak fluktuatif setiap tahunnya dengan didominasi oleh tiga sektor yaitu perdagangan, hotel dan restoran; industri pengolahan; angkutan dan komunikasi. Berdasarkan fenomena di atas, dapat dipahami bahwa di Surabaya mengalami kenaikan pertumbuhan ekonomi dapat mengurangi kemiskinan. Hal ini terjadi karena sektor pertumbuhan ekonomi yang memberikan kontribusi terbesar yaitu ketiga sektor diatas banyak menyerap tenaga kerja sehingga pendapatan yang diterima oleh masyarakat miskin dapat mengangkat mereka pada posisi kemakmuran. Penelitian ini juga sama dengan hasil penelitian Moch. Alim dalam jurnal ekonomi nasional yang berjudul “Analisis Faktor Penentu kemiskinan Di Indonesia”. Dari penelitiannya tersebut menyimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi mempunyai pengaruh signifikan terhadap kemiskinan
294
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan ini sesuai dengan teori penentang Malthus yaitu Simon dalam bukunya “The Economic of Population Growth” yang berpendapat bahwa pengaruh pertumbuhan penduduk adalah negatif terhadap kemiskinan. Ini berdasarkan bahwa pertumbuhan penduduk akan menstimulasi pembangunan ekonomi. Ide dasarnya adalah dengan penduduk yang banyak akan berakibat pada produktivitas yang tinggi yang pada akhirnya akan mengurangi kemiskinan. Hasil uji t diperoleh kesimpulan bahwa pendidikan mempunyai pengaruh signifikan terhadap kemiskinan di Kota Surabaya. Hasil dari penelitian ini samam dengan hasil studi yang dilakukan oleh Dinar Butar-Butar (2008) tentang “Analisis Sosial Ekonomi Rumah Tangga Kaitannya dengan Kemiskinan di Perdesaan (Studi Kasus di Kabupaten Tapanuli Tengah)”. Hasilnya menunjukkan bahwa tingkat pendidikan berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan. Hasil dari analisis data menjelaskan bahwa nilai t untuk variabel pengangguran, nilai probabilitasnya sebesar 0,0148 dengan tingkat signifikansi 5% (0,05) sehingga Ho ditolak dan Ha diterima. Hal ini membuktikan bahwa pengangguran sangat berpengaruh terhadap kemiskinan. Dari hasil pengolahan data dengan Eviews 4 diperoleh hasil uji F terlihat bahwa nilai signifikansinya adalah sebesar 0,014 < α (0,05), maka Ho ditolak dan H1 diterima. Dengan demikian dapat disimpulkan pengaruh pertumbuhan ekonomi, penduduk, pendidikan dan pengangguran terhadap kemiskinan di Kota Surabaya adalah signifikan.
Simpulan Perkembangan pertumbuhan ekonomi Kota Surabaya selama tahun 2004-2013 rata-rata setiap tahunnya mengalami fluktuatif. Berdasarkan analisis deskriptif pertumbuhan ekonomi sektor yang mempunyai kontribusi terbesar adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran. Perkembangan penduduk di Kota Surabaya selama tahun 2004-2013 mengalami naik turun (fluktuatif) disebabkan oleh kenaikan angka kelahiran, kurang berjalannya program KB, dan tingginya urbanisasi. Perkembangan pendidikan di Kota mengalami peningkatan dan tergolong baik. Perkembangan tingkat pengangguran Kota Surabaya selama tahun 2004-2013 masih tergolong cukup tinggi. Berdasarkan analisis deskriptif tingkat pengangguran di Kota Surabaya dipengaruhi oleh jumlah tingkat partisipasi angkatan kerja dan jumlah kesempatan kerja yang tidak seimbang. Tingkat kemiskinan paling rendah terjadi pada tahun 2010 sebesar 10,57% dengan jumlah penduduk miskin sebanyak 282.492 jiwa. Terdapat pengaruh yang signifikan secara bersamasama antara Pertumbuhan Ekonomi, Penduduk, Pendidikan dan Pengangguran secara besamasama terhadap Kemiskinan di Kota Surabaya. Pendidikan dan pengangguran mempunyai pengaruh yang cukup sedang terhadap kemiskinan sedangkan pertumbuhan ekonomi dan penduduk mempunyai pengaruh cukup besar.
Daftar Pustaka Arikunto, Suharsimi. 2012. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Yogyakarta: Rineka Cipta, Arsyad, Lincolin. 2010. Ekonomi Pembangunan, Yogyakarta: STIM YKPN. Badan Pusat Statistik, 2012. Statistik Indonesia, Jakarta: Badan Pusat Statistik Indonesia.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
295
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Desmiwati. 2009. Pertumbuhan Ekonomi dan Pengentasan Kemiskinan di Indonesia ( http://wongdesmiwati.files.wordpress.com, diakses 12 Desember 2010) Harminto Siregar dan Dwi Wahyuniarti, 2008, Dampak Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Penurunan Jumlah Penduduk Miskin, Available http://deptan.go.id. PDRB Kota Surabaya. 2012. Surabaya: BPS Rizky, Awalil dan Majidi, Nasyith. 2009. Misteri Penurunan Angka Kemiskinan. (http://www.scribd.com/doc/21255142/Misteri-Penurunan-Angka-Kemiskinan, diakses 12 Desember 2010) Sadono Sukirno, Sadono. 2010, Ekonomi Pembangunan, Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Bandung: Alfabeta Suharto, Edi. 2009. Kemiskinan dan Perlindungan Sosial di Indonesia. Bandung: Alfabeta. Sumodiningrat, Gunawan, 2007. Ekonometrika Pengantar. Yogyakarta: BPFE Yogyakarta Suparmoko. 2007. Ekonomi Pembangunan. Yogyakarta: CV Andi Offset T.H. Tambunan, Tulus. 2009, Perekonomian Indonesia: Teori dan Temuan Empiris, Jakarta: Ghalia Indonesia Todaro, Michael P, 2000, Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, Erlangga, Jakarta.
296
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Inflasi Di Indonesia: Pendekatan Error Correction Model (ECM) Lina Susilowati 24 ([emailprotected]) Abstract This research is aimed at analysis some factors that affect inflation rate in Indonesia during period 1970– 2012. Using stationary test, cointegration test and error correction model analysis this research will investigate the relationship between independent variable and dependent variable in both short run and long run. Exchange Rate and Money growth variable have significant influence on inflation rate in the long run and short run. Interest rate variable not significant influence on inflation rate in the short run. Keywords: Inflation rate, exchange rate, interest rate, money growth, cointegration, ECM Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat inflasi di Indonesia selama periode 1970-2012. Dengan menggunakan uji stasioneritas, uji kointegrasi dan analisis error correction model, penelitian ini akan menganalisis pengaruh antara variabel bebas terhadap variabel terikat dalam jangka pendek dan jangka panjang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel nilai tukar dan pertumbuhan jumlah uang beredar secara signifikan berpengaruh terhadap tingkat inflasi baik dalam janggka panjang maupun jangka pendek. Variabel suku bunga tidak signifikan berpengaruh terhadap tingkat inflasi dalam jangka pendek. Kata Kunci: tingkat inflasi, exchange rate, interest rate, jumlah uang beredar, kointegrasi, ECM
Pendahuluan Inflasi merupakan salah satu indikator penting dalam menganalisis perekonomian suatu Negara, terutama berkaitan dengan dampaknya yang luas terhadap variabel makroekonomi agregat, pertumbuhan ekonomi, keseimbangan eksternal, daya saing, tingkat bunga dan bahkan distribusi pendapatan. Inflasi juga sangat berperan dalam mempengaruhi mobilisasi dana lewat lembaga keuangan formal. Tingkat harga merupakan Opportunity cost bagi masyarakat dalam memegang (holding) asset financial. Artinya masyarakat akan merasa beruntung jika memegang asset dalam bentuk riil dibandingkan asset financial luar negeri dimasukkan sebagai salah satu pilihan asset, maka perbedaan tingkat inflasi dalam negeri dan internasional dapat menyebabkan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing menjadi overvalued dan pada gilirannya akan menghilangkan daya saing komoditas Indonesia, (Endri, 2008). Sebelum terjadinya krisis keuangan Asia yang melanda perekonomian Indonesia pada tahun 1998, Bank Indonesia sebagai institusi yang bertanggung jawab terhadap kestabilan tingkat inflasi telah secara dini memformulasikan dan mengimplementasikan kebijakan moneter yang mempertahankan stabilitas nilai tukar . Namun dalam kenyataannya pencapaian tujuan mempertahankan stabiltas nilai tukar lebih mendominasi sasaran kebijakan moneter, sebaliknya pencapaian pertumbuhan besaran moneter dan inflasi menjadi sering terabaikan. Terlebih lagi dengan meningkatnya arus modal masuk pada awal 1990-an, sasaran target berupa money base menjadi kurang dapat dikendalikan. Seiring dengan meningkatnya tekanan terhadap rupiah,
24
Dosen Pendidikan Ekonomi, STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
297
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
maka pada bulan Agustus 1997 Bank Indonesia melepaskan rentang intervensi dan mengambangkan nilai tukar rupiah. Bertumpu pada UU No. 23 Tahun 1999, Bank Indonesia memfokuskan kebijakannya pada pencapaian kestabilan nilai rupiah, dengan menempatkan “inflasi” sebagai landasan dalam kebijakan moneternya. Inflation targeting (IT) secara implisit telah diterapkan di Indonesia sejak Bank Indonesia mengumumkan target inflasi secara transparan kepada public di awal tahun 2000. Penerapan IT di Indonesia didasarkan pada beberapa pertimbangan (Alamsyah, et al., 2001). Pertama, dengan telah ditinggalkannya system nilai tukar sebagai nominal anchor, diperlukan adanya anchor alternatif yang kredibel. Kedua, penerapan inflation targetting merupakan konsekuensi dari independensi Bank Indonesia dalam menjalankan kebijakan moneter yang difokuskan pada pengendalian inflasi. Mulai juli 2005 Bank Indonesia telah mengimplementasikan kerangka kerja kebijakan moneter yang baru konsisten dengan Inflation Targetting Framework, yang mencakup empat elemen mendasar yaitu penggunaan suku bunga BI rate sebagai sasaran operasional, proses perumusan kebijakan moneter yang antisipatif, stategi komunikasi yang lebih transparan dan penguatan koordinasi kebijakan dengan pemerintah. Langkah-langkah dimaksud ditujukan untuk meningkatkan efektivitas dan tata kelola (governance) kebijakan moneter dalam mencapai sasaran akhir kestabilan harga untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat. Studi ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi di Indonesia yang terdiri dari variabel-variabel domestik, maupun variabel eksternal. Variabelvariabel domestik terdiri dari variabel suku bunga (interest rate), pertumbuhan jumlah uang beredar (M2), sementara variabel eksternal adalah nilai tukar (exchange rate)
Landasan Teori Exchange Rate. Di Iindonesia, ada tiga sistem yang digunakan dalam kebijakan nilai tukar rupiah sejak tahun 1971 hingga sekarang. Antara tahun 1971 hingga 1978 menganut sistem nilai tukar tetap (fixed exchange rate) dimana nilai rupiah secara langsung dikaitkan dengan dollar Amerika Serikat (USD). Sejak 15 november 1978 sistem nilai tukar berubah menjadi mengambang terkendali (managed floating exchange rate) dimana nilai rupiah tidak lagi semata-mata dikaitkan dengan USD, maksud dari nilai tukat tersebut adalah bahwa meskipun diarahkan ke sistem nilai tukar mengambang namun tetap menitikberatkan unsur pengendalian. Kemudian terjadi perubahan mendasar dalam kebijakan mengambang terkendali terjadi pada tanggal 14 agustus 1997, dimana jika sebelumnya Bank Indonesia menggunakan band sebagai guidance atas pergerakan nilai tukar maka sejak maka sejak saat itu tidak ada lagi band sebagai acuan nilai tukar. Namun demikian cukup sulit menjawab apakah nilai tukar rupiah sepenuhnya di lepas ke pasar (free floating) atau masih akan dilakukan intervensi oleh Bank Indonesia. Dengan mengamati segala dampak dari sistem free floating serta dikaitkan dengan kondisi/struktur perekonomian Indonesia selama ini nampaknya purely free floating sulit untuk dilakukan. Kemungkinan adalah Bank Indonesia akan tetap mempertahankan managed floating dengan melakukan intervensi secara berkala, selektif dengan melemahnya nilai tukar mata uang Indonesia menandakan lemahnya kondisi untuk melakukan transaksi luar negeri baik itu untuk ekspor-impor maupun hutang luar negeri. Terdepresiasinya mata uang Indonesia menjadi
298
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
menyebabkan perekonomian Indonesia menjadi goyah dan dilanda krisis ekonomi dan krisis kepercayaan terhadap mata uang domestik.
Interest Rate. Pandangan umum yang berlaku saat ini, suku bunga memiliki hubungan negatif dengan inflasi, menaikkan suku bunga berarti menurunkan inflasi. Ketika suku bunga dinaikkan, maka orang akan tertarik untuk menyimpan uang di bank, sehingga akan mengurangi jumlah uang beredar, akibatnya saat itu inflasi turun. Tetapi konsekuensi dari penerapan suku bunga ialah adanya besaran tertentu yang nilainya sudah ditentukan di awal. Nilai itu harus dibayar bank kepada nasabah pada saat bunga tersebut jatuh tempo. Dalam buku pengantar ilmu ekonomi selalu disebutkan ketika pemerintah mencetak uang terlalu banyak, maka yang terjadi adalah inflasi. Tapi seringkali kita lupa, bank juga dapat ‘mencetak’ uang dengan cara menyalurkan kredit dan mengenakan bunga atasnya, money creation by the bank, dan itupun dapat menyebabkan inflasi. Inflasi akan merugikan orang yang berpenghasilan tetap, yakni naiknya nominal harga tidak diikuti naiknya nominal pendapatan kita. Tetapi akan menguntungkan mereka yang memiliki deposito dalam jumlah besar di bank konvensional (Mankiw, 2006). Efek Fisher mampu menjelaskan dengan baik fluktuasi dalam tingkat bunga nominal. Bila inflasi tinggi, tingkat bunga nominal biasanya tinggi, dan ketika inflasi rendah, tingkat bunga nominal biasanya juga rendah. Dukungan serupa untuk efek Fisher datang dari hasil penelitian variasi di berbagai negara pada satu waktu, tingkat inflasi suatu negara dan tingkat bunga nominalnya sangat berkaitan. Negara-negara dengan inflasi yang tinggi cenderung memiliki tingkat bunga nominal yang tinggi dan negara-negara dengan inflasi rendah cenderung memiliki tingkat bunga nominal yang rendah (Mankiw, 2006).
M2 (Jumlah Uang Beredar). Nilai uang ditentukan oleh supply dan demand terhadap uang. Jumlah uang beredar ditentukan oleh bank sentral (selaku otoritas moneter) sedangkan permintaan akan uang, ditentukan oleh; antara lain harga rata – rata dalam perekonomian. Jumlah uang yang diminta oleh masyarakat untuk melakukan transaksi akan tergantung dari tingkat harga barang dan jasa yang tersedia. Semakin mahal tingkat harga barang dan jasa yang ada di masyarakat maka akan semakin tinggi pula jumlah uang yang akan diminta oleh masyarakat. Value of Price Money, 1/p Level, P (High)
1
1
¼
133
½A Equilbrium Value of money
A
((Low)
2 Equilbrium Price level
4
¼ 0
Money demand
(Low)
(High) Quantity fixed By the Fed
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
299
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Grafik di atas, menggambarkan hubungan antara supply dan demand terhadap uang. Sumbu horisontal menggambarkan jumlah uang beredar, sumbu vertikal kiri menggambarkan nilai uang, 1/P, dan sumbu vertikal kanan menggambarkan tingkat harga, P. Sumbu – sumbu vertikal menggambarkan bahwa pada saat nilai uang tinggi maka tingkat harga akan rendah, dan sebaliknya, pada tingkat harga yang tinggi, maka nilai uang akan rendah. Kedua kurva menggambarkan supply dan demand terhadap uang. Kurva supply berbentuk vertikal karena jumlah uang beredar ditentukan sepenuhnya oleh bank sentral. Kurva demand memiliki slope negatif, mengindikasikan bahwa pada saat nilai uang rendah, dan tingkat harga tinggi, maka permintaan akan uang akan tinggi. Pada titik equlibrium A, jumlah uang yang diedarkan akan sama dengan jumlah uang yang diminta. Equilibrium antara supply dan demand akan menentukan terhadap uang menentukan nilai uang dan tingkat harga barang dan jasa. Apabila bank sentral mengambil kebijakan, misalkan saja dengan mencetak lebih banyak uang, maka supply dan demand terhadap uang akan berubah. Perubahan tersebut seperti berikut: Value of Money, 1/p (High) 1 2……decreases The value of Money……..
MS1
Price Level, P (Low)
MS2
1
1 An increase In the money supply
A
¼ ½
133 2
B ( Low )
Money clemend
¼
3….and increases the price level
4 (High)
0 M1
M2
Quantity of money
Bertambahnya jumlah uang beredar akan menggeser kurva MS1 ke MS2,sehingga titik equilibrium akan bergeser dari titik A ke titik B. sebagai akibatnya, nilai uang akan turun dari ½ ke ¼ dan tingkat harga equilibrium akan naik dari 2 ke 4. Dengan kata lain, meningkatnya jumlah uang beredar akan mendorong kenaikan harga yang pada akhirnya akan menurunkan nilai uang. Lebih jelasnya, dapat digambarkan di sini, bahwa penambahan uang beredar merupakan dampak langsung dari kebijakan yang dilakukan oleh otorita moneter tersebut. Sebelum bank sentral melakukan penambahan jumlah uang beredar, perekonomian digambarkan berada di titik equilibrium A, saat jumlah uang beredar meningkat, pada tingkat harga yang sama seperti sebelumnya, masyarakat memegang lebih banyak uang tunai daripada yang mereka inginkan. Naiknya jumlah uang ini akan meningkatkan permintaan terhadap barang dan jasa. Apabila perekonomian tidak bisa memenuhi tambahan permintaan barang dan jasa tersebut, maka akan terjadi peningkatan harga terhadap barang dan jasa secara umum. Peningkatan harga barang dan jasa, akan meningkatkan peningkatan permintaan terhadap uang oleh masyarakat. Pada akhirnya, perekonomian akan kembali pada titik keseimbangan baru yaitu titik B. Penjelasan yang menggambarkan bagaimana tingkat harga ditentukan dan berubah seiring dengan perubahan jumlah uang beredar disebut teori kuantitas uang (quantity theory of money).
300
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Berdasarkan teori ini, jumlah uang yang beredar dalam suatu perekonomian menentukan nilai uang, sementara pertumbuhan jumlah uang beredar merupakan sebab utama terjadinya inflasi. Secara umum, teori kuantitas uang menggambarkan pengaruh jumlah uang beredar terhadap perekonomian, dikaitkan dengan variabel harga dan output. Hubungan antara jumlah uang beredar, output, dan harga dapat ditulis dalam persamaan matematis sebagai berikut: MxV=PxY Dimana: P = tingkat harga (GDP deflator) Y = jumlah output (real GDP) M = jumlah uang beredar, PxY = nominal GDP, dan V = velocity of money (perputaran uang). Velocity of money (perputaran uang) mengukur tingkat dimana uang bersirkulasi dalam perekonomian. Atau dapat dikatakan mengukur kecepatan perpindahan uang dari satu orang ke orang lainnya. Velocity of money dapat dihitung melalui pembagian antara GDP nominal dengan jumlah uang beredar. Secara matematis, dapat ditulis sebagai berikut: V=(PxY)/M Persamaan di atas dapat dianggap sebagai suatu definisi yang menunjukkan perputaran V sebagai rasio GDP nominal, PY, terhadap kuantitas uang M. Persamaan tersebut merupakan suatu identitas. Jika satu atau lebih variabel itu berubah, maka satu atau lebih variabel lainnya juga harus berubah untuk menjaga kesamaan. Misalnya, jika jumlah uang beredar meningkat, maka akibatnya dapat dilihat dari ketiga variabel lainnya: harga harus naik, kuantitas output harus naik, atau kecepatan perputaran uang harus turun. Secara teoretis, hubungan antara tingkat inflasi dan tingkat harga ekuilibrium yang digambarkan dalam quantity theory of money dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Velocity of money relatif stabil dalam jangka panjang. b. Karena velocity relatif stabil, saat Bank Sentral mengubah jumlah uang beredar (M), terjadi perubahan proporsional dalam nilai output nominal (PY). c. Besarnya output barang dan jasa (Y) ditentukan oleh supply faktor produksi dan teknologi produksi. Secara khusus, karena uang adalah netral, uang tidak memengaruhi besaran output. d. Dengan output (Y) ditentukan oleh supply faktor dan teknologi, saat Bank Sentral mengubah jumlah uang beredar (M) dan menyebabkan perubahan proporsional terhadap nilai output nominal (PY), perubahan tersebut akan tercermin dalam tingkat harga (P). Jadi, teori ini menunjukkan bahwa tingkat e. harga adalah proporsional terhadap jumlah uang beredar. f. Karena tingkat inflasi ditunjukkan oleh perubahan persentase dalam tingkat harga, maka meningkatnya jumlah uang beredar akan menyebabkan inflasi. Persamaan kuantitas dapat ditulis dalam bentuk perubahan persentase, sebagai berikut: Perubahan persen M + Perubahan persen V = Perubahan persen P + Perubahan persen Y Persamaan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. (1), perubahan persentase dalam kuantitas uang M berada di bawah pengawasan Bank Sentral (2) perubahan persentase dalam perputaran uang V mencerminkan pergeseran dalam permintaan uang; diasumsikan bahwa perputaran adalah konstan sehingga perubahan persentase dalam perputaran V adalah nol (3) perubahan persentase dalam tingkat harga P adalah tingkat inflasi (4) perubahan persentase Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
301
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
dalam output Y bergantung pada pertumbuhan faktor – faktor produksi dan kemajuan teknologi yang dapat dianggap sebagai baku (given). Analisis ini menyatakan bahwa pertumbuhan jumlah uang beredar menentukan tingkat inflasi.
Review Penelitian Sebelumnya. Beberapa penelitian terdahulu yang menganalis Inflasi di Indonesia dengan menggunakan data-data pada periode sebelum krisis pada umumnya menemukan bahwa pergerakan nilai tukar merupakan suatu determinan yang signifikan terhadap inflasi. Studi yang dilakukan oleh Ahmed dan Kapur (1990) menganalisis efek inflasi dari kebijakan moneter dengan menggunakan metode estimasi OLS. Mereka menemukan bahwa inflasi di Indonesia hanyalah merupakan bagian dari suatu fenomena moneter. Variabel-variabel structural seperti harga impor dan harga beras berpengaruh terhadap inflasi domestik. Kesimpulan yang mereka kemukakan adalah bahwa dengan pertumbuhan uang yang rendah akan dapat mengurangi inflasi, disisi lain transmisi dari inflasi internasional akan mempunyai pengaruh yang besar dan dengan waktu yang segera. Penggunaan teknik kointegrasi untuk menjelaskan pengaruh dari kebijakan pengendalian nilai tukar secara ketat terhadap inflasi dilakukan Siregar (1996). Hipotesis yang dikemukakan adalah bahwa kebijakan devaluasi untuk menstimulasi ekspor akan mempunyai konsekuensi terhadap inflasi, dia juga menunjukkan bahwa perubahan nilai tukar rupiah mempunyai efek terhadap inflasi. Penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi di Indonesia juga dilakukan McLeod (1997), yang mengusulkan base money targetting sebagai pilihan terbaik Bank Indonesia dalam mengendalikan inflasi. Alasannya bahwa kebijakan otorites moneter akan direspon oleh inflasi dalam jangka menengah sampai jangka panjang melalui pengaruh terhadap supply base money. Kesimpulan lainnya adalah bahwa kebijakan yang ditempuh Bank Indonesia sebelum terjadinya krisis keuangan 1997 yang berkaitan dengan menargetkan besaran moneter dalam arti luas seperti M1 dan M2 serta kredit adalah salah sasaran, terutama dalam masa pertengahan liberalisasi sektor keuangan pada akhir 1980 dan cenderung untuk membiarkan masalah inflasi. Selanjutnya, penelitian mengenai inflasi di Indonesia dengan model yang memasukkan variabel sector moneter, sektor tenaga kerja, dan sektor luar negeri dilakukan oleh Ramakrishnan dan Vavakidis (2002). Dengan menggunakan data kuartalan periode 1980-2000, pemakaian teknik kointegrasi tidak dapat menghasilkan determinan-determinan inflasi yang signifikan. Kesimpulan dari penelitian adalah bahwa nilai tukar dan inflasi luar negeri merupakan kontributor utama terhadap inflasi di Indonesia dengan kekuatan prediksi yang benar, sedangkan pertumbuhan money base meskipun secara statistik signifikan namun hanya berpengaruh kecil terhadap inflasi. Sementara itu, Endri ABFI Institutes PERBANAS Jakarta, penelitiannya mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi Inflasi di Indonesia, dengan menggunakan metode Error Correction Model (ECM) temuan penting yang diperoleh adalah selama periode nilai tukar mengambang, dalam jangka panjang instrumen kebijakan moneter (SBI Rate), out put gap dan nilai tukar mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap inflasi Indonesia. Dalam jangka pendek, kecepatan penyesuaian nilai tukar cukup besar dan signifikan untuk kembali ke keseimbangan jangka panjangnya. Dengan menggunakan impulse response dan variance decomposition juga menunjukkan bahwa suku bunga SBI, nilai tukar dan out put gap mempunyai kontribusi yang cukup signifikan dalam mempengaruhi inflasi di Indonesia. 302
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Metode Penelitian Data dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan data tahunan dari periode 1970 sampai 2012, variabelvariabel domestik yang dimasukkan dalam model terdiri dari variabel suku bunga, pertumbuhan M2 (jumlah uang beredar), sedangkan variabel eksternal menggunakan nilai tukar. Data yang digunakan adalah dari Asian Development Bank (ADB), Badan Pusat Statistik.
Spesifikasi Model Spesifikasi model dasar untuk menggambarkan pengaruh Exchange rate, Interest rate dan Jumlah Uang Beredar terhadap Inflasi secara empiris diformulasikan dalam fungsi sistematis sebagai berikut : INF = f ( ER, IR, M2) Sehingga dalam persamaan regresi berganda (OLS) dapat diformulasikan sebagai berikut : Y = 0 + 1 X1 + 2 X2 + 3 X3 + μt Dimana, Y = Inflasi 0, 1, 2, 3 = parameter X1= interest rate X2= exchange rate X3= jumlah uang beredar(M2)
Teknik Analisa Data. Pada umumnya data ekonomi time series seringkali tidak stasioner pada level series, jika hal ini terjadi maka kondisi stasioner dapat terjadi dengan menggunakan diferensiasi satu kali atau lebih apabila data telah stasioner pada level series maka data tersebut dikatakan integrated of order zero atau I(0). Apabila data stasioner pada first difference maka data tersebut adalah integrated of order one atau I(1). Teknik analisis dengan regresi linier biasa (OLS) hanya dapat dipakai jika semua datanya stasioner, baik variabel dependent maupun independent. Namun jika ada data yang tidak stasioner dan apabila estimasi dengan menggunakan teknik OLS dipaksakan, maka dapat terjadi regresi yang palsu (spurious regression).
Uji Unit Root. Sebelum melakukan analisa regresi dengan mengunakan data time series, perlu dilakukan uji stasioneritas terhadap seluruh variabel-variabel baik dependent variable maupun independent variable. Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan pengujian unit root yang bertujuan untuk mengetahui apakah data tersebut mengandung unit root, sehingga data tersebut dikatakan data yang tidak stasioner. Penentuan order integrasi dilakukan dengan uji unit root untuk mengetahui sampai berapa kali diferensiasi harus dilakukan agar series menjadi stasioner, terdapat beberapa metode pengujian unit root, dua diantaranya yang saat ini secara luas dipergunakan adalah (augmented) Dickey Fuller dan Philips-Perron unit root test. Ilustrasi uji unit root dengan menggunakan uji Dickey-Fuller adalah dengan mengikuti proses autokorelasi orde pertama AR(1) sebagai berikut. Yt = a0 + a1Yt-1+ μ...................................(1) Dimana a0 dan a1 adalah parameter dan μ diasumsikan white noise. Yt adalah suatu series yang stasioner jika -1 r tabel.
Uji Reliabilitas Pengujian reliabilitas dalam penelitian ini menggunakan rumus Alpha Cronbach (Arikunto, 2006:196). Reliabilitas menunjuk pada satu pengertian bahwa suatu instrumen cukup dapat dipercaya untuk digunakan sebagai alat pengumpul data karena instrumen tersebut sudah baik. Sedangkan menurut Danang Sunyoto (2011:67), reliabilitas adalah alat untuk mengukur suatu kuesioner yang merupakan indikator dari variabel atau konstruk. Berikut adalah rumus yang digunakan untuk mencari tingkat reliabilitas instrumen:
(Sumber: Suharsimi Arikunto, 2006:196) Keterangan: r : Reliabilitas instrumen k : Banyaknya butir pertanyaan atau banyaknya butir soal
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
457
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Ʃσb2 : Jumlah varians butir σ 12 : Varians total Dalam penelitian ini, uji reliabilitas digunakan untuk mengukur tingkat reliabilitas angket atau kuesioner. Uji reliabilitas dapat dihitung dengan menggunakan rumus Cronbach’s Alpha yang terdapat dalam program SPSS for Windows Versi 17.0.
Analisis Angket Motivasi Belajar Uji Validitas Untuk mengetahui valid atau tidaknya instrumen angket motivasi belajar dalam penelitian ini menggunakan korelasi Pearson Moment. Masrun (1979) dalam sugiyono (2013: 188-189) mengatakan bahwa “Item yang mempunyai korelasi positip dengan kriterium (skor total) serta korelasi yang tinggi, menunjukkan bahwa item tersebut mempunyai validitas yang tinggi pula. Biasanya syarat minimum untuk dianggap memenuhi syarat adalah kalau r = 0,3. Jadi korelasi antara butir dengan skor total kurang dari 0,3 maka butir dalam instrument tersebut dinyatakan tidak valid.” Angka hasil perhitungan rxy kemudian dikonsultasikan dengan tabel korelasi Product Moment pada taraf signifikansi 5%. Butir soal dikatakan valid jika r hitung > r table.
Uji Reliablitas Untuk menguji reliabilitas angket motivasi belajar digunakan rumus Alpha Cronbach dengan rumus: 2 k si ri 1 k 1 st2
Dimana: ri = reliabilitas instrumen k = mean kuadrat antara subyek
S
= mean kuadrat kesalahan
S t2
= varians total
2 i
Rumus untuk varians total dan varians item: 2 t
s
X n
2 t
X t
n
2
2
si2
JKi JKs 2 n n
Dimana: JKi = jumlah kuadrat seluruh skor item JKs = jumlah kuadrat subyek
Uji Prasyarat Uji Normalitas Uji normalitas digunakan untuk menguji data dari variabel independen (X) dan data variabel dependen (Y) pada persamaan regresi yang dihasilkan, apakah berdistribusi normal atau berdistribusi tidak normal dengan menggunakan metode Kolmogorov-Smirnov Z. Metode pengambilan keputusan untuk uji normalitas Kolmogorov-Smirnov Z yaitu jika signifikansi (Asymp.sig) > 0,05 maka data berdistribusi normal dan jika signifikansi (Asymp.sig) < 0,05maka data tidak berdistribusi normal. (Duwi Priyatno, 2010:58)
458
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Uji Homogenitas Uji homogenitas digunakan untuk mengetahui apakah variansi data dari kelompokkelompok yang homogeny dengan menggunakan rumus Barlet dengan langkah-langkah sebagai berikut: a) Menghitung variansi gabungan dari seluruh sel.
ni 1Si S ni 1 2
2
b) Menghitung harga satuan B: B=(log S2 ) ∑(n1-1) c) Memasukkan rumus Chi kuadrat X2=1n 10(B-∑(n1-1)) dimana 1n 10 =2,3026 d) Menarik kesimpulan yaitu dengan membandingkan hasil perhitungan dengan tabel pada taraf signifikansi 5%.
Uji Hipotesis Setelah dilakukan uji asumsi,maka selanjutnya dilakukan pengujian Anova dua jalur. Uji ini digunakan untuk membandingkan dua kelompok data independen atau lebih sebagai variabel pertama dan dua kelompok data non independent atau lebih sebagai variabel kedua (mixed design), Santosa, (2012:82), apakah terdapat interaksi antara dua variabel atau lebih tersebut, uji Anova dengan menggunakan program SPSS for Window Versi 16.0. (1) Hipotesis 1 untuk mengetahui perbedaan hasil belajar siswa yang diajar dengan metode simulasi dan metode drill, diuji dengan T-test sample Independent, (2) Hipotesis 2 untuk mengetahui perbedaan hasil belajar siswa yang memiliki motivasi tinggi dan motivasi rendah, diuji dengan T-test Sample Independent, dan (3) Hipotesis 3 untuk mengetahui interaksi metode Simulasi, Metode drill serta motivasi belajar terhadap hasil blejar siswa diuji dengan Anova dua jalur.
Hasil Penelitian Hasil Analisis Data Uji validitas Uji coba kuesioner variabel motivasi belajar dilakukan pada 20 orang responden dari kelas XI SMK Negeri I Magetan. Dari data scoring setelah dilakukan uji indeks diskriminasi item kuesioner motivasi belajar dengan komputasi Software SPSS 16.0 for windows untuk 21 item pertanyaan, 21 item dinyatakan valid. Sedangkan Uji coba kuesioner variabel hasil belajar dilakukan pada 20 orang responden dari kelas XI SMK Negeri I Magetan. Dari data scoring setelah dilakukan uji indeks diskriminasi item kuesioner hasil belajar dengan komputasi Software SPSS 16.0 for windows untuk 30 item, 30 item dinyatakan valid.
Uji Reliabilitas Penghitungan reliabilitas kuesioner variabel motivasi belajar dilakukan pada 21 item yang valid, dengan nilai reliabilitas Alpha Cornbach 0.774, yang berarti lebih besar (≥) dari r kritis 0.700. Sedangkan Reliabilitas variabel hasil belajar dilakukan pada 30 item yang valid, dengan nilai reliabilitas Alpha Cornbach 0.760, yang berarti lebih besar (≥) dari r kritis 0.700
Uji Normalitas Setelah dilakukan uji Kolmogrov-Smirnov melalui komputasi Software SPSS Version 16.0 for Windows didapat nilai Kolmogrov-Smirnov K-S Z Motivasi Belajar 0.402 dan Phitung 0.545
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
459
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
lebih besar dari Pkritis 0.05 maka dianggap normal, nilai K-S Z Hasil Belajar 0.480 dan Phitung 0.467 lebih besar dari Pkritis 0.05 maka dianggap normal.
Uji Homogenitas Uji homogenitas digunakan untuk mengetahui apakah variansi data dari kelompokkelompok yang homogen. Data dikatakan homogen apabila hasil perhitungan dengan tabel pada taraf signifikansi 5%. Tabel Uji Homogenitas Test of Homogeneity of Variances XRAT Levene Statistic
df1
.443
df2 2
Sig. 36
.646
Uji Hipotesis Tabel .... Uji Anova Dua Jalur Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:YRAT Source
Type III Sum of Squares
df Mean Square
F
Sig.
Corrected Model
3.424a
3
1.141
21.954
.000
Intercept
3.202
1
3.202
61.591
.000
Simulasi
1.241
1
1.241
23.865
.000
Drill
.518
1
.518
9.966
.003
simulasi * drill
.002
1
.002
.038
.047
Error
1.820 35
.052
Total
14.500 39
Corrected Total
5.244 38
a. R Squared = ,653 (Adjusted R Squared = ,623) Berdasarkan pengujian Anova dua jalur diatas maka dapat diketahui bahwa: 1) Nilai signifikansi metode pembelajaran sebesar 0,00 ≤ 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan hasil belajar antara penggunaan metode pembelajaran Simulasi dengan Metode Pembelajaran Drill. 2) Nilai Signifikansi motivasi belajar sebesar 0,003 ≤ 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan hasil belajar antara motivasi belajar kurang dengan motivasi belajar tinggi. 3) Nilai signifikansi metode pembelajaran dengan motivasi belajar sebesar 0,047 ≤ 0,05, hal ini menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara hasil belajar dengan metode pembelajaran Simulasi dan Metode Pembelajaran Drill. Nilai R = 0,653, hal ini menunjukkan bahwa penelitian ini memiliki korelasi kuat Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimanakah pengaruh metode pembelajaran simulasi dan drill serta motivasi belajar terhadap hasil belajar siswa pada kompetensi keahlian
460
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
akuntansi di SMK Negeri I Magetan dan SMK PSM 2 Kawedanan Magetan tahun pelajaran 2013-2013.
Perbedaan Hasil Belajar pada siswa antara yang menggunakan metode Simulasi dan Drill di kompetensi Keahlian Akuntansi Berdasarkan hasil uji Anova dua jalur diketahui bahwa Nilai signifikansi metode pembelajaran sebesar 0,00 ≤ 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan hasil belajar antara penggunaan metode pembelajaran Simulasi dengan Metode Pembelajaran Drill. Dari distribusi frekuensi dari 39 responden yang mendapatkan metode belajar Drill, setengahnya memiliki hasil belajar tuntas, yaitu 22 responden (56,4%). Sedangkan dari 39 responden yang mendapatkan metode pembelajaran simulasi, setengahnya memiliki hasil belajar tidak tuntas, yaitu 23 responden (59,0%). Hasil belajar siswa yang mendapatkan metode pembelajaran drill terbukti lebih baik, karena metode drill mengajarkan siswa untuk melaksanakan kegiatan latihan agar siswa memiliki ketangkasan atau ketrampilan yang lebih tinggi daripada hal-hal yang telah dipelajari. Dengan metode Drill ketegasan dan ketrampilan siswa meningkat atau lebih tinggi daripada halhal yang telah dipelajari dan seorang siswa benar-benar memahami apa yang disampaikan, sehingga hasil belajar mereka pun dapat meningkat.
Perbedaan hasil belajar antara siswa yang memiliki motivasi belajar tinggi dan motivasi belajar rendah di Kompetensi Keahlian Akuntansi Nilai Signifikansi motivasi belajar sebesar 0,003. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan hasil belajar antara siswa yang memiliki motivasi belajar tinggi dan motivasi belajar rendah di Kompetensi Keahlian Akuntansi karena nilai signifikansi lebih besar dari 0,05. Dari hasil distribusi frekuensi diketahui bahwa dari 39 responden yang mendapatkan metode pembelajaran simulasi, setengahnya memiliki motivasi rendah, yaitu 23 responden (59,0%), sedangkan dari 39 responden yang mendapatkan metode pembelajaran Drill, sebagian besar memiliki motivasi tinggi, yaitu 33 responden (84,6%). Peran motivasi menentukan ketekunan dalam pembelajaran, siswa akan belajar seoptimal mungkin untuk belajar dengan tekun. Dengan harapan mendapat hasil yang baik dan lulus. Motivasi dapat melahirkan prestasi seorang siswa, karena pada dasarnya tinggi rendahnya prestasi seseorang siswa selalu dihubungkan dengan tinggi rendahnya motivasi pembelajar seorang siswa tersebut.
Interaksi antara penggunaan metode Simulasi dan Drill serta motivasi belajar terhadap Hasil Belajar siswa di Kompetensi Keahlian Akuntansi Nilai signifikansi metode pembelajaran dengan motivasi belajar sebesar 0,047 ≤ 0,05, hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan hasil belajar antara metode pembelajaran Simulasi dengan Metode Pembelajaran Drill. Hal ini didukung dengan distribusi karakteristik responden yang diketahui dari 78 responden, sebagian besar memiliki orang tua yang bekerja sebagai petani, yaitu 52 responden (66,7%). Kondisi orang tua siswa yang sebagian besar bekerjas sebagai petani, membuat kondisi ekonomi siswa berada pada kondisi menengah kebawah. Hal ini yang menyebabkan siswa mempunyai semangat untuk belajar dengan giat, dengan tujuan untuk meraih prestasi sehingga dapat merubah kondisi ekonomi yang dialami oleh sebagian besar siswa dalam penelitian ini. Selain itu, metode pembelajaran dengan menggunakan metode drill juga cukup mendukung
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
461
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
kemapuan siswa dalam meningkatkan kompetensi bidang akuntansi sehingga hasil belajar siswa dapat meningkat.
Simpulan Simpulan dari penelitian ini adalah: a. Nilai signifikansi metode pembelajaran sebesar 0,00 ≤ 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan hasil belajar antara penggunaan metode pembelajaran Simulasi dengan Metode Pembelajaran Drill. b. Nilai Signifikansi motivasi belajar sebesar 0,003 ≤ 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan hasil belajar antara motivasi belajar kurang dengan motivasi belajar tinggi. c. Nilai signifikansi metode pembelajaran dengan motivasi belajar sebesar 0,047 ≤ 0,05, hal ini menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara hasil belajar dengan metode pembelajaran Simulasi dan Metode Pembelajaran Drill. Nilai R = 0,653, hal ini menunjukkan bahwa penelitian ini memiliki korelasi kuat
Saran Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka disarankan beberapa hal sebagai berikut: a. Guru Diharapkan dapat menerapkan metode pembelajaran yang tepat dan inovatif sehingga dapat meningkatkan motivasi dan hasil belajar siswa b. Peneliti Karena keterbatasan waktu dalam penelitian ini, diharapkan bagi peneliti lain dapat mengembangkan penelitian ini dengan variabel yang lebih banyak dan jumlah responden yang lebih variatif sehingga dapat menghasilkan sumbangsih bagi ilmu pengetahuan yang lebih akurat
Daftar Pustaka Amri, Sofan. 2013. Pengembangan & Model Pembelajaran dalam kurikulum 2013. Jakarta. Prestasi Pustaka. Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Darmadi Hamid. 2013. Metode Penelitian Pendidikan dan Sosial, Konsep Dasar dan Implementasi. Bandung. Alfabet, cv Djamarah, Syaiful Bahri. 2002. Psikologi Belajar. Jakarta: PT Rineka Cipta. Djamarah, Syaiful Bahri, dan Aswan Zain. 2010. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Rineka Cipta. Fathurrohman Pupuh dan M. Sobry Sutikno. 2007. Strategi Belajar Mengajar. Bandung: PT Refika Aditama. Fathurrohman, Pupuh dan Sutikno, M.Sobry. 2010. Strategi Belajar Mengajar- Strategi Mewujudkan Pembelajaran Bermakna Melalui Penanamaan Konsep Umum & Konsep Islami. Bandung: Refika Aditama. Hamalik, Oemar. 2003. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara. Hamalik,Oemar 2004. Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem. Jakarta: Bumi Aksara. Hamalik, Oemar. 2013. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: PT bumi Aksara. Hamdani. 2011. Strategi Belajar Mengajar. Bandung: Pustaka Setia 462
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Hamzah B Uno. 2007. Model Pembelajaran, Menciptakan Proses Belajar Mengajar yang Kreatif dan Efektif. Jakarta: Sinar Grafika offset. Hidayat, Sholeh. 2013. Pengembangan Kurikulum Baru. Bandung: PT Remaja Rusdakarya. Iskandar. 2012. Psikologi Pendidikan Sebuah Orientasi Baru. Jakarta: Referensi Majid, Abdul. 2013. Strategi Pembelajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya. Mulyatiningsih, Endang. 2013. Metode Penelitian Terapan, Bidang Pendidikan. Bandung: Alva Beta,cv. Munadi Yudhi, 2013. Media Pembelajaran. Jakarta: Referensi (GP Press Group) Noor, Juliansyah. 2011. Metodologi Penelitian. Jakarta: Kencana. Priyatno Duwi . 2010. Teknik Mudah dan Cepat Melakukan Analisis Data Penelitian dengan SPSS dan Tanya Jawab Ujian Pendadaran.Yogyakarta: Gava Media. Purwanto. 2013. Evaluasi Hasil Belajar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Rahayu,Sri. 2002. Modul 6 Keuangan (Akuntansi), Mengelola Kartu Utang. Surakarta: CV Pratama Mitra aksara. Rusman. 2013. Model-Model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme guru. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Sanjaya,Wina. 2007. Strategi Pembelajaran berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Prenada Media Group. Sanjaya, Wina. 2008. Pembelajaran Dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta:Kencana. Sanjaya, Wina. 2013. Penelitian Pendidikan Jenis, Metode dan Prosedur. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Santoso, Gempur. 2012. Metodologi Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Jakarta: Prestasi Pustaka. Setyawan Sigit. 2013. Nyalakan Kelasmu (20 Metode Mengajar dan Aplikasinya). Jakarta: Grasindo Slameto. 2010. Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: PT Rineka Cipta. Smaldino, Sharon E.; Lowther, Deborah L.; dan Russell, James D. 2011. Instructional technology & Media For Learning : Teknologi Pemebelajaran dan Media untuk Belajar. Jakarta: Kencana. Sudjana Nana. 2005. Dasar-dasar proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algensindo. Sugiono. 2013. Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: alfa Beta,cv. Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & B. Bandung: Alfabeta. Sukardi. 2003. Metodologi Penelitian Pendidikan, Kompetensi dan Praktiknya. Jakarta: Bumi Aksara. Syukur Fatah . 2008. Teknologi Pendidikan. Semarang: RaSAIL Media Group. Umi Muawanah dan Fahmi Poernawati. 2008. Konsep Dasar Akuntansi dan Pelaporan Keuangan. Klaten: PT Macanan Jaya Cemerlang. Wina Sanjaya. 2004. Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Yaumi, Muhammad. 2013. Prinsip-prinsip Desain Pembelajaran. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
463
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Penerapan Metode Role Playing Terhadap Hasil Belajar Keterampilan Dasar Smash Normal (Open Smash) Dalam Permainan Bolavoli Pada Peserta Didik Kelas X AK 1 SMK PGRI 1 Jombang Olivia Dwi Cahyani 12 ([emailprotected]) Abstract In the process of learning the use of the method has great significance. Due to the vagueness of the learning activities of students on the material provided can be overcome with the right methods and effective learning. Thus students will be more receptive to the material with the use of effective methods. This study was conducted to determine what role the method of use that apply to the learning umbrella smash volleyball?. The purpose of this study was to determine whether the application of the method of paying role to improve learning outcomes with normal smash material (open smash) in the volleyball game in class X students at SMK PGRI AK1 1 Jombang. This research is quantitative research with experimental research designs. The population was students of class X AK SMK PGRI 1 handsome. Large population of 148 students. Samples taken are class X AK 1 SMK PGRI 1 Jombang as much as 49 learners by means of random sampling. The results of this study are as follows: (1) the effectiveness of learning PE by using role playing (2) the effectiveness of PE learning by observation (observation) ,. (3) learning volleyball smash by using role-playing gives increase of the ratio of the number of .2,81%. Different test results mean for different samples indicates that the calculated value t 24.625. So we can conclude that there is a significant comparison between the results of learning smash volleyball learners before and after the application of the use of role playing. Keywords: Methods Role Playing, Learning Outcomes Basic Skills Smash Normal (Open Smash), and volleyball games Abstrak Dalam proses belajar mengajar penggunaan metode mempunyai arti yang sangat penting. Karena dalam kegiatan pembelajaran tersebut ketidak jelasan peserta didik terhadap materi yang diberikan dapat diatasi dengan metode pembelajaran yang benar dan efektif. Dengan demikian peserta didik akan lebih mudah menerima materi dengan penggunaan metode yang efektif. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui seperti apa penggunaan metode role paying yang diterapkan pada pembelajaran smash bolavoli?. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah dengan penerapan metode role paying dapat meningkatkan hasil belajar dengan materi smash normal (open smash ) dalam permainan bolavoli pada peserta didik kelas X Ak1 di SMK PGRI 1 Jombang. Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan desain penelitian eksperimen. Populasi penelitian ini adalah peserta didik kelas X AK SMK PGRI 1 jombang. Besar populasi 148 peserta didik. Sampel yang diambil adalah kelas X AK 1 SMK PGRI 1 Jombang sebanyak 49 peserta didik dengan cara random sampling. Hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) efektivitas pembelajaran penjaskes dengan menggunakan metode role playing, (2) efektivitas pembelajaran penjaskes berdasarkan hasil pengamatan (observasi),. (3) pembelajaran smash bolavoli dengan menggunakan metode role playing memberikan peningkatan sebesar dari perbandingan jumlah sebesar .2,81%. Hasil uji beda rata-rata untuk sampel berbeda menunjukkan bahwa nilai hitung t hitung 24,625. Maka dapat disimpulkan ada perbandingan yang signifikan antara hasil belajar keterampilan dasar smash normal (open smash) bolavoli peserta didik sebelum dan sesudah penerapan penggunaan metode role playing. Kata Kunci: Metode Role Playing, Hasil Belajar Keterampilan Dasar Smash Normal (Open Smash ), dan Permainan Bolavoli 12
Mahasiswa S2 Pendidikan Olahraga, Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia
464
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Pendahuluan Dalam kegiatan belajar mengajar tidak semua anak didik mampu berkonsentrasi dalam waktu yang relatif lama. Daya serap anak didik terhadap bahan yang diberikan juga bermacam – macam ada yang cepat, ada yang sedang, dan ada juga yang lambat, dengan perbedaan daya serap anak didik sebagaimana tersebut di atas memerlukan strategi pengajaran yang tepat, metodelah salah satu jawabannya (Djamarah 2002: 84). Masalah utama dalam proses pembelajaran pendidikan jasmani di Indonesia saat ini adalah rendahnya efektivitas pengajaran di sekolah. Dalam konteks penciptaan kondisi belajar yang efektif, muncul isu tentang bagaimana pengaturan tugas dalam kegiatan belajar mengajar, berapa kali pengulangan tugas agar proses belajar menjadi efektif, dan rendahnya pemanfaatan waktu melakukan latihan juga merupakan indikator tentang rendahnya efektivitas pengajaran. Hal tersebut berkaitan dengan penggunaan metode atau gaya mengajar dan strategi pembelajaran. Gaya mengajar atau metode merupakan kerangka instruksional tentang bagaimana menyampaikan isi pelajaran kepada peserta didik, karena itu haruslah dirancang sedemikian rupa agar setiap individu memperoleh kesempatan yang sama dan maksimal untuk belajar. Waktu belajar yang tersedia dapat dihabiskan atau dimanfaatkan oleh peserta didik untuk aktif belajar sehingga tidak akan terlihat lagi kegiatan peserta didik yang duduk-duduk saja, mengobrolsaat guru menjelaskan, mengganggu temannya, dan tidak peduli dengan penjelasan yang diberikan guru. Dalam pembelajaran bolavoli di sekolah khususnya untuk tingkat sekolah atas, yang lebih ditekankan adalah bagaimana mempraktikan teknik dasar dari suatu permainan dan olaharaga, khususnya bolavoli yaitu teknik passing, service, dan smash. Permainan bolavoli merupakan salah satu cabang olahraga yang sudah terkenal dimana-mana. Menurut para ahli saat ini tercatat sebagai olahraga yang menempati urutan kedua yang paling digemari di dunia (Yunus 1992:1). Permainan ini cepat menarik perhatian karena sangat menyenangkan, hanya membutuhkan sedikit keterampilan dasar, mudah dikuasai dalam jangka waktu latihan yang singkat, dan dapat dilakukan oleh pemain dengan berbagai tingkat kebugaran. Dalam permainan bolavoli yang terpenting adalah kekompakan antar pemain dalam sebuah tim dalam mencetak angka. Smash adalah salah satu cara agar sebuah tim dapat mencetak angka. Tapi yang paling sering digunakan adalah smash normal (open smash), smash push dan smash pull (quick). Karena dengan smash itulah tim lawan akan kesulitan dalam menahan serangan dengan cara smash. Smash adalah pukulan bola yang keras dari atas ke bawah, jalannya bola menukik (Nuril 2007:31). Sehubungan dengan penjelasan diatas peneliti mencoba menggunakan suatu bentuk metode pembelajaran yaitu salah satu bentuk gaya pembelajaran yang sangat efektif adalah Role Playing ( memainkan peran ) adalah suatu metode yang sangat efektif digunkan untuk mensimulasikan keadaan nyata, metode ini disusun sebuah skenario pembelajaran pada prosedur operasional atau kegiatan tertentu yang akan diajarkan ( Abdurrakhman Ginting : 2008 ). Agar kita dapat mengetahui sejauh mana perkembangan peserta didik dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar khususnya bolavoli. Dengan metode pembelajaran tersebut diharapkan peserta didik akan lebih mudah dalam menerima materi yang diberikan serta melaksanakan tugas gerak yang diberikan oleh guru tersebut. Sehingga tujuan dari proses belajar mengajar itu sendiri dapat tercapai dengan baik dan dapat digunakan sebagai acuan pada pembelajaran mata pelajaran lainnya.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
465
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Landasan Teori Role Playing (Metode Memainkan Peran) Metode Role Playing adalah suatu metode belajar dengan cara penguasaan tugas gerak pembelajaran melalui penghayatan peserta didik. Pengembangan imajinasi dan penghayatan dilakukan peserta didik dengan memerankannya sebagai pelaku utama tugas gerak yang dilakukan secara sadar dan mendiskusikannya tentang peran dalam kelompok tersebut (Djamarah, 2006: 88). Dalam pembelajaran dengan model role playing mempunyai langkahlangkah pelaksanaan, kelebihan-kelebihan, kelemahan-kelemahan, dan saran untuk metode ini, yaitu sebagai berikut: 1. Langkah-langkah yang ditempuh Menurut Ginting (2011: 59) dalam pelaksanaan metode ini terdapat urutan kegiatan sebagai berikut: a. Guru berperan sebagai sutradara yang mengendalikan kegiatan agar simulasi berjalan sesuai dengan skenario dan di laksanakan dengan serius. b. Ingatkan peserta didik yang kurang serius agar memfokuskan diri pada kegiatan supaya memberikan makna bagi dirinya dan kelas. c. Guru membuat catatan-catatan tentang hal-hal yang perlu di diskusikan pada akhir pembelajaran yang meliputi hal-hal yang perlu mendapat pujian dan hal-hal yang perlu di perbaiki. d. Jika waktu masih tersedia, ulangi melakukan langkah demi langkah dengan terlebih dahulu mendiskusikan hal-hal yang perlu di perbaiki. Jika perlu buat rotasi peran di antara sesama peserta didik untuk meningkatkan keluasan penguasaan kompetensi dan juga meningkatkan semangat belajar mereka. e. Meminta peserta didik menyebutkan urutan langkah demi langkah dengan kecepatan sub normal dan guru melakukan langkah sesuai dengan urutan yang di sebutkan oleh peserta didik. 2. Kebaikan Metode Bermain Peran Menurut Djamarah (2006: 89) dalam pelaksanaan metode ini terdapat kebaikan sebagai berikut: a. Peserta didik melatih dirinya untuk melatih, memahami, dan mengingat isi bahan yang akan didramakan. Sebagai pemain harus memahami, menghayati isi cerita secara keseluruhan, terutama untuk materi yang harus diperankannya. Dengan demikian daya ingatan peserta didik harus tajam dan tahan lama. b. Peserta didik akan terlatih untuk berinisiatif dan berkreatif. Pada waktu bermain drama para pemain dituntut untuk mengemukakan pendapatnya sesuai dengan waktu yang tersedia. c. Bakat yang terdapat pada peserta didik dapat dipupuk sehingga dimungkinkan akan muncul atau tumbuh bibit seni drama dari sekolah. Jika seni drama mereka dibina dengan baik kemungkinan besar mereka akan menjadi pemain yang baik kelak. d. Kerjasama antar pemain dapat ditumbuhkan dan dibina dengan sebaik-baiknya. e. Peserta didik memperoleh kebiasaan untuk menerima dan membagi tanggung jawab dengan sesamanya. f. Bahasa lisan peserta didik dapat dibina menjadi bahasa yang baik agar mudah dipahami orang lain.
466
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Hasil belajar Menurut Dimyati dan Mudjiono ( 2006:3) Hasil belajar adalah berakhirnya suatu proses belajar. Hasil belajar merupakan hasil dari suatu interaksi tindak belajar dan tindak mengajar.Dan menurut Hamalik (2010:159) menyatakan hasil belajar adalah sesuatu yang telah dicapai oleh peserta didik setelah melakukan kegiatan belajar dalam upaya mencapai dalam tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Oleh karena itu dapat disimpulkan hasil belajar adalah suatu hasil dari proses belajar. Tipe-tipe hasil belajar penting diketahui oleh guru ,dalam rangka menyusun perencanaan pengajaran. Gagne dalam Sudjana( 2010 : 55 ) mengemukakan ada 5 tipe hasil belajar, yakni: 1. Kemahitan intelektual (kognitif). 2. informasi verbal. 3. Mengatur kegiatan intelektual (strategikognitif). 4. Sikap. 5. Ketrampilan motorik.
Hakikat Bolavoli Dalam kajian bolavoli ini akan dijelaskan tentang permainan bolavoli dan teknik bermain bolavoli. 1. Permainan Bolavoli Bolavoli adalah olahraga permainan dengan tujuan memasukkan bola ke daerah lawan melewati suatu rintangan berupa tali atau net dan berusaha memenangkan permainan dengan mematikan bola itu di daerah lapangan lawan (Yunus, 1992: 1). Permainan ini merupakan permainan yang kompleks sebab dalam permainan bolavoli dibutuhkan koordinasi gerak yang benar-benar bisa diandalkan untuk melakukan semua gerakan yang ada dalam permainan bolavoli (Ahmadi, 2007: 20). Ukuran lapangan bolavoli yang umum adalah 9 m x 18 m. Ukuran tinggi net putra 2,43 m dan untuk net putri 2,24 m. Garis batas serang untuk pemain belakang berjarak 3 m dari garis tengah (sejajar dengan net). Garis tepi lapangan adalah 5 cm (Yunus, 1992: 16). 2. Teknik Bolavoli. Dalam bermain bolavoli terdapat macam-macam teknik dalam permainan bolavoli antara lain: servis, passing, smash dan block. a. Servis (Service) Servis merupakan pukulan pembukaan untuk memulai suatu permainan (Yunus, 1992: 69). Servis ada beberapa macam, yaitu servis atas dan servis bawah. Servis atas adalah servis dengan awalan melemparkan bola ke atas seperlunya kemudian server melompat untuk memukul bola dengan ayunan tangan dari atas. Sedangkan servis bawah adalah servis dengan awalan bola berada di tangan yang tidak memukul bola, tangan yang memukul bola bersiap dari belakang badan untuk memukul bola dengan ayunan tangan dari bawah. Yang perlu diperhatikan dalam servis antara lain: sikap badan dan pandangan, lambung keatas harus sesuai dengan kebutuhan, dan saat kapan harus memukul bola. Menurut Yunus (1992: 69) servis atas ada beberapa macam, antara lain: 1) Servis Mengapung (Float Service). 2) Overhand Change-Up Service (Slider Floating Overhand). 3) Overhand Round-Hause Service (Hook Service). 4) Servis Lompat (Jumping Service).
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
467
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
b. Passing Menurut Ahmadi (2007: 22) “Passing adalah upaya seorang pemain dengan menggunakan suatu teknik tertentu untuk mengoperkan bola yang dimainkannya kepada teman seregunya untuk dimainkan di lapangan sendiri. Menurut Ahmadi (2007: 23) Passing terdiri dari dua macam, yaitu: 1) Passing Bawah (Pukulan/pengambilan tangan dari bawah) 2) Passing Atas (Pukulan/pengambilan tangan keatas) c. Mengumpan (Set-Up) Yunus (1992: 101) menyimpulkan “umpan adalah menyajikan bola kepada teman dalam satu regu, yang kemudian diharapkan bola tersebut dapat diserangkan ke daerah lawan dalam bentuk smash”. d. Smash Smash adalah bentuk pukulan yang utama dan paling banyak digunakan untuk menyerang dalam upaya memperoleh nilai atau usaha mencapai kemenangan pada suatu tim dalam permainan bolavoli. Proses melakukan smash dapat dibagi menjadi: awalan, tolakan, meloncat, memukul bola, dan mendarat(Yunus, 1992: 108). e. Membendung (Blocking) Yunus (1992: 119) menyimpulkan ”block merupakan benteng pertahanan yang utama untuk menangkis serangan lawan”. Sedangkan menurut Ahmadi (2007: 30) ”block dapat dilakukan dengan pergerakan tangan aktif (saat melakukan block tangan digerakkan ke kanan maupun ke kiri) atau juga pasif (tangan pemain hanya dijulurkan ke atas tanpa digerakkan)” Smash Yunus (1992: 108) menyimpulkan ”smash adalah pukulan yang utama dalam penyerangan dalam usaha mencapai kemenangan”. Proses melakukan smash dapat dibagi menjadi: awalan, tolakan, meloncat, memukul bola, dan mendarat.Menurut Yunus (1992: 108) proses gerakan keseluruhan dalam smash dapat diuraikan sebagai berikut (dengan anggapan pemukul menggunakan tangan kanan dan smash dari daerah posisi empat).
Gambar: Rangkaian gerakan saat melakukan awalan, meloncat, memukul bola, dan mendarat (Yunus, 1992: 113) 1. Awalan Berdiri dengan salah satu kaki dibelakang sesuai dengan kebiasaan individu (tergantung smasher normal atau smasher kidal). Berdiri serong lebih kurang 45 derajat dengan jarak 3 sampai 4 meter dari net. Langkahkan kaki satu langkah kedepan (pemain yang baik, dapat mengambil ancang-ancang sebanyak 2 sampai 4 langkah), kedua lengan mulai bergerak
468
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
kebelakang, berat badan berangsur-angsur merendah untuk membantu tolakan (Yunus, 1992: 108). 2. Tolakan Langkahkan kaki selanjutnya, hingga kedua telapak kaki hampir sejajar dan salah satu kaki agak kedepan sedikit untuk mengerem gerak kedepan dan sebagai persiapan meloncat kearah vertikal. Ayunkan kedua lengan kebelakang atas sebatas kemampuan, kaki ditekuk, dan badan siap untuk meloncat dengan berat badan lebih banyak bertumpu pada kaki yang didepan (Yunus, 1992: 108). 3. Meloncat Mulailah meloncat dengan tumit & jari kaki menghentak lantai sambil mengayunkan kedua lengan berada di belakang badan, segera pemukul melakukan tolakan sambil mengayunkan lengan ke depan atas (Yunus, 1992: 108). 4. Memukul Bola Pada saat loncatan tertinggi, lecutkan lengan kebelakang kepala dan dengan cepat lecutkan kedepan sejangkauan lengan terpanjang dan tertinggi terhadap bola. Kemudian segera meraih dan memukul bola secepat dan setinggi mungkin, perkenaan bola dengan telapak tangan tepat diatas tengah bola bagian atas(Yunus, 1992: 108). 5. Mendarat Saat mendarat tetap jaga keseimbangan badan agar tidak menyentuh dan menabrak net dan mendarat lagi dengan menumpu pada dua kaki sambil mengeper dan mengambil sikap siap normal (Yunus, 1992: 108).
Metode Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Penelitian Kuantitatif. Yatim (2007: 120) menjelaskan penelitian eksperimen adalah penelitian yang sistematis logis dan teliti di dalam melakukan kontrol terhadap kondisi. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan desain penelitian one group pretest posttest design. Populasi dalam penelitian ini adalah peserta didik kelas X AK SMK PGRI 1 Jombang. Sampel dalam penelitian ini diambil dengan cara Random Sampling. Random Sampling adalah sebuah teknik sampling yang memberikan peluang yang sama bagi individu yang menjadi anggota populasi untuk dipilih menjadi anggota sampel (Maksum, 2009:41). Jadi dalam penelitian ini sampel yang akan diambil adalah kelas X AK 1 SMK PGRI 1 Jombang berjumlah 49 peserta didik. Tes yang diberikan pada penelitian ini adalah tes prestasi yaitu tes yang digunakan untuk mengukur pencapaian seseorang setelah mempelajari sesuatu (Arikunto, 2002:128), yaitu tes smash.
Hasil Penelitian Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan hasil belajar smash bolavoli pada peserta didik kelas X AK 1 SMK PGRI 1 Jombang. Hal ini didapat dari hasil uji-t yang dilakukan terhadap data pretest dan posttest seperti tampak pada tabel 1. Tabel 1. Hasil Uji-T N X Mean Std. Deviasi D D2 Pretest 49 100 2,041 1,67 281 1739 Posttest 49 381 7,775 2,12
Uji T 24,625
Simpulan Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
469
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Berdasarkan hasil penelitian dengan menggunakan metode role playing, maka dapat disimpulkan bahwa mengalami peningkatan hasil belajar peserta didik kelas X AK 1 SMK PGRI 1 Jombang melalui gerakan smash bolavoli. Hal ini dapat dilihat dari perbandingan hasil pre-test dan posttest. Terdapat perubahan dari jumlah yang mengalami peningkatan sebesar 2,81%.
Daftar Pustaka Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek Jakarta: Rineka Cipta. Ahmadi, Nuril. 2007. Panduan Olahraga Bola voli. Surakarta: Era Pustaka Utama. Djamarah, Syaiful Bahri dan Zain, Aswan 2002. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Rineka Cipta. Djamarah, Syaiful Bahri dan Zain, Aswan 2010. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Rineka Cipta. Gintings, Abdorrakhman. Esensi Praktis Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Humaniora. Hamalik, Oemar. 2010. Kurikulum Dan Pembelajaran. Jakarta : Bumi Aksara. Muhajir, 2006. Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan. Jakarta: Erlangga. Mudjiono, Dimyati. 2006. Belajar dan Pembelajaran, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Maksum, Ali. 2009. Metode Penelitian Dalam Olahraga Surabaya: Fakultas Ilmu Keolahragaan – UNESA. Arifin, Zaenal. 2008. Metodologi Penelitian Pendidikan Filosofi, Teori & Aplikasinya. Maksum, Ali. 2007. Statistik Dalam Olahraga Surabaya: Fakultas Ilmu Keolahragaan – UNESA. Sudjana, Nana. 2010. Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosdakarya. Yunus, M. 1992. Olahraga Pilihan Bolavoli. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Tim penyusun.2009. Buku Pedoman Usulan Penelitian Dan Penulisan Skripsi, Jombang: STKIP PGRI JOMBANG
470
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Pengaruh Media Presentasi Program Adobe Flash, Powerpoint dan Motivasi Terhadap Hasil Belajar Kompetensi Mengelola Kas Bank pada Siswa Kelas XI Akuntansi di SMK 1 Magetan Dan SMK PSM 2 Kawedanan Tahun Pelajaran 2013/2014 Sri Winarningsih 13 ([emailprotected]) Abstract According to the experience to Mengelola Administrasi Kas Bank, oftenly learning result does not appropriate with the teacher’s wish. It is because of the learning system does not interesting so the students get bored and do not have learning motivation. Finally it makes the learning performance decrease, which makes students can not reach the minimum standart grade. The research method used is a experiment design. This study conducted on 17 - 22 February 2014. Population of this study are 33 students of 11th grade accounting students of SMKN 1 Magetan and 33 students of 11th grade accounting students of SMK PSM 2 Kawedanan. The sample of this research are 33 students of 11th grade accounting students of SMKN 1 Magetan and 33 students of 11th grade accounting students of SMK PSM 2 Kawedanan. Sampling technique in this study is random sampling and using independet t test and Two Way Anova. The independent variable are PowerPoint Program, Adobe Flash Program, and Motivation. The dependent variable is learning performance. The result of this research are: 1) there is a difference in learning result between the students who get powerpoint learning media and adobe flash learning media, 2) there is a difference in learning result between the students who has good motivation and less, 3) there is an interaction between learning media and motivation to learning result. Keywords: Adobe Flash program, Powerpoint Program, Motivation, and Learning Result Abstrak Menurut pengalaman untuk Mengelola Administrasi Kas Bank, hasil oftenly belajar tidak yang sesuai dengan keinginan guru. Hal ini karena sistem pembelajaran tidak menarik sehingga siswa bosan dan tidak memiliki motivasi belajar. Akhirnya membuat penurunan kinerja belajar, yang membuat siswa tidak dapat mencapai standart nilai minimum. Metode penelitian yang digunakan adalah desain eksperimen. Penelitian ini dilakukan pada 1722 Februari 2014. Populasi dari penelitian ini adalah 33 siswa dari mahasiswa akuntansi kelas 11 SMKN 1 Magetan dan 33 siswa dari mahasiswa akuntansi kelas 11 SMK PSM 2 Kawedanan. Sampel penelitian ini adalah 33 siswa dari mahasiswa akuntansi kelas 11 SMKN 1 Magetan dan 33 siswa dari mahasiswa akuntansi kelas 11 SMK PSM 2 Kawedanan. Sampling teknik dalam penelitian ini adalah random sampling dan menggunakan uji t independen dan Two Way Anova. Variabel bebas adalah PowerPoint Program, Adobe Program Flash, dan Motivasi. Variabel dependen adalah kinerja belajar. Hasil dari penelitian ini adalah: 1) ada perbedaan dalam hasil antara siswa yang mendapatkan media pembelajaran yang powerpoint dan adobe flash pembelajaran media pembelajaran, 2) ada perbedaan dalam hasil belajar antara siswa yang memiliki motivasi yang baik dan kurang, 3 ) ada interaksi antara media pembelajaran dan motivasi untuk hasil belajar. Kata Kunci: Program Adobe Flash, Program Powerpoint, Motivasi, dan Hasil Belajar
Pendahuluan Berdasar pengalaman mengajarkan Mengelola Administrasi Kas Bank selama ini, setelah kegiatan pembelajaran nilai hasil ulangan/evaluasi seringkali tidak sesuai dengan yang 13
Guru SMK Negeri 1 Magetan
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
471
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
diharapkan oleh guru. Berdasarkan penellitian pendahuluan oleh peneliti pada siswa kelas XI Akuntansi 1 bulan Nopember 2013, diketahui bahwa dari 40 siswa terdapat 17 siswa (47,2%) mendapatkan nilai dibawah KKM. Hal ini disebabkan banyak siswa yang kurang memahami permasalahan dan merasa kesulitan belajar mengelola administrasi kas bank sehingga mendapatkan nilai dibawah KKM. Dan tidak hanya nilai yang kurang memuaskan, berdasarkan pengamatan dalam proses pembelajaran di kelas banyak siswa yang kurang memperhatikan penjelasan guru, mengantuk atau berbicara dengan temannya. Hal tersebut memperlihatkan sikap siswa yang kurang semangat, kurang antusias dan kurang termotivasi untuk mengikuti pembelajaran yang disampaikan oleh guru. Menurut Musfiqon (2012:8), hasil belajar siswa dipengaruhi oleh dua faktor utama, yakni faktor dari dalam diri siswa (internal factor) dan faktor yang datang dari luar diri siswa atau faktor lingkungan (external factor). Salah satu faktor lingkungan (external factor) yang paling dominan mempengaruhi hasil belajar adalah kualitas pengajaran. Berbicara kualitas pembelajaran tentu akan berkaitan dengan kualitas/kompetensi guru. Guru merupakan salah satu komponen situasi belajar. Keadaan guru dapat mempengaruhi hasil belajar (Sumiati dan Asra, 2011:61). Kemungkinan yang lain adalah iklim ruang kelas yang negatif. Iklim ruang kelas merujuk pada lingkungan fisik ruangan, hingga tingkatan di mana ruangan itu aman dan tertib dan atmosfer emosionalnya. Iklim ruang kelas positif sangat penting bagi pembelajaran. Tidak ada strategi mengajar atau model mengajar yang akan efektif jika iklim ruang kelasnya negatif, dan masalah manajemen ruang kelas kemungkinan besar terjadi dalam iklim negatif (Weinstein, 2002 dalam Paul Eggen dan Kauchak 2012:43). Selain hal itu, di dalam proses pembelajaran guru hanya menggunakan metode ceramah tidak menggunakan media pembelajaran karena media yang tersedia terbatas. Keterbatasan media pembelajaran di satu pihak dan lemahnya kemampuan guru menciptakan media tersebut di pihak lain membuat penerapan metode ceramah makin menjamur. Kondisi ini jauh dari menguntungkan. Terbatasnya alat-alat teknologi pembelajaran yang dipakai di kelas diduga merupakan salah satu sebab lemahnya mutu pendidikan pada umumnya (Yudhi Munadi, 2013:2). Banyak guru atau pelatih menggunakan media tidak mendasarkan pilihan medianya pada pemikiran logis dan ilmiah, melainkan lebih karena mengikuti perkembangan majunya teknologi atau karena mengikuti kebiasaan yang berkembang di lingkungan sekolah. Selain metode pembelajaran yang tidak sesuai dan kurangnya penggunaan media, faktor motivasi dalam pembelajaran juga sangat berpengaruh terhadap proses belajar siswa. Menurut Santrock (2011:510) motivasi adalah proses yang memberi semangat, arah dan kegigihan perilaku. Artinya perilaku yang termotivasi adalah perilaku yang penuh energi, terarah dan bertahan lama. Dan masih menurut Santrock (2011:509), murid yang tidak punya motivasi tidak akan berusaha keras untuk belajar. Tanpa adanya motivasi, tidak mungkin mereka memiliki kemauan untuk belajar (Hamruni, 2012:25). Begitu pula menurut Sumiati dan Asra (2011:59), tanpa motivasi belajar siswa tidak dapat belajar. Jika kelas tidak kondusif dibiarkan sampai berlarut-larut maka guru tidak akan pernah tahu apakah siswanya sudah paham atau belum materi yang diberikan. Akibatnya tentu akan berimbas pada diri peserta didik dan pada akhirnya hasil belajar siswa pun akan sulit mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Pemanfaatan teknologi mengajar dalam pemecahan masalah pembelajaran dapat menjadi solusi dalam meningkatkan hasil belajar siswa. Hal ini sesuai dengan pendapat Yusufhadi Miarso, (2011:78) digunakannya teknologi sebagai proses dan produk untuk membantu memecahkan masalah belajar. Penggunaan media diharapkan dapat mempermudah guru dalam 472
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
menyampaikan materi pelajaran dan bagi siswa dengan menggunakan media dapat memudahkan dalam menerima informasi dari guru sehingga siswa akan mudah mencerna dan memahami materi pelajaran. Sebagaimana dijelaskan dalam Smaldino, Lowther dan Russell (2011:14) teknologi dan media bisa berperan banyak untuk belajar, jika pengajarannya berpusat pada guru, teknologi dan media digunakan untuk mendukung penyajian pengajaran. Apabila pengajaran berpusat pada siswa, para siswa merupakan pengguna utama teknologi dan media. Dalam mengatasi permasalahan diatas, peneliti memiliki pemikiran bahwa penggunaan teknologi pembelajaran melalui penggunaan media pembelajaran yang menarik sepertinya menjadi solusi yang terbaik dalam mengatasi kejenuhan pembelajaran di kelas. Sependapat dengan Sivin-Kachala & Bial, 1994 (Paul Eggen dan Kauchak 2012:76) sejarah penelitian yang kini sudah lebih dari dua puluh tahun menunjukkan bahwa teknologi bisa secara signifikan meningkatkan motivasi murid. Dan Yusufhadi Miarso, (2011:459) mengemukakan bahwa kegunaan media pembelajaran adalah: (1) media membangkitkan keinginan dan minat baru (2) media membangkitkan motivasi dan merangsang untuk belajar. Dari beberapa pendapat di atas tampak jelas bahwa penggunaan media pembelajaran dapat memberikan rangsangan kepada siswa dalam proses belajar, sehingga dapat mempertinggi kualitas belajar mengajar dan dapat mempertinggi hasil belajar siswa. Media pembelajaran yang hendak digunakan pada penelitian ini adalah program komputer berbasis Microsoft Office Power Point dan Adobe Flash CS3. Menurut Riyana (2008:102) bahwa program Microsoft Office Power Point adalah salah satu software yang dirancang khusus untuk mampu menampilkan program multimedia dengan menarik, mudah dalam pembuatan, mudah dalam penggunaan dan relatif murah karena tidak membutuhkan bahan baku selain alat untuk menyimpan data. Sedangkan Adobe Flash CS3 merupakan software yang mampu menghasilkan presentasi, game, film, CD interaktif, maupun CD pembelajaran, serta untuk membuat situs web yang interaktif, menarik, dan dinamis. Keduanya mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Namun baik Microsoft Office Power Point maupun Adobe Flash CS3, masing-masing dapat memberikan sentuhan yang menarik pada media pembelajaran dikelas sehingga diharapkan dapat menimbulkan motivasi belajar siswa dan hasil belajar pun meningkat. Berdasarkan latar belakang diatas dapat ditarik permasalahan sebagai berikut: (1)Apakah terdapat perbedaan antara siswa yang memperoleh pembelajaran dengan Media Presentasi Program Adobe Flash dan Media Presentasi Power Point terhadap hasil belajar kompetensi mengelola administrasi kas bank. (2) Apakah terdapat perbedaan antara siswa yang memiliki motivasi belajar tinggi dan motivasi belajar rendah terhadap hasil belajar kompetensi mengelola administrasi kas bank. (3) Apakah terdapat interaksi antara penggunaan media pembelajaran dan motivasi belajar terhadap hasil belajar kompetensi mengelola administrasi kas bank. Sesuai dengan rumusan masalah yang telah ditentukan, tujuan penelitian ini adalah: (1)Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan siswa yang memperoleh pembelajaran dengan Media Presentasi Program Adobe Flash dan Media Presentasi Power Point terhadap hasil belajar kompetensi mengelola administrasi kas bank. (2) Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan antara siswa yang memiliki motivasi belajar tinggi dan motivasi belajar rendah terhadap hasil belajar kompetensi mengelola administrasi kas bank. (3) Untuk mengetahui apakah terdapat interaksi antara penggunaan media pembelajaran dan motivasi belajar terhadap hasil belajar kompetensi mengelola administrasi kas bank.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
473
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Landasan Teori Media Pembelajaran Pengertian Media Pembelajaran Media merupakan salah satu komponen sistem pembelajaran. Dalam Smaldino, Lowfher dan Russell (2011:7) media, bentuk jamak dari perantara (medium), merupakan sarana komunikasi. Berasal dari bahasa Latin medium (“antara”), istilah ini merujuk pada apa saja yang membawa informasi antara sebuah sumber dan sebuah penerima. Media merupakan salah satu komponen sistem pembelajaran. Menurut Daryanto (2011:4) kata media merupakan bentuk jamak dari kata medium yang berarti perantara atau pengantar terjadinya komunikasi dari pengirim menuju penerima. Media merupakan salah satu komponen komunikasi yaitu sebagai pembawa pesan dari komunikator menuju komunikan. Arsyad (2011:3) mengatakan media berasal dari bahasa latin medius yang secara harfiah berarti tengah, perantara atau pengantar. Dalam bahasa arab media berasal dari kata wasaail yang berarti pengantar pesan dari pengirim kepada penerima pesa. Media apabila dipahami secara garis besar adalah manusia, materi atau kejadian yang membangun kondisi yang membuat siswa mampu memperoleh pengetahuan, keterampilan maupun sikap. Dalam pengertian ini guru, buku teks serta lingkungan sekolah merupakan media belajar. Secara lebih khusus Arsyad (2011:3) mengatakan media dalam proses belajar mengajar cenderung diartikan sebagai alat-alat grafis, photografis atau elektronis untuk menangkap, memproses, dan menyusun kembali informasi visual atau verbal. Media pembelajaran merupakan pengatur hubungan yang efektif antara dua pihak utama dalam proses belajar yaitu siswa dan isi pelajaran. Menurut Gerlach (Sanjaya, 2012:60) media pembelajaran itu meliputi orang, bahan, peralatan atau kegiatan yang menciptakan kondisi yang memungkinkan siswa memperoleh pengetaguan, ketrampilan dan sikap. Jadi dalam pengertian ini media pembelajaran bukan hanya alat-alat perantara seperti TV, radio, slide, bahan cetakan tetapi juga meliputi orang atau manusia sebagai sumber belajar atau juga berupa kegiatan semacam diskusi, seminar, karya wisata, simulasi dan sebagainya yang dapat menciptakan kondisi yang memungkinkan siswa memperoleh pengetahuan, wawasan mengubah sikap sarta untuk menambah kterampilan. Menurut Yusufhadi Miarso (2011:458), Media pembelajaran adalah segala sesuatu yang digunakan untuk menyalurkan pesan serta dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan kemauan si belajar sehingga dapat mendorong terjadinya proses belajar yang disengaja, bertujuan dan terkendali. Media merupakan alat bantu yang digunakan guru dengan desain yang disesuaikan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Dan definisi media pembelajaran sebagai alat bantu berupa fisik maupun non fisik yang sengaja digunakan sebagai perantara antara guru dan siswa dalam memahami materi pembelajaran agar lebih efektif dan efisien (Musfiqon, 2012:28). Media pembelajaran dapat dipahami sebagai segala sesuatu yang dapat menyampaikan dan menyalurkan pesan dari sumber secara terencana sehingga tercipta lingkungan belajar yang kondusif di mana penerimaannya dapat melakukan proses belajar secara efisien dan efektif (Yudhi Munadi, 2013:7-8).
Manfaat Media Pembelajaran. Yusufhadi Miarso (2011:458) kegunaan media dalam pembelajaran adalah: (1) media mampu memberikan rangsangan yang bervariasi kepada otak kita, sehingga otak kita dapat
474
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
berfungsi secara optimal, (2) media dapat mengatasi keterbatasan pengalaman yang dimiliki oleh para siswa, (3) media dapat melampaui batas ruang kelas, (4) media memungkinkan adanya interaksi langsung antara siswa dan lingkungannya, (5) media menghasilkan keseragaman pengamatan, (6) media membangkitkan keinginan dan minat baru, (7) media membangkitkan motivasi dan merangsang untuk belajar, (8) media memberikan pengalaman yang integral/menyeluruh dari suatu yang konkrit maupun abstrak, (9) media memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar mandiri, pada tempat dan waktu serta kecepatan yang ditentukan sendiri, (10) media meningkatkan kemampuan keterbacaan baru (new literacy), yaitu kemampuan untuk membedakaan dan menafsirkan objek, tindakan, dan lambang yang tampak, baik yang dialami maupun buatan manusia yang terdapat dalam lingkungan, (11) media mampu meningkatkan efek sosialisasi, yaitu dengan meningkatnya kesadaran akan dunia sekitar, (12) media dapat meningkatkan kemampuan ekspresi diri guru maupun siswa. Djamarah (2010:121) mengklasifikasikan manfaat media pembelajaran menjadi dua yaitu (1) media sebagai alat bantu (2) media sebagai sumber belajar.
Jenis-jenis media pembelajaran Usaha-usaha ke arah taksonomi media tersebut telah dilakukan oleh beberapa ahli. Rudy Bretz (dalam Sumiati dan Asra, 2011:162) mengklasifikasikan media pembelajaran berdasarkan adanya tiga ciri yaitu suara (audio), bentuk (visual) dan gerak (motion). Atas dasar ini Bretz membuat delapan kelompok media pembelajaran, yaitu: (1) media audio motion visual, (2) media audio still visual, (3) media audio semi motion, (4) media motion visual, (5) media still visual, (6) media semi motion (semi gerak), (7) media audio, (8) media cetakan. Pengelompokan menurut tingkat kerumitan perangkat media, khususnya media audiovisual, dilakukan oleh C.J Duncan, dengan menyusun suatu hirarki. Dari hirarki Duncan, Sumiati (2008:131) mengatakan semakin tinggi tingkat hirarki suatu media, semakin rendah satuan biaya serta semakin khusus sifat penggunaannya. Namun demikian, kemudahan serta keluwesan penggunaannya semakin bertambah. Begitu juga sebaliknya, jika suatu media berada pada hirarki paling rendah. Schramm (dalam Sadiman, 2008:62) mengatakan ada dua kelompok media yaitu big media atau media rumit dan little media yaitu media sederhana serta murah. Lebih jauh lagi ahli ini menyebutkan ada media massal, media kelompok, media individu, didasarkan atas daya liput media. Sejalan dengan perkembangan teknologi, maka media pembelajaran pun mengalami perkembangan melalui pemanfaatan teknologi itu sendiri. Berdasarkan perkembangan teknologi tersebut, Arsyad (2011:19) mengklasifikasikan media atas empat kelompok yaitu media hasil teknologi cetak, media hasil teknologi audio-visual, media hasil teknologi berbasis computer, dan media hasil gabungan teknologi cetak serta komputer. Seels dan Glasgow (dalam Arsyad, 2011:19) membagi media ke dalam dua kelompok besar, yaitu media tradisional serta media teknologi mutakhir. Lebih lanjut Arsyad, (2011:21) menjelaskan sebagai berikut: pilihan media tradisional berupa media visual diam tidak diproyeksikan dan yang diproyeksikan, audio, penyajian multimedia, visual dinamis yang diproyeksikan, media cetak, permainan, dan media realia. Sedangkan pilihan media teknologi mutakhir berupa media berbasis telekomunikasi seperti teleconference dan media berbasis mikroprosesor seperti permainan komputer dan hypermedia. Wina Sanjaya, (2012:118) mengklasifikasikan media pembelajaran dari berbagai sudut pandang, yaitu: (1) dilihat dari sifatnya, media terdiri dari: media auditif, media visual dan Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
475
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
media audio visual. (2) dilihat dari kemampuan jangkauannya, media terdiri dari: media yang memiliki daya liput yang luas dan serentak misal radio, televisi, media yang mempunyai daya liput terbatas misal film slide, film dan video. (3) dilihat dari cara atau teknik pemakaiannya, media terdiri dari: media yang diproyeksikan dan media yang tidak diproyeksikan. (4) media dikelompokkan berdasarkan bentuk dan cara penyajiannya,
Media pembelajaran berbasis computer Pada penelitian ini, penulis akan memfokuskan penggunaan media pembelajaran berbasis komputer dengan menggunakan program Microsoft Office Power Point dan Adobe Flash CS3 Program Microsoft Office Power Point Pada umumnya Microsoft Office Power Point digunakan untuk presentasi dalam classical learning, karena Microsoft Office Power Point merupakan program aplikasi yang digunakan untuk kepentingan presentasi. Berdasarkan pola penyajian yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa Microsoft Office Power Point yang digunakan untuk presentasi dalam classical learning disebut personal presentation. Microsoft Office Power Point pada pola penyajian ini digunakan sebagai alat bantu bagi guru untuk menyampaikan materi dan kontrol pembelajaran terletak pada guru.
Program Adobe Flash CS3 Flash tidak hanya menggabungkan elemen multimedia dengan Action Script, flash juga mempunyai kemampuan dalam membuat interaktif scripting. Adobe Flash CS3 mempunyai kelebihan dibanding program lainnya yaitu pengguna adobe flash CS3 dapat dengan mudah dan bebas dalam berkreasi membuat animasi dengan gerakan bebas sesuai dengan adegan animasi yang dikehendaki, adobe flash CS3 menghasilkan file yang berukuran kecil, mampu menghasilkan file bertipe (ekstensi) FLA yang bersifat fleksible, karena dapat dikonversi menjadi file bertipe swf, html, jpg, png, exe, mov.
Motivasi Belajar Hakikat motivasi Menurut Sardiman (2007:73), motif diartikan sebagai daya upaya yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Motif dapat dikatakan sebagai daya penggerak dari dalam subjek untuk melakukan aktivitas tertentu untuk mencapai tujuan. Berawal dari kata “motif” itu, maka motivasi dapat diartikan sebagai daya penggerak yang telah menjadi aktif. Menurut Slameto (2010:170) menyatakan bahwa motivasi adalah suatu proses yang menentukan tingkah kegiatan, intensitas, konsistensi,serta arah umum dari tingkah laku manusia. Menurut Atkinson (Purwa Atmaja Prawira, 2012:319) motivasi sebagai suatu tendensi seseorang untuk berbuat yang meningkat guna menghasilkan satu hasil atau lebih pengaruh. Teori tentang motivasi Menurut Sardiman (2007:82-83) ada beberapa teori tentang motivasi, yakni : (1) Teori Insting (2) Teori Fisiologis (3) Teori Psikoanalitik. Menurut Ngalim Purwanto (2007:74-80) ada beberpa teori motivasi, yakni: (1) Teori Hedonisme (2)Teori Naluri (3) Teori Reaksi yang Dipelajari (4) Teori Kebutuhan.
Macam-macam motivasi Menurut Singgih D. Gunarsa (2004:50-51) yaitu: 1) Motivasi intrinsik merupakan dorongan atau kehendak yang kuat yang berasal dari dalam diri seseorang.
476
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
2) Motivasi Ekstrinsik adalah dorongan segala sesuatu yang diperoleh melalui pengamatan sendiri, ataupun melalui saran, anjuran, atau dorongan dari orang lain. Menurut Sardiman (2007:89-91) motivasi dibagi menjadi motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik : 1) Motivasi intrinsik adalah motif-motif yang menjadi aktif atau berfungsinya tidak perlu dirangsang dari luar, karena dalam diri individu sudah ada dorongan untuk melakukan sesuatu. 2) Motivasi ekstrinsik adalah motif-motif yang aktif dan berfungsinya karena adanya perangsang dari luar.
Tujuan motivasi Menurut Ngalim Purwanto (2007:73), tujuan motivasi adalah untuk menggerakan atau menggugah seseorang agar timbul keinginan dan kemauannya untuk melakukan sesuatu sehingga dapat memperolah hasil atau tujuan tertentu. Karena itu seorang guru harus dapat menggerakan atau memacu para siswanya agar timbul keinginan dan kemauannya untuk meningkatkan prestasi belajarnya sehingga tercapai tujuan pendidikan sesuai dengan yang diharapkan dan diterapkan dalam kurikulum sekolah.
Fungsi Motivasi Dalam Belajar Fungsi motivasi menurut Fudyartanto (Purwa Atmaja Prawira, 2012:320) sebagai berikut: (1) motivasi bersifat mengarahkan dan mengatur tingkah laku individu. (2) motivasi sebagai penyeleksi tingkah laku individu. (3) motivasi memberi energi dan menahan tingkah laku individu.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Motivasi Belajar Menurut Slameto (2010:54-71), faktor-faktor yang mempengaruhi belajar adalah sebagai berikut. 1) Faktor intrinsik. 2) Faktor ekstrinsik
Hasil Belajar Hasil belajar menurut Wina Sanjaya (2008:27) merupakan gambaran kemampuan siswa dalam memenuhi suatu tahapan pencapaian pengalaman belajar dalam satu kompetensi. Dengan demikian penulis berpendapat bahwa hasil belajar merupakan kemampuan siswa dalam mencapai hasil yang diperoleh sebagai akibat dari proses belajar atau mengikuti kegiatan pembelajaran yang dievaluasi dengan berbagai cara, dan hasilnya dinyatakan dengan nilai. Menurut Sudjana (Iskandar, 2012:128) “hasil belajar adalah suatu akibat dari proses belajar dengan menggunakan alat pengukuran, yaitu berupa tes yang disusun secara terencana, baik tes tertulis, tes lisan, maupun tes perbuatan”. Sedangkan menurut Iskandar (2012: 128) “hasil belajar adalah hasil yang diperoleh siswa setelah mengikuti suatu materi tertentu dari data kuantitatif maupun kualitatif”.
Klasifikasi hasil belajar Klasifikasi hasil belajar menurut Sukirman (2012:55-72), secara garis besar membagi menjadi 3 ranah, yakni: 1) Ranah kognitif 2) Ranah afektif 3) Ranah Psikomotorik
Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
477
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Hasil belajar banyak di pengaruhi oleh banyak faktor. Menurut Abu Ahmadi (Saminanto 2010:101) faktor yang mempengaruhi hasil belajar yaitu: 1) Faktor-faktor stimulasi belajar. 2) Faktor-faktor metode belajar 3) Faktor-faktor individual
Kompetensi “Mengelola Administrasi Kas Bank”. Salah satu standar kompetensi yang terdapat pada mata pelajaran produktif Kompetensi Keahlian Akuntansi adalah “Mengelola Administrasi Kas Bank” yang terdiri dari lima kompetensi dasar yaitu (1) Mempersiapkan pengelolaan administrasi kas bank, (2) Menghitung mutasi kas bank, (3) Membukukan mutasi kas bank, (4) Menyusun laporan rekonsiliasi bank, dan (5) Membukukan penyesuaian kas di bank.
Kerangka Konseptual Berdasar pada latar belakang, rumusan masalah dan kajian pustaka yang telah diuraikan di atas, pada penelitian ini akan diungkapkan pengaruh media pembelajaran berbasis Microsoft Office Power Point, media pembelajaran berbasis Adobe Flash CS3 dan Motivasi Belajar terhadap Hasil Belajar Kompetensi Mengelola Kas Bank dengan rincian sebagai berikut: Pengaruh antara Penggunaan Media Presentasi Program Adobe Flash dan Media Presentasi Power Point terhadap hasil belajar siswa. Baik Microsoft Office Power Point memiliki kemampuan untuk menggabungkan berbagai unsur media seperti pengolahan teks, warna, gambar, grafik, serta animasi dan Adobe Flash CS3 merupakan software yang mampu menghasilkan presentasi, game, film, CD interaktif, maupun CD pembelajaran, serta untuk membuat situs web yang interaktif, menarik, dan dinamis, keduanya dapat diakses melalui komputer dimana siswa dapat berinteraksi dengannya. Dari teori yang dikemukakan diatas dapat disimpulkan bahwa penggunaan komputer dalam pembelajaran membantu tercapainya tujuan pengajaran dikarenakan siswa dapat langsung berinteraksi dengan materi yang di ajarkan. Dengan demikian hasil belajar siswa dapat ditingkatkan.
Pengaruh antara motivasi belajar dan hasil belajar siswa Tujuan motivasi adalah untuk menggerakan atau menggugah seseorang agar timbul keinginan dan kemauannya untuk melakukan sesuatu sehingga dapat memperolah hasil atau tujuan tertentu. Seorang siswa yang termotivasi akan menunjukkan berbagai upaya agar kegiatan pembelajaran yang diikutinya berlangsung dengan baik. Karena itu seorang guru harus dapat menggerakan atau memacu para siswanya agar timbul keinginan dan kemauannya untuk meningkatkan hasil belajarnya sehingga tercapai tujuan pendidikan sesuai dengan yang diharapkan dan diterapkan dalam kurikulum sekolah.
Pengaruh antara penggunaan Media Presentasi Program Adobe Flash dan Media Presentasi Power Point serta motovasi belajar terhadap hasil belajar siswa. Media merupakan sarana komunikasi tidak langsung yang digunakan untuk menyampaikan ide, gagasan, maupun informasi dari seseorang kepada orang lain. Dalam pembelajaran media merupakan sarana yang dapat digunakan oleh guru untuk menyampaikan bahan pelajaran kepada seluruh siswa. Penggunaan media pembelajaran Microsoft Office Power Point dan Adobe Flash CS3 yang berbasis audio visual akan dapat menarik perhatian siswa dalam pelaksanaan pembelajaran Kompeteni Mengelola Kas Bank. Bila seorang peserta didik
478
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
merasa tertarik pada kegiatan pembelajaran, maka peserta didik tersebut telah termotivasi untuk belajar dan pada akhirnya dapat meningkatkan hasil belajarnya. Berdasarkan penjelasan di atas, maka pengaruh antara variabel bebas, variabel moderaotor dan variabel terikat digambarkan dalam bentuk pola hubungan di bawah ini Media: - M. P. Adobe Flash
- Ms. PowerPoint Hasil Belajar Motivasi: - Motivasi Rendah
- Motivasi Tinggi Gambar 2.1
Kerangka berfikir penelitian
Metode Penelitian Rancangan penelitian menggunakan rancangan penelitian Experiment Factorial Design, yaitu rancangan penelitian yang digunakan untuk mengetahui efek kombinasi dua atau lebih perlakuan pada unit eksperimen (Santoso, 2012:39). Penelitian ini menggunakan analisa ANOVA dua jalur yaitu rancangan penelitian yang digunakan untuk meneliti pengaruh perlakuan yang berbeda dari dua media pembelajaran yaitu media presentasi program Adobe Flash dan media presentasi Power Point yang dihubungkan dengan motivasi belajar siswa. Kerangka penelitiannya adalah sebagai berikut: Motivasi Belajar (Y) Tinggi (Y1) Rendah (Y2)
Tabel 1 Rancangan Penelitian Media Pembelajaran (X) M. P. Adobe Flash M. P. Power Point(X 2) (X1) Hasil Belajar (X1 Y1)
Hasil Belajar (X2 Y1)
Hasil Belajar (X1 Y2)
Hasil Belajar (X2 Y2)
Keterangan: X : Media Presentasi Program Adobe Flash (X1) dan Media Presentasi Power Point (X2) Y : Motivasi belajar, yaitu Motivasi Belajar Tinggi (Y1) dan Motivasi Belajar Rendah (Y2) X1.Y1: Hasil Belajar dengan Media Presentasi Program Adobe Flash dengan Motivasi Belajar Tinggi. X1.Y2: Hasil Belajar dengan Media Presentasi Program Adobe Flash dengan Motivasi Belajar Rendah. X2.Y1: Hasil Belajar dengan Media Presentasi Power Point dengan Motivasi Belajar Tinggi. X2.Y2: Hasil Belajar dengan Media Presentasi Power Point dengan Motivasi Belajar Rendah. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas XI kompetensi keahlian Akuntansi SMK Negeri 1 Magetan sebanyak tiga kelas dengan jumlah 119 orang dan siswa kelas XI kompetensi
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
479
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
keahlian Akuntansi SMK PSM 2 Kawedanan sebanyak dua kelas dengan jumlah 66 orang. Jadi jumlah seluruh populasi adalah sebanyak 185 orang. Kedua SMK tersebut dipilih sebagai populasi penelitian karena jumlah siswanya cukup sebagai syarat penelitian dan mempunyai kesetaraan dalam status sekolah yng sudah terakreditasi. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini diawali dengan mengadakan tes awal untuk mendapatkan dua kelas yang dijadikan sebagai subyek penelitian berdasarkan kesetaraan nilai hasil belajar. Teknik pengambilan sampel penelitian menggunakan teknik simple random sampling dan besaran sampel yang ditetapkan dalam penelitian sebanyak 66 siswa dengan perincian 33 siswa dari kelas yang diajar dengan media presentasi program adobe dan 33 siswa dari kelas yang diajar dengan media persentasi power point. Metode pengumpulan data penelitian menggunakan metode pemberian tes dan metode kuesioner. Sedangkan instrumennya adalah soal tes dan angket kuesioner. Tes digunakana untuk mengumpulkan data hasil belajar dan angket kuesioner digunkan untuk mengumpulkan data motivasi belajar. Bentuk tes yang digunakan adalah tes obyektif pilihan ganda dengan jumlah option lima pilihan jawaban. Pemberian skor untuk jawaban benar adalah 1 dan skor jawaban salah adalah 0. Angket kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini adalah angket kuesioner berbentuk skala Likert, dengan kriteria jawaban selalu mendapatkan skor 3, jarang mendapatkan skor 2, dan jawaban tidak pernah mendapatkan skor 1. Variabel ini diberi kriteria motivasi belajar tinggi apabila mendapatkan skor lebih dari 50% dan mendapatkan kriteria skor motivasi belajar rendah apabila mendapatkan skor kurang dari 50%. Soal tes dan angket kuesioner sebelum digunakan untuk mengumpulkan data diuji coba terlebih dahulu, untuk mengukur validitas dan rentabilitas. Uji validitas dilakukan dengan analisis faktor konfirmatori. Dengan ketentuan masing-masing indikator besarnya value > 1 signifikansi < 0,05. Adapun rumus yang digunakan adalah:
rxy
n X
n XY X Y
2
X n Y 2 Y 2
2
Keterangan : rxy = Indeks konsistensi internal untuk butir ke-i (daya pembeda) n = banyaknya subyek yang dikenai tes (instrumen). X = skor untuk butir ke-i (dari subyek uji coba). Y = total skor (dari subyek uji coba). ∑XY = jumlah (X)(Y) (Sugiyono, 2012:349) Dan uji reliabilitas diukur dengan rumus sebagai berikut:
2rb ri = 1+ rb ri = reliabilitas internal seluruh instrumen rb = korelasi product moment antara belahan pertama dan kedua. (Sugiyono, 2012:359)
480
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Pengujian hipotsis menggunakan teknik analisa varian (ANOVA) dua jalur. ANOVA dua jalur adalah teknik statistik inferensial parametris yang digunakan untuk menguji hipotesis komparatif lebih dari dua sampel (k sampel) secara serempak bila setiap sampel terdiri dari dua kategori atau lebih (Sugiyono, 2012:183). Ringkasan ANOVA Dua Jalur
(Sugiyono, 2012:187-190). Dan pengujian Hipotesis juga menggunakan uji-t. Uji ini bermaksud untuk mengetahui pengaruh variabel independen secara parsial dengan variabel dependen, dengan membandingkan ttabel dengan thitung. Adapun rumus yang digunakan menurut Sugiyono (2012:238) dalam menguji hipotesis (Uji t) penelitian ini adalah:
Di mana: t = nilai uji t r = koefisien korelasi r2= koefisien determinasi n = banyak sampel yang diobservasi Pengambilan data dilaksanakan Tanggal 17 sampai 22 Februari 2014, dengan memberikan pembelajaran menggunakan media pembelajaran Adobe Flash CS3 pada siswa kelas XI Akuntansi SMK Negari 1 Magetan dan pembelajaran menggunakan Power Point pada siswa kelas XI Akuntansi SMK PSM 2 Kawedanan, serta menggunakan kuesioner motivasi belajar dan hasil belajar siswa. Sebelum dilakukan uji hipotesis penelitian maka dilakukan uji persyaratan dengan menggunakan uji validitas, uji reliabilitas dan uji normalitas.
Hasil Penelitian Dari hasil analisis dan interpretasi data maka dilakukan pembahasan sebagai berikut: 1. Pengaruh penerapan Media Pembelajaran Berbasis Adobe Flash CS3 dan siswa yang memperoleh Media Pembelajaran Power Point terhadap hasil belajar. Berdasarkan hasil uji independent T-Test diketahui bahwa nilai signifikansi sebesar 0,003 pada media pembelajaran. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan hasil belajar antara penggunaan media pembelajaran Microsoft Office Power Point dan Adobe Flash CS3 Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
481
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
karena nilai signifikansi lebih kecil dari 0,05. Dari distribusi frekuensi 33 responden yang mendapatkan media pembelajaran Microsoft Office PowerPoint, sebagian besar memiliki hasil belajar tidak tuntas, yaitu 20 responden (60,6%). Sedangkan 33 siswa yang mendapatkan media pembelajaran Adobe Flash CS3, setengahnya memiliki hasil belajar tuntas, yaitu 18 responden (54,4%). 2. Pengaruh Motivasi Tinggi dan Rendah Terhadap Hasil Belajar. Hasil pengujian Independent T-Test diketahui bahwa nilai signifikansi motivasi belajar sebesar 0,001. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan hasil belajar antara motivasi belajar rendah dengan motivasi belajar tinggi karena nilai signifikansi lebih kecil dari 0,05. Dari hasil distribusi frekuensi diketahui bahwa dari 33 responden yang mendapatkan media pembelajaran Microsoft Office PowerPoint, setengahnya memiliki Motivasi rendah, yaitu 18 responden (54,5%), sedangkan dari 33 responden yang mendapatkan media pembelajaran Adobe Flash CS3, sebagian besar memiliki motivasi tinggi, yaitu 26 responden (78,8%). 3. Interaksi antara Media Pembelajaran dan motivasi belajar terhadap hasil belajar belajar. Berdasarkan dari pengujian Two Ways Anova, didapatkan nilai signifikansi sebesar 0,039, hal ini menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara penggunaan media pembelajaran dan motivasi belajar terhadap hasil belajar kompetensi mengelola administrasi kas bank pada siswa kelas XI Akuntansi di SMKN I Magetan dan SMK PSM 2 Kawedanan tahun pelajaran 2013/2014 karena nilai signifikansi lebih kecil dari 0,05. Hal ini didukung dengan umur responden yang setengahnya berumur 17 tahun, yaitu 37 responden (56,1%).
Simpulan Memperhatikan hasil analisis data dan pembahasan maka simpulan dari penelitian ini adalah: (1) Terdapat perbedaan antara siswa yang memperoleh pembelajaran dengan Media Presentasi Program Adobe Flash dan Media Presentasi Power Point terhadap hasil belajar kompetensi mengelola administrasi kas bank pada siswa kelas XI Akuntansi di SMKN 1 Magetan dan SMK PSM 2 Kawedanan tahun pelajaran 2013/2014. (2) Terdapat perbedaan antara siswa yang memiliki motivasi belajar tinggi dan motivasi belajar rendah terhadap hasil belajar kompetensi mengelola administrasi kas bank pada siswa kelas XI Akuntansi di SMKN I Magetan dan SMK PSM 2 Kawedanan tahun pelajaran 2013/2014. (3) Terdapat interaksi antara penggunaan media pembelajaran dan motivasi belajar terhadap hasil belajar kompetensi mengelola administrasi kas bank pada siswa kelas XI Akuntansi di SMKN I Magetan dan SMK PSM 2 Kawedanan tahun pelajaran 2013/2014.
Saran Saran yang disampaikan adalah sebagai berikut: (1) Bagi sekolah diharapkan dapat memberikan fasilitas yanng memadai kepada guru dalam pembuatan media pembelajaran, melalui pelatihan-pelatihan ataupun memberikan fasilitas dana kepada guru untuk membuat media pembelajaran yang kreatif dan menarik sehingga dapat meningkatkan motivasi belajar dan hasil belajar siswa. (2) Bagi Peneliti lain, karena keterbatasan waktu dalam penelitian ini, diharapkan bagi peneliti lain dapat mengembangkan penelitian ini dengan variabel yang lebih banyak dan jumlah responden yang lebih variatif sehingga dapat menghasilkan sumbangsih ilmu pengetahuan yang lebih akurat.
482
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Daftar Pustaka Arsyad, Azhar. 2011. Media Pembelajaran. Jakarta: Rajawali Press. Daryanto. 2011. Media Pembelajaran. Bandung: Satu Nusa. Depdiknas. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta: Depdiknas. Djamarah, Syaiful Bahri. 2008. Psikologi Belajar. Jakarta: Rineka Cipta. Djamarah, Syaiful Bahri. 2010. Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta. Eggen, Paul; Kauchak, Don. 2012. Strategi dan Model Pembelajaran Mengajarkan Konten dan Ketrampilan Berpikir). Jakarta: Indeks. Gunarsa, Singgih, D. 2004. Psikologi Perkembangan Anak, Remaja dan. Keluarga. Jakarta: PT. Gunung Mulia. Hamruni. 2012. Strategi Pembelajaran. Yogyakarta: Insan Madani. Iskandar. 2012. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Indeks. Miarso, Yusuf. 2011. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta: Kencana. Munadi, Yudhi. 2013. Media Pembelajaran Sebuah Pendekatan Baru. Jakarta: Referensi. Musfiqon. 2012. Pengembangan Media dan Sumber Pembelajaran. Jakarta: Prestasi Pustakaraya. Purwanto, Ngalim. 2007. Psikologi Pendidikan. Bandung. PT. Remaja Rosdakarya. Riyana, Ilyasih. 2008. Pemanfaatan OHP dan Presentasi dalam Pembelajaran. Jakarta: Cipta Agung. Sadiman, Arief S. 2008. Media Pendidikan;Pengertian, Pengembangan, dan Pemanfaatannya. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Saminanto. 2010. Praktek PTK (Penelitian Tindakan Kelas). Semarang: Rasamail Media Group. Sanjaya, Wina. 2010. Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran. Jakarta: Kencana. Sanjaya, Wina. 2012. Media Komunikasi Pembelajaran. Jakarta: Kencana. Santoso, Gempur. 2012. Metodologi Penelitian Kuantitatif Dan Kualitatif. Jakarta: Prestasi Pustaka. Santrock, John W. 2011. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Kencana. Sardiman. 2007. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Slameto. 2010. Belajar dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi. Jakarta: PT.Rineka. Smaldino, Sharon E.; Lowther, Deborah L.; dan Russell, James D. 2011. Instructional technology & Media For Learning : Teknologi Pemebelajaran dan Media untuk Belajar. Jakarta: Kencana Sudjana, Nana. 2005. Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta. Sudjana, Nana dan Riva'i. 2007. Media Pengajaran. Bandung: Sinar Baru. Sugiyono. 2012. Statistik Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta. Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & B. Bandung: Alfabeta Sukirman. 2012. Pengembangan Sistem Evaluasi. Yogyakarta : PT Insan Madani. Sumiati dan Asra. 2011. Metode Pembelajaran. Bandung: Wacana Prima.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
483
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Motivasi Belajar Siswa Terhadap Prestasi Belajar Pada Mata Pelajaran Ekonomi (Studi Pada Siswa Kelas X SMK Matsna Karim Desa Bulurejo Kecamatan Diwek Kabupaten Jombang) Dwi Wahyuni 14 ([emailprotected]) Abstract This study was conducted to analyze the factors that influence students' motivation to learning achievement on economic subjects. This research was conducted in class X SMK Accounting Department Matsna Karim Bulurejo Village District of Diwek Jombang. Based on the analysis researchers do, it is known that students who have problems in the physiological factors were 21 students or 65.625%. In this case the physiological factor is not how an effect on student achievement, it can be shown with the average value of daily repetition of 71.72 while the KKM (minimum completeness criteria) is equal to 65. From the low physiological factors that exist on students, it turns out students can still be motivated to study and obtain satisfactory performance. This is because there are other factors that affect their motivation to learn that psychological factors that exist in themselves, family factors that support and give attention, school environmental factors that provide good facilities and comfort to create a conducive teaching and learning process, community and environmental factors that affect student motivation. Keywords: learning motovation, achievement Abstrak Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menganalisis faktor apa saja yang mempengaruhi motivasi belajar siswa terhadap prestasi belajar pada mata pelajaran ekonomi. Penelitian ini dilakukan pada siswa kelas X jurusan Akuntansi SMK Matsna Karim Desa Bulurejo Kecamatan Diwek Kabupaten Jombang. Berdasarkan analisis yang telah peneliti lakukan, diketahui bahwa siswa yang mempunyai masalah pada faktor fisiologis sebanyak 21 siswa atau 65,625%. Dalam hal ini faktor fisiologis tidak seberapa berpengaruh terhadap prestasi siswa, hal ini dapat ditunjukkan dengan nilai ratarata ulangan hariannya sebesar 71,72 sedangkan pada KKM (kriteria ketuntasan minimal) adalah sebesar 65. Dari rendahnya faktor fisiologis yang ada pada diri siswa, ternyata siswa masih bisa termotivasi dalam belajarnya dan mendapatkan prestasi yang cukup memuaskan. Hal ini dikarenakan masih ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi motivasi belajar mereka yaitu faktor psikologis yang ada pada diri mereka sendiri, faktor keluarga yang mendukung dan memberi perhatian, faktor lingkungan sekolah yang menyediakan fasilitas dan kenyamanan yang baik sehingga terciptanya proses belajar mengajar yang kondusif, dan faktor lingkungan masyarakat yang sangat mempengaruhi motivasi belajar siswa. Kata Kunci: Motivasi Belajar, Prestasi
Pendahuluan Pendidikan adalah usaha sadar untuk menumbuhkembangkan potensi Sumber Daya Manusia (SDM) melalui kegiatan pengajaran. Konsep belajar berakar pada pihak peserta didik dan konsep pembelajaran berakar pada pihak pendidik. Dalam kehidupan masyarakat modern, setiap cabang pendidikan dan pengajaran senantiasa memiliki pedoman umum untuk menentukan tujuan dan hasil akhir. Pedoman itu akan cenderung bersifat filosofis dan juga 14
Dosen Pendidikan Ekonomi, STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia
484
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
politis, karena menurut lazimnya tujuan itu ditetapkan sebagai peraturan atau undang-undang bagi Indonesia yang telah diterapkan dasar, tujuan dan sistem pendidikan nasional-nya. Sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Bab II Pasal 3 yang berbunyi “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat, dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang kuat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Dengan demikian tiap-tiap warga negara mempunyai hak yang sama dalam memperoleh pendidikan yang bermutu. Fenomena ini ditandai dari masih rendahnya mutu lulusan yang dikeluarkan setiap tahunnya oleh sekolah-sekolah. Oleh karena itu, perubahan paradigma baru pendidikan kepada mutu merupakan salah satu strategi untuk mencapai pembinaan keunggulan pribadi anak. Dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan, tantangan yang sering dihadapi oleh pendidik (guru) adalah strategi apa yang tepat untuk diterapkan pada peserta didik (siswa). Untuk menentukan strategi yang tepat bukanlah suatu pekerjaan yang mudah, harus melalui berbagai macam penelitian. Banyak sekali faktor yang mempengaruhi terhadap perolehan hasil belajar pembelajaran. Faktor tersebut berasal dari dalam diri dan luar pembelajar. Faktor yang berasal dari diri pembelajar meliputi faktor-faktor bawaan seperti intelegensi. bakat, minat, aspirasi, harapan, militansi, keuletan, kerajinan, keteguhan, kemandirian serta dorongandorongan dari dalam. Sedangkan faktor yang berasal dari luar seperti kondisi lingkungan belajar, guru sebagai fasilitator, pembimbing belajar. prasarana dan sarana yang tersedia, dukungan dari lingkungan pembelajar (baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosialnya). Keberhasilan belajar yang dilakukan oleh siswa itu akan berhasil jika dilatar belakangi oleh suatu dorongan dalam diri siswa tersebut yang pada umumnya dikatakan sebagai motivasi. Motivasi belajar adalah keseluruhan daya penggerak psikis dalam diri peserta didik (siswa) yang menimbulkan kegiatan belajar, menjamin kelangsungan belajar itu demi mencapai suatu tujuan. Motivasi belajar memegang peranan penting dalam memberikan gairah, semangat dan rasa senang siswa dalam belajar sehingga yang mempunyai motivasi tinggi akan mempunyai energi yang banyak untuk mengikuti kegiatan belajar. Berbagai upaya dalam meningkatkan motivasi belajar tersebut dapat dilakukan dengan cara mengoptimalkan unsurunsur belajar atau pembelajaran, mengoptimalkan penerapan prinsip-prinsip belajar, mengoptimalkan pemanfaatan pengalaman kemampuan yang dimiliki oleh peserta didik (siswa), serta mengembangkan cita-cita dan aspirasi peserta didik (siswa). Saat ini dimana dunia pendidikan terbuka luas bagi siapapun yang ingin belajar, motivasi belajar yang ada malah mengalami penurunan. Dimana idealnya adalah seseorang mengikuti kegiatan belajar dengan tujuan untuk mengerti setiap apa yang dipelajarinya, namun sekarang ini tujuan dalam belajar tersebut bukan lagi untuk mengerti tetapi hanya utnuk bias mendapatkan nilai yang baik. Tidak jarang juga ditemui banyak siswa bahkan orang tua siswa sendiri yang menghalalkan segala cara baik lewat mencontek atau membeli bocoran soal-soal ujian, agar dapat memperoleh nilai yang memuaskan. Banyak kasus yang membuktikan mengenai hal ini seperti adanya bocoran soal-soal ujian nasional, pemalsuan ijazah, dan praktek jual beli gelar. Dari hasil observasi yang dilakukan oleh peneliti, diketahui bahwa peserta didik (siswa) kelas X jurusan Akuntansi di SMK Matsna Karim dalam mengikuti pembelajaran mata Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
485
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
pelajaran ekonomi sangat kurang, padahal mereka masuk di jurusan akuntansi. Hal ini dilihat dari nilai rata-rata ulangan harian siswa yang relatif masih rendah dengan nilai 71,72. Sehubungan dengan hal tersebut maka peneliti bermaksud melakukan penelitian dengan tujuan untuk menganalisis faktor apa saja yang mempengaruhi motivasi belajar siswa terhadap prestasi belajar pada mata pelajaran ekonomi. Penelitian ini dilakukan pada siswa kelas X jurusan Akuntansi SMK Matsna Karim Desa Bulurejo Kecamatan Diwek Kabupaten Jombang.
Landasan Teori Pengertian Pendidikan Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Wina Sanjaya (2006:2) Carter V. Good menuturkan bahwa pendidikan adalah keseluruhan proses dimana seseorang mengembangkan kemampuan, sikap, dan bentuk tingkah laku lainnya yang bernilai di dalam masyarakat dimana dia berada. Dalam bukunya “Dictionary of Education”, Carter membedakan pengertian pendidikan dalam dua hal: (1) Pedagogiy is the art, practice, or profession of teaching (pendidikan adalah seni, praktek, atau profesi pengajaran); (2) Pedagogy is the systematized of teaching and of student control and guidance (pendidikan adalah ilmu yang sistematis atau pengajaran yang berhubungan dengan prinsip dan metode mengajar, pengawasan dan pembimbingan siswa. (M. Noor Syam dkk, dalam Arif Rahman 2009:6).
Motivasi Belajar Teori Motivasi Belajar Motivasi belajar memegang peranan penting dalam memberikan gairah, semangat dan rasa senang dalam belajar sehingga siswa yang mempunyai motivasi tinggi mempunyai energi yang banyak untuk melaksanakan kegiatan belajar. Siswa yang mempunyai motivasi tinggi sangat sedikit yang tertinggal belajarnya dan sangat sedikit pula kesalahan dalam belajarnya. Motivasi dapat dipandang sebagai suatu rantai reaksi yang dimulai dari adanya kebutuhan, kemudian timbul keinginan untuk memuaskannya (mencapai tujuan), sehingga menimbulkan ketegangan psikologis yang akan mengarahkan perilaku kepada tujuan (kepuasan). Barelson dan Steiner dalam Koontz (2001:115) mendefinisikan motivasi sebagai suatu keadaan dalam diri seseorang (innerstate) yang mendorong, mengaktifkan atau menggerakkan, dan yang mengarahkan atau menyalurkan perilaku ke arah tujuan. Berikut ini gambar rantai motivasi.
Kebutuha nn
Keinginan
Keteganga n
Perilak u
Kepuasa n
Gambar 1. Rantai Motivasi (sumber: Barelson & Steiner dalam Koontz, 2001:115) Motivasi ini muncul dan berkembang dalam diri seseorang dengan jalan datang dari dalam individu itu sendiri (intrinsic) dan datang dari lingkungan (ekstrinsic). Faktor lingkungan yang memadai mendukung pencapaian dan perwujudan motivasi sehingga dapat berlangsung tanpa banyak kesulitan. Namun faktor lingkungan yang kurang memadai dapat menghambat
486
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
pencapaian motivasi tersebut (Makmun, 2001:37). Tanpa motivasi hasil belajar siswa tidak akan optimal dan stimulus belajar yang diberikan tidak akan berarti. Dalam hal ini, nilai yang buruk pada suatu mata pelajaran tertentu belum berarti bahwa sang anak bodoh dalam mata pelajaran tersebut. Seringkali terjadi seorang anak malas terhadap suatu pelajaran tertentu namun giat dalam mata pelajaran yang lain.
Bentuk-bentuk Motivasi Belajar Menurut Winkel (1996: 173-174) dalam kegiatan belajar ada dua bentuk motivasi yang dimiliki oleh seseorang, yaitu. a. Motivasi intrinsik Dalam motivasi intrinsik ini kegiatan belajar dimulai dan diteruskan berdasarkan penghayatan suatu kebutuhan atau dorongan yang secara mutlak berkaitan dengan aktivitas belajar itu. Semua keinginan itu berpangkal pada penghayatan kebutuhan dan siswa berdaya upaya melalui kegiatan belajar, untuk memenuhi kebutuhan itu b. Motivasi ekstrinsik Berbeda dengan motivasi intrinsik, pada motivasi ekstrinsik aktivitas belajar dimulai dan diteruskan berdasarkan kebutuhan dan dorongan yang tidak secara mutlak berkaitan dengan aktivitas belajar sendiri. Jadi motivasi ekstrinsik ini merupakan suatu bentuk motivasi yang berasal dari luar siswa, yang berpangkal pada suatu kebutuhan yang dihayati siswa itu sendiri dan hanya dapat dipenuhi melalui belajar atau sebetulnya juga dapat dipenuhi dengan cara lain.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Motivasi Belajar Purwanto (1999: 102) membedakan faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi belajar menjadi dua golongan, yaitu. a. Faktor individual Faktor individual merupakan faktor yang berada pada diri individu itu sendiri. Adapun yang termasuk dalam faktor ini antara lain: a) kematangan atau pertumbuhan, b) kecerdasan, c) latihan, d) motivasi, e) faktor pribadi (keadaan kesehatan fisik seseorang). b. Faktor sosial Merupakan faktor yang berada diluar individu. Adapun yang termasuk dalam faktor ini antara lain: a) faktor keluarga atau keadaan rumah tangga, b) guru dan cara pengajarannya, c) alat-alat yang digunakan dalam belajar mengajar, d) lingkungan dan kesempatan yang tersedia, dan e) motivasi sosial. Menurut Wlodkowski dan Jaynes (Hawadi, 2001) mengatakan ada empat faktor yang mempengaruhi motivasi belajar, yaitu: a) kebudayaan, b) lingkungan keluarga, c) lingkungan sekolah, dan d) keinginan siswa itu sendiri untuk belajar. Fungsi Motivasi Dalam Belajar Motivasi sangat berperan dalam belajar, hasil belajar siswa akan menjadi optimal jika ada motivasi yang kuat dan jelas. Makin tepat motivasi yang diberikan, akan makin berhasil pula pelajaran itu. Sardiman A.M dalam bukunya Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar (2011:85) mengemukakan bahwa fungsi motivasi ada tiga, yaitu: a) mendorong manusia untuk berbuat, jadi sebagai penggerak atau motor yang melepaskan energy, b) menentukan arah perbuatan, yakni ke arah tujuan yang hendak dicapai, c) menyeleksi perbuatan, yakni menentukan perbuatan-perbuatan apa yang harus dikerjakan yang serasi guna mencapai tujuan dengan menyisihkan perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan tersebut.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
487
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Indikator Motivasi Belajar Motivasi dapat diamati secara langsung maupun dengan mengambil kesimpulan dari perilaku atau sikap yang ditunjukkan. Berdasarkan aspek-aspek motivasi yang ada, dapat disimpulkan bahwa indikator yang dapat dijadikan tolok ukur motivasi seseorang adalah: a) ketekunan, b) keaktifan, c) semangat dalam belajar, d) kehadiran, e) keuletan dalam menghadapi dan memecahkan masalah yang ada.
Bentuk-bentuk Motivasi di Lingkungan Sekolah Dalam kegiatan belajar mengajar peranan motivasi, baik intrinsik maupun ekstrinsik sangat diperlukan dengan motivasi. Pelajar dapat mengembangkan aktivitas dan inisiatif, dapat mengarahkan dan memelihara ketekunan dalam melakukan kegiatan belajar. Dalam hal ini seorang guru harus hati-hati dalam menumbuhkan dan memberikan motivasi bagi kegiatan belajar peserta didik, jangan sampai hal ini dimaksudkan untuk memberikan motivasi tetapi justru tidak menguntungkan bagi perkembangan belajar siswa. Menurut Oemar Hamalik (2005:166-168) ada beberapa cara yang dapat dilakukan guru untuk menumbuhkan atau membangkitkan motivasi siswa dalam kegiatan belajar di sekolah, yaitu: a) memberi angka, b) hadiah, c) persaingan atau kompetisi, d) kerja kelompok, e) memberikan ulangan, f) mengetahui hasil (penilaian), g) pujian, h) hukuman, i) hasrat untuk belajar, j) minat, dan k) tujuan yang diakui.
Prestasi Belajar Pengertian Prestasi Belajar Menurut Suryabrata (1984:26) prestasi belajar adalah hasil yang telah dicapai seseorang dalam belajar. Hasil tersebut dinyatakan dalam nilai rapor dan indeks prestasi yang diperoleh berdasarkan hasil pengukuran proses belajar. Ketika belajar, seseorang selalu mempunyai keinginan atau harapan untuk mencapai hasil yang optimal demi tercapainya prestasi belajar yang tinggi. karena itu prestasi belajar sering diartikan sebagai hasil dari perbuatan belajar yang melukiskan taraf kemampuan seseorang setelah belajar dan berlatih dengan sengaja, sehingga menimbulkan perubahan tingkah laku kea rah yang lebih maju. Hasil dari proses belajar tersebut dapat juga merupakan penyempurnaan dan pengembangan dari suatu kemampuan yang dimiliki (Winkel dalam Rivka, 2009:31). Menurut Syaifudin dalam Rivka (2000:58) nilai prestasi yang diberikan sebagai hasil tes, pekerjaan rumah ataupun tugas memiliki nilai motivasi yang tinggi. hal ini disebabkan karena nilai sendiri merupakan sesuatu yang menyebabkan hal itu pantas dikejar oleh manusia. Nilai sendiri bisa dipakai sebagai pandangan mengenai baik buruknya prestasi siswa (Winkel, 1996), sehingga menjadi suatu ukuran menilai performance akademik seseorang.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar Untuk mencapai prestasi belajar sebagaimana yang diharapkan, maka perlu diperhatikan beberapa faktor yang mempengaruhi prestasi belajar antara lain. 1. Faktor yang terdapat dalam diri siswa (faktor intern). Faktor intern adalah faktor yang timbul dari dalam diri individu itu sendiri. Adapun yang dapat digolongkan ke dalam faktor intern yaitu kecerdasan/inteligensi, bakat, minat dan motivasi. 2. Faktor yang terdiri dari luar siswa (faktor ekstern). Faktor ekstern adalah faktor yang dapat mempengaruhi prestasi belajar yang sifatnya diluar diri siswa, meliputi beberapa pengalaman-pengalaman, keadaan keluarga, keadaan
488
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
sekolah, lingkungan sekitar.
Metode Penelitian Dalam kegiatan penelitian ini, suatu kegiatan penulisan ilmiah yang didalamnya mengandung rumusan masalah yang memerlukan pemecahan dinyatakan dalam dugaan sementara dan memerlukan pengujian dan kajian secara ilmiah dengan menggunakan teknik penelitian yang sesuai dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Rancangan penelitian yang peneliti gunakan adalah penelitian kuantitatif dengan pendekatan deskriptif eksploratif. Dalam penelitian ini peneliti tidak menggunakan angka dalam mengumpulkan data dan dalam memberikan penafsiran terhadap hasilnya. Namun demikian tidak berarti bahwa dalam penelitian deskriptif ini, peneliti sama sekali tidak diperbolehkan menggunakan angka. Dalam hal-hal tertentu diperbolehkan menggunakan angka untuk memperkuat data penelitian (Arikunto, 2006:12). Penelitian ini dilakukan pada siswa kelas X jurusan Akuntansi SMK Matsna Karim Desa Bulurejo Kecamatan Diwek Kabupaten Jombang. Dalam penelitian ini responden yang dipakai adalah seluruh siswa kelas X jurusan Akuntansi sebanyak 32 siswa. Dikarenakan kelas X jurusan Akuntansi hanya terdiri dari 1 (satu) kelas saja maka peneliti akan menggunakan sampel semuanya sebanyak 32 siswa. Dalam mengumpulkan data, peneliti menggunakan teknik pengumpulan data melalui: (1) wawancara, (2) observasi, (3) angket, (4) dokumentasi, (5) literatur. Untuk memudahkan proses pengumpulan dan analisis data, peneliti menggunakan instrumen penunjang yang terdiri atas: (1) pedoman observasi yang digunakan untuk melakukan pengamatan secara langsung dan digunakan untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi motivasi belajar siswa pada saat guru menjelaskan mata pelajaran akuntansi, (2) pedoman wawancara yang digunakan untuk menjaring data yang berupa jawaban dari siswa tentang faktor yang mempengaruhi motivasi belajar siswa pada saat guru menjelaskan mata pelajaran akuntansi, (3) angket atau kuisioner digunakan untuk mengumpulkan data dari siswa yang menjadi sampel yaitu kelas X jurusan Akuntansi tentang faktor yang mempengaruhi motivasi belajar pada saat guru menjelaskan mata pelajaran akuntansi. Data yang diperoleh dianalisis melalui pendekatan deskriptif eksploratif, karena tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi belajar siswa terhadap prestasi belajar pada mata pelajaran akuntansi. Peneliti melakukan analisis data dimulai pada saat pertama kali mengumpulkan data sampai dengan akhir pengumpulan data selesai. Hal ini dilakukan agar fenomena yang diteliti dapat dideskripsikan secara utuh, objektif, dan sistematis. Langkah-langkah yang ditempuh peneliti dalam menganalisis data meliputi: (1) date collection, (2) date reduction, (3) date display, (4) conclution.
Hasil Penelitian Analisis Data Dari 32 jumlah responden, peneliti menyebarkan angket untuk diisi oleh siswa yang menjadi responden tersebut. Angket yang peneliti sebarkan terdiri dari 30 pertanyaan. Dari hasil observasi, wawancara dan penyebaran angket, peneliti dapat mengetahui bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi belajar siswa terhadap prestasi belajar pada mata pelajaran akuntansi diantaranya:
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
489
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
1. Faktor intrinsik motivasi, terdiri atas faktor psikologis dan fisiologis. Melalui angket yang disebarkan pada siswa, diketahui bahwa 24 siswa atau 75% responden menyatakan bahwa faktor psikologis yang berupa cita-cita sangat mempengaruhi motivasi belajar. Sedangkan 8 siswa atau 25% responden menyatakan bahwa cita-cita tidak mempengaruhi motivasi mereka dalam belajar. Melalui angket yang disebarkan pada siswa, diketahui sebanyak 23 siswa atau 71,875% responden menyatakan bahwa faktor fisiologis yang berupa kelelahan sangat mempengaruhi motivasi belajar. Dalam hal ini faktor kelelahan mempunyai pengaruh yang paling besar terhadap motivasi belajar, sedangkan 9 siswa atau 28,125% responden menyatakan bahwa faktor fisiologis yang berupa kelelahan tidak mempengaruhi motivasi belajar mereka. 2. Faktor ekstrinsik motivasi, terdiri atas lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Dari hasil wawancara dengan siswa yang menjadi sampel dalam penelitian, dapat dijelaskan bahwa ketika seorang siswa merasakan kondisi dalam keluarga yang menyenangkan, hal tersebut dapat membuat siswa akan menjadi nyaman dirumah dan ketika orang tua juga memberikan perhatian terhadap belajarnya misalnya saja dengan menanyakan pelajaran, menyediakan tempat belajar yang layak, memenuhi buku yang dibutuhkan menjadi sebuah dorongan atau motivasi terhadap anaknya. Jika faktor-faktor tersebut ada pada lingkungan keluarga, maka siswa akan merasa senang untuk belajar ketika berada di rumah. Melalui angket yang disebarkan pada siswa, diketahui sebanyak 21 siswa atau 65,625% responden menyatakan bahwa faktor keluarga yang berupa perhatian dalam bentuk pemberian fasilitas belajar oleh keluarga sangat mempengaruhi motivasi belajar, sedangkan 11 siswa atau 34,375% responden menyatakan bahwa faktor keluarga yang berupa perhatian dalam bentuk pemberian fasilitas belajar tidak berpengaruh pada motivasi belajar. Lingkungan sekolah yang mendukung terjadinya proses belajar mengajar yang baik akan menumbuhkan rasa nyaman pada saat belajar di sekolah. Hal-hal yang termasuk dalam lingkungan sekolah adalah guru, metode mengajar, disiplin sekolah, teman sekelas, keadaan sekolah dan kelas (keadaan udara, kondisi kelas, dan fasilitas yang terpenuhi). Melalui angket yang disebarkan pada siswa, diketahui sebanyak 23 siswa atau 71,875% responden menyatakan bahwa pada lingkungan sekolah, fasilitas yang diberikan sekolah sangat mempengaruhi motivasi belajar, sedangkan 9 siswa atau 28,125% responden menyatakan bahwa pada lingkungan sekolah fasilitas yang diberikan sekolah tidak mempengaruhi motivasi belajar mereka. Lingkungan masyarakat yang terdiri dari teman bergaul, lingkungan tetangga, aktivitas dalam masyarakat, dan adanya media massa seperti internet, televisi, koran, surat kabar, majalah, buku komik yang berada di lingkungan sekitar, dapat mempengaruhi motivasi belajar siswa. Lingkungan sekitar yang mendukung akan membuat siswa senang untuk belajar. Melalui angket yang disebarkan pada siswa diketahui, sebanyak 19 siswa atau 59,375% responden menyatakan bahwa pada lingkungan masyarakat, kondisi perekonomian masyarakat dan pemberitaan tentang perekonomian di televisi paling besar pengaruhnya terhadap motivasi belajar, sedangkan 13 siswa atau 40,625% responden menyatakan pada lingkungan masyarakat, kondisi perekonomian masyarakat dan pemberitaan tentang perekonomian di televisi tidak mempengaruhi terhadap adanya motivasi belajar. Dari hasil angket yang disebarkan pada 32 siswa, diketahui sebanyak 21 siswa atau 65,625% responden menyatakan bahwa faktor fisiologis mempengaruhi motivasi siswa pada saat belajar dan menjadi maslah, sedangkan 11 siswa atau 34,375% responden menyatakan 490
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
faktor fisiologis tidak mempengaruhi motivasi siswa pada saat belajar sehingga tidak menjadi masalah. Pada faktor psikologis, diketahui sebanyak 24 siswa atau 75% responden menyatakan bahwa faktor psikologis mempengaruhi motivasi siswa dalam belajar akuntansi, sedangkan 8 siswa atau 25% responden menyatakan bahwa faktor psikologis tidak mempengaruhi motivasi siswa dalam belajar akuntansi. Analisis pada faktor keluarga, diketahui sebanyak 21 siswa atau 65,625% responden menyatakan bahwa faktor keluarga mempengaruhi motivasi siswa dalam belajar akuntansi, sedangkan 11 siswa atau 34,375% menyatakan bahwa faktor keluarga tidak mempengaruhi motivasi siswa dalam belajar akuntansi. Dari faktor lingkungan sekolah, diketahui sebanyak 23 siswa atau 71,875% responden menyatakan bahwa lingkungan sekolah mempengaruhi motivasi siswa dalam belajar akuntansi, sedangkan 9 siswa atau 28,125% menyatakan bahwa lingkungan sekolah tidak mempengaruhi motivasi siswa dalam belajar akuntansi. Dari faktor lingkungan masyarakat, diketahui sebanyak 19 siswa atau 59,375% responden menyatakan bahwa lingkungan masyarakat mempengaruhi motivasi siswa dalam belajar akuntansi, sedangkan 13 siswa atau 40,625% menyatakan lingkungan masyarakat tidak mempengaruhi motivasi siswa dalam belajar akuntansi.
Interpretasi Data Dari data-data yang sudah dianalisis tersebut, kemudian peneliti menganalisis data dengan pembahasan deskriptif kualitatif sebagai berikut. Dari hasil angket yang disebar kepada 32 responden, sebanyak 21 siswa atau 65,625% responden menyatakan bahwa siswa mempunyai masalah faktor fisiologis yang mempengaruhi motivasi belajar mereka pada saat mempelajari akuntansi, sedangkan 11 siswa atau 34,375% responden menyatakan tidak mempunyai masalah faktor fisiologis yang mempengaruhi motivasi belajar mereka pada saat mempelajari akuntansi. Masalah ini disebabkan karena adanya gangguan pada siswa yang kelelahan setelah mengikuti pelajaran olah raga, hal ini mengakibatkan siswa kurang konsentrasi karena capek sehingga motivasi dalam belajarnya menurun. Analisis faktor psikologis, sebanyak 24 siswa atau 75% responden menyatakan bahwa faktor psikologis mempengaruhi motivasi belajar siswa mereka mempelajari akuntansi, sedangkan 8 siswa atau 25% responden menyatakan bahwa faktor psikologis tidak mempengaruhi motivasi belajar mereka dalam mempelajari akuntansi. Hal ini disebabkan karena dorongan merupakan salah satu faktor yang berasal dari dalam diri siswa itu sendiri untuk dapat memaksimalkan hasil belajarnya. Analisis faktor keluarga, sebanyak 21 siswa atau 65,625% responden menyatakan bahwa faktor keluarga dapat mempengaruhi motivasi belajar mereka dalam mempelajari akuntansi, sedangkan 11 siswa atau 34,375% responden menyatakan bahwa faktor keluarga tidak mempengaruhi motivasi belajar mereka dalam mempelajari akuntansi. Dalam hal ini peranan orang tua dan kondisi keluarga dirasa sangat penting dalam memotivasi siswa untuk belajar ketika mereka berada di rumah. Peran orang tua sendiri dapat dilakukan dengan memberikan perhatiannya seperti menanyakan pelajaran di sekolah, menyediakan tempat belajar yang nyaman, dan memenuhi buku yang dibutuhkan dalam belajarnya. Analisis faktor lingkungan sekolah, sebanyak 23 siswa atau 71,875% responden menyatakan bahwa lingkungan sekolah mempengaruhi motivasi belajar mereka dalam mempelajari akuntansi, sedangkan 9 siswa atau 28,125% responden menyatakan bahwa lingkungan sekolah tidak mempengaruhi motivasi belajar mereka dalam mempelajari akuntansi. Hal tersebut dikarenakan lingkungan sekolah mendukung terjadinya proses belajar mengajar Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
491
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
yang baik, dimana guru dituntut untuk lebih kreatif dan inovatif ketika menjelaskan materi pelajaran dan selain itu didukung dengan adanya fasilitas belajar dan kondisi sekolah yang bersih, kelas yang nyaman sehingga membuat siswa betah untuk belajar di sekolah. Analisis faktor lingkungan masyarakat, 19 siswa atau 59,375 % responden menyatakan bahwa lingkungan masyarakat mempengaruhi motivasi belajar mereka dalam mempelajari akuntansi, sedangkan 13 siswa atau 40,625% responden menyatakan faktor lingkungan masyarakat tidak mempengaruhi motivasi belajar mereka dalam mempelajari akuntansi. Hal ini dikarenakan lingkungan sekitar yang mendukung akan membuat siswa senang untuk belajar. Pada saat siswa merasakan kondisi perekonomian negara yang tidak stabil maka hal ini akan menuntut seorang siswa mencari tahu tentang fenomena yang terjadi pada perekonomian negara dengan cara mempelajari pelajaran akuntansi. Hal-hal yang tidak didapat dalam buku paket, siswa akan aktif bertanya pada guru. Dari hasil penelitian yang telah dianalisis dengan menggunakan teknik deskriptif kualitatif dan dengan mengambil sampel jumlah responden yang diteliti sebanyak 32 responden, dapat dikatakan bahw faktor internal yang berupa faktor fisiologis dan faktor psikologis, serta faktor eksternal yang berupa faktor lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat sangat mempengaruhi motivasi belajar siswa terhadap prestasi yang didapatnya. Semakin tinggi motivasi belajar yang dimiliki siswa, maka semakin tinggi pula usaha belajar siswa tersebut sehingga akan mencapai prestasi yang tinggi pula. Hal ini dikarenakan siswa yang mempunyai motivasi tinggi akan selalu berusaha keras untuk menangani setiap kesulitan yang dihadapinya dalam kegiatan belajarnya. Berdasarkan nilai ulangan harian, nilai rata-rata yang diperoleh dari 32 responden yang mendapatkan nilai tertinggi berjumlah 3 orang siswa dengan nilai 80. Sedangkan responden yang mempunyai nilai terendah sebanyak 10 siswa dengan nilai 65, dengan demikian diperoleh rata-rata nilai 32 responden adalah sebesar 71,72. Berdasarkan analisis yang telah peneliti lakukan, diketahui bahwa siswa yang mempunyai masalah pada faktor fisiologis sebanyak 21 siswa atau 65,625%. Dalam hal ini faktor fisiologis tidak seberapa berpengaruh terhadap prestasi siswa, hal ini dapat ditunjukkan dengan nilai ratarata ulangan hariannya sebesar 71,72 sedangkan pada KKM (kriteria ketuntasan minimal) adalah sebesar 65. Dari rendahnya faktor fisiologis yang ada pada diri siswa, ternyata siswa masih bisa termotivasi dalam belajarnya dan mendapatkan prestasi yang cukup memuaskan. Hal ini dikarenakan masih ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi motivasi belajar mereka yaitu faktor psikologis yang ada pada diri mereka sendiri, faktor keluarga yang mendukung dan memberi perhatian, faktor lingkungan sekolah yang menyediakan fasilitas dan kenyamanan yang baik sehingga terciptanya proses belajar mengajar yang kondusif, dan faktor lingkungan masyarakat yang sangat mempengaruhi motivasi belajar siswa.
Daftar Pustaka Arikunto, Suharsimi.2006. Prosedur Penelitian. Jakarta: PT. Rineka Cipta Dimyati dan Mudjiono. 2004. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: PT. Rineka Cipta Dimyati dan Mudjiono. 2006. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: PT. Rineka Cipta Djamarah, Syaiful Bahri dan Zain,Aswan.2006. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: PT. Rineka Cipta Gibson, James L., John M. Ivancevich dan James H. Donnely, Jr. 2002. Organisasi dan Manajemen: Perilaku, Struktur, Proses. Jakarta: Penerbit Erlangga
492
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Hamalik, Oemar. 2008. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara Hamalik, Oemar. 2008. Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem. Jakarta:Bumi Aksara Hamzah B. Uno. 2008. Teori Motivasi dan Pengukurannya. Jakarta: Bumi Aksara Koontz, Harold, Cyril O’Donell dan Heinz Weihrich. 2001. Manajemen. Jakarta: Penerbit Erlangga Rahman, Arif. 2009. Memahami Pendidikan dan Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: Laksbang Mediatama Sanjaya, Wina. 2008. Strategi Pembelajaran berorientasi Standart Proses pendidikan. Jakarta: Kencana Sardiman A.M. 2008. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Raja Grafindo Persada Sunarto, H dan B.A Hartono. 1999. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: PT. Rineka Cipta
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
493
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Pengaruh Bahan Ajar Berbasis Media Audio Visual Terhadap Hasil Belajar Siswa Kelas X pada Mata Pelajaran Ekonomi SMA Negeri 2 Bondowoso Dedy Wijaya Kusuma 15 ([emailprotected]) Abstract This research was aimed at finding out how the effect of audio visual media in students learning achievement. This study was sort of quantitative experiment. The sample was all the populasion the tenth grade of SMA Negeri 2 Bondowoso. The data were collected using test, and were analyzed through correlation and hypothesis testing. Based on the result, it was gained that the students post-test was better thet the pre-test. It showed that using audio visual method gave the positive effect in economics lesson. Besides, the t-test calculation showed that tcount=2.210>ttable=2.060, indicated thet there was significant differenc of pre-test and post-test hence, there was positive effect of using audio visual media in stedents' economics learning achievement at the tenth grade of SMA Negeri 2 Bondowoso. Keywords: audio visual media, learning achievement Abstrak Pengaruh bahan ajar berbasis Media audio visual adalah suatu proses pembelajaran yang menggunakan media atau alat bantu untuk membantu membangkitkan semangat dan minat siswa di dalam proses pembelajaran. Bertujuan untuk mengetahui berapa besar pengaruh media audio visual terhadap hasil belajar siswa kelas X SMA Negeri 2 Bondowoso. Metode penelitian ini adalah jenis eksperimen dengan menggunakan pendekatan kuantitatif. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas X SMA Negeri 2 Bondowoso yang berjumlah 54 orang. Sampel dalam penelitian ini adalah siswa kelas X SMA Negeri 2 Bondowoso, kelas eksperimen 26 orang dan kelas kontrol 28 orang. Hasil penelitian dari uji korelasi tersebut Ttabel = 2,060 karena Thitung > T tabel maka Ha di terima sedangkan Ho ditolak. Berdasarkan dari perhitungan yang di peroleh dari hasil Thitung 2,210 selanjutnya dengan Ttabel pada taraf signifikan 5% dengan db = 25 yaitu sebesar 2,060 maka Thitung 2,210 >Ttabel 2,060 dapat di buktikan ada perbedaan yang signifikan antara hasil belajar siswa sebelum penelitian dengan hasil postest siswa pada taraf signifikan 5%. Dari hasil tersebut dapat di tarik kesimpulan bahwa media audio visual memberikan dampak yang positif terhadap hasil belajar siswa kelas X pada mata pelajaran ekonomi SMA Negeri 2 Bondowoso. Kata kunci : media audio visual dan hasil belajar.
Pendahuluan Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk waktu serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa (UU RI No. 20, Tahun 2003). Berdasarkan fungsi pendidikan nasional ini, peran guru menjadi kunci keberhasilan pendidikan dan pembelajaran di sekolah. Selain Guru bertanggung jawab untuk mengatur, mengarahkan dan menciptakan suasana kondusif yang mendorong siswa untuk melaksanakan kegiatan di kelas, salah satu faktor yang ikut mendukung peroses belajar mengajar adalah media. Karena pendidikan pada saat sekarang ini telah menunjukkan suatu kemajuan dan perkembangan yang sangat pesat. Hal ini ditandai dengan kemajuan yang sudah modern, dimana peranan teknologi sudah sedemikian menonjol, terutama pada masyarakat di negara-negara berkembang. 15
Dosen Program Dosen Universitas Kanjuruhan Malang, Jawa Timur, Indonesia
494
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Sejalan dengan kemajuan bidang ilmu dan teknologi, maka dewasa ini bidang pembelajaran secara umum sedikit banyaknya terpengaruh oleh adanya perkembangan dan penemuan-penemuan dalam bidang keterampilan, ilmu, dan teknologi. Pengaruh perkembangan tersebut tampak jelas dalam upaya-upaya pembaharuan sistem pendidikan dan pembelajaran. Upaya pembaruan itu menyentuh bukan hanya secara fisik/fasilitas pendidikan, tetapi juga sarana non fisik seperti pengembangan kualitas tenaga-tenaga kependidikan yang memiliki pengetahuan, kemempuan, dan keterampilan memamfaatkan fasilitas yang tersedia, cara kerja yang inovatif, serta sikap yang positif serta tugas-tugas kependidikan yang di embannyan. Salah satu bagian integral dari upaya pembaruan itu adalah pengembangan- pengembangan dalam dunia media pembelajaran. Oleh karena itu media pembelajaran menjadi suatu bidang yang seyogianya di kuasai oleh guru profesional. Media pembelajaran merupakan perangkat alat bantu atau pelengkap yang di gunakan oleh guru atau pendidik dalam rangka berkomonikasi dengan peserta didik. Berdasarkan fenomena sekarang, semanat awal belajar siswa sangatlah rendah hal ini akan berdampak kepada kurangnya hasil belajar yang akan dicapai oleh siswa. Dengan demikian, media audio visual sebagai alat bantu pembelajaran sangat diharapkan dapat meningkatkan semangat dalam merangsang siswa untuk lebih aktif dan bersemangat dalam peroses belajar mengajar sehingga menghasilkan hasil yang maksimal. Karena siswa dalam menyerap atau memahami suatu bahan yang telah diajarkan dapat diketahu berdasarkan penilaian yang dilakukan oleh guru. Salah satu cara untuk mengukur hasil belajar siswa dilihat dari hasil belajar siswa itu sendiri. Selain membangkitkan semangat, media dapat meningkatkan hasil belajar siswa dengan baik dan dapat juga membantu meningkatkan pemahaman, menyajikan materi dengan menarik, terpercaya dan siswa mudah mendapatkan informasi. Oleh karena itu meningkatkan hasil belajar siswa agar mendapatkan nilai yang memuaskan, merupakan tugas guru yang mana guru harus benar-benar bisa menguasai semua keterampilan yang menyangkut pembelajaran, terutama keterampilan dalam penggunaan barbagai macam media. Keterampilan ini sangat mempengaruhi semangat di dalam proses pembelajaran dan hasil belajar siswa. Jika seorang guru tidak memiliki keterampilan tersebut, siswa akan cepat bosan dan jenuh terhadap materi yang di ajarkan. Untuk mengatasi hal-hal di atas guru hendaknya menggunakan media dalam peroses belajar mengajar, agar minat siswa dalam belajar menjadi meningkat, jika sudah begitu maka hasil belajarpun akan memuaskan dan tujuan pembelajaran juga tercapai sesuai dengan harapan. Adapun hasil penelitian terdahulu yang terkait dengan penelitian peneliti yaitu: 1). Muliyani, (2009) dalam penelitiannya menyimpulkan yang Pertama, teknik penggunaan audio visual (CD) dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam di MTs Negeri Model Selong, melalui beberapa tahap yaitu, menyusun materi, menyiapkan buku-buku pendukung yaitu buku paket Pendidikan Agama Islam (Fiqih), menyiapkan ruangan dan perlengkapan, menggunakan alat-alat, serta mengadakan evaluasi. Yang kedua, Peranan penggunaan media audio visual (CD) pada mata pelajaran pendidikan agama Islam (Fiqih) di MTs Negeri Model Selong sangat penting, karena dengan adanya media tersebut, materi/bahan pelajaran akan lebih mudah dipelajari, dipahami, dan ditransfer oleh siswa serta memudahkan guru dalam menyampaikan materi pelajaran. Yang ketiga, hambatan-hambatan yang di temukan dalam penggunaan media audio visual (CD) dalam meningkatkan motivasi belajar siswa pada mata pelajaran PAI (Fiqih) yaitu, terkait dengan listrik, ketersediaan alat- alat medianya terbatas, serta kemampuan guru dalam menerapkan atau mengoperasikan media masih kurang; 2) Mansur, (2010) menyimpulkan dari hasil penelitiannya adalah sebagai berikut: yang pertama, nilai rata-rata Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
495
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
yang menggunakan audio visual lebih besar yakni 84 bila dibandingkan dengan metode ceramah sebesar 72 sehingga dapat dikatakan bahwa penerapan penggunaan media audio visual memiliki perbedaan yang signifikan terhadap prestasi belajar siswa kelas XI IPS SMA Negeri 1 Sumbawa Besar Tahun Ajaran 2009/2010. Yang kedua, Bahwa penggunaan media Pembelajaran Ekonomi pada kelas XI IPS SMAN 1 Sumbwa Besar Tahun Pelajaran 2009/2010 termasuk kategori tinggi pada iterprestasi 84-100; 3). Asmaluddin (2012) dengan judul skripsi "penggunaan media audio visual dalam upaya meningkatkan minat dan hasil belajar siswa kelas VIII pada mata pelajaran IPS terpadu ekonomi di smp negeri 1 janapria tahun pelajaran 2011/2012". Di dalam penelitian ini menyimpulkan bahwa penggunaan media audio visual dapat meningkatkan minat dan hasil belajar siswa kelas VIII pada mata pelajaran IPS Terpadu Ekonomi tahun pelajaran 2011/2012. Hal ini terlihat pada data kualitatif yaitu lembar observasi minat belajar siswa sudah mencapai nilai rata-rata dari siklus I sebesar 3,3 menjadi 4,0 pada siklus II, yang berarti minat belajar siswa berkategori tinggi. Sedangkan secara kuantitatif berupa angka-angka yang diperoleh dari perhitungan hasil evalusi belajar siswa dapat diketahui, bahwa penggunan media audio visual dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan persentase pada siklus I sebesar 71,79% menjadi 89,79% pada siklus II yang berati sudah tuntas secara klasikal dan sudah memenuhi target atau KKM. Berdasarkan latar belakang masalah diatas, dapat diidentifikasi beberapa masalah dalam penelitian ini yaitu : 1) Masih rendahnya hasil belajar siswa terutama dalam mata pelajaran Ekonomi; 2). Siswa merasa bosan dengan metode ceramah yang dilakukan oleh guru; 3). Kurangnya penggunaan media audio visual dalam peroses belajar mengajar terutama pada mata pelajaran ekonomi; 4). Belum diketahui pengaruh penggunaan media audio visual dalam peroses kegiatan belajar mengajar terhadap hasil belajar. Adapun tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh media audio visual terhadap hasil balajar siswa kelas X pada mata pelajaran ekonomi di SMA Negeri 2 Bondowoso.
Metode Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian eksperimen Metode penelitian eksperimen merupakan metode penelitian yang digunakan untuk mencari pengaruh treatment (perlakuan) tertentu. Penelitian eksperimen dapat diartikan sebagai metode penelitian yang digunakan untuk mencari pengaruh perlakuan tertentu terhadap yang lain dalam kondisi yang terkendalikan (Sugiyono, 2011). Adapun bentuk desain eksperimen yang digunakan peneliti dalam penelitian ini yaitu posttest control group design. Di dalam rancangan ini hanya di berikan posttest saja tanpa di berikan pretest. Adapun bentuk dari disain tersebut yaitu: Subjek E K
Perlakuan X -
Post-test O1 O2
Dalam desain ini terdapat dua kelompok, ada kelompok kontrol dan eksperimen, di dalam desain ini kedua kelompok tersebut di berikan tindakan, tidak menggunakan pretest, dan di dalam memberikan tindakan, kelas eksperiman di berikan tindakan menggunakan media audiovisual.
496
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Dalam teknik pengambilan sampel, apabila subjeknya kurang dari 100 orang, lebih baik diambil semuanya, sehingga penelitiannya merupakan penelitian populasi. Selanjutnya jika jumlah subjeknya besar atau lebih dari 100 orang dapat diambil diantara 10-15% atau 20-25% atau lebih, tergantung dari kemampuan peneliti dilihat dari segi waktu, tenaga dan dana yang dimiliki peneliti. Mengacu pada pendapat diatas, maka untuk menetapkan besarnya jumlah sampel peneliti mengambil 100% dari keseluruhan populasi yaitu semua siswa kelas X SMA Negeri 2 Bondowoso karena jumlah siswa kurang dari 100 yaitu 54 siswa, maka peneliti menjadikan seluruh siswa kelas X sebagai sampel dalam penelitian ini. Dengan kata lain, penelitian ini termasuk ke dalam penelitian populasi. Dalam hal ini teknik pengambilan sampel yang di gunakan adalah purposive sampling yaitu tehnik sampling yang di gunakan jika peneliti mempunyai pertimbangan-pertimbangan tertentu di dalam pengambilan sampel. Mengingat jumlah kelas X SMA Negeri 2 Bondowoso ada 2 kelas dengan jumlah 54, maka penelitian ini menggunakan penelitian populasi, dimana populasi dimaksud sekaligus menjadi sampel adalah kelas X-a, yang berjumlah 28 dan kelas Xb yang berjumlah 26. Teknik pengumpulan data yang digunakan disini antara lain: dokumentasi dan tes sedangkan instrumen penelitiannya menggunakan tes. Dimana tes yang dimaksud adalah tes objektf yaitu essay yang berjumlah 5 butir soal dengan materi pembahasan koperasi sekolah.. Uji coba instrumen penelitian disini terdapat antara lain: uji validitas, uji reabilitas, uji tingkat kesukaran dan uji daya beda. Dari 10 butir soal yang diuji coba terdapat 5 soal yang valid dan terdapat 5 soal yang drof dengan Metode yang digunakan dalam uji validitas soal adalah Pearson Product Moment. Dalam uji reabilitas hasil nilai yang diperoleh koefisien reliabilitas sebesar 0,692, dan nilai rtabel adalah 0,361. Dengan demikian nilai hitung alpha lebih besar dari rtabel ini artinya data diatas menunjukkan bahwa data tersebut masuk dalam kriteria tinggi yaitu 0,692 dan instrumen tes dapat dinyatakan reliabel. Pada taraf kesukaran tiap butir soal diperoleh 7 butir soal bertaraf kesukaran mudah, 3 butir soal bertaraf kesukaran sedang. Pada tingkat daya beda soal mengetahui daya pembeda tiap butir soal diperoleh 5 butir soal berdaya beda baik sekali, 3 butir soal berdaya beda baik, dan 2 butir soal berdaya beda jelek. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa item soal memenuhi kriteria, sehingga instrumen tes tersebut dapat digunakan untuk pengukuran dalam rangka analisis lebih lanjut. Teknik analisis data terdapat di antaranya uji persyaratan dan uji hipotesis. Sebelum Sebelum dilakukan pengujian hipotesis, ada dua persyaratan yang harus dipenuhi, kedua persyaratan tersebut adalah Uji Normalitas, dan Uji Homogenitas Varians. Uji normalitas di gunakan untuk mengetahui kenormalan sebaran data yang di gunakan, yaitu data perestasi belajar siswa. Data tersebut di olah dengan menggunakan Chi-kuadrat. Data distribusi normal jika X hitung < X table dan sebaliknya data tidak berdistribusi normal jika X hitung > X table pada taraf signifikan5%. Uji homogenitas ( uji- F) Langkah awal yang di lakukan adalah menentukan homogeny atau tidaknya varians data yang di peroleh. Data yang di gunakan untuk uji homogenitas varians data adalah data posttest yang di lakukan pada masing-masing kelas. Uji homogenitas varians di cari dengan menggunakan rumus uji-f. Hipotesis merupakan jawaban sementara yang kebenarannya membutuhkan pembuktian. hipotesis yang di ajukan dalam penelitian ini adalah : adanya pengaruh bahan ajar berbasis media audio visual terhadap hasil belajar kelas X pada mata pelajaran ekonomi SMA Negeri 2 Bondowoso. Dan uji hipotesis yang di gunakan di dalam penelitian ini adalah Uji-t yaitu dengan cara mengolah data hasil belajar siswa dengan menggunakan rumus uji-t pada dua Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
497
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
pihak dengan taraf signifikan 5%. Pada penelitian ini karena jumlah n1^n2 maka rumus uji-t yang digunakan adalah polled varians. Maka keriteria pengujian terhadap hipotesis yaitu pada taraf signifikan 5%. Jika Thitung < T tabel maka Ho di terima ( Ha di tolak) sedangkan jika T hitumg > T tabel maka Ho di tolak ( Ha di terima).
Hasil Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada pelajaran ekonomi yang subjeknya adalah kelas X di SMA Negeri 2 Bondowoso berjumlah 54 siswa, yang terdiri dari dua kelas yaitu X-a berjumlah 28 siswa sebagai kelas kontrol sedangkan kelas X-b berjumlah 26 siswa sebagai kelas eksperiment dan pelajaran ekonomi pembahasan koperasi sekolah dilakukan dengan menggunakan media pembelajaran yaitu media audio visual. Paparan deskripsi hasil data dari kelas eksperimen dan kontrol terdapat hasil belajar posttest siswa dibawah ini. Kelas Kelas Eksperimen Kelas kontrol
Jumlah siswa
Nilai tertinggi
Nilai terendah
Mean (x)
Standar Deviasi (SD)
Modus
26
90
60
75,691
7,876
80
28
90
60
75,535
7,371
80
Deskripsi hasil belajar siswa diatas, terdapat nilai maksimum, minimum, rata-rata, dan standar deviasi, dimana nilai tersebut hasil dari perhitungan menggunakan Microsoft ecxel. yaitu hasil belajar siswa dengan jumlah siswa 54. Hasil untuk nilai posttest disini terdapat hasil yaitu nilai maksimum 90, nilai minimum 60, nilai rata- rata untuk kelas eksperimen 75,691 dan nilai rata-rata kelas control 75,535 dan standar deviasi untuk kelas eksperimen 7,876 dan untuk kelas kontrolnya 7,371. Disini berarti sudah benar-benar tuntas untuk diberikannya perlakuan khusus pada siswa tersebut. Besarnya perbedaan antara data hasil nilai hasil belajar siswa dan hasil tes akhir (post test) tersebut jika dikonversi dalam bentuk histogram, maka hasilnya akan terlihat sebagai berikut:
Gambar 4.2 Histogram Hasil belajar siswa dan Data Tes Akhir (Posttest) Hasil Belajar Siswa (kelas kontrol ) 498
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Berdasarkan diagram di atas warna merah memberikan gambaran hasil belajar sebelum penelitian, dan warna biru melambangkan hasil belajar siswa setelah di berikan tindakan. Diagram di atas sudah menunjukkan bahwa adanya peningkatan hasil belajar siswa setelah di berikan perlakuan dengan memberikan pembelajaran media audio visual. Uji prasyarat yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji normalitas dan uji homogenitas. berdasarkan perhitungan bahwa Uji normalitas data dilakukan untuk menguji apakah data dari variabel-variabel yang diteliti mendekati distribusi normal atau tidak. Berdasarkan uji normalitas untuk kelas kontrol (konvensional) yaitu kelas Xa, diperoleh F(z) - S(z) terbesar adalah 0,167 ini berarti dari kelas kontrol didapat Lt = 0,167. dengan N = 28 dan a = 5% didapat Lv = 0,130 yang diambil dari nilai kritis L untuk uji litifors. Karena dari perhitungan didapat Lv < Lt yaitu 0,130T tabel maka Ha diterima sedangkan Ho ditolak. Berdasarkan dari perhitungan yang diperoleh dari hasil thitung = 2,210 Selanjutnya dengan ttabel pada taraf signifikan 5% dengan db = 25 yaitu sebesar 2,060, maka thitung 2,210 > ttabel 2,060, dapat dibuktikan ada perbedaan yang signifikan antarafretest dengan posttest. Dengan demikian ada pengaruh penggunaan media audio visual terhadap hasil belajar pendidikan ekonomi siswa kelas X SMA Negeri 2 Bondowoso dengan taraf signifikan 5%. Berdasarkan hasil perhitungan tersebut dapat disimpulkan bahwa Ada pengaruh yang signifikan penggunan media Audio Visual terhadap hasil belajar siswa pada mata pelajaran ekonomi kelas X SMA Negeri 2 Bondowoso. Media audio visual adalah media pembelajaran yang pemanfaatannya untuk dilihat dan didengar dan mempunyai unsur suara dan unsur gambar. Siswa dapat memahami meteri pembelajaran dengan indera pendengaran dan penglihatan sekaligus. Oleh karena itu, dengan media ini guru dapat menyuguhkan pengalaman- pengalaman yang konkrit kepada siswa yang sulit jika materi tersebut diceritakan. Dengan guru menggunakan metode ceramah juga di imbangi dengan pembelajaran menggunakan media pembelajaran, maka siswa bisa memahami banyak hal dengan cara penyampaian guru yang menggunakan media pembelajaran berupa media audio visual karena siswa lebih tertarik dengan materinya dan cara penyampaianya mudah dipahami oleh siswa. Hasil belajar tidak hanya menghasilkan peningkatan pengetahuan Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
499
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
tetapi juga meningkatkan keterampilan berpikir. Kemampuan siswa untuk mengerjakan soalsoal sejenis uraian perlu dilatih, agar penerapan penggunaan media audio visual dapat optimal. Dengan penerapan media audio visual dapat melatih siswa belajar kreatif, disiplin, dan meningkatkan keterampilan berpikir siswa. Pada data penelitian yang diperoleh peneliti mengenai penggunaan media audio visual yang digunakan pada pembelajaran pendidikan ekonomi, terdapat perbedaan dan pengaruh yang signifikan antara sebelum dan sesudah diberikan pembelajaran dengan menggunakan media audio visual. Data penelitian menunjukkan bahwa skor nilai hasil belajar pendidikan ekonomi siswa sebelum mendapatkan perlakuan yaitu 1584 dengan rata-rata 60,923 terdiri yang telah tuntas 25% dan yang belum tuntas 75% dan setelah mendapatkan perlakuan berupa penggunaan media audio visual yaitu 1975 dengan rata-rata 75.961 terdiri dari 98% yang tuntas dan yang belum tuntas 2%. Berdasarkan data tersebut kemudian diperkuat dengan hasil uji t dengan hasil thitung (2,210) > ttabel (2,060) dengan taraf signifikan 5% sehingga dapat dibuktikan bahwa ada pengaruh penggunaan media audio visual terhadap hasil belajar pendidikan ekonomi kelas X SMA Negeri 2 Bondowoso. Selain itu juga hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang relevan atau penelitian terdahulu yang dilakukan oleh: 1). Muliyani, (2009) dalam penelitiannya menyimpulkan yang Pertama, teknik penggunaan audio visual (CD) dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam di MTs Negeri Model Selong, melalui beberapa tahap yaitu, menyusun materi, menyiapkan buku-buku pendukung yaitu buku paket Pendidikan Agama Islam (Fiqih), menyiapkan ruangan dan perlengkapan, menggunakan alat-alat, serta mengadakan evaluasi. Yang kedua, Peranan penggunaan media audio visual (CD) pada mata pelajaran pendidikan agama Islam (Fiqih) di MTs Negeri Model Selong sangat penting, karena dengan adanya media tersebut, materi/bahan pelajaran akan lebih mudah dipelajari, dipahami, dan ditransfer oleh siswa serta memudahkan guru dalam menyampaikan materi pelajaran. Yang ketiga, hambatan-hambatan yang di temukan dalam penggunaan media audio visual (CD) dalam meningkatkan motivasi belajar siswa pada mata pelajaran PAI (Fiqih) yaitu, terkait dengan listrik, ketersediaan alat-alat medianya terbatas, serta kemampuan guru dalam menerapkan atau mengoperasikan media masih kurang; 2). Mansur, (2010) menyimpulkan dari hasil penelitiannya adalah sebagai berikut : yang pertama, nilai rata-rata yang menggunakan audio visual lebih besar yakni 84 bila dibandingkan dengan metode ceramah sebesar 72 sehingga dapat dikatakan bahwa penerapan penggunaan media audio visual memiliki perbedaan yang signifikan terhadap prestasi belajar siswa kelas XI IPS SMA Negeri 1 Sumbawa Besar Tahun Ajaran 2009/2010. Yang kedua, Bahwa penggunaan media Pembelajaran Ekonomi pada kelas XI IPS SMAN 1 Sumbwa Besar Tahun Pelajaran 2009/2010 termasuk kategori tinggi pada iterprestasi 84-100; 3). Asmaluddin (2012) dengan judul skripsi "Penggunaan Media Audio Visual Dalam Upaya Meningkatkan Minat dan Hasil Belajar Siswa Kelas VIII pada Mata Pelajaran IPS Terpadu Ekonomi di SMP Negeri 1 Janapria Tahun Pelajaran 2011/2012". Di dalam penelitian ini menyimpulkan bahwa penggunaan media audio visual dapat meningkatkan minat dan hasil belajar siswa kelas VIII pada mata pelajaran IPS Terpadu Ekonomi tahun pelajaran 2011/2012. Hal ini terlihat pada data kualitatif yaitu lembar observasi minat belajar siswa sudah mencapai nilai rata-rata dari siklus I sebesar 3,3 menjadi 4,0 pada siklus II, yang berarti minat belajar siswa berkategori tinggi. Sedangkan secara kuantitatif berupa angka-angka yang diperoleh dari perhitungan hasil evalusi belajar siswa dapat diketahui, bahwa penggunan media audio visual dapat 500
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
meningkatkan hasil belajar siswa. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan persentase pada siklus I sebesar 71,79% menjadi 89,79% pada siklus II yang berati sudah tuntas secara klasikal dan sudah memenuhi target atau KKM. Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan diatas, maka dapat disimpulkan, bahwa penggunaan media audio visual dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas X pada mata pelajaran Ekonomi. Hal ini dapat terlihat dari hasil uji t dengan thitung (2,210) > ttabel (2,060) dengan taraf signifikan 5%. Dari data penelitian menunjukkan bahwa skor nilai hasil belajar pendidikan ekonomi siswa sebelum mendapatkan perlakuan yaitu 1584 dengan rata-rata 60.923 terdiri yang telah tuntas 25% dan yang belum tuntas 75% dan setelah mendapatkan perlakuan berupa penggunaan media audio visual yaitu 1975 dengan rata-rata 75.961 terdiri dari 98% yang tuntas dan yang belum tuntas 2%.
Rekomendasi Adapun saran-saran/rekomendasi yang diajukan oleh peneliti berdasarkan kesimpulan diatas adalah sebagai berikut: 1. Bagi sekolah, perlu memberikan sarana dan prasarana yang baik dalam upaya memberikan pelayanan belajar di sekolah dengan baik ditinjau dari segala aspeknya dan lebih meningkatkan komunikasi dengan baik antara pihak sekolah dengan pihak orangtua siswa agar mengawasi belajar siswa. 2. Bagi guru hendaknya dapat memberikan pembelajaran dengan menggunakan media pembelajaran atau model pembelajaran yang tepat dalam mengajarkan pendidikan ekonomi kepada siswanya. 3. Bagi siswa, hendaknya siswa belajar lebih giat agar mendapatkan hasil belajar yang lebih baik. Siswa harus memperhatikan dan tertib ketika pelaksanaan pembelajaran berlangsung dan hendaknya siswa lebih sering berlatih sendiri, melibatkan diri, lebih sering bertanya tentang hal-hal yang belum di mengerti.
Daftar Pustaka Anitah sari 2010. Media pembelajaran : yuma pustaka Arsyad,azhar.2013. media pembelajaran Jakarta: PT Raja Grafindo persada Asmaluddin. 2012. penggunaan media audio visual dalam meningkatkan minat dan hasil belajar siswa kelas VII pada mata pelajaran IPS terpadu ekonomi di smp Negeri 1 Janaperia tahun pelajaran 2011/2012 SKRIPSI STKIP HAMZANWADI SELONG. Jaririndu. Brogsport.com/2011/09/definisi bahan ajar.html Kuri,mas 2011 pengaruh penggunaan media audio visual dan metode problem solving terhadap aktifitas dan hasil belajar siswa temtang energy alternative siswa kelas IV sekolah dasar negeri culug kecaerhadap prestmatan tegowanu kabupaten grobogan Semarang Ilmu Pendidikan Universitas Terbuka Miranda mufti. 2012. penggunaan media audio visual dalam meningkatkan prestasi belajar ilmu pengetahuan alam kelas III B MI sananul Ula puyungan bantul SKRIPSI, Fakultas Tarbiah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Mulyadi, ending. 2013 ekonomi kelas X SMA. perpustakaan nasional kataloh dalam terbutan (KDT).
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
501
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
NILA ARISTA 2013. Pengaruh penggunaan media audio visual terhadap hasil belajar pendidikan kewarga negaraan pada siswa kelas V SDN tlogosari kulon 02 semarang, SKRIPSI, Fakultas Ilmu pendidikan IKIP PGRI Semarang. Sugiono 2011. Metode penelitian kuantitatif kualitatif dan R & D. Bandung alfabeta Sugiono. 2012. metode penelitian pendidikan. bandung : alfabeta Sundana nana. 2011 media pembelajaran bandung : sinai batu algensindo Surapranata, sumarna, Dr. 2009 analisis, validitas, riliabilitas, dan intrerpretasi hasil tes, implementasi kuriklum 2014. Bandung. PT Remaja rosdakarya.
502
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Peran MGMP Dalam Meningkatkan Profesionalisme Guru Ekonomi Tingkat SMA Di Kabupaten Jombang Diah Dinaloni 16 ([emailprotected]) Abstract The study aims to determine the effectiveness of MGMP in an effort to improve the professionalism of teachers at the high school level economics Jombang and to know what the problems faced MGMP in improving the professionalism of teachers at the high school level economics Jombang. The research is a field research with a qualitative approach. Data collection was done by conducting observations, interviews and documentation. Data analysis was performed by giving meaning to the data collected and the conclusions drawn from it meaning. The results showed that as container MGMP professional development of teacher at the high school economics Jombang not run optimally. MGMP economic problems faced in Jombang, namely: (a) the level economic activity MGMP high school in Jombang still unclear, many are gathered, but merely a means of gathering/chat; (b) regular agenda MGMP often just a matter of collecting and making BKS which is the instruction of thr Ministry of Education; (c) the school’s policy on teacher sent follow MGMP different activities, ever sending teacher interchangeably /rotation; (d) MGMP has been followed by some members just because there are members who feel MGMP not directly perceived benefits. Keywords: MGMP role, professionalism economics teacher high school level Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas MGMP dalam upaya meningkatkan profesionalisme guru ekonomi tingkat SMA di Kabupaten Jombang dan untuk mengetahui persoalan apa saja yang dihadapi MGMP dalam peningkatan profesionalisme guru ekonomi tingkat SMA di Kabupaten Jombang. Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research) dengan pendekatan kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan mengadakan pengamatan, wawancara dan dokumentasi. Analisis data dilakukan dengan memberikan makna terhadap data yang berhasil dikumpulkan dan dari makna itu ditarik kesimpulan. Hasil penelitian menunjukan bahwa MGMP sebagai wadah pengembangan profesionalisme guru ekonomi tingkat SMA di Kabupaten Jombang belum berjalan secara optimal. Persoalan yang dihadapi MGMP ekonomi di Kabupaten Jombang, yaitu: (1) kegiatan MGMP ekonomi tingkat SMA di Kabupaten Jombang masih tidak jelas, banyak yang berkumpul, tetapi hanya sekedar ajang silaturahmi/’ngobrol’; (b) seringkali agenda rutin MGMP hanyalah mengumpulkan soal dan membuat Buku Kerja Siswa/BKS yang merupakan instruksi dari Diknas; (c) kebijakan sekolah tentang guru yang dikirim mengikuti kegiatan MGMP berbeda-beda, bahkan ada yang mengirim guru secara bergantian/bergilir; (d) kegiatan MGMP selama ini diikuti oleh sebagian anggota saja dikarenakan ada anggota yang merasa kegiatan MGMP tidak secara langsung dapat dirasakan manfaatnya. Kata Kunci: peran MGMP, profesionalisme guru ekonomi tingkat SMA
Pendahuluan Kegiatan pendidikan sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia seyogyanya diarahkan pada upaya membentuk sumberdaya manusia dengan perilaku ekonomi yang rasional dan bermoral, baik dalam kegiatan produktif maupun komsumtif. Kompleksitas perilaku ekonomi manusia dalam wacana kepentingan peningkatan kualitas sumberdaya 16
Dosen Pendidikan Ekonomi, STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
503
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
manusia menuntut pengembangan program pendidikan ekonomi yang berkarakteristik khusus yang mampu menjadikan sumberdaya manusia berperilaku rasional secara ekonomi dan mempertimbangkan etika moral tindakannya serta berkemampuan mengelola reaksi psikologis dalam berekonomi. Peran pendidikan ekonomi dalam membentuk sikap serta perilaku efektif dan efisien secara ekonomi yang dilandasi oleh etika moral yang benar dan kemampuan untuk mengelola reaksi psikologis dalam berekonomi, menjadikan seorang guru ekonomi harus memiliki pengetahuan yang diajarkan secara luas dan mendalam serta mempunyai komitmen untuk terus belajar sepanjang hayat. Komitmen guru untuk belajar dalam konteks ini mencakup belajar bidang ilmu yang diajarkan, belajar memaklumi siswanya, serta belajar metode atau cara mengajarkan ilmu/ bidang studinya sendiri, sehingga berhasilnya proses pembelajaran dapat dilihat dari keberhasilan guru dalam mengaktualisasikan pengetahuannya terhadap siswa. Mengingat pentingnya peranan guru dalam proses pembelajaran, maka profesionalisme menjadi tuntutan seorang guru. “Profesionalisme” adalah sebutan yang mengacu kepada sikap mental dalam bentuk komitmen anggota suatu profesi untuk senantiasa mewujudkan dan meningkatkan kualitas profesionalnya. Undang-Undang No.14 Tahun 2005 pasal 7 tentang Guru dan Dosen (UUGD) menunjukkan bahwa profesi guru dan dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip profesionalisme, sebagai berikut: (1) memiliki bakat, minat, panggilan jiwa dan idealisme; (2) mempunyai komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia; (3) memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan yang sesuai dengan bidang tugasnya; (4) memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai bidang tugasnya; (5) memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan; (6) memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja; (7) memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat. Seorang guru yang memiliki profesionalisme tinggi akan tercermin dalam sikap mental serta komitmennya terhadap perwujudan dan peningkatan kualitas profesional melalui berbagai cara dan strategi, ia akan selalu mengembangkan dirinya sesuai dengan tuntutan perkembangan jaman sehingga keberadaannya akan senantiasa memberikan makna profesional. Karena guru merupakan titik sentral peningkatan kualitas pendidikan yang bertumpu pada kualitas proses belajar mengajar maka peningkatan profesionalisme guru ekonomi merupakan suatu keharusan, akan tetapi beberapa fenomena membuktikan bahwa: (1) masih belum efektifnya pelaksanaan program pendidikan ekonomi di Indonesia, sehingga kompetensi yang hendak digarap dan ditanamkan pada peserta didik hanya sebatas pada tataran kognitif dengan pemahaman yang dangkal, sehingga sulit mengharap pengetahuan ekonomi yang tertanam akan secara efektif mempengaruhi sikap dan perilaku peserta didik; (2) pelaksanaan pendidikan ekonomi di jenjang pendidikan dasar hingga menengah diperparah pula oleh praktik pembelajaran ekonomi yang kurang berkualitas, kompetensi tenaga pendidik yang kurang memadai disertai dengan kekurangpahaman dan kesadaran tentang tujuan yang seharusnya dicapai dalam mata pelajaran ekonomi, menjadikan pembelajaran ekonomi dibangku-bangku kelas berlangsung tanpa “greget” dan hanya sebatas memahami dan membaca bersama buku paket yang kualitasnya belum dikaji secara mendalam, padahal pembelajaran ekonomi membutuhkan sumber-sumber belajar yang kaya dan bervariasi. Beberapa studi juga menunjukkan bahwa guru tampaknya belum terbiasa melakukan pengembangan profesional bagi dirinya. Dahlan M Noer, Kepala Subag I pada Direktorat 504
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Profesi Pendidik, Dirjen PMPTK Kemdiknas (2010) menyatakan bahwa ketertinggalan kualitas pendidikan jika ditinjau dari perpektif guru adalah: (1) masih banyak guru yang belum memiliki kualifikasi dan kompetensi; (2) sebagian guru merasa puas dengan kondisi dan kemampuan yang telah dimiliki; (3) ikhtiar guru untuk meningkatkan kompetensi diri sangat terbatas; (4) banyak waktu dihabiskan di ruang kelas sekedar untuk mengejar target kurikulum; (5) di luar kelas waktu guru banyak dihabiskan untuk kepentingan non akademik; (6) kontak akademik antar guru sangat terbatas; (7) kontak antar guru lebih banyak bersifat non akademik; (8) banyak guru kurang memberikan perhatian serius kepada peserta didik; (9) rendahnya frekuensi diklat fungsional bagi guru dalam upaya peningkatan kompetensi dan profesinya. Selama ini forum pembinaan profesionalisme guru yang sudah terbentuk adalah Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP). MGMP merupakan suatu organisasi guru yang dibentuk untuk menjadi forum komunikasi yang bertujuan untuk memecahkan masalah yang dihadapi guru dalam pelaksanaan tugasnya sehari-hari di lapangan. Guru ekonomi sangat membutuhkan forum MGMP dikarenakan materi ekonomi sangat dinamis. Kontak dengan sesama guru ekonomi yang berkelanjutan sangat tepat untuk meng up-date penguasaan materi ekonomi. MGMP ekonomi tingkat SMA di Kabupaten Jombang merupakan wadah kegiatan profesional guru ekonomi tingkat SMA dalam meningkatkan pengetahuan, kemampuan dan keterampilan. Dalam kegiatan ini dapat dilakukan diskusi, tukar pikiran antar pengurus dan anggota MGMP untuk mengatasi permasalahan yang ada dan berkembang di sekolah. Kenyataan yang ditemui di lapangan para guru masih mendapatkan kesulitan dalam menjalankan fungsi dan tugasnya sebagai tenaga pendidik yang profesional. Kesulitan yang dihadapi diantaranya adalah kesulitan dalam mengembangkan silabus, menyusun perencanaan pembelajaran dan evaluasi belajar. Hal ini tentu kontra produktif dengan keberadaan MGMP sebagai wadah peningkatan profesionalisme guru. Maka patut dipertanyakan bagaimana sebenarnya peran MGMP bagi guru ekonomi tingkat SMA di Kabupaten Jombang. Hal ini menjadi penting, karena tidak optimalnya peran MGMP tentu saja akan berpengaruh pada upaya peningkatan profesionalisme guru, karena MGMP memiliki peran dan fungsi strategis dalam peningkatan profesionalisme guru ekonomi. Berdasarkan hal tersebut, peneliti ingin melakukan penelitian mengenai bagaimana efektivitas MGMP dalam upaya meningkatkan profesionalisme guru ekonomi tingkat SMA di Kabupaten Jombang dan persoalan apa saja yang dihadapi MGMP dalam peningkatan profesionalisme guru ekonomi tingkat SMA di Kabupaten Jombang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas MGMP dalam upaya meningkatkan profesionalisme guru ekonomi tingkat SMA di Kabupaten Jombang dan untuk mengetahui persoalan apa saja yang dihadapi MGMP dalam peningkatan profesionalisme guru ekonomi tingkat SMA di Kabupaten Jombang.
Landasan Teori Profesionalisme Guru Guru memiliki peran yang strategis dalam bidang pendidikan, bahkan sumber daya pendidikan lain yang memadai seringkali kurang berarti apabila tidak disertai dengan kualitas guru yang memadai, oleh karenanya peran sentral guru dalam meningkatkan kualitas pendidikan sangat urgent untuk dilakukan.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
505
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Undang-Undang No.14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, pasal (1) ayat (1) menyatakan, “Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi siswa pada jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Syarat guru profesional merupakan hal yang harus dimiliki oleh setiap guru, karena profesionalnya guru datang dari guru sendiri. Hal ini akan tercermin dalam penampilan pelaksanaan pengabdian tugas-tugas yang ditandai dengan keahlian baik dalam materi maupun metode. Siapa saja bisa terampil dalam mengajar kepada orang lain, tetapi hanya mereka yang berbekal pendidikan profesional keguruan yang bisa menegaskan dirinya memiliki pemahaman teoritik dan praktik bidang keahlian kependidikan. Kualifikasi pendidikan ini hanya bisa diperoleh melalui pendidikan formal bidang dan jenjang tertentu. Guru selain merupakan sosok profesional yang mampu memikul dan melaksanakan tanggung jawab seluruh pengabdian, guru juga diharapkan memiliki jiwa profesionalisme. Jiwa profesionalisme merupakan sikap mental yang senantiasa mendorong dirinya untuk mewujudkan dirinya sebagai petugas profesional. Pada dasarnya, profesionalisme merupakan motivasi intrinsik pada diri guru sebagai pendorong untuk mengembangkan dirinya kearah perwujudan profesional. Prinsip-prinsip profesionalisme menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 pasal 7 (1) antara lain: (1) memiliki bakat, minat, panggilan jiwa dan idealisme; (b) memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia; (c) memiliki kualitas latar belakang pendidikan yang sesuai dengan bidang tugas; (d) memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas; (e) memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas profesionalitas; (f) memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja; (g) memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat; (h) memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan; dan (i) memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru. Guru yang profesional seharusnya juga memiliki empat kompetensi sebagaimana yang tercantum dalam UU no.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dalam pasal (8). Pertama, kompetensi pedagogik yaitu kemampuan mengelola pembelajaran yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan, pelaksanaan pembelajaran, evaluasi pembelajaran dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Kedua, kompetensi kepribadian yaitu merupakan kemampuan yang melekat dengan diri. Oleh karena itu pribadi guru sering dianggap sebagai model atau panutan. Sebagai seorang model guru harus memiliki kompetensi yang berhubungan dengan pengembangan kepribadian (personal competencies). Ketiga, kompetensi profesional yaitu kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkan untuk membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi. Kompetensi profesional adalah kompetensi atau kemampuan yang berhubungan dengan penyesuaian tugas-tugas keguruan. Kompetensi ini merupakan kompetensi yang sangat penting karena langsung berhubungan dengan kinerja yang ditampilkan. Keempat, kompetensi sosial yaitu kemampuan berkomunikasi secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik dan masyarakat sekitar. Untuk menghadapi tantangan dunia pendidikan yang semakin berat, maka guru harus segera menyesuaikan diri dengan laju perkembangan ilmu pengetahuan tersebut. Guru harus membuka diri akan perubahan jaman yang terjadi. Dengan membuka diri untuk terus 506
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
berkembang, guru akan menjadi orang yang kompeten dalam profesinya. Guru harus menyadari bahwa manusia adalah sosok yang mudah menerima perubahan. Menyadari akan profesi merupakan wujud eksistensi guru sebagai komponen yang bertanggung jawab dalam keberhasilan pendidikan, maka menjadi satu tuntutan bahwa guru harus sadar akan peran dan fungsinya sebagai pendidik. Hal ini dipertegas Pidarta (1999) bahwa kesadaran diri merupakan inti dari dinamika gerak laju perkembangan profesi seseorang, merupakan sumber dari kebutuhan mengaktualisasi diri. Makin tinggi kesadaran seseorang makin kuat keinginannya untuk meningkatkan profesi. Semakin sering profesi guru dikembangkan melalui berbagai kegiatan, maka semakin mendekatkan guru pada pencapaian predikat guru yang profesional dalam menjalankan tugasnya sehingga harapan kinerja guru yang lebih baik akan tercapai. Guru yang profesional selalu belajar dan belajar untuk mengembangkan profesinya. Dengan anggapan semacam itu, maka keberadaan guru yang profesional semakin penting, dan peranan siswa dalam belajar merupakan tumpuan upaya peningkatan kualitas pendidikan sesuai standar nasional pendidikan. Pendek kata, di pundak guru ada beban tanggung jawab yang sangat besar dan berat. Beban itu semakin berat dengan besarnya tantangan global yang menantang dan memberikan ancaman terhadap eksistensi guru. Sehingga tidak ada kata lain bagi guru, selain harus berbenah menyiapkan diri menghadapi semua kemungkinan yang terjadi sejalan dengan semakin beratnya tantangan guru di masa kini dan masa depan. Para guru harus berani merefleksi, instropeksi serta melakukan koreksi terhadap segala kelemahan dan kekurangan guru selama ini dalam menjalankan tugas profesinya sebagai guru.
Peran Guru Guru itu untuk peserta didik, bukan untuk diri sendiri. Hal inilah yang menjadikan perkembangan dunia pendidikan saat ini menuntut para guru untuk lebih kreatif dan produktif. Walaupun tidak dapat disangkal, saat ini masih banyak guru yang sebatas mengajar saja. Hal ini akan berdampak pada peserta didik sering menerima stimulus yang kurang menyenangkan dari guru, tindakan guru membuat peserta didik stres, jenuh, bosan dan tidak nyaman dalam pembelajaran. Beberapa indikasi ketidaksenangan belajar itu tampak dari gelagat yang ditunjukkan peserta didik di dalam kelas, misalnya munculnya “kebahagiaan” peserta didik jika gurunya berhalangan hadir. Bahkan ada kecenderungan di banyak sekolah di Indonesia, tidak belajar bagi sebagian peserta didik adalah suatu ”keberuntungan”, karena terbebas dari sebuah kungkungan yang “memenjarakan” mereka. Meskipun terciptanya pembelajaran menyenangkan itu ditentukan banyak faktor, tetapi guru tetap paling berperan. Olah karena itu, guru harus senantiasa berupaya meningkatkan kualitas pembelajarannya dengan menggunakan strategi dan cara yang baik, agar peserta didik dapat menikmati pembelajaran secara menyenangkan. Dalam pelaksanaan pembelajaran yang menyenangkan, inovasi sangat diperlukan. Tidak akan mungkin sistem pembelajaran dari tahun ke tahun hanya seperti itu saja tidak mengalami pembaharuan. Jika seperti itu, maka pendidikan akan tertinggal jauh dari perkembangan jaman. Inovasi pembelajaran merupakan upaya penemuan atau pembaharuan dalam sistem pembelajaran yang dilakukan dengan tujuan mendapatkan kualitas pendidikan yang lebih baik agar lebih efektif dan efisien, karena guru yang memiliki kemauan dalam menggali metode dalam pembelajaran akan menciptakan model-model pembelajaran sehingga peserta didik tidak mengalami kebosanan serta dapat menggali pengetahuan dan pengalaman secara maksimal. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
507
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Selain itu cara yang baik dalam menyampaikan materi berkaitan dengan kreativitas guru dalam mengatur dan mengorganisasi ruang kelas dengan baik. Kreativitas guru adalah guru berusaha menemukan cara-cara baru untuk menemukan potensi unik siswa. Baginya, setiap tahun harus ada kreativitas yang dikembangkan dalam dirinya. Sehingga materi yang disampaikannya tidak merupakan materi hafalan dari tahun ke tahun. Kreativitas ini akan membuat guru mampu menemukan cara mengajar yang baik, cara membuka kelas yang elegan, cara membuat dan melakukan assesmen yang praktis, cara memberikan tugas yang cantik namun tidak memberatkan, cara memimpin diskusi di kelas dan membuat peserta didik aktif menyampaikan ide mereka, cara memberikan reinforcemen pada peserta didik dan banyak lagi. Menurut para ahli, seseorang yang kreatif bukanlah selalu menemukan hal baru, namun ia selalu melihat segala sesuatu dengan cara berbeda dan baru yang biasanya tidak dilihat oleh orang lain. Orang yang kreatif, pada umumnya mengetahui permasalahan dengan sangat baik dan disiplin, biasanya dapat melakukan sesuatu yang berbeda dari cara-cara yang biasa. Proses kreativitas melibatkan adanya ide-ide baru dan bermanfaat. Kreativitas yang dimiliki seorang guru akan membuat dia menjadi terlihat beda diantara guru yang lain, dan inilah yang akan membuat peserta didik selalu rindu untuk berjumpa dengan mata pelajarannya. Begitu pentingnya peranan guru dalam pembelajaran, maka guru harus senantiasa membangun keunggulan diri dan memotivasi dirinya. Keunggulan diri tidak akan pernah didapatkan tanpa membangun landasan dari hari ke hari melalui ilmu pengetahuan dan manajemen diri yang unggul. Sangat sulit untuk bisa langsung meraih sukses hanya dengan mimpi, harus ada strategi, rencana kerja, kerja keras dan kemampuan mengatur diri untuk meraih sukses. Sedangkan memotivasi diri adalah hal sangat penting, karena ketika anda gagal atau menghadapi tantangan, yang bisa diandalkan adalah diri sendiri bukan orang lain. Dengan membangun keunggulan diri dan memotivasi diri, maka seorang guru akan bisa mencapai tujuan yang dia buat sendiri dan fokus untuk menjangkau semua cita-cita untuk mencapai kesuksesan dan keberhasilan, karena guru yang baik adalah guru yang bisa menginspirasi.
Pembelajaran Ekonomi di SMA Mata pelajaran ekonomi di SMA sebagai core program IPS, merupakan mata pelajaran yang penting yang patut untuk dikaji lebih dalam karena melalui pelajaran tersebut ditanamkan pada siswa tentang economic behavior dan berbagai konsep-konsep ekonomi yang mendasari semua kegiatan manusia dalam melakukan aktivitas ekonomi. Mata pelajaran ekonomi bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut: a. memahami sejumlah konsep ekonomi untuk mengkaitkan peristiwa dan masalah ekonomi dengan kehidupan sehari-hari, terutama yang telah terjadi di lingkungan individu, rumahtangga, masyarakat dan negara, b. menampilkan sikap ingin tahu terhadap sejumlah konsep ekonomi yang diperlukan untuk mendalami ilmu ekonomi, c. membentuk sikap bijak, rasional,dan bertanggung jawab dengan memiliki pengetahuan dan keterampilan ilmu ekonomi, manajemen dan akuntansi yang bermanfaat bagi diri sendiri, rumah tangga, masyarakat dan negara, d. membuat keputusan yang bertanggung jawab mengenai nilai-nilai sosial ekonomi dalam masyarakat yang majemuk, baik dalm skala nasional maupun internasional.
508
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Bagi beberapa siswa, mata pelajaran ekonomi merupakan mata pelajaran yang membosankan, dikarenakan dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas cenderung mengandalkan keaktifan guru di kelas dan materi yang disampaikan tidak membumi sehingga pembelajaran sering diidentikkan dengan hafalan teori, padahal pendidikan ekonomi berperan dalam membentuk sikap serta perilaku efektif dan efisien secara ekonomi yang dilandasi oleh etika moral yang benar dan kemampuan untuk mengelola reaksi psikologis dalam berekonomi. Karena pembelajaran ekonomi masih memfokuskan pada aspek kognitif saja, sehingga berdampak pada belum efektifnya pembelajaran ekonomi di Indonesia, antara lain: 1. produktivitas sumberdaya manusia relatif masih rendah, 2. minat, semangat menabung dan berinvestasi di kalangan pelaku ekonomi masih memprihatinkan, tidak sebanding dengan semangat dan minat untuk berkonsumsi melalui kredit, 3. masih banyak pelaku ekonomi yang mengambil keputusan tanpa mempertimbangkan prinsip-prinsip rasionalitas ekonomi (trade off, opportunity cost, marginalism, dan incentive), yang mengakibatkan tidak efektifnya kegiatan produktif dan tidak efisiennya aktivitas konsumtif pelaku ekonomi, 4. jebakan emosi berkonsumsi dari produsen dan agen-agen distributornya, yang memerangkap pelaku ekonomi untuk berkonsumsi tanpa mempertimbangkan batas kemampuan, tingkat intensitas kebutuhan dan pentingnya mengelola keinginan, 5. berbagai penelitian yang dilakukan terhadap siswa jenjang pendidikan menengah, mahasiswa dan bahkan guru ekonomi, membuktikan bahwa literasi ekonomi (pemahaman dasar tentang bagaimana perekonomian bekerja) dan literasi keuangan (pemahaman dasar tentang pemanfaatan uang secara efektif dan efisien), mereka masih rendah, 6. kurang bahkan dapat dikatakan tidak adanya respon atas praktik kegiatan ekonomi di sekitarnya yang menumbuhkan ketimpangan, ketidakadilan, kerusakan lingkungan dan praktek kegiatan ekonomi negatif lainnya. Senyampang tidak bersentuhan dengan kepentingan pribadinya, pelaku ekonomi tidak bereaksi terhadap kegiatan ekonomi satu pihak yang merugikan pihak lainnya, 7. masih marak praktik kriminal dalam kegiatan ekonomi, mulai dari pemalsuan produk, penipuan berkedok hadiah, investasi bodong, penyelundupan, tidak memenuhi kewajiban dalam hutang-piutang maupun pembayaran pajak, perdagangan narkoba, hingga yang paling cetar membahana yaitu korupsi. Tidak dapat diingkari berbagai kelemahan dalam perilaku ekonomi sumberdaya manusia dan masyarakat, berpengaruh pada upaya mencapai pertumbuhan ekonomi sebagai bagian dari proses pembangunan ekonomi. Produktivitas sumberdaya manusia, inovasi dalam kegiatan usaha, etos kerja, motivasi untuk meraih kesejahteraan, dorongan menabung dan berinvestasi, cerdik dan cermat dalam berkonsumsi, dan respon positif dan kritis atas kebijakan-kebijakan ekonomi yang digulirkan oleh pemerintah, hanya akan dapat tumbuh dan berkembang di kalangan masyarakat, bila mereka memiliki landasan perilaku ekonomi yang baik. Sementara landasan perilaku ekonomi yang baik hanya akan dapat dicapai melalui pengembangan dan pelaksanaan program pendidikan ekonomi yang baik dan berkualitas. Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) merupakan suatu organisasi guru yang dibentuk untuk menjadi forum komunikasi yang bertujuan sebagai wahana untuk saling bertukar pengalaman guna meningkatkan kemampuan guru dan memperbaiki kualitas pembelajaran. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
509
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Ruang lingkupnya meliputi guru mata pelajaran pada tingkat SMP, SMA,dan SMK negeri dan swasta, baik yang berstatus PNS maupun swasta. Prinsip kerjanya adalah cerminan kegiatan “dari, oleh dan untuk guru” dari semua sekolah. Atas dasar ini, maka MGMP merupakan organisasi nonstruktural yang bersifat mandiri, berasaskan kekeluargaan dan tidak mempunyai hubungan hierarkis dengan lembaga lain. Tujuan diselenggarakanya MGMP yaitu: 1. untuk memotivasi guru guna meningkatkan kemampuan dan keterampilan dalam merencanakan, melaksanakan dan membuat evaluasi program pembelajaran dalam rangka meningkatkan keyakinan diri sebagai guru profesional, 2. untuk meningkatkan kemampuan dan kemahiran guru dalam melaksanakan pembelajaran sehingga dapat menunjang usaha peningkatan dan pemerataan mutu pendidikan, 3. untuk mendiskusikan permasalahan yang dihadapi dan dialami oleh guru dalam melaksanakan tugas sehari-hari dan mencari solusi alternatif pemecahannya sesuai dengan karakteristik mata pelajaran masing-masing guru,kondisi sekolah dan lingkunganya, 4. untuk membantu guru memperoleh informasi teknis edukatif yang berkaitan dengan kegiatan ilmu pengetahuan dan teknologi, kegiatan kurikulum, metodologi ,dan sistem pengujian yang sesuai dengan mata pelajaran yang bersangkutan; 5. untuk saling berbagi informasi dan pengalaman dari hasil lokakarya, simposium, seminar, diklat, classroom action research, referensi dan lain-lain kegiatan profesional yang di bahas bersama-sama. Selain itu pula MGMP juga dituntut untuk berperan sebagai : 1. reformator dalam classroom reform terutama dalam reorientasi pembelajaran efektif, 2. mediator dalam pengembangan dan peningkatan kompetensi guru terutama dalam pengembangan kurikulum dan sistem pengujian, 3. supporting agency dalam inovasi manajemen kelas dan manajemen sekolah, 4. collaborator terhadap unit terkait dan organisasi profesi yang relevan, 5. evaluator dan developer school reform dalam konteks MPMBS, 6. clinical dan academic supervisor, dengan pendekatan penilaian appraisal. Berdasarkan tujuan dan peran di atas, maka berikut ini adalah beberapa fungsi yang diemban MGMP, yaitu: 1. menyusun program jangka panjang, jangka menengah, dan jangka pendek serta mengatur jadwal dan tempat kegiatan secara rutin; 2. memotivasi para guru untuk mengikuti kegiatan MGMP secara rutin, baik di tingkat sekolah, wilayah, maupun kota; 3. meningkatkan mutu kompetensi profesionalisme guru dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengujian/evaluasi pembelajaran di kelas, sehingga mampu mengupayakan peningkatan dan pemerataan mutu pendidikan di sekolah; 4. mengembangkan program layanan supervisi akademik klinis yang berkaitan dengan pembelajaran yang efektif; 5. mengembangkan silabus dan melakukan Analisis Materi Pelajaran (AMP), Program Tahunan (Prota), Program Semester (Prosem), Rencana Pelajaran (RPP), dan KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal), (Modifikasi RPP dengan memasukan pendidikan karakter bangsa, kewirausahaan, budaya lingkungan , anti korupsi , dan sebagainya)
510
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
6. mengupayakan lokakarya, simposium dan sejenisnya atas dasar inovasi manajemen kelas, manajemen pembelajaran efektif (seperti : PAKEM-Pendekatan Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan-, joyful and quantum learning, hasil classroom action research, hasil studi komparasi atau berbagai studi informasi dari berbagai nara sumber, dan lain-lain.); 7. merumuskan model pembelajaran yang variatif dan alat-alat peraga praktik pembelajaran program Life Skill, Lesson study dan PTK 8. berpartisipasi aktif dalam kegiatan MGMP Propinsi dan MGMP nasional serta berkolaborasi dengan MKKS dan sejenisnya secara kooperatif; 9. melaporkan hasi kegiatan MGMP secara rutin setiap tahun pelajaran kepada Dinas Pendidikan. 10. berpartisipasi membatu Dinas Pendidikan membuat pemetaan guru, SDM , kebutuhan guru dalam mengembangkan profesionalismenya dan berada di garda terdepan dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Berdasarkan peran, tujuan dan fungsi MGMP diatas, maka MGMP adalah suatu wadah yang strategis untuk meningkatkan kompetensi guru dan siswa dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan secara umum, sehingga diharapkan permasalahan pembelajaran yang dihadapi guru di kelas dapat terpecahkan dan proses pembelajaran lebih efektif, bermutu dan dapat meningkatkan mutu pendidikan nasional.
Metode Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research) dengan pendekatan kualitatif, sehingga diupayakan memunculkan data-data lapangan yang sebenarnya sesuai kondisi sesungguhnya. Subyek penelitian pada penelitian ini adalah orang yang berkaitan dengan MGMP, yang terdiri dari key informan dan informan. Key informan adalah ketua MGMP ekonomi di Kabupaten Jombang, sedangkan informan adalah guru ekonomi yang menjadi anggota MGMP ekonomi tingkat SMA di Kabupaten Jombang. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah observasi dengan cara mengamati secara langsung, tanpa alat atau instrument lain. Wawancara dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara yang sudah disusun dan ditentukan sebelumnya, sedangkan dokumentasi dilakukan untuk mengumpulkan data melalui tulisan, arsip, dokumen, tempat atau orang yang berkaitan dengan penelitian. Metode analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskripstif kualitatif, yaitu dengan cara menghimpun informasi secara mendalam mengenai keadaan dan kondisi yang sebenarnya pada MGMP, kemudian informasi dan data yang diperoleh tersebut disinkronkan dengan standar atau peraturan seperti standar pengelolaan dan operasional MGMP untuk dapat merumuskan permasalahan serta solusi yang dibutuhkan.
Hasil Penelitian Dilihat dari segi pengelolaan, MGMP ekonomi tingkat SMA di Kabupaten Jombang belum mempunyai kerangka acuan kerja dan evaluasi secara menyeluruh serta tindak lanjut yang jelas dari tiap-tiap kegiatan dan dari standar organisasi ternyata masih belum terpenuhinya landasan kerja dan administrasi.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
511
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Berdasarkan belum terpenuhinya standar tersebut diatas, maka keefektifan MGMP ekonomi tingkat SMA di kabupaten Jombang dikatakan masih belum optimal, karena standar yang telah ditetapkan tersebut dibuat untuk menjadi landasan MGMP agar tujuan MGMP sebagai wadah profesionalisme guru dapat tercapai. Persoalan yang dihadapi MGMP dalam peningkatan profesionalisme guru ekonomi tingkat SMA di kabupaten Jombang adalah: (a) kegiatan MGMP ekonomi tingkat SMA di kabupaten Jombang masih tidak jelas, banyak yang berkumpul, tetapi hanya sekedar ajang silaturahmi/’ngobrol’; (b) seringkali agenda rutin MGMP hanyalah mengumpulkan soal dan membuat Buku Kerja Siswa/BKS yang merupakan instruksi dari Diknas (c) kebijakan sekolah tentang guru yang dikirim mengikuti kegiatan MGMP berbeda-beda, bahkan ada yang mengirim guru secara bergantian/bergilir. Kondisi ini membuat semakin tidak jelas fungsi MGMP bagi anggota. Sasaran guru yang diproses melalui kegiatan MGMP ini, seharusnya untuk semua guru dan secara berkelanjutan; dan (d) kegiatan MGMP selama ini diikuti oleh sebagian anggota saja dikarenakan ada anggota yang merasa kegiatan MGMP tidak secara langsung dapat dirasakan manfaatnya padahal MGMP adalah merupakan forum komunikasi yang bertujuan sebagai wahana untuk saling bertukar pengalaman guna meningkatkan kemampuan guru dan memperbaiki kualitas pembelajaran. Peran MGMP dalam meningkatkan profesionalisme guru ekonomi tingkat SMA di Kabupaten Jombang ternyata masih belum optimal. Hal ini bisa dilihat dari segi pengelolaan ternyata MGMP ekonomi tingkat SMA di Kabupaten Jombang belum memenuhi kerangka acuan kerja dan evaluasi secara menyeluruh dan tindak lanjut yang jelas dari tiap-tiap kegiatan dan dari standar organisasi ternyata masih belum terpenuhinya landasan kerja dan administrasi, karena standar yang telah ditetapkan tersebut dibuat untuk menjadi landasan MGMP agar tujuan MGMP sebagai wadah profesionalisme guru dapat tercapai. Sedangkan persoalan yang dihadapi MGMP dalam peningkatan profesionalisme guru ekonomi tingkat SMA di Kabupaten Jombang adalah: (a) kegiatan MGMP ekonomi tingkat SMA di Kabupaten Jombang masih tidak jelas, banyak yang berkumpul, tetapi hanya sekedar ajang silaturahmi/’ngobrol’; (b) seringkali agenda rutin MGMP hanyalah mengumpulkan soal dan membuat Buku Kerja Siswa/BKS yang merupakan instruksi dari Diknas (c) kebijakan sekolah tentang guru yang dikirim mengikuti kegiatan MGMP berbeda-beda, bahkan ada yang mengirim guru secara bergantian/bergilir. Kondisi ini membuat semakin tidak jelas fungsi MGMP bagi anggota. Sasaran guru yang diproses melalui kegiatan MGMP ini, seharusnya untuk semua guru dan secara berkelanjutan; dan (d) kegiatan MGMP selama ini diikuti oleh sebagian anggota saja dikarenakan ada anggota yang merasa kegiatan MGMP tidak secara langsung dapat dirasakan manfaatnya padahal MGMP adalah merupakan forum komunikasi yang bertujuan sebagai wahana untuk saling bertukar pengalaman guna meningkatkan kemampuan guru dan memperbaiki kualitas pembelajaran.
Rekomendasi Saran peneliti tentang peran MGMP dalam meningkatkan profesionalisme guru ekonomi tingkat SMA di Kabupaten Jombang adalah: (a) pengurus MGMP lebih mampu berinovasi sehubungan dengan kegiatan yang akan meningkatkan keprofesionalan anggota, sehingga anggota lebih merasa membutuhkan MGMP, karena dikelola dengan dasar kebutuhan bersama/muncul ketergantungan anggota; (b) pengurus bersedia merubah kegiatan yang selama ini statis, dengan cara berusaha memecahkan masalah-masalah anggota dan berusaha 512
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
berkomunikasi dengan pihak lain yang terkait; (c) menambah sumber dana yang lebih rutin, yaitu iuran anggota, dampak penambahan iuran ini adalah pengurus dan anggota MGMP termotivasi untuk bekerjasama merancang kegiatan MGMP yang lebih inovatif dan yang sesuai dengan kebutuhan anggota.
Daftar Pustaka Bungin, B. 2008. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik dan Sosial lainnya. Jakarta: Kencana Perdana Media Group. Creswel, W.John. 2010. Research Design,Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan Mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Dirjen PMPTK. 2008. Buku Standar Pengembangan KKG dan MGMP. Dirjen PMPTK. 2009. Rambu-rambu Pengembangan dan Penyelenggaraan KKG /MGMP. Diaz M.G. 2004. Teacher-Centered Professional Development. Alexandria, VA: Association for Supervision and Curriculum Development. Fanani, El. 2013. Guru Sejati Guru Idola. Yogyakarta: Araska. Suyanto, Jihad, A. 2013. Menjadi Guru Profesional. Jakarta: Penerbit Erlangga. Shoimin, Aris. 2013. Excellent Teacher. Semarang: Dahara Prize. Schug Mark C., Wood William C. (Editor), 2011. Teaching Economics in Troubled TimesTheory and Practice for Secondary Social Studies. New York: Routledge. Usman, Uzer. 2000. Menjadi Guru Profesional. Bandung: Remaja Rosdakaya Undang-Undang Republik Indonesia No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. 2006. Jakarta: Eka Jaya. Wahyudi Imam. 2012. Mengejar Profesionalisme Guru. Jakarta: Prestasi Pustakarya.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
513
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Pengaruh Pembelajaran Variasi dan Kombinasi Aktivitas Bermain Bolavoli Terhadap Kemampuan Melakukan Passing Atas, Bawah dan Servis Atas Bolavoli Pada Siswa Kelas X Madrasah Aliyah Negeri 5 Jombang Mohammad Zaim Zen 17 & Achmed Zoki 17 Abstract The purpose of this study was to determine the effect of variations and combinations of activity learning to play volleyball on the ability to passing the top, bottom and top service volleyball. The method used is to design experimental method used is the one-group pretest-posttest design. The population in this study were all students of class X as many as 70 students, collecting data through tests the ability to passing the top, bottom and top service volleyball and observations on a variable capacity for passing top, bottom and top service volleyball, then analyzed using statistical test t paried with significant standard test (α = 0.05). Results of the study showed the ability to passing the top, bottom and top service learning volleyball volleyball passing over before granting learning to play volleyball activity obtained a mean value (59.21), while after administration of learning activities play volleyball obtain mean value (76.29). Based on the statistical test t-test paried obtained tcount (11.697) is greater than t table (2.032) then H0 is rejected, which means there is a learning effect of variations and combinations of activities to play volleyball on the ability to passing the top, bottom and top service volleyball in class X Madrasah Aliyah 5 Jombang, then you should study variations and combinations of activities play volleyball can be applied, so that ability can be obtained optimally. Keywords: Learning variations and combinations of activity, passing the top, bottom and top service volleyball Abstrak Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pembelajaran variasi dan kombinasi aktivitas bermain bolavoli terhadap kemampuan melakukan passing atas, bawah dan servis atas bolavoli. Metode yang digunakan adalah metode eksperimen dengan rancangan yang digunakan adalah one group pretest-postest design. Populasi dalam penelitian ini adalah semua siswa kelas X sebanyak 70 siswa, pengumpulan data melalui tes kemampuan melakukan passing atas, bawah dan servis atas bolavoli dan observasi pada variabel kemampuan melakukan passing atas, bawah dan servis atas bolavoli, kemudian dianalisis dengan menggunakan uji statistik t-test paried dengan standart signifikan (α = 0,05). Hasil penelitian didapatkan hasil kemampuan melakukan passing atas, bawah dan servis atas bolavoli belajar passing atas bolavoli sebelum pemberian pembelajaran aktivitas bermain bolavoli didapatkan nilai mean (59,21), sedangkan sesudah pemberian pembelajaran aktivitas bermain bolavoli didapatkan nilai mean (76,29). Berdasarkan dari uji statistik t-test paried diperoleh nilai thitung (11,697) lebih besar dari ttabel (2,032) maka H0 ditolak yang berarti ada pengaruh pembelajaran variasi dan kombinasi aktivitas bermain bolavoli terhadap kemampuan melakukan passing atas, bawah dan servis atas bolavoli pada siswa kelas X Madrasah Aliyah Negeri 5 Jombang, maka sebaiknya pembelajaran variasi dan kombinasi aktivitas bermain bolavoli dapat diterapkan, sehingga kemampuannya dapat diperoleh secara optimal. Kata Kunci: Pembelajaran variasi dan kombinasi aktivitas, passing atas, bawah dan servis atas bolavoli
Pendahuluan Pembelajaran merupakan suatu proses yang kompleks, karena dalam kegiatan pembelajaran senantiasa mengintegrasikan berbagai komponen dan kegiatan, yaitu siswa dalam 17,2
Program Studi Pendidikan Jasmani dan Kesehatan STKIP PGRI Jombang
514
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
lingkungan belajar untuk diperolehnya per-ubahan perilaku sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Menurut Mohammad Surya (2005) menjelaskan bahwa pembelajaran merupakan suatu proses yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan perilaku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil dari pengalaman individu sendiri dalam interaksi dengan lingkungan. Setiap individu/siswa yang dihadapi oleh guru sangat kompleks, karena menyangkut segi fisik dan psikis. Perilaku yang ingin dihasilkan dari pembelajaran juga kompleks, karena men-yangkut berbagai kemampuan seperti unsur kognitif, afektif, dan psikomotorik1. Pendidikan jasmani merupakan media untuk mendorong perkembangan keterampilan motorik, kemampuan fisik, pengetahuan, penalaran, penghayatan nilai (sikap, mental, emosional, spiritual, sosial), dan pembiasaan pola hidup sehat yang bermuara untuk merangsang pertumbuhan serta perkembangan yang seimbang. Dengan pendidikan jasmani siswa akan memperoleh berbagai ungkapan yang erat kaitannya dengan kesan pribadi yang men-yenangkan serta berbagai ungkapan yang kreatif, inovatif, terampil, memiliki kebugaran jasmani, kebiasaan hidup sehat dan memiliki pengetahuan serta pemahaman terhadap gerak manusia. Di dalam intensifikasi penyelenggaraan pendidikan sebagai suatu proses pembinaan manusia yang berlangsung seumur hidup, peranan pendidikan jasmani adalah sangat penting, yang mem-berikan kesempatan kepada siswa untuk terlibat langsung dalam aneka pengalaman belajar melalui aktivitas jasmani, bermain dan olahraga yang dilakukan secara sistematis. Melalui kegiatan bermain yang dikemas dalam program pendidikan jasmani hendaknya dapat mendorong siswa untuk memunculkan kegiatan belajar yang sesungguhnya. Menurut Lutan (1988) menyatakan modifikasi dalam mata pelajaran pendidikan jasmani diperlukan, dengan tujuan agar : siswa memperoleh kepuasan dalam mengikuti pelajaran, meningkatkan kemungkinan keberhasilan dalam berpartisipasi, dan siswa dapat melakukan pola gerak secara benar. Pendekatan modifikasi ini dimaksudkan agar materi yang ada di dalam kurikulum dapat disajikan sesuai dengan tahap-tahap per-kembangan kognitif, efektif, dan psikomotor siswa, sehingga pembelajaran pendidikan jasmani di sekolah dapat dilakukan secara intensif2. Setiap cabang olahraga memiliki taktik dan teknik tersendiri, demikian pula cabang olahraga bolavoli. Salah satu teknik dasar permainan bolavoli itu adalah passing dan servis. Teknik passing merupakan teknik yang paling dasar dari sekian teknik dasar yang ada, oleh karena itu sangat penting diberikan sebab merupakan salah satu faktor penentu keber-hasilan permainan bolavoli. Servis merupakan salah satu teknik dalam permainan bolavoli. Pada mulanya servis hanya merupakan pukulan awal untuk dimulainya suatu permainan, tetapi jika ditinjau dari sudut taktik sudah merupakan suatu serangan awal untuk diperoleh nilai agar suatu regu berhasil diraih kemenangan.3 Servis harus dilakukan dengan baik dan sempurna oleh semua pemain, karena kesalahan pemain mengakibatkan pertam-bahan angka dari lawan dan uniknya lagi setiap pemain harus melakukan servis ini. Demikian pentingnya kedudukan servis dalam permainan bolavoli, maka teknik dasar servis harus dikuasai dengan baik. Oleh karena itu servis harus keras dan terarah dengan tujuan agar tidak mudah diterima oleh lawan yang berarti pihak pemegang servis mendapatkan angka. Servis ada bermacan-macam, di mana masing-masing memiliki nama, sifat dan teknik sendiri-sendiri. Ada dua macam pukulan servis yang dikenal dan sering dimainkan yaitu servis tangan bawah dan servis tangan atas. Dalam melakukan servis atas (hook service) pemain harus pandai meng-kombinasikan kekuatan dan gerakan. Servis ini sangat kompleks, kalau tidak dikerjakan dengan sempurna dan latihan secara kontinyu, servis ini akan gagal dan hasilnya jauh dari memuaskan.4 Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
515
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Teknik passing ada dua yaitu : passing atas dan passing bawah. Keduanya memiliki tingkat kesulitan yang tidak sama. Penguasaan tehnik dasar permainan bolavoli secara sempurna dapat dicapai dengan melakukan latihan secara kontinyu dan menggunakan metode latihan yang baik. Penguasaan teknik dasar sebagai salah satu penunjang keberhasilan permainan bolavoli sangat dipengaruhi oleh unsur lain yaitu unsur kondisi fisik. Komponen fisik adalah kekuatan, kecepatan, daya tahan, keseimbangan kelincahan, dan koordinasi5. Komponen-komponen fisik tersebut masing-masing memiliki peranan yang berbeda, sesuai karakteristik yang dimiliki. Komponen fisik yang dirasa sangat penting berkaitan dalam permainan bolavoli adalah unsur daya tahan. Daya tahan merupakan salah satu unsur kondisi fisik yang di perlukan dalam setiap pertandingan atau permainan bolavoli, unsur ini akan ikut menentukan kemenangan suatu team dalam pertandingan. Salah satu tugas guru sebelum melak-sanakan proses pembelajaran, guru harus membuat program pembelajaran. Perencanaan atau program pembelajaran tersebut perlu dibuat, sebab dengan persiapan dan rencana yang matang akan meminimalisir terjadinya penyimpangan dalam pelaksanaan pembela-jaran. Dengan perencanaan akan mempermudah proses belajar mengajar sehingga lebih bermakna. Akan tetapi kurangnya perhatian dan bimbingan guru akan mengakibatkan pola gerakan yang salah dan teknik servis dan passing tidak dikuasai dengan baik. Sering dijumpai para guru enggan melakukan pem-belajaran pendidikan jasmani dan olahraga khusus cabang olahraga bolavoli dengan teknik dasar gerakan bolavoli servis dan passing dengan metode yang tepat. Pada waktu pelaksanaan pengajaran pendidikan jasmani, biasanya anak disuruh langsung bermain bolavoli. Anak-anak dibiarkan bermain dengan sendirinya tanpa memperhatikan teknik-teknik bermain bolavoli yang benar. Sedangkan guru santai berteduh di bawah pohon memperhatikan mereka. Keadaan semacam ini akan mengakibatkan tujuan belajar tidak akan tercapai. Kenyataan yang sering dijumpai di lapangan, pada umumnya siswa diinstruksikan langsung melakukan permainan bolavoli. Secara psikologis proses belajar mengajar ini juga mempunyai manfaat terhadap kondisi anak yaitu, hasrat gerak dan kemauan siswa dapat terpenuhi. Namun dilihat dari faktor teknik yang belum memadai mengakibatkan kualitas permainan jauh dengan apa yang diharapkan, sehingga tidak jarang dari mereka saat melakukan servis dan passing sering kali bolanya melenceng jauh dari teman bermainnya. Berdasarkan permasalahan di atas, me-nuntut guru untuk berkreativitas menerapkan pembelajaran yang tepat dalam menyampaikan materi pembelajaran, misalnya dengan mengkombinasikan beberapa metode, yaitu variasi dan kombinasi aktivitas bermain bolavoli, maka peneliti tertarik melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Pembelajaran Variasi dan Kombinasi Aktivitas Bermain Bolavoli Terhadap Kemampuan Melakukan Passing Atas, Bawah dan Servis Atas Bolavoli Pada Siswa Kelas X Madrasah Aliyah Negeri 5 Jombang.
Landasan Teori Pengertian Pendidikan Jasmani Pendidikan jasmani adalah kegiatan jasmani yang diselenggarakan untuk menjadi wahana bagi kegiatan pendidikan. Sebagaimana halnya olahraga adalah kegiatan yang bertitik berat pada aspek jasmani atau olah-jasmani, maka kegiatan pendidikan adalah kegiatan yang bertitik berat pada aspek rohani atau olah-rohani yang meliputi : intelektual, moral, dan spiritual. Pembelajaran olahraga (pem-belajaran motorik) adalah kegiatan jasmani untuk memberi
516
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
pengalaman, memperkaya dan meningkatkan kemampuan dan kete-rampilan koordinasi gerak dasar dalam rangka pembekalan bagi siswa agar mudah mempelajari/menguasai keterampilan gerak berbagai cabang olahraga.6
Tujuan Pendidikan Jasmani Tujuan pendidikan jasmani2, diantaranya : a. Meletakkan landasan karakter yang kuat melalu internalisasi nilai dalam pen-didikan jasmani. b. Membangun landasan kepribadian yang kuat, sikap cinta damai, sikap sosial dan toleransi dalam konteks kemajemukan budaya, etnis dan agama. c. Menumbuhkan kemampuan berfikir kritis melalui tugas-tugas pembelajaran pendidikan jasmani. d. Mengembangkan sikap sportif, jujur, disiplin, bertanggung jawab, kerjasama, percaya diri, dan demokratis melalui aktivitas jasmani. e. Mengembangkan keterampilan gerak dan keterampilan teknik serta strategi berbagai permainan dan olahraga, aktivitas pengembangan, senam, aktivitas ritmik, akuatik (aktivitas air) dan pendidikan luar kelas (outdoor education). f. Mengembangkan keterampilan pengelo-laan diri dalam upaya pengembangkan dan pemeliharaan kebugaran jasmanin serta pola hidup sehat melalui berbagai aktivitas jasmani. g. Mengembangkan keterampilan untuk menjaga keselamatan diri sendiri dan orang lain. h. Mengetahui dan memahami konsep aktivitas jasmani sebagai informasi untuk mencapai kesehatan, kebugaran dan pola hidup sehat. i. Mampu mengisi waktu luang dengan aktivitas jasmani yang bersifat rekreatif.
Pembelajaran Pendidikan Jasmani Pengertian Pembelajaran Pendidikan Jasmani Pembelajaran Pendidikan jasmani adalah kegiatan jasmani untuk memberi penga-laman, memperkaya dan meningkatkan kemampuan dan keterampilan koordinasi gerak dasar dalam rangka pembekalan bagi siswa agar mudah mempelajari atau menguasai keterampilan gerak berbagai cabang olahraga.6
Modifikasi Permainan Dalam Pembelajaran Dengan melakukan modifikasi, guru Pen-jaskes akan menyajikan materi pelajaran yang sulit menjadi lebih mudah dan di-sederhanakan tanpa harus takut kehilangan makna dan apa yang akan diberikan. Anak akan lebih leluasa bergerak dalam berbagai situasi dan kondisi yang dimodifikasi. Berkaitan dengan modifikasi lingkungan pembelajaran tersebut komponen-komponen penting yang dapat dimodifikasi menurut Aussie (1996), meliputi : a. Ukuran, berat atau bentuk peralatan yang digunakan b. Lapangan permainan c. Waktu bermain atau lamanya permainan d. Peraturan permainan, dan e. Jumlah pemain.2 Sedangkan secara operasional Ateng (1992) mengemukakan modifikasi permainan sebagai berikut : a. Kurangi jumlah pemain dalam setiap regu. b. Ukuran lapangan diperkecil. c. Waktu bermain diperpendek.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
517
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
d. Sesuaikan tingkat kesulitan dengan karakteristik anak. e. Sederhanakan alat yang digunakan, dan f. Ubahlah peraturan menjadi sederhana, sesuai dengan kebutuhan agar permainan dapat berjalan dengan lancar.2 Berdasarkan uraian tersebut dapat disim-pulkan bahwa sarana dan prasarana sangat diperlukan untuk menunjang keberhasilan pendidikan jasmani di sekolah. Sarana yang memenuhi syarat untuk cabang olahraga tertentu, belum tentu memenuhi syarat untuk digunakan oleh siswa. modifikasi sarana yagn sudah ada atau menciptakan yang baru merupakan salah satu alternatif yang dapat dikembangkan guru sebagai upaya untuk menyesuaikan dengan karakteristik dan perkembangan siswa. 1. Variasi dan Kombinasi Aktivitas Bermain Bolavoli Variasi dan kombinasi dalam aktivitas per-mainan bolavoli adalah gabungan beberapa beberapa bentuk gerakan prinsip dasar dengan berbagai cara, seperti : melakukan prinsip dasar passing atas, bawah, dan servis atas di tempat, bergerak maju-mundur, dan bergerak menyamping, zig-zag, baik secara perorangan, berpasangan maupun kelompok. Akhir dari pembelajaran kombinasi prinsip dasar ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan koordinasi gerakan, serta penanaman nilai disiplin, menghargai perbedan, tanggungjawab, dan kerja sama dengan pembelajaran7, sebagai berikut : a. Aktivitas bermain passing atas bawah 1) Persiapan Bentuk tiga kelompok dalam formasi segitiga, kelompok satu melakukan passing atas, kelompok dua dan tiga melakukan passing bawah. 2) Pelaksanaan Dimulai dari kelompok pertama melakuka passing atas ke arah kelompok dua atau tiga, dan bola dikembalikan dengan passing bawah ke kelompok satu, setelah melakukan gerakan passing atas dan bawah bergerak pindah posisi. b. Aktivitas bermain servis atas dan passing bawah 1) Persiapan Bentuk tiga kelompok dalam formasi segitiga, kelompok servis atas, ke-lompok dua dan tiga melakukan passing bawah. 2) Pelaksanaan Kelompok pertama melakukan servis atas diawali melambungkan bola ke atas dan dilanjutkan memukul bola ke arah kelompok dua atau tiga, dan bola dikembalikan dengan passing bawah ke kelompok satu dan bola ditangkap teman yang ada di belakannya (no.2), setelah mela-kukan gerakan servis atas dan bawah bergerak pindah posisi. Catatan : Bahwa setiap akan melakukan aktivitas ber-main selalu diawali dengan kegiatan meng-amati, menanya, mengumpulkan informasi, dan mengasosiasi sebelum dikomunikasikan dalam permainan bolavoli.
Teknik Dasar Bolavoli Untuk dapat melakukan permainan bola-voli, Anda terlebih dahulu harus menguasai beberapa teknik dasar. Teknik dasar permainan bolavoli, sebagai berikut : Servis
518
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Servis adalah awalan pukulan untuk memasukkan bola ke daerah lawan. Selain itu, servis juga merupakan pukulan untuk memulai permainan. Beberapa cara melaku-kan servis8, sebagai berikut.
Servis bawah 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7)
Cara melakukan servis dengan ayunan tangan dari bawah sebagai berikut : Pemain berdiri menghadap net, salah satu kaki di depan. Lengan kiri dijulurkan ke depan dan memegang bola. Bola dilambungkan rendah ke atas, berat badan bertumpu pada kaki belakang. Lengan yang bebas digerakkan ke belakang dan diayunkan ke depan untuk memukul bola. Saat memukul bola, berat badan dipindahkan ke kaki depan. Bola dipukul dengan tangan mengepal, pergelangan tangan kaku, dan kuat. Kemudian, pindahkan kaki belakang ke depan sebagai gerak lanjutan.
Servis atas 1) 2) 3)
4)
5)
Cara melakukan servis dengan ayunan tangan dari atas10, sebagai berikut : Pemain berdiri dengan salah satu kaki di depan, kedua lutut agak ditekuk. Kedua tangan memegang bola. Bola dilambung dengan tangan kiri ke atas sampai ketinggian ± 1 m di atas kepala di depan bahu, dan telapak tangan kanan segera ditarik ke belakang atas kepala dengan telapak menghadap ke depan. Badan dilentingkan ke belakang. Setelah tangan berada di belakang atas kepala, bola segera dipukul dengan telapak tangan, dengan posisi lengan tetap lurus dan seluruh tubuh ikut bergerak. Pada saat bola dipukul, berat badan dipindahkan ke depan.
Passing Passing ialah mengoper bola. Passing bola voli dibagi ke dalam dua bagian, yaitu : Passing atas Passing atas (set up) adalah cara mengoper atau menerima bola dengan dua tangan di atas depan kepala secara bersamaan. Cara melakukannya passing atas8, sebagai berikut. 1) Sikap badan berdiri, kedua kaki dibuka selebar bahu, kedua lutut agak ditekuk, dan kedua tangan berada di atas depan dahi. 2) Badan agak condong ke depan, pandangan ke arah datangnya bola. 3) Jari-jari kedua tangan direng-gangkan. 4) Perkenaan bola pada ujung jari tangan. 5) Saat perkenaan, ikuti gerakan bola, kemudian dorong hingga bola melambung. 6) Gerakan tangan disesuaikan dengan keras atau lemahnya bola.
Passing bawah Passing bawah adalah cara mengoper atau menerima bola dengan dua tangan secara bersamaan di depan badan. Cara melakukan passing bawah8, sebagai berikut : 1) Sikap badan berdiri, kedua kaki dibuka selebar bahu, dan kedua lutut agak ditekuk. 2) Badan agak condong ke depan, pandangan ke arah datangnya bola. 3) Kedua tangan dirapatkan dan diluruskan di depan badan. 4) Perkenaan bola pada bidang datar lengan bawah dekat pergelangan tangan. 5) Saat perkenaan, gerakkan kedua lengan ke atas dengan sumber gerakan dari pangkal bahu, kemudian luruskan kedua tangan.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
519
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
6) Gerakan tangan disesuaikan dengan keras atau lemahnya kecepatan bola yang datang.
520
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam pene-litian ini adalah metode eksperimen, yaitu suatu penelitian yang dilakukan secara ketat untuk mengetahui hubungan sebab akibat diantara variabelvariabel, salah satu ciri pokok dari penelitian eksperimen adalah adanya perlakuan (treatment) yang diberikan kepada subjek penelitian.9 Rancangan yang digunakan adalah one group pretest-postest design.
Pretest
Treatme nt
Posttest
T1
X
T2
Keterangan : T1 = Tes awal passing atas, bawah dan servis atas bolavoli. T2 = Tes akhir passing atas, bawah dan servis atas bolavoli. X = Pembelajaran dengan menggunakan variasi permainan.10 Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek yang mempunyai kua-litas dan karakteristik tertentu yang dite-tapkan.11 Populasi penelitian ini adalah seluruh jumlah siswa Madrasah Aliyah Negeri 5 Jombang dengan menggunakan teknik sampling menggunakan sampling purposive adalah teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu.12 Sampel yang digunakan adalah kelas X Madrasah Aliyah Negeri 5 Jombang. Variabel dependent adalah pembelajaran variasi dan kombinasi aktivitas bermain bolavoli dan variabel terkait dalam penelitian ini adalah kemampuan mela-kukan passing atas, bawah dan servis atas bolavoli. Instrumen dalam penelitian ini adalah tes kemampuan melakukan passing atas, bawah dan servis atas bolavoli dan observasi pada variabel kemampuan melakukan passing atas, bawah dan servis atas bolavoli. Prosedur penelitian berisi langkah-langkah atau tahapan yang dilakukan peneliti dalam kegiatan penelitiannya, baik pengum-pulan data ataupun teknik menganalisis data.
Penelitian Pertama Pelaksanaan Penelitian 1) Membuat daftar nama keseluruhan peserta didik yang akan dijadikan sampel. 2) Memberikan pengarahan tentang pelaksanaan tes dengan materi teknik dasar gerakan bolavoli passing atas, bawah dan servis atas serta maksud dan tujuan penelitian. 3) Pelaksanaan tes awal kemampuan melakukan passing atas, bawah dan servis dengan peraturan yang dimodifikasi. Tujuan: Mengukur kemampuan siswa dalam melakukan gerakan dasar passing atas, bawah dan servis atas. Perlengkapan: Bolavoli, lapangan bolavoli, net, peluit, stopwatch, blangko dan alat tulis Pelaksanaan tes: Passing atas (1) Testi berdiri bebas pada tempat yang sudah ditentukan. (2) Dua testi dapat melakukan tes secara bersama-sama baik di sebelah kanan maupun sebelah kiri. (3) Testi siap menerima bola yang di lempar oleh pelempar, dan selanjutnya melakukan passing atas melewati tali yang tingginya sudah ditentukan.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
521
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
(4) Jika bola yang di lempar oleh pelempar tidak tepat pada posisi testi, maka lemparan di ulang. (5) Testi melakukan tes sebanyak 10 kali ulangan untuk masing-masing tempat sebe-lah kanan 10 kali dan sebelah kiri 10 kali. Dengan sasaran yang ditentukan. Penilaian : (1) Testi yang melakukan passing atas dengan cara yang sah akan memperoleh skor satu apabila bola lewat diatas tali dan tidak menyentuh net, serta jatuh pada bidang sasaran. (2) Jumlah bola yang benar dan syah selama testi melakukan 20 kali percobaan, merupakan hasil tes untuk testi tertentu. Tes awal yang dilakukan untuk mengetahui kemampuan siswa melakukan passing atas. Pelaksanaan tes: Passing bawah (1) Peserta tes berdiri di dalam area dan melakukan passing bawah selama 1 menit. (2) Peserta tes dianjurkan untuk passing bawah sebanyak-banyaknya selama 1 menit. Penilaian : (1) Nilai diberikan pada pelaksanaan passing bawah yang benar. (2) Besarnya nilai sesuai dengan banyaknya passing bawah yang dilakukan dalam 1 menit. (3) Bila bola jatuh tidak dihitung. Cara menghitung : x 100 % = Pelaksanaan tes: Servis atas (1) Peserta tes berdiri di daerah servis dan melakukan servis bawah sebanyak 3 kali. (2) Peserta tes dianjurkan untuk mengarahkan bola pada area sasaran nilai tertinggi. Penilaian : Dalam penilaian servis bawah bolavoli peneliti melakukan pemodifikasian area penelitian yang bertujuan untuk menilai kemampuan peserta didik dalam melakukan servis bawah bolavoli dengan ketentuan sebagai berikut : (1) Nilai diberikan pada pelaksanaan servis bawah yang benar. (2) Besarnya nilai sesuai dengan jauhnya bola pada sasaran angka 1, 2, 3, 4 dan 5. (3) Bila bola jatuh di garis batas akan diberikan nilai pada sasaran yang lebih tinggi, misalnya angka 2 dan 3, maka dihitung dengan nilai 3.
Gambar 1. Area modifikasi tes servis bawah bolavoli13 Penelitian Kedua Pelaksanaan Penelitian
522
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
1) Membuat daftar nama kese-luruhan peserta didik yang akan dijadikan sampel. 2) Menjelaskan materi teknik dasar gerakan bolavoli passing atas, bawah dan servis atas serta maksud dan tujuan penelitian dengan membentuk kelompok-kelompok kecil. Selanjutnya peneliti mempraktekkan bagai-mana melakukan passing atas, bawah dan servis atas bolavoli. Setiap kelompok dipersilahkan untuk mencoba sendiri. 3) Pemberian pembelajaran variasi dan kombinasi aktivitas bermain bolavoli.
Pelaksanaan tes Pelaksanaan tes akhir passing atas, bawah dan servis atas sama dengan pelaksanaan tes awal. Data yang diperoleh dari hasil penelitian tentang pengaruh gaya mengajar terhadap kepribadian siswa dianalisis dengan cara sebagai berikut: Untuk menguji hipotesis penelitian, digunakan teknik statistik uji T-Test Paried, uji ini digunakan untuk menguji perbedaan rata-rata antara dua sampel berpasangan. Uji ini biasanya melibatkan pengukuran pada suatu Variabel atas pengaruh atau perlakuan tertentu, yaitu pada pretest-posttest pada dua kelompok, yaitu kemampuan melakukan passing atas, bawah dan servis atas bolavoli pada siswa sebelum dan sesudah pemberian kombinasi aktivitas bermain bolavoli.
Hasil Penelitian Analisa pengaruh pembelajaran variasi dan kombinasi aktivitas bermain bolavoli terhadap kemampuan melakukan passing atas, bawah dan servis atas bolavoli pada siswa kelas X Madrasah Aliyah Negeri 5 Jombang. Kelompok N Mean Pre post Post post
Selisih t hitung
t tabel
Peningkatan
35 59,71 16,5714 11,697 2,032 27,75% 35 76,29
Dari tabel di atas menunjukkan bahwa : 1. Hasil kemampuan melakukan passing atas, bawah dan servis atas bolavoli mengalami peningkatan yang baik, dimana ditunjukkan dengan nilai mean sebesar pre-post (59,71) meningkat post-test (76,29). 2. Peningkatan terhadap kemampuan siswa melakukan passing atas, bawah dan servis atas bolavoli sebesar 16,5714 atau 27,75%. 3. Ada pengaruh pembelajaran variasi dan kombinasi aktivitas bermain bolavoli terhadap kemampuan melakukan passing atas, bawah dan servis atas bolavoli pada siswa kelas X Madrasah Aliyah Negeri 5 Jombang, dimana ditunjukkan dengan nilai thitung (11,697) lebih besar dari ttabel (2,032) maka H0 ditolak. Pemberian pembelajaran variasi dan kombinasi aktivitas bermain bolavoli ber-pengaruh terhadap kemampuan melakukan passing atas, bawah dan servis atas bolavoli, dimana pembelajaran variasi dan kombinasi aktivitas bermain bolavoli yang diberikan selama pembelajaran mempengaruhi, semangat, motivasi, kreatifitas yang berbeda dari pelaku, sehingga dapat memberikan efek atau pengaruh yang berbeda. Dari hasil penelitian yang mana nilai mean (59,71) hasil kemampuan siswa dalam melakukan passing atas, bawah dan servis atas bolavoli sebelum pemberian pembelajaran variasi dan kombinasi aktivitas bermain bolavoli mengalami perubahan atau peningkatan setelah pemberian pembelajaran variasi dan kombinasi aktivitas
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
523
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
bermain (76,29). Permainan bolavoli merupakan kegiatan yang menarik dan menyenangkan, sehingga dapat meningkatkan gairah dan motivasi untuk menguasai teknik yang diajarkan. Melalui pembelajaran ini juga tercipta semangat kompetitif sehingga pelaksanaannya lebih bergairah. selama pembelajaran variasi dan kombinasi aktivitas bermain bolavoli, siswa lebih semangat dan aktif melakukan gerakan yang diajarkan, hal ini dibuktikan dari hasil penelitian didapatkan nilai thitung (11,697) lebih besar dari ttabel (2,032) maka H0 ditolak yang artinya ada pengaruh pembelajaran variasi dan kombinasi aktivitas bermain bolavoli terhadap kemampuan melakukan passing atas, bawah dan servis atas bolavoli pada siswa kelas X Madrasah Aliyah Negeri 5 Jombang.
Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka penliti dapat menarik simpulan dan mengemukakan saran sebagai berikut : 1. Hasil kemampuan melakukan passing atas, bawah dan servis atas bolavoli belajar passing atas bolavoli sebelum pemberian pembelajaran aktivitas bermain bolavoli didapatkan nilai mean (59,21). 2. Hasil kemampuan melakukan passing atas, bawah dan servis atas bolavoli belajar passing atas bolavoli sesudah pemberian pembelajaran aktivitas bermain bolavoli didapatkan nilai mean (76,29) 3. Pengaruh pembelajaran variasi dan kombinasi aktivitas bermain bolavoli terhadap kemampuan melakukan passing atas, bawah dan servis atas bolavoli pada siswa kelas X Madrasah Aliyah Negeri 5 Jombang, dimana ditunjukkan dengan nilai thitung (11,697) lebih besar dari ttabel (2,032) maka H0 ditolak.
Saran Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pengaruh pembelajaran variasi dan kombinasi aktivitas bermain bolavoli terhadap kemampuan melakukan passing atas, bawah dan servis atas bolavoli pada siswa kelas X Madrasah Aliyah Negeri 5 Jombang. 1. Bagi Guru Dengan melihat besarnya pengaruh pem-belajaran variasi dan kombinasi aktivitas bermain bolavoli terhadap kemampuan siswa melakukan passing atas, bawah dan servis atas menuntut seorang guru mampu menerapkan metode pembelajaran yang efektif dengan merancang bentuk pembelajaran yang baik agar diperoleh hasil belajar yang optimal. 2. Bagi Siswa Dengan adanya pembelajaran variasi dan kombinasi aktivitas bermain bolavoli ini siswa dapat menerapkan teknik-teknik dasar passing atas, bawah dan servis atas telah diberikan oleh guru pengajaran pendidikan jasmani dan kesehatan, sehingga kemampuannya dapat diperoleh secara optimal. 3. Bagi Sekolah Pendekatan pembelajaran variasi dan kombinasi aktivitas bermain bolavoli memiliki pengaruh yang lebih baik dalam meningkatkan kemampuan siswa dalam melakukan teknik passing atas, bawah dan servis atas bolavoli, maka sebaiknya pembelajaran variasi dan kombinasi aktivitas bermain bolavoli dapat diterapkan dalam peningkatan kemampuan
524
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
siswa tentang teknik gerakan bolavoli, sehingga kemampuannya dapat diperoleh secara optimal.
Daftar Pustaka Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1977. Tes Keterampilan Bermain Bola Volley. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Gabbard, C., Le Blanc, E. Lowy S, 1987. Physical Education for Children Building The Fondation, New Yersey : Printice Hall Inc Englewood Cliffs. Giriwijoyo. S., dan Sidik. DZ. 2012. Ilmu Faal Olahraga (Fisiologi Olahraga). Bandung : Rosdakarya. Hidayat. 2010. Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan /Yusuf Hidayat, Sindhu Cindar Bumi, Rizal Alamsyah; ilustrator, Tim Redaksi.—Jakarta: Pusat Perbukuan, Kementerian Pendidikan Nasional, 2010. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2014. Buku Guru Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan. Jakarta : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Mahmud. 2011. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung : Pustaka Setia. Rahayu. 2013. Strategi Pembelajaran Pendidikan Jasamani. Bandung : Alfabeta. Rusman. 2012. Model-model Pembelajaran Mengembangkan Profesional Guru. Edisi Kedua. Jakarta : Raja Grafindo Persada. Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitaif, Kualitatif dan R & D. Bandung : Alfabeta. Sugiyono. 2011. Statistika Untuk Penelitian. Bandung : Alfabeta. Suharno, HP. 1979. Dasar-dasar Permainan BolaVoli. Yogyakarta : Departemen pendidikan dan Kebudayaan. Suryabrata. 2010. Psikologi Kepribadian. Jakarta : Rajawali Pers. Yunus, M. 1992. Olahraga Pilihan Bolavoli. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
525
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Kinerja Guru Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan SMAN, dan SMKN Se-Kabupaten Mojokerto Berdasarkan Latar Belakang Pendidikan Tahun 2014 Puguh Satya Hasmara18, Arsika Yunarta18, & Dian Wahyudin18 Abstract This study aimed to describe the performance of PESH State Public High School, and State Vocational High School in the district Mojokerto, and also to describe the differences in teacher performance PESH value based on educational background. This research uses quantitative research with descriptive comparative approach. Subjects in this study were all PESH Teachers in State Public High School, and State Vocational High School in Mojokerto regency with the total number is 49 Teachers. The instrument used is the observation sheet (questionnaire), and data analysis using descriptive statistic. Based on the results of data analysis, it was found that the general average results Teacher Performance Assessment PESHState Public High School, and State Vocational High School as district Mojokerto is 47 with the highest Teacher Performance Assessment results is 84 (good) with the results of Teacher Performance Assessment highest was 95 (very good) and the lowest value was 63 (enough). For comparison of the results of Teacher Performance Assessment concluded that teachers of PESHlinear graduate study program with PESHof the State Institute of Teachers and Education Personnel obtain results Teacher Performance Assessment the most good with a total value 88 (good), then PESHgraduate teacher program linear studies with PESHof the Institute of Teachers and Education Personnel private scored a total 77 (good), and teachers PESH graduate courses that are not linear with PESH obtain the lowest total score is 75 (enough). Keywords: Performance;Physical Education, Sports, and Health (PESH) Teachers; Background Education Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kinerja Guru Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan SMAN, dan SMKN di Kab. Mojokerto, dan juga untuk mendeskripsikan perbedaan nilai kinerja Guru Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan berdasarkan latar belakang pendidikan. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kuantitatif dengan pendekatan komparatif deskriptif. Subjek dalam penelitian ini adalah seluruh Guru Penjasorkes di SMAN, dan SMKN di Kabupaten Mojokerto dengan jumlah total adalah 49 Guru. Instrumen yang digunakan adalah lembar observasi (angket), dan dianalisis menggunakan statistic deskriptif. Berdasarkan hasil analisis data, didapatkan bahwa Secara umum rata-rata hasil PKG guru Penjasorkes SMAN, dan SMKN se-Kab. Mojokerto adalah 84 (kategori baik) dengan hasil PKG tertinggi adalah 95 (kategori amat baik) dan nalai terendah adalah 63 (kategori cukup). Untuk perbandingan hasil PKG dapat disimpulkan bahwa guru Penjasorkes lulusan program studi yang linier dengan Penjasorkes dari LPTK negeri memperoleh hasil PKG yang paling baik dengan total nilai 88 (Baik), kemudian guru Penjasorkes lulusan program studi yang linier dengan Penjasorkes dari LPTK swasta memperoleh nilai total 77 (Baik) dalam, dan guru Penjasorkes lulusan program studi yang tidak linier dengan Penjasorkes memperoleh nilai total terendah yaitu 75 (Cukup). Kata Kunci: Kinerja, Guru Penjasorkes, Latar Belakang Pendidikan
18
Program Studi Pendidikan Jasmani dan Kesehatan STKIP PGRI Jombang
526
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Pendahuluan Beranjak dari pengertian pendidikan nasional, dari pendidikan itu sendiri melibatkan berbagai komponen yang berperan aktif terhadap kesuksesan pendidikan. Pendidikan yang di maksud mengandung fungsi yang sebagai mana diterangkan oleh UU No 20 tahun 2003 bahwa Pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dalam memenuhi pendidikan formal, tentunya tidak dapat dilepaskan dari peran guru atau pendidik. Menurut UUnomor 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen, guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini melalui jalur formal pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Guru adalah pendidik profesional yang memiliki tugas, fungsi, dan peran penting dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan negara. Guru yang profesional diharapkan mampu berparisipasi dalam pembangunan nasional untuk mewujudkan manusia Indonesia yamh bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, unggul dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki jiwa estetis, etis, berbudi pekerti luhur, dan berkepribadian (Pedoman Pelaksanaan PK Guru, 2010 : 1). Tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa masa depan masyarakat Indonesia sebagian ditentukan oleh Guru. Oleh sebab itu profesi Guru perlu dikembangkan secara terus menerus dan proporsional menurut jabatan fungsional Guru. Selain itu agar fungsi dan tugas yang melekat pada jabatan fungsional Guru dilaksanakan sesuai dengan aturan yang berlaku, maka dari itu diperlukan adanya Penilaian Kinerja Guru (PKG) yang menjamin terjadinya proses pembelajaran yang berkualitas pada semua jenjang pendidikan.Pelaksanaan PKG dimaksudkan bukan untuk menyulitkan Guru, tetapi sebaliknya PKG dilaksanakan untuk mewujudkan Guru yang profesional, karena harkat dan martabat suatu profesi ditentukan oleh kualitas layanan profesi yang bermutu (Pedoman Pelaksanaan PK Guru, 2010 : 1). Oleh sebab itu untuk meyakinkan bahwa setiap Guru adalah orang yang profesional di bidangnya dan sebagai penghargaan atas prestasi kerjanya, maka PKG harus dilakukan kepada semua Guru di setiap satuan pendidikan formal yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Berdasarkan uraian diatas guru dituntut memenuhi standar beban kerja guru yang mengacu pada UU Nomor 14 Tahun 2005 Pasal 35 yang menyebutkan bahwa beban kerja guru yang mencakup kegiatan pokok, yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajara, menilai hasil pembelajaran, membimbing dan melatih peserta didik, serta melaksanakan tugas tambahan.Mengacu pada UU Nomor 14 Tahun 2005 diatas guru Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan di tuntut juga menjadi guru yang profesional dimana Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan (Penjasorkes) dianggap penting dan perlu diajarkan.. Guru Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan mempunyai peran penting terhadap pembentukan watak, serta tumbuh dan berkembangnya peserta didik. Dalam penekannanya guru Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan harus memperhatikan 3 (tiga) aspek yaitu: Psikomotor, Kognitif, Afektif, dan di lengkapi dengan 1 (satu) aspek yaitu spiritual. Sesuai yang tercantum pada UU Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 37 Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan di tempatkan sebagai mata pelajaran wajib diajarkan di setiap satuan pendidikan, Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas. Oleh karena itu guru Pendidikan Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
527
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan harus memperhatikan kinerja dan cara menyampaikan pembelajaran sesuai dengan kompetensi yang dimiliki. Pada era sekarang ini kesadaran tentang pentingnya manusia yang berkualitas tampaknya memang belum mampu diwujudkan sepenuhnya oleh dunia pendidikan di Indonesia. Berbagai persoalan menjadikan dunia pendidikan indonesia sulit berkembang sebagaimana yang diharapkan. Dengan demikian, bukan hal yang berlebihan jika ada yang menilai bahwa kondisi pendidikan di Indonesia sedang mengalami kemerosotan secara mutu. Berdasarkan fakta yang ada pemerintah selalu memberikan syarat yang sama dalam perekrutan CPNS khususnya untuk formasi guru. Contohnya adalah pada rekruitmen CPNS Kota Malang Tahun 2013, tidak adanya syarat minimal Indeks Prestasi Komulatif (IPK) maupun nilai akreditasi institusi bagi lulusan LPTK negeri maupun LPTK swasta. Hal ini tentu saja mengindikasikan bahwa pemerintah beranggapan tidak adanya perbedaan kualitas pendidikan di LPTK negeri dan swasta. Untuk itu perlu dicermati implementasi di lapangan, apakah memang tidak ada perbedaan kinerja guru lulusan LPTK negeri dengan swasta. Diharapkan kinerja guru berbanding lurus dengan kualitas pembelajaran. Dengan kata lain jika kinerja guru itu baik, maka kualitas pembelajaran yang dihasilkan juga baik. Dengan adanya penilaian kinerja guru, maka guru lebih termotivasi untuk meningkatkan kinerjanya, karena mereka tidak mau mendapatkan nilai kinerja yang jelek sehingga bisa berdampak pada angka kredit yang didapatkan.
Landasan Teori Bernardin dan Russel (dalam Ruky, 2006:15) mengemukakan bahwa “performance is defined as the record of outcomes produced on specified job function or activity during a specified period.” Jika diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia berarti kinerja adalah catatan tentang hasil-hasil yang diperleh dari fungsi-fungsi pekerjaan atau kegiatan tertentu dengan periode waktu tertentu. Kinerja seseorang akan nampak pada situasi dan kondisi kerja sehari-hari. Aktivitasaktivitas yang dilakukan oleh seseorang dalam melaksanakan pekerjaannya menggambarkan bagaimana ia berusaha mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Menurut A. Dale Timpe dalam bukunya sebagaimana dikutip oleh Suprapto (1999) dikemukakan bahwa kinerja adalah akumulasi dari tiga elemen yang saling berkaitan yaitu keterampilan, upaya, dan sifat-sifat keadaan eksternal. Keterampilan dasar yang dibawa seseorang ke tempat pekerjaan dapat berupa pengetahuan, kemampuan, kecakapan interpersonal dan kecakapan teknis. Peraturan Pemerintah RI Nomor19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 28 disebutkan bahwa guru adalah agen pembelajaran yang harus memiliki 4 (empat) jenis kompetensi, yakni; (1) kompetensi pedagogik, (2) kompetensi kepribadian, (3) kompetensi profesional, dan (4) kompetensi sosial. Apabila dilihat dari komponen-komponen kompetensi guru yang merupakan kemampuan dasar yang harus dimiliki guru sebagaimana dikemukakan oleh para ahli sebagaimana dijabarkan di atas lalu dihubungkan dengan keempat kompetensi guru yang dijabarkan dalam UU tentang guru dan dosen, maka komponen-komponen kompetensi yang diuraikannya lebih mengarah kepada kompetensi pedagogik. Namun isi rincian kompetensi pedagogik yang diuraikan oleh Depdiknas, sudah teramu dalam kompetensi profesional. Sehingga dapat
528
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
dikatakan bahwa kompetensi pedagogik merupakan competency based guru dalam melaksanakan tugas profesionalnya, karena kompetensi ini merupakan ciri khas seorang guru. Sangat mungkin tiga kompetensi yang lain, yaitu kepribadian, profesional, dan sosial juga merupakan syarat bagi profesi lain, namun tidak demikian halnya kompetensi pedagogik.Kompetensi pedagogik hanya dituntut pada profesi guru. Ujung akhir dari kompetensi pedagogik adalah kemampuan dalam mengelola pembelajaran yang mendidik, namun untuk mencapai kemampuan itu seseorang harus memahami karakteristik peserta didik, karakteristik materi yang diajarkan, dan juga arah (filosofi) pendidikan yang sedang dilaksanakan (Muchlas Samani dkk, 2006). Menurut peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 16 tahun 2009, PK Guru adalah penilaian dari tiap butir kegiatan tugas utama guru dalam rangka pembinaan karir, kepangkatan, dan jabatanya pelaksanaan guru tidak dapat dipisahkan dari kemampuan seorang guru dalam penguasaan pengetahuan, penerapan pengetahuan dan keterampilan, sebagai kompetensi yang dibutuhkan sesuai amanat Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi guru. Ada dua fungsi utama Penilaian Kinerja Guru bagi dunia pendidikan, diantaranya adalah (Pedoman Pelaksanaan PK Guru, 2010), a) Untuk menilai kemampuan guru dalam menerapkan semua kompetensi dan keterampilan yang diperlukan pada proses pembelajaran, pembimbingan, atau pelaksanaan tugas tambahan yang relevan dengan fungsi sekolah/madarasah. Dengan demikian, profil kinerja guru sebagai gambaran kekuatan dan kelemahan guru akan teridentifikasi dan dimaknai sebagai analisis kebutuahan atau audit keterampilan untuk setiap guru, yang dapat digunakan sebagai basis untuk merencanakan PKB. b) Untuk menghitung angka kredit yang diperoleh guru atas kinerja pembelajaran, pembimbingan, atau pelaksanaan tugas tambahan yang relevan dengan fungsi sekolah/madrasah yang dilakukannya pada tahun tersebut. Hasil PK Guru diharapkan dapat bermanfaat untuk menentukan berbagai kebijakan yang terkait dengan peningkatan mutu dan kinerja guru sebagai ujung tombak pelaksanaan proses pendidikan dalam menciptakan insan yang cerdas, komprehensif, dan kompetitif. Penilaian kinerja yang terkait dengan pelaksanaan proses pembelajaaran bagi guru mata pelajaaran atau guru kelas, meliputi kegiatan merencanakan dan melaksanakan pembelajaran, mengevaluasi dan menilai, menganalisis hasil penilaian, dan melaksanakan tindak lanjut hasil penilaian dalam menerapkan 4 (empat) domain kompetensi yang harus dimiliki oleh guru sesuai dengan peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 tahun 2007 tentang standar kualifikasi akademik dan kompetensi guru. Pengelolaan pembelajaran tersebut mensyaratkan guru menguasai 24 (dua puluh empat) kompetensi yang dikelompokan ke dalam kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan professional, dirangkum menjadi 14 (empat belas) kompetensi, seperti pada tabel di bawah ini.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
529
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
No 1 2 3 4
Tabel Kompetensi guru kelas/ guru mata pelajaran Jumlah Ranah Kompetensi Kompetensi Indikator Pedagogik 7 45 Kepribadian 3 18 Sosial 2 6 Profesional 2 9 Total 14 78
Empat belas kompetensi itu diantaranya, a) Menguasai karakteristik peserta didik; b) Menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran mendidik; c) Pengembangan kurikulun; d) Kegiatan pembelajaran yang mendidik; e) Pengembangan potensi peserta didik; f) Komunikasi dengan peserta didik; g) Penilaian dan Evaluasi; h) Bertindak sesuai dengan norma agama, hukum, sosial, dan kebudayaan nasional; i) Menunjukkan pribadi yang dewasa dan teladan; j) Etos kerja, tanggung jawab yang tinggi, rasa bangga menjadi guru; k) Bersikap inklusif, bertindak obyektif, serta tidak diskriminatif; l) Komunikasi dengan sesama guru, tenaga kependidikan, orang tua, peserta didik, dan masyarakat; m) Penguasaan materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran yang diampu; n) Mengembangkan keprofesionalan melalui tindakan yang reflektif.
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kuantitatif dengan metode komparatif deskriptif. Penelitian ini akan mendeskripsikan (memaparkan) bagaimana kinerja Guru Pendidikan Jasmani SMAN, dan SMKN se-Kabupaten Mojokerto. Penilitian ini adalah penelitian populasi karena yang diteliti adalah seluruh Guru Penjasorkes SMAN, dan SMKN di Kabupaten Mojokerto yang berjumlah 49 orang. Untuk sebaran guru Penjasorkes dapat dilihat pada tabel ini. Tabel 1. Daftar Sebaran Jumlah Guru Penjasorkes No Nama Sekolah Jumlah Guru 1 SMAN 1 Trawas 2 Orang 2 SMAN 1 Pacet 3 Orang 3 SMAN 1 Gondang 2 Orang 4 SMAN 1 Kutorejo 2 Orang 5 SMAN 1 Ngoro 2 Orang 6 SMAN 1 Mojosari 3 Orang 7 SMAN 1 Bangsal 3 Orang 8 SMAN 1 Puri 2 Orang 9 SMAN 1 Sooko 3 Orang 10 SMAN 1 Gedeg 3 Orang 11 SMAN 1 Dawarblandong 3 Orang 12 SMKN 1 Jatirejo 3 Orang 13 SMKN 1 Dlanggu 3 Orang 14 SMKN 1 Pungging 3 Orang 15 SMKN 1 Mojoanyar 2 Orang 16 SMKN 1 Sooko 3 Orang 17 SMKN 1 Trowulan 2 Orang 18 SMKN 1 Jetis 3 Orang 19 SMKN 1 Kemlagi 2 Orang Jumlah Total 49 Orang
530
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Berdasarkan tujuan penelitian yang telah ditetapkan, jenis data dalam penelitian ini adalah data kuantitatif berbentuk nominal atau data berupa angka-angka dalam angket (instrumen penelitian yang akan digunakan) dimana nantinya angka-angka tersebut akan di narasikan dalam bentuk kata kata ataupun kalimat. Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dalam penelitian lapangan. Data tersebut diperoleh dengan berinteraksi secara langsung dengan subjek penelitian.Jadi data primer menjadi data utama dalam penelitian. Data tersebut diperoleh melalui hasil observasi dan wawancara secara mendalam. Dalam pengumpulan data primer ini yang menjadi sumber data adalah guru Penjasorkes di SMAN, dan SMKN se- Kabupaten Mojokerto. Data sekunder adalah data yang berfungsi untuk melengkapi data primer. Data sekunder berguna sebagai bahan perbandingan dan sebagai bahan untuk memperkaya data primer. Data sekunder diperoleh dari studi literatur yaitu dari buku, artikel, koran, majalah, internet dan dokumen-dokumen serta teman sejawat. Sesuai dengan penelitian yang akan dilaksanakan (penelitian deskriptif), maka peneliti menggunakan teknik observasi. Teknik observasi dilaksanakan dengan alat bantu (instrumen) berupa angket. Selain menggunakan angket, peneliti juga menggunakan teknik wawancara secara terbuka, yaitu wawancara yang dilakukan tanpa ada lembar/pedoman wawancara. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik observasi secara langsung terhadap responden penelitian dan dilakukan oleh peneliti sendiri. Data penilaian kinerja guru dikumpulkam melalui lembar observasi (angket) yang sesuai dengan pedoman penilaian kinerja guru yang sudah di terbitkan oleh Kementrian Pendidikan Nasional Dan Direktorat Jendral Peingkatan Mutu Pendidik Dan Tenaga Kependidikan tahun 2010 (PKG, 2010:43). Angket tersebut akan di isi langsung oleh kepala sekolah, guru senior, teman sejawat, dan juga siswa yang ditunjuk oleh kepala sekolah. Contoh Angket Penilaian untuk indikator 1: Mengenal karateristik peserta didik Indikator 1. Guru dapat mengidentifikasi karateristik belajar setiap peserta didik di kelasnya. 2. Guru memastikan bahwa semua peserta didik mendapatkan kesempatan yang sama untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan pembelajaran. 3. Guru dapat mengatur kelas untuk memberikan kesempatan belajar yang sama pada semua peserta didik dengan kelainan fisik dan kemampuan yang berbeda. 4. Guru mencoba mengetahui penyebab penyimpangan prilaku peserta didik untuk mencegah agar prilaku tersebut tidak merugikan peserta didik lainya. 5. Guru membantu mengembangkan potensi dan mengatasi kekurangan peserta didik 6. Guru memperhatikan peserta didik dengan kelemahan fisik tertentu agar dapat mengikuti aktivitas pembelajaran, sehingga peserta didik tersebut tidak termarginalkan atau tersisihkan.
Tidak terpenuhi
Skor Terpenuhi sebagian
Terpenuhi semuanya
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
531
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Total sekor untuk kompetensi 1 Skor maksimum kompetensi 1 = jumlah indikator x 2 Persentase = (total skor/12) x 100% Nilai untuk kompetensi 1 (0% < x ≤ 25% = 1; 25% < x ≤ 50% =2; 50% < x ≤ 75% = 3; 75% < x ≤ 100% = 4
Pada tahap pemberian nilai untuk setiap kompetensi adalah skala nilai 1 sampai 4. Tapi sebelum pemberian nilai tersebut, terlebih dahulu memberikan nilai 0, 1, atau 2 pada masing-masing indikator untuk setiap kompetensi. Pemberian nilai ini harus didasarkan pada fakta-fakta yang ada tanpa harus mengurangi ataupun melebihkan. Skor 0 menyatakan indikator tidak dilaksanakan, skor 1 indikator dilaksanakan sebagian, skor 2 indikator dilaksanakan sepenuhnya. Perolehan skor untuk setiap kompetensi itu selanjutnya dijumlahkan dan dihitung prosentasenya dengan cara membagi total skor yang diperoleh dengan total skor maksimum kompetensi kemudian dikalikan dengan seratus persen. Perolehan prosentase skor pada setiap kompetensi ini kemudian dikonversikan ke skala nilai 1, 2, 3, atau 4. Konversi skor 0, 1, atau 2 dalam nilai kompetensi dilakukan sesuai dengan tabel dibawah ini. Tabel 2. Konversi Skor ke Nilai Kompetensi (Pedoman Pelaksanaan PK Guru 2010) Rentang Total Skor Nilai Kompetensi 0% 0,05, variabel kerjasama dengan dudi sebesar 0,519 > 0,05, variabel peraturan pendukung sebesar 0,743 > 0,05, variabel nila tambah sebesar 0,515 > 0,05, variabel insentif sebesar 0,259> 0,05, variabel kelembagaan sebesar 0,563, dan variabel PSG sebesar 0,647 kemandirian belajar sebesar 0,691 > 0,05 . Dari hasil uji normalitas kedelapan variabel diatas dapat disimpulkan berdisteribusi normal.
Uji Linieritas Dari hasil analisa dapat diketahui untuk variabel profesi bahwa harga Fhitung sebesar 1,348, standar pendidikan dan pelatihan sebesar 0,744 , pengujian dan sertifikasi sebesar 1,304, kerjasama dengan dudi sebesar 3,062 peraturan pendukungsebesar 3,082 nilai tambahsebesar 1,405, insentifsebesar 2,938 dan kelembagaan sebesar 2,419 dengan ketentuan Ftabel (n-k-1) yaitu 52-2-1=49 Ftabel= 3,187. Oleh karena itu nilai Fhitung lebih kecil dari Ftabel , maka dapat disimpulkan antara variabel standar propesi, standar pendidikan dan pelatihan, pengujian dan
544
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
sertifikasi, kerjasama dengan dudi, peraturan pendukung, nila tambah, insentif, dan variabel kelembagaan terdapat hubungan yang linear.
Uji Multikololiearitas Diketahui bahwa nilai Tolerance dari semua variabel bebas mempunyai tolerance lebih besar dari 0,10 semua variabel telah memenuhi persyaratan ambang toleransi. Sedangkan nilai VIF (Variance Infation Factor) tidak ada yang lebih besar dari 10,0. dengan demikian persamaan model regresi tidak mengandung masalah multikolinieritas, artinya tidak ada multikolinieritas diantara variabel-variabel bebas . Uji Heteroskedastisitas
Gambar 01. Uji Heteroskedastisitas
Hasil Penelitian Berdasarkan analisis data hasil penelitian diperoleh hasil:
Uji F (Simultan) Apabila probabilitas tingkat kesalahan Fhitung variabel bebas lebih kecil dari tingkat signifikan yang telah ditentukan (0,05) maka model yang diuji atau yang diajukan adalah signifikan dalam menentukan proababilitas PSG sebagai variabel terikatnya dan begitu juga sebaliknya, apabila probabilitas tingkat kesalahan Fhitung variabel bebas lebih besar dari tingkat signifikansi (0,05), maka model yang diuji tidak signifikan. Hasil ringkasan uji kebersamaan dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut: Tabel 02 Ringkasan Hasil Uji F Variabel Profesi, SPP, sertifikasi, krjasma DUDI, peraturan pendukung, nilai tambah, insentif, kelembagaan dengan pendidikan sistem ganda.
Fhitung
Sig
Ftabel
5,940
,000a
3,187
(Sumber : Hasil Olahan SPSS 17.00) Berdasarkan tabel di atas didapat Fhitung sebesar 5,940 dengan probabilitas sebesar 0,000a yang nilainya lebih kecil dari 0,05, yaitu nilai Ftabelsebesar 3,187, ini menunjukkan nilai Fhitunglebih besar dari nilai Ftabel yaitu 5,940 > 3,187, artinya Ha diterima atau dengan kata lain Ho ditolak. Ini menunjukkan bahwa secara simultan variabelstandar profesi, standar pendidikan dan pelatihan, sertifikasi, kerjasama dengan DUDI, peraturan pendukung, nilai tambah, insentif,
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
545
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
dan kelembagaan berpengaruh signifikan terhadap pendidikan sistem ganda di SMKN 2 Selong TP. 2013/2014. Kemudian untuk menunjukkan beberapa persoalan perekonomian masyarakat yang dapat dijelaskan oleh variabel-variabel bebasnya dapat diketahui dengan melihat Model Summary b di bawah ini : Tabel 03 Ringkasan Analisis Summary
Model
R ,725a
1
R Square ,525
Adjusted R Square ,437
Std. Error of the Estimate 1,479
Durbin-Watson 1,944
(Sumber : Hasil Olahan SPSS 17.00) Dari tabel di atas dapat dilihat koefisien korelasi (R) sebesar 0,725a Koefisien Determinasi (R Square) sebesar 0,525 hal ini menunjukkan bahwa variabel dependen dipengaruhi oleh variabel independen sebesar 52,5%. Sedangkan 47,5% dipengaruhi oleh variabel lain diluar variabel yang diteliti. Uji t (secara parsial) Apabila secara probabilitas tingkat kesalahan t-hitung lebih kecil dari tingkat sinifikasi tertentu (0,05), maka terdapat pengaruh signifikasi dari variabel bebas terhadap variabel terikat. Begitu juga sebaliknya, apabila t-hitung lebih besar dari tingkat signifikansi (0,05), maka tidak terdapat pengaruh yang signifikan dari variabel bebas terhadap variabel terikat. Untuk menganalisa model regresi yang diajukan, maka diikhtisarkan pada tabel sepeti berikut: Tabel 04 Ringkasan Hasil Uji t Variabel Constanta Standar Profesi SPP Sertifikasi Kerjasama Dudi Peraturan Pendukung Nilai Tambah Intensif Kelembagaan
Beta ,180 ,392 ,253 ,232 ,319 -,129 ,082 ,400
thitung 6,376 1,700 1,885 1,727 1,934 1,768 -,409 ,340 1,647
Sig ,036 ,034 ,025 ,036 ,022 ,030 ,685 ,735 ,043
ttabel 1,677
(Sumber : Hasil Olahan SPSS 17.00) Berdasarkan olahan data menggunakan SPSS 17.00 diperoleh hasil berikut ini: 1. Hasil pengujian untuk variabel kerjasama dengan dudi diperoleh nilai sig sebesar 0,022. Pada variabel kerjasama dengan dudi terlihat bahwa nilai sig adalah 0,022 lebih kecil dari 0.05 maka Ho ditolak Ha diterima. Hasil pengujian statistik tersebut memberi arti bahwa secara parsial variabel kerjasama dengan dudi mempunyai pengaruh signifikan terhadap pendidikan sistem ganda di SMKN 2 selong. 2. Hasil pengujian untuk variabel standar pendidikan dan pelatihan diperoleh nilai sig sebesar 0,025. Pada variabel standar pendidikan dan pelatihan terlihat bahwa nilai sig adalah 0,025 lebih kecil dari 0.05 maka Ho ditolak Ha diterima. Hasil pengujian statistik tersebut memberi arti bahwa secara parsial variabel standar pendidikan dan pelatihan mempunyai pengaruh signifikan terhadap pendidikan sistem ganda di SMKN 2 selong.
546
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
3. Hasil pengujian untuk variabel peraturan pendukung diperoleh nilai sig sebesar 0,030. Pada variabel peratura pendukung terlihat bahwa nilai sig adalah 0,030 lebih kecil dari 0.05 maka Ho ditolak Ha diterima. Hasil pengujian statistik tersebut memberi arti bahwa secara parsial variabel peraturan pendukung mempunyai pengaruh signifikan terhadap pendidikan sistem ganda di SMKN 2 selong. 4. Hasil pengujian untuk variabel standar profesi diperoleh nilai sig sebesar 0,034. Pada variabel standar profesi terlihat bahwa nilai sig adalah 0,034 lebih kecil dari 0.05 maka Ho ditolak Ha diterima. Hasil pengujian statistik tersebut memberi arti bahwa secara parsial variabel standar profesi mempunyai pengaruh signifikan terhadap pendidikan sistem ganda di SMKN 2 selong. 5. Hasil pengujian untuk variabel pengujian dan sertifikasi diperoleh nilai sig sebesar 0,036. Pada variabel pengujian dan sertifikasi terlihat bahwa nilai sig adalah 0,036 lebih kecil dari 0.05 maka Ho ditolak Ha diterima. Hasil pengujian statistik tersebut memberi arti bahwa secara parsial variabel pengujian dan sertifikasi mempunyai pengaruh signifikan terhadap pendidikan sistem ganda di SMKN 2 selong. 6. Hasil pengujian untuk variabel kelembagaan diperoleh nilai sig sebesar 0,043. Pada variabel kelembagaan terlihat bahwa nilai sig adalah 0,043 lebih kecil dari 0.05 maka Ho ditolak Ha diterima. Hasil pengujian statistik tersebut memberi arti bahwa secara parsial variabel kelembagaan mempunyai pengaruh signifikan terhadap pendidikan sistem ganda di SMKN 2 selong. 7. Hasil pengujian untuk variabel insentif diperoleh nilai sig sebesar 0,735. Pada variabel insentif terlihat bahwa nilai sig adalah 0,735 lebih besar dari 0.05 maka Ho diterima Ha ditolak. Hasil pengujian statistik tersebut memberi arti bahwa secara parsial variabel insentif tidak mempunyai pengaruh signifikan terhadap pendidikan sistem ganda di SMKN 2 selong. 8. Hasil pengujian untuk variabel nilai tambah PSG diperoleh nilai sig sebesar 0,685. Pada variabel nilai tambah PSG terlihat bahwa nilai sig adalah 0,685 lebih besar dari 0.05 maka Ho diterima Ha ditolak. Hasil pengujian statistik tersebut memberi arti bahwa secara parsial variabel nilai tambah PSG mempunyai pengaruh tidak signifikan terhadap PSG di SMKN 2 selong.
Simpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan, maka kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : Secara simultan variabelkerjasama dengan DUDI, standar pendidikan dan pelatihan, peraturan pendukung, standar profesi, pengujian dan sertifikasi, kelembagaan, insentif, dan nilai tambah berpengaruh signifikan terhadap pendidikan sistem ganda di SMKN 2 Selong TP. 2013/2014. Secara parsial variabel kerjasama dengan DUDI yang diikuti oleh variabel standar pendidikan dan pelatihan, peraturan pendukung, standar profesi, pengujian dan sertifikasi, dan kelembagaan mempunyai pengaruh signifikan terhadap pendidikan sistem ganda. Sedangkan variabel insentif dan nilai tambah mempunyai pengaruh yang tidak signifikan terhadap pendidikan sistem ganda di SMKN 2 Selong TP. 2013/2014.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
547
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Saran Adapun saran-saran yang diajukan oleh peneliti berdasarkan kesimpulan di atas sebagai berikut: 1. Bagi sekolah, diharapkan Selalu meningkatkan mutu pendidikan khususnya dalam penyelenggaraan PSG, Meningkatkan hubungan kerjasama dengan DUDI, sehingga bisa mengontrol dan membina siswa saat pelaksanaan PSG sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan. 2. Bagi DUDI, diharapkanbersedia menjadi mitra SMK dalam pelaksanaa PSG sehingga ikut berpartisipasi dalam peningkatan mutu pendidikan khususnya SMK. 3. Bagi siswa, dengan hasil penelitian yang diperoleh setelah melakukan penelitian ini diharapkan Saat melaksanakan magang di institusi PSG, siswa dapat meningkatkan kemampuan dan keterampilannya sehingga siswa memperoleh keahlian profesional yang sesuai dengan bidangnya. Keahlian profesional yang dimiliki akan menumbuhkan rasa percaya diri pada siswa dan siap memasuki dunia kerja.
Daftar Pustaka Agus Widarjono. (2010). Analisis Setatistika Multivariat Terapan. Yogyakarta: UPP STIM YKPN. Anwar. (2006). Pendidikan Kecakapan Hidup ( Life Skills Education ) . Bandung: Alfabeta. Muhiddin, Sambas Ali. (2007). Analisis Korelasi, Regresi dan Jalur dalam Penelitian. Bandung : Pustaka Setia. Ridwan. (2007). Pengukuran Variable Penelitian. Bandung : Alfabeta. _______ (2006). Dasar-Dasar Statistik. Bandung: Alfabeta Riyanto, Yatim. (2007). Metodologi Penelitian Pendidikan Kualitatif Dan Kuantitatif. Surabaya: Unesa Universiti. Sonhadji Ahmad. (2012). Manusia, Teknologi Dan Pendidikan Menuju Pradaban Baru. Malang: Universitas Negeri Malang. Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif. Bandung: Alfabeta. (2009). Statistik Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta. Tony Wijaya. (2012). SPPS 20.Untuk Oleh Dan Interprestasi data. Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka. Undang- Undang RI NO.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
548
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Analisis Metakognisi Siswa Dalam Menyelesaikan Soal-Soal Bangun Datar Berdasarkan Kemampuan Matematika Mochammad Edy Santoso20 ([emailprotected]) OemiNoer Qomariyah21 ([emailprotected]) Abstract The aim of this research was to determine students' metacognition in menyelesaian questions on student flat wake berdsarkan mathematical skills of students. Descriptive study with a qualitative approach. The subjects were students of class X-1 SMA Negeri Ngoro 2014/2015 school year, amounting to 33 people carried out the test, the results of tests taken three students to be interviewed based on the criteria of high ability students, medium and low. Data collection method used is a test method to determine the ability of mathematics and interviews to determine the level of students' metacognition. Data analysis techniques used in this research is to use the triangulation method. S-1 research subjects have metacognition level category Semireflective Use in mathematical problem solving. S-1 also apply problem-solving strategies by Polya (1973). On the subject of S-2, also included in the category Semireflective Use metacognition level in mathematical problem solving. S-2 also apply problem-solving strategies by Polya (1973). In the S-3, including the category Tacit Use and Aware Use. S-3 is not able to apply problem-solving strategies by Polya (1973). Keywords: Metacognition, Problem Resolution, Build Flat, Mathematical Ability
Abstrak Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui metakognisi siswa dalam menyelesaian soal-soal bangun datar pada siswa berdsarkan kemampuan matematika siswa. Jenispenelitiandeskriptifdenganpendekatankualitatif. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas X-1 SMA Negeri Ngoro tahun pelajaran 2014/2015 yang berjumlah 33 orang dilakukan tes, dari hasil tes diambil tiga orang siswa untuk diwawancarai berdasarkan kriteria siswa berkemampuan tinggi, sedang dan rendah.Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode tes untuk mengetahui kemampuan matematika dan wawancara untuk mengetahui tingkat metakognisi siswa. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan triangulasi metode. Subjek penelitian S-1 memiliki tingkat metakognisi kategori Semireflective Use pada pemecahan masalah matematika. S-1 juga menerapkan strategi pemecahan masalah menurut Polya (1973). Pada subjek S-2, juga termasuk dalam tingkat metakognisi kategori Semireflective Use pada pemecahan masalah matematika. S-2 juga menerapkan strategi pemecahan masalah menurut Polya (1973). Pada S-3, termasuk kategori Tacit Use dan Aware Use. S-3 tidak dapat menerapkan strategi pemecahan masalah menurut Polya (1973). Kata Kunci: Metakognisi, Penyelesaian Soal, Bangun Datar, Kemampuan Matematika
Pendahuluan Pada era globalisasi, bangsa Indonesia berhadapan dengan tantangan dan hambatan yang semakin bertambah, sehingga negara Indonesia perlu mempersiapkan penduduk yang berkualitas dan yang mampu bersaing. KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) menjelaskan bahwa salah satu tujuan pembelajaran matematika adalah membekali siswa dengan kemampuan menganalisis dan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari (Riyanto, 2006). Dengan demikian, kemampuan pemecahan masalah menjadi sesuatu yang harus dikuasai oleh siswa dalam pembelajaran matematika. 20 21
Mahasiswa Pendidikan mataematika, STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur Indonesia Dosen Pendidikan Matematika STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
549
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Berkenaan dengan hal tersebut, salah satu komponen proses pembelajaran matematika yang sangat penting adalah pemecahan masalah. Pemecahan masalah merupakan unsur penting dalam pendidikan matematika karena pemecahan masalah merupakan sarana untuk mencapai tiga nilai matematika, yaitu fungsional, logik, dan estetik.Untuk alasan inilah pemecahan masalah dapat dikembangkan sebagai sesuatu yang kemampuan berharga dalam diri siswa. Yeo dalam Laily Agustina Mahromah (2010) menjelaskan untuk memecahkan masalah tergantung pada lima faktor diantaranya keterperincian, keahlian, pengetahuan atau konsep, proses metakognisi, dan perbuatan. Dalam penelitian ini, faktor yang akan menjadi fokus penelitian adalah faktor metakognisi. Menurut Jeanne Ellis Ormrod (2008: 369) menyatakan bahwa metakognisi merupakan pengetahuan dan keyakinan mengenai proses-proses kognitif seseorang, serta usaha-usaha sadarnya untuk terlibat dalam proses berperilaku dan berpikir sehingga menigkatkan proses belajar dan memori. Dalam pembelajaran matematika, metakognisi dapat tergali dan teramati ketika siswa memecahkan masalah. Berdasarkan permasalahan di atas, dengan adanya metakognisi siswa dalam memecahkan masalah matematika diharapkan dapat meningkatkan kualitas peserta didik dalam kegiatan belajar matematika terutama dalam memecahkan masalah matematika pada materi bangun datar Untuk itu, peneliti terinspirasi untuk menulis sebuah karya ilmiah terkait dengan metakognisi siswa dalam memecahkan masalah matematika berupa soal-soal bangun datar dengan judul ”Analisis Metakognisi Siswa Dalam Menyelesaikan Soal-Soal Bangun Datar Berdasarkan Kemampuan Matematika”. Dengan demikian, permasalahan yang dirumuskan dalam penelitian adalah pertama, bagaimana metakognisi siswa dalam menyelesaian soal-soal bangun datar pada siswa berkemampuan matematika tinggi? Kedua, bagaimana metakognisi siswa dalam menyelesaian soal-soal bangun datar pada siswa berkemampuan matematika sedang? Ketiga, bagaimana metakognisi siswa dalam menyelesaian soal-soal bangun datar pada siswa berkemampuan matematika rendah? Dan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui metakognisi siswa dalam menyelesaian soal-soal bangun datar pada siswa berkemampuan matematika siswa.
Metakognisi Siswa dalam Menyelesaikan Masalah Matematika Pada saat soal atau pertanyaan diberikan, guru perlu melihat kemampuan siswa dalam menyusun strategi dan langkah berpikir mereka, sehingga tidak hanya melihat kebenaran akhir jawaban siswa. Pada pemecahan masalah terdapat proses yang lebih penting yang harus diketahui oleh guru, yaitu proses-proses yang dilakukan siswa untuk mendapatkan jawaban dari permasalahan yang diberikan, khususnya proses metakognisi yang digunakan dalam pemecahan masalah tersebut. Jeanne Ellis Ormrod (2009: 369) menjelaskan bahwa metakognisi merupakan pengetahuan dan keyakinan mengenai proses-proses kognitif seseorang, serta usaha-usaha sadarnya untuk terlibat dalam proses berperilaku dan berpikir sehingga menigkatkan proses belajar dan memori. Cohors-Fresenborg dan Kaune (dalam Mustamin Anggo, 2012) merangkum komponen-komponen metakognisi kedalam tiga aktivitas metakognisi yang dilakukan pada pemecahan masalah, terdiri dari: (1) merencanakan (planning), (2) memantau (monitoring), dan (3) refleksi (reflection). Dalam menyelesaikan masalah ada empat tahapan yang harus dilakukan menurut Polya (1973), yaitu understanding the problem(memahami masalah/ soal), devising a plan (merencanakan penyelesaian), carrying out the plan (menyelesaikan soal sesuai rencana), dan looking back (memeriksa kembali hasil yang diperoleh). Keberhasilan siswa dalam 550
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
menyelesaikan masalah sangat tergantung pada kesadaran berpikirnya. Menurut Wilson (2004), kesadaran berpikir seseorang dapat diamati. Sehingga tingkat kesadaran berpikir siswa dapat diamati pada langkah-langkah yang dilakukannya dalam menyelesaikan suatu masalah. Dalam penelitian ini,metakognisi dalam pemecahan masalah matematika berupa penyelesaian soal-soal bangun datar adalah penggunaan kesadaran siswa dalam menyelesaikan pertanyaan atau soal dengan menggunakan pemikirannya untuk merencanakan (planning), memantau (monitoring), dan menilai (reflection) terhadap proses serta strategi kognitif yang dimiliki. Dalam tulisan ini, analisis metakogni siswa dalam pemecahan masalah matematika difokuskan pada penyelesaian soal-soal materi bangun datar berdasarkan kemampuan matematika. Indikator-indikator metakognisiyang digunakan dalam menyelesaikan soal-soal bangun datar berdasarkan teori Laurens (2009) dan diadaptasi dari Laily Agustina Mahromah dan Janet Trineke Manoyberikut ini: Tabel 1. Karakteristik dan Indikator Tingkat Metakognisi Tingkat Metakognisi
Karakteristik
Tacit Use
Pengambilan keputusan tanpa berpikir tentang keputusan tersebut, dalam hal ini siswa menerapkan strategi atau keterampilan tanpa kesadaran khusus atau melalui coba-coba dan asal menjawab dalam memecahkan masalah
Aware Use
Kesadaran siswa mengenai apa dan mengapa siswa melakukan pemikiran tersebut dalam hal ini siswa menyadari bahwa ia harus menggunakan suatu langkah penyelesaian masalah dengan memberikan penjelasan mengapa ia memilih penggunaan langkah tersebut.
Indikator Perencanaan: Siswa tidak dapat menjelaskan apa yang diketahui masalah/ soal bangun datar Siswa tidak dapat menjelaskan apa yang ditanyakan soal bangun datar Siswa tidak dapat menjelaskan masalah/ soal bangun datar dengan jelas Pemantauan: Siswa tidak menunjukkan adanya kesadaran terhadap apa saja yang dipantau mengenai soal bangun datar Siswa tidak menyadari kesalahan pada konsep dan hasil yang diperoleh dalam menyelesaikan soal bagun datar Penilaian: Siswa tidak melakukan evaluasi setelah menyelesaikan soal bangun datar atau jika melakukan evaluasi akan tampak bingung terhadap hasil yang diperoleh Perencanaan: Siswa mengalami kesulitan dan kebingungan karena memikirkan konsep (rumus) bangun datar dan cara menghitung yang akan digunakan Siswa hanya menjelaskan sebagian dari apa yang ditulis tentang menyelesaikan soal bangun datar Siswa memahami masalah/ soal bangun datar karena dapat mengungkapkan dengan jelas Pemantauan: Siswa mengalami kebingungan karena tidak dapat melanjutkan apa yang dikerjakan dari masalah/ soal bangun datar Siswa menyadari kesalahan konsep (rumus) dalam menyelesaikan masalah/ soal bangun datar dan cara mengitung namun tidak dapat diperbaiki Penilaian:
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
551
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Semistrategi c Use
Pengaturan individu dalam proses berpikirnya secara sadar dengan menggunakan strategistrategi khusus yang dapat meningkatkan ketepatan berpikirnya namun masih mengalami keraguan dalam strategi yang digunakan dalam pemecahan masalah. Dalam hal ini, siswa sadar dan mampu menyeleksi strategi atau keterampilan khusus untuk menyelesaikan masalah meskipun tidak maksimal
Strategic Use
Pengaturan individu dalam proses berpikirnya secara sadar dengan menggunakan strategistrategi khusus yang dapat meningkatkan ketepatan berpikirnya. Dalam hal ini, siswa sadar dan mampu menyeleksi strategi atau keterampilan khusus untuk menyelesaikan masalah.
Semireflecti ve Use
Refleksi individu dalam proses berpikirnya sebelum dan
552
Siswa tidak melakukan evaluasi setelah menyelesaikan soal bangun datar atau jika melakukan evaluasi akan tampak bingung atau ketidak jelasan terhadap hasil yang diperoleh Siswa melakukan evaluasi setelah menyelesaikan soal bangun datar namun tidak yakin terhadap hasil yang diperoleh Perencanaan: Siswa memahami masalah/ soal bangun datar karena dapat mengungkapkan dengan jelas Siswa mengalami keraguan terhadap konsep (rumus) dan cara menghitung yang akan digunakan dalam menyelesaikan soal bangun datar Pemantauan: Siswa menyadari kesalahan konsep (rumus) dalam menyelesaikan masalah/ soal bangun datar dan cara mengitung namun tidak dapat diperbaiki Siswa membutuhkan bantuan agar meyakini kebenaran konsep dan hasil yang diperoleh dalam menyelesaikan soal bangun datar Penilaian: Siswa tidak melakukan evaluasi setelah menyelesaikan soal bangun datar atau jika melakukan evaluasi akan tampak bingung atau ketidak jelasan terhadap hasil yang diperoleh Siswa melakukan evaluasi setelah menyelesaikan soal bangun datar namun tidak yakin terhadap hasil yang diperoleh Perencanaan: Siswa memahami masalah/ soal bangun datar karena dapat mengungkapkan dengan jelas Siswa tidak mengalami kesulitan dan kebingungan untuk menemukan rumus bangun datar dan cara menghitung Siswa dapat menjelaskan sebagian besar apa yang dituliskan dalam menyelesaikan soal bangun datar Pemantauan: Siswa menyadari kesalahan konsep dan cara menghitung dalam menyelesaikan soal bangun datar Siswa mampu memberi alasan yang mendukung pemikiran dalam menyelesaikan soal Penilaian: Siswa tidak melakukan evaluasi setelah menyelesaikan soal bangun datar atau jika melakukan evaluasi akan tampak bingung terhadap hasil yang diperoleh Siswa melakukan evaluasi setelah menyelesaikan soal bangun datar namun kurang yakin dengan hasil yang diperoleh Perencanaan: Siswa memahami masalah/ soal bangun datar
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
sesudah atau bahkan selama proses berlangsung dengan mempertimbangkan kelanjutan dan perbaikan hasil pemikirannya. Dalam hal ini, siswa menyadari dan memperbaiki kesalahan yang dilakukan dalam langkahlangkah penyelesaian masalah.
Reflective Use
Refleksi individu dalam proses berpikirnya sebelum dan sesudah atau bahkan selama proses berlangsung dengan mempertimbangkan kelanjutan dan perbaikan hasil pemikirannya. Dalam hal ini, siswa menyadari dan memperbaiki kesalahan yang dilakukan dalam langkahlangkah penyelesaian masalah.
karena dapat mengungkapkan dengan jelas Siswa mampu mengidentifikasi informas dalam masalah/ soal bangun datar Siswa mengetahui cara yang digunakan untuk menyelesaikan masalah/ soal bangun datar Siswa mampu menjelaskan strategi yang digunakan untuk menyelesaikan masalah/ soal bangun datar. Pemantauan: Siswa menyadari kesalahan konsep dan cara menghitung dalam menyelesaikan soal bangun datar Siswa mampu memperbaiki kesalahan pada langkah yang dilakukan dalam menyelesaikan soal bangun datar Siswa mampu mengaplikasikan strategi yang sama pada masalah/ soal yang lain tentang bangun datar Penilaian: Siswa melakukan evaluasi setelaha menyelesiakn soal bangun datar tetapi tidak selalu mengevaluasi setiap langkah yang dilakukan. Perencanaan: Siswa mengetahui cara yang digunakan untuk menyelesaikan masalah/ soal bangun datar Siswa mampu menjelaskan strategi yang digunakan untuk menyelesaikan masalah/ soal bangun datar. Siswa memahami masalah/ soal bangun datar dengan baik karena dapat mengidentifikasi informasi penting dalam masalah Siswa dapat menjelaskan apa yang ditulis pada lembar jawaban terkait penyelesaian masalah bangun datar Pemantauan: Siswa mampu mengaplikasikan strategi yang sama pada masalah/ soal bangun datar yang lain Siswa menyadari kesalahan konsep yang dilakukan dalam menyelesaikan soal bangun datar dan dapat memperbaiki Penilaian: Siswa melakukan evaluasi terhadap setiap langkah yang dibuat dalam menyelesaikan soal bangun datar dan meyakini hasil yang diperoleh
Tabel 2. Indikator Metakognisi untuk Setiap Konstruk Konstruk
Tingkat Metakognisi Tacit Use
Persegi Panjang Aware Use Semistrategic Use
Indikator Penyelesaian masalah berupa penerapan keliling persegi panjang dengan tanpa kesadaran dan pemahaman masalah Penyelesaian masalah berupa penerapan keliling persegi panjang dengan tingkat kesadaran dan pemahaman yang sedang Penyelesaian masalah berupa penerapan keliling
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
553
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Strategic Use
Semireflective Use
Reflective Use Tacit Use
Aware Use
Semistrategic Use
Belah Ketupat
Strategic Use
Semireflective Use
Reflective Use
persegi panjang dengan kesadaran dan pemahaman disertai dengan strategi pemecahan tetapi tidak yakin dengan strategi yang digunakan Penyelesaian masalah berupa penerapan keliling persegi panjang dengan menggunakan pemikiran berupa strategi pemecahan masalah dan yakin dengan strategi yang digunakan Penyelesaian masalah berupa penerapan keliling persegi panjang dengan menggunakan pemikiran berupa strategi pemecahan masalah dan dengan menerapkan sebagian model berpikir reflektif Penyelesaian masalah berupa penerapan keliling persegi panjang dengan menggunakan pemikiran berpikir reflektif Penyelesaian masalah berupa luas bangun belah ketupat dengan tanpa kesadaran dan pemahaman masalah Penyelesaian masalah berupa luas bangun belah ketupat dengan tingkat kesadaran dan pemahaman yang sedang Penyelesaian masalah berupa luas bangun belah ketupat dengan kesadaran dan pemahaman disertai dengan strategi pemecahan tetapi tidak yakin dengan strategi yang digunakan Penyelesaian masalah berupa luas bangun belah ketupat dengan menggunakan pemikiran berupa strategi pemecahan masalah dan yakin dengan strategi yang digunakan Penyelesaian masalah berupa luas bangun belah ketupat dengan menggunakan pemikiran berupa strategi pemecahan masalah dan dengan menerapkan sebagian model berpikir reflektif Penyelesaian masalah berupa luas bangun belah ketupat dengan menggunakan pemikiran berpikir reflektif
Metode Penelitian Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif yang difokuskan untuk mengetahui tingkat metakognisi siswa dalam menyelesaikan masalah matematika fokus soal bangun datar berdasarkan kemampuan matematika. Untuk mengkaji aktivitas tersebut, peneliti menjadi instrumen utama dalam penelitian ini dan didukung dengan indtrumen pendkung yaitu tes kemampuan matematika dan lembar wawancara untuk memperoleh data terkait tingkat metakognisi siswa dalam menyelesaikan masalah matematika. Dalam penelitian ini, terdapat prosedur penelitian yang terdiri dari tiga tahap, yaitu persiapan, pelaksanaan, dan tahap akhir yang disajikan pada gambar 1,2, dan 3 berikut ini.
554
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
TAHAP PERSIAPAN mempersiapkan
menentukan
Instrumen
Lokasi Penelitian
Tes Kemampuan Matematika menguji
dipilih
Lembar Wawancara
SMA Negeri Ngoro
menguji
Validasi
Koordinasi
Perbaikan Hasil
pelaksanaan
Guru Matematika Pelaksanaan Penelitian
Gambar 1. Skema Prosedur Penelitian pada Tahap Persiapan
TAHAP PELAKSANAAN menentukan
Subjek Penelitian di SMA Negeri Ngoro diperoleh
Kelas X-1
diberikan
Tes Kemampuan I didapatkan
Tes Kemampuan II dilaksanakan
Wawancara
diberikan
3 Subjek Penelitian Kategori Tinggi, Sedang, Rendah
pe nil aia n
penilaian penilaian
METAKOGNISI diperoleh
DATA PENELITIAN Gambar 2. Skema Prosedur Penelitian pada Tahap Pelaksanaan Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
555
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
DATA PENELITIAN dari 3 subyek penelitian pelaksanaan
Paparan Data
Validasi Data proses
diperoleh
Kesimpulan Data
Analisis Data
membuat
LAPORAN Gambar 3. Skema Prosedur Penelitian pada Tahap Akhir
Hasil Dan Pembahasan Nilai Hasil Tes Kemampuan Matematika Berikut adalah data nilai hasil tes kemampuan matematika siswa. Tabel 1. Nilai Hasil Tes Kemampuan Matematika Keterangan No Nama Kelas Skor 1 X-1 68 AF 2 X-1 78 RAS 3 X-1 78 MAP 4 X-1 76 ISSD 5 X-1 74 AA 6 X-1 86 YA Subjek Penelitian 2 7 X-1 77 RDA 8 X-1 75 SN 9 X-1 79 MRJ 10 X-1 90 MT 11 X-1 85 MA 12 X-1 70 ECN 13 X-1 69 EFW Subjek Penelitian 1 14 X-1 98 IZ 15 X-1 89 FMSM 16 X-1 75 NK 17 X-1 89 KT 18 X-1 78 IM
556
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
AAWBS DESR I SKS KK EPN AS LKW MAP RMA JAM RBP DAW WN NG
X-1 X-1 X-1 X-1 X-1 X-1 X-1 X-1 X-1 X-1 X-1 X-1 X-1 X-1 X-1
67 47 83 97 84 70 52 85 52 54 52 36 32 59 88
Subjek Penelitian 3
Berdasarkan hasil tes kemampuan matematika di atas yang dipadukan dengan kategori tingkatkemampuan matematika siswa (menurut Suharsimi Arikunto, 2010) maka diperoleh subyek penelitian S-1dengan kategori nilai tertinggi yaitu IZ dengan nilai 98. Subyek penelitian S-2 dengan kategori nilai sedang yaitu RDA dengan nilai 77. Untuk kategori rendah sebagai subyek S-3, terdapat FK dengan nilai 32.
Hasil Tes dan Wawancara a. Hasil Tes dan Wawancara Subjek Penelitian 1 (S-1) Dari hasil analisis data tes dan wawancara terhadap subjek penelitian S-1 sebagai kategori tingkat kemampuan matematika tinggi terkait penyelesaian soal-soal bangun datar pada tes kemampuan matematika, S-1 termasuk dalam tingkat metakognitif kategori Reflective Use. Berdasarkan indikator metakognisi setiap konstruk, penyelesaian masalah berupa penerapan keliling persegi panjang dengan menggunakan pemikiran berpikir reflektif dan penyelesaian masalah berupa luas bangun belah ketupat dengan menggunakan pemikiran berpikir reflektif. Dan hal ini ditandai dengan indikator tingkat metakognisi: 1Perencanaan: S-1 mengetahui cara yang digunakan untuk menyelesaikan masalah/ soal bangun datar, S-1 memahami masalah/ soal bangun datar,S-1 dapat mengungkapkan apa yang menjadi permasalahan dalam soal tersebut dan dapat menjelaskan apa yang ditulis pada lembar jawaban terkait penyelesaian masalah bangun datar; 2Pemantauan: S-1 mampu mengaplikasikan strategi yang sama pada masalah/ soal bangun datar yang lain; 3Penilaian: S-1 melakukan evaluasi setelah selesai mengerjakan soal bangun datarmeskipun tidak selalu mengevaluasi setiap langkah, S-1 yakin dengan hasil yang diperoleh. Dalam menyelesaikan soal-soal bangun datar, S-1 menerapkan strategi penyelesaian soal-soal bangun datar sesuai dengan strategi pemecahan masalah menurut Polya (1973), yaitu understanding the problem, devising a plan, carrying out the plan, dan looking back. b. Hasil Tes dan Wawancara Subjek Penelitian 2 (S-2) Dari hari analisis tes dan wawancara terhadap subjek penelitian S-2 sebagai kategori tingkat kemampuan matematika sedang terkait penyelesaian soal-soal bangun datar pada tes kemampuan matematika, S-2 termasuk dalam tingkat metakognitif kategori Semireflective Use. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
557
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Berdasarkan indikator metakognisi setiap konstruk,penyelesaian masalah berupa penerapan keliling persegi panjang dengan menggunakan pemikiran berupa strategi pemecahan masalah dan dengan menerapkan sebagian model berpikir reflektif dan penyelesaian masalah berupa luas bangun belah ketupat dengan menggunakan pemikiran berupa strategi pemecahan masalah dan dengan menerapkan sebagian model berpikir reflektif. Dan hal ini ditandai dengan indikator tingkat metakognisi: 1Perencanaan: S-2 mengetahui cara yang digunakan untuk menyelesaikan masalah/ soal bangun datar, S-2 memahami masalah/ soal bangun datar karena dapat mengungkapkan apa yang menjadi permasalahan dalam soal tersebut, S-2 tidak mengalami kebingungan untuk menemukan rumus pada penerapan keliling persegi panjang dan luas belah ketupat dan mengetahui cara menghitung, S-2 dapat menjelaskan strategi yang ditulis dalam memecahkan masalah/ soal yang diberikan untuk menyelesaikan masalah; 2Pemantauan: S-2 mampu mengaplikasikan strategi yang sama pada soal bangun datar yang lain; 3Penilaian: S-2 melakukan evaluasi setelah selesai mengerjakan soal secara garis besar. Dalam menyelesaikan tes kemampuan matematika, S-2 menggunakan strategi penyelesaian permasalahan Matematika sesuai dengan strategi pemecahan masalah menurut Polya (1973), yaitu understanding the problem, devising a plan, carrying out the plan, dan looking back. c. Hasil Tes dan Wawancara Subjek Penelitian 3 (S-3) Dari hasil analisis tes dan wawancara terhadap subjek penelitian S-3 sebagai kategori tingkat kemampuan matematika rendah terkait pemecahan masalah tes kemampuan matematika, S-3 termasuk dalam tingkat metakognitif kategori Aware Use (Penggunaan pemikiran dengan kesadaran). Berdasarkan indikator metakognisi setiap konstruk, Penyelesaian masalah berupa penerapan keliling persegi panjang dengan tingkat kesadaran dan pemahaman yang sedang dan Penyelesaian masalah berupa luas bangun belah ketupat dengan tingkat kesadaran dan pemahaman yang sedang. Dan hal ini ditandai dengan indikator tingkat metakognisi: Aware Use:1Perencanaan: S-3 memahami masalah/ soal bangun datar;2Pemantauan: S-3 mengalami kebingungan untuk menemukan rumus pada penerapan keliling persegi panjang dan luas belah ketupat dan cara menghitung, S-3 tidak dapat menjelaskan dengan baik strategi yang telah ditulis untuk memecahkan masalah/ soal bangun datar yang diberikan;3Penilaian: S-3 tidak yakin dengan hasil yang diperoleh. Dalam menyelesaikan tes kemampuan matematika, S-3 tidak menggunakan strategi penyelesaian permasalahan Matematika sesuai dengan strategi pemecahan masalah menurut Polya (1973), hal ini terjadi karena S-3 hanya memahami masalah yang ditanyakan pada soal (understanding the problem), namun tidak membuat perencanaan (devising a plan), tidak menyelesaikan masalah sesuai dengan perencanaan (carrying out the plan), dan dan tidak melakukan evaluasi dari hasil yang diperoleh (looking back). Berdasarkan hasil analisis data, dapat disimpulkan mengenai tingkat metakognisi siswa sekolah menengah atas subjek penelitian S-1, S-2, dan S-3dalam menyelesaikan soal-soal bangun datar berdasarkan kemampuan matematis adalah sebagai berikut: Dari analisis tes dan wawancara terhadap subjek penelitian S-1 terkait pemecahan masalah berupa soal-soal bangun datar pada tes kemampuan matematika, S-1 termasuk dalam tingkat metakognitif kategori Reflective Use yaitu penyelesaian masalah berupa penerapan keliling persegi panjang dengan menggunakan pemikiran berpikir reflektif secara totalitas dan peyelesaian masalah belah ketupat dengan menggunakan berpikir reflektif secara penuh. Dalam menyelesaikan tes kemampuan matematika, S-1 menggunakan strategi penyelesaian
558
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
permasalahan Matematika sesuai dengan strategi pemecahan masalah menurut Polya (1973), yaitu understanding the problem, devising a plan, carrying out the plan, dan looking back. Dari analisis tes dan wawancara terhadap subjek penelitian S-2 terkait penyelesaian soalsoal bangun datar pada tes kemampuan matematika, S-2 termasuk dalam tingkat metakognitif kategori Semireflective Useyaitu penyelesaian masalah berupa penerapan keliling persegi panjang dengan menggunakan pemikiran berupa strategi pemecahan masalah dengan menerapkan sebagian model berpikir reflektif serta penyeleaian masalah belah ketupat dengan menggunakan pemikiran strategi pemecahan masalah dan dengan menerapkan sebagian model berpikir reflektif. Dalam menyelesaikan tes kemampuan matematika, S-2 menggunakan strategi penyelesaian permasalahan Matematika sesuai dengan strategi pemecahan masalah menurut Polya (1973), yaitu understanding the problem, devising a plan, carrying out the plan, dan looking back. Dari analisis tes dan wawancara terhadap subjek penelitian S-3 terkait pemecahan masalah tes kemampuan matematika, S-3 termasuk dalam tingkat metakognitif kategori kombinasi Tacit Use dan Aware Use yaitu penyelesaian masalah penerapan keliling persegi panjang dengan S-3 memahami permasalahan namun tidak menyadari kesalahan pada konsep penyelesaian soal serta mengalami kebingungan dalam penggunaan rumus untuk menyelesaikan masalah belah ketupat. Dalam menyelesaikan tes kemampuan matematika, S-3 tidak menggunakan strategi penyelesaian permasalahan Matematika sesuai dengan strategi pemecahan masalah menurut Polya (1973), hal ini terjadi karena S-3 hanya memahami masalah yang ditanyakan pada soal (understanding the problem), namun tidak membuat perencanaan (devising a plan), tidak menyelesaikan masalah sesuai dengan perencanaan (carrying out the plan), dan tidak melakukan evaluasi dari hasil yang diperoleh (looking back).
Rekomendasi Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh maka peneliti perlu mengemukakan beberapa rekomendasi, yaitu hasil penelitian ini hendaknya dijadikan sebagai bahan pertimbangan oleh guru agar lebih memerhatikan aktivitas metakognisi siswa dalam kegiatan belajar mengajar, terutama dalam pada kegiatan pemecahan masalah matematika yang didasarkan pada strategi pemecahan masalah menurut Polya (1973),penelitian ini merupakan hasil penelitian yang perlu untuk dikembangkan pada penelitian selanjutnya mengenai metakognisi siswa dalam kegiatan belajara, siswa diharapkan memiliki kemauan untuk dapat meningkatkan metakognisi siswa dalam kegiatan belajar mengajar agar dapat memecahkan suatu permasalahan matematika yang dihadapi oleh siswa, dan untuk peneliti lain, penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan acuan untuk melanjutkan penelitian yang relevan.
Daftar Pustaka Agustina, Laily Mahromah dan Janet Trineke Manoy. Identifikasi Tingkat MetakognisiSiswadalam Memecahkan Masalah Matematika Berdasarkan Perbedaan Skor Matematika. Jurnal Online UniversitasNegeri Surabaya.http://www.scribd.com/doc/122887430/IDENTIFIKASITINGKAT-METAKOGNISI-SISWA-DALAM-MEMECAHKAN-MASALAHMATEMATIKA-BERDASARKAN-PERBEDAAN-SKOR-MATEMATIKA#scribd diakses: 15-01-2015 11:57 a.m. Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
559
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Ellis, Jeanne Ormrod. 2009. Psikologi Pendidikan Membantu Siswa Tumbuh dan Berkembang. Jakarta: Erlangga. Laurens, Theresia. 2009. Penjenjangan Metakognisi Siswa. Disertasi Pascasarjana Program Studi Pendidikan Matematika UNESA: Tidak dipublikasikan. Laurens, Prof. Dr. Theresia, M.Pd. 2014. Pengembangan Metakognisi Dalam Peningkatan Kualitas Pendidikan Matematika. Disampaikan Pada Pidato Pengukuhan Guru Besar Pendidikan Matematika Di FKIP Unpatti, 20 November 2014. http://fkip.unpatti.ac.id/wp-content/uploads/2014/ 11/profil_dekan_FKIP.pdf (diakses: 14-01-2015 11:21 p.m.) Moleong, Lexy. 2011. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Mustamin, Anggo. 2012. Metakognisi dan Usaha Mengatasi Kesulitan dalam Memecahkan Masalah Matematika Kontekstual. Jurnal FKIP Universitas Haluoleo. Volume 01 Nomor 01 Maret 2012. (http://jurnal.untad.ac.id/jurnal/index.php/AKSIOMA/article/view/1270/924 diakses: 2712-2014 07:46 pm) O’Neil, H. F., Jr., & Abedi, J. (1996). Reliability and Validity of a State Metacognitive Inventory: Potential for Alternative Assessment. Jurnal of Educational Research, 89. 234 – 245. Polya, G. 1973. How To Solve It. New Jersey: Princeton University Press. (https://notendur.hi.is/.../Polya_HowToSolveIt.pdf) diakses: 12-01-15 10:24 pm Riyanto, Yatim. 2006. Pengembangan Kurikulum dan Seputar Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Surabaya: Unesa University Press. Wilson, Jenidan Clark, David. 2004. Towardthe Modelling of Mathematical Metacognition. Mathematics Education Research Journal,2004, Vol. 16, No. 2, 25-48, University of Melbourne.
560
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Pengaruh Dukungan Organisasi Dan Potensi Kreatif Terhadap Praktek Kerja Kreatif (Studi Terhadap Para Guru Di Kabupaten Jombang) Agus Prianto 22 ([emailprotected]) Abstract This research investigates many dimension of creative potential, organizational support, and creative performance. This research also investigates the relationship between many construction on organizational support with construction of creative potential and creative performance. The objective of this research is to identify many dimension of creative potential, organizational support, and creative performance; and also many factors which influence creative performance of the teacher in Jombang. Besides, this research also identify the relationship between creative potential and organizational support with creative performance. The samples of this study are 110 teachers’ of the state junior and senior high school in Jombang. By using analyzer statistics, that is structural equation modeling (SEM). This research is successful to identify many dimension of creative potential, organizational support, and creative performance. Besides, this research also discovers that organizational support will develop creative potential of the teacher. Finally, creative performance is influenced by creative potential of the teacher and perceived organizational support. Key Words: creative potention, creative performance, percieved organizational support Abstrak Penelitian ini hendak mengkaji berbagai dimensi dari variabel potensi kreatif, variabel dukungan organisasi, dan variabel praktek kerja kreatif. Melalui penelitian ini juga hendak dikaji bagaimana keterkaitan antara konstruk dukungan organisasi dan konstruk potensi kreatif terhadap konstruk praktek kerja kreatif. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui berbagai faktor yang mempengaruhi munculnya praktek kerja kreatif dari para guru di Jombang. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui bagaimana hubungan antara potensi kreatif dan dukungan organisasi terhadap praktek kerja kreatif. Sampel penelitian ini adalah para guru sekolah menengah negeri di Jombang sebanyak 110 guru. Dengan menggunakan analisis persamaan model struktural (SEM. Penelitian ini berhasil mengidentifikasi berbagai dimensi dari potensi kreatif, dukungan organisasi, dan praktek kerja kreatif. Selain itu, penelitian ini juga menemukan bahwa dukungan organisasi yang dirasakan guru juga akan ikut mengembangkan potensi kreatif mereka. Secara keseluruhan, praktek kerja kreatif yang ditampilkan guru dipengaruhi oleh potensi kreatif para guru dan dukungan organisasi yang dirasakan guru. Kata Kunci: potensi kreatif, praktek kerja kreatif, dukungan organisasi yang dirasakan
Pendahuluan Kemampuan mengembangkan kreatifitas dan inovasi merupakan dua kompetensi yang sangat diperlukan organisasi dalam memasuki abad 21 agar terus mampu beradaptasi dalam era yang terus berubah (Amabile,1988; Woodman, Sawyer, dan Griffen,1993). Kreatifitas individu merupakan komponen utama yang akan menentukan organisasi dalam mendorong tumbuhnya inovasi, yang ditunjukkan dengan adanya kemampuan staf untuk menerapkan ide kreatif; dan dalam jangka panjang hal ini akan ikut menentukan kesuksesan dan kelanggengan hidup organisasi (Amabile,et al, 1996; Tushman dan O’Reilley,1997). 22
Dosen Pendidikan Ekonomi, STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
561
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Kreatifitas merupakan sebuah konstruk yang komplek dengan unsur dimensi yang terus berkembang. Oleh karena itu mendefinisikan kreatifitas dengan dimensi konstruk yang tepat selalu sulit untuk dilakukan. Meskipun demikian, ada beberapa definisi yang menunjukkan adanya kesamaan dimensi kreatifitas. DiLiello dan Houghton (2008) yang mengutip pendapat Guilford (1950:452) menyatakan bahwa kreatifitas adalah ditunjukkan oleh kemampuan individu untuk menyampikan ide atau gagasan yang asli, sama sekali baru, tidak umum. Sternberg dan Lubart (1999:3) menyatakan kreatifitas sebagai kemampuan untuk menampilkan cara kerja yang baru (asli, belum pernah terpkirkan sebelumnya) dan tepat guna. Hal senada dikatakan oleh Barron dan Harington (1981:442) yang menyatakan kreatifitas sebagai sessuatu yang asli, baru, jauh dari jangkauan pikiran dan perkiraan orang. Sedangkan Martindale (1989:211) mengemukakan bahwa kreatifitas harus ditunjukkan oleh gagasan yang asli, lebih tepat guna, dan bisa dimanfaatkan untuk berbagai aktifitas. Berdasarkan definisi kreatifitas sebagaimana diungkapkan, maka bila dikaitkan dengan kontek organisasi kreatifitas adalah kemampuan individu untuk menampilkan cara kerja baru yang lebih baik sehingga bisa menciptakan efisiensi, mampu memecahkan persoalan yang komplek, dan secara keseluruhan akan berguna untuk menciptakan efektifitas kinerja organisasi. Sebagai sebuah unjuk kerja, kreatifitas kerja para staf tentu sangat ditentukan oleh sejauh mana lembaga memberikan dukungan yang memadai kepada para stafnya untuk terus berkerja dengan dilandasi oleh sikap kreatif (DiLiello dan Houghton,2008; Amabile,1988). Pimpinan lembaga yang memberikan dukungan memadai kepada para stafnya untuk menampilkan cara kerja baru, akan memungkinkan lembaga untuk menjadikan kreatifitas sebagai budaya kerja baru. Lembaga yang memiliki budaya kerja kreatif cenderung lebih memiliki kesiapan untuk menghadapi perubahan, dan akan tetap eksis dan berkembang dalam era yang terus berubah (Kasali,2005). Salah satu penopang utama keberhasilan pendidikan adalah tergantung pada guru yang berkualitas. Guru yang berkualitas ditandai dengan kemampuannya untuk terus berkreasi dan berinovasi, sehingga kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan berjalan dengan efektif dan menyenangkan para siswa. Seiring dengan berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi, para guru dituntut untuk lebih mampu mengembangkan kreatifitasnya, agar kegiatan pendidikan yang dilaksanakannya menjadi lebih menarik bagi para siswa. Guru yang kreatif akan mampu mengoptimalkan perannya sebagai pendidik dengan terus memperbaharui informasi dan model pembelajaran yang digunakannya sehingga tujuan pembelajaran juga akan menjadi lebih berhasil. Pimpinan sekolah juga dituntut untuk menciptakan kondisi dan memfasilitasi para guru agar mampu mengembangkan kreatifitasnya dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran. Dari studi pendahuluan yang peneliti lakukan pada beberapa sekolah, umumnya pimpinan sekolah selalu mendorong para guru untuk bisa mengoptimalkan penggunaan sarana TIK untuk mendukung kinerja para guru. Umumnya para pimpinan sekolah sangat menyadari bahwa pada era sekarang dibutuhkan keberadaan guru yang tanggap, cekatan, berani membuat terobosan dan inovasi kerja sehingga kinerja sekolah dapat dioptimalkan. Berdasarkan studi pendahuluan ini maka perlu diketahui bagaimana persepsi para guru tentang dukungan organisasi yang dirasakan, bagaimana potensi kreatif para guru, dan bagaimana kemampuan guru untuk menampilkan praktek kerja kreatif. Penelitian ini juga hendak menguji apa saja yang menjadi dimensi potensi kreatif dan praktek kerja kreatif yang mungkin memegang peranan penting dan belum pernah terungkap peranannya dalam menentukan kinerja para guru di Jombang. Akhirnya, penelitian ini hendak 562
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
menjawab pertanyaan tentang bagaimana keterkaitan antara dukungan organisasi yang dirasakan dan potensi kreatif terhadap praktek kerja kreatif para guru. Dengan demikian tujuan utama dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui berbagai variabel manifes dari potensi kreatif, praktek kerja kreatif, dan dukungan organisasi yang dirasakan guru. Tujuan lain dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaruh variabel dukungan organisasi yang dirasakan staf dan variabel potensi kreatif terhadap praktek kerja kreatif. Pada tahap awal penelitian ini akan mengkaji berbagai dimensi kreatifitas untuk dijadikan dasar dalam mengkaji potensi kreatif dan praktek kerja kreatif dari para guru. Validitas kontruk potensi kreatif, praktek kerja kreatif, dan dukungan organisasi yang dirasakan guru didasarkan pada data yang diperoleh melalui angket penelitian yang disebarkan kepada para responden. Kesimpulan penelitian dirumuskan dengan didasarkan pada hasil analisis data, diskusi hasil penelitian, dan implikasi hasil penelitian dirumuskan dan digunakan sebagai dasar untuk menentukan rekomendasi yang ditujukan bagi lembaga persekolahan dan bagi para peneliti selanjutnya.
Landasan Teori Dimensi Kreatifitas Kreatifitas individu telah diukur dengan berbagai cara, mulai dari pengukuran tentang karakteristik dan kepribadian individu sampai dengan pengukuran kreatifitas yang diasarkan atas kemampuan individu untuk menampilkan sebuah prestasi kerja. Dari berbagai kajian yang dilakukan para ahli, misalnya yang dilakukan oleh Amabile (1988) dan Ford (1996); dimensi kreatifitas dapat dilihat dari kemampuan individu untuk berpikir ke segala arah (divergen thinking), dimilikinya kepribadian yang kuat, mandiri, dan dimilikinya motivasi internal yang kuat. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Weisberg (1999) menemukan bahwa dimilikinya pengetahuan yang memadai merupakan faktor prasyarat yang akan mendorong munculnya kreatifitas dari para individu. Dimilikinya informasi dan pengetahuan merupakan faktor yang akan mendukung kratifitas individu (Kijkuit dan van de Ende,2007; Leenders, van Engelen dan Kratzer,2007). Aspek pengetahuan yang akan mendukung kreatifitas individu secara langsung dapat diukur dengan tes intelengensi (Brown,1989), dan secara tidak lansung dipengaruhi oleh tingkat pendidikan individu (Simonton,1992). Sedangkan Hocervar dan Bachelor (1989) memasukkan kemampuan berpikir ke segala arah dan aspek kepribadian sebagai bagian dari dimensi kreatifitas. Dimensi kemandirian yang merupakan bagian dari komponen kreatifitas juga ikut menentukan prestasi kerja individu (Amabile,et.al.,1996; Cummings dan Oldham,1997; Shaley, Gilson dan Blum,2000). Motivasi intrinsik merupakan dimensi pokok lainnya dari sebuah kreatifitas (Bandura,1997; Herzberg, Mausner dan Snyderman,2003). Berbagai hasil penelitian menemukan bahwa motivasi intrinsik berhubungan positip dengan kreatifitas, sedangkan motivasi ekstrinsik berhubungan negatif dengan kreatifitas (Amabile,et.al.,1994). Berbagai faktor utama yang mempengaruhi motivasi intrinsik antara lain adalah kemampuan untuk membuat keputusan sendiri (Deci dan Ryan,1985), sikap mandiri (Cummings dan Oldham,1997; Gilson dan Blum,2000), keberanian menghadapi tantangan (Bandura,1997; Shaley, Gilson dan Blum,2000), derajat keterlibatan individu dalam menjalankan pekerjaan (Csikszentmihalyi,1996), serta minat individu (Bandura,1997). Tierney
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
563
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
dan Farmer (2002:1138) mengemukakan tentang pentingnya rasa percaya pada diri sendiri (self efficacy), yang didefinisikan sebagai keyakinan individu bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk menghasilkan produk kreatif merupakan dimensi lainnya yang mempengaruhi motivasi intrinsik dan kreatifitas individu. Berbagai hasil penelitian juga menunjukkan bahwa evaluasi kinerja yang dilakukan pimpinan terhadap staf juga dapat mempengaruhi kreatifitas individu. Ketika evaluasi kinerja didasarkan atas capaian kinerja individu, konstruktif, dan mengakui tingkat kompetensi individu (Amabile,1996:152); maka kreatifitas individu akan lebih mudah untuk dimunculkan dan ditingkatkan. Sejalan dengan hal ini, hasil penelitian lain menunjukkan bahwa ketika individu yang memiliki motivasi intrinsik kuat akan terdorong untuk bekerja secara mandiri dan lebih mampu menghadapi tantangan kerja; maka individu yang demikian akan lebih mudah untuk terlibat dalam sebuah proses pekerjaan (Bandura,1997) dan memungkinkan mereka untuk menjadi lebih kratif (Amabile,et.al.,1994; Shalley,1995; Cummings dan Oldham,1997). Selain itu, seorang staf akan cenderung untuk bisa menampilkan unjuk kerja kreatif bila mereka mendapatkan dukungan penuh dari pimpinan lembaga untuk menampilkan kreatifitas dalam bekerja dan memecahkan berbagai persoalan kerja secara kreatif (Tierney dan Farmer,2004). Suasana kerja yang dipersepsikan oleh staf juga merupakan faktor penting yang akan mempengaruhi kreatifitas individu (Amabile, Burnside dan Grvskiewicz,1999). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kreatifitas dalam diri individu akan muncul apabila individu memiliki sifat-sifat positip, kecakapan dan kemampuan (Simonton,1992; Tierney dan Farmer,2002), memiliki kemampuan khusus yang dibutuhkan untuk membangun hubungan sosial (Weisberg,1999; Kijkuit dan van de Ende,2007; Leenders, van Engelen dan Kratzer,2007, memiliki motivasi intrinsik yang kuat (Amabile,et.al.,1994); serta tersedianya lingkungan dan suasana kerja yang mendukung kreatifitas (Woodman, Sawyer, dan Griffen,1993; Amabile,1996). Singkatnya, sebagaimana dikemukakan oleh Feldhusendan Goh (1995); kreatifitas memiliki berbagai dimensi yang sangat komplek yang harus ditelaah secara hati-hati untuk bisa menghasilkan dimensi kreatifitas yang benar, tepat, dan akurat.
Potensi Kreatif, Praktek Kerja Kreatif, dan Dukungan Organisasi Sejak empat puluh tahun yang lalu, Hinton (1968) telah merumuskan perbedaan penting antara potensi kreatif dan kreatifitas aktual. Jika produk kerja kreatif yang dihasilkan oleh individu tidak diakui oleh lingkungan dimana ia bekerja, maka potensi kreatifitas individu akan tersumbat (Hinton,1968; George dan Zhou,2001). Meskipun Thierney dan Farmer (2002) sudah meneliti tentang pentingnya rasa percaya diri pada individu yang sangat berguna untuk memunculkan kreatifitas individu, kajian yang dilakukan peneliti atas berbagai hasil penelitian terbaru belum banyak yang mengupas tentang dimensi potensi kreatif dan dimensi praktek kerja kreatif. Potensi kreatif dapat diartikan sebagai potensi kapasitas individu untuk menampilkan tindak kreatif, dimilikinya kecakapan dan kemampuan kerja oleh para individu (Hinton,1968). Sebaliknya, praktek kerja kreatif diartikan tersedianya kesempatan bagi para individu untuk menggunakan ketrampilan dan kecakapan kreatif dalam melaksanakan pekerjaan (Di Liello dan Houghton,2006). Praktek kerja kreatif juga berbeda dengan tampilan kreatif yang diukur dari produk kerja yang dihasilkan individu, atau kemampuan individu yang dapat dinilai dan dilihat (Amabile,1996). Praktek kerja kreatif juga berbeda dengan sebuah konsep organisasional yang mendukung kreatifitas, yang sering diartikan sebagai budaya organisasi yang mengembangkan
564
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
kreatifitas melalui budaya kerja yang fair, dukungan untuk berkembangnya ide, adanya penghargaan dan pengakuan terhadap praktek kerja kreatif, tersedianya mekanisme kerja yang mendukung berkembangnya praktek kerja kreatif, berkembangnya berbagai ide baru yang mendukung kegiatan kerja, dan dikomunikasikannya visi lembaga kepada semua warga organisasi (Amabile, Burnside dan Gryskiewicz,1999). Berbagai kondisi harus tersedia dalam lingkungan kerja untuk mendukung berkembangnya kreatifitas individu (Ford,1996) dan para pekerja yang memiliki potensi kreatif agar menjadi aktual ketika mereka merasa adanya dukungan yang kuat dari lembaga (DiLiello dan Houghton,2006). Ketika individu di tempat kerja merasa dirinya memiliki potensi untuk mengembangkan kreatifitas kerja tetapi merasa tidak mampu untuk mengembangkan potensinya; maka keberadaan berbagai sumber daya organisasi yang mungkin belum pernah dimanfaatkan harus dioptimalkan. Sumber daya pada organisasi yang dimaksud misalnya berkaitan dengan adanya dukungan organisasi. Dukungan organisasi yang dirasakan individu terhadap kemampuan kerja kreatif akan mendorong para individu untuk terus mengembangkan kreatifitas kerja. Dampak dari kondisi yang demikian adalah para individu (staf) akan bisa merasakan adanya kepuasan kerja (Shalley, Gilson dan Blum,2000). Dengan demikian, organisasi juga akan dapat mendapatkan keuntungan dari ide-ide kreatif yang dikembangkan individu, membuat lingkungan tempat kerja kian kondusif bagi para individu untuk mengembangkan kemampuan dalam bekerja.
Metode Penelitian Populasi dan Sampel Penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah para guru sekolah menengah di Jombang.Sampel penelitian ditetapkan dengan menggunakan teknik multistage sampling, dan didapatkan jumlah sampel sebanyak 110 orang guru, yang terdiri dari 50 orang sekolah menengah pertama dan 60 orang guru sekolah menengah atas. Dari sebanyak 110 orang anggota sampel, 46% berjenis kelamin wanita dan 54% pria.
Pengukuran Potensi Kreatif Enam item digunakan untuk mengukur potensi kreatif dari para individu. Potensi kreatif berkaitan dengan perasaan individu tentang kemampuannya untuk mengembangkan kreatifitas kerja, yang oleh Thierney dan Farmer (2002) disebut sebagai rasa percaya untuk bisa mengembangkan kreatifitas kerja. Hal ini akan mencakup perasaan mudah untuk mengembangkan ide baru, percaya pada kemampuannya untuk memecahkan persoalan kerja secara kreatif, tangkas dalam mengadopsi ide yang dikembangkan oleh orang lain, dan kemampuan untuk menemukan berbagai cara kerja baru yang digunakan untuk memecahkan berbagai persoalan. Dengan demikian dimensi potensi kreatif akan diukur dengan menggunakan formula sebagaimana telah dikembangkan oleh Thierney dan Farmer (2002). Dua dimensi lainnya dari potensi kreatif adalah dimilikinya potensi keahlian dari para individu tentang apa yang menjadi bidang pekerjaannya dan dimilikinya potensi keberanian untuk mengambil resiko dengan mencoba-coba cara kerja baru yang dianggap lebih baik (Amabile,et.al.,1999). Pengukuran dilakukan dengan menggunakan skala likert yang menyediakan lima kategori jawaban, mulai dari ”sangat tidak setuju” sampai dengan ”sangat setuju”. Berdasarkan uraian di atas, berikut ini adalah merupakan berbagai indikator yang diduga merupakan dimensi dari konstruk potensi kreatif yang meliputi: (a) kemampuan menampilkan
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
565
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
ide baru, (b) rasa percaya pada kemampuan untuk bisa memecahkan persoalan secara kreatif, (c) ketangkasan untuk mengadopsi dan mengembangkan ide orang lain, (d) kemampuan untuk menemukan cara kerja baru yang digunakan untuk memecahkan masalah, (e) dimilikinya talenta dan keahlian yang dibutuhkan dalam menyelesaikan pekerjaan, dan (f) senang mencoba ide baru.
Pengukuran Praktek Kerja Kreatif Teori tentang kreatifitas individu digunakan untuk mengukur praktek kerja kreatif. Dengan menggunakan formula yang dikembangkan oleh Hinton (1968), penelitian ini mengembangkan lima item untuk menggambarkan bagaimana peluang individu (staf) dalam menggunakan keahliannya dalam bekerja, mengembangkan kecakapan kreatif, dan kemampuan kreatif. Semua item tersebut dikembangkan dengan menggunakan skala Likert yang menyediakan lima kategori jawaban, mulai dari ”sangat tidak setuju” sampai dengan ”sangat setuju”. Berdasarkan uraian di atas, berikut ini adalah merupakan berbagai indikator yang diduga merupakan dimensi dari konstruk potensi kreatif yang meliputi: (a) dimilikinya kesempatan untuk menggunakan ketrampilan dan kemampuan kreatif dalam menyelesaikan pekerjaan, (b) diberikannya kesempatan untuk mengembangkan ide baru di tempat kerja, (c) adanya kesempatan untuk berpartisipasi dalam kerja tim, (d) dimilikinya kebebasan untuk memutuskan cara kerja apa yang harus ditempuh untuk menyelesaikan tugas, (e) potensi kreatif individu dikembangkan di tempat kerja.
Pengukuran Dukungan Organisasi Yang Dirasakan Dukungan organisasi yang dirasakan diukur untuk tujuan analisis validitas diskriminan dari konstruk praktek kerja kreatif. Untuk keperluan ini, item-item yang telah dikembangkan oleh Amabile, Burnside dan Gryskiewicz (1999) tentang dukungan organisasi yang dirasakan diadopsi dan digunakan dalam penelitian ini. Semua item dikembangkan dengan menggunakan skala Likert yang menyediakan lima kategori jawaban, mulai dari ”sangat tidak setuju” sampai dengan ”sangat setuju”. Berdasarkan uraian di atas, berikut ini adalah merupakan berbagai indikator yang diduga merupakan dimensi dari konstruk potensi kreatif yang meliputi: (a) adanya pengakuan terhadap para individu (staf) yang mampu mengembangkan kreatifitas kerja, (b) ide-ide para staf diapresiasi secara adil oleh lembaga, (c) para staf didorong untuk bisa memecahkan persoalan kerja secara kreatif, (d) lembaga memiliki mekanisme kerja yang bagus yang memungkinkan para staf untuk mengembangkan kreatifitas kerja, (e) para staf didorong untuk berani mengambil resiko dalam bekerja, dan (f) adanya penghargaan terhadap para staf yang mampu mengembangkan kreatifitas kerja.
Teknik Analisis Data Teknik analisis data dilakukan dengan analisis statistik deskriptif dan statistik inferensial. Analisis statistik deskriptif digunakan untuk memaparkan berbagai dimensi variabel dari ketiga variabel laten yang digunakan dalam penelitian ini. Sedangkan analisis statistik inferensial dilakukan untuk menguji hipotesis penelitian. Dalam penelitian ini teknik analisis data yang digunakan adalah dengan menggunakan model persamaan struktural (structural equation modelling, SEM) dengan menggunakan perangkat lunak LISREL. Analisis SEM digunakan untuk menguji validitas dan reliabilitas konstruk dari masing-masing variabel laten. Model persamaan struktural ditentukan dengan menetapkan model yang paling fit.
566
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Untuk memastikan bahwa model struktural yang paling fit telah memiliki derajat keutuhan model, maka akan disajikan hasil pengujian validitas konvergen dan reliabilitas komposit. Validitas konvergen dilakukan dengan membandingkan koefisien loading factor (lambda) dengan unmeasured coeficient yang besarnya sama dengan (1–error). Bila nilai lambda lebih besar dibandingkan dengan (1–e), maka dapat dikatakan keberadaan variabel dimensional telah memiliki validitas yang memadai. Sedangkan reliabilitas komposit dihitung dengan menggunakan formula yang dikembangkan oleh Bagozzi (dalam Prianto,2005) dengan formula sebagai berikut: ()2 Fc = -----------------, dimana fc adalah tingkat ()2 + (e) reliabilitas konstruk, adalah loading factor, dan e adalah error.
Hasil Penelitian Penelitian ini menemukan bahwa potensi kreatifitas guru dimanifestasikan oleh: (a) kemampuan guru untuk menampilkan ide baru, (b) rasa percaya diri dari para guru terhadap kemampuannya untuk bisa memecahkan persoalan secara kreatif, (c) ketangkasan para guru untuk mengadopsi dan mengembangkan ide orang lain ke dalam lingkungan kerja, (d) kemampuan guru untuk menemukan cara kerja baru yang digunakan untuk memecahkan masalah, (e) dimilikinya talenta dan keahlian dari guru yang dibutuhkan dalam menyelesaikan pekerjaan, dan (f) guru senang mencoba ide baru. Dengan demikian hasil penelitian ini mengukuhkan formula potensi kreatif sebagaimana yang dikembangkan oleh Thierney dan Farmer (2002) dan Amabile,et.al. (1999). Upaya organisasi untuk bisa didukung oleh keberadaan guru yang memiliki potensi kreatifitas yang tinggi dapat dilakukan dengan melakukan uji/tes potensi kreatifitas. Indikator atau dimensi dari potensi kreatifitas sebagaimana ditemukan dalam penelitian ini dapat dijadikan rujukan oleh para pimpinan organisasi dalam menyeleksi calon staf yang memiliki potensi kreatifitas yang memadai. Penelitian ini juga menemukan bahwa unjuk kerja kreatif dari para guru akan dimanifestasikan oleh: (a) kemauan guru untuk menggunakan ketrampilan dan kemampuan kreatif dalam menyelesaikan pekerjaan, (b) kemauan guru untuk mengembangkan ide baru di tempat kerja, (c) kemauan guru untuk berpartisipasi dalam kerja tim, (d) guru bebas untuk memutuskan cara kerja apa yang harus ditempuh untuk menyelesaikan tugas, dan (e) guru memiliki kesempatan yang besar untuk mengembangkan potensi kreatif yang dimilikinya di tempat kerja. Dengan demikian hasil penelitian ini sejalan dengan formula yang dikembangkan oleh Hanton (1968). Formula Hanton tentang praktek kerja kreatif yang sudah dikembangkan sejak empat dasawarsa yang lampau masih tetap relevan hingga saat ini, sehingga masih bisa digunakan untuk mengevaluasi sejauh mana para staf mampu menampilkan unjuk kerja kreatif. Organisasi yang mengharapkan agar para stafnya mampu menampilkan unjuk kerja kreatif dapat dilakukan dengan memfasilitasi, mendorong, dan memberikan kepercayaan kepada para staf untuk menggunakan cara kerja kreatif, berani menampilkan ide baru, dan berani mengambil resiko kerja. Penelitian ini juga membuktikan bahwa dukungan organisasi yang dirasakan staf dimanifestasikan oleh: (a) adanya pengakuan terhadap para guru yang dinilai mampu
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
567
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
mengembangkan kreatifitas kerja, (b) ide-ide para guru diapresiasi secara adil oleh lembaga, (c) dukungan lembaga kepada para guru untuk bisa memecahkan persoalan kerja secara kreatif, (d) tersedianya mekanisme kerja yang transparan yang memungkinkan para guru untuk mengembangkan kreatifitas kerja, (e) para guru didorong untuk berani mengambil resiko dalam bekerja, dan (f) adanya penghargaan terhadap para guru yang mampu mengembangkan kreatifitas kerja. Dengan demikian hasil penelitian ini juga mengukuhkan pendapat Amabile, Burnside dan Gryskiewicz (1999) tentang dimensi dukungan organisasi yang dirasakan guru. Berdasarkan hasil persamaan model struktural yang paling fit, diketahui bahwa praktek kerja kreatif dimanifestasikan oleh (a) kemauan guru untuk menggunakan ketrampilan dan kemampuan kreatif dalam menyeleaikan pekerjaan, (b) kemauan guru untuk mengembangkan ide baru di tempat kerja, dan (c) guru memiliki kebebasan untuk mengambil cara kerja yang dinilai efisien dalam menyelesaikan pekerjaan. Sedangkan potensi kreatif dimanifestasikan oleh (a) kemampuan guru untuk menampilkan ide baru, (b) ketangkasan guru dalam mengembangkan dan mengadopsi ide dari orang lain ke dalam lingkungan kerja, (c) kemampuan guru untuk menemukan cara kerja baru yang digunakan untuk memecahkan masalah, dan (d) guru senang mencoba ide baru. Praktek kerja kreatif para guru dipengaruhi oleh potensi kreatif para guru, dengan koefisien R2 sebesar 0,78. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan para guru untuk menampilkan praktek kerja kreatif sebagian besar (78%) ditentukan oleh potensi kreatif yang mereka miliki. Dengan memperhatikan variabel manifes dari potensi kreatif dan praktek kerja kreatif, maka dapat dikatakan bahwa (a) kemampuan guru untuk menampilkan ide baru, (b) ketangkasan guru dalam mengembangkan dan mengadopsi ide dari orang lain ke dalam lingkungan kerja, (c) kemampuan guru untuk menemukan cara kerja baru yang digunakan untuk memecahkan masalah, dan (d) kesenangan guru untuk mencoba ide baru berpengaruh terhadap (a) kemauan guru untuk menggunakan ketrampilan dan kemampuan kreatif dalam menyeleaikan pekerjaan, (b) kemauan guru untuk mengembangkan ide baru di tempat kerja, dan (c) kebebasan guru untuk mengambil cara kerja yang dinilai efisien dalam menyelesaikan pekerjaan. Dukungan organisasi yang dirasakan guru dimanifestasikan oleh (a) adanya pengakuan terhadap para guru yang dinilai mampu mengembangkan kreatifitas kerja, (b) dukungan lembaga kepada para guru untuk bisa memecahkan persoalan kerja secara kreatif, (c) para guru didorong untuk berani mengambil resiko dalam bekerja, dan (d) adanya penghargaan terhadap para guru yang mampu mengembangkan kreatifitas kerja. Praktek kerja kreatif dari para guru dipengaruhi oleh dukungan organisasi yang dirasakan staf, dngan koefisien R2 sebesar 0,64. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan para staf untuk menampilkan praktek kerja kreatif sebagian besar (64%) ditentukan oleh dukungan lembaga yang dirasakan staf. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa (a) adanya pengakuan terhadap para guru yang dinilai mampu mengembangkan kreatifitas kerja, (b) dukungan lembaga kepada para guru untuk bisa memecahkan persoalan kerja secara kreatif, (c) para guru didorong untuk berani mengambil resiko dalam bekerja, dan (d) adanya penghargaan terhadap para guru yang mampu mengembangkan kreatifitas kerja berpengaruh terhadap (a) kemauan guru untuk menggunakan ketrampilan dan kemampuan kreatif dalam menyeleaikan pekerjaan, (b) kemauan guru untuk mengembangkan ide baru di tempat kerja, dan (c) kebebasan guru untuk mengambil cara kerja yang dinilai efisien dalam menyelesaikan pekerjaan. Potensi kreatif individu akan menjadi aktual bila mereka mendapatkan dukungan dari lembaga, dengan koefisien R2 = 0,56. Hal ini menunjukkan bahwa apakah potensi kreatif akan 568
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
lebih cepat menjadi kreatifitas yang aktual yang ditunjukkan dengan adanya praktek kerja kreatif, hal itu akan ditentukan oleh kualitas dukungan dari lembaga yang dipersepsikan para individu. Kontribusi dukungan lembaga bagi berkembangnya potensi kreatif menjadi kreatifitas aktual sebesar 56%. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa (a) adanya pengakuan terhadap para guru yang dinilai mampu mengembangkan kreatifitas kerja, (b) dukungan lembaga kepada para guru untuk bisa memecahkan persoalan kerja secara kreatif, (c) para guru didorong untuk berani mengambil resiko dalam bekerja, dan (d) adanya penghargaan terhadap para guru yang mampu mengembangkan kreatifitas kerja berpengaruh terhadap (a) kemampuan guru untuk menampilkan ide baru, (b) ketangkasan guru dalam mengembangkan dan mengadopsi ide dari orang lain ke dalam lingkungan kerja, (c) kemampuan guru untuk menemukan cara kerja baru yang digunakan untuk memecahkan masalah, dan (d) kesenangan guru untuk mencoba ide baru. Sebagaimana telah dijelaskan dimuka bahwa kemampuan mengembangkan kreatifitas dan inovasi merupakan dua kompetensi yang sangat diperlukan sebuah organisasi dalam abad 21 agar terus mampu beradaptasi dalam era yang terus berubah. Kajian terdahulu juga menyatakan bahwa kreatifitas individu merupakan komponen utama yang akan menentukan organisasi dalam mendorong tumbuhnya inovasi, yang ditunjukkan dengan adanya kemampuan guru untuk menerapkan ide kreatif; dan dalam jangka panjang hal ini akan ikut menentukan kesuksesan dan kelanggengan hidup organisasi. Untuk itu dukungan organisasi terhadap para guru untuk menampilkan unjuk kerja kreatif sangat diperlukan. Organisasi yang mendukung para stafnya agar berani menampilkan cara kerja baru, ideide baru, dan berani mengambil resiko dari cara kerja baru yang diterapkan akan memungkinkan para staf lebih mampu mengembangkan kreatifitas kerjanya. Upaya pimpinan organisasi persekolahan untuk terus mendorong para guru dalam mengembangkan potensi kreatif dan cara kerja kreatif akan memungkinkan lebih berkembangnya spirit entrepreneurship dalam organisasi persekolahan. Spirit entrepreneurship inilah yang pada saat ini, dan dalam era-era mendatang; perlu untuk terus dikembangkan agar organisasi persekolahan akan tetap mampu berkembang dan terus bertahan dalam era persaingan yang kian ketat. Bila kreatifitas dan inovasi kerja merupakan variabel yang menentukan kelangsungan hidup organisasi, maka dukungan organisasi kepada para staf yang hendak menampilkan inovasi dan kreatifitas kerja merupakan conditio sine qua non. Pimpinan organisasi persekolahan perlu mengkreasikan suasana kerja yang lebih kondusif yang memungkinkan lembaga persekolahan bisa menjadi tempat persemaian yang subur bagi tumbuhnya sikap inovatif dan kreatif dari para guru. Saat sekarang sangat dibutuhkan keberadaan sosok guru yang didukung oleh kokohnya sikap inovatif dan kreatif. Kelak, para uru melalui dunia persekolahan, para guru diharapkan akan mampu mewariskan spirit untuk mengembangkan inovasi tiada henti dan kreatifitas tanpa batas kepada para siswanya. Bila spirit seperti itu mampu ditransformasikan kepada para generasi muda melalui kegiatan pendidikan, maka kita patut merasa optimis bahwa generasi kita ke depan akan tetap tegar untuk terlibat dalam era persaingan yang kian ketat.
Hasil Penelitian Beberapa tabel berikut ini adalah merupakan ringkasan hasil analisis data dengan menggunakan structural equation modelling (SEM). Tabel 1 sampai dengan tabel 3 menunjukkan hasil validitas konstruk dari masing-masing variabel laten. Tabel 4 menunjukkan Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
569
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
hasil reliabilitas konstruk dari variabel laten. Tabel 5 menunjukkan hasil analisis model persamaan struktural dengan tingkat keselarasan yang paling fit. Ringkasan hasil uji keselarasan model persamaan struktural tampak pada tabel 6. Hasil perhitungan validitas konvergen dan reliabilitas komposit tampak pada tabel 7.
No 1 2 3 4 5 6
Tabel 1 Validitas Konstruk Potensi Kreatif Dimensi Variabel R2 T-Value Ide baru (ide baru) 0,90 0,81 12,12 Pemecahan (pemecahan kreatif) 0,89 0,74 12,02 Adopsi ide (adopsi ide) 0,80 0,624 10,56 Cara kerja (kerja baru) 0,80 0,64 10,56 Keahlian (ahli) 0,89 0,79 12,02 ide baru (coba ide) 0,95 0,90 14,11
Kesimpulan Valid Valid Valid Valid Valid Valid
No 1 2 3 4 5
Tabel 2 Validitas Konstruk Praktek Kerja Kreatif Dimensi Variabel R2 T-Value Trampil- kreatif (trampil) 0,90 0,81 12,12 Pengembangan ide baru (ide baru) 0,88 0,77 12,00 Partisipasi kerja (partisipasi) 0,80 0,64 10,56 Bebas menentukan cara kerja (cara kerja) 0,95 0,90 14,11 Pengembangan potensi (potensi kreatif) 0,90 0,81 12,12
Kesimpulan Valid Valid Valid Valid Valid
No 1 2 3 4 5 6
Tabel 3 Validitas Konstruk Dukungan Organisasi Dimensi Variabel R2 T-Value Pengakuan kemampuan staf (pengakuan) 0,90 0,81 12,12 Penghargaan ide staf (penghargaan) 0,88 0,77 12,00 Dukungan untuk kreatif (dukungan) 0,89 0,79 12,02 Mekanisme kerja staf (mekanisme) 0,90 0,81 12,12 Dukungan staf ambil resiko (resiko) 0,90 0,81 12,12 Penghargaan staf (penghargaan kreatif) 0,95 0,90 14,11
Kesimpulan Valid Valid Valid Valid Valid Valid
No 1 2 3
Tabel 4 Koefisien Reliabilitas Masing-Masing Konstruk Variabel Laten Koefisien Reliabilitas Potensi kreatif (PKr) 0,84 Praktek kerja kreatif (PKjKr) 0,88 Dukungan Organisasi (DO) 0,90
Kesimpulan Reliabel Reliabel Reliabel
Tabel 5 Persamaan Model Struktural No Persamaan Struktural R2 1 PKjKr = 0,63PKr + 0,23 0,78 2 PKjKr = 0,52DO + 0,31 0,64 3 PKr = 0,44DO + 0,45 0,56 Keterangan: PKr = potensi kreatif, DO = dukungan organisasi, PKjKr = praktek kerja kreatif
570
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Tabel 6 Ringkasan Hasil Uji Keselarasan Model Struktural Keselarasan Model Koefisien Kreteria Kesimpulan Chi-square P-Value Df Cmin (2/Df) RMR (Standardized) RMSEA GFI AGFI CFI IFI NNFI
118,27 0,83 109 1,085 0,041 0,00 0,95 0,95 1,00 1,00 1,00
Non sig ( t table is 3.459 < 2:00 and a significance level ( a) of 0.001 or a < 0.05 then Ho is rejected , (2) test test hypothesis II with independent sample t-tests resulted in the value of t count > t table is 4.644 > 2.00 and a significance level ( a) of 0.000 or a < 0.05 then Ho is rejected, and (3) test the hypothesis III by ANOVA two yielding factor calculated F value of 6.948, while the value of F table at a significance level of 5% (0.05) is 3.99 . So F count > F table. Additionally acquired a significance level of 0.011 < 0.05 . Thus Ho is rejected. Based on the analysis and interpretation of data, it can be concluded that (1) there are differences in learning outcomes between students who are taught by STAD with students who are taught by Jigsaw method, (2) there are differences in learning outcomes between students who are highly motivated and students who have low motivation, and (3) there is an interaction between STAD and Jigsaw method and motivation toward learning outcomes of students. Keywords: Cooperative learning, STAD, Jigsaw, learning motivation, learning outcomes Abstrak Tujuan dari penelitian yang dilakukan di SMP 2 Ngariboyo dan SMP 1 Ngariboyo untuk menentukan: (1) perbedaan hasil belajar antara siswa kelas delapan yang diajarkan menggunakan pembelajaran kooperatif tipe STAD dan yang diajarkan dengan menggunakan pembelajaran kooperatif Jigsaw, (2) perbedaan antara hasil belajar siswa yang memiliki motivasi belajar yang tinggi dengan yang memiliki motivasi belajar rendah, dan (3) pelaksanaan interaksi pembelajaran kooperatif STAD dan metode Jigsaw dan motivasi terhadap hasil belajar. Metode pengumpulan data menggunakan tes dan kuesioner. Untuk menguji hipotesis digunakan sampel independen t-test dan ANOVA dua faktor. Hasil analisis data (1) untuk menguji hipotesis saya uji sampel independen t - hasil uji nilai t hitung> t tabel adalah 3,459 2,00 dan tingkat signifikansi (a) sebesar 0,000 atau F tabel. Selain itu diperoleh tingkat signifikansi 0,011 0.05, hal ini memberikan pengertian bahwa data memiliki varians-varians yang homogeny. Berdasarkan hasil uji persyaratan ini maka dikatakan memenuhi syarat untuk uji selanjutnya.
Uji Hipotesis I Dari hasil uji t-tes sampel independen model pembelajaran ditampilkan dalam bentuk table di bawah ini: Tabel 1. Hasil Uji T-tes sampel independen metode pembelajaran Independent Samples Test HASIL_BELAJAR Equal variances Equal variances not assumed assumed Levene's F .003 Test for Sig. Equality of .959 Variances t-test for T 3.459 3.459 Equality of Df 62 61.981 Means Sig. (2-tailed) .001 .001 Mean Difference 7.500 7.500 Std. Error Difference 2.168 2.168 95% Confidence Lower 3.166 3.166 interval of the Upper 11.834 11.834 Difference Dari table di atas diketahui bahwa t hitung sebesar 3,459 sedangkan nilai t tabel dengan df = 62 adalah 2.00. Berdasarkan perhitungan ini maka t hitung lebih besar dari t tabel yaitu 3,459 < 2.00 maka H0 ditolak sehingga memberikan arti bahwa terdapat perbedaan hasil belajar yang
606
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
disebabkan oleh penerapan pembelajaran kooperatif kooperatif tipe STAD.
metode
Jigsaw dan pembelajaran
Uji Hipotesis II Dari hasil uji t-tes sampel independen motivasi belajar ditampilkan dalam bentuk table berikut: Tabel 2. Hasil Uji T-tes Smapel Independen Motivasi Belajar Independent Samples Test
Levene's Test for Equality of Variances t-test for Equality of Means
HASIL_BELAJAR Equal variances Equal variances not assumed assumed 1.764
F Sig.
.189
T Df Sig. (2-tailed) Mean Difference Std. Error Difference 95% Confidence Lower interval of the Upper Difference
4.644 62 .000 9.548 2.056 5.438
4.808 61.966 .000 9.548 1.986 5.578
13.657
13.517
Dari table di atas diketahui bahwa nilai t hitung adalah 4,644 sedangkan nilai t tabel dengan df = 62 adalah 2,00. Berdasarkan perhitungan ini maka t hitung lebih besar dari t tabel yaitu 4,644 > 2,00 maka Ho ditolak sehingga memberikan arti bahwa terdapat perbedaan hasil belajar yang disebabkan oleh perbedaan motivasi belajar yang dimiliki oleh siswa.
Uji Hipotesis III Hasil analisis data untuk menguji hipotesis III menggunakan ANOVA dua factor yaitu: Deskriptif Hasil Uji Analisis Variansi 2 Faktor. Tabel 3. Deskripsi Statistic Dependent Variable:Hasil_Belajar Metode Metode Jigsaw
Metode STAD
Total
Motivasi Motivasi Tinggi Motivasi Rendah Total Motivasi Tinggi Motivasi Rendah Total Motivasi Tinggi Motivasi Rendah Total
Mean 79.05 65.15 73.41 68.00 63.53 65.91 73.83 64.29 69.66
Std. Deviation N 5.201 5.728 8.747 8.944 7.800 8.596 9.044 6.841 9.396
19 13 32 17 15 32 36 28 64
Berdasarkan tabel di atas dapat dijelaskan bahwa pembelajaran kooperatif metode Jigsaw dan pembelajaran kooperatif tipe STAD yang diterapkan dalam penelitian dapat meningkatkan motivasi belajar, dimana pada pembelajaran kooperatif metode Jigsaw jumlah siswa yang
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
607
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
memiliki motivasi tinggi lebih banyak yaitu 19 siswa dengan rerata hasil belajar sebesar 79.05 dibanding jumlah siswa yang memiliki motivasi tinggi pada pembelajaran tipe STAD yaitu 17 siswa dengan rerata nilai hasil belajar siswa adalah 79.05. Sedangkan pada pendekatan pembelajaran kooperatif tipe STAD hanya 17 siswa yang memiliki motivasi tinggi dengan rerata nilai hasil belajar sebesar 68.00. Dengan demikian secara umum siswa yang memiliki motivasi tinggi mendominasi pada kedua pembelajaran tersebut yaitu sebanyak 36 siswa dari 64 siswa sedangkan yang memiliki motivasi rendah sebanyak 28 siswa. Hal ini memberikan penjelasan bahwa secara umum terdapat perbedaan hasil belajar pada model pembelajaran yang diterapkan baik pada siswa yang memiliki motivasi tinggi ataupun siswa yang memiliki motivasi rendah. Tabel 4. Hasil Uji ANOVA 2 Faktor Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Hasil_Belajar Type III Sum of Source Squares df Mean Square F Sig. Corrected 2550.064a 3 850.021 16.931 .000 Model Intercept 298114.009 1 298114.009 5.938E3 .000 Metode 629.727 1 629.727 12.543 .001 Motivasi 1322.473 1 1322.473 26.341 .000 Metode * 348.820 1 348.820 6.948 .011 Motivasi Error 3012.373 60 50.206 Total 316090.000 64 Corrected Total 5562.437 63 a. R Squared = .458 (Adjusted R Squared = .431) Berdasarkan hasil uji ANOVA dua faktor pada tabel di atas dapat dijelaskan terkait dengan metode (pembelajaran kooperatif metode Jigsaw dan pembelajaran kooperatif tipe STAD), motivasi (motivasi tinggi dan rendah), serta metode dan motivasi yang merupakan interaksi antara pembelajaran dan motivasi sebagai berikut: 1) Nilai F hitung untuk Metode sebesar 12,543, nilai signifikansi lebih kecil dari α < 0,05 yaitu 0,001, df1 = 1 dan df2 = 63 didapatkan nilai F tabel = 3.99 sehingga dapat dijelaskan bahwa F hitung > F tabel, artinya ada perbedaan hasil belajar siswa kelas VIII yang diajar menggunakan pembelajaran kooperatif metode Jigsaw dibandingkan dengan siswa yang diajar menggunakan pembelajaran kooperatif tipe STAD 2) Nilai F hitung untuk motivasi = 26.341, nilai signifikansi lebih kecil dari α < 0,05 yaitu 0,000, df1 = 1 dan df2 = 63 didapatkan nilai F tabel = 3.99 sehingga dapat dijelaskan bahwa F hitung > F tabel, artinya ada perbedaan hasil belajar siswa yang memiliki motivasi belajar tinggi dibandingkan dengan siswa yang memiliki motivasi rendah 3) Nilai signifikansi pada interaksi antara metode (pembelajaran kooperatif metode Jigsaw dan pembelajaran kooperatif tipe STAD) dan motivasi (motivasi tinggi dan rendah) didapatkan nilai F hitung sebesar 6,948 atau lebih besar dari F tabel sebesar 3,99 dan tingkat signifikan sebesar 0.011 atau lebih kecil dari = 0.05, sehingga dapat dijelaskan bahwa
608
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
pembelajaran kooperatif metode Jigsaw dan pembelajaran kooperatif tipe STAD serta motivasi (motivasi belajar tinggi dan motivasi belajar rendah) memiliki pengaruh terhadap hasil belajar siswa di SMPN 2 Ngariboyo dan SMPN 1 Ngariboyo. Artinya ada interaksi antara penerapan pembelajaran kooperatif metode Jigsaw dan pembelajaran kooperatif tipe STAD serta motivasi belajar siswa terhadap hasil belajar siswa kelas VIII di SMPN 2 Ngariboyo dan SMPN 1 Ngariboyo. Dari hasil analisis data tersebut di atas maka dilakukan pembahasan sebagai berikut:
Penerapan Pembelajaran kooperatif tipe STAD dan Pembelajaran metode Jigsaw Berdasarkan hasil perhitungan dan hasil tes yang dilakukan pada masing-masing kelas dapat dijelaskan bahwa hasil belajar siswa kelas VIII di SMPN 2 Ngariboyo dan SMPN 1 Ngariboyo yang pada awal pembelajaran memiliki kemampuan yang sama, di mana rata-rata hasil belajarnya sama, setelah dilakukan perlakuan dengan menggunakan pembelajaran kooperatif tipe STAD dan pembelajaran metode Jigsaw mengalami peningkatan hasil belajar yang signifikan. Hal ini ditunjukkan dengan hasil perhitungan deskriptif dari masing-masing model pembelajaran yang diterapkan baik sebelum maupun setelah penerapan model pembelajaran ini, dimana siswa tertarik dan termotivasi untuk mengikuti pembelajaran yang diterapkan di kelas. Peningkatan hasil belajar siswa di dua sekolah tempat penelitian dapat dikatakan signifikan karena dibuktikan dengan uji beda rata-rata dengan nilai signifikansinya di bawah 0.05, sehingga perbedaan hasil belajar yang didapatkan oleh siswa di dua lokasi penelitian adalah berarti (tidak dapat diabaikan perbedaannya). Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan uji t, didapatkan hasil bahwa t hitung lebih besar dari t tabel, ini menunjukkan bahwa hasil belajar dipengaruhi oleh penerapan pembelajaran di kelas, di mana dalam penelitian ini pembelajaran kooperatif metode Jigsaw memiliki hasil belajar yang lebih tinggi dibandingkan siswa yang diajar dengan menggunakan pembelajaran kooperatif tipe STAD.Di samping itu, berdasarkan perhitungan didapatkan F hitung untuk faktor model pembelajaran lebih besar dari F tabel, artinya ada perbedaan hasil belajar siswa kelas VIII yang diajar menggunakan pembelajaran kooperatif tipe STAD dibandingkan dengan siswa yang diajar menggunakan pembelajaran metode Jigsaw di SMPN 2 Ngariboyo dan SMPN 1 Ngariboyo. Kedua hasil perhitungan ini menunjukkan bahwa hipotesis yang diajukan dapat diterima, artinya ada perbedaan hasil belajar siswa kelas VIII antara yang diajar menggunakan Pembelajaran kooperatif tipe STAD dan yang diajar menggunakan Pembelajaran metode Jigsaw di SMPN 2 Ngariboyo dan SMPN 1 Ngariboyo. Selain itu dalam penelitian ini, diketahui bahwa pembelajaran kooperatif metode Jigsaw ternyata lebih memiliki hasil belajar yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan pendekatan pembelajaran kooperatif tipe STAD. Hal ini disebabkan dalam pembelajaran kooperatif metode Jigsaw lebih disukai oleh siswa karena dalam pembelajaran ini siswa belajar dalam kelompok kecil yang terdiri dari 4-6 orang secara heterogen dan bekerja sama saling ketergantungan yang positif dan bertanggungjawab atas ketuntasan bagian materi pelajaran yang harus dipelajari dan menyampaikan materi tersebut kepada anggota kelompok yang lain, sehingga meningkatkan rasa tanggungjawab siswa terhadap pembelajarannya sendiri dan juga pembelajaran orang lain. Siswa tidak hanya mempelajari materi yang diberikan, tetapi mereka juga harus siap memberikan dan mengajarkan materi tersebut pada anggota kelompoknya yang lain. Dengan demikian, siswa saling tergantung satu dengan yang lain dan harus bekerja sama secara kooperatif untuk mempelajari materi yang ditugaskan. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
609
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Berdasarkan uraian di atas dapat dijelaskan bahwa hipotesis pertama dapat diterima, artinya terdapat perbedaan hasil belajar siswa kelas VIII antara yang diajar menggunakan pembelajaran kooperatif tipe Student Teams Achievement Division (STAD) dengan yang diajar menggunakan pembelajaran kooperatif metode Jigsaw di SMPN 2 Ngariboyo dan SMPN 1 Ngariboyo.
Perbedaan Hasil belajar Siswa dengan Motivasi Tinggi dan Motivasi Rendah Motivasi merupakan kondisi yang mendorong atau menjadi sebab seseorang melakukan sesuatu perbuatan atau kegiatan. Maka seseorang apabila akan melakukan aktivitas di dorong oleh suatu kekuatan, kekuatan pendorong inilah yang disebut dengan motivasi, motivasi yang dimaksud adalah motivasi belajar siswa, dimana siswa memiliki motivasi belajar tinggi dan motivasi belajar rendah, peningkatan motivasi ini memiliki dampak positif terhadap prestasi belajar siswa.. Apabila kita telaah, pada dasarnya pendapat ini mencakup tiga hal, yaitu 1) motivasi harus diawali dengan satu perubahan tenaga dalam diri seseorang, 2) ditandai dengan perubahan tingkah laku seseorang, dan 3) motivasi untuk memenuhi kebutuhannya. Jadi motivasi dalam hal ini sebenarnya merupakan respon dari suatu aktifitas. Berkenaan dengan motivasi belajar siswa, dalam penelitian ini didapatkan bahwa terdapat perbedaan hasil belajar siswa kelas VIII yang memiliki motivasi belajar tinggi dibandingkan dengan siswa kelas VIII yang memiliki motivasi rendah di SMPN 2 Ngariboyo dan SMPN 1 Ngariboyo. Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan uji t, didapatkan hasil bahwa t hitung lebih besar t tabel maka diketahui bahwa siswa dengan motivasi tinggi memiliki hasil belajar lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang memiliki motivasi rendah baik pada pembelajaran kooperatif metode Jigsaw maupun pembelajaran kooperatif tipe STAD. Hal ini berarti hasil belajar siswa dipengaruhi oleh motivasi belajarnya, yaitu siswa dengan motivasi belajar tinggi memiliki hasil belajar yang lebih baik daripada siswa yang memiliki motivasi belajar rendah. Berdasarkan uraian di atas dapat dijelaskan bahwa hipotesis kedua dapat diterima, artinya terdapat perbedaan hasil belajar antara siswa yang memiliki motivasi belajar tinggi dengan siswa yang memiliki motivasi belajar rendah di kelas VIII SMPN 2 Ngariboyo dan SMPN 1 Ngariboyo.
Interaksi Pembelajaran Kooperatif Metode Jigsaw, Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD dan Motivasi Belajar terhadap Hasil Belajar Berdasarkan analisis variansi 2 faktor dapat dijelaskan terdapat interaksi antara pembelajaran kooperatif metode Jigsaw dan pembelajaran kooperatif tipe STAD serta motivasi belajar yang dimiliki oleh siswa terhadap hasil belajarnya adalah signifikan atau berati. Hal ini ditunjukkan dengan nilai F hitung > F tabel, dengan tingkat singifikansi kurang dari 0.05 (5%) sehingga dapat dijelaskan bahwa terjadi interaksi antara penerapan pendekatan pembelajaran dan motivasi belajar siswa terhadap hasil belajar siswa kelas VIII di SMPN 2 Ngariboyo dan SMPN 1 Ngariboyo. Siswa dengan motivasi tinggi pada penerapan pembelajaran kooperatif metode Jigsaw akan meningkatkan hasil belajarnya, di mana terjadi interaksi antara model pembelajaran dan motivasi. Artinya siswa melakukan suatu kegiatan melalui model pembelajaran yang diterapkan. Munculnya atau dorongan untuk melakukan kegiatan belajar itulah yang merupakan motivasi bagi siswa. Motivasi yang dimiliki siswa inilah yang digunakan oleh siswa untuk sejalan dengan tujuan dari belajar itu sendiri. Motivasi adalah merupakan segala tenaga yang dapat
610
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
membangkitkan atau mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan. Ini dapat menjelaskan bahwa terdapat upaya atau usaha belajar siswa untuk mencapai tujuan belajar dan melakukan kegiatan belajar. Motivasi belajar yang dimiliki oleh siswa tentu akan sangat mempengaruhi hasil belajarnya, dimana seorang siswa yang memiliki motivasi tinggi akan bersedia untuk melakukan kegiatan dan aktifitas belajar, yang mendorong keinginan dari seorang siswa untuk lebih mengerti dan memahami sesuatu, sehingga terdapat arah tentang arah yang dipelajarinya. Berdasarkan uraian di atas, dapat dijelaskan bahwa hipotesis ketiga diterima yaitu, Ada interaksi antara pembelajaran kooperatif metode Jigsaw dan pembelajaran kooperatif tipe STAD serta motivasi belajar terhadap hasil belajar siswa kelas VIII di SMPN 2 Ngariboyo dan SMPN 1 Ngariboyo.
Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan di atas, maka dapat ditarik beberapa simpulan sebagai berikut. a. Ada perbedaan hasil belajar siswa kelas VIII antara yang diajar menggunakan pembelajaran kooperatif tipe Student Teams Achievement Division (STAD) dengan yang diajar menggunakan pembelajaran kooperatif metode Jigsaw di SMPN 2 Ngariboyo dan SMPN 1 Ngariboyo, dimana pembelajaran kooperatif metode Jigsaw memiliki hasil belajar yang lebih baik jika dibandingkan dengan pembelajaran kooperatif tipe STAD yang ditunjukkan dengan nilai rata-rata hasil belajar siswa, t hitung lebih besar dari t tabel (3,459 > 2,00). b. Ada perbedaan hasil belajar siswa kelas VIII antara yang memiliki motivasi belajar tinggi dengan siswa yang memiliki motivasi belajar rendah di SMPN 2 Ngariboyo dan SMPN 1 Ngariboyo, di mana siswa dengan motivasi tinggi memiliki hasil belajar yang lebih baik dibandingkan dengan siswa yang memiliki motivasi rendah yang ditunjukkan dengan nilai rata-rata hasil belajar siswa serta nilai t hitung > t tabel (4,644 > 2,00). c. Ada interaksi implementasi pembelajaran kooperatif tipe Student Teams Achievement Division (STAD) dan metode Jigsaw serta motivasi belajar terhadap hasil belajar siswa kelas VIII SMPN 2 Ngariboyo dan SMPN 1 Ngariboyo , di mana kelas yang memperoleh penerapan pembelajaran kooperatif metode Jigsaw pada siswa yang memiliki motivasi tinggi memiliki hasil belajar yang lebih baik jika dibandingkan dengan hasil belajar pada siswa dengan pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan motivasi tinggi, dan juga ditunjukkan oleh F hitung lebih besar dari F Tabel, yaitu (6,948 > 3,99). Saran Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas peneliti menyarankan sebagai berikut: a. Bagi Guru, mengacu pada penelitian ini, sebaiknya guru tidak ragu untuk menggunakan pembelajaran kooperatif metode Jigsaw yang terbukti memberikan kontribusi peningkatan hasil belajar siswa. Di samping itu, guru juga diharapkan dapat mendorong motivasi belajar siswa sehingga siswa terlibat aktif dalam kegiatan belajar mengajar.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
611
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
b. Hendaknya guru dapat mengembangkan metode pembelajaran lain yang lebih inovatif sehingga ditemukan model pembelajaran yang disenangi siswa dan mampu meningkatkan hasil belajar siswa. c. Bagi Kepala Sekolah hendaknya mendorong guru untuk melakukan penelitian tindakan kelas, untuk menemukan suatu model pembelajaran yang tepat dan sesuai dengan kondisi siswa di sekolah. Dan perlu pula mendorong penerapan pembelajaran kooperatif metode Jigsaw karena terbukti memberikan kontribusi pada hasil belajar siswa. Daftar Pustaka Amri, Sofan. 2013. Pengembangan & Model Pembelajaran dalam Kurikulum 2013.Jakarta: PT.Prestasi Pustakaraya. Arends, R. I. 2001. Learning to Teach. New York: McGraw Hill Companies Arikunto, Suharsimi.2002, Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Bina Aksara. Darmawan, Didit. 2006. Metodologi Penelitian Sebuah Pengantar, Metromedia Mandiri Pustaka: Surabaya. Ibrahim, M., Fida R., Nur, M. dan Ismono. 2000. Pembelajaran Kooperatif.Surabaya: Unesa Press. Isjoni. 2010. Cooperative Learning, Efektifitas, Pembelajaran Kelompok. Bandung: Alfabeta. Lie-Anita. 2004. Cooperatif Learning. PT. Gramedia Widisarana Indonesia. Jakarta. Mohyi, Achmad. 2005. Teori dan Perilaku Organisasi. UMM Press. Malang Robbins, Stephen P., 2003, Perilaku Organisasi, Edisi Ketujuh, Jilid 1 dan 2, Terjemahan, PT. Prenhallindo, Jakarta Rusman,2012.Model-Model Pembelajaran, Edisi Kedua,Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, Sardiman, A.M. 2000. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Sia, Tjundjing. 2001. Hubungan Antara IQ, EQ, dan QA dengan Prestasi Studi Pada Siswa SMU. Jurnal Anima Vol. 17 no. 1 Slavin, R. 1995. Cooperatif Learning, Allyn and Bacon Publisher Sudikin & Mundir. 2005. Metode Penelitian: Membimbing dan Mengantar Kesuksesan Anda dalam Dunia Penelitian. Insan Cendikia: Surabaya. Supriyono , Agus. 2009. Cooperative Learning, teori dan Aplikasi PAIKEM. Pustaka Pelajara. Yogyakarta Taufik,Imam, 2010, Kamus Praktis Bahasa Indonesia,Ganeca.Jakarta Umar, Husein, 2003, Metode Riset Perilaku Organisasi, PT. Gramedia Pustaka Utama Jakarta. Usman, Uzer, Mohammad. Menjadi Guru Profesional. Remaja Rosdakarya: Bandung. Widayat. 2004. Metode Penelitian Pemasaran, Aplikasi Software SPSS. Edisi Pertama. Penerbit UMM Press. Malang. Winarsunu, Tulus, 2002. Statistik Dalam Penelitian Psikologi dan Pendidikan, Edisi Pertama. Malang: Penerbit UMM Press
612
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Penerapan Metode Polya Dalam Menyelesaikan Soal Cerita Pada Pokok Bahasan Aritmatikasosial Di Kelas VII Putra SMP Yadika Bangil Andika Setyo Budi Lestari2 ([emailprotected]) Abstract Learning mathematics has a goal to have the problem solving capabilities include the ability to understand problems, make models, and interpret the obtained solution. To be able to train and develop students' problem solving skills with word problems. To finish it is done by applying the method Polya. This study aimed to describe the method of application of Polya in solving word problems with subject aritmatikasosial in class VII SMP Yadika Bangil. The study was a qualitative descriptive study a class action by applying Kemmis and Mc. Taggart which consists of four components, namely: 1) Planning, 2) Implementation of action, 3) Observation and 4) Reflection. In this study, data were collected through observation sheets, interviews, written tests, and questionnaires. Application of Polya method to solve the story on the subject in class VII SMP aritmatikasosial Yadika Bangil in the first cycle is of four stages Polya, the fourth stage is the stage of checking the answers obtained by kalasikal achievement percentage is still low at 9%. It shows most of the students are still not able to re-examine the results or answer to the problems that exist, because the students are still not used and has not been able to check the answer. After reflection and improvement in cycle II, steps to resolve the matter of the story according to Polya has been reached with an increase in the ability of the student. Based on a questionnaire completed students, there are four students who are still difficult and there are 2 students who are not yet familiar with the intention of a given problem. However, most students find it easier to completing the matter with Polya.Sedangkan method based on interviews, the students helped finish the story about Polya method. Keywords: Methods Polya, story problems, aritmatikasosial Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dari penerapan metode Polya dalam menyelesaikan soal cerita dengan pokok bahasan aritmatikasosial pada siswa kelas VII SMP YADIKA Bangil. Penelitian yang dilakukan adalah penelitian tindakan kelas diskriptif kualitatif dengan menerapkan Kemmis dan Mc. Taggart yang terdiri dari 4 komponen yaitu: 1) Perencanaan, 2) Pelaksanaan Tindakan, 3) Observasi dan 4) Refleksi. Pada penelitian ini, data dikumpulkan melalui lembar observasi, wawancara, tes tertulis, dan angket. Penerapan metode polya untuk menyelesaikan soal cerita pada pokok bahasan aritmatikasosial di kelas VII SMP YADIKA Bangil pada siklus I adalah dari empat tahapan polya, tahapan keempat yaitu tahap pengecekan jawaban diperoleh prosentase ketercapaian secara kalasikal yang masih rendah sebesar 9% . Hal ini menunjukkan sebagian besar siswa masih belum mampu untuk memeriksa kembali hasil atau jawaban dari permasalahan yang ada, dikarenakan siswa masih belum terbiasa dan belum bisa mengecek jawaban tersebut. Setelah dilakukan refleksi dan perbaikan pada siklus II, langkah-langkah penyelesaian soal cerita menurut polya sudah tercapai disertai adanya peningkatan kemampuan siswa. Berdasarkan angket yang diisi siswa, ada 4 siswa yang merasa masih kesulitan dan ada 2 siswa yang merasa belum paham dengan maksud soal yang diberikan. Namun sebagian besar siswa merasa lebih mudah dalam menyelesakan soal
2
Dosen Program Studi Pendidikan Matematika STKIP PGRI Pasuruan, Jawa Timur, Indonesia
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
613
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
dengan Metode Polya.Sedangkan berdasarkan wawancara, siswa terbantu menyelesaikan soal cerita dengan Metode Polya. Kata Kunci: Metode polya, soal cerita, aritmatikasosial.
Pendahuluan Dari masa ke masa, pembelajaran matematika selalu menjadi sorotan, baik pada tingkat dasar maupun menengah. Berbagai usaha telah dilakukan pemerintah untuk memperbaiki mutu pendidikan Indonesia, diantaranya melalui perbaikan kualitas guru, standarisasi kelulusan ( peningkatan standar kelulusan), perbaikan sarana dan prasarana sekolah, peningkatan kesejahtaraan guru dan dosen, peningkatan anggaran pendidikan, dan pernggantian kurikulum pendidikan dasar, menengah dan perguruan tinggi. Tuntutan dalam dunia pendidikan sudah banyak berubah, kita tidak bisa lagi mempertahankan paradigma lama yaitu teacher centre (guru memberikan pengetahuan kepada siswa yang pasif). Tetapi hal ini nampaknya masih banyak diterapkan di ruang-ruang kelas dengan alasan pembelajaran seperti ini adalah praktis dan tidak menyita waktu (dalam J.DROST, SJ. 2005). Dalam KTSP yang merupakan penyempurnaan dari kurikulum 2004 pada dasarnya mempunyai prinsip yang sama, yaitu bahwa siswa bukan lagi sebagai objek pembelajaran melainkan subjek pembelajaran. Pembelajaran dalam KTSP, mengupayakan proses yang lebih memperdayakan siswa. Siswa dituntut untuk bersikap aktif, kreatif dan inovatif dalam menanggapi setiap pelajaran yang diajarkan. Setiap siswa harus dapat memanfaatkan ilmu yang diperolehnya dalam kehidupan sehari-hari, untuk itu setiap pelajaran selalu dikaitkan dengan lingkungan sekitar serta memberikan motivasi kepada siswa dengan menyampaikan manfaatnya dalam lingkungan sosial masyarakat. Sikap aktif, kreatif, dan inovatif dapat terwujud dengan menempatkan siswa sebagai subyek pendidikan. Guru adalah sebagai fasilitator dan bukan sumber utama pembelajaran, guru bertugas untuk menciptakan sistem lingkungan yang membelajarkan subjek pembelajaran agar tujuan pembelajaran dapat tercapai secara optimal. Tujuan pembelajaran matematika menurut Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) (Depdiknas, 2006:10) bahwa peserta didik dituntut untuk memiliki kemampuan pemecahan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, membuat model, dan menafsirkan solusi yang diperoleh. Salah satu pembelajaran matematika yang dapat melatih dan mengembangkan kemampuan pemecahan masalah siswa adalah pembelajaran soal cerita. Kegiatan dalam kehidupan sehari-hari yang sangat erat hubungannya dengan penerapan matematika adalah pada kegiatan jual beli atau transaksi perdangan. Pada saat istirahat siswa menuju kantin untuk membeli makanan atau setibanya di rumah pergi ke warung untuk membeli sesuatu, mendengar atau menyaksikan orang di lingkungan sekitar melakukan transaksi menjual atau membeli suatu barang. Sebenarnya penerapan atematika sudah dilakukan oleh siswa baik di sekolah maupun di rumah. Kegiatan ini belum disadari oleh siswa bahwa mereka sudah menerapkan matematika dalam kehidupan sehari-hari dan ketika siswa melakukan kegiatan jual atau beli dalam kehidupan sehari mereka tanpa mengalami kesulitan. Namun, ketika di sekolah dihadapkan dengan soal berbentuk cerita yang sbenarnya berkaitan dengan kegiatan sehari-hari, mereka masih mengalami kesulitan dalam menyelesaikannya. Berdasarkan komentar yang didapat peneliti pada saat melakukan observasi di lapangan, meskipun banyak siswa yang gemar dengan matematika tetapi siswa masih mengatakan bahwa matematika merupakan pelajaran yang sulit. Dalam hal ini yaitu kesulitan dalam menyelesaikan
614
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
soal cerita. Siswa sebelum menyelesaikan sebuah soal, harus memahami soal itu secara menyeluruh. Ia harus tahu apa yang diketahui, apa yang dicari, rumus atau teorema yang dapat digunakan dan cara menyelesaikannya. Untuk itu dalam mengerjakan soal-soal matematika diperlukan siasat atau strategi dalam penyelesaiannya. Keberhasilan proses pembelajaran merupakan hal utama yang didambakan dalam melaksanakan pendidikan di sekolah. Dalam proses pembelajaran, komponen utama adalah guru dan siswa. Agar proses pembelajaran berhasil, guru diharapkan mampu menerapkan metode yang tepat dan sesuai dengan pengajaran matematika, guru diharapkan pula mampu menanamkan pengenalan lambang-lambang, konsep, prinsip dan bagaimana menanamkan penggunaan prinsip atau rumus yang ada. Dalam kamus Bahasa Indonesia dari kata soal dan cerita yang mempunyai arti hal atau masalah yang harus dipecahkan dan cerita artinya tuturan yang membentangkan bagaimana terjadinya suatu hal yang dipecahkan. Dalam pengajaran matematika, pemecahan masalah sudah umumnya dalam bentuk soal cerita, biasanya soal cerita disajikan dalam cerita pendek. Cerita yang diungkapkan dapat merupakan masalah kehidupan sehari-hari. Dalam penelitian ini yang dimaksud soal cerita adalah soal matematika yang disajikan dengan kalimat yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari serta memuat masalah yang menuntut pemecahan. Kemampuan siswa yang dibutuhkan untuk menyelesaikan soal cerita tidak hanya kemampuan skill (ketrampilan) dan mungkin algoritma tertentu saja melainkan dibutuhkan juga kemampuan yang lain, yaitu kemampuan dalam menyusun rencana atau strategi yang akan digunakan dalam mengerjakan soal. Soal cerita dapat melatih siswa untuk memecahkan masalah dan menyelesaikan soal cerita, siswa diharapkan mampu mengambil keputusan. Hal ini disebabkan siswa tersebut menjadi terampil tentang bagaimana mengumpulkan informasi yang relefan, menganalisis informasi dan menyadari betapa perlunya meneliti kembali hasil yang diperoleh. Mengingat besarnya peranan matematika pada disiplin ilmu lain, maka kemampuan siswa dalam memecahkan masalah dan penyelesaian soal cerita, perlu sedini mungkin ditingkatkan. Peningkatan tersebut dapat ditempuh dengan cara mengajar matematika dengan penekanan pada eksplorasi serta model berpikir matematika. Dalam mata pelajaran matematika, banyak dijumpai soal-soal yang berbentuk cerita, maka guru harus tepat dalam memberikan metode pengajaran. Metode Polya merupakan metode yang menyatakan teknik pemecahan masalah yang menarik, dalam menyelesaikan soal cerita dengan langkah-langkah yang direncanakan, yang terdiri dari langkah memahami masalah, membuat rencana, melaksanakan rencana, dan memeriksa kembali. Yang dimaksud dalam menerapkan metode polya di sisni adalah menrapkan langkahlangkah penyelesaian soal cerita menurut Polya yaitu : 1. Memahami masalah Dalam langkah ini yang harus dilakukan adalah membaca soal dengan seksama sehingga benar-benar dimengerti arti dari semua kata dalam soal. Buat tanda khusus untuk beberapa istilah yang digunakan kalimat dalam soal. Tentukan apa yang diketahui dan apa yang tidak diketahui. 2. Menyusun rencana Langkah kedua ini merupakan kunci dari empat langkah ini. Dalam menyusun rencana penyelesaian banyak strategi dan teknik yang digunakan dalam menyelesaikan masalah. 3. Pelaksanaan rencana Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
615
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Jika dalam langkah kedua telah berhasil dirinci dengan lengkap, maka dalam pelaksanaan rencana penyusunan soalnya menjadi bentuk yang sederhana dan melakukan prhitungan yang diperlukan. Perancangan yang mantap membuat pelaksanaan rencana lebih baik. 4. Memeriksa kembali Langkah keempat ini penting, walaupun sering dilupakan dalam menyelesaikan masalah. Memeriksa kembali dari penyelesaian masalah yang ditemukan dapat menjadi dasar yang penting untuk penyelesaian masalah yang akan datang. (Dalam Polya, How To Solve It, 1957) Menurut keterangan guru pengajar matematika kelas VII Sebelum dilakukan penerapan metode polya siswa diberikan soal cerita yang sederhana kemudian siswa diminta untuk menyelesaikan ternyata dari hasil pekerjaan siswa hanya ada 4 siswa dari 22 siswa kelas VII putra yang dapat mengerjakan dengan tepat. Berdasarkan uraian di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh deskripsi dari penerapan langkah-langkah Polya dalam menyelesaikan soal cerita dengan pokok bahasan aritmatika sosial pada siswa kelas VII putra SMP YADIKA Bangil.
Metode Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas yang desainnya mengacu pada model Kemmis dan Mc. Taggart (Arikunto, 2009:16), terdiri atas 4 komponen yaitu: (1) perencanaan, (2) pelaksanaan tindakan, (3) observasi dan (4) refleksi. Penelitian ini dilakukan secara deskriptif yang menggunakan pendekatan kualitatif yaitu dengan menggambarkan makna data atau fenomena yang diperoleh peneliti dengan menunjukkan bukti-bukti, dalam hal ini bukti didapat dari hasil tes tertulis dan wawancara. Subjek penelitiannya adalah siswa kelas VII putra sebanyak 22 siswa di SMP Yadika Bangil. Dalam pelaksanaan kegiatan penelitian dibantu oleh guru pengajar matematika kelas VII, karena peneliti bukanlah guru pengajar di kelas VII. Penyampaian konsep aritmatika sosial disampaikan oleh guru matematika kelas VII, pada saat kegiatan di kelas peneliti bertindak sebagai observer. Instrumen yang digunakan berupa lembar kerja untuk siswa yang berisi latihan-latihan soal, isisan angket guna mengetahui pendapat siswa secara tidak langsung serta wawancara yang dilakukan langsung oleh peneliti kepada beberapa siswa guna mengetahui pendapat siswa secara lansung.
Teknik Pengolahan dan Analisis Data Melakukan analisis terhadap penyelesaian soal-soal hasil tes. Analisis atau pengolahan terhadap penyelesaian soal dari hasil tes dimaksudkan untuk mengetahui apakah siswa dapat menyelesaikan setiap tahap pemecahan masalah menurut Polya (tahap tertentu). Pada setiap langkah atau tahap ada skor tertentu sehingga pencapaian siswa dapat diukur dengan menggunakan rumus :
P
A 100% M
Keterangan : P : Persentase hasil belajar siswa A : Skor yang diperoleh M : Skor maksimal
616
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Dari rumus di atas akan didapatkan hasil perhitungan berupa persentase dengan pengelompokan kategori sebagai berikut :
Tabel 2.1 Preentase kemampuan siswa No 1 2 3 4 5
Persentase P 90 80 P < 90 65 P < 80 50 P < 65 P < 50
Kategori Sangat Baik Baik Cukup Baik Kurang Baik Kurang Sekali
Tabel 2.2 Rubrik Penilaian Kemampuan Siswa Aspek yang dinilai
Pemahaman masalah/soal
Perencanaan strategi penyelesaian soal
Pelaksanaan rencana strategi penyelesaian
Pengecekan jawaban
Reaksi terhadap soal atau masalah Tidak memahami soal (tidak ada jawaban) Tidak mengindahkan syarat-syarat soal (cara interpretasi soal kurang tepat) Memahami soal dengan baik Tidak ada rencana strategi penyelesaian Strategi yang dijalankan kurang relevan Menggunakan satu strategi tertentu tetapi tidak dapat dilanjutkan/salah langkah Menggunakan satu strategi tertentu tetapi mengarah pada jawaban yang salah Menggunakan beberapa strategi yang benar dan mengarah pada jawaban yang benar pula Tidak ada penyelesaian sama sekali Ada penyelesaian, tetapi prosedur tidak jelas Menggunakan satu prosedur tertentu yang mengarah kepada jawaban yang benar Menggunakan satu prosedur tertentu yang benar tetapi salah dalam menghitung Menggunakan prosedur tertentu yang benar dan hasil benar Tidak diadakan pengecekan jawaban Pengecekan hanya pada jawaban (perhitungan) Pengecekan hanya pada prosesnya Pengecekan terhadap proses dan jawaban
Skor 0 1 2 0 1 2 3 4 0 1 2 3 4 0 1 2 3
Keempat langkah Polya tersebut akan digunakan sebagai pedoman untuk mengetahui kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal cerita.
Hasil Penelitian Pada tiap siklus, kegiatan inti yang dilakukan adalah menyelesaikan soal cerita dengan metode polya. Pada siklus I lembar kerja siswa sengaja diberikan beberapa pertanyaan. Hal ini
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
617
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
bertujuan untuk mengarahkan siswa siswa pada 4 tahapan metode Polya yaitu: memahami masalah (mengetahui hal apa saja yang diketahui, apa yang perlu dicari solusinya), merencanakan dan menentukan formula(rumus yang tepat), melaksanakan rencana, meneliti atau mengecek kembali. Berdasarkan hasil pekerjaan siswa yang telah peneliti periksa hampir semua siswa mampu menjawab pertanyaan yang ada pada soal. Berikut ini akan peneliti uraikan hasil penerapan metode polya untuk menyelesaikan soal cerita aritmatika sosial pada siswa kelas VII putra di SMP YADIKA Bangil. Berikut ini adalah soal yang diberikan kepada siswa. Masalah “Sepeda Motor”. Pak Karta membeli sebuah sepeda motor merk Vega T dengan harga Rp12.000.000,00. Beberapa bulan kemudian karena kebutuhan yang mendesak, sepeda motor tersebut dijual kembali dengan harga Rp 9.000.000,00. a. Berapa harga beli sepeda motor tersebut? b. Berapa harga jual sepeda motor tersebut? c. Apakah harga beli lebih besar dari harga jual? Atau sebaliknya? d. Untung atau rugikah Pak Karta? e. Berapa besar keuntungan atau kerugian Pak Karta? f. Periksa/cek kembali jawabanmu! Berdasarkan soal di atas untuk pertanyaan nomer 1 seluruh siswa mampu menjawab pertanyaan yang diberikan menanyakan harga beli sepeda motor yaitu Rp12.000.000,00. Begitu pula untuk menjawab pertanyaan yang ke dua tentang harga jual sepeda motor, seluruh siswa mampu menjawab yaitu sebesar Rp9.000.000. Pada pertanyaan ini sesuai dengan langkah polya yang pertama yaitu memahami masalah. Supaya siswa mengetahui data apa saja yang terdapat pada soal, maka diarahkan melalui pertanyan pertama dan kedua. Pertanyaan yang ketiga adalah membandingkan antara harga jual dan harga beli. Pertanyaan ini guna mengarahkan siswa pada langkah penyelesaian soal cerita menggunakan metode polya yaitu menyusun rencana serta mencari keterkaitan dari data yang ada. Pada pertanyaan ini ada dua siswa dari 22 siswa yang belum mampu menjawab dengan tepat, bahwa harga beli sepeda motor lebih mahal daripada harga jual sepeda motor. Berdasarkan analisis peneliti dua siswa tersebut menjawab pertanyaan ini dikarenakan kurang teliti dalam membaca soal sehingga terjadi kesalahan menjawab. Pertanyaan berikutnya adalah “untung atau rugi yang dialami oleh Pak Karta”. Pertanyaan ini masih mengarahkan siswa pada langkah kedua metode Polya yaitu menentukan hubungan dari data yang diketahui pada soal, berkaitan dengan soal nomer sebelumnya untuk dapat menentuan formula atau rumus yang tepat dalam menyelesaikan permasalahan yaitu jika harga beli lebih mahal daripada harga jual maka Pak Karta akan mengalami kerugian. Pertanyaan berikutnya adalah menentukan besar keuntungan atau kerugian yang dialami oleh Pak Karta. Pertnyaan ini mengarahkan siswa pada langkah Metode Polya yang ke tiga yaitu melaksanakan rencana, yang berarti setelah siswa mengetahui bahwa Pak Karta mengalami kerugian maka untuk mencari besarnya kerugian adalah dengan mencari selisih antara harga beli dan harga jual sepeda motor. Sehingga di dapat : Rugi = Rp 12.000.000,00 – Rp 9.000.000,00 = Rp 3.000.000,00.
618
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Peneliti menemukan sesuatu yang berbeda pada saat mengecek jawaban siswa. Ada siswa yang berinisial Rz menjawab Pak Karta mengalami kerugian sudah betul, namun yang dilakukan siswa ini adalah menghitung terlebih dahulu selisih antara harga jual dan harga beli, sehingga memperoleh jawaban –Rp 3.000.000,00. Untuk mengklarifikasi jawaban yang diberikan siswa, peneliti bertanya langsung kepada siswa tentang proses pengerjaan yang telah dilakukan siswa. Berdasarkan penjelasan siswa, tanda – (negatif) dari hasil perhitungan adalah menunjukkan kerugian. Konsep yang diterima siswa ini adalah selalu mengurangkan harga jual dengan harga beli, kalau hasilnya positif maka untung, jika hasilnya negatif maka kerugian yang diderita oleh seorang pedagang. Tahap terakhir adalah meminta siswa untuk mengecek kembali sesuai dengan langkah pada metode Polya yang ke empat. Pada saat pengecekan kembali kebanyakan siswa melewatkan langkah ini, karena siswa masih mengalami kesulitan dan belum faham bagaimana cara mengecek kembali dari hasil yag diperoleh. Pada tahap pengecekan sebenarnya selain mengecek hasil perhitungan juga bisa untuk mengecek apakah jawaban yang didapat sudah sesuai dengan konsep yang ada. Masalah sepeda motor ini yang perlu di cek adalah apakah sudah betul hitungannya jika kerugian ditambah dengan harga jual apakah akan menghasilkan nominal yang sama dengan harga beli sepeda motor tersebut. Pada saat pengecekan siswa diharapkan sudah dapat memberikan jawaban atas permasalahan yang diberikan. Pengerjaan LKS mengenai jual belisepeda motor di atas waktu pengerjaan yang diberikan kepada siswa sekitar 20’ (dua puluh menit), setelah siswa mengerjakan dilakukan pembahasan secara bersama-sama kemudian siswa diberi LKS berikutnya, namun pada LKS ini tidak diberikan pertnyaan secara terbimbing. Pada soal hanya diberikan perintah dalam mengerjakan soal. Berikut ini akan dibahas hasil dari LKS yang telah dikerjakan siswa : 1. Pak Bejo menjual dua buah mobil dengan harga masing-masing Rp46.000.000,-. Tentukan harga beli masing-masing mobil tersebut jika Pak Bejo menderita rugi Rp1.300.000 dari hasil penjualan kedua mobil tersebut! Perintah Soal : Baca soal dengan teliti dan tulislah apa yang diketahui dan yang ditanyakan! Misalkan dengan sesuatu dari apa yang diketahui! Cariah hubungan dari apa yang diketahui dan tentukan rumus yang dapat digunakan! Selesaikan soal dengan rumus yang telah ditentukan! Periksalah kembali dari jawaban yang sudah ditemukan! Pada lembar kerja yang ke dua ini, soal yang diberikan peneliti mirip dengan soal yang diberikan oleh guru pengajar di kelas ini. Mirip dalam artian konteks soal yang diberikan sama yaitu mengenai jual beli mobil. Siswa diminta menyelesaikan soal berdasarkan langkah-langkah pada Penerapan Metode Polya. Dalam menyelesaikan soal ini siswa diminta mengerjakan secara individu, namun siswa masih diperkenankan untuk berdiskusi dengan teman sebangkunya. Berdasarkan hasil pengamatan peneliti selama siswa mengerjakan soal beberapa siswa masih nampak bingung, namun sebagian besar siswa konsentrasi dan asyik mengerjakan soal. Berikut ini aka disajikan tabel hasil pekerjaan siswa menyelesaikan soal cerita menggunakan Metode POLYA :
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
619
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
No
Nama (Inisial)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
AS ARA AW DA Dn HA Ha MA MAR MARh MNP MAv MB MRAd MAM MF MM MR Rz SH Sy Cd
Tahap 1
Tahap 2
Tahap 3
Tahap 4
1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
3 4 4 4 3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4
2 4 4 4 2 2 4 4 4 3 4 2 4 4 4 4 4 3 4 4 4 4
0 1 0 0 0 0 0 1 1 0 1 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0
Prosentase Pencapaian 46% 85% 77% 77% 54% 62% 77% 85% 85% 70% 85% 62% 77% 77% 77% 85% 85% 70% 77% 77% 77% 77%
Berdasarkan tabel di atas, ada satu siswa yang termasuk dalam kategori “Kurang Sekali”, siswa atas nama AS dengan pencapaian prosentase sebesar 46%, ada tiga siswa termasuk kategori “Kurang Baik” dengan pencapaian sebesar 62%. Selebihnya ada 12 siswa yang tergolong kategori “Cukup Baik” dengan pencapaian berkisar antara 65% sampai 80% dan ada enam siswa yang tergolong “Baik” dengan pencapaian sebesar 80% sampai 90%. Prosentase pencapaian dari empat tahap penyelesaian soal cerita dengan menggunakan metode polya pada tahap pertama yaitu pemahan soal sebesar 97 %, pada tahp ke dua yaitu perencanaan strategi penyelesaian soal sebesar 97%, tahapan yang ketiga yaitu pelaksanaan rencana strategi penyelesaian sebesar 88 %, sedangkan pada tahapan yang ke empat yaitu pengecekan jawaban sebesar 9%. Setelah dilakuakan refleksi untuk perbaikan pada pertemuan atau siklus selanjutnya adalah siswa diingatkan agar mengecek atau memeriksa kembali jawabannya. Pada siklus II hari berikutnya peneliti mencoba kembali memberikan lembar kerja kepada siswa soal cerita dengan menerapkan Metode Polya. Berikut ini soal pada hari ke dua 1. Seorang pedagang buah-buahan membeli 350 buah jeruk dengan harga Rp140.000,-. Kemudian 210 jeruk dijual dengan harga Rp600,- per buah, 100 jeruk dijual dengan harga Rp450,- per buah, dan sisanya busuk. Hitnglah keuntungan atau kerugian dari pedagang tersebut! Baca soal dengan teiti dan tulislah apa yang diketahui dan yang ditanyakan Misalkan dengan sesuatu dari apa yang diketahui Cariah hubungan ari apa yang diketahui dan tentukan rumus yang dapat digunakan
620
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Selesaikan soal dengan rumus yang telah ditentukan Periksalah kembali dari jawaban yang sudah ditemukan Berikut ini adalah hasil pencapain siswa mengerjakan soal cerita dengan menggunakan Metode Polya : No Nama Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3 Tahap 4 Prosentase Pencapaian 1 AS 1 3 2 0 46% 2 ARA 2 4 4 3 100% 3 AW 2 4 4 3 100% 4 DA 2 4 4 3 100% 5 Dn 2 3 4 3 92% 6 HA 2 4 4 3 100% 7 Ha 2 4 4 3 100% 8 MA 2 4 4 0 76% 9 MAR 2 4 4 3 100% 10 MARh 2 3 4 3 92% 11 MNP 2 4 3 3 92% 12 Mav 2 4 4 3 100% 13 MB 2 4 3 3 92% 14 MRAd 2 4 3 3 92% 15 MAM 2 4 3 3 92% 16 MF 2 4 4 3 100% 17 MM 2 4 3 3 92% 18 MR 2 4 4 3 100% 19 Rz 2 4 4 3 100% 20 SH 2 4 3 3 100% 21 Sy 2 4 3 3 100% 22 Cd 2 4 4 3 100% Berdasarkan data di atas, hampir seluruh siswa telah mampu menyelesaiakan soal cerita dengan menggunakan metode polya. Pada siklus yang kedua, siswa sudah melakukan empat tahapan dalam menyelesaikan soal cerita. Peneliti selain memperoleh data berdasarkan hasil tes tulis siswa, peneliti juga melakukan wawancara dengan beberapa siswa. Siswa yang diwawancarai oleh peneliti adalah siswa dengan kemampuan yang kurang, cukup dan baik. Wawancara peneliti lakukan pada saat istirahat dengan keadaan santai. Berikut petikan wawancara yang dilakukan peneliti bersama siswa: (* : Peneliti; # : Siswa) Siswa kemampuan kuarang *”Menurut kamu matematika sulit apa mudah?#Ya sulit, saya tidak ada bakat dari dulu sampai sekarang tidak pernah dapat nilai bagus. *Menurut kamu soal cerita aritmatika sulit apa mudah sih? #Sulit, gak ngerti maksudnya apa. *Pernah apa tidak mengerakan model soal seperti tadi?# Pernah *Dulu kalo ngerjakan soal cerita bagaimana?#pokoknya ya dikerjakan, ditulis yang ada angka-angkanya. *Setelah menggunakan metode Polya tadi bagaimana?#lumayan lah, *Lumayan bagaimana?#lumayan ngerti dikit.*Belajar lagi ya!# iya,”
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
621
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Siswa kemampuan sedang *”Menurut kamu matematika sulit apa mudah?#lumayan, kadang suli kadang mudah.*Kalau soal cerita Aritmatika bagaimana? #Kalo aritmatika sebenarnya bisa, tapi kadang kurang teliti. *Pernah apa tidak mengerjakan model soal seperi tadi? #Pernah.*Sebelum menggunakan metode Polya bagaimana dulu mengerjakan soal cerita? #kalo tidak males ya saya tulis diket, ditanya, terus di jawab. *Setelah menggunakan Metode Polya Bagaimana? #Lebih teliti dalam mengerjakan karena runtut, tapi lama. *Terima kasih ya, # Iya.” Siswa kemapuan baik “*menurut kamu matematika mudah apa sulit?#kadang mudah, kadang sulit tergantung babnya. *Kalau bab aritmatika bagaimana?#Sebenarnya mudah, tapi kadang kurang teliti kan soalnya berupa soal cerita gitu kadang pertanyaannya juga menjebak. *Pernah mengerjakan soal *Sebelum menggunakan metode Polya dulu bagaimana mengerjakannya? #Langsung dijawab saja apa yang ditanyakan, biasanya kan ada di kalimat terakhir pertanyaannya. “Setelah menggunakan metode Polya Bagaimana? # Lumayan membantu, karena ngerjakannya lebih teliti dan runtut. model seperti ini sebelumnya ? #Pernah. *Terima kasih ya. # Iya.” Selain wawancara peneliti juga memberikan angket sederhana untuk mengtahui respon siswa terhadap penerapan metode Polya. Pada angket hanya ada tiga pertanyaan dengan disediakan kolom iya dan tidak. Siswa cukup diminta untuk mengisi kolom tersebut sesuai dengan pertanyaan. Berikut Hasil angket dari 22 siswa : No. 1 2 3
PERTANYAAN IYA Apakah soal sudah kalian baca dengan teliti dan seksama? 22 siswa Apakah kalian sudah faham dengan maksud soal ? 20 siswa Apakah dengan metode yang diberikan membuat kalian lebih 18 siswa mudah dalam menyelesaikan soal cerita?
TIDAK 0 2 4 siswa
Berdasarkan angket yang diisi siswa ada 4 siswa yang merasa masih kesulitan dalam menyelesaikan soal cerita meskipun sudah menggunakan metode Polya. Dan ada 2 siswa yang merasa belum faham dengan maksud soal yang diberikan. Namun sebagian besar siswa merasa lebih mudah dalam menyelesakan soal dengan Metode Polya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan: 1. Untuk LKS 1 dengan pertanyaan yang terarah ada 2 siswa yang belum menjawab dengan tepat untuk pertanyaan mengenai laba atau rugi, sebagian besar siswa belum mampu untuk mengecek jawaban. 2. Prosentase ketercapaian penerapan metode polya dalam menyelesaiakan soal cerita pada pokok bahasan aritmatika sosial di kelas VII Putra SMP YADIKA Bangil sebagai berikut: Pertemuan ke-1 Pertemuan ke-2 Tahap Penyelesaian Polya (%) (%) Pemahaman masalah/soal 97 97 Perencanaan strategi penyelesaian soal 97 96 Pelaksanaan rencana strategi penyelesaian 88 89 Pengecekan jawaban 9 90 Pada siklus I tahapan yang masih rendah ketercapaian secara klasikal adalah pada tahapan keempat yaitu dalam memeriksa kembali. Hal ini menunjukkan sebagian besar siswa masih
622
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
belum mampu untuk memeriksa kembali hasil atau jawaban dari permasalahan yang ada, hal ini dikarenakan siswa masih belum terbiasa dan belum bisa bagaimana mengecek jawaban tersebut. Pada siklus II setelah siswa diingatkan untuk memerikssa atau mengecek jawaban maka semua tahapan pada metode polya telah dilakukan. 3. Dari penelitian yang dilakuakan diperoleh prosentase kemampuan siswa sebagai berikut: Kategori Pertemuan ke-1 (%) Pertemuan ke-2 (%) Sangat Baik 1 20 Baik 6 Cukup Baik 12 1 Kurang Baik 3 1 Kurang Sekali 1 Berdasarkan tabel di atas, dengan menerpakan metode polya untuk menyelesaiakan soal cerita pada pokok bahasan aritmatika soaial pada siswa kelalas VII Putra SMP YADIKA Bangil terdapat peningkatan kemampuan. 4. Berdasarkan angket yang diisi siswa ada 4 siswa yang merasa masih kesulitan dalam menyelesaikan soal cerita dan ada 2 siswa yang merasa belum faham dengan maksud soal yang diberikan. Namun sebagian besar siswa merasa lebih mudah dalam menyelesakan soal dengan Metode Polya. 5. Berdasarkan wawancara dengan perwakilan siswa siswa dengan kemampuan kurang menyampaikan sedikit terbantu menyelesaikan soal cerita dengan Metode Polya.
Rekomendasi Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka saran yang peneliti berikan adalah dalam melaksanakan pembelajaran matematika khususnya dalam menyelesaikan soal cerita diharapkan guru dapat menerapkan langkah-langkah polya di sekolah untuk melatih siswa agar sistematis serta untuk selalu mengingatkan dalam egecek kembali jawaban agar memiliki ketelitian dalam mengerjakan soal
Daftar Pustaka Arikunto, 2009. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi Aksara. Depdiknas, 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006 Mata Pelajaran Matematika. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. J.DROST, SJ. 2005. Dari KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) Sampai MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). Jakarta : PT. Kompas Nusantara. M. Dalyono. 1997. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Novia, Windi. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya : Kashiko Nurharini, Dewi. 2008. Matematika Konsep dan Aplikasinya Untuk SMP/MTs kelas VII. Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional. Polya G., 1957. How To Solve It. New Jersey (USA): Princeton University Press. Prastowo, Andi. 2012.Metode Penelitian Kualitaif dalam perspektif rancangan penelitian.Jogjakarata: AR-RUZZ MEDIA. Wagio, A dkk. 2008. Pegangan Belajar matematika 1 Untuk SMP/MTs kelas VII. Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional. Wintarti, Atik dkk. 2008. Contextual Teaching and Learning Matematika Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah kelas VII Edisi 4. Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
623
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
PENGARUH MODEL PROJECT BASED LEARNING PADA PEMBELAJARAN PENJASORKES TERHADAP KREATIVITAS SISWA (Studi pada Siswa Kelas VIII-A SMP Negeri 1 Plosoklaten Kabupaten Kediri) Hasan Saifuddin3 ([emailprotected]) Bayu Budi Prakoso ([emailprotected]) Abstract This researct aims to determine the effect the implementation of the model Project Based Learning (PPA) on Penjasorkes learning to students' creativity. The subjects were 38 students of class VIII SMP Negeri 1-A Plosoklaten Kediri is made up of 22 male students and 16 female students, aged between 13-15 years. By using the one-group pretestposttest design included in the experimental kind of weak. Students' creativity was measured with a questionnaire creativity adopted from Juliantine (2010) which explains that creativity is composed of two sub-variables: cognitive and affective. The research results can be explained that the level of creativity of students each component has increased after getting treatment in the form of the model PPA, namely: (1) Fluidity: 2.76%; (2) flexibility: 2.66%; (3) originality: 2.70%; (4) elaboration: 3.22%; (5) evaluation: 3.11%; (6) curiosity: 12.81%; (7) imaginative: 3.60%; (8) challenged by the plurality: 2.93%; (9) dare to take the risk: 8.48%; and (10) appreciate: 3.62%. The first five-component (1-5) prepare subcognitive variables increased by 2.89%. While the last five (6-10) prepare sub-affective variables increased by 4.97%. From the results of the analysis obtained an increase in the creativity of the students at 3.75%. The mean value of the creativity of the students during the pretest and posttest amounted to 181.21 at 188.00, is tested using t-test p value dependent generate> alpha (0.059> 0.05). Conclusions obtained was no effect on learning Penjasorkes PPA models to students' creativity. However, the provision of treatment in the form of the model PPA can increase the creativity of the students, especially the students' curiosity components Keywords: PBL models, PE, and creativity of students Abstrak Tujuan penelitia ini adalah untuk mengetahui pengaruh implementasi model Project Based Learning (PjBL) pada pembelajaran Penjasorkes terhadap kreativitas siswa. Subjek penelitian adalah 38 siswa kelas VIII-A SMP Negeri 1 Plosoklaten Kabupaten Kediri terdiri atas 22 siswa laki-laki dan 16 siswa perempuan, usia antara 13-15 tahun. Dengan menggunakan the one-group pretest-posttest design termasuk dalam jenis weak experimental. Kreativitas siswa diukur dengan angket kreativitas adopsi dari Juliantine (2010) terdiri dari dua sub-variabel yaitu: kognitif dan afektif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kreativitas siswa tiap komponen mengalami peningkatan setelah mendapatkan treatment berupa model PjBL yaitu: (1) fluiditas: 2,76%; (2) fleksibilitas: 2,66%; (3) orisinilitas: 2,70%; (4) elaborasi: 3,22%; (5) evaluasi: 3,11%; (6) rasa ingin tahu: 12,81%; (7) imajinatif: 3,60%; (8) tertantang oleh kemajemukan: 2,93%; (9) berani mengambil resiko: 8,48%; dan (10) menghargai: 3,62%. Lima komponen pertama (1-5) menyusun sub-variabel kognitif meningkat sebesar 2,89%. Sedangkan lima terakhir (6-10) menyusun sub-variabel afektif meningkat sebesar 4,97%. Dari hasil analisis tersebut didapat peningkatan kreativitas siswa sebesar 3,75%. Rerata nilai kreativitas siswa pada saat pretest sebesar 181,21 dan posttest sebesar 188,00, diuji menggunakan uji-t dependent
3
Mahasiswa S2 Pendidikan Olahraga, Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia
624
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
menghasilkan p value>alpha (0,059 > 0,05). Simpulan yang diperoleh adalah tidak ada pengaruh model PjBL pada pembelajaran Penjasorkes terhadap kreativitas siswa. Tetapi pemberian treatment berupa model PjBL dapat meningkatkan kreativitas siswa terutama pada komponen keingintahuan siswa. Kata Kunci: model PjBL, Penjasorkes, dan kreativitas siswa
Pendahuluan Banyak penafsiran pengertian kreativitas dalam psikologi tergantung dari mana mengambil makna kreatif itu sendiri. Menurut Beetlestone, (2012, hlm.132) kreativitas merupakan bentuk mengekspresikan gagasan-gagasan batin, perasaan dan emosi yang dituangkan anak-anak dalam bermain. Dengan berbagai macam bentuk permainan memberikan ruang lingkup kepada anak untuk mengembangkan keterampilan dan pemahaman. Menurut Supriadi (2001) dalam Mariyana (2008, hlm. 4) bahwa kreativitas merupakan kemampuan seseorang untuk melahirkan sesuatu yang baru, baik berupa gagasan maupun karya nyata, yang relatif berbeda dengan apa yang telah ada sebelumnya. Menurut Davis, (2012, hlm. 259) kreativitas merupakan pemikiran yang unik sebagai kemampuan untuk menciptakan. Menurut Hurlock (1978, hlm. 2-3) dijelaskan bahwa kreativitas dipandang sebagai kreasi sesuatu yang baru dan orisinil secara kebetulan, proses mental yang unik, tetapi kreatif juga mencakup jenis pemikiran spesifik, yang disebut Guilford “pemikiran berbeda” (divergent thinking). Menurut Rachmawati dan Kurniati (2010, hlm. 13) Kreativitas merupakan suatu proses mental individu yang melahirkan gagasan, proses, metode, atau produk baru yang efektif yang bersifat imajinatif, estetis, fleksibel, integrasi, suksesi, diskontinuitas, dan diferensiasi yang berdaya guna dalam berbagai bidang untuk pemecahan masalah. Berdasarkan penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kreativitas memberikan siswa kesenangan dan kepuasan diri yang sangat besar penghargaan yang mempunyai pengaruh, sebagai contoh tidak ada yang dapat memberi anak rasa puas yang lebih besar daripada menciptakan sesuatu sendiri dan tidak ada yang mengurangi harga dirinya daripada kritik atau ejekan terhadap kreasi itu atau pertanyaan apa sesungguhnya bentuk yang dibuatnya itu. Dalam proses belajar mengajar guru Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan (PJOK) di sekolah masih cenderung menggunakan model pembelajaran yang membatasi kebebasan siswa dalam berkreasi dan berativitas fisik. Padahal dalam proses pembelajaran kreatif memberikan siswa kebebasan untuk memilih dan menentukan materi yang dipelajari, termasuk bagaimana cara mempelajarinya, sehingga situasi kebebasan dapat tercipta dan para siswa akan mendapatkan penghargaan atas hasil usahanya dan diharapkan dapat membentuk kreativitas siswa. Sejalan dengan yang diungkapkan Munandar, (2009, hlm. 178-179) bahwa strategi mengajar dan cara mengajar yang dapat dilakukan guru yaitu: (1) memberikan umpan balik yang berarti dari pada evaluasi abstrak dan tidak jelas; (2) melibatkan siswa dalam menilai pekerjaan mereka sendiri dan belajar dari kesalah mereka; (3) Penekanannya hendaknya terhadap “apa yang telah dipelajari?” dan bukan pada “bagaimana kau melakukannya?”. Untuk itu, proses pembelajaran PJOK yang kreatif yaitu memberikan rangsangan belajar yang sesuai bagi siswa dengan kecerdasan yang dimiliki oleh setiap siswa karena hal ini menentukan masa depannya dalam memperoleh pengalaman gerak yang dialaminya. Pendekatan proses pembelajaran yang melibatkan seluruh ranah (sikap, emosi kognisi, dan psikomotor) sehingga muncul pemikiran kreatif. Menurut Mariyana (2008, hlm. 16-17) menjelaskan bahwa dengan menumbuhkan kreativitas siswa dapat meningkatkan perkembangan motorik siswa dengan
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
625
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
melalui gerak dalam bermain. Menurut Rachmawati dan Kurnanti,(2012, hlm. 61) kreativitas dapat dikembangankan melalui metode proyek yang bermanfaat yakni: (a) memberikan pengalaman kepada siswa dalam mengatur dan mendistribusikan kegiatan, (b) belajar bertanggung jawab terhadap pekerjaannya dalam hal pemecahan masalah yang dihadapi, (c) memupuk semangat gotong royong dan kerja sama di antara siswa yang terlibat, (d) memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan sikap dan kebiasaan dalam melakukan pekerjaan dengan cermat, (e) mampu mengeksplorasi bakat, minat dan kemampuan siswa, (f) memberikan peluang pada siswa dalam kemampuan dan keterampilan yang dimiliki yang akhirnya dapat mewujudkan daya kreativitas secara optimal. Betapa pentingnya kreativitas dalam PJOK yang ditekankan pada Permendikbud No. 65 Tahun 2013 tentang Standar Proses bahwa seluruh isi materi (topik dan subtopik) mata pelajaran yang diturunkan dari keterampilan harus mendorong siswa untuk melakukan proses pengamatan hingga penciptaan yang mendorong siswa menghasilkan karya kreatif. Kreativitas sangat penting bagi dunia pendidikan sebagai pemecahan masalah yang dihadapi siswa (Menurut Carson dan Becker, (2004, Vol. 82.1, hlm. 111). Menjadi kreatif memang penting artinya bagi seorang anak menambah bumbu dalam permainannya atau aktivitas geraknya. Dengan adanya kurikulum 2013, diharapkan dalam pembelajaran PJOK menuntut siswa lebih aktif, yang diwujudkan dari menanya, mengobservasi, berdiskusi, mengadakan percobaan atau latihan, menampilkan hasil belajar/ melaporkan/ pemahaman/ keterampilan. Salah satu model pembelajaran yang menunjang siswa lebih aktif dan bernuansa pembelajaran saintifik yaitu Problem Based Learning (PBL), Discovery Learning, Inquiry learning dan Project Based Learning (PjBL) (Kemdikbud, 2013 hlm. 21-33). Sedangkan dalam kurikulum 2013 menyarankan dalam pendekatan pembelajaran yang menghasilkan karya berbasis pemecahan masalah menggunakan project based learning.
Landasan Teori Model Project Based Learning Model pembelajaran berbasis proyek (project based learning) adalah sebuah model pembelajaran yang menggunakan proyek (kegiatan) sebagai inti pembelajaran (Kemdikbud, 2013 hlm.12). Dalam kegiatan ini, siswa melakukan eksplorasi, penilaian, interpretasi, dan sintesis informasi untuk memperoleh berbagai hasil belajar (pengetahuan, keterampilan, dan sikap). pembelajaran PJOK melalui model project based learning ini penilain bukan tertuju hanya dari hasil produk akhir yang di hasilkan siswa saja melainkan hasil dari keseluruhan proses belajar mengajar (PBM) di lapangan yang meliputi ranah psikomotor, kognitif dan afektif. Menurut Blumenfeld et al., (1991) dalam Stefanou, Dkk (2013, hlm 5) mengatakan bahwa terdapat dua komponen penting dalam proyek yaitu: (1) memerlukan pertanyaan atau masalah yang diterima untuk dikelola atau digunakan untuk menentukan kegiatan; (2) hasil kegiatan berupa produk, pada akhirnya produk akhir tersebut bisa sesuai untuk memecahkan masalah. Menurut Gubacs (2004, hlm. 1-6) menjelaskan bahwa proyek yang melibatkan multimedia dalam pembelajaran PJOK adalah media pembelajaran berupa video siswa melakukan aktivitas gerak. Menurut Pusparagen (2014, hlm. 60) bahwa produk yang dihasilkan dalam pelaksanaan model PjBL adalah rangkaian latihan keterampilan lempar tangkap dalam materi bola kecil. Menurut Sinclair (2002, hlm. 1-5) proyek yang melibatkan multimedia dalam
626
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
pembelajaran PJOK adalah media pembelajaran berupa presentasi powerpoint tentang teknik dasar tenis. Thompson dan Beak (2007, hlm. 1-14) menjelaskan bahwa PjBL memiliki potensi yang sangat besar dalam upaya membelajarkan siswa aktif terlibat dan meningkatkan belajar siswa. Untuk itu, dalam pembelajaran PjBL disini menekankan membuat media gambar sebagai proyek yang akan dikembangkan oleh siswa sebagai alat pembelajaran PJOK. Untuk itu, dapat digambarkan konsep pelaksanaan pembelajaran berbasis proyek sebagai berikut:
Gambar 1: Konsep Pelaksanaan Pembelajaran PjBL Berdasarkan gambar 1 di atas, konsep pelaksanaan pembelajaran PjBL diawali dengan memberikan rangsangan berupa masalah kepada siswa berdasarkan hasil belajar siswa yang perlu ditingkatkan sebagai data awal penentuan proyek yang akan diberikan. Proyek yang dimaksudkan adalah membuat media gambar teknik dasar sepakbola. Pembuatan media gambar dilakukan di luar kelas secara berkelompok. Tujuan pembuatan proyek dikerjakan secara berkelompok adalah agar siswa dapat melakukan kerjasama dan saling membantu untuk membuat dan menyelesaikan proyek. Hasil proyek akan dipresentasikan saat pembelajaran berikutnya berlangsung. Dari presentasi tersebut hasil proyek akan dinilai oleh siswa dan guru. Hasil penilaian dijadikan sebagai bahan evaluasi untuk perbaikan proyek selanjutnya. Dalam proses membuat proyek, diwajibkan bagi seluruh kelompok mengambil sumber dari buku atau internet. Hal ini dilakukan untuk memaksa siswa untuk terbiasa melakukan sesuatu atas dasar yang jelas. Selain itu, siswa akan dipaksa untuk membaca sumber informasi selain dari guru. Dengan begitu diharapkan minat baca siswa menjadi meningkat sehingga pengetahuan siswa semakin tinggi.
Konsep Dasar Pengembangan Kreativitas Kreativitas memberikan anak-anak kesenangan dan kepuasan diri yang sangat besar penghargaan yang mempunyai pengaruh, sebagai contoh tidak ada yang dapat memberi anak rasa puas yang lebih besar daripada menciptakan sesuatu sendiri dan tidak ada yang mengurangi harga dirinya daripada kritik atau ejekan terhadap kreasi itu atau pertanyaan apa sesungguhnya bentuk yang dibuatnya itu. Menjadi kreatif memang penting artinya bagi seorang anak menambah bumbu dalam permainannya atau aktivitas geraknya. Dan pada hal ini yang lebih penting adalah sumbangan kepemimpinan. Pada setiap tingkatan usia anak jika hal ini di abaikan maka akan menjadi sumber ego yang besar. Sumbangan sesuatu dari pemimpin pada
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
627
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
kelompok atau bagian dari kelompok yang berupa bentuk usulan bagi kegiatan bermain yang baru dan berbeda (Hurlock,1978, hlm. 6). Terdapat dua indikator berpikir kreatif yaitu dimensi kognitif dan afektif. Menurut Torrance dalam Davis, (2012, hlm. 259) indikator berpikir kreatif dalam dimensi kognitif sebagai berikut yaitu: 1. Fluency (kelancaran) yaitu kemampuan untuk menghasilkan banyak ide dalam memecahkan masalah. 2. Flexibility (keluwesan) yaitu kemampuan untuk menghasilkan berbagai macam ide guna memecahkan suatu masalah di luar kategori yang biasa. 3. Originality (keaslian) yaitu kemampuan memberikan respons yang unik, ketidaksamaan dalam pemikiran dan tindakan. 4. Elaboration (keterperincian) yaitu kemampuan untuk mengembangkan, memperhalus, menyempurnakan, atau bahkan menerapkan ide. 5. Evaluasi (penilaian) yaitu kemampuan penting untuk berpikir kritis, untuk memisahkan hal yang relevan dari yang tidak relevan untuk mengevaluasi kebaikan atau kesesuaian dari suatu ide, produk, atau solusi. Sedangkan indikator berpikir kreatif dalam dimensi afektif menurut Rachmawati dan Kurniati, (2012, 38-45) sebagai berikut: 1. Rasa ingin tahu: anak akan antusias dengan benda-benda atau makhluk yang baru pertama kali dilihatnya. Dengan rasa ingin tahunya anak kadang tidak peduli akan kotor, basah, panas ataupun rasa sakit. Dari rasa ingin tahu inilah banyak informasi didapat oleh anak. 2. Imajinatif: dunia khayal merupakan dunia yang identik dengan anak. Dengan kekayaan khayalan ini segala sesuatu menjadi mungkin bagi seorang anak dan tidak ada yang mustahil. 3. Tertantang dengan fluralitas: anak merasakan berkewajiban karena mendapat tantangan dalam melakukan hal baru yang belum pernah dilakukannya. 4. Mengambil resiko: anak akan berani mengambil keputusan untuk mengetahui dampak keputusan yang telah diambil sebagai penentuan proyek. 5. Menghargai: dengan sifat menghargai hasil karya yang dibuat membuatnya. Sebagai motivasi bagi anak untuk terus mengekspresikan diri dan berkembang dengan optimal. Dengan menerapkan model pembelajaran yang mengembangkan kreativitas maka akan membantu siswa untuk belajar. Meningkatkan hasil belajar dan keaktifan siswa mengikuti pembelajaran.
Metode Penelitian Penelitian ini termasuk dalam jenis weak experimental menggunakan the one-group pretest-posttest design. Kreativitas siswa sebagai variabel terikat diukur pada saat pretest dan posttest. Sedangkan diantara pengukuran variabel terikat tersebut siswa mendapatkan pembelajaran Penjasorkes oleh guru menggunakan model project based learning sebagai variabel bebas atau treatment penelitian. Siswa mendapatkan treatment sebanyak tiga kali tatap muka termasuk pertemuan awal sebagai persiapan membuat proyek. Setiap tatap muka dilakukan sebanyak satu kali seminggu selama 2 x 40 menit. Sehingga lama penelitian yaitu dua minggu dimulai tanggal 24 Februari – 10 Maret 2015. Siswa yang terlibat dalam penelitian ini adalah 38 siswa (22 pa dan 16 pi) kelas VIII-A SMP Negeri 1 Plosoklaten kabupaten Kediri, usia antara 13-15 tahun. Pemilihan sampel dilakukan dengan teknik purposive sampling yaitu pemilihan sampel berdasarkan tujuan
628
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
penelitian (Fraenkel dan Wallen, 2009), yaitu siswa yang menerima pembelajaran menggunakan model PjBL. Pengukuran kreativitas siswa menggunakan angket kreativitas. Angket diadopsi dari Juliantine (2010) yang menjelaskan bahwa kreativitas disusun dari dua sub-variabel yaitu: kognitif dan afektif. Sub-variabel kognitif terdiri atas lima komponen yaitu: fluiditas, fleksibilitas, orisinilitas, elaborasi, dan evaluasi. Sedangkan sub-variabel afektif terdiri atas lima komponen yaitu: rasa ingin tahu, imajinatif, tertantang oleh kemajemukan, berani mengambil resiko, dan menghargai. Untuk menjamin kualitas data maka angket kreativitas diujicobakan agar diketahui validitas dan reliabilitas angket. Ujicoba dilakukan pada 39 siswa (21 pa dan 18 pi) kelas VIII-B SMP Negeri 1 Plosoklaten pada hari selasa, 17 Februari 2015. Hasil analisis ujicoba angket dapat dilihat pada tabel 1 sebagai berikut: Tabel 1: Hasil Ujicoba Angket Kreativitas Alpha Validitas Komponen Jumlah Item Reliabilitas r hitung Cronbach’s Konstruk Reliabel Valid 1 5 0,661 0,568 Reliabel Valid 2 5 0,607 0,528 Reliabel Valid 3 8 0,591 0,636 Reliabel Valid 4 6 0,533 0,357 Reliabel Valid 5 5 0,648 0,636 Reliabel Valid 6 3 0,904 0,627 Reliabel Valid 7 6 0,724 0,795 Reliabel Valid 8 9 0,509 0,671 Reliabel Valid 9 8 0,529 0,633 Reliabel Valid 10 6 0,767 0,553 Keterangan: reliabel jika alpha > 0,50 (Safrit dalam Maksum, 2012); Valid jika r > 0,316 Berdasarkan tabel 1 di atas maka dapat dijelaskan bahwa setiap komponen memiliki validitas dan reliabilitas yang memenuhi syarat. Jumlah seluruh item angket kreativitas adalah 61, dari hasil ujicoba didapat nilai reliabilitas total sebesar 0,983 dinyatakan reliabel. Sehingga angket kreativitas yang digunakan sudah layak untuk digunakan mengumpulkan data penelitian. Tahapan analisis data dimulai dari deskriptif kuantitatif, uji normalitas menggunakan kolmogorov-smirnov Z, dan uji beda rata-rata menggunakan uji-t dependent. Taraf signifikansi yang digunakan sebesar 0,05.
Hasil Penelitian Hasil penelitian berisi tentang deskripsi data kreativitas siswa yang terdiri dari dua subvariabel yaitu: kognitif dan afektif. Sub-variabel kognitif terdiri atas lima komponen yaitu: fluiditas, fleksibilitas, orisinilitas, elaborasi, dan evaluasi. Sedangkan sub-variabel afektif terdiri atas lima komponen yaitu: rasa ingin tahu, imajinatif, tertantang oleh kemajemukan, berani mengambil resiko, dan menghargai. Hasil analisis kreativitas siswa berdasarkan kategori setiap komponen kreativitas dapat dijelaskan pada tabel 2 sebagai berikut:
Tabel 2: Distribusi Frekuensi Berdasarkan Kategori Komponen Kreativitas Siswa SubVariabel
Komponen
Kategori 1
2
3
4
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Jumlah
629
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
SubVariabel
1. Fluiditas (kelancaran)
Pretest Posttest
2. Fleksibilitas (keluwesan)
Pretest Posttest
3. Orisinalitas (keaslian)
Pretest
Kognitif Posttest 4. Elaborasi (kerincian)
Pretest Posttest
5. Evaluasi (penilaian)
Pretest Posttest
6. Rasa ingin tahu
Pretest Posttest
7. Imajinatif Pretest Posttest
Afektif
8. Tertantang oleh kemajemuka n 9. Berani mengambil resiko
Pretest Posttest Pretest Posttest
10. Mengharga i
Pretest Posttest
630
Kategori
Komponen
Jumlah
1
2
3
4
F
23
15
38
%
0,00
0,00
60,53
39,47
100
F
16
22
38
%
0,00
0,00
42,11
57,89
100
F
6
27
5
38
%
0,00
15,79
71,05
13,16
100
F
7
23
8
38
%
0,00
18,42
60,53
21,05
100
F
10
23
5
38
%
0,00
26,32
60,53
13,16
100
F
6
27
5
38
%
0,00
15,79
71,05
13,16
100
F
17
21
38
%
0,00
0,00
44,74
55,26
100
F
12
26
38
%
0,00
0,00
31,58
68,42
100
F
8
28
2
38
%
0,00
21,05
73,68
5,26
100
F
10
25
3
38
%
0,00
26,32
65,79
7,89
100
F
30
7
1
38
%
78,95
18,42
2,63
0,00
100
F
24
12
2
38
%
63,16
31,58
5,26
0,00
100
F
5
29
4
38
%
13,16
76,32
10,53
0,00
100
F
9
21
8
38
%
23,68
55,26
21,05
0,00
100
F
19
19
38
%
0,00
50,00
50,00
0,00
100
F
20
15
3
38
%
0,00
52,63
39,47
7,89
100
F
28
9
1
38
%
73,68
23,68
2,63
0,00
100
F
24
14
38
%
63,16
36,84
0,00
0,00
100
F
21
16
1
38
%
55,26
42,11
2,63
0,00
100
F
19
16
3
38
%
50,00
42,11
7,89
0,00
100
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Keterangan: Kategori 1= Kurang Sekali; 2= Kurang; 3= Baik; 4= Baik Sekali.
Berdasarkan tabel 2 di atas maka dapat dilihat bahwa pada sub-variabel kognitif tidak ada siswa yang masuk kategori kurang sekali saat pretest maupun posttest. Sebaran siswa pada subvariabel kognitif cenderung berada pada kategori baik dan baik sekali. Sayangnya masih ada siswa yang masuk dalam kategori kurang yaitu dalam komponen kedua fleksibilitas saat pretest sebanyak 6 siswa (15,79%) saat posttest naik menjadi 7 siswa (18,42%), komponen ketiga orisinilitas saat pretest sebanyak 10 siswa (26,32%) saat posttest menurun menjadi 6 siswa (15,79%), dan pada komponen kelima evaluasi saat pretest sebanyak 8 siswa (21,05%) saat posttest naik menjadi 10 siswa (26,32%). Berbeda dengan sub-variabel kognitif, pada subvariabel afektif sebaran siswa malah cenderung berada pada kategori kurang dan kurang sekali. Akan tetapi pada komponen kedelapan tertantang oleh kemajemukan dari tidak ada siswa yang masuk kategori baik sekali saat pretest saat posttest terdapat 3 siswa (7,89%) yang masuk dalam kategori baik sekali. Sedangkan pada kategori baik pada komponen keenam rasa ingin tahu saat pretest sebanyak 1 siswa (2,63%) saat posttest naik menjadi 2 siswa (5,26%), komponen ketujuh imajinatif saat pretest sebanyak 4 siswa (10,53%) saat posttest naik menjadi 8 siswa (21,05%), komponen kedelapan tertantang oleh kemajemukan saat pretest sebanyak 19 siswa (50,00%) saat posttest turun menjadi 15 siswa (39,47%), komponen kesembilan berani mengambil resiko saat pretest sebanyak 1 siswa (2,63%) dan 0 siswa saat posttest, dan komponen kesepuluh menghargai saat pretest sebanyak 1 siswa (2,63%) saat posttest sebanyak 3 siswa (7,89%). Tabel 3: Distribusi Frekuensi Berdasarkan Kategori Sub-Variabel dan Variabel Kreativitas Siswa Kategori Variabel Jumlah 1 2 3 4 F 0 0 33 5 38 Pretest % 0,00 0,00 86,84 13,16 100,00 SubKognitif F 0 0 31 7 38 Posttest % 0,00 0,00 81,58 18,42 100,00 F 5 32 1 0 38 Pretest % 13,16 84,21 2,63 0,00 100,00 Sub-Afektif F 6 29 3 0 38 Posttest % 15,79 76,32 7,89 0,00 100,00 F 0 23 15 0 38 Pretest % 0,00 60,53 39,47 0,00 100,00 Variabel: Kreativitas F 0 18 20 0 38 Posttest % 0,00 47,37 52,63 0,00 100,00 Keterangan: Kategori 1= Kurang Sekali; 2= Kurang; 3= Baik; 4= Baik Sekali Berdasarkan tabel 3 di atas maka dapat dijelaskan bahwa pada sub-variabel kognitif tidak ada siswa yang masuk kategori kurang sekali dan kurang. Pada kategori baik saat pretest terdapat sebanyak 33 siswa (86,84%) saat posttest turun menjadi 31 siswa (81,58%), pada kategori baik sekali saat pretest terdapat sebanyak 5 siswa (13,61%) saat posttest naik menjadi 7 siswa (18,42%). Pada sub-variabel afektif sebaran siswa cenderung masuk pada kategori kurang dan kurang sekali. Tidak ada siswa yang masuk dalam kategori baik sekali, pada kategori baik
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
631
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
saat pretest terdapat sebanyak 1 siswa (2,63%) saat posttest naik menjadi 3 siswa (7,89%), pada kategori kurang saat pretest terdapat sebanyak 32 siswa (84,21%) saat posttest turun menjadi 29 siswa (76,32%), pada kategori kurang sekali saat pretest terdapat sebanyak 5 siswa (13,16%) saat posttest naik menjadi 6 siswa (15,79%). Dari dua sub-variabel tersebut maka didapat nilai kreativitas siswa secara keseluruhan. Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak ada siswa yang memiliki kategori kreativitas pada tingkat kurang sekali dan baik sekali. Pada kategori kurang saat pretest terdapat sebanyak 23 siswa (60,53%) saat posttest turun menjadi 18 siswa (47,37%), pada kategori baik terdapat sebanyak 15 siswa (39,47%) saat posttest naik menjadi 20 siswa (52,63%). Setelah mengetahui sebaran siswa berdasarkan kategori komponen, sub-variabel, dan kreativitas keseluruhan di atas maka selanjutnya dihitung peningkatan nilai kreativitas siswa tiap komponen, sub-variabel, dan kreativitas keseluruhan. Penghitungan dilakukan menurut statistik deskriptif dengan rumus mean, standar deviasi, selisih dan peningkatan nilai kreativitas berdasarkan 10 komponen dari data pretest dan posttest. Hasil penghitungan dapat dilihat pada tabel 4 sebagai berikut: Tabel 4: Mean, SD, Selisih, dan Peningkatan Nilai Kreativitas Siswa Saat Pretest dan Posttest Komponen Deskripsi Pretest Posttest Selisih Peningkatan 1.Fluiditas (kelancaran) 2.Fleksibilitas (keluwesan) 3.Orisinalitas (keaslian) 4.Elaborasi (kerincian) 5.Evaluasi (penilaian) Sub-variabel: Kognitif 6.Rasa ingin tahu 7.Imajinatif 8.Tertantang oleh kemajemukan 9.Berani mengambil resiko 10.
Menghargai
Sub-variabel: Afektif Variabel: Kreativitas
632
Mean SD Mean SD Mean SD Mean SD Mean SD Mean SD Mean SD Mean SD Mean SD Mean SD Mean SD Mean SD Mean
20,05 2,09 17,79 2,34 27,32 4,20 24,53 2,42 16,92 2,34 106,61 9,12 5,34 1,96 15,37 3,01 26,97 2,76 14,58 4,08 12,34 2,95 74,61 11,04 181,21
20,61 1,99 18,26 2,54 28,05 3,75 25,32 2,38 17,45 2,65 109,68 8,52 6,03 1,91 15,92 4,04 27,76 4,81 15,82 4,19 12,79 3,66 78,32 13,03 188,00
0,55 -0,10 0,47 0,21 0,74 -0,46 0,79 -0,04 0,53 0,31 3,08 -0,60 0,68 -0,05 0,55 1,03 0,79 2,05 1,24 0,11 0,45 0,71 3,71 1,99 6,79
2,76% 2,66% 2,70% 3,22% 3,11% 2,89% 12,81% 3,60% 2,93% 8,48% 3,62% 4,97% 3,75%
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Komponen
Deskripsi
Pretest
Posttest
Selisih
Peningkatan
SD 11,55 16,13 4,58 Catatan: Mean: Nilai rerata; SD: Standar Deviasi; Selisih: Hasil pengurangan nilai posttest dan pretest; Peningkatan: perbandingan antara nilai rerata deviasi dan pretest dikalikan 100% Tabel 4 di atas menjelaskan keadaan kreativitas siswa dari sebelum siswa mendapatkan treatment model PjBL (pretest) sampai setelah mendapatkan treatment (posttest). Berdasarkan hasil analisis deskriptif di atas dapat dilihat bahwa komponen keenam rasa ingin tahu menjadi komponen yang paling tinggi peningkatannya yaitu sebesar 12,81%. Hal ini membuktikan bahwa dengan menggunakan model PjBL membuat siswa penasaran dengan materi ajar. Dengan kondisi yang seperti ini diharapkan siswa mencari sumber-sumber belajar lain untuk dapat didiskusikan dalam setiap pertemuan. Sehingga pertemuan akan bernuansa saintifik yang banyak diwarnai dengan tanya-jawab antara siswa-guru atau siswa-siswa. Kreativitas disusun oleh dua sub-variabel yaitu kognitif dan afektif. Berdasarkan hasil analisis di atas dapat dilihat bahwa sub-variabel afektif meningkat lebih tinggi dibandingkan dengan sub-variabel kognitif. Sub-variabel kognitif meningkat sebesar 2,89% sedangkan subvariabel afektif meningkat sebesar 4,97%. Dari peningkatan tersebut mengakibatkan kreativitas siswa meningkat sebesar 3,75%. Adanya peningkatan pada setiap komponen yang diikuti oleh sub-variabel dan akhirnya kreativitas siswa diketahui meningkat maka selanjutnya hendak diketahui kebermaknaan peningkatan yang yang terjadi pada tiap komponen, sub-variabel, dan kreativitas. Sesuai dengan jenis datanya maka uji kebermaknaan menggunakan analisis statistik parametrik. Sebelum uji kebermaknaan dilakukan syarat uji parametrik adalah data berdistribusi normal. Untuk itu, dilakukan uji normalitas pada setiap distribusi data menggunakan Kolmogorov-Smirnov Z. Hasil uji dapat dilihat pada tabel 5 sebagai berikut: Tabel 5: Hasil Uji Normalitas Distribusi Data Menggunakan Kolmogorov-Smirnov Z KolmogorovDistribusi Data p value Keterangan Smirnov Z Fluiditas (kelancaran) Pretest 1,187 0,119 Normal Posttest 0,97 0,303 Normal Fleksibilitas (keluwesan) Pretest 0,914 0,373 Normal Posttest 0,903 0,389 Normal Orisinalitas (keaslian) Pretest 1,062 0,21 Normal Posttest 0,614 0,845 Normal Elaborasi (kerincian) Pretest 0,802 0,541 Normal Posttest 0,811 0,527 Normal Evaluasi (penilaian) Pretest 0,841 0,479 Normal Posttest 0,877 0,425 Normal Sub-Variabel-Kognitif Pretest 0,867 0,44 Normal Posttest 0,66 0,776 Normal Rasa ingin tahu Pretest 0,975 0,297 Normal Posttest 1,102 0,176 Normal Imajinatif Pretest 0,835 0,488 Normal Posttest 0,974 0,299 Normal
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
633
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Kolmogorovp value Keterangan Smirnov Z Tertantang oleh kemajemukan Pretest 0,895 0,399 Normal Posttest 1,177 0,125 Normal Berani mengambil resiko Pretest 0,644 0,801 Normal Posttest 1,195 0,115 Normal Menghargai Pretest 0,866 0,441 Normal Posttest 0,629 0,824 Normal Sub-variabel: afektif Pretest 0,598 0,867 Normal Posttest 0,638 0,811 Normal Kreativitas Pretest 0,749 0,629 Normal Posttest 0,588 0,88 Normal Catatan: Distribusi dinyatakan normal apabila nilai p value >alpha, besar alpha= 0,05. Distribusi Data
Berdasarkan uji normalitas yang dilakukan menggunakan Kolmogorov-Smirnov dengan menggunakan IBM SPSS V. 20.0 dapat diketahui bahwa seluruh distribusi data adalah normal. Untuk itu, uji parametrik dapat dilanjutkan. Untuk menguji kebermaknaan peningkatan kreativitas siswa maka digunakan paired samples t-test menggunakan aplikasi IBM SPSS V. 20.0. Kebermaknaan peningkatan akan diuji dengan cara membandingkan nilai mean dari hasil posttest dengan pretest. Hasil uji dapat dilihat pada tabel 6 sebagai berikut: Tabel 6: Hasil Uji Beda Rata-rata Nilai Kreativitas Siswa Saat Pretest dan Posttest Keterangan Paired Samples Test t df p value Pair 1 Post Kelancaran – Pre Kelancaran 1,125 37 0,268 Tidak sig. Pair 2 Post Keluwesan – Pre Keluwesan 0,809 37 0,423 Tidak sig. Pair 3 Post Orisinalitas – Pre Orisinalitas 0,779 37 0,441 Tidak sig. Pair 4 Post Elaborasi – Pre Elaborasi 1,362 37 0,181 Tidak sig. Pair 5 Post Evaluasi – Pre Evaluasi 0,944 37 0,352 Tidak sig. Post Sub-variabel: Kognitif - Pre SubPair 6 1,351 37 0,185 Tidak sig. variabel: Kognitif Pair 7 Post Rasa ingin tahu – Pre Rasa ingin tahu 1,648 37 0,108 Tidak sig. Pair 8 Post Imajinatif – Pre Imajinatif 0,619 37 0,539 Tidak sig. Post Tertantang oleh kemajemukan – Pre Pair 9 0,906 37 0,371 Tidak sig. Tertantang oleh kemajemukan Post Berani mengambil resiko – Pre Pair 10 1,274 37 0,211 Tidak sig. Berani mengambil resiko Pair 11 Post Menghargai – Pre Menghargai 0,643 37 0,524 Tidak sig. Post Sub-variabel: Afektif - Pre SubPair 12 1,309 37 0,199 Tidak sig. variabel: Afektif Post Variabel: Kreativitas - Pre Variabel: Pair 13 1,949 37 0,059 Tidak sig. Kreativitas Catatan: ada beda yang signifikan apabila p value alpha (0,059 > 0,05) sehingga Ha ditolak terima H0. Hal ini diikuti dengan hasil uji signifikansi di seluruh komponen dan sub-variabel.
Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada pengaruh model PjBL pada pembelajaran Penjasorkes terhadap kreativitas siswa. Akan tetapi
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
635
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
pemberian treatment berupa model PjBL dapat meningkatkan seluruh komponen, sub-variabel, dan kreativitas siswa terutama pada komponen keingintahuan siswa sebesar 12,81%. Untuk itu, sesuai dengan rencana pemerintah dalam menyongsong diberlakukanya kembali K-13 guru dapat mulai mencoba menggunakan model PjBL guna membiasakan siswa meningkatkan rasa ingin tahu mereka sehingga siswa senantiasa mencari tahu dari berbagai sumber informasi. Dengan begitu kegiatan belajar mandiri siswa dapat terlaksana. Akhirnya, kemandirian belajar siswa dapat tercapai.
Daftar Pustaka Beetlestone, Florence. (2012). Creative Learning: Strategi Pembelajaran Untuk Melesatkan Kreativitas Siswa. Terjemahkan. Bandung. Nusa Media. Carson, Davis K & Becker, Kent W (2004). When Lightning Strikes: Reexamining Creativity in Psychotherapy. Journal of Counseling and Development : JCD; Winter 2004; 82, 1; ProQuest Nursing & Allied Health Source pg. 111. Tersedia: http://search.proquest.com/ docview/219026951/fulltextPDF/D8153C26372A440CPQ-/13?accountid=38628. [Diakses 15 Januari 2015] Cheng, Chil-Yun; Chou, Chien-Chin; and Huang, Hui-Ching. The Influence of the Intervention of a Children's Movement Skill. ProQuest. Tersedia: http://search.proquest.com/docview/218503828/fulltextPDF/246DCE3EAB8F4C2FPQ/1 ?accountid=38628. Diakses [15 Januari 2015]. Davis, Garry A. (2012).Anak Berbakat Dan Pendidikan Keterbakatan. Terjemahan. Jakarta. PT. Indeks Permata Puri Media. Gubacs, Klara. (2004). Project-Based Learning: A Student-Centered Approach to Integrating Technology into Physical Education Teacher Education. (Jurnal ProQuest online) diunduh dari http://e-resources.pnri.go.id:2056/docview/215758224/fulltextPDF/6FA8F5584318410APQ/16?accountid=25704. Diakses [29 Agustus 2014]. Hurlock, Elizabeth B. (1978). Perkembangan Anak.(Terjemahan). Jakarta. Penerbit ERLANGGA. Dicetak PT. Gelora Aksara Pratama. Juliantine, Tine. (2010). Model Pembelajaran Inkuiri Dalam Pendidikan Jasmani Untuk
Mengembangkan Kreativitas Siswa Sekolah Dasar. Disertasi Pendidikan Olahraga (S3). Universitas Pendidikan Indonesia. Kemdikbud, (2013). Kurikulum 2013: Pedoman Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Kemdikbud, (2013).Kurikulum 2013: Pedoman Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Mariyana, Rita. (2008). Pembelajaran Kreativitas Untuk Anak Usia Dini. Tersedia:https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&cad =rja&uact=8&ved=0CCUQFjAB&url=http%3A%2F%2Ffile.upi.edu%2FDirektori%2FF IP%2FJUR._PGTK%2F197803082001122RITA_MARIYANA%2FMODUL_KREATI VITAS_AUD.pdf&ei=0yK5VInCKtfmuQT_p4GACQ&usg=AFQjCNE5DwbFAArpZ_ A9NAWKx2jp9rCePQ&sig2=YiSd0wyFSKtKTLU5iUjL9A. [Diakses 15 Januari 2015]. Munandar, Utami. (2009). Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta. Rineka Cipta. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor.65 tahun 2013 tentang Standar Proses. Pusparagen, Yusnita. (2014). Skenario Pembelajaran Berbasis Proyek Pendidikan Jasmani. Best Practices Implementasi Model Pendekatan Scientific dalam Pembelajaran Penjas Jumat – Sabtu, 19-20 September 2014 Auditorium SPs UPI dan Sport Hall UPI. Rachmawati,Yeni dan Kurnanti,Euis. (2012). Strategi Pengembangan Kreativitas pada Anak Usia Taman Kanak-Kanak.Jakarta. Kencana Predana Media Group. Sinclair, Christina. (2002). A Technology Project in Physical Education. ProQuest. Tersedia: http://e-resources.pnri.go.id: 2056/docview/ 215761672/fulltextPDF/6FA8F5584318410APQ/5?accountid=25704. Diakses [29 Agustus 2014]. 636
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Stefanou, C., Stolk, J.D., Prince, M., Chen, J.C., dan Lord, S.M. (2013). Self-regulation and Autonomy in Problem- and Project-Based Learning Environments. Jurnal Sage Online. Tersedia:Error! Hyperlink reference not valid.. Diakses [9 September 2014]. Thompson, Karen J; Beak, Joel. (2007). The Leadership Book: Enhancing The Theory-Practice Connection Through Project-Based Learning. ProQuest. Tersedia: http://eresources.pnri.go.id:2056/docview/195713839/ fulltextPDF/3BE4B5654F54850PQ/13?accountid=25704. Diakses [25 September 2014].
Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Gerak Dasar Lompat Jauh Dengan Menggunakan Alat Bantu Tradisional Nur Ahmad Muharram ([emailprotected]) Ardhi Mardiyanto Abstract The purpose of this research is to improve learning outcomes basic motion long jump through the use of teaching aids in class V SD Negeri Wonokerso 3 2013/2014 school year. This study uses a Class Action Research (CAR). The subjects were students of class V SD SD Negeri Wonokerso 3 2013/2014 amounting to 24 students consisting of 9 boys and 15 students daughter. The primary data source, such as lesson plans, learning outcomes and learning processes. Secondary data and documents syllabus Elementary School fifth grade Wonokerso 3. Data collection technique is by observation, interviews, questionnaires and documentation or records. To ensure the validity of the data is then used to check the validity of the data that is the content validity and triangulation techniques. The data analysis technique used is descriptive quantitative. The steps in the procedure PTK implementation is carried out in a participatory or collaborative (teachers, lecturers and other teams). The results showed that by using a learning tool to improve learning outcomes basic motion long jump squat style of pre-cycle to the first cycle and from the first cycle to the second cycle. Learning outcomes in the long jump squat style pre cycles in complete category is 33.3% or 8 students, at the end of the first cycle after a given learning basic movement techniques long jump squat style using the tool bar and cardboard increased to 58.3% or 14 students , then returned after a given action increased in the second cycle to 83.4% or 20 students with more emphasis memperanyak students the opportunity to do a long jump movement as a whole. The conclusions of this study is the use of teaching aids to improve learning outcomes basic motion long jump in class V SD SD Negeri Wonokerso 3 2013/2014 school year. Keywords: learning aids, long jump squat style Abstrak Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan hasil belajar gerak dasar lompat jauh melalui penggunaan alat bantu pembelajaran pada siswa kelas V SD NEGERI Wonokerso 3 tahun pelajaran 2013/2014. Penelitian ini menggunakan metode Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Subjek penelitian adalah siswa kelas V SD NEGERI Wonokerso 3 yang berjumlah 24 siswa yang terdiri dari 9 siswa putra dan 15 siswa putri. Sumber data primer, berupa RPP, hasil belajar dan proses pembelajaran. Data sekunder berupa silabus dan dokumen kelas V SD Negeri Wonokerso 3. Teknik pengumpulan data adalah dengan observasi, wawancara, angket dan dokumentasi atau arsip. Untuk menjamin validitas data maka yang digunakan untuk memeriksa validitas data yaitu dengan validitas isi dan teknik trianggulasi. Teknik analisis data yang digunakan adalah deskriptif kuantitatif. Penelitian dilakukan secara partisipatif atau kolaboratif (guru, dosen dengan tim lainnya). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan menggunakan alat bantu pembelajaran dapat meningkatkan hasil belajar gerak dasar lompat jauh gaya jongkok dari pra siklus ke siklus I dan dari siklus I ke siklus II. Hasil belajar lompat jauh gaya jongkok pada pra siklus dalam kategori tuntas adalah 33,3% atau 8 siswa, pada akhir siklus I setelah diberikan pembelajaran teknik gerak
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
637
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
dasar lompat jauh gaya jongkok menggunakan alat bantu bilah dan kardus meningkat menjadi 58,3% atau 14 siswa, kemudian kembali terjadi peningkatan setelah diberikan tindakan pada siklus II menjadi 83,4% atau 20 siswa dengan lebih menekankan memperanyak kesempatan siswa dalam melakukan gerakan lompat jauh secara keseluruhan. Simpulan penelitian ini adalah penggunakan alat bantu pembelajaran dapat meningkatkan hasil belajar gerak dasar lompat jauh pada siswa kelas V SD NEGERI Wonokerso 3 tahun pelajaran 2013/2014. Kata Kunci: Alat bantu pembelajaran, lompat jauh gaya jongkok
Pendahuluan Pendidikan di Indonesia merupakan salah satu masalah yang menjadi sorotan dari berbagai pihak baik dari masyarakat, departemen pendidikan dan kebudayaan maupun departemen lainnya. Pengembangan aspek jasmani anak dapat ditunjang melalui beberapa kegiatan antara lain melalui kegiatan olahraga. Melalui olahraga akan dapat ditingkatkan kekuatan ketrampilan kerja, kesegaran jasmani, dan pembentukan kepribadian yang baik. Hal ini berarti bahwa peranan olahraga sangat penting artinya dalam menunjang kehidupan manusia agar tetap sehat dan memiliki kesegaran jasmani yang prima sehingga dapat melaksanakan tugas sehari-hari dengan baik. Olahraga merupakan kegiatan fisik yang bersifat kompetitif dalam suatu permainan, berupa perjuangan tim maupun diri sendiri. Salah satu olahraga yang berbentuk kompetitif tersebut adalah atletik. Atletik merupakan salah satu cabang olahraga yang tertua yang telah ada dan dilakukan oleh manusia sejak jaman purba sampai sekarang ini. Bahkan dapat dikatakan sejak adanya manusia di muka bumi ini, atletik sudah ada dan dilakukan oleh manusia. Hal tersebut dikarenakan setiap gerakan dalam atletik seperti jalan, lari, lompat dan lempar merupakan perwujudan dari gerakan dasar dalam kehidupan manusia sehari-hari. Atletik merupakan induk dari semua cabang olahraga yang diajarkan dari sekolah tingkat paling rendah Sekolah Dasar (SD) sampai Perguruan Tinggi (PT), Cabang olahraga atletik didalamnya terdiri empat nomor utama yaitu jalan, lari, lompat dan lempar. Dari tiap-tiap nomor tersebut didalamnya terdapat beberapa nomor yang diperlombakan. Untuk nomor lari terdiri atas: lari jarak pendek, jarak menengah, jarak jauh atau marathon, lari gawang, lari sambung atau estafet dan lari cross country. Nomor lompat meliputi: lompat jauh, lompat tinggi, lompat jangkit, lompat tinggi galah. Nomor lempar meliputi: lempar cakram, lempar lembing, tolak peluru dan lontar martil. Berkaitan dengan nomor-nomor atletik, penelitian ini akan mengkaji dan meneliti nomor lompat khususnya lompat jauh gaya jongkok. Lompat jauh gaya jongkok merupakan rangkaian gerakan yang diawali dengan berlari, menumpu untuk menolak, melayang di udara dengan sikap jongkok dan mendarat sejauh-jauhnya. Lompat jauh gaya jongkok merupakan gaya yang paling mudah dilakukan terutama bagi anak-anak sekolah. Aip Syarifuddin (1992: 93) menyatakan bahwa, “lompat jauh gaya jongkok, pada umumnya banyak dilakukan anak-anak sekolah, karena dianggap gaya yang paling mudah untuk dipelajari”. Hal ini disebabkan karena lompat jauh gaya jongkok tidak banyak gerakan yang harus dilakukan pada saat melayang di udara dibandingkan dengan gaya yang lainnya. Dikatakan gaya jongkok karena gerakan yang dilakukan pada saat melayang di udara menyerupai atau membentuk gerakan seperti orang jongkok atau duduk. Pada dasarnya pendidikan jasmani merupakan bagian integral dari sistem pendidikan secara keseluruhan, bertujuan untuk mengembangkan aspek kesehatan, kebugaran jasmani, keterampilan berfikir kritis, stabilitas emosional, keterampilan sosial, penalaran dan tindakan 638
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
moral melalui aktivitas jasmani dan olahraga. Peranan Pendidikan Jasmani adalah sangat penting, yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk terlibat langsung dalam aneka pengalaman belajar melalui aktivitas jasmani, bermain dan olahraga yang dilakukan secara sistematis. Adapun tujuan pendidikan jasmani menurut Adang Suherman (2000: 23) bahwa, ”Secara umum tujuan pendidikan jasmani dapat diklasifikasikan kedalam empat kategori yaitu : (1) perkembangan fisik, (2) perkembangan gerak, (3) perkembangan mental dan, (4) perkembangan sosial”. Salah satu masalah utama dalam pendidikan jasmani di Indonesia hingga sekarang ini adalah belum efektifnya pengajaran pendidikan jasmani di sekolah-sekolah, kondisi seperti ini dikarenakan rendahnya kualitas pembelajaran yang terjadi. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya ialah terbatasnya kemampuan guru pendidikan jasmani dan terbatasnya sumber-sumber yang digunakan untuk mendukung pengajaran proses pendidikan jasmani. Sebagian besar guru penjas yang ada sekarang ini hanya menekankan hasil akhir tanpa memperhatikan proses pembelajaran, hal ini akan berdampak buruk bagi siswa karena kurangnya pengetahuan yang diberikan oleh guru dan secara tidak langsung akan mempengaruhi kinerja guru tersebut serta tujuan pendidikan jasmani yang tidak tercapai. Pembelajaran Penjasorkes melalui penggunaan alat bantu pembelajaran merupakan salah satu karakteristik model pembelajaran yang dapat diterapkan dalam pembelajaran penjas. Adanya model pembelajaran dengan alat bantu dapat membantu seorang guru menciptakan suasana pembelajaran yang lebih baik sehingga motivasi siswa meningkat. Kemampuan seorang guru membangkitkan motivasi belajar siswa menjadi salah satu kunci tercapainya tujuan pembelajaran. Srijono Brotosuryo, Sunardi dan M. Furqon H. (1994: 294) menyatakan, “Dalam proses belajar mengajar sarana dan alat bantu mengajar merupakan komponen yang tidak dapat dipisahkan dengan komponen-komponen lain, misalnya: tujuan, materi, metode dan sebagainya”. Oleh karena itu guru penjas yang profesional sangat menentukan keberhasilan dalam proses pembelajaran dan pendidikan. Proses pembelajaran harus dikelola dengan baik agar mencapai keberhasilan yang baik pula. Salah satu pendukung keberhasilan dalam pembelajaran adalah penggunakan alat media dalam menyampaikan pembelajaran. Alat media adalah alat bantu pembelajaran yang dapat mengaktifkan siswa dan guru dalam proses pembelajaran sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan kemampuan berfikir siswa sehingga pengalaman belajar yang diperoleh lebih bermakna. Untuk menerapkan pembelajaran yang bisa memotivasi anak dan diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar lompat jauh gaya jongkok maka, muncul gagasan untuk melakukan penelitian dengan judul “Upaya meningkatan hasil belajar gerak dasar lompat jauh dengan menggunakan alat bantu tradisional pada siswa Kelas V SD Negeri Wonokerso III Kedawung tahun pelajaran 2013/2014”
Landasan Teori Pengertian Lompat Jauh Lompat jauh adalah salah satu nomor lompat dalam cabang olahraga atletik. Lompat jauh merupakan suatu bentuk gerakan melompat mengangkat kaki ke atas ke depan dalam upaya membawa titik berat badan selama mungkin di udara (melayang di udara) yang dilakukan dengan cepat dengan jalan melakukan tolakan satu kaki untuk mencapai jarak sejauh-jauhnya.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
639
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Dalam lompat jauh terdapat tiga macam gaya yaitu gaya jongkok, gaya menggantung dan gaya berjalan di udara. Lompat jauh gaya jongkok disebut juga gaya duduk di udara (sit down in the air). Dikatakan gaya jongkok karena gerakan yang dilakukan pada saat di udara membentuk seperti orang jongkok atau duduk. Gerakan jongkok atau duduk ini terlihat seperti membungkukkan badan dan kedua lutut ditekuk, kedua tangan di depan. Pada saat mendarat kedua kaki dijulurkan ke depan, mendarat dengan bagian tumit lebih dahulu dan kedua tangan ke depan. Untuk menghindari kesalahan saat mendarat, maka diikuti dengan menjatuhkan badan ke depan.
Gambar 1. Lompat jauh gaya jongkok (Genrry A. Carr, 1997 :142) Lompat jauh gaya jongkok merupakan gaya yang paling mudah dilakukan terutama bagi anak-anak sekolah. Aip Syarifuddin (1992: 93) menyatakan bahwa, “lompat jauh gaya jongkok, pada umumnya banyak dilakukan anak-anak sekolah, karena dianggap gaya yang paling mudah untuk dipelajari”. Hal ini disebabkan karena lompat jauh gaya jongkok tidak banyak gerakan yang harus dilakukan pada saat melayang di udara dibandingkan dengan gaya yang lainnya. Konsentrasi atlet yang perlu diperhatikan pada gaya jongkok terletak pada membungkukkan badan dan menekuk kedua lutut dan menjulurkan kedua kaki ke depan dan kedua lengan tetap ke depan untuk mendarat.
Teknik Lompat Jauh Gaya jongkok Teknik Lompat Jauh Gaya jongkok, Teknik merupakan rangkuman metode yang dipergunakan dalam melakukan gerakan dalam suatu cabang olahraga. Teknik juga merupakan suatu proses gerakan dan pembuktian dalam suatu cabang olahraga, atau dengan kata lain teknik merupakan pelaksanaan suatu kegiatan secara efektif dan rasional yang memungkinkan suatu hasil yang optimal dalam latihan atau perlombaan. Teknik lompat jauh terdiri beberapa bagian yang pelaksanaannya harus dirangkaikan secara baik dan harmonis. Soegito (1992: 55) menyatakan bahwa, “faktor-faktor yang sangat menentukan untuk mencapai prestasi dalam lompat jauh adalah awalan, tumpuan, lompatan, saat melayang, dan pendaratan”. Untuk lebih jelasnya teknik lompat jauh dapat diuraikan sebagai berikut: Awalan Awalan merupakan tahap pertama dalam lompat jauh. Tujuan awalan adalah untuk mendapatkan kecepatan maksimal pada saat akan melompat dan membawa pelompat pada posisi yang optimal untuk tolakan. Awalan yang benar merupakan prasyarat yang harus dipenuhi, untuk menghasilkan jarak lompatan yang sejauh-jauhnya. Pelompat harus berlari
640
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
semakin cepat sehingga mencapai kecepatan penuh pada saat sebelum salah satu kaki menumpu. Adapun pelaksanaan awalan lompat jauh menurut Aip Syarifuddin (1992: 73) yaitu : 1. Jarak awalan tergantung pada tiap-tiap pelari (sekitar 30 sampai 40 meter). Jarak awalan harus cukup jauh dan lari cepat untuk mendapatkan momentum yang paling besar. 2. Kecepatan awalan dan irama langkah harus tetap. Pada saat melangkah konsentrasi tertuju pada lompatan yang setinggi-tingginya. 3. Langkah terakhir agak diperpendak, supaya dapat menolak ke alas dengan sempurna. 4. Sikap lari seperti pada lari jarak pendek. Awalan lompat jauh harus dilakukan dengan harmonis, lancar dan dengan kecepatan tinggi, tanpa ada gangguan langkah yang diperkecil atau diperlebar untuk memperoleh ketepatan bertumpu pada blok tumpuan. Aip Syarifuddin (1992: 91) menyatakan bahwa “untuk menjaga kemungkinan pada waktu melakukan awalan itu tidak cocok, atau ketidak tepatan awalan dan tolakan, biasanya pelombat membuat dua buah tanda (cherkmark) antara permulaan akan memulai permulaan awalan dengan papan tolakan”.
Tumpuan atau Tolakan (Take-Off) Tumpuan adalah salah satu tahap vital dalam rangkaian gerakan lompat jauh, hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan tumpuan adalah penggunaan kaki terkuat agar tolakan yang dihasilkan dapat maksimal, selain itu perubahan arah gerakan juga harus diperhatikan, yaitu perubahan dari gerak lari kearah depan dilanjutkan tolakan keatas sehingga gerakan yang dihasilkan berbentuk parabola. Menurut Aip Syarifuddin (1992: 74) “tolakan adalah perubahan atau perpindahan gerakan dari gerakan horizontal ke gerakan vertikal yang dilakukan secara cepat”. Tumpuan dilakukan dengan cara yaitu, sebelumnya pelompat menyiapkan diri untuk melakukan tolakan sekuat-kuatnya pada langkah terakhir, sehingga seluruh tubuh terangkat keatas melayang di udara. Tamsir Riyadi (1985: 96), menyatakan teknik menumpu pada lompat jauh sebagai berikut: 1. Tolakan dilakukan dengan kaki yang terkuat. 2. Sesaat akan bertumpu sikap badan agak condong kebelakang (jangan berlebihan) untuk membantu timbulnya lambungan yang lebih baik (sekitar 45°). 3. Bertumpu sebaiknya tepat pada papan tumpuan. 4. Saat bertumpu kedua lengan ikut serta diayunkan ke depan atas. Pandangan ke depan atas (jangan melihat ke bawah). 5. Pada kaki ayun (kanan) diangkat ke depan setinggi pinggul dalam posisi lutut ditekuk
Melayang di Udara (Action in The Air) Sikap dan gerakan badan di udara sangat erat kaitannya dengan kecepatan awalan dan kekuatan tolakan, kecepatan lari dan kekuatan tolakan akan menentukan seberapa lama kita mampu melayang diudara, semakin lama kita berada diudara akan semakin terlihat gaya yang dihasilkan dan akan semakin jauh jangkauan yang tercapai. Menurut Soegito (1992: 92) “sikap saat melayang adalah sikap setelah gerakan lompatan dilakukan dan badan sudah terangkat tinggi ke atas”. Karena pada waktu lepas dari papan tolak, badan si pelompat dipengaruhi oleh kekuatan yang disebut “daya penarik bumi”. Daya penarik bumi ini bertitik tangkap pada suatu titik yang disebut titik berat badan yang letaknya kira-kira pada pinggang pelompat sedikit dibawah pusar agak ke belakang. Hal ini artinya, pada saat melayang di udara merupakan letak yang akan membedakan gaya dalam lompat jauh.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
641
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Adapun cara melakukan sikap badan di udara menurut Aip Syarifuddin (1992: 75) sebagi berikut: 1. Sesaat setelah menumpu, kaki tumpu segera diluruskan selurus-lurusnya. 2. Mengangkat pinggul ke muka atas. 3. Diusahakn selama mungkin saat berada di udara dengan cara menjaga keseimbangan dan persiapan pendaratan. 4. Pada saat melayang di udara, kedua kaki sedikit ditekuk sehingga posisi badan berada dalam sikap jongkok. 5.Sikap tubuh saat melayang ditentukan oleh gaya lompat jauh yaitu: gaya jongkok (tuck style), gaya menggantung atau melenting (hang style) dan gaya berjalan di udara (walking in the air).
Pendaratan Sikap mendarat pada lompat jauh baik gaya jongkok, gaya menggantung maupun gaya berjalan di uadara adalah sama. Pendaratan merupakan tahap terakhir dari rangkaian gerakan lompat jauh. Pendaratan merupakan prestasi yang dicapai dalam lompat jauh. Mendarat dengan sikap dan gerakan yang efisien merupakan kunci pokok yang harus dipahami oleh pelompat. Aip Syarifuddin (1992: 95) menyatakan bahwa: Sikap mendarat pada lompat jauh, baik untuk lompat jauh gaya jongkok, gaya menggantung, maupun gaya jalan diudara adalah sama. yaitu : Pada waktu akan mendarat kaki dibawa kedepan, kedua tangan ke depan. Kemudian mendarat apda kedua tumit terlebih dahulu dan mengeper, dengan kedua lutut dibengkokkan (ditekuk), berat badan dibawa ke depan supaya tidak jatuh ke belakang, kepala ditundukkan, kedua tangan kedepan.
Alat Bantu Pembelajaran Pengertian Alat Bantu Pembelajaran Alat bantu merupakan alat-alat yang digunakan oleh pendidik dalam menyampaikan pembelajaran. Alat bantu berfungsi sebagai sarana peraga dalam pembelajaran, hal ini bertujuan untuk mempermudah pemahaman siswa. Srijono Brotosuryo dkk. (1994: 294) menyatakan, ”Alat bantu pembelajaran adalah alat-alat yang digunakan oleh guru sebagai sarana untuk membantu pelaksanaan kegiatan mengajar”. Menurut H.J. Gino (1998: 37) berpendapat, “alat bantu pembelajaran adalah semua alat yang digunakan dalam proses belajar mengajar dengan maksud untuk menyampaikan pesan (informasi) pembelajaran dari sumber (guru maupun sumber lain) kepada penerima (siswa)”. Alat bantu disusun berdasarkan prinsip bahwa pengetahuan manusia diterima atau ditangkap melaui panca indera. Semakin banyak panca indera yang digunakan untuk menerima informasi maka semakin jelas pengertian yang diperoleh. Media yang dapat dilihat indera mata (media visual) sangat membantu proses belajar mengajar anak dalam memahami konsep berpikir abstrak.
Manfaat Alat Bantu Pembelajaran Alat bantu mempunyai arti penting dalam kegiatan pembelajaran. Alat bantu dapat dijadikan sarana untuk menyampaikan materi pembelajaran kepada siswa. Selain itu, alat bantu akan mempermudah siswa dalam mempelajari materi pembelajaran. Lebih lanjut Srijono Brotosuryo (1994: 297) menyatakan, “dengan menggunakan alat bantu mengajar atau media, pengajaran dapat menjadi lebih konkrit dan menarik sehingga mudah untuk dimengerti dan dipahami anak didik”. Sedangkan M. Sobry Sutikno (2009: 106-107) menyatakan:
642
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Ada beberapa fungsi penggunaan media atau alat dalam proses pembelajaran, diantaranya : 1. Menarik perhatian siswa 2. Membantu mempercepat pemahaman dalam proses pembelajaran 3. Memperjelas penyajian pesan agar tidak bersifat verbalitis (dalam bentuk kata-kata tertulis atau lisan) 4. Mengatasi keterbatasan ruang 5. Pembelajaran lebih komunikatif dan produktif 6. Waktu pembelajaran bisa dikondisikan 7. Menghilangkan kebosanan siswa dalam pembelajaran 8. Meningkatkan motivasi siswa dalam mempelajari sesuatu atau menimbulkan gairah belajar 9. Melayani gaya belajar siswa beraneka ragam. 10. Meningkatkan kadar keaktifan/keterlibatan siswa dalam kegiatan pembelajaran Alat bantu atau media pembelajaran memiliki manfaat yang sangat luas dalam kegiatan belajar mengajar. Dengan menggunakan alat bantu yang baik dan tepat, maka akan mendukung pencapaian hasil belajar yang optimal. Oleh karena itu guru penjas harus mampu memanfaatkan berbagai macam alat bantu pembelajaran, jika dalam pembelajaran materi penjas banyak kendala. Rusli Lutan (2000: 46) menyatakan, “Terbuka kesempatan guru pendidikan jasmani untuk membuat sendiri alat-alat sesuai dengan kebutuhan guna menyampaikan bahan pelajaran”. Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa penggunaan alat bantu pembelajaran dapat membantu dalam menyampaikan pengertian-pengertian yang bersifat abstrak menjadi lebih konkrit dan lebih mudah dipahami siswa. Selain itu, seorang guru juga bisa membuat sendiri alat-alat sesuai dengan kebutuhan dan tujuan pembelajaran. Syarat Alat Bantu Pembelajaran yang Baik Suatu alat pembelajaran dapat dikatakan baik apabila mempunyai tujuan pendidika untuk : Mengubah pengetahuan/pengertian, pendapat dan konsep-konsep, Mengubah sikap dan persepsi, Menanamkan tingkah laku/kebiasaan yang baru. Selain itu, alat bantu harus efisien dalam penggunakannya, dalam waktu yang singkat dapat mencakup isi yang luas dan tempat yang diperlukan tidak terlalu luas. Penempatan alat bantu perlu diperhatikan ketepatannya agar dapat diamati oleh seluruh siswa.Efektif artinya memberikan hasil guru yang tinggi ditinjau dari segi pesannya dan kepentingan siswa yang sedang belajar. Sedangkan yang dimaksud dengan komunikatif ialah bahwa media tersebut mudah untuk dimengerti maksudnya.
Alat Bantu Bilah, Kardus, Bola Gantung, dan Ban Bekas Alat bantu bilah, kardus, bola gantung, dan ban bekas adalah alat bantu yang dibuat dalam upaya meningkatkan hasil belajar lompat jauh gaya jongkok siswa kelas VB SD Negeri Wonokerso 3 Tahun Pelajaran 2013/2014. Bilah terbuat dari bambu yang dipotong dengan ukuran panjang 1 meter dan lebar 5-10 cm. Alat bantu kardus yang digunakan dalam penelitian ini adalah kardus kosong dengan ukuran panjang 40 cm, lebar 25 cm dan tinggi 20 cm. Kemudian ban bekas sendiri yang digunakan adalah ban sepeda bekas, dengan ukuran diameter lingkaran 60cm. Sedangkan bola gantung yaitu bola plastik yang kemudian digantung dibambu dengan menggunakan jaring bola Dalam menentukan alat bantu yang digunakan didasarkan pada syarat-syarat penggunaan alat bantu yang baik. Media pendidikan yang memenuhi syarat,Dinbakir (2009 ) menjelaskan tentang Kriteria Pemilihan Media 1. Sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.artinya media dipilih berdasarkan tujuan instruksional yang telah ditetapkan. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
643
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
2. Tepat untuk mendukung isi pelajaran yang sifatnya fakta,konsep,prinsip atau generalisasi. 3. Praktis,luwes dan bertahan. 4. Guru terampil menggunakannya. 5. Pengelompokan sasaran.media yang efektif untuk kelompok besar belum tentu sama dengan efektifnya jika digunakan untuk kelompok kecil. 6. Mutu teknis 7. Kondisi siswa (dari segi subjek belajar) Alat batu dipilih karena dirasa sudah cukup memenuhi syarat sebagai alat bantu pembelajaran. Selain dapat dipikirkan dan mudah digunakan, alat bantu bilah, kardus, bola gantung, dan ban bekas juga mudah didapat dan ekonomis dalam pembiayaan, selain itu dalam penggunaannya, alat bantu tersebut bukan termasuk alat yang berbahaya untuk digunakan dalam pembelajaran.
Metode Penelitian Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian Tindakan Kelas ini dilaksanakan di lapangan Olahraga SD Negeri Wonokerso III Kedawung. Penelitian ini direncanakan mulai bulan Mei-Juni setiap berlangsungnya mata pelajaran Pendidikan Jasmani siswa Kelas V SD Negeri Wonokerso III Kedawung Tahun Pelajaran 2013/2014, yaitu setiap hari Rabu dari pukul 07.00 sampai 08.30 WIB. Hal ini dilakukan karena dalam penelitian tindakan kelas proses pelaksanaan penelitian tidak boleh menggangu proses belajar mengajar itu sendiri.
Subjek Penelitian Subjek dalam penelitian ini siswa kelas VB SD Negeri Wonokerso III Tahun Pelajaran 2013/2014. Jumlah keseluruhan siswa adalah sebanyak 24 siswa yang terdiri dari 9 siswa putra dan 15 putri. Seluruh siswa diamati untuk mengetahui tingkat perkembangan hasil belajar.
Data dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Data Primer, berupa RPP, hasil belajar dan proses pembelajaran penjas di SD Negeri Wonokerso III Kedawung 2. Data Sekunder, berupa, silabus dan dokumen siswa Kelas V SD Negeri Wonokerso III Kedawung
Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi informasi tentang keadaan siswa dilihat dari aspek kualitatif, dan kuantitatif. Aspek kualitatif berupa catatan lapangan pelaksanaan pembelajaran, hasil observasi dengan berpedoman pada lembar observasi. Aspek kuantitatif yang dimaksud adalah hasil penilaian belajar dari materi pokok Lompat jauh gaya jongkok. Data penelitian dikumpulkan dari berbagai sumber meliputi : a. Observasi b. Wawancara c. Dokumentasi atau arsip yang antara lain berupa kurikulum, sekenario pembelajaran, silabus buku penilaian dan buku referensi mengajar.
Uji Validitas Data Untuk menjamin validitas data dan pertanggung jawaban yang dapat dijadikan dasar yang kuat untuk menarik kesimpulan, maka yang digunakan untuk memeriksa validitas data yaitu dengan validitas isi dan teknik trianggulasi.
644
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Validitas isi mencakup sejauh mana bentuk tes yang digunakan dalam penelitian ini sudah sesuaikah dengan silabus mata pelajaran Penjasorker kelas V yang dikonsultasikan dengan observer. Sedangkan teknik triangulasi yang digunakan yang sebagai validasi keaktifan atau aktivitas siswa dan guru selama proses pembelajaran adalah triangulasi metode, yaitu dengan cara : 1. Data aktivitas siswa selama proses pembelajaran diperoleh dengan observasi lalu dicek dengan dokumentasi yang meliputi hasil kerja siswa, lembar observasi aktivitas siswa dan foto proses pembelajaran. Apabila dengan teknik pengujian tersebut dihasilkan data yang sama, maka data tersebut dinyatakan valid. 2. Data aktivitas guru selama proses pembelajaran diperoleh dengan observasi lalu dicek dengan dokumentasi yang meliputi lembar observasi kinerja guru, foto proses pembelajaran. Apabila melalui pengujian tersebut dihasilkan data yang sama maka data tersebut dinyatakan valid.
Analisis Data Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif. Menurut Suharsimi Arikunto (1989:243), “Pada umumnya penelitian deskriptif merupakan penelitian non hipotesis sehingga dalam langkah penelitiannya tidak perlu merumuskan hipotesis”. Penelitian dengan data kuantitatif memperoleh hasil perhitungan berupa angkaangka. Suharsimi Arikunto (1989: 244) mengatakan, pengukuran data kuantitatif dapat dilakukan dengan beberapa cara : 1. Dijumlahkan, dibandingkan dengan jumlah yang diharapkan dan diperoleh persentase 2. Dijumlahkan, diklasifikasikan sehingga merupakan suatu susunan urut data (arrai), untuk selanjutnya dibuat tabel, baik yang hanya berhenti sampai tabel saja, maupun yang diproses lebih lanjut menjadi perhitungan pengambilan kesimpulan ataupun untuk kepentingan visualisasi datanya.
Indikator Kinerja Penelitian Tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah meningkatnya hasil belajar gerak dasar Lompat jauh gaya jongkok siswa Kelas V SD Negeri Wonokerso III Kedawung Tahun Pelajaran 2013/2014. Setiap tindakan upaya pencapaian tujuan tersebut dirancang dalam satu unit sebagai satu siklus. Setiap siklus terdiri atas empat tahap, yaitu: (1) perencanaan tindakan, (2) pelaksanaan tindakan, (3) observasi dan interpretasi, dan (4) analisis dan refleksi untuk perencanaan siklus berikutnya. .
Hasil Penelitian Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan menggunakan alat bantu pembelajaran dapat meningkatkan hasil belajar gerak dasar lompat jauh gaya jongkok dari pra siklus ke siklus I dan dari siklus I ke siklus II. Hasil belajar lompat jauh gaya jongkok pada pra siklus dalam kategori tuntas adalah 33,3% atau 8 siswa, pada akhir siklus I setelah diberikan pembelajaran teknik gerak dasar lompat jauh gaya jongkok menggunakan alat bantu bilah dan kardus meningkat menjadi 58,3% atau 14 siswa, kemudian kembali terjadi peningkatan setelah diberikan tindakan pada siklus II menjadi 83,4% atau 20 siswa dengan lebih menekankan memperanyak kesempatan siswa dalam melakukan gerakan lompat jauh secara keseluruhan.
Simpulan Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
645
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Penelitian Tindakan Kelas yang dilaksanakan pada siswa kelas VB SD Negeri Wonokerso 3 Tahun Pelajaran 2013/2014 dilaksanakan dalam dua siklus. Setiap siklus terdiri atas empat tahapan, yaitu: (1) perencanaan, (2) pelaksanaan tindakan, (3) observasi dan interpretasi, dan (4) analisis dan refleksi. Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan dan pembahasan yang telah diungkapkan, diperoleh simpulan sebagai berikut: Penggunaan alat bantu pembelajaran (bilah bambu, kardus, bola gantung, dan ban bekas) berhasil meningkatkan hasil belajar lompat jauh gaya jongkok pada siswa kelas VB SD Negeri Wonokerso 3 Tahun Pelajaran 2013/2014. Dari hasil analisis yang diperoleh, menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan antara pra siklus, siklus I, dan siklus II. Hasil belajar lompat jauh gaya jongkok pada pra siklus dalam kategori tuntas adalah 33,3% atau 8 siswa, pada akhir siklus I menjadi 58,3% atau 14 siswa, kemudian kembali terjadi peningkatan setelah diberikan tindakan pada siklus II menjadi 83,4% atau 20 siswa.
Daftar Pustaka Adang Suherman. 2000. Dasar-dasar Penjaskes. Jakarta: Depdikbud. Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Bagian Proyek Penataran Guru SLTP Setara D-III. Agus Kristiyanto. 2010. Penelitian Tindakan Kelas (PTK) Dalam Pendidikan Jasmani & Kepelatihan olahraga. Surakarta : UNS Press. Aip Syarifudin. 1992. Atletik. Jakarta: Depdikbud, Dirjendikti, Proyek Pembinaan Tenaga Kependidikan. Dimyati dan Mudjiono. 1999. Belajar dan Pembelajaran. Dep. Pendidikan dan Kebudayaan. Dinbakir. 2009. http://dinbakir.wordpress.com/2009/05/30/media-pembelajaran. Didownload pada tanggal 16 Maret 2012 pukul 23.35. Echolis, Jhon, M.Shadily, Hassan. 2005. Kamus Inggris. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Gerry A. Carr. 1997. Atletik Untuk Sekolah. Jakarta : Grafindo Persada. H.J. Gino, Suwarni, Suripto, Maryanto dan Sutijan. 1998. Belajar dan Pembelajaran II. Surakarta: UNS Press. Imam Taufik. 2010. Kamus Praktis Bahasa Indonesia. Jakarta: Exact Ganeca. Iskandar. 2009. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Gaung Persada(GP) Press. Kemmis dan Taggart. 1994. The Action Research Planner. Dekain University. Mohammad Muhyi Farjuq. 2007. Permainan Kecerdasan Kinastetik. Jakarta: Gramedia. M. Sobry Sutikno. 2009. Belajar dan Pembelajaran Upaya Kreatif dalam Mewujudkan Pembelajaran yang Berhasil. Bandung: Prospect. Mulyasa. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung: Remaja Rosda Karya. Purwanto. 2011. Evaluasi Hasil Belajar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Rusli Lutan. 2000. Pembelajaran Penjas. Jakarta: Depdikbud. Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Bagian Proyek Penataran Guru SLTP setara D-III. Soegito. 1992. Teori dan Praktek Atletik I. Surakarta: UNS Press. Sofan Amri S.Pd, Ahmad Jauhari S.Pd, Tatik Elisah S.Pd. 2011. Implementasi Pendidikan Karakter Dalam Pembeajaran. Jakarta: Prestasi Pustaka. Srijono Brotosuryo, Sunardi dan M. Furqon H. 1994. Perencanaan Pengajaran Pendidikan Jasmani dan Kesehatan. Jakarta: Depdikbud. Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah. Direktorat Pendidikan Guru dan Tenaga Tekhnis Bagian Proyek Penataran Guru Pendidikan Jasmani dan Kesehatan SD Setara D-II. Suharsimi Arikunto. 1989. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rinneka Cipta. Susilo. 2009. Panduan Penelitian Tindakan Kelas. Sleman Yogyakarta : Pustaka Book Publisher.
646
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Syaiful Sagala. 2011. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta. Tamsir Riyadi. 1985. Petunjuk Atletik. Yogyakarta: FPOK IKIP. Zainal Aqib. 2006. Penelitian Tindakan Kelas Untuk Guru. Bandung : Yrama Widya.
Pengaruh Metode Mengajar Dan Persepsi Kinestetik Terhadap Keterampilan Dasar Bermain Sepak Bola Slamet Raharjo 4 ([emailprotected]) Abstract This research was to find out and analys the differences between learning method and kinaesthetic perceptions toward basic skills playing soccer. This research is experimental method with factorial 2x2 design applicated. The population is junior high school student eight class in Karangan Trenggalek East Java 2013/2014 period with students (N = 80). For Samples were taken with random sampling, and results were analysed with ANAVA two way (the 11st version of SPSS computer program. For test Kinesthetic Perception and Yeagley Soccer Battery, Normality was determined with Kolmogorov-Smirnov, and homogenity determined with Bartlett test. Result were (1) learning method teaches influential according to significant towards result basic skill play soccer, this matter is proved from result Fo = 9,08 > f0,95;1,38 = 4,10 or because pvalue = 0,005< 0,05. (2). There is a difference influence between kinaesthetic perception with high and low kinaesthetic perception towards basic skill play soccer, result Fo= 70,97 > f0,95; 1,38 = 4,10 or because p-value = 0,000 or l < 0,05. (3). There are no interaction between learning models and kinaesthetic perceptions toward the basic skills in playing soccer based on result Fo= 0,81 < F0,95 ; 1,36 = 4,11 or because p- value = 0,373 > 0,05. Conclusion that in will teach technique basic skill soccer playing a teacher/coach necessary will consider method will teach and be used need to know different kinaesthetic perception student one with other ability. Suggestion this practice method can be made alternatively by teachers at high school level (SLTP), physical education and sport exspecially in playing soccer. Keywords: : Learning , method, kinesthetic perception, basic skill soccer playing Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis perbedaan pengaruh metode mengajar dan persepsi kinestetik terhadap keterampilan dasar bermain sepak bola. Desain penelitian ini adalah eksperimen dengan faktorial 2x2. Populasinya siswa putra kelas delapan SLTPN I Karangan Trenggalek Jawa Timur tahun ajaran 2013/2014 yang berjumlah 80 siswa. Pengambilan sampel dengan cara acak, dan dianalisis dengan teknik ANAVA program SPSS versi 11. Untuk tes Kinesthetic Perception dan sepak bola Yeagley Soccer Battery. Untuk uji normalitas Kolmogorov-Smirnov dan uji homogenitas varians (uji Bartlett). Hasil menunjukkan (1). Metode mengajar berpengaruh secara signifikan terhadap keterampilan dasar bermain sepak bola. Hal ini terbukti dari perolehan Fo = 9,08 > F0,95;1,38 = 4,10 atau karena p-value = 0,005 < 0,05. (2). Ada perbedaan pengaruh antara persepsi kinestetik tinggi dan rendah terhadap keterampilan dasar bermain sepak bola, hasil perolehan Fo = 70,97 > F0,95 ; 1,38 = 4,10 atau karena p-value = 0,000 atau l < 0,05. (3). bahwa tidak ada interaksi (interaction effects) antara metode mengajar dan persepsi kinestetik terhadap keterampilan dasar bermain sepak bola. Terbukti dari perolehan Fo = 0,81 < F0,95 ; 1,36 = 4,11 atau karena p- value = 0,373 > 0,05. Kesimpulan bahwa dalam mengajar teknik dasar bermain sepak bola seorang guru/pelatih perlu mempertimbangkan metode mengajar dan kemampuan persepsi kinestetik siswa yang berbeda satu dengan yang lain. Kiranya metode ini sebagai salah satu alternatif para guru
4
Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Malang
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
647
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) pelajaran olahraga khususnya permainan sepak bola.
pendidikan jasmani kesehatan dan
Kata Kunci: Metode Mengajar, Persepsi Kinestetik, Keterampilan Dasar Sepak Bola
Pendahuluan Pendidikan jasmani dan olahraga tidak hanya berdampak positif pada pertumbuhan fisik siswa, melainkan juga perkembangan mental, intelektual, emosional, dan sosialnya. Pendidikan tidak lengkap tanpa pendidikan jasmani dan olahraga, dan tidak ada pendidikan jasmani dan olahraga tanpa media gerak, karena gerak sebagai aktivitas fisik merupakan dasar alami bagi manusia untuk belajar mengenal dunia dan dirinya sendiri. Fungsi dan peran utama pendidikan jasmani dan olahraga ini adalah sebagai media sosialisasi keterampilan fisik dan psikologis siswa dalam pemecahan masalah, bermasyarakat, berpemimpin, pelatih kelompoknya, atau administrasi dan organisasi, termasuk kegiatankegiatan sekolah yang sifatnya ekstrakurikuler dan kemampuannya dalam mensosialisasikan nilai-nilai aktivitas jasmani itu sendiri. Pendidikan jasmani dan olahraga di Sekolah lanjutan Tingkat Pertama pada dasarnya merupakan kesinambungan dari pendidikan jasmani dan olahraga di Sekolah Dasar dan sekaligus merupakan landasan pendidikan jasmani dan olahraga di Sekolah Menengah. Sepak bola merupakan salah satu cabang olahraga permainan paling digemari yang dapat dimainkan orang usia muda sampai usia tua. Hal ini terbukti dengan adanya pertandingan sepak bola mulai dari kelompok yunior sampai dengan kelompok senior, baik di tingkat daerah, nasional, maupun internasional. Di Indonesia, permainan sepak bola sudah dikenal semenjak jaman penjajahan dan sekarang sepak bola merupakan olahraga massal yang digemari oleh hampir semua lapisan masyarakat. Pengamatan peneliti di SLTP Negeri I Karangan Trenggalek Jawa Timur, banyak kendala dilapangan yang dapat mempengaruhi proses pencapaian tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan belum dapat terpenuhi dengan baik, karena (a) banyak materi yang diberikan dan harus dikuasai dalam satu cawu selain mata pelajaran pendidikan jasmani dan olahraga; (b) jumlah siswa yang begitu banyak yang harus mengikuti ekstrkurikuler sepak bola; (c) terbatasnya sarana dan prasarana; (d) kekhususan pelajaran sepak bola berbeda dibandingkan pelajaran lain, sesorang yang menguasai teori lari maka orang tersebut akan dapat berlari, tetapi seseorang yang menguasai teori sepak bola belum tentu akan dapat bermain sepak bola Dougherty dan Bonnano (1979), bahwa (1) Tidak ada gaya mengajar yang paling baik untuk selamanya. Setiap gaya mengajar memiliki kelebihan dan kekurangan; (2) Ada periode yang menyebabkan berhenti yang harus diamati, jika gaya mengajar beralih ke arah yang lebih menekankan kepada siswa pada akhir rangkaian kesatuan gaya mengajar; (3) Jika pelajaran ternyata tidak berhasil, maka dengan hati-hati menilai semua variabel atau faktor di dalam situasi mengajar sebelum menyalahkan gaya mengajar itu sendiri; (4) Jangan takut mengkombinasi gaya-gaya mengajar; (5) Jangan terpaku pada satu gaya mengajar; (6) Ingat bahwa gaya mengajar itu baik jika pelakunya baik atau dilakukan dengan baik. Pemilihan metode mengajar oleh seorang guru untuk proses belajar mengajar merupakan hal yang tidak mudah untuk dilakukan. selamanya. Setiap metode mengajar memiliki kelebihan dan kekurangan. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi proses belajar dan mengajar, menurut
648
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Hietmann dan Kneer (1976), adalah (1) faktor isi dan informasi dari keterampilan yang diajarkan; (2) susunan dan prosedur yang memudahkan pembelajaran; dan (3) hubungan interaksi antara guru dan murid. Perlu diingat bahwasannya keberhasilan keterampilan gerak dalam proses belajar mengajar teknik dasar bermain sepak bola tidak hanya ditentukan oleh metode mengajar saja namun ditentukan pula oleh adanya kontribusi faktor internal lain yang berupa kemampuan persepsi kinestetik siswa. Keterampilan gerak yang optimal, efisien dan efektif didapat dari proses penginderaan, sebelum seseorang bisa memahami dan mampu berbuat sesuatu. Secara potensial setiap individu memiliki kemampuan penginderaan yang berbeda dalam menangkap stimulus untuk dapat memahami dan menterjemahkan makna stimulus diperlukan proses lanjut yang disebut persepsi. Organ yang bertugas menangkap stimulus adalah mata sebagai indera penglihat, telinga sebagai indera untuk mengkap stimulus suara, indera kinestetik yang pengertiannya identik dengan propriosepsi berperan untuk merasakan posisi dan gerak tubuh. Menurut Singer (1980:205) menyoroti dari dukungan yang mendasari keberhasilan dalam kegiatan gerak yang meliputi beberapa faktor yaitu koordinasi, keseimbangan, kinestetik, dan kecepatan bergerak. Belajar gerak dalah mempelajari pola-pola gerak keterampilan tubuh, proses belajarnya melalui pengamatan dan mempraktekkan pola-pola yang dipelajari
Hakikat Metode Mengajar Dalam kegiatan proses belajar mengajar perlu adanya suatu metode untuk membantu kelancaran selama kegiatan belajar berlansung. Menurut kamus besar Bahasa Indonesia Balai Pustaka (1996), bahwa Metode adalah cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan. Belajar perlu dibedakan dengan konsep-konsep yang berhubungan seperti berpikir, berperilaku, perkembangan atau perubahan. Piaget dalam Brophy (1990), menyatakan dalam pembelajaran gerak disebut “ Skema Sensorimotor” yaitu suatu pembelajaran lebih efisien bila diberikan contoh sehingga dapat meniru dan dengan instruksi verbal dan gambaran visual dapat menggunakannya sebagai penuntun terhadap penampilan dan menjadi tambahan kesempatan dalam praktek dengan umpan balik yang korektif”. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Adam (1990), bahwa Umpan balik dalam belajar keterampilan gerak bersifat internal, selain umpan balik internal ini keterampilan gerak juga menghasilkan umpan balik eksternal melalui kejadian di lingkungannya. Metode mengajar adalah cara yang mempergunakan teknik yang beraneka ragam yang didasari oleh pengertian yang mendalam dari guru akan memperbesar minat belajar muridmurid, sehingga mempertinggi hasil belajar. Sedangkan Nana Sudjana (2000:25), bahwa Hakikat belajar-mengajar adalah peristiwa belajar yang terjadi pada siswa secara aktif berinteraksi dengan lingkungan belajar yang diatur oleh guru Pendidikan jasmani dan olahraga adalah disiplin akademik yang bersifat interdicipline pengembangannya sangat bergantung dari ilmu yang menyangga (psikologi, kesehatan, filsafat, pendidikan, pengajaran dan sebagainya. Belajar mempunyai makna sebagai proses perubahan tingkah laku akibat adanya interaksi antara individu dengan lingkungannya. Belajar gerak menurut Magill (1980) adalah Perubahan dari individu yang didasarkan dari perkembangan permanen dari individu yang dicapai oleh individu sebagai hasil praktek.
Metode Komando
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
649
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Metode mengajar teknik dasar bermain sepak bola adalah cara yang dilakukan oleh guru untuk menciptakan suatu bentuk pengajaran teknik dasar bermain sepak bola dengan kondisi yang diinginkan untuk membantu siswa dalam mencapai penguasaan keterampilan dasar bermain sepak bola. Pemilihan metode mengajar oleh seorang guru untuk proses belajar mengajar merupakan hal yang tidak mudah untuk dilakukan. Metode komando adalah suatu cara pendekatan guru dalam membuat semua keputusan selama pertemuan berlangsung akan diteruskan kepada siswa. Dalam anatomi metode ini, Mosston (1994) meninjaunya dari tiga perangkat keputusan: pra-pertemuan, selama pertemuan, dan pasca pertemuan. Dalam pra-pertemuan semua keputusan dibuat oleh guru antara lain mengenai materi pokok bahasan, tugas–tugas, organisasi, dan lain–lain. Selama pertemuan berlangsung yang dibuat oleh guru antara lain penjelasan peranan guru dan siswa, penyampaian pokok bahasan, penjelasan mengenai prosedur organisasi, kelompok, tempat kegiatan yang terdiri dari : peragaan, penjelasan, pelaksanaan, dan penilaian. Keputusan pada pasca pertemuan antara lain umpan balik dari guru kepada siswa, sasarannya harus memberi banyak waktu pada waktu pelaksanaan tugas. Implikasi dari metode komando ini adalah standar penampilan sudah mantap dan pada umumnya satu model untuk satu tugas; pokok bahasan yang dipelajari dengan cara menirukan dan mengingat melalui penampilan; setiap pokok bahasan dipilah–pilah menjadi bagian-bagian yang mudah di mengerti dan dapat diikuti oleh siswa; dalam metode komando tidak ada perbedaan individual. Dalam metode ini terdapat unsur-unsur yang khas dalam pelajaran yaitu semua keputusan dibuat oleh guru; siswa mengikuti petunjuk dan melaksanakan tugas yang diberikan oleh guru; menghasilkan tingkat kegiatan yang tinggi; dan dalam hal ini dapat membuat siswa merasa terlibat dan termotivasi pada saat melaksanakan tugas dari guru; mengembangkan perilaku yang berdisiplin dan mentaati prosedur yang telah ditetapkan selama kegiatan berlangsung. Mosston (1994), mengemukakan bahwa tujuan dari metode ini adalah “ Untuk belajar melaksanakan tugas dengan teliti, menumbuhkan sikap disiplin, memperoleh kemajuan dalam mengatasi setiap problem, saling menghargai dan menumbuhkan sikap bertanggung jawab dalam melaksanakan tugas”.
Metode Latihan Menurut Mosston (1994), metode latihan adalah pelimpahan keputusan tertentu dari guru kepada siswa dalam tugas-tugas latihan yang telah di demonstrasikan sebelumnya. Dalam metode latihan ini, ada beberapa keputusan selama pertemuan berlangsung yang dipindahkan dari guru ke siswa. Sasaran metode latihan ini berbeda dengan metode komando dalam hubungannya dengan perilaku guru dan peranan siswa. Sasaran yang berhubungan dengan tugas penampilan adalah berlatih tugas-tugas yang diberikan sebagaimana telah didemonstrasikan dan dijelaskan sebelumnya; tugas penampilan yang telah diberikan; lamanya waktu berkaitan dengan kecakapan penampilan; memiliki pengalaman dan pengetahuan tentang hasil pembelajaran yang diberikan oleh guru dalam berbagai bentuk. Peranan guru disini sedikit berubah dari metode komando menjadi metode latihan yaitu guru memberi kesempatan siswa untuk bekerja sendiri; memberi balikan secara pribadi kepada siswa; guru harus memberi kesempatan kepada siwa untuk menyesuaikan diri dengan peranan mereka, sedangkan peranan siswa dalam metode ini adalah membuat keputusan selama kegiatan berlangsung mengenai sikap; postur; tempat; urutan pelaksanaa tugas; waktu untuk memulai dan berhenti; memprakarsai pertanyaan-pertanyaan; kecepatan dan irama tugas. 650
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Dalam merencanakan pelajaran dalam metode latihan guru dapat membuat kertas tugas untuk meningkatkan efisiensi metode latihan. Kertas tugas dapat di desain untuk ditempelkan di dinding atau dibuat untuk masing-masing siswa. Fungsi kertas tugas tersebut adalah: (a) untuk membantu siswa mengingat tugasnya/apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukannya; (b) mengurangi pengulangan penjelasan dari guru; (c) mengajar siswa tentang bagaimana mengikuti tanggung jawab tertulis untuk menyelesaikan tugas-tugas; (d) Untuk mencatat kemajuan siswa untuk penilaian; (e) mengurangi kesempatan mengabaikan peragaan dan penjelasan oleh siswa, dan kemudian guru harus menyisihkan waktu lagi untuk mengulangi penjelasan yang telah diberikan. Manipulasi siswa dengan cara ini akan mengurangi interaksi guru dalam meningkatkan tanggung jawab siswa dan mengarahkan perhatian siswa kepada keterangan di kertas tugas yang harus diselesaikan. Adapun desain kertas tugas berisi tentang keterangan yang diperlukan mengenai apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukannya dengan berfokus pada tugas, memberi arah bagi siswa dalam melaksanakan tugas dan kriteria yang di dasarkan atas hasil yang dapat diketahui dan dapat dilihat oleh siswa pada lembaran tugas. Kemudian guru membuat rencana keseluruhan pelajaran, apabila kertas tugas telah merinci tugas-tugas bagi siswa, maka rencana pelajaran yang akan diberikan oleh guru tentang semua keterangan yang diperlukan untuk memimpin kelas. Komponen-komponen rencana pelajaran terdiri dari : rencana, tanggal, waktu, nama semua harus jelas. Tekanan pelajaran harus disebutkan semua kegiatan yang akan diajarkan dan peralatan yaitu semua yang diperlukan dalam pelajaran.
Persepsi Kinestetik Schmidt (1988), mengemukakan istilah kinestetik berasal dari kata “ Kin “ yang berarti motion atau gerak dan kata “ Esthesia “ yang berarti pengamatan seseorang tentang gerakannya sendiri, baik tentang gerakan anggota badannya dengan memperhatikan anggota badan lain, maupun gerakan tubuh secara keseluruhan.” Disini dapat kita lihat bahwa betapa pentingnya fungsi penginderaan dalam melakukan aktifitas gerak tertentu. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Adams (1998) bahwasannya Kinesthesia atau kinestetik adalah suatu susunan sistem syaraf yang memberikan suatu kesadaran akan posisi dan gerakan tubuh dan bagian-bagiannya di dalam ruangan tanpa melihat dengan jelas. Menurut Haywood (1986), bahwa Persepsi kinestetik adalah kemampuan untuk mengidentifikasi organ tubuh satu dengan yang lainnya, kemampuan orientasi tubuh dalam ruang, kemampuan mengetahui organ tubuh pada waktu bergerak, dan kemampuan untuk merasakan adanya kontak dengan obyek diluar dirinya. Proses masuknya stimulus disebut proses atau mekanisme perseptual. Sugiyanto (2000), mengemukakan bahwa Persepsi kinestetik melaksanakan fungsinya melalui mekanisme perseptual. Proses perseptual ini meliputi 3 macam fungsi, yaitu (1) pendeteksian fungsinya adalah untuk menentukan apakah telah terjadi stimulus; (2) perbandingan fungsinya dalah untuk menentukan apakah stimulus yang ditangkap berbeda atau sama sekali dengan dengan stimulus yang pernah ada; (3) pengenalan berfungsi untuk memahami pola dan sifat dari stimulus atau mengenali apa sebenarnya stimulus yang ditangkap. Ketiga macam fungsi perseptual tersebut pada dasarnya untuk tujuan mengenali stimulus sehingga bisa menjadi informasi yang bisa di mengerti. Fitts dalam Magill (1980), mengemukakan bahwa Pengkatagorian proses perseptual menjadi 5 (lima) macam yaitu (1) pendeteksian tentang suatu isyarat yang diterima organ visual yaitu mata; (2) diskriminasi, adalah membedakan dua stimulus yang berbeda; (3) rekognisi adalah penyampaian tentang suatu stimulus telah dikenal atau tidak; (4) identifikasi adalah Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
651
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
penyampaian suatu respon yang dikenal atau tidak terhadap adanya suatu stimulus; (5) penilaian terhadap suatu keterampilan gerak dari gerakan yang sederhana sampai pada gerakan yang kompleks.” Informasi merupakan faktor penting dalam belajar gerak keterampilan. Informasi yang ditangkap oleh sistem penginderaan. Sesuai dengan jenis informasi yang diperlukan dalam belajar gerak. Seperti yang dikemukakan oleh Barrow dan Mcgee dalam Harsono (1988), bahwa “Kinestetic sense adalah sense atau perasaan yang memberikan kita kesadaran akan posisi tubuh atau bagian–bagian dari tubuh pada waktu bergerak di udara.” Organ yang bertugas menangkap stimulus adalah (1) mata sebagai indera penglihat diperlukan untuk menagkap stimulus visual, apalagi stimulus visual yang perlu ditangkap bergerak cepat; (2) telinga sebagai indera pendengar berperan dalam gerakan menangkap stimulus yang berupa suara, misalnya dalam start lari, stimulusnya berupa bunyi aba-aba atau bunyi tembakan; (3) indera kinestetik berada pada organ otot, dan tendon. Indera berikutnya adalah (4) indera peraba yaitu kulit yaitu organ vital dari badan yang terdiri atas berbagai tipe resepstor yang berbeda, dan menyediakan informasi sensori terhadap kontrol gerak. Melalui persepsi seseorang bisa memahami dan menginterpretasi lingkungannya. Bruce Abernethy, et al (1997), bahwa Sekurang-kurangnya ada tiga prinsip yang dapat diamati dalam perkembangan kemampuan perseptual”. Salah satu prinsip tersebut adalah kematangan kemampuan perseptual berlanjut dengan baik setelah sistem sensori dan reseptor telah matang secara struktural. Makin sering melakukan gerakan, siswa makin terbiasa dengan stimulus dan respon gerakan yang dilakukan. Johnson dan Nelson (1990), mengemukakan Persepsi kinestetik adalah kemampuan untuk mempertahankan posisi, usaha dan gerak anggota tubuh atau gerak tubuh secara keseluruhan selama melakukan aktivitas atau juga diartikan sebagai indera ke enam.
Teknik Dasar Bermain Sepak Bola Sepak bola adalah suatu permainan dengan bola yang dimainkan oleh dua regu yang masing-masing regunya terdiri dari sebelas orang termasuk seorang penjaga gawang. Permainan sepak bola dilakukan dengan seluruh bagian badan kecuali dengan kedua lengannya/tangan. Hampir seluruh permainan dilakukan dengan keterampilan kaki kecuali penjaga gawang yang pada waktu memainkan bola bebas menggunakan anggota badannya dengan kaki maupun tangannya. Devaney (1986), bahwa Seorang pemain sepak bola yang hebat, harus dapat menggiring bola, menendang bola, menerima bola, dan menembak, semuanya ini dikenal dengan penguasaan bola”. Dengan demikian seorang pemain sepak bola yang tidak menguasai teknik dasar bermain tidaklah mungkin akan menjadi pemain sepak bola yang baik. (Batty, 2003) mengemukakan “Keterampilan teknis bermain sepak bola terdiri dari menendang, trapping, dribbling, volleying, heading dan throw-in”. Kualitas pemain sepak bola sangat menentukan tingkat permainan suatu tim sepak bola. Dikatakan pula oleh (Gifford, 2002) bahwasannya Seperti halnya di sekolah yang harus dipelajari terlebih dahulu adalah membaca dan menulis sebelum dapat belajar lebih lanjut, dalam sepak bola yang harus di kuasai adalah teknik dasar bermain dengan baik atau berlatih secara terarah. Hal yang sama diungkapkan oleh Kehl (1999), bahwa “Barang siapa hendak menjadi pemain sepak bola yang baik, pertama-tama harus mampu menendang dan menyundul bola/heading, juga harus dikuasai kemahiran dasar membawa bola/dribbling dan menahan bola/controlling. Sepak bola pada dasarnya adalah suatu usaha untuk menguasai bola, atau merebutnya kembali bila sedang dikuasai oleh lawan. Sneyers (1988), bahwa “Mutu suatu 652
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
kesebelasan di tentukan oleh penguasaan teknik dasar tentang sepak bola. Semakin terampil seorang pemain dengan bola, semakin mudah ia dapat menguasai meloloskan diri dari suatu situasi, semakin baik jalannya pertandingan bagi suatu kesebelasan.” . Tentang cara-cara memainkan bola, menumbuhkan naluri terhadap gerak bola, dan semuanya itu hanya dapat dikuasai dengan melakukan latihan yang berulang-ulang dan sistematis. Hal yang sama dikemukakan Scheunemann (2005) mengemukakan bahwa Keterampilan dasardalam permainan sepak bola adalah : (1) keterampilan menendang; (2) keterampilan mengontrol bola; (3) keterampilan merampas bola; (4) keterampilan melempar bola; dan (5) keterampilan menjaga gawang.” Dan yang dimaksud dengan teknik dasar bermain sepak bola dalam penelitian ini adalah menendang bola, menggiring bola/dribbling, mengontrol bola/controlling, dan menyundul bola/heading, dan melempar bola/throw-in yang di uraikan pada penjelasan berikut ini : 1. Teknik Dasar Menendang Bola merupakan teknik dasar bermain sepak bola yang sering digunakan dalam permainan sepak bola. Macam–macam teknik dasar menendang bola. (1)Teknik dasar menendang bola dengan kaki bagian dalam. Dalam mengajarkan teknik dasar menendang bola dengan kaki bagian dalam harus dilakukan bersama-sama dengan latihan menghentikan bola. (2).Teknik dasar menendang bola dengan punggung kaki. Teknik menendang bola dengan punggung kaki ini sering digunakan dalam permainan untuk menembakkan ke gawang. (3) Teknik dasar menendang bola dengan punggung kaki bagian dalam dan bagian luar. 2. Teknik Dasar Mengontrol Bola/Controlling Controlling di dalam permainan sepak bola sangat penting untuk mengontrol bola baik itu bola datar maupun bola di udara yang datang kepada seorang pemain sepak bola dari berbagai ketinggian dengan segala macam kecepatan dan sudut. Macam–macam teknik dasar mengontrol bola yaitu 1). Teknik dasar mengontrol bola dengan kaki bagian dalam. (2) Teknik dasar mengontrol bola dengan punggung kaki. (3). Teknik dasar mengontrol bola dengan paha.( 4) Teknik dasar mengontrol bola dengan dahi. 3. Teknik Dasar Menggiring Bola/Dribbling Menggiring bola dapat di artikan sebagai suatu gerakan lari menggunakan bagian kaki mendorong bola agar bergulir terus–menerus di atas tanah. Macam-macam teknik dasar menggiring bola:(1). Teknik dasar menggiring bola dengan kaki bagian dalam. Sering digunakan dalam permainan sepak bola untuk berputar dan mengubah arah bola. (2) Teknik dasar menggiring bola dengan punggung kaki. Biasanya teknik ini sering digunakan apabila didepan pemain terdapat daerah bebas dari lawan yang cukup luas sehingga jarak untuk menggiring bola cukup jauh. (3) Teknik dasar menggiring bola dengan punggung kaki bagian luar. Sering digunakan dalam pemainan sepak bola karena bagian kaki yang bersentuhan dengan bola cukup luas, pemain dapat dengan mudah bergerak ke depan atau mengubah arah sesuai dengan arah kaki pada waktu berlari. 4. Teknik Dasar Menyundul Bola/Heading Menyundul bola merupakan suatu keterampilan dasardalam permainan sepak bola dengan menggunakan bagian kepala. Macam-macam teknik menyundul bola (1). Teknik dasar menyundul bola dengan sikap berdiri ditempat. Teknik ini sering digunakan oleh seorang pemain untuk mengoperkan bola kepada kawan. (2). Teknik dasar menyundul bola dengan sikap berlari. 5. Teknik Dasar Melempar Bola/Throw-in Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
653
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Melempar bola ke dalam pada permainan sepak bola dilakukan bila terjadi bola seluruhnya melampaui garis samping, baik bola datar yang menggulir di atas tanah maupun yang melayang di udara, maka seorang pemain lawan dari pihak terakhir yang menyentuh bola, dapat melakukan lemparan ke dalam di belakang garis samping di tempat bola meninggalkan lapangan permainan. Dalam melempar bola tidak dibenarkan langsung membuat gol, dan keuntungannya di dalam melempar bola ke dalam tidak ada hukuman bagi pemain yang berdiri di posisi offside.
Metode Penelitian Desain penelitian ini adalah eksperimen dengan faktorial 2x2. Populasinya siswa putra kelas delapan SLTPN I Karangan Trenggalek Jawa Timur tahun ajaran 2013/2014 yang berjumlah 80.. Verducci (1980) prosedur analisis item tes dalam penelitian yaitu Dua puluh tujuh persen (27%) dari 80 populasi diperoleh 21 siswa yang mempunyai persepsi kinestetik tinggi dan 21 siswa yang mempunyai persepsi kinestetik rendah, sedangkan sampel yang terdapat di antara persepsi kinestetik tinggi dan rendah dibuang/dihilangkan sehingga diperoleh 42 siswa. siswa. Pengambilan sampel dengan random sampling , dan hasil penelitian dianalisis dengan teknik ANAVA dengan program SPSS versi 11. Untuk tes Kinesthetic Perception dan sepak bola Yeagley Soccer Battery(1993),. Untuk uji normalitas Kolmogorov-Smirnov (Monro, 1986) dan uji homogenitas varians (uji Bartlett). (Sudjana, 1999).
Hasil Penelitian Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa metode mengajar berpengaruh secara signifikan terhadap hasil keterampilan dasar bermain sepak bola atau hipotesis yang mengatakan terdapat perbedaan pengaruh antara metode komando dan metode latihan terhadap keterampilan dasar bermain sepak bola “diterima” atau ada pengaruh secara signifikan pada = 0,05. Hal ini terbukti dari perolehan Fo = 9,08 yang lebih besar dari F0,95;1,38 = 4,10 atau karena p-value = 0,005 lebih kecil dari 0,05. Perlu di informasikan bahwa rata-rata hasil keterampilan dasar bermain sepak bola bagi siswa yang menggunakan metode komando adalah 143,1 dengan standar deviasi 12,9 dan rata–rata keterampilan dasar bermain sepak bola yang menggunakan metode latihan adalah 156,9 dengan standar deviasi 16,0. Hipotesis statistik Ho : A1 = A ditolak dan H1: A1 A2 diterima Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa ada perbedaan pengaruh antara persepsi kinestetik tinggi dan persepsi kinestetik rendah terhadap keterampilan dasar bermain sepak bola atau hipotesis yang mengatakan terdapat perbedaan pengaruh antara persepsi kinestetik tinggi dan persepsi kinestetik rendah terhadap penguasaan keterampilan dasar bermain sepak bola “ diterima “ atau ada perbedaan yang signifikan pada : 0,05. Berdasarkan hasil perolehan Fo = 70,97 yang lebih besar dari F0,95 ; 1,38 = 4,10 atau karena p-value = 0,000 atau lebih kecil dari 0,05. Perlu di informasikan bahwa rata-rata keterampilan dasar bermain sepak bola untuk kelompok siswa yang memiliki persepsi kinestetik tinggi adalah 162,8 dengan standar deviasi 11,3, sedangkan rata-rata keterampilan dasar bermain sepak bola untuk kelompok siswa yng memilki persepsi kinestetik rendah adalah 137,3 dengan standar deviasi 7,46. Berdasarkan hasil perhitungan statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi antara metode komando dan metode latihan dengan persepsi kinestetik terhadap penguasaan keterampilan dasar bermain sepak bola. Berdasarkan uji statistik menunjukkan bahwa tidak ada
654
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
interaksi secara signifikan antara metode mengajar dan persepsi kinestetik terhadap hasil pembelajaran keterampilan dasar bermain sepak bola, hal ini terbukti dari perolehan Fo = 0,81 < F0,95 ; 1,36 = 4,11 atau karena p-value = 0,373 > 0,05, setelah diketahui bahwa antara metode mengajar dan persepsi kinestetik tidak terdapat interaksi terhadap keterampilan dasar bermain sepak bola, artinya hipotesis ditolak Hasil pengujian hipotesis pertama menunjukkan bahwa antara metode komando dan metode latihan memberikan pengaruh yang berbeda terhadap penguasaan keterampilan dasar bermain sepak bola. Hal ini menunjukkan bahwa masing–masing metode mengajar tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan masing–masing. Di satu sisi untuk metode komando cocok bagi siswa yang pemula atau siswa yang belum memiliki keterampilan dasar bermain sepak bola, pada metode ini siswa dapat mempelajari suatu keterampilan mulai dari awal artinya dari yang mudah terlebih dahulu kemudian beralih ke tingkat yang lebih sulit lagi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mean yang menggunakan metode komando adalah 2,9 dengan standar deviasi 12,9 sedangkan untuk metode latihan cocok bagi siswa yang telah tahu atau mengenal keterampilan dasar bermain sepak bola terlebih dahulu. Hal ini berdasarkan mean 3,6 dengan standar deviasi 16,0, dengan demikian dapat diartikan bahwa siswa yang senang atau menyukai permainan sepak bola cenderung lebih baik dibandingkan dengan metode komando, karena biasanya mereka sering mencoba–coba sehingga paling tidak mereka lebih mengenal dibandingkan dengan yang tidak pernah sama sekali. Pengujian hipotesis kedua yaitu persepsi kinestetik mempunyai pengaruh terhadap keterampilan dasar bermain sepak bola antara siswa yang memiliki persepsi kinestetik tinggi berbeda secara signifikan pada = 0,05 dengan siswa yang memiliki persepsi kinesteik rendah. Hal ini terbukti dari perolehan to = 8,42 yang lebih besar dari t-tabel yaitu 1,69 (t0,95;32) atau karena p-value yang diperoleh sebesar = 0,0000 lebih kecil dari 0,05, kemudian untuk kelompok siswa yang memiliki persepsi kinestetik tinggi mean/rata–rata keterampilan dasar bermain sepak bola adalah 162,8 dengan standar deviasi 11,3 dan mean/rata–rata keterampilan dasar bermain sepak bola adalah untuk kelompok siswa yang memiliki persepsi kinestetik rendah adalah 137,30 dengan standar deviasi 7,46. Siswa yang memiliki persepsi kinestetik tinggi untuk metode latihan lebih efektif dibandingkan dengan metode komando, sedangkan untuk siswa yang memiliki persepsi kinestetik rendah untuk metode komando dan metode latihan tidak memberikan pengaruh yang berbeda terhadap penguasaan keterampilan dasar bermain sepak bola. Pada hipotesis ke tiga ini menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi antara metode komando dan metode latihan dengan persepsi kinestetik terhadap penguasaan keterampilan dasar bermain sepak bola. Berdasarkan uji statistik menunjukkan bahwa tidak ada interaksi secara signifikan antara metode mengajar dan persepsi kinestetik terhadap hasil pembelajaran keterampilan dasar bermain sepak bola, hal ini terbukti dari perolehan Fo = 0,81yang lebih kecil dari F0,95 ; 1,36 = 4,11 atau karena p-value = 0,373 lebih besar dari 0,05, setelah diketahui bahwa antara metode mengajar dan persepsi kinestetik tidak terdapat interaksi terhadap keterampilan dasar bermain sepak bola, artinya hipotesis ditolak
Simpulan Dalam mengajarkan teknik dasar bermain sepak bola bagi siswa yang memiliki persepsi kinestetik tinggi, sebaiknya menggunakan metode latihan, hal ini disebabkan metode latihan memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan siswa yang memiliki persepsi kinestetik Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
655
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
rendah dengan dibuktikannya melalui penelitian ini, selain mempertimbangkan metode latihan para guru hendaknya dalam mengajar teknik dasar bermain sepak bola, terlebih dahulu harus mengetahui keadaan atau kondisi persepsi kinestetik siswa sebagai peserta didik dengan mengadakan tes persepsi kinestetik terlebih dahulu. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa dalam mengajar teknik dasar bermain sepak bola seorang guru perlu mempertimbangkan adanya kemampuan persepsi kinestetik yang dimiliki siswa. Hal ini disebabkan oleh adanya kemampuan persepsi kinestetik yang dimiliki siswa sangat berbeda antara siswa yang satu dengan yang lain. Ada siswa yang memiliki persepsi kinestetik tinggi, dan ada yang mempunyai persepsi kinestetik rendah. Perbedaan tersebut akan menuntut adanya metode mengajar yang berbeda pula, agar para siswa dapat mengikuti pelajaran secara optimal sesuai dengan kemampuan masing–masing.
Daftar Pustaka Abernethy, Bruce, et al. 1997. The Biophysical Foundations of Human Movement. Australia : The University of Queensland. Adams, William C. 1991. Foundation of Physical Education, Exercise, and Sport Sciences. USA : Malvern, Pennsylvania. Batty, Eric C, 2003. Latihan Sepakbola Metode Serangan. Bandung: Pioner Jaya. Brophy, Jere E., Good, Thomas L. 1990. Educational Psychology a Realistic Approach. London : Longman Group Ltd. Devaney, John. 1986. Rahasia Para Bintang Sepak Bola. Semarang : Dahara Prize. Dougherty, N.J., Bonnano, D. 1979. Contemporary Approaches to The Teaching of Physical Education. Minneapolis, Minnesota : Burgess Publishing Company. Gifford, Clive. 2002. Sepak Bola. Jakarta: Erlangga. Harsono. 1998. Coaching dan Aspek-Aspek Psikologis Dalam Coaching. Jakarta : Ditjen Pendidikan Tinggi PPLTK. Haywood, Kathleen M. 1986. Life Span Motor Development. Champaign, Illinois : Human Kinetics Publishers, Inc. Heitmann, Helen M., and Kneer, M. E. 1976. Physical Education Instructional Techniques, An Induvidualized Humanistic Approach. Englewood Cliffs, N.J : Prentice – Hall, Inc. Johnson, B.L., Nelson, J.K. 1990. Research Method in Physical Activity. Minneapolis, Minnesota : Burgess Publishing Company Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1996. Jakarta : Balai Pustaka Kehl, Karen Stanly. 1999. Soccer Today. USA: Peter Marshal. Magill, Richard, A. 1980. Motor Learning Concept and Application. Dubuque, Iowa : Wm. C. Brown Company Publishers. Monro, Barbara H. 1986. Statistical Methods For Health Care Research. Philadellphia : J. B. Lippincott Company. Mosston, Muska., Asworth, Sara. 1994. Teaching Physical Education. New York : Macmillan Publishing Company. Sudjana, Nana. 2000. Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung : PT. Sinar Baru Agresindo. Russel R, Pate., McClenaghan, Bruce., Rotella, Robert. 1993. Scientific Foundation of Coaching, (Terjemahan : Kasiyo Dwijoyonoto).. Semarang : IKIP Semarang Press. Schmidt, R.A. 1988. Motor Control and Learning. Champaign : Human Kinetics Publishers, Scheunemann, Timo. 2005. Dasar-dasar Sepakbola Modern. Malang: Dioma. Singer, R.N. 1980. Motor Learning and Human Performance an Aplication to Physical Education Skills and Movement Behaviors. New York: Macmillan Publishing, Company. Sneyers, Jef. 1988. Sepak Bola Latihan dan Strategi Bermain. Jakarta : PT. Rosda Jayaputra.
656
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Sudjana. 1999. Desain dan Analisis Eksperimen. Bandung : Tarsito Sugiyanto. 1999. Perkembangan dan Belajar Motorik. Jakarta : Universitas Terbuka Sugiyanto dan Kristiyanto, Agus. 2000. Belajar Gerak II. Surakarta : UNS Press. Surahkmad, Winarno. 1980. Pengantar Interksi Mengajar Belajar. Bandung : Tarsito. Verducci, Frank M. 1980. Measurement Concepts In Physical Education. St. Louis Missouri : The C. V. Mosby Company. Welkowitz, Joan., Ewen, Robert B., Cohen, Jacob. 1982. Introductory Statistic For The Behavioral Science, Orlando : Harcout Brace Jovanovich. Inc.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
657
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Dengan Pendekatan Pembelajaran Open Ended Materi Pokok SPLDV Di Kelas VIII MTsN Denanyar Jombang Ahmad Bahrul Ulum 5 ([emailprotected]) Oemi Noer Qomariyah 6 ([emailprotected]) Abstract The purpose of this study was to determine: Is cooperative learning model with open-ended approach is effective in teaching the subject matter of a linear system of equations in two variables of class VIII MTsN Denanyar Jombang? and Is the learning outcomes of students who follow the model of cooperative learning with open-ended approach is better than the learning outcomes of students who take conventional learning to the subject matter of the system of linear equations in two variables of class VIII MTsN Denanyar Jombang? This study was a quasi-experimental study. The population in this study were all eighth grade students MTsN Denanyar Jombang 2014/2015 academic year consisting of 9 kelas. Sampel this research is class VIII-G as an experimental class and the class as a class VIII-A kontrol. Uji try instruments implemented in class VIII -H. Metode collecting data used is the test method and questionnaire method. The data analysis technique used is a t-test techniques with In this study used test requirements analysis is the test of normality and homogeneity. The results showed that cooperative learning model with an effective open-ended approach to teach the subject matter of a system of linear equations of two variables visible from the student activities effectively, the ability of teachers to manage effective learning, learning skills of students in the cooperative model with an effective open-ended approach, students' response to positive learning as well as students in classical learning completeness reached 83.57%. Results grade students taught by open-ended approach better than the learning outcomes of students who are taught by conventional learning model. Keywords: Cooperative, open-ended approach, learning outcomes Abstrak Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: Apakah model pembelajaran kooperatif dengan pendekatan open ended efektif dalam mengajarkan materi pokok sistem persamaan linier dua variabel di kelas VIII MTsN Denanyar Jombang? dan Apakah hasil belajar siswa yang mengikuti pembelajaran model kooperatif dengan pendekatan open ended lebih baik dibandingkan dengan hasil belajar siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional untuk materi pokok sistem persamaan linier dua variabel di kelas VIII MTsN Denanyar Jombang? Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental semu. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII MTsN Denanyar Jombang tahun ajaran 2014/2015 terdiri dari 9 kelas. Sampel penelitian ini adalah kelas VIII-G sebagai kelas eksperimen dan kelas VIII-A sebagai kelas kontrol. Uji coba instrumen dilaksanakan di kelas VIII-H. Pengumpulan data menggunakan metode tes dan angket. Analisis data menggunakan teknik t-test yang didahului dengan uji normalitas dan uji homogenitas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model pembelajaran kooperatif dengan pendekatan open ended efektif untuk mengajarkan materi pokok sistem persamaan linier dua variabel terlihat dari aktivitas siswa efektif, kemampuan guru mengelola pembelajaran efektif, keterampilan siswa pada pembelajaran model kooperatif dengan pendekatan open ended efektif, respon siswa terhadap 5 6
Mahasiswa Prodi. Pendidikan Matematika, STKIP PGRI Jombang Dosen Prodi. Pendidikan Matematika, STKIP PGRI Jombang
658
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
pembelajaran posistif serta ketuntasan belajar siswa secara klasikal mencapai 83,57%. Hasil belajar siswa kelas yang diajar dengan pendekatan open ended lebih baik daripada hasil belajar siswa yang diajar dengan model pembelajaran konvensional. Kata Kunci : Kooperatif, Pendekatan open ended, hasil belajar
Pendahuluan Matematika sebagai salah satu disiplin ilmu merupakan pengetahuan yang sangat penting bagi kehidupan dan banyak memberi sumbangsih dalam pengembangan pengetahuan.Siswa dipersiapkan untuk latihan bertindak atas dasar pemikiran secara logis, rasioal, kritis, cermat, jujur, efisien dan efektif.National Council of Teachers of Mathematics (NCTM) pada tahun 2000, memaparkan standar matematika sekolah meliputi standar materi (mathematical content) dan standar proses (mathematical processes). Standar proses meliputi pemecahan masalah (problem solving), penalaran dan pembuktian (reasoning and proof), koneksi (connection), komunikasi (communication), dan representasi (representation). Salah satu keterampilan matematika yang perlu dikuasai siswa adalah kemampuan pemecahan masalah matematis. Pentingnya pemecahan masalah juga ditegaskan dalam NCTM (2000) yang menyatakan bahwa pemecahan masalah merupakan bagian integral dalam pembelajaran matematika, sehingga hal tersebut tidak boleh lepas dari pembelajaran matematika. Oleh karena itu, kemampuan siswa untuk memecahkan masalah matematis perlu terus dilatih sehingga siswa dapat menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya. Kemampuan pemecahan masalah matematis siswa sangat berhubungan dengan penguasaan konsep siswa.Hudojo (1998) mengungkapkan, “kemampuan yang harus dimilki siswa agar dapat mempelajari matematika dengan baik adalah penugasan konsep matematika yang memiliki hubungan hirarkis dan fungsional”.Dari pemaparan pendapat tadi memberi gambaran bahwa penguasaan konsep ini tidak cukup sampai siswa memahami materi saja, siswa sebaiknya dapat menggunakan konsep tersebut secara tepat dalam memecahkan berbagai persoalan matematika. Masalah yang diambil untuk tugas matematika dapat diperoleh dari masalah yang kontekstual (real world) dan masalah dalam matematika (Shimada dan Becker dalam Jarnawi, 1997: 2). Masalah kontekstual diambil dari masalah-masalah keseharian atau masalahmasalahyang dapat dipahami oleh pikiran siswa. Dengan masalah itu, siswa akan dibawa kepada konsep matematika melalui re-invetion atau melalui discovery. Matematika mengajarkan cara atau proses berpikir yang terstruktur, logis (rasional), kritis dan objektif. Tugas seorang guru memang sangatlah berat, karena selain untuk menguasai materi secara baik, luas dan mendalam juga harus memiliki kiat khusus melalui model dan pendekatan pembelajaran untuk membangkitkan motivasi dan meningkatkan pemahaman siswa terhadap suatu materi yang diajarkan sehingga proses pembelajaran akan lebih berarti dan bermakna serta akan meningkatkan hasil belajar bagi siswa. Salah satu pengembangan model dan pendekatan pembelajaran tesebut adalah didasarkan pada teori kognitif. Melalui aktivitas tersebut diharapkan siswa akan lebih kritis dan kreatif karena dengan kreatifitas siswa akan membantu guru dalam meningkatkan pemahaman siswa terutama dalam bidang pendidikan. Pendekatan pembelajaran (learning approach) merupakan cara guru dalam pelaksanaan pembelajaran agar konsep yang disajikan dapat beradaptasi dengan siswa (Suherman, 2001:7). Jadi, pemilihan metode, model dan pendekatan pembelajaran yang tepat dan efektif akan mempermudah proses terbentuknya pengetahuan
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
659
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
pada siswa sehingga tujuan guru untuk meningkatkan hasil belajar siswa akan lebih mudah tercapai. Berdasarkan wawancara yang dilakukan peneliti kepada guru bidang studi matematika yang mengajar di sekolah tersebut, diketahui bahwa selama ini siswa MTsN Denanyar khususnya kelas VIII memiliki kekurangan dalam hal kemampuan pemecahan masalah matematika.Dalam pembelajaran matematika, siswa kelas VIII mengalami kesulitan khususnya dalam menyelesaikan soal yang berhubungan dengan pemecahan masalah matematika, sebagaimana dikatakan bahwa kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal matematika pada umumnya belum memuaskan.Salah satu kesulitan tersebut adalah membuat model matematika dan menyelesaikan persoalan yang berkaitan dengan materi sistem persamaan linear dua variabel.Selain mengenai kondisi siswa, dari wawancara juga diketahui bahwa sebagian besar siswa menganggap bahwa soal cerita dalam pelajaran matematika yang berkaitan dengan materi tersebut masih dirasa sulit.Metode pembelajaran yang digunakan oleh gurupun masih cenderung hanya menyampaikan pengetahuan kepada siswa. Siswa hanya diposisikan sebagai orang yang tidak tahu, yang hanya menunggu apa yang guru berikan. Hal ini membuat siswa cenderung pasif Berdasarkan hal tersebut, kemampuan pemecahan masalah matematika siswa kelas VIII MTsN Denanyar masih perlu ditingkatkan. Salah satu langkah yang dapat dilakukan oleh guru untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa adalah memilih pendekatan serta model pembelajaran yang tepat dan berorientasi pada kompetensi siswa khususnya kemampuan pemecahan masalah matematika.Secara teoritis, salah satu model pembelajaran yang menjanjikan dapat mengintegrasikan siswa aktif, kritis dan kreatif dalam pembelajaran yang efektif dan inovatif adalah melalui penerapan model pembelajaran kooperatif dengan pendekatan open-ended. Menurut Slavin (1995:2) dalam belajar kooperatif, siswa belajar dalam kelompok kecil yang bersifat heterogen dari segi gender, etnis, dan kemampuan akademik untuk saling membantu satu sama lain dalam tujuan bersama. Dengan belajar dalam kelompok kecil maka siswa akan lebih berani mengungkapkan pendapatnya dan menumbuhkan rasa social yang tinggi. Hasil penelitian Huten dan De vries menunjukkan bahwa dengan belajar kooperatif membuat anggota kelompok bersemangat belajar.Sedangkan Murray dalam hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa interaksi antar siswa dalam belajar dapat meningkatkan perkembangan kognitif siswa (Slavin, 1995). Arends (1997:111) mengemukakan beberapa karakteristik pembelajaran kooperatif yaitu : (1). Siswa bekerja dalam kelompok secara kooperatif untuk menuntaskan materi belajarnya; (2) kelompok dibentuk dari siswa dengan kemampuan tinggi, sedang, rendah.; (3) jika mungkin, anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku, dan jenis kelamin berbeda; (4) penghargaan lebih berorientasi pada kelompok daripada individu. Berdasarkan pendapat di atas, yang dimaksud pembelajaran kooperatif dalam penelitian ini adalah model pembelajaran yang menekankan aspek sosial dalam pembelajaran. Siswa dibagi dalam kelompok kecil dengan anggota yang heterogen, khususnya dalam kemampuan akademik. Dalam kelompoknya, siswa bekerja sebagai sebuah tim untuk menguasai materi atau menyelesaikan tugas tugas yang diberikan. Pendekatan open-ended merupakan salah satu upaya inovasi pendidikan matematika yang pertama kali dilakukan oleh para ahli pendidikan matematika Jepang. Pendekatan ini lahir sekitar duapuluh tahun yang lalu dari hasil penelitian yang dilakukan Shigeru Shimada, Toshio Sawada, Yoshiko Yashimoto, dan Kenichi Shibuya (Nohda dalam Jarnawi, 2000 : 1). 660
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Munculnya pendekatan ini sebagai reaksi atas pendidikan matematika sekolah saat itu yang aktifitas kelasnya disebut dengan “issei jugyow” (frontal teaching); guru menjelaskan konsep baru di depan kelas kepada para siswa, kemudian memberikan contoh untuk penyelesaian beberapa soal. Prinsip pendekatan open-ended sama dengan prinsip pembelajaran berbasis masalah yaitu suatu pendekatan pembelajaran yang dalam prosesnya dimulai dengan memberi suatu masalah kepada siswa. Problem open-ended merupakan problem yang diformulasikan memiliki multi jawaban yang benar. Problem ini disebut juga problem tak lengkap atau problem terbuka. Sedangkan dasar keterbukaannya (openness) dapat diklasifikasikan ke dalam tiga tipe, yakni: 1) Process is open, prosesnya terbuka maksudnya adalah tipe soal yang diberikan mempunyai banyak cara penyelesaian yang benar, 2) end product are open, cara pengembangan lanjutan terbuka, yaitu ketika siswa telah selesai menyelesaikan masalahnya, mereka dapat mengembangkan masalah baru dengan mengubah kondisi dari masalah yang pertama (asli). Seperti diketahui bahwa masalah rutin yang biasa diberikan pada siswa sebagai latihan atau tugas selalu berorientasi pada tujuan akhir, yakni jawaban yang benar. Akibatnya proses atau prosedur yang telah dilakukan oleh siswa dalam menyelesaikan soal tersebut kurang atau bahkan tidak mendapat perhatian guru. Padahal perlu disadari bahwa proses penyelesaian masalah merupakan tujuan utama dalam pembelajaran pemecahan masalah matematika.Dengan demikian melalui model pembelajaran kooperatif dengan pendekatanopen-ended dapat memberi kesempatan kepada siswa khususnya siswa kelas VIII MTsN Denanyar untuk memperoleh pengetahuan/pengalaman menemukan, mengenali, dan memecahkan masalah dengan beberapa teknik secara berkelompok .Tujuan dari penelitian ini adalah (1). Apakah model pembelajaran kooperatif dengan pendekatan open ended efektif dalam mengajarkan materi pokok sistem persamaan linier dua variabel di kelas VIII MTsN Denanyar Jombang?, (2) Apakah hasil belajar siswa yang mengikuti pembelajaran model kooperatif dengan pendekatan open ended lebih baik dibandingkan dengan hasil belajar siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional untuk materi pokok sistem persamaan linier dua variabel di kelas VIII MTsN Denanyar Jombang?
Metode Penelitian Berdasarkan pertanyaan penelitian, maka penelitian ini dikategorikan ke dalam penelitian eksperimen Penelitian ini menggunakan quasi experimental design (rancangan eksperimen semu). Quasi experimental design digunakan untuk menguji efektifitas model pembelajaran kooperatif dengan penedekatan open ended dan membandingkan hasil belajar siswa yang dikenai pembelajaran kooperatif dengan pendekatan open-ended dan hasil belajar siswa yang dikenai model pembelajaran konvensional. Pada penelitian ini digunakan metode eksperimen model control group pretest post-test design.Tahapan pelaksanaan penelitian dimulai dengan tahap persiapan yaitu mempersiapkan instrumen penelitian, dilanjutkan dengan tahap pelaksanaan yaitu: validasi instrumen, uji coba instrumen, memberikan pretest pada kelas eksperimen dan kelas control, melaksanakan model pembelajaran dengan pendekatan open endeduntuk kelas eksperimen dan pembelajaran konvensional untuk kelas control. Selama proses pembelajaran berlangsung dilakukan pengamatan aktivitas siswa dan pengamatan kemampuan guru mengelola pembelajaran. Selanjutnya diberikan angket respon siswa kepada siswa kelas eksperimen. Pada Tahap Analisa Data dimulai dengan validasi instrument, uji coba instrument penelitian, dimana hasil uji coba dipakai sebagai dasar untuk pelaksanaan eksperimen. Subyek uji coba kelas VIII H MTsN Denanyar dengan rancangan Uji Coba berikut: Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
661
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Tabel 1 Rancangan Uji Coba Kelas Tes awal Perlakuan Tes Akhir Uji Coba T1 X T2 Keterangan : T1 = Tes Awal (sebelum perlakuan), T2 = Tes Akhir (setelah perlakuan), X = Perlakuan model pembelajaran kooperatif dengan pendekatan open ended Tehnik pengumpulan data uji coba meliputi: a). data kemampuan guru memngelola pembelajaran, b). Data aktifitas siswa, c) Data respon siswa, d). Data hasil belajar. Sedangkan Tehnik analisis data uji coba meliputi: a). data kemampuan guru mengelola pembelajaran dianalisis dengan menggunakan skor rata-rata kemampuan guru (KG) dengan kriteria sebagai berikut : Tabel 2 Kriteria kemampuan guru Mengelola pembelajaran KG Kriteria Tidak Baik 1 KG 2 Kurang Baik 2 KG 3 Cukup Baik 3 KG 4 KG = 4 Baik Kemampuan guru mengelola pembelajaran dikatakan effektif jika rata nrata dari semua skor untuk tiap RPP berada pada criteria baik atau cukup baik, b). Data aktifitas siswa dianalisis dengan menggunakan prosentase yaitu :
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Tabel 3 Kriteria batasan waktu Ideal untuk aktivitas siswa Waktu Kriteria toleransi Aktivitas siswa ideal (%) batasan efektivitas (%) Mendengarkan/memperhatikan penjelasan 22 17 – 27 guru Membaca LKS 6 1 – 11 Bekerja mengerjakan LKS / mengerjakan soal 45 40 – 50 kuis Berdiskusi/bertanya antara siswa dan guru 11 6 – 16 Berdiskusi / bertanya antara sesama siswa 16 11 – 21 Perilaku yang tidak relevan dengan KBM. 0 0–5
Data respon siswa dikelompokkan dalam kategori senang, tidak senang, baru dan tidak baru. Siswa dikatakan member respon positif jika member respon senang, baru dan berminat. Persentase dari respon positif dihitung dengan rumus
Jumlah respon positif siswa untuk tiap aspek x 100% Jumlah seluruh siswa Data hasil belajar dianalisis untuk menentukan validitas dan reliabilitas.Pada tahap eksperimen, variabel-variabel dalam penelitian ini melibatkan dua variabel bebas, dan pada pengukuran (post-test) terdapat dua variabel terikat yang diukur. Adapun variabel-variabel penelitian tersebut, sebagai berikut:Variabel bebas atau independent variableyaitu : model pembelajaran, yang terdiri atas dua model, yakni (a) Model pembelajaran kooperatif dengan pendekatan open
662
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
ended (EO), dan (b) pembelajaran konvensional.Variabel terikat (dependent variable) yaitu: hasil belajar matematika siswa. Dengan rancangan penelitian sebagai berikut:
Kelompok Eksperimen Kontrol
Tabel 4 Rancangan penelitian Pretes Perlakuan T1 T1
Posttes
X Y
T2 T2
Keterangan: T1 : Pretes pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol T2 : Posttes pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol X : Perlakuan, yaitu penerapan model pembelajaran kooperatif dengan pendekatan open ended pada pokok bahasan sistem persamaan linier dua variabel Y : Perlakuan, yaitu penerapan pembelajaran matematika konvensional pada pokok bahasan sistem persamaan linier dua variabel T1 = T2 (butir soal T1 sama dengan T2) Populasi dalam penelitian ini adalahsiswakelas VIII MTsN Denanyar tahun pelajaran 2014/2015.Kemudian untuk menarik sampel dari populasi digunakan teknik Simple Random Sampling,Adapun sampel dalam penelitian ini berasal dari populasi yang terbagi menjadi 9 kelas.Dari 9 kelas diambil dua sampel kelas yaitu kelas VIII-G (dijadikan kelas eksperimen) dan kelas VIII-A (dijadikan kelas kontrol). Tehnik Analisa data meliputi analisis deskriptif dan analisis statistik inferensial , statistic deskriptif untuk menjawab pertanyaan peneliti bahwa model pembelajaran kooperatif denga pendekatan open ended efektif jika memenuhi : a). Kemampuan guru mengelola pembelajaran efektif, b). Aktivitas siswa efektif , c) hasil belajar secara klasikal tuntas. Sedangkan statistik inferensial digunakan untuk menjawab pertanyaan peneliti yaitu Apakah hasil belajar siswa yang mengikuti pembelajaran model kooperatif dengan pendekatan open ended lebih baik dibandingkan dengan hasil belajar siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional untuk materi pokok sistem persamaan linier dua variabel di kelas VIII MTsN Denanyar Jombang? Tabel 5 Rancangan analisis data digambarkan sebagai berikut. Kelompok Eksperimen
Kelompok Kontrol
Pretest (X1) X11 X 21 X 31
Posttes (Y1) Y11 Y21 Y31
….
……
….
…..
…..
…..
….
…...
XN1,1
Pretest (X2) X12 X22 X32
Posttes (Y2) Y12 Y22 Y32
YN1,1 XN2,2 YN2,2 Adaptasi dari Ferguson (1989:360)
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
663
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Keterangan: X1 : skor kemampuan awal siswa sebagai variabel penyerta pada kelompok eksperimen, X2 : skor kemampuan awal siswa sebagai variabel penyerta pada kelompok kontrol, Y1 : skor hasil belajar siswa sebagai variabel terikat pada kelompok eksperimen, Y2 : skor hasil belajar siswa sebagai variabel terikat pada kelompok kontrol, N1 : banyaknya sampel pada kelompok eksperimen N2 : banyaknya sampel pada kelompok kontrol
Hasil Penelitian Berdasarkan hasil pengamatan, maka kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran cukup baik sehingga menurut kemampuan guru mengelola pembelajaran efektif.Dari datahasil analisis aktivitas siswa di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa aktivitas siswa efektif karena setiap aspek yang diamati berada para rentang waktu ideal. Berdasarkan jawaban siswa yang tertuang dalam angket respon siswa diperoleh hasil sebagai berikut. a. Perasaan siswa terhadap komponen mengajar Komponen Mengajar 1. Materi Pelajaran 2. Lembar Kerja Siswa (LKS) 3. Cara Belajar 4. Cara Guru Mengajar
Senang (%) 100 94,44 97,22 97,22
Tidak Senang (%) 0 5,56 2,78 2,78
b. Pendapat siswa terhadap komponen mengajar Komponen Mengajar 1. Materi Pelajaran 2. Lembar Kerja Siswa (LKS) 3. Cara Belajar 4. Cara Guru Mengajar
Baru (%) 94,44 100 100 94,44
Tidak Baru(%) 5,56 0 0 5,56
c. Minat siswa untuk mengikuti pembelajaran kooperatif dengan pendekatan open ended adalah 100% d. Komentar siswa mengenai LKS Komentar Siswa 1. Bahasa yang digunakan dalam LKS dapat dipahami 2. Penampilan LKS menarik
Ya (%) 100 97,22
Tidak (%) 0 2,78
Berdasarkan data di atas dan kriteria yang ditetapkan bahwa respon siswa dikatakan positif apabila persentase setiap aspek lebih dari atau sama dengan 80% maka dapat disimpulkan : 1. Respon siswa tentang komponen mengajar positif 2. Respon siswa untuk mengikuti pelajaran berikutnya dengan cara seperti yang telah diikuti adalah positif.
664
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Data hasil belajar siswa untuk kelas eksperimen dan kelas kontrol dapat dilihat pada lampiran. Perbandingan data hasil belajar siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol disajikan pada Tabel.5 Tabel .5 Perbandingan Hasil Belajar Siswa Banyak Siswa Rata-rata Hasil Belajar Siswa Banyaknya siswa yang tuntas belajar Persentase siswa yang tuntas belajar Ketuntasan belajar secara klasikal
Kelas Eksperimen 36 36,03 32 83,57 Tuntas
Kelas Kontrol 32 32,94 22 68,75 Tidak tuntas
Berdasarkan data ini maka kelas eksperimen mencapai ketuntasan belajar sedangkan kelas kontrol tidak mencapai ketuntasan belajar. Analisis Statistik Inferensial a. Model Regresi Model regresi kelas eksperimen adalah Y = 29,17 + 0,94X Model regresi kelas kontrol adalah Y = 25,45 + 1,09X Perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran. b. Uji independensi Hasil analisis untuk uji independensi model regresi kelas eksperimen disajikan pada Tabel 6 berikut. Tabel 6 Anava untuk Uji Independensi Model Regresi Kelas Eksperimen Source of Varians Regression Residual Total
SS 116,6509 636,3213 752,9722
Df 1 34 35
MS 116,6509 18,153
F* 6,23
Untuk taraf signifikan = 5% diperoleh F(0,95;1,34) = 4,13. Dengan demikianF*> F(0,95;1,34), sehingga Ho ditolak. Ini berarti kemampuan awal siswa (X) pada kelas eksperimen mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap hasil belajar siswa. Hasil analisis untuk uji independensi model regresi kelas kontrol disajikan pada Tabel 7 Tabel 7 Anava untuk Uji Independensi Model Regresi Kelas Kontrol Source of Varians Regression Residual Total
SS 440,976 212,899 653,875
Df 1 30 31
MS 440,9759 7,0966
F* 62,14
Untuk taraf signifikan = 5% diperoleh F(0,95;1,30) = 4,17. Dengan demikianF* F(0,95;1,30), sehingga Ho ditolak. Ini berarti kemampuan awal siswa (X) pada kelas kontrol mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap hasil belajar siswa. c. Uji Linieritas Hasil analisis uji linieritas untuk model regresi kelas eksperimen disajikan pada Tabel 8 Tabel 8 Anava untuk Uji Linieritas Model Regresi Kelas Eksperimen Source of Varians Lack of Fit
SS 198,3005
Df 6
MS 33,0501
F* 2,35
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
665
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Pure Error
394,1702
28
14,0775
Untuk taraf signifikan = 5% diperoleh F(0.95,6,28) = 2,45. Dengan demikianF* 0,05) sesuai dengan kriteria maka dapat dikatakan data dari kelompok keterampilan bolavoli, kemampuan motorik dan kontrol mempunyai varian yang sama (homogen). Pada pengujian hipotesis ini berdasarkan dari hasil tabulasi data yang diperoleh dari tes yang telah diberikan kepada testee.Uji hipotesis yang digunakan pada penelitian ini meliputi: uji paired sample t-test (uji t sampel berpasangan) yang digunakan mencari perbedaan nilai pretest dan posttest pada masing-masing kelompok. Uji Beda Rata-Rata Sampel Berpasangan (Uji Paired Sample t-Test) Nilai yang digunakan dalam penghitungan uji t paired t-test adalah nilai pretest dan posttest dari masing-masing kelompok, maka hasil perhitungan uji t paired ttest adalah sebagai berikut: Tabel 4. Uji Paired Sample t-Test Paired Differences Sig. Keterampilan bolavoli T Df (2-tailed) Mean Mean Difference pre-test 36.4 Kelompok 18.7 10.452 9 .000 I post-test 55.1 pre-test 34.7 Kelompok 8,3 4.705 9 .001 II post-test 43.0 pre-test bolavoli 34.9 3.5 4.417 9 .000 post-test bolavoli 38.4 Kelompok III Pretest motorik 35.2 5.8 6.595 9 .000 Posttest motorik 41.0 Berdasarkan hasil perhitungan tabel di atas dapat diinterprstasikan sebagai berikut: 1. Kelompok I (keterampilan bolavoli) Ho :p > 0,05, tidak terdapat perbedaan signifikan hasil belajar bolavoli sebelum dan sesudah menerima model keterampilan bolavoli. Ha :p < 0,05, terdapat perbedaan signifikan antara hasil belajar bolavoli sebelum dan sesudah menerima model keterampilan bolavoli. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
707
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Berdasarkan penghitungan diperoleh nilai thitungsebesar 10.452 dengan harga p = 0,000. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa p = 0,000 < 0,05 hal ini dapat dikatakan bahwa Ho ditolak. Dengan kata lain terdapat perbedaan yang signifikan antara hasil belajar bolavoli sebelum dan sesudah menerima model keterampilan bolavoli. Hal ini dapat dikatakan bahwa pemberian model pembelajaran berpengaruh terhadap peningkatan hasil belajar bolavoli. 2. Kelompok II (kemampuan motorik) Ho :p > 0,05, tidak terdapat perbedaan hasil belajar bolavoli antara pretest dan posttest pada kelompok kontrol motorik. Ha :p < 0,05, terdapat perbedaan hasil belajar bolavoli antara pretest dan posttest pada kelompok kontrol motorik. Melihat dari hasil perhitungan uji t sampel berpasangan (paired sample t-test) ternyata hasilnya adalah signifikan. Hal ini dapat dikatakan bahwa kemampuan motorik berpengaruh terhadap peningkatan hasil belajar bolavoli. 3. Kelompok III (Kontrol) Dilihat dari hasil perhitungan uji t sampel berpasangan (paired sample t-test) ternyata hasilnya adalah signifikan. Hal ini dapat dikatakan bahwa kelompok kontrol berpengaruh terhadap peningkatan hasil belajar bolavoli. Dari hasil penelitian, maka akan dibuat suatu pembahasan mengenai hasil-hasil dari penelitian tentang pengaruh model pembelajaran taktis dan kemampuan motorik terhadap hasil belajar bolavoli siswa putra kelas VIII SMPN 4 Lamongan. 1. Kelompok I (keterampilan bolavoli) Dengan demikian, model pembelajaran taktis dapat mempengaruhi secara signifikan terhadap hasil belajar bolavoli siswa putra. Dengan mengunakan model pembelajaran taktis siswa diberikan kemudahan dalam bermain. Menurut Metzler dan Housner (2009:9) memberikan penjelasan bahwa suatu model dalam wilayah pengetahuan isi pedagogis berangkat dari sebuah gaya mengajar, strategi pengajaran, dan model – model pembelajaran. Maka dari itu, sebuah model akan bermakna dalam implementasinya apabila disertakan dengan sebuah pendekatan. Menurut (lutan,1988) penerapan model yang tepat akan memberikan pengaruh yang positif maka model merupakan penyederhanaan suatu hubungan antara kontruk yang kompleks. Secara langsung model pembelajaran ini siswa dapat mengalami pengalaman dari hasil belajar dan pemahaman bermain bolavoli, dengan pemanfaatan suatu model pembelajaran kita juga dapat memprediksi apakah yang menjadi kendala dalam suatu pembelajaran. Melihat hasil perhitungan uji t sampel berpasangan (paired sample t-test) ternyata hasilnya adalah signifikan. Hal ini dapat dikatakan bahwa pemberian model pembelajaran berpengaruh terhadap peningkatan hasil belajar bolavoli. Hasil tersebut memberikan sesuatu bahwa model pembelajaran itu terdapat strategi pencapaian kompetensi siswa dengan pendekatan, metode dan teknik pembelajaran sehingga buat motivasi siswa belajar karena suasana pembelajaran tidak membosankan. Dalam model pembelajaran taktis ini dapat melalui berbagai langkah – langkah dalam bermain guna mencari kemampuan siswa menentukan teknik dan pola permainan yang disederhanakan. Pembelajaran permainan dengan model dan penggunaan bola sebagai alat dalam menerapkan pembelajaran pada siswa. 2. Kelompok II (kemampuan motorik) Melihat dari hasil perhitungan uji t sampel berpasangan (paired sample t-test) ternyata hasilnya adalah signifikan. Hal ini dapat dikatakan bahwa kemampuan motorik berpengaruh terhadap peningkatan hasil belajar bolavoli. Kemampuan motorik merupakan salah satu 708
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
indikator yang melekat pada individu yang erat kaitanya dengan pencapaian hasil belajar keterampilan, kemampuan motorik sanat berpengaruh terhadap penguasaan keterampilan gerak mau keterampilan dalam olahraga. Adapun komponen dasar motorik itu seperti kekuatan, kelentukan, koordinasi, 3. Kelompok III (Kontrol) Dilihat dari hasil perhitungan uji t sampel berpasangan (paired sample t-test) ternyata hasilnya adalah signifikan. Hal ini dapat dikatakan bahwa kelompok kontrol berpengaruh terhadap peningkatan hasil belajar bolavoli. Hal ini mungkin adanya aktivitas diluar penelitian yang sama dilakukan dengan kelompok eksperimen. Jadi hasil yang terlihat antara tes awal dan akhir menunjukan peningkatan hasil belajar bolavoli. Dan juga kelompok kontrol tidak diberi perlakuan keterampilan bolavoli dan motorik dan memperlihatkan peningkatan hasil belajar bolavoli.
Simpulan Hasil pengujian hipotesis tentang pengaruh model pembelajaran taktis dan kemampuan motorik terhadap hasil belajar bolavoli, maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Dapat dikatakan bahwa model pembelajaran taktis berpengaruh signifikan terhadap hasil belajar bolavoli. 2. Dapat dikatakan bahwa kemampuan motorik berpengaruh signifikan terhadap hasil belajar bolavoli.
Daftar Pustaka Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta. Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta. Creswell, W. Jhon. 2010. Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Depdikbud.2012. Pedoman Penulisan Tesis dan Disertasi. Surabaya: PPS Unesa. Griffin, Linda L., Mitchell, Stephen A., Oslin, Judith L.1997, Teaching Sport Concepts and Skill. A Tactical Games Approach, United States of America : HumanKinetics, Irsyada, Machfud. 2000. Bolavoli. Jakarta: Depdikbub RI. Kiram, Phil. Yanuar. 1992. Belajar Motorik. Depdikbud Dirjen Dikti RI. Kountur, Ronny. 2009. Metode Penelitian: untuk Penulisan Skripsi dan Tesis. Jakarta: Buana Printing. Kurniawan, Feri. 2011. Buku Pintar Olahraga: Mens Sana In Corpore Sano. Jakarta: Laskar Aksara. Lutan, Rusli. 1988. BelajarKeterampilan Motorik: Pengantar Teori dan Metode. Jakarta: Depdikbud RI Dirjen Dikti. Ma’mun, Amung dan Saputra, Yudha. M. 2000. Perkembangan Gerak dan Belajar Gerak. Jakarta: Dekdibud RI. Maksum, Ali. 2007. Statistik dalam Olahraga. Surabaya: Unesa University Press. Maksum, Ali. 2012. Metodologi Penelitian dalam Olahraga. Surabaya: Unesa University Press. Miller, Scott. A. 1998. Developmental Research Methods. New Jersey: Prentice-Hall. Nurhasan, 2003.Tes dan pengukuran (pengantar kegunaan tes dan pengukuran kriteria tes). Surabaya: Unesa University Press. Nurhasan., dkk, 2005. Petunjuk Praktis Pendidikan Jasmani (Bersatu membangun Manusia yang Sehat Jasmani dan Rohani). Surabaya: Unesa University Press. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
709
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
PBVSI. 2005. Peraturan Permainan Bolavoli. Jakarta: PBVSI. Rahyubi, Heri. 2012. Teori-Teori Belajar dan Aplikasi Pembelajaran Motorik: Deskripsi dan Tinjauan Kritis. Bandung: Nusa Media. Riduwan. 2010. Metode dan Teknik Menyusun Tesis. Cet. VIII. Bandung: Alfabeta. Sedarmayanti dan Hidayat, Syarifudin. 2002. Metodologi Penelitian. Bandung: Mandar Maju. Slamet, Suherman. 2010. Pengaruh Media Pembelajaran dalam Model Pembelajaran Taktis dan Kemampuan Motorik terhadap Hasil Belajar Keterampilan Bermain Bolavoli: Tesis Pendidikan Sps UPI Bandung. Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta. Vierra, Barbara. L. 2004. Bolavoli Tingkat Pemula. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Wijayanto, Eko.Zulki. 2012. Pengaruh Pembelajaran Permainan Bola Besar terhadap Tingkat Kesegaran Jasmani.Journal of Physical Education, Sport, Health and Recreations.Vol. 1, No. 1, Hal.6-10. Yulianawati. 1996. Bolavoli Modern. Surabaya: Unesa University Press. Yunus, M. 1992. Olahraga Pilihan Bolavoli. Depdikbud Dirjen Dikti.
710
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Perbandingan Metode Pembelajaran Whole Practice dan Part Practice Terhadap Hasil Belajar Dribbling Bolabasket (Studi Kelas V SDK Santo Yusup Surabaya) Arnaz Anggoro Saputro 12 ([emailprotected]) Abstract Dribble is one way of carrying the ball and can also help move the ball on the ground and keep away from custody. If the game of basketball can not dribling then the game would be hampered even less likely to be able to walk. Many learning methods are used in order to improve students' skills in mastering basic motion dribble. But is in fact still many students who have not been able to master this basic motion with the methods applied by educators. It required another method that is able to increase increase the ability of learners to master the basic motion of matter dribble. The purpose of this study was to determine the ratio between the practice and the whole part method practice, to determine the appropriate method applied to the students. Based on the research findings, we can conclude that learning by using part practice provide better impact on learning outcomes in the amount of 22.63 dribble be compared to wholepractice methods of 12.86%. Keywords: Basic motion dribble, pert practice methods, methods of whole practice, learning outcomes Abstrak Dribble adalah salah satu cara membawa bola dan juga dapat membantu memindahkan bola di lapangan dan menjauhkan diri dari penjagaan. Jika dalam permainan bolabasket tidak bisa dribbling maka permainan pun akan terhambat bahkan cenderung tidak dapat berjalan. Banyak metode pembelajaran yang digunakan agar dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam menguasai gerak dasar dribble. Akan tetapi dalam kenyataaannya masih banyak siswa yang belum mampu menguasai gerak dasar ini dengan metode yang diterapkan oleh para pendidik. Untuk itu diperlukan metode lain yang mampu meningkatkan meningkatkan kemampuan peserta didik dalam mengusai materi gerak dasar dribble. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbandingan antara metode part practice dan whole practice, untuk mengetahui metode yang cocok diterapkan pada siswa. Berdasarkan temuan penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dengan menggunakan metode part practice memberikan dampak yang lebih baik terhadap hasil belajar dribble yaitu sebesar 22,63 dibandinkan dengan metode whole practice sebesar 12,86%. Kata Kunci: Gerak dasar dibble, metode part practice, metode whole practice, hasil belajar
Pendahuluan Pendidikan merupakan proses alami yang berlangsung secara wajar dalam kehidupan manusia di lingkungan keluarga. Dalam perkembangannya, kehidupan manusia semakin kompleks dan maju, sehingga pendidikan keluarga yang mengutamakan pembentukan pribadi yang bersifat alami tidak lagi memadai untuk menghadapi perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Oleh karena itu diciptakan struktur pendidikan yang bersifat formal yang disebut pendidikan persekolahan(M.Nursalim dkk,2007). Pengertian pendidikan pada sistem pendidikan nasional adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan dan peranannya dimasa yang akan datang. Pendidikan berintikan interaksi antara pendidik dengan peserta didik dalam upaya membantu peserta didik menguasai tujuan-tujuan pendidikan. Interaksi pendidikan dapat 12
Dosen STKIP PGRI Jombang Prodi Pendidikan Jasmani dan Kesehatan
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
711
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
berlangsung dalam lingkungan keluarga, sekolah, ataupun masyarakat. Diantara ketiga interaksi tersebut hanya sekolah yang bersifat formal. Guru sebagai pendidik di sekolah telah dipersiapkan secara formal dalam lembaga pendidikan guru. Ia telah mempelajari ilmu, keterampilan, dan seni sebagai guru. Ia juga telah dibina untuk memiliki kepribadian sebagai pendidik. Lebih dari itu mereka juga telah diangkat dan diberi kepercayaan oeh masyarakat untuk menjadi guru, bukan sekedar dengan surat keputusan dari pejabat yang berwenang, tetapi juga dengan pengakuan dan penghargaan dari masyarakat. Guru melaksanakan tugasnya sebagai pendidik dengan rencana dan persiapan yang matang. Mereka mengajar dengan tujuan yang jelas, bahan-bahan yang telah disusun secara sistematis dan rinci, dengan cara dan alat-alat yang telah dipilah dan dirancang secara cermat. Di sekolah guru melakukan interaksi pendidikan secara berancana dan sadar. Di lingkungan sekolah telah ada kurikulum formal, yang bersifat tertulis. Guru-guru melaksanakan tugas mendidik secara formal, oleh karena itu pendidikan yang berlangsung di sekolah sering disebut pendidikan formal Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan merupakan bagian integral dari pendidikan secara keseluruhan, bertujuan untuk mengembangkan aspek kebugaran jasmani, keterampilan gerak, keterampilan berpikir kritis, keterampilan sosial, penalaran, stabilitas emosional, tindakan moral, aspek pola hidup sehat dan pengenalan lingkungan bersih melalui aktivitas jasmani, olahraga dan kesehatan terpilih yang direncanakan secara sistematis dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional. Pendidikan sebagai suatu proses pembinaan manusia yang berlangsung seumur hidup, pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan yang diajarkan di sekolah memiliki peranan sangat penting, yaitu memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk terlibat langsung dalam berbagai pengalaman belajar melalui aktivitas jasmani, olahraga dan kesehatan yang terpilih yang dilakukan secara sistematis. Pembekalan pengalaman belajar itu diarahkan untuk membina pertumbuhan fisik dan pengembangan psikis yang lebih baik, sekaligus membentuk pola hidup sehat dan bugar sepanjang hayat.(Permendiknas No.22 Tahun 2006). Percepatan arus informasi dalam era globalisasi dewasa ini menuntut semua bidang kehidupan untuk menyesuaikan visi, misi, tujuan dan strateginya agar sesuai dengan kebutuhan, dan tak ketinggalan zaman. Penyesuaian tersebut secara langsung mengubah tatanan dalam sistem makro, meso, maupun mikro, demikian hanya dengan sistem pendidikan. Sistem pandidikan nasional senantiasa harus dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan yang terjadi baik di tingkat lokal, nasional, maupun global. Pendidik diberi kebebasan dalam melakukan proses pembelajaran yang sesuai dengan keadaan dimana mereka berada, agar tujuan- tujuan yang ditetapkan dapat tercapai dengan baik. Standar kompetensi pada siswa sekolah dasar salah satunya adalah mempraktikkan berbagai keterampilan permainan olahraga dalam bentuk sederhana dan nilai- nilai yang terkandung di dalamnya, sedangkan kompetensi dasarnya adalah mempraktikkan keterampilan bermain salah satu permainan dan olahraga beregu bola besar dengan menggunakan peraturan yang dimodifikasi serta nilai kerjasama, kejujuran, menghargai, semangat, percaya diri. Dalam hal ini bolabasket termasuk didalamnya. Bolabasket memang olahraga yang tidak bisa dilakukan disembarang tempat, butuh tempat atau perlengkapan khusus untuk memainkanya. Dewasa ini bola basket memang sudah banyak diminati baik oleh kalangan perkotaan maupun pedesaan, akan tetapi biasanya terbentur masalah sarana dan prasarana. Sebagian dari mereka hanya mempelajari di bangku sekolah, dan itu pun baru diajarkan pada siswa menengah. Kebanyakan dari mereka yang baru mengenal olahraga ini mengalami kesulitan untuk bisa menguasai gerak 712
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
dasarnya, selain karena fasilitas yang tersedia hanya di sekolah, mereka juga menerima pembelajaran dari kegiatan belajar di sekolah seminggu sekali. Dari beberapa gerak dasar seperti dribbel, passing dan shooting,salah satu gerak dasar yang penting untuk dikuasai siswa adalah dribbel. Dribble merupakan bagian yang tak terpisahkan dari bolabasket dan penting bagi permainan individual dan tim. Dribble adalah salah satu cara membawa bola dan juga dapat membantu memindahkan bola di lapangan dan menjauhkan diri dari penjagaan(Hal Wiessel,1996). Jika dalam permainan bolabasket tidak bisa dribling maka permainan pun akan terhambat bahkan cenderung tidak dapat berjalan. Permasalahan dalam dribble lebih kompleks di karenakan setiap individu diharuskan dapat mengendalikan bola dengan memantulkan ke lantai lapangan. Bagi mereka yang baru mengenal olahraga bolabasket pasti akan mengalami kesulitan karena mereka belum menguasai ball handling dan fee thel ball. Banyak metode pembelajaran yang digunakan agar dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam menguasai gerak dasar dribble. Akan tetapi dalam kenyataaannya masih banyak siswa yang belum mampu menguasai gerak dasar ini dengan metode yang diterapkan oleh para pendidik. Untuk itu diperlukan metode lain yang mampu meningkatkan meningkatkan kemampuan peserta didik dalam mengusai materi gerak dasar dribble. Dalam penelitian ini ingin diketahui metode manakah yang lebih cocok untuk digunakan atau diterapkan dalam pembelajaran dribble bolabasket pada siswa kelas V. Diantara dua metode ini pasti ada salah satu yang cocok dan baik digunakan untuk membantu peserta didik, atau bahkan keduanya mampu membantu peserta didik. Untuk itu perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui perbandingan hasil belajar siswa dengan menggunakan metode whole practie dan part practice.
Landasan Teori Pembelajaran Pembelajaran pada hakikatnya adalah proses interaksi antara peserta didik dengan lingkungan, sehingga terjadi perubahan perilaku kearah yang lebih baik. Dalam interaksi tersebut banyak sekali faktor yang mempengaruhinya, baik faktor internal yang datang dari dalam diri individu, maupun faktor eksternal yang datang dari lingkungan. Dalam pembelajaran, tugas guru yang paling utama adalah mengkondisikan lingkungan agar menunjang terjadinya perubahan perilaku bagi peserta didik. Untuk mencapai suatu tujuan pembelajaran memerlukan suatu cara atau metode pembelajaran. Metode pembelajaran bukanlah suatu tujuan pembelajaran, melainkan cara untuk mencapai suatu tujuan pembelajaran sebaik-baiknya. Pembelajaran lebih menekankan pada bagaimana upaya guru untuk mendorong atau memfasilitasi siswa belajar, bukan pada apa yang dipelajari siswa. Pembelajaran lebih menggambarkan bahwa siswa lebih banyak berperan dalam mengembangkan pengetahuan bagi dirinya. Dalam pembelajaran yang menempatkan peranan guru sebagai pusat dari proses, antara lain guru berperan sebagai sumber informasi, pengelola kelas dan menjadi figur yang harus diteladani. Oleh karena itu peranan guru menjadi sangat aktif dalam proses pembelajaran. Tujuan pembelajaran pada hakekatnya mengacu pada hasil yang diharapkan. Ini berarti bahwa dalam merencanakan pembelajaran, tujuan pembelajaran ditetapkan lebih dulu, selanjutnya semua kegiatan pembelajaran diarahkan untuk mencapai tujuan tersebut. Tujuan pembelajaran dapat diklasifikasikan atas tujuan umum dan tujuan khusus.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
713
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
1. Tujuan umum dari pembelajaran adalah pernyataan umum tentang hasil pembelajaran yang diinginkan. Tujuan ini mengacu pada keseluruhan bidang studi, yaitu struktur orientasi atau struktur ganda bidang studi. Karenanya tujuan umum akan banyak mempengaruhi strategi pengorganisasian makro. 2. Tujuan khusus dari pembelajaran adalah pernyataan khusus tentang hasil pembelajaran yang diinginkan. Tujuan ini mengacu pada konstruk tertentu apakah itu fakta, konsep, prosedur atau prinsip dari bidang studi. Karenanya tujuan khusus akan banyak mempengaruhi strategi pengorganisasian mikro. (Ratumanan, 2004:3) Pembelajaran adalah kegiatan guru secara terprogram dalam desain instruksional, untuk membuat siswa belajar secara aktif, yang menekankan pada penyediaan sumber belajar (Dimyati dan Mudjiono, 2006). Pembelajaran adalah upaya memperkembangkan potensi yang dimiliki oleh anak menjadi sesuatu yang aktual (Maksum, 2009). Pembelajaran adalah proses membuat orang untuk melakukan proses belajar sesuai dengan rancangan (Winataputra dan Puspita, 1994). Dari pengertian-pengertian pembelajaran diatas dapat dimaknai oleh penulis bahwa pembelajaran merupakan suatu upaya kegiatan rancangan atau program yang didesain untuk memperkembangkan dan meningkatkan potensi yang dimiliki agar siswa belajar secara aktif. Tujuan pembelajaran olahraga: 1. Membentuk sikap disiplin, kejujuran, akan peraturan dan ketentuan yang berlaku. 2. Meningkatkan kebugaran jasmani dan kesehatan serta dayatahan tubuh yang kuat terhadap penyakit. 3. Tercapai perkembangan dan pertumbuhan dengan fisik, emosional, kognitif, afektif, psikomotor yang bagus. 4. Menyenangi aktifitas olahraga yang sehat dan baik secara jamani maupun rohani. 5. Dapat menjelaskan pentingnya olahraga serta dapat menerapkan dan melakukan kegiatan olahraga. Pembelajaran adalah kegiatan guru secara terprogram dalam desain instruksional, untuk membuat siswa belajar secara aktif, yang menekankan pada penyediaan sumber belajar (Dimyati dan Mudjiono, 2006). Pembelajaran adalah upaya memperkembangkan potensi yang dimiliki oleh anak menjadi sesuatu yang aktual (Maksum, 2009). Pembelajaran adalah proses membuat orang untuk melakukan proses belajar sesuai dengan rancangan (Winataputra dan Puspita, 1994).
Hasil Belajar Hasil belajar menurut Sudjana (1990) adalah kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajaranya. Dari dua pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah suatu kemampuan atau keterampilan yang dimiliki oleh siswa setelah siswa tersebut mengalami aktivitas belajar. Gagne dalam Sudjana(1990) mengungkapkan ada lima kategori hasil belajar, yakni : informasi verbal, kecakapan intelektul, strategi kognitif, sikap dan keterampilan. Sementara Bloom mengungkapkan tiga tujuan pengajaran yang merupakan kemampuan seseorang yang harus dicapai dan merupakan hasil belajar yaitu : kognitif, afektif dan psikomotorik. Whole practice Metode whole practice atau metode keseluruhan adalah cara mengajar yang dilakukan dengan menampilkan keterampilan secara utuh. Dalam pelaksanaanya, metode global ini mengikuti urutan sebagai berikut: 714
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
1. Pembukaan : yaitu tahap memperkenalkan keterampilan yang akan dipelajari. Tahap ini bisa dilakukan dengan cara uraian lisan, demonstrasi langsung, penayangan gambar atau foto, atau hanya lembaran tugas. Pada intinya tahap ini memberikan gambaran utuh (keseluruhan) tentang keterampilan yang akan dipelajari. Dalam pembelajaran dribble ini siswa akan ditunjukkan dengan cara demonstrasi langsung bagaimana bentuk atau langkah-langkah dalam dribble. 2. Percobaan : yaitu tahap dimana semua siswa mencoba menguasai keterampilan yang dimaksud dengan cara melakukan sendiri secara utuh dari keseluruhan rangkaian keterampilan yang dipelajari. 3. Review : yaitu tahap dimana guru mengundang siswa untuk saling mengungkapkan masalahmasalah yang ditemukan selama percobaan. Atau dalam kondisi kelas yang lebih berssifat satu arah, tahap ini sering digunakan guru untuk memberitahukan kesalahan-kesalahan yang masih mereka buat. Tahap ini diakhiri hingga semua siswa mempunyai gambaran yang jelas tentang kekurangan dan kelebihan mereka. 4. Percobaan : anak diberi kesempatan mencoba kembali dengan tujuan memperbaiki kesalahan-kesalahan yang masih dibuat. Percobaaan kedua ini tetap dilakukan secara keseluruhan, yang kemudian dilakukan review kembali. Demikian seterusnya hingga keterampilan yang bersangkutan dirasa sudah dicapai dengan baik. 5. Pemantapan : setelah beberapa kali terlibat dalam proses review dan percobaan ulang, maka siswa akan semakin mantap kemampuannya. Pada tahap ini hendaknya guru sudah semakin spesifik dalam memberikan umpan balik yang berguna untuk memantapkan keterampilan (Mahendra, 2012).
Part practice Metode part practice atau metode bagian adalah salah satu cara mengajar yang membagi keterampilan menjadi bagian-bagian. Caranya dimulai dengan mengajarkan bagian-bagian terkecil dari suatu keterampilan dan pada akhirnya digabung menjadi suatu keterampilan yang utuh. Tahapan pelaksanaanya adalah sebagai berikut : 1. Pembukaan : sama seperti dalam tahapan pengajaran metode keseluruhan, tahap ini adalah untuk memberikan pengertian yang utuh tetang materi atau keterampilan yang akan dipelajari. Lebih khusus lagi, untuk memperlihatkan kepada siswa bagaimana ketermpilan yang dimaksud terdiri dari bagian-bagian yang digabungkan. 2. Analisis : tahap untuk mengenali bagian-bagian yang membangun suatu keterampilan, bagaimana urutannya, dan apa fungsi dari masing-masing bagian. Analisis ini bermanfaat juga untuk melatih anak dalam melihat bagaimana suatu keterampilan terbangun. 3. Melatih : tahap berikutnya adalah melatih bagian-bagian secara berurutan. Mulai dari sikap awal dribble sampai dengan gerak lanjutan dribble. Demikian terus, hingga semua bagian dikuasai. 4. Sintesis : setelah setiap bagian yang membangun suatu keterampilan dapat dikuasai, kemudian dilanjutkan dengan latihan keseluruhan. Meskipun setiap bagian telah dikuasai, namun biasanya untuk menyatukan ke dalam suatu keterampilan yang utuh bagi sebagian anak merupakan hal yang sulit terutama bagi anak yang mempunyai kemampuan dasar yang rendah. Oleh karena itu pelaksanaan tahap ini memerlukan waktu yang cukup, dengan pemberian umpan balik yang cukup pula (Mahendra, 2012).
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
715
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Bolabasket Basket dimainkan oleh dua (2) tim dari lima (5) pemain masing masing. Tujuan dari setiap tim adalah untuk memasukkan bola ke dalam keranjang lawan 'dan untuk mencegah tim lain memasukkan bola ke keranjang sendiri. Keranjang lawan / sendiri: Keranjang yang diserang oleh sebuah tim adalah keranjang lawan dan keranjang yang dipertahankan oleh sebuah tim adalah keranjang sendiri. Tim yang mencetak lebih banyak poin di akhir waktu permainan akan jadi pemenang ( Official basketball rules, 2014).
Dribble Dribble adalah salah satu dasar bolabasket yang pertama diperkenalkan kepada para pemula, karena ketrampilan ini sangat penting bagi setiap pemain yang terlibat dalam pertandingan bola basket. Setiap peserta olahraga bolabasket bisa melakukan dribble yang terampil karena keterampilan dribble bisa dilatih kapanpun dan di manapun. Dribble berfungsi membantu memindahkan bola di lapangan dan menjauhkan diri dari penjagaan. Setiap tim memerlukan orang yang mampu melakukan dribble dengan baik, dan dapat membawa bola dengan cepat di lapangan pada suatu terobosan cepat (fast break) dan melindunginya terhadap penjagaan. Beberapa manfaat khusus dribble : 1. Memindahkan bola keluar dari daerah padat penjagaan ketika operan tidak memungkinkan (contoh ketika setelah rebound atau dijaga dua orang) 2. Memindahkan bola ketika penerima tidah bebas penjagaan. 3. Memindahkan bola pada saat fast break karena rekan tim tidak bebas penjagaan untuk mencetak angka. 4. Menembus penjagaan ke arah ring. 5. Menarik perhatian penjaga untuk membebaskan rekan tim. 6. Menyiapkan permainan menyerang. 7. Memperbaiki posisi atau sudut sebelum mengoper ke rekan, dan 8. Membuat peluang untuk menembak. (Wissel, 1996)
Metode Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian dengan pendekatan kuantitatif yang menekankan analisisnya pada data-data numerikal (angka) yang diolah dengan metoda statistika. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif eksperimen. Penelitian eksperimen digunakan karena dalam penelitian ini akan ada perlakuan yang diberikan pada subjek penelitian. Perlakuan berupa pemberian metode whole practice dan metode part practice terhadap siswa kelas V SDK Santo Yusup Surabaya. Nantinya pada proses penelitian atau pengambilan data menggunakan instrumen yang menekankan pada pencatatan angkaangka,baik pretest maupun posttest.
716
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Hasil Penelitian Tabel 1. Data Hasil Penelitian Metode Part Practice Pre-Test Rata-rata 18.531875 Std.Deviations 4.64 Variant 21.56 Maximum 12.52 Minimum 34.17 Presentase 22.63% Post-Test Rata-rata 14.33 Std.Deviations 2.171 Variant 4.715 Maximum 11.32 Minimum 22.89 Presentase 22.63% Nilai Beda Rata-rata 4.195 Std.Deviations 2.925 Variant 8.561 Maximum 11.41 Minimum 0.35 Presentase 22.63%
Rata-rata Std.Deviations Variant Maximum Minimum Presentase Rata-rata Std.Deviations Variant Maximum Minimum Presentase Rata-rata Std.Deviations Variant Maximum Minimum Presentase
Metode Whole Practice Pre-Test 21.069 5.33 28.47 12.9 38.05 12.86% Post-Test 18.358 4.37 19.15 12.24 34.02 12.86% Nilai Beda 2.71 1.8 3.26 7.38 0.06 12.86%
Tabel 2. Perbandingan Hasil Perlakuan Metode Rata-rata Part Whole pre-test 18.531 21.069 Gerak dasar poet-tes 14.33 18.358 dribbe perubahan 4.195 2.71 bolabasket % 22.63% 12.86% Dari hasil penelitian yang sudah didapatkan, maka akan dibuat suatu pembahasan mengenai hasil-hasil dari analisa penelitian tersebut. Pembahasan di sini membahas penguraian hasil penelitian tentang pemberian perlakuan metode whole practice dan part practice. Berdasarkan hasil olah data dari hasil penelitian dijelaskan bahwa kedua metode yang diterapkan memberikan dampak terhadap peserta didik, namun metode part practice memberikan dampak yang lebih baik yaitu sebesar 22,63% dibandingkan dengan metode whole prctice yang hanya memberikan pengaruh sebesar 12,86%.
Simpulan Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian, serta hasil penelitian, maka penelitian ini dapat disimpulkan berikut: metode pembelajaran part practice memberikan dampak yang lebih baik terhadap hasil belajar dribble pada siswa kelas V SDK Santo Yusup
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
717
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Surabaya dibanding dengan pembelajaran menggunakan metode whole practice. Metode yang cocok untuk diterapkan pada siswa adalah metode part practice.
Daftar Pustaka Ahmadi, N. 2007. Permainan Bolabasket. Solo: Era Intermedia. Arikunto, S. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Dimyati dan Mudjiono, 2006.Belajar dan Pembelajaran. Depdiknas Fiba Central Board. 2010. Official Basketball Rulles. San Juan, Puerto Rico. Diunduh pada 28 maret 2012 Kementerian Pendidikan Nasional. 2006. Standar Isi Untuk Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional. Lutan, Rusli. 1988.Belajar Keterampilan Motorik Pengantar Teori dan Metode. Jakarta: Depdikbud. Dirjendikti. Mahendra, Agus.2012. Teori Belajar Motorik. http://file.upi.edu/Direktori/FPOK/ JUR._PEND._OLAHRAGA/196308241989031AGUS_MAHENDRA/Kumpulan_makalah_bah an_pepenataran(Agus_Mahendra)/Teori_Belajar_motorik.pdf. Diunduh pada tanggal 20 Februari 2012 Maksum, A. 2009a. Metodologi Penelitian dalam Olahraga. Surabaya : Unesa. _______, A. 2009b.Statistik dalam Olahraga. Surabaya: Unesa _______, A. 2009c. Psikologi Olahraga. Surabaya : Unesa Muhajir. 2007. Belajar Bolabasket Untuk Pemula. Jakarta : Widya Cipta. Nursalim, Dkk. 2007. Psikologi Pendidikan. Surabaya : Unesa University Press Ratumanan, T. Gerson. 2004. Belajar dan Pembelajaranedisi ke-2. Surabaya : UnesaUniversityPress Sudjana, N. 1991. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar . Bandung: PT Remaja Rosdakarya Tim Penyusun, 2006. Panduan Penulisan dan Penilaian Skripsi. Surabaya: Unesa. Verduci, Frank. 1980. Measurement Concept in Physical Education. St.Louis : C.V Mosby company Winataputra dan Puspita, 1994.Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan. Jakarta: Erlangga Wissel, hal. 1996. Bolabasket Langkah Untuk Sukses. Jakarta : PT Grafindo Persada. Yafis, Akhmad. 2012. Penerapan Metode Pelatihan Teknik Dasar Dengan Metode Global, Bagian, dan Global Bagian Terhadap Service Backhand Bulutangkis. Tesis tidak diterbitkan. Surabaya : Pascasarjana Unesa
718
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Pengaruh Modifikasi Permainan Bolabasket Terhadap Kebugaran Jasmani Siswa SMPKr Petra Jombang Mecca Puspitaningsari 13 Nurdian Ahmad 13 Abstract This study aims to determine how much influence modification the basketball game against the physical fitness of students SMPKr Petra Jombang. Type in this study is quantitative experimental method. In this study using the whole opulation subject greders IX A and IX B class SMPKr Petra Jombang totaling 32 students. All students were given treatment that modification basketball game. From t-test, ttabel = 1,697 while thitung =9,871 thus dependent variable results in the study group can be interpreted otherwise thitung > ttabel take take effect difference between pre-test and posttest. Based on the results of the analysis above can be concluded that there is a dignificant effect after treated baskeball game can be from the results of the t test Keywords: modification, basketball game, Physical fitness Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh modifikasi permainan bolabasket terhadap kebugaran jasmani siswa SMPKr Petra Jombang. Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan metode eksperimen. Pada penelitian ini menggunakan subjek populasi seluruh siswa kelas IX A dan kelas IX B SMPKr Petra Jombang yang berjumlah 32 siswa. Seluruh siswa diberi perlakuan yaitu modifikasi permainan bolabasket. Dari uji-t diperoleh, ttabel = 1,833, sedangkan t hitung =9,871 dengan demikian dari hasil variabel terikat pada kelompok penelitian dinyatakan thitung > ttabel, dapat diartikan bahwa terdapat perbedaan pengaruh antara pre-test post-test. Berdasarkan hasil analisa di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan setelah diberi perlakuan dilihat dari hasil uji-t. Kata Kunci: Modifikasi, Permainan bolabasket, Kebugaran Jasmani
Pendahuluan Pada dasarnya dalam kehidupan suatu bangsa, faktor pendidikan mempunyai peranan yang sangat penting untuk menjamin perkembangan dan kelangsungan hidup bangsa tersebut. Secara langsung maupun tidak langsung pendidikan adalah suatu usaha sadar dalam menyiapkan pertumbuhan dan perkembangan anak melalui kegiatan, bimbingan, pengajaran dan pelatihan bagi kehidupan dimasa yang akan datang. Tentunya hal ini merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, anggota masyarakat dan orang tua. Untuk mencapai keberhasilan ini perlu dukungan dan partisipasi aktif yang bersifat terus menerus dari semua pihak. Berhasilnya tujuan pembelajaran ditentukan oleh banyak faktor diantaranya adalah faktor guru dalam melaksanakan proses pembelajaran, karena guru secara langsung dapat mempengaruhi, membina dan meningkatkan kecerdasan serta keterampilan siswa. Untuk mengatasi permasalahan diatas dan guna mencapai tujuan pendidikan secara maksimal, peran guru sangat penting dan diharapkan guru mampu menyampaikan semua mata pelajaran yang tercantum dalam proses pembelajaran secara tepat dan sesuai dengan konsep-konsep mata pelajaran yang akan disampaikan. 13
Dosen Program Studi Pendidikan Jasmani dan Kesehatan STKIP PGRI Jombang
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
719
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Pendidikan jasmani merupakan media untuk mendorong perkembangan motorik, kemampuan fisik, pengetahuan dan penalaran, penghayatan nilai-nilai (sikap-mental-emosionalspritual-dansosial), serta pembiasan pola hidup sehat yang bermuara untuk merangsang pertumbuhan dan perkembangan yang seimbang. Dalam pendidikan jasmani makna tersebut akan lebih diperluas menjadi belajar gerak yang akan menghasilkan pengalaman-pengalaman yang disebabkan oleh perubahan yang tidak terbatas pada peningkatan fisik saja, akan tetapi perubahan secara menyeluruh dan menyangkut sikap, pengetahuan dan ketrampilan. Ini dinyatakan dengan tingkah laku yang berubah dan mengarah kematangan orang dewasa. Adanya perubahan fisik diri manusia merupakan penguasaan kondisi kontrol dari jenis-jenis olahraga. Diantaranya perbaikan sikap badan, tinggi dan berat badan yang relatif normal, kekuatan otot dan lain-lain. Permainan bolabasket sangat populer dikalangan masyarakat, hampir setiap lapisan masyarakat mengenal cabang olah raga bolabasket. Di kalangan remaja cabang olah raga bolabasket menjadi salah satu primadona permainan olah raga yang digemari selain sepak bola dan bulu tangkis. Menurut Gore (2000: 150), basketball is a game of continuously changing tempo requiring speed acceleration, explosive movements such as rebounding, passing, jump shooting, fast breaks and high speed play. Bolabasket termasuk jenis permainan yang komplek gerakannya dan ditata dalam berbagai peraturan, artinya gerakannya terdiri dari gabungan unsur-unsur gerak yang terkoordinir rapi dan juga membentuk kondisi fisik, tenik dan taktik the content of basketball game is determined by the diversity of technical elements and the variety of tactical tasks (Bazanov, 2007: 5). Menurut Sajoto (1995: 8), kondisi fisik adalah prasyarat yang sangat diperlukan dalam usaha peningkatan prestasi seorang atlet bahkan dapat dikatakan sebagai keperluan dasar yang tidak dapat ditunda. Sedangkan menurut Maulidin (2012: 15), mengemukakan bahwa tujuan untuk meningkatkan potensi fungsional atlet dan mengembangkan kemampuan biomotor ke derajat yang lebih tinggi. Menurut Harsono (1988: 58), unsur pelatihan fisik tersebut meliputi kekuatan (strength), kecepatan (speed), kelentukan (flexibility), koordinasi (coordination), kelincahan (agility), ketepatan (accuracy), dan reaksi (reaction). Pusat kesegaran jasmani dan rekreasi (1999:1) merangkan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas fisik adalah kesegaran jasmani dan kesehatan. Kesegaran jasmani dan Kesehatan tidak dapat terwujud dengan sendirinya tanpa melalui Pendidikan dan pembudayaan. Oleh karena itu, perlu diadakan penelitian tentang pengaruh permainan bolabasket terhadap kebugaran Jasmani (Studi kasus siswa SMPKr Petra Jombang).
Landasan Teori Pendidikan jasmani Pendidikan jasmani adalah proses mendidik melalui aktivitas gerak untuk mengoptimalkan laju pertumbuhan dan perkembangan, baik fisik maupun psikis untuk menigkatkan kemampuan dan keterampilan jasmani, kecerdasan, kesegaran jasmani, sosial, kultural, emosional, dan rasa keindahan demi tercapainya tujuan pendidikan yaitu pembentukan manusia seutuhnya Harsono (dalam Subekti, 2011). BSNP (2006:512) menyatakan bahwa: Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan merupakan bagian integeral dari pendidikan secara keseluruhan, bertujuan untuk mengembangkan aspek kebugaran jasmani, keterampilan gerak, keterampilan berfikir kritis, keterampilan sosial, penalaran, 720
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
stabilitas emosional, tindakan moral, aspek pola hidup sehat dan pengenalan lingkungan bersih melalui aktifitas jasmani, olahraga dan kesehatan terpilih yang direncanakan secara sistematis dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional. Pendidikan jasmani olahraga dan kesehatan merupakan pendidikan yang memanfaatkan aktivitas jasmani yang secara sistematis, bertujuan untuk mengembangkan kesehatan, kebugaran jasmani, keterampilan gerak, keterampilan berfikir kritis, stabilitas emosional, tindakan moral dan penalaran. Pendidikan jasmani ini karenanya harus menyebabkan perbaikan dalam ‘pikiran dan tubuh’ yang mempengaruhi seluruh aspek kehidupan harian seseorang. Pendekatan holistik tubuh-jiwa ini termasuk pula penekanan pada ketiga domain kependidikan: psikomotor, kognitif, dan afektif. Dengan meminjam ungkapan Robert Gensemer, penjas diistilahkan sebagai proses menciptakan “tubuh yang baik bagi tempat pikiran atau jiwa.” Artinya, dalam tubuh yang baik ‘diharapkan’ pula terdapat jiwa yang sehat, sejalan dengan pepatah Romawi Kuno: Men sana in corporesano.
Modifikasi Olahraga Modifikasi secara umum dapat diartikan sebagai hamper segala tindakan yang bertujuan mengubah perilaku. Menurut ahli memberikan batasan tentang modifikasi perilaku adlah penerapan prinsip-prinsip belajar yang telah teruji secara eksperimental untuk mengubah perilaku yang tidak adaptif, kebiasaan-kebiasaan yang tidak adaptif dilemahkan dan dihilangkan,perilaku adaptif di timbulkan dan dikukuhkan (wolpe, 1973). Modifikasi olahhraga merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh para guru agar proses pembelajaran dapat mencerminkan DAP “ Developentally Appropriate Practice” yaitu tugas ajar yang disampaikan harus memperhatikan perubahan kemampuan atau kondisi anak dan dapat membantu mendorong kearah perubahan tersebut.
Kebugaran Jasmani Kebugaran jasmani dapat diartikan dalam berbagai kualitas hidup yang sangat berhubungan dengan status kesehatan seseorang dan menjasi bagian pendorong dan sumber kekuatan bagi perkembangan dan pertumbuhan jasmani kearah yang lebih baik, sehingga aspek lain dapat tercapai sesuai keinginan. Menurut Toho Kebugaran jasmani adalah kesanggupan tubuh untuk melakukan aktifitas tanpa mengalami kelelahan yang berarti (Kemendikbud, 2014: 239). Sedangkan menurut Paiman (2009: 273) menyatakan: Dalam kebugaran jasmani ada tida komponen yang dibagi tiga kelompok diantaranya adalah (1) kebugaran jasmani yang berhubungan dengan kesehatan yang terdiri dari: daya tahan, jantung paru, kekuatan otot, daya tahan otot, kelenturan, dan posisi tubuh: (2) kebugaran jasmani berhubungan dengan keterampilan terdiri dari: keseimbangan (stability), daya ledak power), kecepatan (speed), kelincahan (agility), koordinasi (coordination), dan kecepatan reaksi (reaction speed), (3) kebugaran jasmani berhubungan dengan keadaan tidak menderita (wellness). Ada banyak komponen-komponen untuk melatih kebugaran setiap cabang olahraga mempunyai cara berbeda dalam meningkatkan kebugaran. Sedangkan menurut Muhamad, (2009:140) beberapa unsur kebugaran tubuh yang termasuk dalam permainan bolabasket adalah 1. Keseimbangan (balance), 2 kelincahan (agility), 3 kekuatan (strength), 4 kecepatan-gerakreaksi (speed), 5 daya tahan-otot-kardiovaskuler (endurance), 6 kelentukan (flexibility), 7 koordinasi (coordination).
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
721
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Seseorang dikatakan sehat atau memiliki kebugaran jasmani apabila siswa mempunyai kesanggupan dan daya tahan untuk melakukan pekerjaan secara kontinyu dan efektif, serta tidak merasa lelah sedikitpun, artinya sehabis melakukan pekerjaan seseorang masih mempunyai cukup energi untuk melakukan pekerjaan lain. Pusat kesegaran jasmani dan rekreasi (1999:1) merangkan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas fisik adalah kesegaran jasmani dan kesehatan. Kesegaran jasmani dan Kesehatan tidak dapat terwujud dengan sendirinya tanpa melalui Pendidikan dan pembudayaan.
Permainan Bolabasket Menurut sejarahnya, permainan bola basket diciptakan oleh seorang instruktur dari pendidikan jasmani pada YMCA (Young Mens Christian Association), Springfield, Massachuses, Amerika Serikat tahun 1891 Tahun 1892, Prof. Naismith memperkenalkan permainan ini kepada masyarakat Amerika. Tahun 1892 untuk pertama kalinya dibuatkan peraturan baku permainan bolabasket. Setahun kemudian, tepatnya tahun 1893 kata “Basket Ball” secara resmi diterima dalam perbendaharaan bahasa inggris. Bertambanya waktu banyak inovasi dan modifikasi untuk meningkatkan skill dengan permainan tidak hanya 5 lawan 5 akan tetapi ada juga kejuaran 3 lawan 3 tidak hanya di kalangan mahasiswa akan tetapi juga di kalangan pelajar baik SMP dan SMA. Menurut Oktavianto (2012: 59), bolabasket merupakan olahraga permainan yang menggunakan bola besar, dimainkan dengan tangan bola boleh di oper (dilempar ke teman) boleh dipantulkan ke lantai (di tempat atau sambil berjalan) dan tujuanya memasukkan bola ke keranjang lawan. Teknik dasar permainan bolabasket terdiri dari beberapa macam cara : 1. Ball handling 2. Dribbling 3. Passing 4. Catching 5. Shooting 6. Rebounding (offense & defense) 7. Pivoting 8. Setting screen 9. Offensive moves (with & without the ball) 10. Defensive moves (slide step) (PERBASI, 2004: 30) Dari beberapa teknik dasar di atas yang dominan dilakukan dalam permaian bolabasket di kalangan pelajar adalah passing, dribble, shooting dan pivot karena teknik-teknik tersebut mudah untuk di pelajari berikut penjelasan teknik dasar yang sering diterapkan dalam permainan bola basket: Cara melempar dan menangkap bola Macam-macam operan dengan dua tangan : a. The two hand chest pass : operan setinggi dada/ tolakan dada b. The over head pass : operan atas kepala c. The bounce pass : operan pantulan d. The under hand pass : operan ayunan bawah Macam-macam operan dengan satu tangan : a. The side arm pass/the base ball pass : operan samping b. The lop pass : operan lambung c. The back pass : operan gaetan 722
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
d. The jump hand pass : operan lompat Lemparan tolakan dada dengan dua tangan Lemparan atau operan ini merupakan lemparan yang sangat banyak dilakukan dalam permainan. Lemparan ini sangat bermanfaatuntuk operan jarak pendek dengan perhitungan demi kecepatan dan kecermatan dan kawan penerima bola tidak dijaga dengan dekat. Jarak lemparan ini antara 5 sampai 7 meter. Lemparan samping Lemparan samping berguna untuk operan jarak sedang dan jarak kira-kira antara 8 sampai 20 meter, bisa dilakukan untuk serangan kilat. Lemparan di atas kepala dengan dua tangan Operan ini biasanya digunakan oleh pemain-pemain jangkung, untuk menggerakkan bola di atas sehingga melampui daya raih lawan. Operan ini juga sangat berguna untuk operan cepat, bila pengoper itu sebelumnya menerima bola di atas kepala. Lemparan bawah dengan dua dua tangan Lemparan atau operan ini sangat baik dilakukan untuk operan jarak dekat terutama sekali bila lawan melakukan penjagaan satu lawan satu. Lemparan kaitan Operan kaitan sebaiknya diajarkan setelah lemparan-lemparan yang lain dikuasai. Operan ini digunakan untuk dapat melindungi bola dan mengatasi jangkauan lawan terutama sekali bagi lemparan yang lebih pendek dari panjangnya. Ciri lemparan ini : bola dilemparkan di samping kanan/kiri, terletak di atas telinga kiri/kanan dan penerima ada di kiri kanan pelempar. Di samping operan-operan tersebut di atas, masih ada lagi macam-macam operan yang pada hakekatnya adalah merupakan kombinasi dari operan tersebut di atas. Menangkap Menangkap bola dapat dilakukan dengan satu tangan atau dengan dua tangan, baik dalam keadaan berhenti , berjalan maupun dalam keadaan berlari. Cara memantul-mantulkan bola Dribble atau memantul-mantulkan bola (membawa bola) dapat dilakukan dengan sikap berhenti, berjalan atau berlari. Pelaksanaannya dapat dikerjakan dengan tangan kanan atau tangan kiri, seperti : 1. Dribble rendah 2. Dribble tinggi 3. Dribble lambat 4. Dribble cepat Cara memasukkan bola atau menembak (shooting) Bila dilihat dari posisi badannya terhadap papan maka dapat dibedakan : 1. Menghadap papan (facing shoot) 2. Membelakngi papan (back up shoot). Sedang cara pelaksanaannya dapat dilakukan dengan sikap berhenti, memutar, melompat dan berlari. 3. Menghadap papan dengan sikap berhenti : a. tembakan dua tangan dari dada (two handed set shoot) b. tembakan dua tangan dari atas kepala (two handed over head set shoot) c. tembakan satu tangan (one hand set shoot) d. tembakan satu tangan dari atas kepala (one hand over head shoot) 4. Menghadap papan dengan sikap melompat
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
723
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
a. tembakan lompat dengan dua tangan dari atas kepala (two hand overhead jump shoot) b. tembakan lompat dengan satulengan (one hand shoot) 5. Menghadap papan dengan sikap lari a. tembakan lari menyentuh/memantul papan dengan tangan kanan atau kiri (righ/left hand lay-up shoot). b. Tembakan lari menyentuk papan dengan dua tangan dari bawah (teo hand under hand lay-up shoot) c. Tembakan lari menyentuh papan dengan dua tangan bawah (two hand over head layup shoot) d. Tembakan lari menyentuh papan dengan satu tangan bawah (one hand under hand lay-up shoot) 6. Membelakangi papan dengan sikap berhenti a. tembakan memutar lurus di bawah keranjang (straight turn shoot under basket) b. tembakan melangkah di bawah keranjang (step down shoot under basket) c. tembakan gaetan (the hock shoot) d. tembakan ayunan di bawah keranjang dengan kedua tangan (two hand under hand sweep shoot) e. tembakan ayunan di bawah keranjang dengan satu tangan (one hand under hand sweep shoot) 7. Membelakangi papan dengan sikap melompat a. tembakan melompat di bawah keranjang (up and under shoot) b. tembakan melompat memutar dengan kedua tangan (one hand jump twist shoot) c. tembakan melompat memutar dengan satu tangan (one hand jump twist shoot) Cara berputar (Pivot) Memutar badan dengan salah satu kaki menjadi as/poros putaran (setelah kita menerima bola). a. pivot kemudian dribble (membawa bola) b. pivot kemudian passing (melempar bola) c. pivot kemudian shooting (menembakan bola) Olah kaki atau gerakan kaki (foot work) Yang dimaksud dengan olah kaki atau gerakan kaki ialah : 1. Keterampilan penguasaan gerak kaki di dalam hal : a. dapat melakukan start dengan cepat dan berhenti dengan segera tanpa kehilangan keseimbangan b. cepat mengubah arahgerak baik dalam pertahanan maupun dalam penyerangan. 2. Menggiring bola dapat dibagi dua : a. Menggiring bola tinggi, gunannya untuk memperoleh posisi mendekati basket lawan. b. Menggiring bola rendah, gunanya untuk menyusup dan mengacaukan pertahanan lawan, dan menggiring bola dalam menghadapi lawan.
Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif. Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimen. Metode eksperimen dapat diartikan sebegai metode penelitian yang digunakan untuk mencari pengaruh perlakuan tertentu terhadap yang lain dalam kondisi yang
724
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
terkendalikan (Sugiyono, 2010). Desain dalam penelitian ini menggunakan One Group PretestPosttest Desaign. Dalam desain ini tidak ada kelompok kontrol dan subyek tidak ditempatkan secara acak. Dalam penelitian ini yang menjadi variable bebas adalah permainan bolabasket dan yang menjadi variable terikat adalah kebugaran jasmani. Pada penelitian ini menggunakan subjek populasi adalah seluruh siswa kelas IX A dan kelas IX B SMPKr Petra Jombang yang berjumlah 32 siswa. Penelitian ini termasuk penelitian populasi karena jumlah populasi kurang dari 100, maka seluruh subjek dilibatkan sehingga disebut penelitian populasi. Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian (Arikunto, 2006: 130). Teknik pengumpulan data dalam penellitian ini adalah tes. Bentuk tes menggunakan tes MFT (Multistage Fitnes Test).
Hasil Penelitian Deskripsi data yang akan disajikan meliputi nilai tertinggi, nilai terendah, rata-rata dan Standar deviasi yang akan disajikan dalam bentuk tabel dibawah ini: Tabel 1 Diskripsi Hasil Tes MFT Tes MFT Deskripsi Data Pre Test Nilai tertinggi 34, 30 Nilai terendah 20, 80 Rata-rata 25, 87 Standar Deviasi (SD) 3,543 Sumber : Lampiran (SPSS staistics versi 20)
Pos Test 36, 40 20,80 27,17 3,726
Berdasarkan table 4.1 di atas dapat diketahui bahwa : 1. Hasil dari tes MFT pada saat pre-test yaitu dengan rata-rata (mean) sebesar 25,87, sedangkan hasil dari tes MFT terendah adalah 20,80 dan tertinggi adalah 34,30 2. Hasil dari tes MFT pada saat post-test yaitu dengan rata-rata (mean) sebesar 27,17, sedangkan hasil terendah dari tes MFT adalah 20,80 dan tertinggi adalah 36,40 3. Standar deviasi diperoleh dari hasil antara pre-test dan post-test dapat dilihat perbedaan relatif kecil, yaitu 3,543dengan 3,726 Data diatas dapat digambarkan dalam bentuk grafik sebagai berikut: Diagram 1. Hasil Tes MFT
40,00 30,00 20,00 10,00 0,00
Mean
Maksi mal
pre-test
25,88
34,30
Minim Standa al r Deviasi 20,80 3,543
post-test
27,18
36,40
20,80
3,726
Uji normalitas digunakan untuk melihat atau menguji apakah data yang diteliti berasal dari populasi yang mengikuti sebaran normal atau tidak, untuk mengetahui data berdistribusi normal atau tidak dapat di lihat dengan Kolmogorov- Smirnov
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
725
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Pre-test Post-test
Table 2. Hasil Uji Normalitas Kolmogorov- Smirnov Shapiro-wilk Statistic Df Sig Statistic df ,121 32 ,200 ,931 32 ,085 32 ,200 ,962 32
Sig ,053 ,307
Pada pengujian normalitas data dapat dilihat dari besarnya taraf signifikan, yaitu sebesar α = 0,05 dibandingkan dengan nilai Shampiro-wilk, dengan aturan apabila nilai Shampiro-wilk> 0,05 maka data tersebut berdistribusi normal. Tabel 3. Keputusan Uji Normalitas Nilai Shampirowilk
Taraf Signifikansi
Keputusan
Pre-test
0,530
0,05
Normal
Post-test
0,307
0,05
Normal
Kelompok Data
Dari table 3 di atas dapat dilihat bawah nilai signifikansi dari pre-test 0,530 dan posttest 0,307 lebih besar dari pada α= 0,05 (5%). Jadi, hasil di atas dapat disimpulkan bahwa varians pada tiap kelompok berasal dari populasi yang adalah sama atau homogen dengan kesimpulan H0 diterima. Setelah dilakukan uji normalitas dapat disimpulkan bahwa hasil dari pengujian tersebut berdistribusi normal, maka dari hasil data penelitian tersebut layak dipakai untuk melakukan analisis selanjutnya. Paired Sample T-test adalah teknik analisa statistik yang dipakai untuk melihat ada tidaknya perbedaan mean dari dua kelompok sampel yang berpasangan. Sampel berpasangan yang dimaksud yaitu sampel yang digunakan sama dalam pengujian tetapi sampel tersebut dilakukan dua kali dalam waktu yang berbeda. Dalam hal ini, yang diuji adalah data pre-test dan post-test kebugaran jasmani siswa dengan cara MFT. hasil dari analisis data adalah sebagai berikut: Table 4. Hasil Uji Beda (Paired samples test) Paired differences mean Std. Std. 95% confidence interval Deviation Error of the difference Sig (2Men lower upper t df tailed) Pair 1 1,3031 ,7468 ,1320 1,0338 1,5723 9,871 31 ,000 Prestestpostest Karena dalam melakukan pengujian secara satu sisi (one-talied), maka keputusannya adalah apabila thitung> ttabel atau maka H0 ditolak dan H1 diterima, begitu juga sebaliknya. Dengan tingkat signifikansi α = 0,05 dan derajat bebas (df: degree of freedom)= n – 1 dan nilai α yang digunakan adalah 0,05 dan df = 31 (33 – 1), maka besarnya ttabel adalah 1,697. Berdasarkan tabel 4.4 diatas maka thitung > ttabel (9,871>1,697) maka H0 ditolak artinya secara parsial ada pengaruh yang signifikan antara hasil pre-test dan post-test permainan bolabasket mempengaruhi kebugaran jasmani.
726
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Simpulan Simpulan dalam penelitian ini adalah terdapat pengaruh modifikasi permainan bola basket terhadap kebugaran jasmani siswa SMPKr Petra Jombang. Saran perlunya pemberikan kegiatan yang melatih fisik tidak hanya dengan drill drill yang ketat akan tetapi dengan pemberian pola-pola permainan agar anak tidak merasa bosan dengan kegiatan pembelajaran. Dengan pemberian modifikasi permainan bolabasket anak merasa senang dan sangat menikmati kegiatan pembelajaran sehingga kebugaran jasmani siswa lebih meningkat.
Daftar Pustaka Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Bazanov, B. 2007. Integrative Approach Of The Technical And Tactical Aspects in Baskeball Coaching. Tallin: Tallin University. BSNP, 2006. Standar Isi Sekolah Menengah Pertama. Departemen Pendidikan Nasional. Gore, C. 2000. Physiological Tests For Elite Athletes. Champaign Illinois: Human Kinetics. Harsono. 1988. Coaching dan Aspek-Aspek Psikologis dalam Coaching. Jakarta: P2LPTK, Depdikbud http://www.brianmac.co.id.uk/vo2max.html#vo2 Maksum, A. 2012. Metodologi Penelitian dalam Olahraga. Surabaya : Unesa University Press Maulidin, 2012. Pelatihan Pec Deck dan Cable Crossover Terhadap Kekuatan Otot Lengan dan Hasil Forehand Pada Pemain Tenis. Pasca Sarjan Universitas Negeri Surabaya. Surabaya Oktavianto, M.Y.P. 2012. Sumbangan Power Lengkap dan Panjang Lengan Terhadap Kemampuan Lempar Chest Pass Bola Basket Pada Klub Bola Basket Bluesky Kabupaten Demak. Semarang. Universitas Negeri Semarang. Pusat Kesegaran Jasmani Dan Rekreasi, 1999. Tes Kesegaran Jasmai Indonesia Untuk Remaja 13-15 Tahun. Jakarta. Departemen Pendidikan Kebudayaan. Sajoto, M. 1995. Peningkatan dan Pembinaan Kondisi Fisik dalam Olahraga. Semarang: Dahara Prize. Sugiyono. 2010. Metode Peneltian pendidikan pendekatan kuantitatf, kualitatif dan R&D. Bandung : CV. Alfabeta
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
727
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Perencanaan, Pelaksanaan, dan Problematika Pembelajaran Menulis Siswa Kelas V SDN IV Sukorejo Perak Jombang Mu’minin 14 ([emailprotected]) Abstract This research was conducted with the aim to describe the planning, execution, and learning problems of students' writing class V SDN Sukorejo Silver Jombang. This study uses descriptive qualitative method, which describes all the elements related to the planning, execution, and learning problems of students' writing class V SDN Sukorejo Silver Jombang. The research was designed with qualitative descriptive procedure is performed by following the procedures pre-field activities, field work, data analysis, and inference. The results of this study indicate, that in the planning of teaching writing in general all of the teachers have been made on the three basic competencies RPP studied. However, there are still some shortcomings in the RPP. The shortage is the element (1) learning objectives and indicators, (2) learning materials, (3) measures of learning, (4) methods of learning. Key Words: writing, planning, doing, assessing Abstrak Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mendeskripsikan perencanaan, pelaksanaan, dan problematika pembelajaran menulis siswa kelas V SDN Sukorejo Perak Jombang. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang bersifat deskriptif, yang memaparkan semua unsur terkait perencanaan, pelaksanaan, dan problematika pembelajaran menulis siswa kelas V SDN Sukorejo Perak Jombang. Penelitian yang dirancang dengan prosedur diskriptif kualitatif ini dilakukan dengan mengikuti prosedur kegiatan pralapangan, pekerjaan di lapangan, analisis data, dan penyimpulan. Hasil penelitian ini menunjukkan, bahwa dalam perencanaan pembelajaran menulis pada umumnya semua guru sudah membuat RPP tentang ketiga kompetensi dasar yang diteliti. Akan tetapi, masih terdapat beberapa kekurangan dalam RPP tersebut. Kekurangan tersebut yaitu pada unsur (1) tujuan pembelajaran dan indikator, (2) materi pembelajaran, (3) langkah-langkah pembelajaran, (4) metode pembelajaran. Kata kunci: pembelajaran menulis, perencanaan, pelaksanaan, penilaian
Pendahuluan Pembelajaran bahasa Indonesia mempunyai peranan penting di sekolah. Melalui pembelajaran bahasa Indonesia, dua hal dapat dicapai sekaligus. Pertama, melalui pembelajaran bahasa siswa memperoleh pengetahuan bahasa, keterampilan berbahasa sekaligus sikap positif terhadap bahasa Indonesia. Kedua, Pembelajaran bahasa dapat menunjang bidang studi lainnya. Pembelajaran bahasa Indonesia mencakup empat aspek keterampilan, yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Keempat aspek tersebut dilaksanakan secara terpadu. Sasaran akhir pelaksanaan pembelajaran dari keempat aspek di atas adalah agar siswa memiliki kemampuan untuk berkomunikasi baik secara lisan maupun secara tertulis. Hal ini dimaksudkan agar peserta didik dapat mengembangkan berbahasa dan berpikir untuk kepentingan proses komunikasi. Menulis merupakan satu di antara empat keterampilan berbahasa yang harus dikuasai siswa. Menulis sebagai bagian dari keterampilan berbahasa merupakan bentuk komunikasi yang 14
Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia
728
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
dapat dilakukan siswa untuk mengungkapkan ide atau gagasan, pikiran, dan perasaannya dengan bahasa tulis sebagai medianya. Hal ini sejalan dengan tujuan yang dikehendaki kurikulum 2006 untuk pembelajaran menulis di Sekolah Dasar (SD), yaitu agar siswa memiliki kemampuan mengungkapkan gagasan, pendapat, pengalaman, dan pesan secara lisan dan tertulis (Depdikbud, 2004:2). Dalam Kurikulum 2006 tentang Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), dinyatakan bahwa fokus pembelajaran menulis adalah agar siswa memiliki kemampuan menulis bentuk dan jenis tulisan yang sesuai dengan tujuan dan ragam pembaca dengan memperhatikan pilihan kata yang tepat sesuai dengan konteks serta menggunakan ejaan dan tanda baca yang tepat (Depdiknas, 2006:8). Terampil menulis memungkinkan seseorang mudah mencapai keberhasilan dalam belajar dan memperoleh pekerjaan. Berbagai pekerjaan dalam kehidupan sehari-hari menuntut seseorang memiliki kemampuan dan keterampilan dalam menulis. Akhadiyah (1997:1) mengemukakan bahwa keterampilan menulis perlu ditingkatkan karena sangat bermanfaat bagi siswa terutama dalam menempuh jenjang pendidikan selanjutnya ataupun dalam kehidupan bermasyarakat. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran menulis pada siswa SD memberikan banyak manfaat, seperti mengembangkan kreativitas, cara berfikir, kecerdasan, dan kepekaan emosi siswa. Pembelajaran menulis juga diarahkan untuk membantu mereka menuangkan ide atau gagasan, pikiran, pengalaman, perasaan, dan cara memandang kehidupan. Dengan banyaknya manfaat yang akan diperoleh dalam pembelajaran menulis, selayaknya kegiatan menulis ini menjadi salah satu kegiatan yang disukai siswa. Akan tetapi, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa kebiasaan menulis belum membudaya dan hasil pembelajaran menulis belum sepenuhnya sesuai dengan tujuan yang diharapkan karena hasil pembelajaran menulis sangat memprihatinkan. Sesuai dengan kenyataan yang ditemui di lapangan, secara umum kemampuan siswa dalam menulis masih rendah. Rendahnya kemampuan tersebut ditandai adanya (1) frekuensi kegiatan menulis yang dilakukan siswa sangat rendah, (2) kualitas karya tulis siswa sangat buruk, (3) rendahnya antusiasme siswa dalam mengikuti pembelajaran menulis, dan (4) rendahnya kreativitas siswa pada saat kegiatan pembelajaran menulis berlangsung. Rendahnya keterampilan siswa dalam menulis disebabkan oleh beberapa faktor yang turut memengaruhi, di antaranya faktor ketepatan guru dalam memilih dan menerapkan strategi pembelajaran. Hal ini sejalan dengan pendapat Tompkins (1994:224) bahwa rendahnya keterampilan menulis tidak disebabkan oleh keterbatasan siswa, tetapi disebabkan oleh pendekatan yang digunakan oleh guru yang tidak mampu mengarahkan siswa untuk dapat belajar dengan baik, bukan pula karena siswa tidak mampu menulis tetapi materi yang disajikan guru kurang merangsang siswa untuk dapat berkreativitas. Ketidaktepatan guru dalam memilih dan menerapkan strategi berdampak pada ketidaktahuan siswa bagaimana memulai menulis dan akhiranya bermuara pada keengganan siswa untuk menulis. Seseorang yang enggan menulis disebabkan oleh beberapa hal: tidak tahu untuk apa dia menulis, merasa tidak berbakat untuk menulis, dan merasa tidak tahu bagaimana harus menulis. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dan mendeskripsikan pembelajaran menulis siswa kelas V SDN Sukorejo Perak Jombang, terkait: perencanaan, pelaksanaan, dan problematikanya. Penelitian ini memilih jenjang sekolah dasar (SD) khususnya kelas V dengan pertimbangan-pertimbangan berikut. Pertama, ibarat bangunan gedung, pendidikan pada Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
729
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
jenjang SD merupakan fondasi bangunan. Apabila fondasinya kokoh, terbuka kemungkinan besar untuk mengembangkan bangunan yang kuat di atasnya. Kedua, dipilihnya siswa kelas V dengan pertimbangan bahwa kelas V merupakan kelas yang diidealkan dalam proses pembelajaran. Artinya, pembelajaran di kelas V merupakan pembelajaran yang sepenuhnya diorientasikan kepada kurikulum yang berlaku. Hal ini berbeda dengan pembelajaran di kelas VI yang lebih banyak diorientasikan kepada kemampuan siswa dalam menghadapi ujian akhir. Ketiga, usia siswa kelas V SD tergolong dalam hipotesis periode kritis yang dimunculkan oleh Lenneberg (dalam Brown, 2000:53), yakni hipotesis yang mengatakan bahwa antara umur 2 sampai dengan 12 tahun seorang anak dapat memperoleh bahasa mana pun dengan kemampuan seorang penutur asli. Dengan kata lain, pada periode ini bahasa bisa dikuasai secara lebih mudah dan selepas periode ini bahasa semakin sulit dikuasai. Keempat, di dalam Kurikulum 2006 (KTSP) kelas V SD terdapat standar kompetensi yang berbunyi, ”Mengungkapkan pikiran, perasaan, informasi, dan pengalaman secara tertulis dalam bentuk karangan, surat undangan, dan dialog tertulis”. Standar kompetensi itu dikembangkan ke dalam beberapa kompetensi dasar berikut: (1) Menulis karangan berdasarkan pengalaman dengan memperhatikan pilihan kata dan penggunaan ejaan, (2) Menulis surat undangan (ulang tahun, acara agama, kegiatan sekolah, kenaikan kelas, dll.) dengan kalimat efektif dan memperhatikan penggunaan ejaan, dan (3) Menulis dialog sederhana antara dua atau tiga tokoh dengan memperhatikan isi serta perannya.
Landasan Teori Hakikat Menulis Menulis merupakan suatu proses berpikir berkelanjutan, mencobakan dan mengulas kembali. Kegiatan menulis berkembang melalui latihan secara terus menerus. Pada hakekatnya menulis dapat dibagi menjadi tiga aspek, yaitu (1) menulis sebagai proses berpikir, (2) menulis sebagai proses berpikir meliputi serangkaian aktivitas, dan (3) menulis sebagai proses berkaitan dengan membaca. Hal tersebut dipaparkan sebagai berikut. Menulis sebagai proses berpikir. Menulis sebagai suatu proses menuangkan ide, gagasan, perasaan dalam bentuk tulis. Salah satu subtansi retorika dalam menulis adalah penalaran yang baik. Hal ini berarti bahwa seorang penulis harus mampu mengembangkan cara-cara berpikir yang rasional (Syafi’ie, 1988:43). Menulis sebagai proses berpikir yang meliputi serangkaian aktivitas. Menulis sebagai proses berpikir yang berupa karangan, baik karangan ilmiah maupun karangan sastra. Karangan sebagai hasil kreativitas diperoleh melalui serangkaian aktivitas menulis. Menurut Tomkins (1994:126) rangkaian aktivitas menulis terdiri dari pramenulis, pengedrafan, perbaikan, penyuntingan, dan publikasi. Menulis sebagai proses berpikir berkaitan erat dengan membaca. Menulis berkaitan erat dengan membaca. Kegiatan membaca dan menulis merupakan kegiatan yang mempunyai hubungan yang erat dan saling mendukung. Hal ini terlihat pada saat sebelum menulis, saat menulis, dan saat sesudah menulis. Dilihat dari segi kegiatan sebelum menulis, siswa memerlukan pengetahuan awal dan informasinya berkaitan dengan topik yang digarap. Dalam memperoleh informasi yang dibutuhkan, kegiatan membaca merupakan salah satu sarana yang penting dan tepat. Dilihat dari segi kegiatan saat menulis, siswa melakukan kegiatan berpikir untuk menuangkan ide-ide atau gagasan secara jelas dengan bahasa tulis. Dalam proses tersebut diperlukan kesungguhan dalam mengolah, mengatur, dan menata gagasan-gagasan yang talah
730
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
ditulis. Dalam hal ini diperlukan kegiatan membaca secara berulang-ulang apa yang ditulis untuk mengetahui kekurangan-kekurangan yang ada sehingga tulisan tersebut dapat dipahami dengan baik oleh pembaca. Dilihat dari saat sesudah menulis, salah satu kegiatan yang dilakukan adalah siswa dapat membacakan tulisannya kepada orang lain dengan memperhatikan ketepatan lafal, intonasi, dan kelancaran dalam membaca. Hal ini dilakukan agar lebih memperjelas makna tulisan yang dihasilkan.
Prinsip Pembelajaran Menulis Pembelajaran menulis akan terlaksana secara terarah dan efektif apabila guru menggunakan prinsip-prinsip sebagai pedoman pembelajaran. Dixon dan Nessel (1983:40) mengemukakan beberapa prinsip mengenai pembelajaran menulis. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut: (1) Dalam kegiatan menulis siswa harus berdasar pada topik pribadi yang bermakna. Prinsip mengisyaratkan bahwa topik yang dipilih merupakan topik yang dipahami dan digemari oleh siswa. (2) Sebelum menulis hendaknya diberi percakapan. Prinsip ini mengisyaratkan agar kegiatan menulis didahului dengan kegiatan bebicara tentang pengalaman, pengetahuan, dan kegemaran siswa dalam kaitannya dengan topik. Oleh karena itu, sebelum menulis perlu diberi serangkaian pembahasan secara lisan tentang topik dan kerangka yang akan dikembangkan. (3) Menulis bukan merupakan suatu keterampilan yang mudah. Prinsip ini mengisyaratkan agar keterampilan menulis diajarkan dalam konteks yang menyenangkan sehingga siswa bergairah untuk menulis dan terhindar dari rasa frustasi. (4) Kegiatan menulis hendaknya diberikan dalam bentuk komunikasi bukan dalam sekedar memberikan tugas menulis begitu saja. Segala ide dan gagasan yang akan ditulis hendaknya merupakan sesuatu yang dapat mereka tuangkan melalui tulisan sehingga ide atau gagasan tersebut dapat dikomunikasikan kepada orang lain. (5) Melakukan pengoreksian kesalahan. Kesalahan tata bahasa, penyusunan frasa, dan kesalahan mekanik sebagai akibat keterbatasan pengetahuan tentang kebahasaan, hendaknya disikapi sebagai sesuatu yang wajar. Pengoreksian kesalahan tata bahasa dan mekanik dilaksanakan setelah siswa sudah selesai dalam menulis. (6) Antara pembelajaran menulis dan membaca atau keterampilan lainnya hendaknya memiliki hubungan yang jelas. Pembelajaran menulis hendaknya mempunyai keterkaitan dengan apa yang telah dibaca. Dalam mengembangkan meteri tulisan, siswa diberi tugas membaca buku bacaan yang dapat digunakan untuk memperkaya ungkapan dan memperluas isi tulisan. Berdasarkan prinsip pembelajaran menulis yang telah diuraikan di atas, guru dapat melaksanakan pembelajaran menulis dengan mudah. Selain itu, pembelajaran yang berdasarkan pada prinsip tersebut dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk menulis dengan baik sampai taraf sempurna melalui bimbingan guru. Dengan demikian, tujuan dalam pembelajaran menulis akan tercapai sesuai dengan yang diharapkan.
Metode Penelitian Penelitian ini mengunakan metode kualitatif yang bersifat deskriptif. Penggunaan pendekatan ini dimaksudkan untuk memberikan pemaparan tentang pembelajaran menulis siswa kelas V SDN Sukorejo Perak Jombang terkait: perencanaan, pelaksanaan, dan problematikanya. Penelitian deskripsi bertujuan untuk melukiskan atau memaparkan kondisi atau variabel suatu situasi sebagaimana adanya. Menurut Lofland (dalam Moleong, 2005:157) sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah berupa kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
731
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
dan lain-lain. Data dalam penelitian ini berupa hasil angket dan pendokumentasian pembelajaran menulis bahasa Indonesia siswa kelas V SDN Sukorejo Perak Jombang terutama yang berwujud data verbal dari guru. Berbagai informasi tersebut berkaitan dengan dokumendokumen (1) persiapan pembelajaran dan (2) pelaksanaan pembelajaran. Data pembelajaran menulis diperoleh melalui angket dan studi dokumentasi yang peneliti dapatkan dari SDN IV Sukorejo Perak Jombang (1) persiapan/perencanaan pembelajaran menulis, (2) pelaksanaan pembelajaran menulis termasuk metode pembelajaran yang digunakan, (3) masalah-masalah yang dihadapi guru dalam pembelajaran menulis, dan (4) upaya-upaya yang dilakukan guru dalam mengatasi masalah. Data penelitian dikumpulkan dengan teknik angket dan teknik dokumentasi. Teknik angket digunakan untuk mengumpulkan data yang terkait dengan pelaksanaan pembelajaran menulis yang dilaksanakan guru di dalam kelas. Teknik dokumentasi digunakan untuk mengumpulkan data yang terkait dengan perencanaan pembelajaran terutama yang berupa Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) pembelajaran menulis yang dibuat guru. Data penelitian dianalisis dengan teknik kualitatif bersifat deskriptif dengan langkahlangkah: (1) menelaah seluruh data yang telah dikumpulkan, (2) mereduksi data yang di dalamnya melibatkan kegiatan pengategorian dan pengklasifikasian, dan (3) menyimpulkan data verifikasi. Kegiatan penelaahan ini dimulai dengan penyimakan terhadap hasil angket secara cermat, kemudian menganalisis, mensintesis, memaknai, menerangkan, dan menyimpulkan.
Hasil Penelitian Perencanaan pembelajaran menulis merupakan kegiatan merencanakan pembelajaran yang akan dilaksanakan guru yang memungkinkan peserta belajar melahirkan pemikiran atau perasaan dengan tulisan. Dalam perencanaan pembelajaran menulis siswa kelas V SDN IV Sukorejo Perak Jombang pada umumnya semua guru sudah membuat RPP tentang ketiga Kompetensi Dasar (KD) yang diteliti. Akan tetapi, masih terdapat beberapa kekurangan dalam RPP tersebut. Kekurangan dalam perencanaan pembelajaran menulis yang disusun guru kelas V SDN IV DSukorejo Perak Jombang terdapat pada bagian: (1) tujuan pembelajaran dan indikator, (2) materi pembelajaran, dan (3) langkah-langkah pembelajaran. Tujuan pembelajaran menulis dalam RPP yang disusun guru tentang ketiga kompetensi dasar (menulis karangan, menulis surat undangan, dan menulis dialog) pada umumnya masih belum memperlihatkan adanya tujuan pembelajaran menulis sebagai proses. Hal ini terlihat dari rumusan tujuan pembelajaran yang tidak mencantumkan tujuan agar siswa dapat menyunting karangan, surat undangan, dan dialog yang disusunnya sendiri atau disusun temannya. Tidak adanya tujuan tersebut menimbulkan kesan bahwa terhadap karangan, surat undangan, dan dialog yang disusun siswa tidak pernah dilakukan kegiatan penemuan kesalahan untuk selanjutnya diadakan perbaikan atau revisi. Materi pembelajaran merupakan bahan pembelajaran/materi ajar yang yang disiapkan guru/pendidik untuk dipelajari siswa sebagai sarana pencapaian kompetensi dasar yang harus dikuasai siswa. Materi pembelajaran dalam RPP menulis karangan yang disusun guru kelas V SDN IV Sukorejo Perak Jombang pada umumnya mereka hanya menuliskan pokok bahasan tanpa memberikan materi pembelajaran secara lengkap dalam RPP yang mereka susun. Langkah-langkah pembelajaran merupakan tahapan/tindakan yang akan dilakukan dalam kegiatan pembelajaran. Penyusunan langkah-langkah pembelajaran perlu dilakukan untuk 732
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
mengkoordinasi komponen pembelajaran. Langkah-langkah pembelajaran disusun untuk membantu siswa menguasai kompetensi dasar yang diberikan. Langkah-langkah pembelajaran merupakan hal yang sangat menentukan dalam keberhasilan siswa menguasai kompetensi dasar. Langkah-langkah pembelajaran dalam RPP menulis karangan, surat undangan, dan dialog yang disusun guru bervariasi. Dari berbagai variasi/ragam tersebut terdapat kelebihan dan kelemahan dalam perumusan langkah-langkah pembelajaran yang mereka susun. Kelebihan dalam langkah-langkah pembelajaran yang disusun guru yaitu, mereka menyajikan tiga tahapan mulai dari kegiatan awal, inti, dan penutup. Pada tahap awal mereka memunculkan kegiatan apersepsi dan motivasi untuk memulai pelaksanaan pembelajaran. Dalam tahap kegiatan inti mereka memunculkan kegiatan yang tergabung dalam eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi. Kegiatan eksplorasi dilakukan agar siswa mencari informasi atau pengetahuan melalui kegiatan membaca. Kegiatan elaborasi dilakukan agar siswa menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan secara tekun dan cermat untuk menguasai suatu kompetensi dengan bimbingan guru. Kegiatan konfirmasi dilakukan agar guru dan siswa memberikan penegasan dan penguatan terkait hasil eksplorasi dan elaborasi yang telah dilakukan. Dalam tahap penutup guru membuat kegiatan penyusunan rangkuman, penilaian, tanya jawab, merencanakan tindakan tindak lanjut (remidial, pengayaan, layanan konseling, dan menyampaikan rencana pembelajaran pada pertemuan selanjutnya). Kelemahan dalam langkah-langkah pembelajaran yang disusun guru yaitu, mereka dalam menyusun rumusan langkah-langkah pembelajaran hanya tahap pramenulis dan pengedrafan. Sedangkan tahap penyuntingan dan publikasi tidak dituntut dari para siswanya. Padahal tahap penyuntingan merupakan tahap yang penting karena pada tahap ini pembelajaran berfokus pada perbaikan terhadap kesalahan-kesalahan dalam karya siswa, agar karangan, surat undangan, dan dialog yang ditulis siswa yang mengandung kesalahan segera diperbaiki atau direvisi, sehingga kesalahan itu tidak berlanjut sampai mereka dewasa. Selanjutnya, tahap publikasi juga penting dimunculkan dalam rumusan langkah-langkah pembelajaran karena tahap publikasi yang berupa pembacaan hasil karya menulis atau dengan menempelkan hasil tulisan siswa di majalah dinding/papan pajangan mampu meningkatkan daya apresiasi siswa terhadap karya tulis yang dibuatnya sendiri atau yang dibuat temannya. Pelaksanaan pembelajaran menulis merupakan kegiatan nyata di dalam kelas yang dilaksanakan guru dan siswa dengan tujuan peserta didik mampu melahirkan pikiran atau perasaan dengan tulisan. Dalam pelaksanaan pembelajaran menulis siswa kelas V SDN IV Sukorejo Perak Jombang, pada umumnya guru sudah menyusun RPP tentang ketiga kompetensi dasar yang diteliti sebagai perangkat dan pedoman sebelum melaksanakan pembelajaran di kelas. Setelah para guru melaksanakan pembelajaran menulis, peneliti dengan menggunakan teknik angket berusaha menggali data untuk memperoleh data terkait dengan metode pembelajaran yang umumnya diterapkan guru, masalah-masalah yang dihadapi guru dalam pembelajaran menulis, dan upaya-upaya yang dilakukan guru untuk menyelesaikan masalah yang muncul dalam pembelajaran menulis. Metode pembelajaran merupakan suatu cara yang digunakan guru untuk menyampaikan pesan yang terkandung dalam kurikulum kepada peserta didik. Dalam pembelajaran menulis metode merupakan cara-cara yang digunakan guru agar peserta didik mampu melahirkan pikiran atau perasaan dengan tulisan. Dalam pelaksanaan pembelajaran menulis guru umumnya menggunakan metode tanya jawab, diskusi, dan penugasan. Dari tiga metode ini yang lebih mengarah ke pembelajaran menulis adalah metode penugasan. Akan tetapi, tidak ada tindak Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
733
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
lanjut dari metode penugasan ini sehingga menimbulkan kesan hasil pekerjaan siswa dibiarkan begitu saja tanpa ada upaya menunjukkan kesalahan dan pembetulannya. Dalam melaksanakan pembelajaran, seorang guru akan menghadapi berbagai masalah atau hambatan. Masalah dalam pembelajaran menulis merupakan kesulitan-kesulitan yang dihadapi guru dan siswa dalam proses pembelajaran di kelas. Masalah yang dihadapi guru dalam pembelajaran menulis bermacam-macam. Masalah-masalah yang dihadapi guru dalam pembelajaran menulis karangan siswa kelas V SDN Sukorejo Perak Jombang: (1) siswa dalam menulis masih lambat dan pengalaman siswa kurang; (2) penulisan kata ganti dan kata sambung dilakukan secara berulang-ulang, seperti lalu, kemudian, setelah itu; (3) ada seorang siswa yang masih kurang paham dalam menentukan kerangka karangan sebelum siswa tersebut membuat karangan; (4) siswa sulit dalam membuat dan mengembangkan kerangka karangan; (5) siswa dalam pembelajaran menulis karangan masih belum bisa mandiri, mereka menginginkan untuk selalu dibimbing, sehingga guru merasa pembelajaran belum bisa berjalan maksimal. Apalagi dalam mengembangkan kerangka karangan siswa belum begitu paham; (6) siswa mengalami hambatan dalam penggunaan huruf kapital; dan (7) siswa masih mengalami masalah dalam menulis sesuai ejaan yang baik dan benar. Secara umum masalah yang dihadapi para guru dalam pembelajaran menulis karangan pada umumnya adalah siswa belum bisa mengembangkan kerangka karangan, pengalaman siswa dalam kegiatan menulis masih kurang, dan siswa kurang memahami penulisan (huruf kapital, tanda baca, kalimat efektif dan ejaan yang benar). Masalah-masalah yang dihadapi guru dalam pembelajaran menulis surat undangan siswa kelas V SDN Sukorejo Perak Jombang: (1) minimnya pembendaharaan kata yang dipunyai siswa dalam menulis surat undangan; (2) penulisan jam, tanggal, dan tanda baca masih belum tepat; (3) dalam membuat surat undangan siswa belum bisa membedakan antara surat undangan yang dikeluarkan/dibuat oleh pribadi dan dibuat oleh instansi; (4) siswa kesulitan membedakan bagian pembuka, isi, penutup surat undangan; (5) penggunaan huruf kapital dan huruf kecil masih sedikit dikuasai siswa; (6) penggunaan tanda baca kurang dikuasai; (7) kalimat yang disusun banyak yang tidak runtut; (8) surat undangan sering terkontaminasi oleh dialek-dialek bahasa daerah; (9) untuk surat tidak resmi tidak ada masalah sedangkan pembuatan surat resmi masalahnya ada pada struktur kalimat dan penggunaan bahasa tidak baku; dan (10) pembuatan surat belum bisa sempurna karena siswa kurang mengerti ejaan dan kaidah pembuatan surat. Secara umum masalah yang dihadapi para guru dalam pembelajaran menulis surat undangan adalah siswa masih minim dalam perbendaharaan kata, belum memahami struktur/bagian yang ada dalam surat undangan, sulit membedakan surat pribadi dan surat resmi, bahasa siswa terpengaruh bahasa daerah, siswa kurang memahami penulisan (huruf kapital, tanda baca, kalimat efektif, dan ejaan yang benar). Masalah-masalah yang dihadapi guru dalam pembelajaran menulis dialog adalah: (1) siswa takut mengeluarkan pendapat dan minim membaca; (2) penulisan tanda baca antara tokoh dengan dialognya tidak digunakan; (3) penulisan kata, tanda baca, dan kalimat dalam dialog tidak sesuai dengan ejaan yang baik dan benar; (4) kosa kata siswa terkontaminasi oleh dialekdialek bahasa daerah; dan (5) teks dialog yang disusun siswa masih belum sempurna, isinya tidak runtut. Secara umum masalah yang dihadapi para guru dalam pembelajaran menulis dialog adalah siswa takut mengutarakan pendapat, kegiatan membaca minim, kurang memahami kaidah penulisan naskah dialog, bahasa siswa terpengaruh bahasa daerah, teks dialog yang
734
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
disusun siswa masih belum sempurna, isinya tidak runtut, dan kurang memahami penulisan (huruf kapital, tanda baca, kalimat efektif dan penggunaan ejaan yang benar). Dari masalah-masalah yang dihadapi para guru dalam pelaksanaan pembelajaran menulis. Terlihat bahwa kegiatan menulis merupakan sebuah kompetensi yang sulit. Hal itu terjadi karena kegiatan tersebut merupakan kegiatan mengubah sebuah pemikiran ke dalam bentuk tulisan. Selain itu, setiap tulisan harus mematuhi tata bahasa dan ejaan untuk menjadikan sebuah produk tulisan yang baik dan benar. Dari berbagai problematika yang muncul dalam pembelajaran menulis, guru melakukan upaya-upaya untuk mengatasinya. Upaya merupakan usaha-usaha yang dilaksanakan guru untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam proses pembelajan menulis di kelas. Untuk mengatasi berbagai masalah yang muncul dalam pembelajaran menulis, guru melakukan upayaupaya yang bermacam-macam. Upaya-upaya yang dilakukan guru untuk menyelesaikan masalah dalam pembelajaran menulis karangan adalah siswa diberi contoh sebuah karangan sebagai tahap awal sebelum mereka melakukan proses menulis karangan, siswa dibiasakan mengunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, dan siswa diberi tugas/latihan menyusun sebuah karangan berdasarkan pengalaman yang menyenangkan. Upaya-upaya yang dilakukan guru untuk menyelesaikan masalah dalam pembelajaran menulis surat undangan adalah siswa sering dibiasakan membaca contoh surat undangan pribadi dan resmi sebagai tahap awal sebelum mereka melakukan proses menulis surat undangan dan mereka dibimbing untuk menyusun/menulis surat undangan. Upaya-upaya yang dilakukan guru untuk menyelesaikan masalah dalam pembelajaran menulis dialog adalah siswa diberi contoh naskah dialog, siswa dibiasakan membaca naskah dialog, siswa dibimbing untuk menyusun naskah dialog sederhana, dan siswa dilatih untuk memerankan naskah dialog yang telah disusun. Dari pemaparan di atas terlihat bahwa para guru sudah berupaya dengan menerapkan berbagai langkah/strategi untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi dalam pelaksanaan pembelajaran menulis. Namun, upaya untuk melakukan penyuntingan/perbaikan karya tulis tidak dimunculkan atau dituntut dari para siswanya. Tidak adanya upaya tersebut menimbulkan kesan bahwa terhadap karya tulis (karangan, surat undangan, dan naskah dialog) yang disusun siswa tidak pernah dilakukan kegiatan penemuan kesalahan untuk selanjutnya diadakan perbaikan atau revisi. Dengan demikian, karya tulis siswa yang mengandung kesalahan selamanya tidak pernah diperbaiki sehingga kesalahan itu berlanjut sampai mereka dewasa. Dalam menyusun perencanaan pembelajaran menulis, para guru kelas V SDN IV Sukorejo Perak Jombang sudah membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Namun, dalam RPP yang mereka susun masih terdapat beberapa kekurangan, yaitu pada unsur (1) tujuan pembelajaran dan indikator, (2) materi pembelajaran, dan (3) langkah-langkah pembelajaran. Kekurangan itu terkait dengan belum terlihatnya kegiatan menulis sebagai proses. Pada semua unsur tersebut belum terlihat adanya kegiatan penyuntingan yang dilakukan siswa baik terhadap tulisan mereka sendiri maupun terhadap tulisan teman mereka. Dalam pelaksanaan pembelajaran menulis para guru kelas V SDN IV Sukorejo Perak Jombang telah menerapkan metode pembelajaran. Metode pembelajaran yang meraka terapkan pada umumnya berkisar pada metode tanya jawab, diskusi, dan penugasan. Dari tiga metode ini yang lebih mengarah kepembelajaran menulis adalah metode penugasan. Akan tetapi, pada Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
735
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
umumnya tidak ada tindak lanjut dari metode penugasan ini sehingga menimbulkan kesan hasil pekerjaan siswa dibiarkan begitu saja tanpa ada upaya untuk menunjukkan kesalahan dan pembetulannya. Dari metode pembelajaran yang telah diterapkan para guru, muncul pula masalahmasalah dalam pelaksanaan pembelajaran menulis. Masalah-masalah yang muncul umumnya anak-anak kurang memahami penulisan (huruf besar, tanda baca, kalimat efektif, dan penggunaan ejaan yang benar). Masalah tersebut menunjukkan bahwa kegiatan menulis merupakan kompetensi yang sulit. Hal itu terjadi karena kegiatan tersebut merupakan kegiatan mengubah sebuah pemikiran ke dalam bentuk tulisan. Selain itu, setiap tulisan harus mematuhi tata bahasa dan ejaan untuk menjadikan sebuah produk tulisan yang baik dan benar. Dari berbagai masalah yang muncul, para guru telah melakukan upaya-upaya untuk mengatasinya agar pembelajaran menulis dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Sebagai contoh, guru sebelum melaksanakan pembelajaran menulis berupaya memberikan contoh atau model karya tulis dari kompetensi dasar yang akan dicapai.
Rekomendasi Kepada semua guru dalam menyusun perencanaan pembelajaran menulis, semua guru harus menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dengan baik. RPP yang mereka susun harus memuat (1) tujuan pembelajaran dan indikator yang tepat, (2) materi pembelajaran harus dicantumkan dalam RPP, (3) langkah-langkah pembelajaran harus terlihat kegiatan menulis sebagai proses, dan (4) metode pembelajaran (tanya jawab, diskusi, dan penugasan) yang akan dilakukan guru harus diikuti dengan kegiatan tindak lanjut sebagai upaya menunjukkan kesalahan dan pembetulan apabila dalam proses pembelajaran menulis siswa masih banyak mengalami kesalahan. Masalah-masalah yang muncul dalam pelaksanaan pembelajaran menulis harus segera ditindaklanjuti dan diadakan upaya penyelesaian oleh guru. Contoh guru harus mengevaluasi kembali kegiatan belajar mengajar yang telah dilakukan dan segera membuat metode pembelajaran yang tepat agar masalah-masalah yang dihadapi segera terselesaikan dan tujuan pembelajaran menulis dapat tercapai. Kepada pengawas Sekolah Dasar di wilayah ini harus semakin aktif dalam kegiatan monitoring klinis terkait proses pembelajaran di kelas agar antara pengawas, guru, dan siswa terjalin sebuah tim teaching untuk perbaikan dari kelemahan yang sewaktu-waktu muncul dalam proses pembelajaran di kelas khususnya pembelajaran menulis. Kepada kepala sekolah harus mengaktifkan gurunya untuk ikut KKG agar guru-gurunya mengikuti perkembangan pembelajaran khususnya pembelajaran menulis di Sekolah Dasar.
Daftar Pustaka Akhadiah, S. 1997. Pembinaan Kemampuan Menulis Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud. Brown, H. Douglas. 2000. Principles of Language Learning and Teaching (Fourth Edition). New Jersey: addison Wesley Longman. Depdikbud. 2004. Pembelajaran Kontekstual (Suplemen Kurikulum). Jakarta: Depdiknas. Depdiknas. 2006. Kurikulum Bahasa Indonesia 2006 SLTP. Jakarta: Depdiknas. Dixon, C. N. dan Nessel, D. 1983. Language Experiece Approach to Rading and Writing: Language-Experiace Reading for Second Language Learner. Englewood Cliffs: Prentice Hall.
736
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Moleong, Lexy. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Syafi’ie, Imam. 1988. Retorika dalam Menulis. Jakarta: Depdikbud. Tompkins, G. E. 1994. Teaching Writing Balancing Process and Product. New York: Macmilan College Publishing Company.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
737
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Kompetensi Guru Dalam Pelaksanaan Pembelajaran Pendidikan Jasmani Dan Kesehatan Di MIN Rejoso Kecamatan Peterongan Kabupaten Jombang Agus Budi Hartono 15 ([emailprotected]) Abstract This research is a field research with a qualitative approach. Data collection was done by conducting observations, interviews and documentation. Data analysis was performed by giving meaning to the data collected and the conclusions drawn from it meaning. The result showed that sport and physical education teacher at MIN Rejoso Peterongan district of Jombang is compliant in the category good enough for the requisite competence to be able perform well learning, namely in term of; (1) understand of knowledge of physical education and health as a field study; (2) understand the characteristics of their students; (3) is able to generate and allow the students to be active and creative in the learning process of physical education and health and is able to develop the potensial of motor skills and motor skills; (4) is able to provide guidance and develop the potential of students in the learning process to achieve the goal of physical education and health; (5) capable of planning, executing, controlling ang assessing and correcting the learning process of physical education and health; (6) have the capability of understanding and mastery of motor skills; (7) have an understanding of the elements of the physical condition; (8) has the ability to create, develop and utilize a healthy environment in order to achieve the objectives of physical education and health; (9) has the ability to identify potensial students in sports and (10) have the ability to channel his hobby of sports. Keywords: teachers competence, physical education and health education Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kompetensi guru dalam melaksanakan pembelajaran pendidikan jasmani dan kesehatan di MIN Rejoso Kecamatan Peterongan Kabupaten Jombang. Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research) dengan pendekatan kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan mengadakan pengamatan, wawancara dan dokumentasi. Analisis data dilakukan dengan memberikan makna terhadap data yang berhasil dikumpulkan dan dari makna itu ditarik kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa guru pendidikan jasmani olahraga dan kesehatan di MIN Rejoso Kecamatan Peterongan Kabupaten Jombang sudah memenuhi persyaratan dalam katagori cukup baik untuk kompetensi yang disyaratkan agar mampu melaksanakan pembelajaran dengan baik, yaitu dalam hal: (1) memahami pengetahuan pendidikan jasmani dan kesehatan sebagai bidang studi; (2) memahami karakteristik anak didiknya; (3) mampu membangkitkan dan memberi kesempatan anak didik untuk aktif dan kreatif dalam proses pembelajaran pendidikan jasmani dan kesehatan dan mampu menumbuhkembangkan potensi kemampuan motorik dan keterampilan motorik; (4) mampu memberikan bimbingan dan mengembangkan potensi anak didik dalam proses pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan jasmani dan kesehatan; (5) mampu merencanakan, melaksanakan, mengendalikan dan menilai serta mengoreksi dalam proses pembelajaran pendidikan jasmani dan kesehatan; (6) memiliki pemahaman dan penguasaan kemampuan keterampilan motorik: (7) memiliki pemahaman tentang unsur-unsur kondisi fisik; (8) memiliki kemampuan untuk menciptakan, mengembangkan dan memanfaatkan lingkungan yang sehat dalam upaya mencapai tujuan pendidikan jasmani dan kesehatan ; (9) memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi potensi anak didik dalam berolahraga dan (10) mempunyai kemampuan untuk menyalurkan hobinya dalam berolahraga. Kata Kunci: Kompetensi Guru, Pembelajaran Pendidikan Jasmani dan Kesehatan
15
Guru MIN Rejoso Peterongan Jombang
738
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Pendahuluan Guru merupakan faktor yang sangat dominan dan paling penting dalam pendidikan formal pada umumnya. Karena bagi siswa, guru sering dijadikan tokoh teladan, bahkan menjadi tokoh identifikasi diri. Guru seyogyanya mempunyai perilaku dan kemampuan yang memadai untuk mengembangkan siswa secara utuh. Untuk melaksanakan tugasnya secara baik sesuai dengan profesi yang dimilikinya, guru perlu menguasai berbagai hal sebagai kompetensi yang dimilikinya. Disisi lain, guru harus memahami dan menghayati para siswa yang dibinanya karena wujud siswa pada setiap saat tidak akan sama sebab perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi yang memberikan dampak serta nilai-nilai budaya masyarakat Indonesia sangat mempengaruhi gambaran para lulusan suatu sekolah yang diharapkan. Oleh sebab itu, gambaran perilaku guru yang diharapkan sangat mempengaruhi dan dipengaruhi oleh keadaan itu sehingga dalam melaksanakan proses belajar mengajar yang selanjutnya dikenal juga sebagai pembelajaran, guru diharapkan mampu mengantisipasi perkembangan keadaan dan tuntutan masyarakat pada masa yang akan datang. Demikian juga guru dalam pembelajaran harus memiliki kemampuan tersendiri guna mencapai harapan yang dicita-citakan dalam melaksanakan pendidikan pada umumnya dan pembelajaran pada khususnya. Untuk memiliki kemampuan tersebut, guru perlu membina diri secara baik, karena fungsi guru itu sendiri adalah membina dan mengembangkan kemampuan siswa secara profesional didalam pembelajaran. Dalam membina kemampuan para siswa, sudah barang tentu guru harus memiliki kemampuan tersendiri. Adapun kemampuan yang harus dimiliki guru meliputi kemampuan mengawasi, membina dan mengembangkan kemampuan siswa baik personal, profesional maupun sosial. Namun sampai saat ini, guru belum melaksanakan tugasnya dengan baik sesuai dengan harapan karena berbagai faktor penghambat yang menghalanginya. Salah satu faktor penghambat tersebut adalah kemampuan guru itu sendiri belum menunjang pelaksanaan tugasnya. Guru dituntut untuk dapat bekerja dengan teratur dan konsisten, tetapi kreatif dalam menghadapi pekerjaannya. Kemantapan dalam bekerja hendaknya merupakan karakteristik sehingga pola kerja seperti ini terhayati pula oleh siswa dalam pendidikan. Kemantapan dan integritas pribadi ini tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi tumbuh melalui proses belajar mengajar dan proses pendidikan yang sengaja diciptakan. Untuk itu, sebelum membina dan mengembangkan kemampuan siswa, guru itu sendiri perlu memiliki kemampuan yang sering disebut dengan kompetensi guru. Pendidikan jasmani dan kesehatan merupakan salah satu sarana pendidikan yang membantu pencapaian tujuan nasional, karena pendidikan jasmani dan kesehatan dapat didefinisikan sebagai bagian integral dari pendidikan secara keseluruhan melalui aktivitas fisik yang bertujuan untuk mengembangkan individu secara organik, neuromoskuler, intelektual, sosial, emosional dan spiritual. Dari definisi diatas tampak bahwa pendidikan jasmani dan kesehatan memiliki peran dan fungsi yang strategis dalam mengembangkan subjek didik secara totalitas. Untuk dapat merealisasikan definisi tersebut dibutuhkan kompetensi profesional. Kompetensi profesional tersebut harus menjadi bagian dari profil guru pendidikan jasmani olahraga dan kesehatan. Kompetensi profesional tersebut adalah memahami secara mendalam tentang karakteristik subjek didik, termasuk pertumbuhan dan perkembangannya. Toto Subroto Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
739
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
(2000:3) menyatakan bahwa pendidikan jasmani dan kesehatan merupakan proses pendidikan bahwa melalui proses pendidikan jasmani dan kesehatan yang kondusif siswa dibantu untuk mewujudkan dirinya sesuai dengan tahap pertumbuhan dan perkembangannya. Meskipun wujud pendidikan jasmani dan kesehatan berupa aktifitas fisik dan olahraga, namun tidak ada salah satu aspek perilaku manusia yang diangggap paling penting dan diprioritaskan untuk dicapai melalui proses pendidikan jasmani dan kesehatan di sekolah, semuanya diharapkan tercapai secara selaras, serasi dan seimbang. Agar dapat merealisasikan tujuan pendidikan jasmani dan kesehatan, maka diupayakan perbaikan mutu guru pendidikan jasmani olahraga dan kesehatan sebagai salah satu pemecahan masalah tersebut. Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian tentang kompetensi yang harus dilakukan guru pendidikan jasmani olahraga dan kesehatan terhadap pelaksanaan pembelajaran pendidikan jasmani dan kesehatan. Sebab didalam pembelajaran pendidikan jasmani dan kesehatan guru harus dapat berinteraksi langsung terhadap siswa, baik di dalam kelas ataupun di lingkungan luar kelas. Serta lewat pembelajaran pendidikan jasmani dan kesehatan, guru dapat memantau perkembangan siswa melalui unsur fisik, mental, intelektual, emosi, sosial agar terwujud tujuan pendidikan jasmani dan kesehatan. Berdasarkan uraian masalah diatas, maka rumusan masalah yang dijadikan penelitian adalah bagaimanakah kompetensi guru dalam pelaksanaan pembelajaran pendidikan jasmani dan kesehatan di MIN Rejoso Kecamatan Peterongan Kabupaten Jombang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kompetensi guru dalam pelaksanaan pembelajaran pendidikan jasmani dan kesehatan di MIN Rejoso Kecamatan Peterongan kabupaten Jombang.
Landasan Teori Kompetensi Guru Dalam merumuskan kompetensi Len Holmes (1992) mendefinisikan:A competency is a description of something which a person who works in a given occupational area should be able to do. It is description of an action, behaviour or outcome which a person should be able to demonstrate”. Jadi seorang guru bisa dikatakan memiliki kompetensi mengajar jika ia mampu mengajar siswanya dengan baik. Sehingga dapat dikatakan kompetensi guru dimaknai sebagai gambaran tentang apa yang harus dilakukan seorang guru dalam melaksanakan pekerjaannya, baik berupa kegiatan, perilaku maupun hasil yang dapat ditunjukkan dalam proses belajar mengajar. Kompetensi merupakan suatu hal yang tidak bisa dipisahkan dari kegiatan pendidikan dan pengajaran. Seorang guru bisa dikatakan memiliki kompetensi mengajar jika ia mampu mengajar siswanya dengan baik, sehingga dapat dikatakan kompetensi guru dimaknai sebagai gambaran tentang apa yang harus dilakukan seorang guru dalam melaksanakan pekerjaannya, baik berupa kegiatan, perilaku maupun hasil yang dapat ditunjukkan dalam proses belajar mengajar. Kompetensi merupakan suatu hal yang tidak bisa dipisahkan dari kegiatan pendidikan dan pengajaran. Menurut Suyanto dan Djihad Hisyam (2000) ada tiga jenis kompetensi guru, yaitu: 1. kompetensi profesional, yaitu memiliki pengetahuan yang luas pada bidang studi yang diajarkan, memilih dan menggunakan berbagai metode mengajar didalam proses belajar mengajar yang diselenggarakan; 2. kompetensi kemasyarakatan, yaitu mampu berkomunikasi dengan siswa, sesama guru dan masyarakat luas dalam konteks sosial; 740
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
3. kompetensi personal, yaitu memiliki kepribadian yang mantap dan patut diteladani. Untuk menghadapi tantangan-tantangan dalam dunia pendidikan, penting bagi guru untuk terus menerus belajar. Pengembangan kompetensi menurut Hopkins (2010;47) adalah cara guru untuk menilai terus menerus dirinya sendiri dengan tetap membuka diri akan perubahan jaman yang terjadi, dengan membuka diri untuk terus berkembang, guru akan menjadi orang yang kompeten dalam profesinya. Guru harus menyadari bahwa manusia adalah sosok yang mudah menerima perubahan. Pemerintah sendiri telah merumuskan empat jenis kompetensi guru sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, yaitu: a. kompetensi pedagogik yaitu kemampuan mengelola pembelajaran yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan, pelaksanaan pembelajaran, evaluasi pembelajaran dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Secara rinci kompetensi pedagogik meliputi : (a) memahami karakteristik peserta didik dari aspek fisik, sosial, moral, kultural, emosional dan intelektual; (b) memahami latar belakang keluarga dan masyarakat peserta didik dan kebutuhan belajar dalam konteks kebhinekaan budaya; (c) memahami gaya belajar dan kesulitan belajar peserta didik; (d) memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik; (e) menguasai teori dan prinsip belajar serta pembelajaran yang mendidik; (f) mengembangkan kurikulum yang mendorong keterlibatan peserta didik dalam pembelajaran; (g) merancang pembelajaran; (h) melaksanakan pembelajaran yang mendidik; (i) mengevaluasi proses dan hasil pembelajaran; b. kompetensi kepribadian yaitu merupakan kemampuan yang melekat dengan diri. Oleh karena itu pribadi guru sering dianggap sebagai model atau panutan. Sebagai seorang model guru harus memiliki kompetensi yang berhubungan dengan pengembangan kepribadian (personal competencies). Kompetensi kepribadian meliputi: (a) menampilkan diri sebagai pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif dan berwibawa; (b) menampilkan diri sebagai pribadi yang berakhlak mulia dan sebagai teladan bagi peserta didik dan masyarakat; (c) mengevaluasi kinerja sendiri; (d) mengembangkan diri secara berkelanjutan; (e) kemampuan yang berhubungan dengan pengalaman ajaran agama sesuai dengan keyakinan agama yang dianutnya; (f) kemampuan untuk menghormati dan menghargai antar umat beragama; (g) kemampuan untk berperilaku sesuai dengan norma, aturan dan sistem nilai yang berlaku di masyarat dan (h) mengembangkan sifat-sifat terpuji sebagai seorang guru; c. kompetensi profesional yaitu kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkan untuk membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi. Kompetensi profesional adalah kompetensi atau kemampuan yang berhubungan dengan penyesuaian tugas-tugas keguruan. Kompetensi ini merupakan kompetensi yang sangat penting karena langsung berhubungan dengan kinerja yang ditampilkan. Lingkup kompetensi ini meliputi: (a) kemampuan untuk menguasai landasan kependidikan; (b) pemahaman dalam bidang psikologi pendidikan; (c) kemampuan dalam penguasaan materi pelajaran sesuai dengan bidang studi yang diajarkan; (d) kemampuan dalam mengaplikasikan berbagai metodologi dan strategi pembelajaran; (e) kemampuan merancang dan memanfaatkan berbagai media dan sumber belajar; (f) kemampuan dalam melaksanakan evaluasi pembelajaran; (g) kemampuan dalam menyusun program pembelajaran; (h) kemampuan dalam melaksanakan unsur penunjang, misalnya
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
741
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
administrasi sekolah, bimbingan dan penyuluhan; (i) kemampuan dalam melaksanakan penelitian dan berpikir ilmiah untuk meningkatkan kinerja; d. kompetensi sosial yaitu kemampuan berkomunikasi secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik dan masyarakat sekitar. Dengan kompetensi ini, guru diharapkan: (a) berkomunikasi secara efektif dan empatik dengan peserta didik, orang tua peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan dan masyarakat; (b) kemampuan untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan teman sejawat untuk meningkatkan kemampuan profesional; (c) kemampuan untuk mengenal dan memahami fungsi-fungsi setiap lembaga kemasyarakatan; (d) kemampuan untuk menjalin kerja sama baik secara individual maupun secara kelompok; (e) berkontribusi terhadap pengembangan pendidikan di sekolah dan masyarakat; (f) berkontribusi terhadap pengembangan pendidikan di tingkat lokal, regional, nasional dan global; (g) memanfaatkan tehnologi informasi dan komunikasi (ICT) untuk berkomunikasi dan pengembangan diri. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pasal 20 ayat (b) mengamanatkan bahwa dalam rangka melaksanakan tugas keprofesionalannya, guru berkewajiban meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, tehnologi dan seni. Pernyataan Undang-Undang tersebut mengisyaratkan bahwa seorang pendidik haruslah seseorang yang profesional, memiliki wawasan, pengetahuan dan keterampilan untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai petugas yang profesional yang ditunjukkan dengan memiliki kualifikasi akademik minimal S1, memenuhi standar kompetensi guru serta memiliki sertifikat pendidik profesional. Mengingat begitu pentingnya peranan guru dalam keberhasilan peserta didik, maka hendaknya guru mampu beradaptasi dengan berbagai perkembangan yang ada dan meningkatkan kompetensinya karena guru pada saaat ini tidak saja sebagai pengajar, tetapi juga sebagai pengelola proses belajar mengajar. Sebagai orang yang mengelola proses belajar tentunya harus mampu meningkatkan kemampuan dalam membuat perencanaan pelajaran, pelaksanaan dan pengelolaan pengajaran yang efektif, penilaian hasil belajar yang objektif, sekaligus memberikan motivasi pada peserta didik dan juga membimbing peserta didik terutama ketika mereka sedang mengalami kesulitan belajar.
Profesi Guru Guru adalah suatu jabatan yang termasuk dalam jabatan profesi.Adapun ciri pokok profesi adalah, pertama, profesi mempunyai fungsi dan signifikansi sosial karena diperlukan untuk mengabdi kepada masyarakat. Di lain pihak, pengakuan masyarakat merupakan syarat mutlak bagi suatu profesi, bahkan jauh lebih penting dari pengajuan pemerintah. Kedua, profesi menuntut keterampilan tertentu yang diperoleh melalui pendidikan dan latihan yang “lama” dan intensif serta dilakukan dalam lembaga tertentu yang secara sosial dapat dipertanggung jawabkan. Proses diperolehnya keterampilan itu bukan hanya rutin, melainkan bersifat produktif terhadap suatu masalah. Ketiga, profesi didukung oleh suatu disiplin ilmu, bukan hanya berdasarkan akal sehat semata. Keempat, ada kode etik yang menjadi pedoman perilaku anggotanya beserta sanksi yang jelas dan tegas terhadap pelanggar kode etik. Pengawasan terhadap ditegakkannya kode etik dilakukan oleh organisasi profesi. Kelima, sebagai konsekuensi dari layanan yang diberikan kepada masyarakat, anggota profesi secara perorangan maupun kelompok memperoleh imbalan finansial. Saat ini jika menghendaki guru diterima dan
742
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
diakui sebagai profesi, maka guru sendiri harus memahami apa sebenarnya makna dan bagaimana tanggung jawab profesional itu. Dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, pasal (1) ayat (1) dinyatakan, “Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi siswa pada jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah.”Menurut Rice dan Bishoprik dalam Ibrahim Bafadal (2004), guru profesional adalah guru yang mampu mengelola dirinya sendiri dalam melaksanakan tugas-tugasnya sehari-hari. Sedang menurut Glickman dalam Ibrahim Bafadal menegaskan bahwa seseorang akan bekerja secara profesional bilamana orang tersebut memiliki kemampuan (ability) dan motivasi (motivation), seorang guru dapat dikatakan profesional bila memiliki kemampuan tinggi dan motivasi kerja yang tinggi. Syarat guru profesional merupakan hal yang harus dimiliki oleh setiap guru, karena profesionalnya guru datang dari guru itu sendiri.Hal ini akan tercermin dalam penampilan pelaksanaan pengabdian tugas-tugas yang ditandai dengan keahlian baik dalam materi maupun metode. Siapa saja bisa terampil dalam mengajar kepada orang lain, tetapi hanya mereka yang berbekal pendidikan profesional keguruan yang bisa menegaskan dirinya memiliki pemahaman teoritik dan praktik bidang keahlian kependidikan. Kualifikasi pendidikan ini hanya bisa diperoleh melalui pendidikan formal bidang dan jenjang tertentu. Sedangkan kriteria pada sosok guru profesional adalah: (a) kesalehan pribadi, seorang guru harus mampu menjaga kebaikan dirinya dengan mengembangkan sikap dewasa, berakhlak mulia dan dapat menjadi teladan bagi siapa saja, sehingga kewibawaan akan tumbuh pada dirinya; (b) kepekaan sosial, guru harus memiliki ketajaman hati terhadap persoalan-persoalan masyarakat. Guru yang memiliki jiwa sosial yang tinggi akan senang membantu tanpa pamrih dan ikhlas terhadap siswa, sesama rekan guru, atasan/bawahan, orang tua murid dan masyarakat sekitarnya; (c) integritas keilmuan, guru yang memiliki integritas keilmuan adalah guru yang mampu menguasai materi yang diampunya sesuai dengan disiplin ilmu yang dimilikinya, baik penguasaan mengenai konsep teori dan hukum, maupun esensi dari konsep tersebut. Materi pelajaran yang diberikan pun harus relevan dengan kehidupan siswa. Ini berarti guru harus menguasai secara kontekstual materi-materi yang diajarkannya, bahkan termasuk kemampuan menerapkan materi yang diajarkannya dalam perkembangan Iptek; (d) keahlian pedagogis, ada beberapa aspek yang mesti dipahami guru, diantaranya adalah kemampuan memahami dan mengembangkan karakter, potensi dan gaya belajar siswa, membimbing siswa dalam menghadapi masalah, memahami SK/KD dan mengembangkannya menjadi indikator-indikator belajar, memilih strategi pembelajaran dan penilaian yang efektif untuk siswanya, mengelola kelas dan melakukan tindak lanjut penilaian. Semua itu akan berhasil dengan baik jika guru mampu merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi aspek-aspek tersebut. Jika aspek tersebut mampu dijalankan guru dengan baik, maka peran guru sebagai pendidik, pengajar dan pembimbing terlaksana dengan baik dan meyakinkan; (e) kepemimpinan. Guru-guru kita masih sedikit yang melakukan kegiatan mengorganisasi proses belajar mengajar, padahal kemampuan guru mengelola pembelajaran akan mempengaruhi efektivitas dan tingkat keberhasilan pembelajaran. Muhammad (2004) menyatakan bahwa, seorang guru profesional dituntut juga harus banyak belajar, membaca, menulis dan mendalami teori tentang profesi yang digeluti. Kualitas profesionalisme didukung oleh lima kompetensi sebagai berikut: (a) keinginan untuk selalu menampilkan perilaku yang mendekati standar ideal; (b) selalu meningkatkan dan memelihara citra profesi; (c) senantiasa mengejar kesempatan pengembangan profesional yang Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
743
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
dapat meningkatkan dan memperbaiki kualitas pengetahuan dan keterampilannya; (d) mengejar kualitas dan cita-cita dalam profesi.Sedangkan prinsip-prinsip profesionalisme menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 pasal 7 (1) antara lain: (1) memiliki bakat, minat, panggilan jiwa dan idealisme; (b) memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia; (c) memiliki kualitas latar belakang pendidikan yang sesuai dengan bidang tugas; (d) memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas; (e) memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas profesionalitas; (f) memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja; (g) memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat; (h) memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan; dan (i) memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru. Menyadari akan profesi merupakan wujud eksistensi guru sebagai komponen yang bertanggung jawab dalam keberhasilan pendidikan, maka menjadi satu tuntutan bahwa guru harus sadar akan peran dan fungsinya sebagai pendidik. Hal ini dipertegas Pidarta (1999) bahwa kesadaran diri merupakan inti dari dinamika gerak laju perkembangan profesi seseorang, merupakan sumber dari kebutuhan mengaktualisasi diri. Makin tinggi kesadaran seseorang makin kuat keinginannya untuk meningkatkan profesi. Semakin sering profesi guru dikembangkan melalui berbagai kegiatan, maka semakin mendekatkan guru pada pencapaian predikat guru yang profesional dalam menjalankan tugasnya sehingga harapan kinerja guru yang lebih baik akan tercapai.
Peran Guru dalam Proses Pendidikan Peran guru dalam pendidikan menjadikan guru sebagai pahlawan yang berjasa terhadap pelaksanaan pendidikan. Karena hanya dengan meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, maka kemajuan dan nasib bangsa dapat ditentukan. Ada beberapa peran guru yang perlu dipahami karena hal itu berpengaruh terhadap pelaksanaan pendidikan di sekolah. Diantara peran guru tersebut adalah: a. sebagai pendidik dan pengajar, bahwasanya setiap guru berperan melakukan transfer ilmu pengetahuan, mengajarkan dan membimbing anak didiknya serta mengajarkan tentang segala sesuatu yang berguna bagi mereka di masa depan, b. sebagai anggota masyarakat, guru berperan dalam membangun interaksi dan hubungan sosial masyarakat dan bagian dari masyarakat, c. sebagai administrator, seorang guru berperan melaksanakan semua administrasi sekolah yang berkaitan dengan pendidikan dan pembelajaran, d. sebagai pengelola pembelajaran, bahwasanya guru berperan aktif dalam menguasai berbagai metode pembelajaran dan memahami situasi belajar mengajar di dalam maupun di luar sekolah. Dalam UU RI. No.20 tahun 2003 bab XI pasal 39 tentang pendidik dan tenaga kependidikan disebutkan bahwa tugas seorang guru adalah: “merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi”. Sedangkan pada pasal berikutnya, ayat kedua disebutkan bahwa pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban (a) menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis dan dialogis; (b) mempunyai komitmen secara profesional 744
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
untuk meningkatkan mutu pendidikan; (c) memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya. Pendek kata, di pundak guru ada beban tanggung jawab yang sangat besar dan berat. Beban itu semakin berat dengan besarnya tantangan global yang menantang dan memberikan ancaman terhadap eksistensi guru. Sehingga tidak ada kata lain bagi guru, selain harus berbenah menyiapkan diri menghadapi semua kemungkinan yang terjadi sejalan dengan semakin beratnya tantangan guru di masa kini dan masa depan. Para guru harus berani merefleksi, instropeksi serta melakukan koreksi terhadap segala kelemahan dan kekurangan guru selama ini dalam menjalankan tugas profesinya sebagai guru.
Hakikat Pendidikan Jasmani dan Kesehatan Pendidikan jasmani dan kesehatan merupakan proses pendidikan artinya bahwa melalui proses pendidikan jasmani dan kesehatan yang kondusif siswa dibantu untuk mewujudkan dirinya sesuai dengan tahap pertumbuhan dan perkembangannya secara optimal sehingga siswa mencapai suatu taraf kedewasaan tertentu. Taraf kedewasaan tersebut mengandung arti bukan hanya ditandai oleh tumbuhnya aspek fisik yang optimal dan proporsional, namun bersamaan dengan itu berkembang pula aspek mental, emosional dan sosial yang serasi sesuai dengan tahap-tahap perkembangannya. Seperti kutipan dari CA Bucher (1960) didalam buku Sukintaka (2004:16), bahwa pendidikan jasmani dan kesehatan merupakan bagian integral dari pendidikan total yang mencoba mencapai tujuan untuk mengembangkan kebugaran jasmani, mental, sosial serta emosional bagi masyarakat, dengan wahana aktifitas jasmani. Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat dipahami bahwa pendidikan jasmani dan kesehatan merupakan bagian integral dari pendidikan keseluruhan yang memberi kontribusi kepada perkembangan individu melalui media alamiah yaitu aktifitas fisik dan gerak termasuk olahraga. Tujuan pendidikan jasmani dan kesehatan adalah untuk memperkembangkan individu secara keseluruhan. Maksudnya bukan hanya memperkembangkan aspek jasmani, namun memperkembangkan pula aspek mental, intelektual, sosial, emosional, moral, spiritual dan estetika. Pernyataan tersebut selaras dengan pernyataan Toto Subroto (2000:6) bahwa, meskipun pendidikan jasmani dan kesehatan itu merupakan proses pendidikan melalui aktivitas jasmani dan olahraga, namun tujuan yang hendak dicapai oleh pendidikan jasmani dan kesehatan bukan hanya terkait dengan aspek fisik, tapi lebih bersifat pedagogis dan proporsional. Artinya nilainilai pendidikan yang terkait dengan aspek intelektual, moral, sikap, keterampilan fisik dan kebugaran jasmani serta estetika dikembangkan secara selaras, seimbang dan serasi.
Hakikat Guru Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan Pendidikan dapat dikatakan baik bila pendidikan itu dapat memberi kesempatan berkembangnya semua aspek pribadi manusia atau dengan kata lain rumusan tujuan berisikan pengembangan aspek pribadi manusia. Sukintaka (2004:27) mengutip Winarno Surachmad (1980) menyatakan bahwa, mengajar merupakan peristiwa yang terikat oleh tujuan, terarah oleh tujuan dan dilaksanakan semata-mata untuk mencapai tujuan. Oleh sebab itu, guru pendidikan jasmani olahraga dan kesehatan harus benar-benar memahami tujuan pendidikan sehingga guru tersebut akan mampu menentukan langkah-langkah yang tepat sehingga pencapaian tujuan akan lebih terjamin. Ciri guru pendidikan jasmani dan kesehatan yang efektif adalah: (1) mampu mengelola lingkungan belajar siswa secara efektif, efisien dan menimbulkan rasa aman bagi siswa; (2) mampu mengelola lingkungan belajar siswa yang dilandasi oleh rasa cinta kasih, keterbukaan, semangat dan antusias, sabar, ikhlas serta
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
745
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
penuh rasa empati; (3) menguasai bahan pelajaran, terampil dalam menggunakan berbagai metode dan gaya mengajar yang bervariasi dan menggunakan pendekatan individual; (4) selalu tampil rapi, bersih, semangat, riang dan gembira (Toto Subroto, 2000:57). Selanjutnya menurut Toto Subroto (2000:31) tentang tugas guru pendidikan jasmani olahraga dan kesehatan adalah: (1) membimbing aktivitas siswa, siswa hanya dapat berenang jika ia melakukan berenang sendiri, hal yang tidak mungkin terjadi jika siswa dapat berenang hanya dengan membaca buku tentang berenang; (2) membimbing pengalaman siswa, berkat pengalaman siswa memperoleh pengertian, sikap, penghargaan, kebiasaan, kecakapan, keterampilan; (3) membantu siswa tumbuh dan berkembang, melalui pendidikan dan pengajaran pendidikan jasmani dan kesehatan yang kondusif diharapkan siswa dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Pembelajaran tidak semata-mata ditujukan kepada ujian, namun lebih dari itu hasil belajar tersebut berfungsi positif bagi kehidupan anak di kemudian hari. Melihat bahwa tugas dan peran guru pendidikan jasmani olahraga dan kesehatan kompleks dan sukar untuk melaksanakannya dengan efektif, maka yang dibutuhkan adalah profil serta karakteristik personal guru pendidikan jasmani olahraga dan kesehatan yang pada umumnya memenuhi persyaratan berjiwa Pancasila dan UUD 45 serta melaksanakan kompetensi guru. Disamping itu ada persyaratan utama bagi guru yakni mempunyai kelebihan dalam bidang pengetahuan dan norma yang berlaku. Bagi guru pendidikan jasmani olahraga dan kesehatan, disamping profil dan persyaratan utama, sebaiknya guru mempunyai persyaratan kompetensi pendidikan jasmani dan kesehatan agar ia mampu melaksanakan tugas dengan baik. Persyaratan yang dimaksud adalah: (1) memahami pengetahuan pendidikan jasmani dan kesehatan sebagai bidang studi; (2) memahami karakteristisk anak didiknya; (3) mampu membangkitkan dan memberi kesempatan anak didik untuk aktif dan kreatif dalam proses pembelajaran pendidikan jasmani dan kesehatan dan mampu menumbuhkembangkan potensi kemampuan motorik dan keterampilan motorik; (4) mampu memberikan bimbingan dan mengembangkan potensi anak didik dalam proses pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan jasmani dan kesehatan; (5) mampu merencanakan, melaksanakan, mengendalikan dan menilai serta mengoreksi dalam proses pembelajaran pendidikan jasmani dan kesehatan; (6) memiliki pemahaman dan penguasaan kemampuan keterampilan motorik: (7) memiliki pemahaman tentang unsur-unsur kondisi fisik; (8) memiliki kemampuan untuk menciptakan, mengembangkan dan memanfaatkan lingkungan yang sehat dalam upaya mencapai tujuan pendidikan jasmani dan kesehatan ; (9) memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi potensi anak didik dalam berolahraga dan (10) mempunyai kemampuan untuk menyalurkan hobinya dalam berolahraga (Sukintaka, 2004:72). Syarat tersebut harus dimiliki dan mampu dijalankan oleh guru pendidikan jasmani olahraga dan kesehatan, sebab profesi tersebut banyak diharapkan masyarakat dan dapat memberi pengaruh besar terhadap lahirnya generasi baru yang sesuai dengan tujuan pendidikan nasional seutuhnya.
Metode Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research) dengan pendekatan kualitatif, sehingga diupayakan memunculkan data-data lapangan yang sebenarnya sesuai kondisi sesungguhnya. Subyek penelitian pada penelitian ini adalah orang yang berkaitan
746
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
dengan kompetensi guru yaitu guru pendidikan jasmani olahraga dan kesehatan di MIN Rejoso Kecamatan Peterongan kabupaten Jombang. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah observasi dengan cara mengamati secara langsung, tanpa alat atau instrument lain. Wawancara dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara yang sudah disusun dan ditentukan sebelumnya, sedangkan dokumentasi dilakukan untuk mengumpulkan data melalui tulisan, arsip, dokumen, tempat atau orang yang berkaitan dengan penelitian. Metode analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskripstif kualitatif, yaitu dengan cara menghimpun informasi secara mendalam mengenai pelaksanaan pembelajaran pendidikan jasmani dan kesehatan kemudian informasi dan data yang diperoleh tersebut disinkronkan dengan persyaratan kompetensi yang harus dimiliki oleh guru pendidikan jasmani olahraga dan kesehatan.
Hasil Penelitian Hasil penelitian yang diperoleh bahwa guru pendidikan jasmani olahraga dan kesehatan di MIN Rejoso Kecamatan Peterongan Kabupaten Jombang sudah memenuhi persyaratan dalam katagori cukup baik untuk kompetensi yang disyaratkan agar mampu melaksanakan pembelajaran dengan baik, yaitu dalam hal: (1) memahami pengetahuan pendidikan jasmani dan kesehatan sebagai bidang studi; (2) memahami karakteristik anak didiknya; (3) mampu membangkitkan dan memberi kesempatan anak didik untuk aktif dan kreatif dalam proses pembelajaran pendidikan jasmani dan kesehatan dan mampu menumbuhkembangkan potensi kemampuan motorik dan keterampilan motorik; (4) mampu memberikan bimbingan dan mengembangkan potensi anak didik dalam proses pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan jasmani dan kesehatan; (5) mampu merencanakan, melaksanakan, mengendalikan dan menilai serta mengoreksi dalam proses pembelajaran pendidikan jasmani dan kesehatan; (6) memiliki pemahaman dan penguasaan kemampuan keterampilan motorik: (7) memiliki pemahaman tentang unsur-unsur kondisi fisik; (8) memiliki kemampuan untuk menciptakan, mengembangkan dan memanfaatkan lingkungan yang sehat dalam upaya mencapai tujuan pendidikan jasmani dan kesehatan ; (9) memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi potensi anak didik dalam berolahraga dan (10) mempunyai kemampuan untuk menyalurkan hobinya dalam berolahraga.
Simpulan Kompetensi guru dalam pelaksanaan pembelajaran pendidikan jasmani dan kesehatan di MIN Rejoso Kecamatan Peterongan Kabupaten Jombang dalam katagori cukup baik, yaitu dalam hal: (1) memahami pengetahuan pendidikan jasmani dan kesehatan sebagai bidang studi; (2) memahami karakteristik anak didiknya; (3) mampu membangkitkan dan memberi kesempatan anak didik untuk aktif dan kreatif dalam proses pembelajaran pendidikan jasmani dan kesehatan dan mampu menumbuhkembangkan potensi kemampuan motorik dan keterampilan motorik; (4) mampu memberikan bimbingan dan mengembangkan potensi anak didik dalam proses pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan jasmani dan kesehatan; (5) mampu merencanakan, melaksanakan, mengendalikan dan menilai serta mengoreksi dalam proses pembelajaran pendidikan jasmani dan kesehatan; (6) memiliki pemahaman dan penguasaan kemampuan keterampilan motorik: (7) memiliki pemahaman tentang unsur-unsur kondisi fisik; (8) memiliki kemampuan untuk menciptakan, mengembangkan dan
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
747
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
memanfaatkan lingkungan yang sehat dalam upaya mencapai tujuan pendidikan jasmani dan kesehatan; (9) memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi potensi anak didik dalam berolahraga dan (10) mempunyai kemampuan untuk menyalurkan hobinya dalam berolahraga dalam katagori cukup baik. Saran peneliti agar guru pendidikan jasmani olahraga dan kesehatan di MIN Rejoso Kecamatan Peterongan Kabupaten Jombang dapat lebih meningkatkan kompetensi profesionalnya adalah dengan cara: (1) kepala sekolah bisa menyusun program penyetaraan bagi guru-guru yang memiliki kualifikasi D3 agar mengikuti penyetaraan S1, sehingga mereka dapat menambah wawasan keilmuan dan pengetahuan yang menunjang tugasnya; (2) untuk meningkatkan profesionalisme guru yang sifatnya khusus, bisa dilakukandengan mengikutsertakan guru melalui seminar dan pelatihan untuk meningkatkan kinerja guru dalam membenahi dan metodologi pembelajaran
Daftar Pustaka Abin Syamsudin, Nandang Budiman. 2003. Profesi Keguruan. Jakarta: Universitas Terbuka. Aip Syarifuddin. 1994. Dasar-dasar di Dalam Proses Belajar mengajar Pendidikan Jasmani. Jakarta. IKIP Jakarta. Cece Wijaya dan Tabrani Rusyan. 1994. Kemampuan dasar Guru dalam Proses Belajar. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Komisi disiplin Ilmu Keolahragaan. 2000. Ilmu Keolahragaan dan Rencana Pengembangannya. Jakarta. Depdiknas Dirjen Dikti Sekretariat Dewan Dikti. Moh. Uzer Usman. 2001. Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Oemar Hamalik. 2003. Pendidikan Guru. Jakarta: PT Bumi Aksara. Rusli Lutan. 2001. Mengajar Pendidikan Jasmani. Jakarta: Depdiknas. Sardiman. 1990. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Rajawali Pers. Sukintaka. 2004. Teori Pendidikan Jasmani. Bandung: Nuansa. Siedentop, D. 1983. Developing Teaching Skills in Physical Education. Mountain View, CA : Mayfield Publishing. Toto Subroto. 2000. Pemantapan Kemampuan belajar. Jakarta: Depdikbud. Undang-Undang Republik Indonesia No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. 2006. Jakarta: Eka Jaya.
748
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
BENTUK TUTURAN MASYARAKAT MANDURO SEBAGAI PENDUKUNG PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA Diana Mayasari 16 ([emailprotected]) Abstract This study aims to describe Mandurese utterances of the form of vocabulary, phonology, morphology, and syntax. This research was qualitative descriptive. The sample was established using the purposive sampling technique. The data collection techniques used were interview, observation and Swadesh Morris quiationnaire to gather data from the sample. The data analysis techniques used were inductive analysis with methods of agih and padan. The results of this study indicate that Mandurese utterance is creol with vocabulary has similarities with Indonesian and Javanese languages, which consists of nouns, verbs, adverbs, prepositions, interjections, pronouns, numbers, adjectives, and conjunctions. The phonological form consists of vowel (V), consonants (C), dipthongs, and clusters. The phonological structures found are CV+CVC, VCVC, CVC+ CV+CVC, CCVC+CV+CV, VCV+CVCC, CVV+CV+CVC, CCVC, VCCV+CVC, dan CVCC+CVV. The morphological form found are affixes, suffixes, prefixsuffix, and reduplication.The syntactic form has elements of the subject, predicate, object, adverb, and complement. The research product can be used as support the teaching of Indonesian. Keywords: form of utterance, phonology, morphology, vocabulary, syntax Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk tuturan masyarakat Manduro dari struktur fonologi, morfologi, kosakata, dan sintaksis. Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Sampel penelitian dipilih menggunakan teknik purposive sampling. Teknik pengumpulan data yang digunakan wawancara, pengamatan, dan angket Swadesh Morris. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis induktif dengan metode padan dan agih. Hasil penelitian menunjukkan tuturan masyarakat Manduro berupa creol dengan kosakata yang terpengaruh oleh Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa yang terdiri dari kata benda, kata kerja, kata keterangan, kata seru, kata depan, kata bilangan, kata sifat,kata ganti, kata penghubung. Bentuk fonologi terdiri dari fonem vokal (V), konsonan (K), diftong, dan kluster. Struktur fonologi yang ditemukan adalah KV+KVK, VKVK, KVK+ KV+KVK, KKVK+KV+KV, VKV+KVKK, KVV+KV+KVK, KKVK, VKKV+KVK, KV+KV dan KVKK+KVV. Bentuk morfologi yang ditemukan berupa bentuk imbuhan yang terdiri dari imbuhan berupa awalan, akhiran, awalanakhiran dan proses reduplikasi. Bentuk sintaksis yang ditemukan unsur subjek (S), predikat (P), objek (O), keterangan (K), dan pelengkap (Pel.). Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan pendukung pembelajaran bahasa Indonesia. Kata kunci :bentuk tuturan,fonologi, morfologi, kosakata, sintaksis
Pendahuluan Bahasa merupakan warisan leluhur yang harus dijaga keberadaannya. Salah satu wujud dari bahasa adalah tuturan yang digunakan masyarakat Manduro yang memiliki bentuk yang berbeda dengan masyarakat yang berada di sekitarnya. Masyarakat yang dominan beretnis Madura tersebut, dalam bertutur menggunakan logat dan dialek yang berbeda dengan suku Madura. Tuturan yang digunakan oleh masyarakat Manduro memiliki perbedaan kosakata dengan bahasa Madura, bahasa Indonesia, dan bahasa Jawa. Hidayahrohmah (2013,p.1) menyatakan bahwa bahasa Madura yang digunakan oleh masyarakat Manduro telah mengalami 16
STKIP PGRI Jombang
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
749
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
pergeseran. Pendapat lain dikemukakan Permadi (2011,p.14) bahwa masyarakat Manduro menggunakan bahasa Madura dan bahasa Jawa, namun kosakata yang mereka gunakan terdapat perbedaan dengan dua bahasa tersebut. Terkait dengan hal tersebut, bahasa merupakan bagian yang urgent dalam pembelajaran. Berdasarkan observasi peneliti Desa Manduro memiliki dua sekolah dasar yang memiliki peserta didik dengan kemampuan multilingualnya, yakni bahasa Indonesia, bahasa Jawa dan bahasa Manduro. Wujud tuturan masyarakat Manduro belum diketahui oleh masyarakat luas, begitu juga dengan para guru yang mendampingi proses pembelajaran. Berdasarkan standar proses pada kurikulum 2013 (salinan Permenikbud No. 65 Tahun 2013 tentang standar proses) disebutkan bahwa sasaran pembelajaran disesuaikan dengan kompetensi lulusan mencakup adanya pengembangan tiga hal, yakni sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang dielaborasi untuk setiap satuan pendidikan. Tiga ranah tersebut memiliki keterkaitan dengan bahasa peserta didik khususnya pada aktifitas menyaji yang terdapat dalam ranah keterampilan berbahasa. Keterampilan tersebut akan terwujud dalam kecakapan berbahasa yang akan mempengaruhi bagaimana isi dan cara peserta didik menyajikan hasil proses pembelajaran. Kecakapan bahasa peserta didik merupakan salah satu komponen yang harus diketahui guru sebelum melaksanakan proses pembelajaran. Kecakapan tersebut akan terwujud dalam komponen-komponen bahasa itu sendiri melalui komunikasi secara langsung dan pemahaman terhadap teks tertulis meliputi komponen fonologi, morfologi, sintaksis, semantik dan pragmatik. Pemahaman terhadap kecakapan berbahasa siswa merupakan pertimbangan penting untuk menetapkan tujuan pembelajaran, merencanakan tugas-tugas belajar dan menilai perkembangan siswa. Selain itu pemahaman guru terhadap kecakapan bahasa siswa akan mempermudah menyampaikan isi pelajaran, melaksanakan interaksi sosial di dalam kelas dan menentukan langkah-langkah yang harus ditempuh dalam pembelajaran bahasa. Kecakapan bahasa yang dimiliki peserta didik dalam pembelajaran bahasa di SD Manduro tidak lepas dari tuturan masyarakat Manduro. Tuturan masyarakat Mandura berdasarkan pernyataan Robins (1992, p. 14) memiliki maksud dan bentuk tertentu sebagai landasan analisis para linguis. Hasil penelitian ini akan mendeskripsikan bentuk tuturan masyarakat Manduro melalui struktur fonologi, morfologi, dan sintaksis. Fokus penelitian ini adalah wujud tuturan masyarakat Manduro yang belum banyak diketahui oleh masyarakat luas sehingga perlu adanya penelitian yang mendeskripsikan tuturan tersebut melalui kajian kegramatikalannya, yakni bentuk fonologi yang terdiri dari fonem vokal, konsonan, diftong dan kluster.Pada bentuk morfologi dianalisis dari aspek imbuhan bentuk reduplikasi dan sintaksis pada jenis kata dan struktur kalimat. Tujuan penelitian adalah mendeskripsikan wujud tuturan masyarakat Manduro berdasarkan bentuk fonologi, morfologi, dan sintaksis. Manfaat penelitian ini secara teoretis diharapkan dapat memperkaya pengetahuan gramatikal khususnya bidang kajian tuturan masyarakan Manduro, yakni bentuk fonologi, morfologi, dan sintaksis. Secara praktis diharapkan dapat digunakan sebagai bahan analisis kontrastif linguistik, sehingga dapat diaplikasikan sebagai sumbangsih linguistik terhadap pembelajaran bahasa khususnya Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa.
750
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Landasan Teori Bahasa merupakan warisan leluhur yang harus dijaga keberadaannya. Salah satu wujud dari bahasa adalah tuturan yang digunakan masyarakat Manduro yang memiliki bentuk yang berbeda dengan masyarakat yang berada di sekitarnya. Masyarakat yang dominan beretnis Madura tersebut, dalam bertutur menggunakan logat dan dialek yang berbeda dengan suku Madura. Tuturan yang digunakan oleh masyarakat Manduro memiliki perbedaan kosakata dengan bahasa Madura, bahasa Indonesia, dan bahasa Jawa. Hidayahrohmah (2013,p.1) menyatakan bahwa bahasa Madura yang digunakan oleh masyarakat Manduro telah mengalami pergeseran. Pendapat lain dikemukakan Permadi (2011,p.14) bahwa masyarakat Manduro menggunakan bahasa Madura dan bahasa Jawa, namun kosakata yang mereka gunakan terdapat perbedaan dengan dua bahasa tersebut. Terkait dengan hal tersebut, bahasa merupakan bagian yang urgent dalam pembelajaran. Berdasarkan observasi peneliti Desa Manduro memiliki dua sekolah dasar yang memiliki peserta didik dengan kemampuan multilingualnya, yakni bahasa Indonesia, bahasa Jawa dan bahasa Manduro. Wujud tuturan masyarakat Manduro belum diketahui oleh masyarakat luas, begitu juga dengan para guru yang mendampingi proses pembelajaran. Berdasarkan standar proses pada kurikulum 2013 (salinan Permenikbud No. 65 Tahun 2013 tentang standar proses) disebutkan bahwa sasaran pembelajaran disesuaikan dengan kompetensi lulusan mencakup adanya pengembangan tiga hal, yakni sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang dielaborasi untuk setiap satuan pendidikan. Tiga ranah tersebut memiliki keterkaitan dengan bahasa peserta didik khususnya pada aktifitas menyaji yang terdapat dalam ranah keterampilan berbahasa. Keterampilan tersebut akan terwujud dalam kecakapan berbahasa yang akan mempengaruhi bagaimana isi dan cara peserta didik menyajikan hasil proses pembelajaran. Kecakapan bahasa peserta didik merupakan salah satu komponen yang harus diketahui guru sebelum melaksanakan proses pembelajaran. Kecakapan tersebut akan terwujud dalam komponen-komponen bahasa itu sendiri melalui komunikasi secara langsung dan pemahaman terhadap teks tertulis meliputi komponen fonologi, morfologi, sintaksis, semantik dan pragmatik. Pemahaman terhadap kecakapan berbahasa siswa merupakan pertimbangan penting untuk menetapkan tujuan pembelajaran, merencanakan tugas-tugas belajar dan menilai perkembangan siswa. Selain itu pemahaman guru terhadap kecakapan bahasa siswa akan mempermudah menyampaikan isi pelajaran, melaksanakan interaksi sosial di dalam kelas dan menentukan langkah-langkah yang harus ditempuh dalam pembelajaran bahasa. Kecakapan bahasa yang dimiliki peserta didik dalam pembelajaran bahasa di SD Manduro tidak lepas dari tuturan masyarakat Manduro. Tuturan masyarakat Mandura berdasarkan pernyataan Robins (1992, p. 14) memiliki maksud dan bentuk tertentu sebagai landasan analisis para linguis. Hasil penelitian ini akan mendeskripsikan bentuk tuturan masyarakat Manduro melalui struktur fonologi, morfologi, dan sintaksis. Fokus penelitian ini adalah wujud tuturan masyarakat Manduro yang belum banyak diketahui oleh masyarakat luas sehingga perlu adanya penelitian yang mendeskripsikan tuturan tersebut melalui kajian kegramatikalannya, yakni bentuk fonologi yang terdiri dari fonem vokal, konsonan, diftong dan kluster.Pada bentuk morfologi dianalisis dari aspek imbuhan bentuk reduplikasi dan sintaksis pada jenis kata dan struktur kalimat. Tujuan penelitian adalah Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
751
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
mendeskripsikan wujud tuturan masyarakat Manduro berdasarkan bentuk fonologi, morfologi, dan sintaksis. Manfaat penelitian ini secara teoretis diharapkan dapat memperkaya pengetahuan gramatikal khususnya bidang kajian tuturan masyarakan Manduro, yakni bentuk fonologi, morfologi, dan sintaksis. Secara praktis diharapkan dapat digunakan sebagai bahan analisis kontrastif linguistik, sehingga dapat diaplikasikan sebagai sumbangsih linguistik terhadap pembelajaran bahasa khususnya Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa.
Fonologi Merujuk hasil penelitian di Albanian yang dikutip Andreou (2007,p. 9) menyatakan bahwa kesadaran fonologi, secara khusus dari anak-anak bilingual diteliti secara menyeluruh sejak diusulkan bahwa secara jelas dan konsisten ada keterkaitan antara kesadaran fonologi dan kemahiran membaca anak yang berlatar belakang multilingual; selanjutnya, diklaim bahwa nilai pengetahuan fonologi digunakan untuk menampilkan tugas kemampuan membaca yang lebih baik ( Chiappe & Siegel, 1999; Mutter & Diethelm, 2001; Stuart, 1999 dalam Andreou, 2007, p. 9). Berdasarkan hasil penelitian tersebut Andreou (2007, p.12) melakukan riset dengan hasil sebagai berikut. Anak-anak yang menguasai tiga bahasa menunjukkan kesadaran fonologi yang lebih baik dari pada mereka yang menguasai dua bahasa. Hal tersebut dikarenakan anak-anak trilingual lebih berhati-hati dalam memilih leksikon dalam berbicara dengan tiga bahasa yang dikuasainya. Pada bentuk fonologi akan ditelaah melalui bentuk vokal, konsonan, diftong, daan kluster.
Vokal Bunyi vokal dihasilkan dengan udara yang keluar dari paru-paru tanpa adanya hambatan, dipengaruhi oleh gerakan bibir dan gerakan lidah (Ahmad dan Abdulloh, 2012,p.31). Berikut vokal dalam Bahasa Indonesia. Tabel 1 Vokal Bahasa Indonesia Posisi lidah Tinggi Sedang Rendah
Depan /i/ /e/
Tengah /ə/ /a/
Belakang /u/ /o/
Konsonan Konsonan terjadi setelah arus udara melewati pita suara yang terbuka sedikit atau agak lebar diteruskan ke rongga mulut atau rongga hidung dengan mendapat hambatan ditempattempat tertentu. Diantara klasifikaasi konsonaan seperti huruf bilabial (/b/, /p/, /m/), labiodental (/f/,/v/), laminoalveolar (/t/,/d/), dan dorsovelar (/k/,/g/) dan sebagainya (Chaer, 2007,p.113117).
Doftong Chaer (2007,p. 115) mengemukakan bahwa diftong terjadi karena posisi lidah ketika memproduksi bunyi ini pada bagian awalnya dan bagian akhirnya tidak sama. Muslich (2008,p. 69) mengemukakan bahwa ketika dua deret bunyi vokoid diucapkan dengan satu hembusan udara, akan terjadi ketidaksamaan sonoritas. Salah satu bunyi vokoid itu lebih tinggi dari pada bunyi vokoid yang lainnya. Peristiwa meningggi dan menurunnnya sonoritas inilah yang disebut diftong.
752
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Kluster Kluster dalam bahasa Indonesia terjadi sebagai akibat pengaruh struktur fonetis unsur serapan. Pada umumnya kluster dalam bahasa Indonesia seputar kombinasi sebagai berikut. (1) Jika kluster atas dua kontoid, yang berlaku adalah : (a) Kontoid pertama hanyalah sekitar [p], [b], [t], [d], [k], [g], [f], dan [s]; (b) Kontoid kedua hanyalah sekitar [l], [r], [w], [s], [m], [n], [k] Contoh: [pl] pada [pleonasme] [bl] pada [gamblang] [sr] pada [pasrah] (2) Jika kluster terdiri atas tiga kontoid, yang berlaku adalah (a) Kontoid pertama selalu [s] (b) Kontoid kedua [t] atau [p] (c) Kontoid ketiga [r] atau [l] Contoh : [str] pada [strategi] [skr] pada [skripsi]
Morfologi Morfologi bahasa adalah konstruksi-konstruksi bentuk-bentuk terikat yang terdapat di antara konstituen-konstituennya (Blomfield, 1995,p.200). Pada bentuk morfologi akan ditelaah melalui aspek proses morfologis yang terdiri dari proses afiksasi, dan reduplikasi.
Afiksasi Afiks yang diletakkan di awal atau di muka bentuk disebut dengan prefiks. Dalam bahasa Indonesia misalnya mem-, di-, ber-, ke-, ter-, se-, pem-, dan pe-/per. Sedangkan dalam Bahasa Jawa imbuhan di depan memiliki jumlah yang relatif cukup banyak. Nurhayati (2001: 13) mengemukakan imbuhan di depan untuk bahasa Jawa terdiri dari [N- (n-, ny-, m-, ng-)], [Dak/tak-], [Kok-/tok], [di-],[ka-], [ke-], [a-], [aN-], [paN-], [ma-], [mer-], [sa-], [pa-], [pi-], [pra-], [tar-], [kuma-], [kami-] dan [kapi-]. Afiks yang diletakkan di dalam bentuk dasar dikenal dengan infiks. Dalam bahasa Indonesia terdapat tiga macam infiks yaitu –el, -em, dan –er. Contoh dalam penggunaan kata belajar yakni dari kata ajar dan gerigi dari kata gigi. Nurhayati (2001, p.23) menyatakan bahwa pengimbuhan tengah atau seselan dalam Bahasa Jawa terdiri dari 4 morfem, yaitu [–in-], [-um-], [-er-], dan [-el-.] Afiks yang diletakkan di belakang bentuk dasar disebut dengan sufiks. Dalam bahasa Indonesia misalnya –kan, -i, -nya, -wati, -wan, -man, -isme, dan –isasi. Sedangkan bentuk akhiran dalam Bahasa Jawa adalah –i, -ake, -a, -en, -na, -ana, -an dan –e (Nurhayati, 2001: p.25). Kemudian, konfiks terdiri dari dua unsur, satu di muka bentuk dasar satu di belakang bentuk dasar, dan berfungsi sebagai satu morfem terbagi (Ahmad dan Abdulloh, 2012,p.64). Proses pengulangan (reduplikasi) merupakan peristiwa pembentukan kata dengan jalan mengulang bentuk dasar, baik seluruhnya maupun sebagian, baik bervariasi fonem maupun tidak, baik berkombinasi dengan afiks maupun tidak (Muslich, 2008, p.48-49). Ramlan (1985, p.57) menyatakan bahwa proses pengulangan atau reduplikasi (rangkep dalam bahasa Jawa) adalah pengulangan satuan gramatik sebagian atau seluruhnya dengan adanya variasi fonem ataupun tidak. Macam-macam reduplikasi terdiri dari bentuk ulang seluruh, bentuk ulang sebagian, bentuk ulang kombinasi afiks, dan bentuk ulang perubaahan fonem. Sintaksis Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
753
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Chaer (2009: 3) mengungkapkan bahwa sintaksis adalah subsistem yang membicarakan penataan dan pengaturan kata-kata ke dalam satuan yang lebih besar yakni kata, frase, klausa, kalimat, dan wacana. Pada bentuk sintaksis akan ditelaah melalui fungsi, peraan dan kategori sintaksis. Analisis fungsi sintaksis dimaksudkan untuk mendapatkan perian teknis fungsi-fungsi yang terdapat dalam kalimat atau klausa. Fungsi-fungsi itu mencakup subjek, predikat, objek, pelengkap, dan keterangan yang harus diisi kategori sintaksis (jenis kata). Fungsi sintaksis tidak memiliki makna tertentu tetapi harus diisi makna tertentu, yakni peran sintaksis.
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang bersifat deskriptif. Kualitatif oleh Creswell (2009, p.4) diartikan sebagai metode-metode untuk mengeksplorasi dan memahami makna yang oleh sejumlah individu atau sekelompok orang dianggap berasal dari masalah sosial atau kemanusiaan.Tuturan masyarakat Manduro belum banyak diketahui oleh masyarakat luas dan terdapat perbedaan dengan tuturan dengan masyarakat desa lainnya i Kabupaten Jombang. Pelaksananaan penelitian dilakukan pada bulan Oktober-Desember 2014 dan bulan Januari 2015. Tempat penelitian ini berada diempat Dusun Desa Manduro, Kecamatan Kabuh, Kabupaten Jombang yakni dusun Gesing, Dander, Matu’an dan Guo. Subjek penelitian adalah masyarakat Manduro. Peneliti mengambil 4 sampel penelitian menggunakan teknik purposive sampling dengan mengutamakan pada perangkat desa yang benar-benar menguasai tuturan masyarakat Manduro terdiri dari 4 perangkat, yakni Siti Fatimah (25 tahun) sebagai informan utama, Jamiluddin, Riyono, dan Bu Jamiluddin sebagai informan pendamping. Objek penelitian adalah tuturan masyarakat Manduro. Penelitian kualitatif menggunakan metode pengumpulan data secara kualitatif yaitu pengamatan dan wawancara (Moleong, 2011, p. 9). Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui pengamatan dan wawancara dengan instrumen angket Swadesh Morris, catatan lapangan, daftar pertanyaan dan kamera digital Nikon Cooplex. Analisis data dalam penelitian ini bersifat analisis induktif berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan di lapangan kemudian dikonstruksikan menjadi sebuah teori (Sugiyono, 2008,p.15). Analisis induktif dalam penelitian ini dilakukan dengan metode padan dan agih.metode agih, yakni metode analisis bahasa yang alat penentunya bagian dari bahasa itu sendiri dan metode padan, yakni metode analisis bahasa yang alat penentunya di luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian bahasa yang bersangkutan (Sudaryanto, 1995,p.13-15). Metode padan digunakan untuk menganalisis masing-masing struktur tuturan masyarakat Manduro dengan membandingkan dengan konstruksi fonologi, morfologi dan sintaksis Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa.
Hasil Penelitian Hasil penelitian dijelaskan meliputi bentuk fonologi, morfologi, dan sintaksis. Berikut uraian masing-masing-masing komponen tersebut. Fonologi Bentuk fonem dan suku kata yang terdapat pada tuturan masyarakat manduro ditemukan bentuk-bentuk sebagai berikut.
754
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Tabel 2 Fonem da Konstruksinya No 1 – 3 4 5
Fonem Wujud Vokal /ia/ Konsonan /au/ Diftong /ea/ Kluster /ue/ /ie/
6
/ai/ /kl/ Klam-bi-na’bajunya’ /pr/ Pring‘bam-bu’ /kh/ Akhir-an‘ter-akhir’ /bl/ A-blonjo ‘berbelanja’
7 8 9 10
Konstruksi KV+KVK KV+KV VKVK KVK+ KV+KVK KKVK+KV+KV VKV+KVK KVV+KV+KVK
Contoh Jekeh ‘bangun’ Bini ‘istri’ Emah ‘mana’ Bersihen ‘bersihkan’ Klambina ‘bajunya’ Bentuk Ajereng ‘masak’ Kaabiten ‘terlalu lama’
KKVK
Theh ‘itu’
VKKV+KVK
Kanggui i’untuk’ Bentuk diftong Akhiran ‘terakhir’
VKKV+KVK
Uraian beberapa bentuk vokal, konsonan, diftong, dan kluster sebagai berikut. KVK + KV + KK pada kata bersihen ‘bersihkan’. Berikut tuturan dengan kata bersihen. Siti : Ndang bersihen bungkono sek rusuh nah ‘Ayo, bersihkan batang-batang yang membuat kotor’ KV + KVK pada kata jekeh ‘bangun’ Berikut tuturan dengan kata jekeh. Siti: Gik, ndang jekeh ‘Gik, ayo cepat bangun.’
Morfologi Tataran morfologi difokuskan pada bentuk imbuhan dan reduplikasi. Berikut masingmasing uraian dua proses tersebut. Tabel 3 Imbuhan dan Reduplikasi No 1
Proses Imbuhan Awalan Sisipan Akhiran
AwalanakThiran
2
Reduplikasi
Wujud
keterangan
{a-} {a-} + maen = amaen {-na};{-i}; {-ake}; {-an} {dana}+{-na} menjadi danana ‘dananya’ {tanem}+{i} menjadi tanemi ‘ditanami’ {guna}+ {ake} menjadi gunaake ‘menggunakan’ {salam}+ {an} menjadi salaman {ke-an}; {peN-an}; {di-ake} {ke-} + {giat}+ {-an} = kegiatan {PeN}+ {keluar}+ {-an} = pengeluaran {di} + {sesuai} + {ake} = disesuaiake Tor-montoran, Nak-kanak, Reng-berengah, Jen ojennah,
Ciri khas tuturan manduro Terpengaruh dari bahasa Indonesia dan bahasa Jawa
Terpengaruh dari bahasa Indonesia dan bahasa Jawa Pengulangan suku kata kedua dari kata kedua diletakkan di
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
755
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
No
Proses
Wujud Reng – berengah, rek-kerek
keterangan awal.
Sintaksis Hasil penelitian pada tataran sintaksis diklasifikasikan berdasarkan jenis kosakata dan struktur kalimat. Berikut masing-masing uraian jenis kosakata dan struktur kalimat tuturan masyarakat Manduro.
Jenis kosakata Hasil penelitian menunjukkan ada 9 jenis kata. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan dengan bahasa Indonesia dan bahasa Jawa dalam tuturan masyarakat Manduro belum ditemukan kata sandang. Pembahasan akan ditekankan pada masing-masing jenis kata, yakni kata benda, kata kerja, kata keterangan, kata ganti, kata sambung, kata depan, kata bilangan dan kata seru sebagai berikut: Tabel 4 Jenis kosakata No Jenis kata Jumlah Contoh 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kata benda Kata kerja Kata Tketerangan Kata sifat Kata ganti Kata sambung Kata bilangan Kata depan Kata seru
56 47 86 10 5 14 4 4 12
Jogung ‘jagung’ Nanem ‘tanam’ bereh ‘gersang’ Panas ‘panas’ Theh ‘itu’ Mbik ‘dengan’ Do ‘dua’ Ning ‘di ‘ Hoalah
Kata Benda Contoh penggunaan pada data berikut. (1)Bukoh ‘rumah’,(1) Ibu Jamil : Dung tedungan mbudena bukoh. ‘Tidur-tiduran di belakang rumah’ Tang anak ‘anak saya’, (2) Pak Jamilun: Mak, tak tao tang anak? ‘Mak, tidak melihat anak saya?’. Secara teori kata benda menduduki fungsi subjek dan objek pada kalimat verbal sedangkan pada kalimat nominal menduduki predikat. Kata benda yang terdapat pada kalimat (1) dan (2) menduduki fungsi sebagai objek pada kalimat verbal. Kata Kerja Contoh penggunaan pada data berikut. Nyosol ‘menjemput’(3) Pak Jamilun: Uwes, engkok asekola’ah geluh nyosol tang anak. ‘Ya sudah, saya ke sekolah dulu menjemput anak saya.’ A maen ‘bermain’ (4)Pak Jamilun: A maen mbik reng-berengah ning jen o jenah. ‘Bermain dengan teman-temannya dalam hujan.’ Kata kerja menduduki fungsi predikat pada kalimat aktif transitif. Kata kerja pada kalimat (3) berfungsi sebagai predikat karena kalimat tersebut merupakan kalimat aktif
756
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
transitif dan kata kerja pada kalimat (4) menduduki fungsi sebagai predikat pada kalimat intransitif.
Kata Keterangan Contoh penggunaan pada data berikut. Kata keterangan keadaan = berik ‘habis ‘, (5) Pak Riyono: “Yo carana dek remah mosok adek pesenah bokoh berik.” ‘Ya caranya bagimana masak uang tembakau yang kemarin sudah gak ada.’ Kata keterangan waktu dan tempat = sak durunga ‘sebelum’; ning kantor ‘di kantor’ , (6) Siti : “Sak durunga ngajar biasana engko rek ano delok apa apolong deluk guru-guru ning kantor.” ‘Sebelum mengajar biasanya nanti berkumpul sebentar dengan guru-guru yang sedang di kantor.’ Kata keterangan pada kalimat (5) dan (6), menduduki fungsi keterangan baik keterangan keadaan, keterangan waktu, dan keterangan tempat.Fungsi keterangan dapat muncul lebih dari satu dalam sebuah kalimat, bisa di awal, di tengah, dan di akhir.
Kata Ganti Ditemukan 5 kata ganti dalam tuturan Manduro.Yang terdiri dari kata iki ‘ini’, tu ‘itu’, theh ‘itu’, diye ‘itu’, engkok ‘saya’. Contoh penggunaan pada data berikut. (7)Pak Jamilun : Uwes engkok asekola’ah geluh nyosol tang anak. ‘Ya sudah saya mau ke sekolah dulu menjemput anak saya.’ Kata ganti pada kalimat (7) berupa kata ganti personal. Selain kata ganti personal, kata ganti juga dapat digunakan untuk menggantikan kata benda, yakni berupa kata ganti nomina.
Kata Sambung Ditemukan 14 kata sambung dalam tuturan Manduro yang terdiri dari kata sambung setara, yakni mbek ‘dengan’, pang ‘kalau’, bereng ‘juga’, teros e ‘lalu’, yeh ‘terdiri’, lak ruah ‘karena’,ta ‘atau’, perlu ‘harus’, rek ano ‘seperti’, tape ‘tapi’, palang ‘daripada’. Contoh penggunaan pada data berikut. Kata mbek ’dengan’, bentuk kalimat: (8)Siti: Emm...madie kok ngeberi eding cak en mantan lorah berik riyeh pak jamilun mbek bini na. ‘Kabarnya yang akan mencalonkan lurah adalah mantan lurah pak Jamilun dengan istrinya.’
Kata Depan Ditemukan 4 kata depan dalam tuturan Manduro yakni kata ning, ndok, ndek, neng yang berarti di. Contoh penggunaan pada data berikut. Ning ‘di’,(9) Siti : Ningsabeh dilaun reh bereh dorong e tanemen apa-apa. ‘Di sawah gersang sedang tidak ada tanaman apa-apa’.
Kata Bilangan Contoh penggunaan pada data berikut.Do ‘dua’, contoh kalimat (10) Ibu : Do kilo. ‘Dua kilo.’ Secara teori kata bilangan digunakan untuk menunjukkan urutan, tongkat, ukuran, pecahan dan jumlah. Pada kalimat (10) kata bilangan berfungsi menunjukkan jumlah.
Kata Seru
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
757
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Ditemukan 12 kata seru dalam tuturan Manduro, seperti kata eh, hoalah, em, loh, oh.Contoh penggunaan pada data berikut. Hoalah(11) Ibu : Hoalah, yo wes.Kata Sifat Ditemukan 10 kata sifat dalam tuturan Manduro, seperti kata cepet, cokop, benyak, panas, lama. Contoh penggunaan pada data berikut. Kaabiten, ‘lama’, (12) Pak Riyono: Waktuna... pa nanem jagung kan kedik kaabiten saapah teloh bulen pang cang ijo kan pitung puluh areh taoh nototen nem beran. ‘Waktunya kalau tanam jagung nanti kelamaan sekitar tiga bulan kalau kacang ijo 70 hari bisa sampai musim hujan.’
Struktur kalimat Struktur kalimat yang ditemukan banyak yang tidak gramatikal karena berasal dari tuturan konteks nonformal. Fungsi dan kategori peran sintaksisdigunakan untuk analisis kalimat. Wujud berbagai unsur dan urutannya terdapat dalam data berikut. Tabel 5 Konstruksi Sintaksis No Unsur Fungtor Data 1 S SPK Fatimah: Hahahah.... pesenah bokonah lak adek berik ruah pengeluaran lebih... lebih mbenyak. 2 P Pesenah bokonah = S Lak adek ruah = P Pengeluaran lebih lebih benyak = K Bokonah = kata benda 3 O KPOPOK Pak Riyono: Jen ojenan se kejek kik nanem jogung, nanem kacang ijo kan perlok cepet. 4 K Jen o jenan sekejek kik = K Nanem = P 5 Pel. Jogung = O Nanem = P Kacang ijo = O Kan perlok cepet =K Struktur kalimat yang ditemukan banyak yang tidak gramatikal karena berasal dari tuturan konteks nonformal. Wujud berbagai unsur dan urutannya terdapat dalam beberapa data berikut. Data (1): kalimat dengan fungsi SP dan PK Ibuk:Ping ndangajereng! S P ‘ Ping, cepat masak!’ Siti: Ajerenga...sak apa mak? P K ‘ Masak seberapa mak’ Pada kalimat tersebut merupakan kalimat imperatif, interogatif dan deklaratif yang memiliki struktur seperti uraian di atas fungsi subjek berkategori nomina sebagai pelaku mengawali kalimat yang menandakan bahwa kalimat tersebut memiliki alur maju, keterangan
758
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
berfungsi menerangkan jumlah (kuantitas) dan tujuan, fungsi predikat berperan tindakan berkategori verba. Berdasarkan uraian tersebut kalimat pertama merupakan kalimat yang gramatikal dikarenakan terdiri dari predikat dan terdapat subjek. Kalimat kedua dapat dikatakan sebagai kalimat karena mempunyai sifat-sifat kalimat, yaitu mempunyai nada dan tanda baca, dapat berdiri sendiri, tetapi memiliki gramatikal yang kurang lengkap dengan tidak adanya subjek Data (2): Kalimat dengan fungtor POK Fatimah:Yokare neguh danana cokop ta njek P O K ‘ Ya tinggal lihat dananya ada apa nggak’ Pada kalimat tersebut merupakan kalimat deklaratif yang memiliki struktur seperti diuraikan di atas fungsi predikat berperan tindakan berkategori verba dan objek berperan sebagai sasaran berkategori sebagai nomina, dan keterangan berperan menjelaskan keadaan dan berkateogori adverbia. Berdasarkan analisis kalimat tersebut dapat dikatakan sebagai kalimat karena mempunyai sifat-sifat kalimat, yaitu mempunyai nada dan tanda baca, dapat berdiri sendiri, tetapi memiliki gramatikal yang kurang lengkap dengan tidak adanya subjek Data (3): kalimat dengan fungtor KOK Pak Riyono: Yo carana dek remah mosok adek Ket. Cara O pesenah bokoh berik K ‘Ya caranya bagimana masak uang tembakau yang kemarin sudah gak ada’ Pada kalimat tersebut merupakan kalimat deklaratif yang memiliki struktur seperti diuraikan di atas fungsi keterangan berfungsi menerangkan keterangan cara, objek berperan sebagai sasaran berkategori sebagai nomina, dan keterangan yang kedua berperan menjelaskan keadaan berkategori adverbia. Berdasarkan analisis masing-masing fungsi sintaksis dapat kalimat tersebut disimpulkan sebagai kalimat karena mempunyai sifat-sifat kalimat, yaitu mempunyai nada dan tanda baca, dapat berdiri sendiri, tetapi memiliki gramatikal yang kurang lengkap dengan tidak adanya subjek dan predikat. Data (4): kalimat dengan fungtor SPK Fatimah: Hahahah.... pesenah bokonahlak adek berik ruah pengeluaran S P lebih... lebih mbenyak. K ‘Hahahah, uang tembakaunya sudah habis/ tidak ada pengeluarannya lebih banyak’. Pada kalimat tersebut merupakan kalimat deklaratif yang memiliki struktur seperti diuraikan di atas fungsi subjek berfungsi menerangkan pelaku, fungsi predikat berperan sebagai keadaan dan berkategori adverbia, dan fungsi keterangan berperan sebagai penjelas keadaan yang berkategori adverbia. Berdasarkan struktur tersebut kalimat di atas merupakan kalimat tunggal yang gramatikal karena terdapat subjek dan predikat. Data (5): kalimat dengan fungtor POK Pak riyono: Tanem cang ijo anggita jang P O K ‘Rencananya mau ditanami kacang ijo’ Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
759
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Pada kalimat tersebut merupakan kalimat deklaratif yang memiliki struktur seperti diuraikan di atas fungsi predikat berperan tindakan dan berkategori verba, fungsi objek berperan sebagai sasaran berkategori sebagai nomina, dan fungsi keterangan berperan sebagai penjelas berkategori adverbia. Berdasarkan analisis masing-masing fungsi sintaksis dapat disimpulkan sebagai kalimat karena mempunyai sifat-sifat kalimat, yaitu mempunyai nada dan tanda baca, dapat berdiri sendiri, tetapi memiliki gramatikal yang kurang lengkap dengan tidak adanya subjek, sehingga kalimat tersebut merupakan kalimat yang tidak gramatikal. Data (6): kalimat dengan fungtor Konj.PO Fatimah:Teros etanemen apate? Konjungsi P O ‘Terus mau ditanami apa paman?’ Pada kalimat tersebut merupakan kalimat interogatif yang memiliki struktur seperti diuraikan diatas. Fungsi predikat berperan tindakan berkategori verba dan objek berperan sebagai sasaran berkategori sebagai nomina. berdasarkan analisis fungsi pada kalimat tersebut dapat dikatakan sebagai kalimat karena mempunyai sifat-sifat kalimat, yaitu mempunyai nada dan tanda baca, dapat berdiri sendiri, tetapi memiliki gramatikal yang kurang lengkap dengan tidak adanya subjek. Konjungsi yang berada di awal kalimat menyebabkan kalimat tersebut tidak gramatikal. Data (7): kalimat Konj.PO Fatimah:Mek tek e tanemi jagung ? Konj. P O ‘Kenapa tidak ditanami jagung?’ Pada kalimat tersebut merupakan kalimat interogatif yang memiliki struktur seperti di atas fungsi konjungsi berupa kata tanya, fungsi predikat berperan tindakan berkategori verba dan objek berperan sebagai sasaran berkategori sebagai nomina. berdasarkan analisis masingmasing fungsi kalimat di atas dapat dikatakan sebagai kalimat karena mempunyai sifat-sifat kalimat, yaitu mempunyai nada dan tanda baca, dapat berdiri sendiri, tetapi memiliki gramatikal yang kurang lengkap dengan tidak adanya subjek, sehingga kalimat tersebut merupakan kalimat yang tidak gramatikal. Data (8): kalimat dengan fungtor KPOK Pak riyono: Waktuna... pa nanem jagungkan K P O kedik kaabiten saapah K teloh bulen pang cang ijokan 70 areh taoh nototen ne berek an ‘Waktunya tanam jagung nanti terlalu lama sekitar tiga bulan kalau kacang ijo 70 hari bisa sampai musim hujan.’ Pada kalimat tersebut merupakan kalimat deklaratif yang memiliki struktur seperti diuraikan di atas fungsi keterangan berfungsi menerangkan waktu berkategori nomina, fungsi predikat berperan tindakan berkategori verba, fungsi objek berperan sebagai sasaran berkategori sebagai nomina, dan fungsi keterangan kedua berperan sebagai penjelas keadaan yang berkategori adverbia. Berdasarkan analisis masing-masing fungsi pada kalimat tersebut dapat dikatakan sebagai kalimat karena mempunyai sifat-sifat kalimat, yaitu mempunyai nada dan tanda baca, dapat berdiri sendiri, tetapi memiliki gramatikal yang kurang lengkap dengan tidak adanya subjek. 760
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Data (9): kalimat dengan fungtor KPOPOK Pak Riyono: Jen o jenah se ke Jek kik nanem K P jogung, nanem kacang ijokan O P O perlok cepet K ‘Musim hujan sebentar lagi menanam jagung menanam kacang hijau harus cepat’ Pada kalimat tersebut merupakan kalimat deklaratif yang memiliki struktur seperti diuraikan di atas fungsi keterangan berperan menerangkan waktu berkatogori adverbia, fungsi predikat berperan tindakan berkategori verba dan objek berperan sebagai sasaran berkategori sebagai nomina, dan objek kedua berperan sebagai sasaran yang berkategori nomina. Berdasarkan analisis kalimat tersebut dapat dikatakan sebagai kalimat karena mempunyai sifatsifat kalimat, yaitu mempunyai nada dan tanda baca, dapat berdiri sendiri, tetapi memiliki gramatikal yang kurang lengkap dengan tidak adanya subjek.
Simpulan 1. Kosakata yang diperoleh meliputi jenis kata benda, kata kerja, kata keterangan, kata sambung, kata depan, kata ganti, kata sifat dan kata bilangan. 2. Struktur fonologi yang diperoleh memiliki keuniversalan dengan struktur fonologi Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa. Pada diftong ditemukan /ia/;/au/;/ea/;/ue/;/ie/;/ai/, sedangkan kluster ditemukan perangkapan hanya pada suku pertama kata tersebut, yakni /kl/;/pr/;/kh/;/bl/. 3. Struktur morfologi ditemukan awalan [a-], konfiks [ke-an], [PeN-an], [di-ake] dan akhiran [na]. Selain itu ditemukan proses reduplikasi yang unik yakni pengulangan di ambil dari suku pertama pada kata kedua yang diulang. 4. Struktur sintaksis pada tuturan kalimat masyarakat Manduro dapat disimpulkan banyak ditemukan kalimat deklaratif. Urutan kata memiliki urutan yang sama dengan urutan kata bahasa Indonesia dan bahasa Jawa yang terdiri dari subjek, predikat, objek, keterangan dan pelengkap. Fungsi kalimat menempati fungsi yang sesesuai yakni kata benda menduduki subjek dan objek, kata kerja menduduki predikat, kata keterangan menduduki keterangan dan jenis kata lainnya menduduki pelengkap. Selain itu ditemukan juga adverbia dan adjektifa yang berfungsi sebagai predikat dan nomina yang berfungsi sebagai keterangan. Jenis kalimat yang sering ditemukan adalah kalimat tunggal. Berdasarkan analisis konstruksi tuturan masyarakat Manduro tersebut, tuturan yang digunakan masyarakat tersebut merupakan creol, sebagai akibat dari kontak bahasa antara bahasa Madura, bahasa Jawa, dan bahasa Indonesia.
Daftar Pustaka Ahmad. H.P. dan Abdulloh, Alex. 2012. Linguistik umum. Jakarta: Erlangga. Andreou. George. 2007. Phonological awareness bilingual and Trilingual School Children.The linguistic jurnal, 2007: volume 3, issue 3 editor:Paul Robertson and John Adamson, Asian EFL Journal). Bernard, Spolsky dan Francais M. Hult. 2008.The hanbook of educational linguistics. United kingdom: Blackwell Publishing.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
761
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Bloomfield, Leonardo. 1995. Bahasa (Terjemahan I. Sutikno). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. (Buku asli diterbitkan tahun 1961). Chaer, Abdul. 2007. Linguistik umum. Jakarta : PT. Rineka Cipta. ______.(2009). Sintaksis Bahasa Indonesia pendekatan proses. Jakarta : PT. Rineka Cipta. Creswell, Jhon. W. 2010. Research design pendekatan kualitatif. kuantitatif, dan mixed (Terjemahan Achmad Fawaid).Yogyakarta: Pustaka Pelajar. (Buku Asli Diterbitkan Tahun 2009). Depdiknas. 2013. Peraturan Pemerintah RI Nomor 65, Tahun 2013, tentang Standar Proses Pembelajaran. Ghazali, Akhmad. Syukur. 2010. Pembelajaran keterampilan berbahasa dengan pendekatan komunikatif-interaktif. Bandung: PT Refika Aditama. Hidayarohmah, Wahyu. Nur. 2013. Pergeseran Bahasa Madura pada Masyarakat Desa Manduro Kecamatan Kabuh Kabupaten Jombang.Ejournal.unesa.ac.id.vol 1. No 1. Muslich, Masnur. 2008. Tata bentuk bahasa Indonesia kajian ke arah tata bahasa deskrispstif.Jakarta: BumiAksara. Moleong, Lexy. J. 2011. Metodologi penelitian kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya Offset. Nurhayati, Endang. 2001. Fonologi Bahasa Jawa. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta. Permadi, Ahmad. Dewa. 2013. Deskripsi konstruksi sosial dalam membentuk identutas simbolik oreng Manduro. (Jurnal:UnairantroUnairDotNet, vol 2/no. 1/ Jan-Pebruari 2013 (232247)). Pinter, A. 2011. Children leraning second languages. United States: Palgrave Macmillan. Ramlan. 1987. Morfologi suatu tinjaun deskriptif. Yogyakarta: CV. Karyono. Robins, R.H. 1992. Linguistik umum sebuah pengantar. Yogyakarta: Kanisius. Sudaryanto.1993. Metode dan aneka teknik analisis bahasa pengantar penelitian wahana kebudayaan secara linguitis. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Sugiyono. 2008. Metode penelitian pendidikan (pendekatan kuantitatif, kualitatif, dan R&D). Bandung: Alfabeta.
762
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Penerapan Model Pembelajaran Scramble Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Bahasa Arab Siswa Kelas V MI Muhammadiyah I Jombang Tahun Pelajaran 2013/2014 Mindaudah 17 ([emailprotected]) Abstract The problem faced by students in grade V in MI Muhammadiyah I Jombang is the difficulty in improving learning outcomes Arabic, caused by many things, including the assumption that Arabic is a complex language, even there are some students who consider Arabic as a frightening specter . So the assumption is an obstacle in the process of learning Arabic in schools that also have an impact on student learning outcomes, it is necessary for learning models are fun, creative, and innovative. One form of innovative learning model is a learning model Scramble. This study aims to decrypt Application scramble learning model in improving student learning outcomes in subjects in class V Arabic. This study includes quantitative research. by using the research population, the number of respondents 34 graders V. Methods of data collection that test, observation, interviews, and documentation. Data were analyzed using t test (test of difference) of two sample paired with SPSS 16.0 for Windows. The results of the data analysis shows that there is the effect of applying the learning model Scramble in improving learning outcomes Arabic graders V MI Muhammadiyah I Jombang 2013/2014 school year. Keywords: Scramble Model, Results Learning Arabic Abstrak Permasalahan yang dihadapi peserta didik kelas V di MI Muhammadiyah I Jombang adalah kesulitan dalam meningkatkan hasil belajar Bahasa Arab, disebabkan oleh berbagai hal, diantaranya adalah adanya anggapan bahwa Bahasa Arab adalah bahasa yang rumit, bahkan terdapat beberapa siswa yang menganggap bahasa Arab sebagai momok yang menakutkan. Sehingga anggapan tersebut menjadi penghambat dalam proses pembelajaran bahasa Arab di Sekolah sehingga juga berdampak pada hasil belajar siswa, untuk itu diperlukan model pembelajaran yang menyenangkan, kreatif, dan inovatif . Salah satu bentuk model pembelajaran yang inovatif adalah model pembelajaran Scramble. Penelitian ini bertujuan untuk mendekripsikan Penerapan model pembelajaran scramble dalam meningkatkan hasil belajar siswa kelas V dalam mata pelajaran Bahasa Arab. Penelitian ini termasuk penelitian kuantitatif. dengan menggunakan penelitian Populasi, jumlah responden 34 siswa kelas V. Metode pengumpulan data yaitu tes, observasi, wawancara, dan dokumentasi. Teknik analisis data menggunakan uji t (uji beda) dua sampel berpasangan dengan program SPSS 16.0 for Windows. Hasil analisa data menunjukkan bahwa ada pengaruh penerapan model pembelajaran Scramble dalam meningkatkan hasil belajar Bahasa Arab siswa kelas V MI Muhammadiyah I Jombang tahun pelajaran 2013/2014. Kata Kunci: Model Scramble, Hasil Belajar Bahasa Arab
Pendahuluan Pendidikan adalah merupakan suatu upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia yang berlangsung seumur hidup. Pendidikan merupakan hak semua Warga Negara Indonesia sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 Ayat 1 (UndangUndang Dasar 1945). Selain itu pendidikan mempunyai tujuan Instruksional sebagaimana 17
Dosen Prodi. Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Jombang
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
763
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
tercantum dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003. Dalam rangka mewujudkan tujuan utama pendidikan nasional yang sesuai dengan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional maka seorang guru dituntut mampu menciptakan kondisi belajar yang kondusif yang melibatkan siswa secara menyeluruh dengan demikian maka pembelajaran akan lebih bermakna. Keberhasilan seorang guru dalam menciptakan kondisi tersebut ditunjang dari keterampilan dalam mengelola kelas, pemilihan media pembelajaran dan penggunaan model-model pembelajaran yang tepat. Untuk mencapai hasil yang maksimal dalam dunia pendidikan, saat ini berkembang berbagai model pembelajaran. Secara harfiah model pembelajaran merupakan strategi yang digunakan guru untuk meningkatkan motivasi belajar, sikap belajar dikalangan siswa, maupun berpikir kritis, memiliki ketrampilan sosial, dan pencapaian hasil pembelajaran yang lebih optimal. Karena itulah, perkembangan model pembelajaran dari waktu ke waktu terus mengalami perubahan. Model-model pembelajaran tradisional kini mulai ditinggalkan berganti dengan model yang lebih modern. (Isjoni, 2009) Model pembelajaran adalah bentuk pembelajaran yang tergambar dari awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh guru di kelas. Dalam model pembelajaran terdapat strategi pencapaian kompetensi peserta didik dengan pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran. Model pembelajaran disini diartikan sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan pembelajaran. Model pembelajaran adalah bentuk pembelajaran yang tergambar dari awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh guru di kelas. Dalam model pembelajaran terdapat strategi pencapaian kompetensi peserta didik dengan pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran. Selain memperhatikan tujuan, dan hasil yang ingin dicapai model pembelajaran memiliki lima unsur dasar, yaitu (1) syntax, yaitu langkah-langkah operasional pembelajaran, (2) social system, adalah suasana dan norma yang berlaku dalam pembelajaran, (3) principles of reaction, menggambarkan bagaimana seharusnya guru memandang, memperlakukan, dan merespon peserta didik, (4) support system, segala sarana, bahan, alat, atau lingkungan belajar yang mendukung pembelajaran, dan (5) instructional dan nurturant effects hasil belajar yang diperoleh langsung berdasarkan tujuan pembelajaran (instructional effects) dan hasil belajar (nurturant effects). (Lindayani, dkk., 2011). Berdasarkan hal diatas pengembangan model pembelajaran dalam kegiatan pembelajaran perlu dikembangkan. salah satunya adalah model pembelajaran scramble, tujuan daripada model pembelajaran Scramble adalah agar peserta didik lebih semangat dan dapat aktif dalam mengikuti pelajaran sehingga dapat mencapai hasil belajar yang memuaskan. Model Pembelajaran Scramble merupakan teknik yang sesuai untuk meningkatkan hasil belajar siswa dengan metode yang sederhana namun menarik sehingga peserta didik akan lebih termotivasi, semangat, disiplin dan antusias mengikuti kegiatan belajar dari awal hingga akhir. Model pembelajaran scramble memiliki beberapa kelebihan diantaranya adalah sebagai berikut adalah (1) Memudahkan mencari jawaban, (2) mendorong siswa untuk belajar mengerjakan soal tersebut (3) semua siswa terlibat, (4) kegiatan tersebut dapat mendorong pemahaman siswa terhadap materi pelajaran, (5) melatih untuk disiplin. (www.sriudin.com/2011/07/modelpembelajaran-scramble.html. Hasil belajar dibidang pendidikan adalah hasil dari pengukuran terhadap siswa yang meliputi faktor kognitif, afektif dan psikomotor setelah mengikuti proses pembelajaran yang diukur dengan menggunakan instrumen tes atau instrumen yang relevan. Jadi hasil belajar adalah hasil pengukuran dari penilaian usaha belajar yang dinyatakan dalam bentuk simbol, huruf maupun kalimat yang menceritakan hasil yang sudah dicapai oleh setiap anak pada 764
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
periode tertentu. Hasil belajar dapat diukur melalui tes yang sering dikenal dengan tes prestasi belajar. Tes merupakan sejumlah pertanyaan yang memiliki jawaban yang benar atau salah. Tes diartikan juga sebagai sejumlah pertanyaan yang membutuhkan jawaban, atau sejumlah pertanyaan yang harus diberikan tanggapan dengan tujuan mengukur tingkat kemampuan seseorang untuk mengungkap aspek tertentu dari orang yang dikenai tes. (Harun Rasyid, 2007). Mata pelajaran Bahasa Arab dimaksudkan untuk meningkatkan keaktifan siswa dalam berbahasa. Sesuai dengan tujuan umum yang hendak dicapai dari proses pembelajaran Bahasa Arab untuk MI kelas V, yaitu agar murid mengenal dasar-dasar Bahasa Arab dan berani berbahasa Arab secara aktif. (A.Syaekhuddin, dkk, 2009). Majelis DIKDASMEN (Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah) PP Muhammadiyah, dalam rangka menanamkan nilai-nilai keIslaman bagi siswa memasukkan pelajaran bahasa Arab ke dalam kurikulum pembelajarannya. Pelajaran bahasa Arab dipadukan dalam pendidikan Al-Islam dan Kemuhammadiyahan, yang disingkat ISMUBA (Islam, Muhammadiyah dan Bahasa Arab). Dengan bahasa Arab siswa diharapkan memiliki pengetahuan keislaman, sekaligus memiliki ketrampilan berbahasa yang meliputi menyimak, membaca, menulis dan berbicara. Setelah peneliti melakukan observasi tentang kondisi dilapangan peneliti menemukan permasalahan yang dialami oleh para siswa kelas V MI Muhammadiyah I Jombang Tahun Pelajaran 2013/2014 yaitu kesulitan dalam meningkatkan hasil belajar siswa khususnya pada mata pelajaran Bahasa Arab dengan kriteria ketuntasan minimal (KKM) yang ditetapkan sebesar 75. Dari 34 siswa yang sudah mencapai ketuntasan belajar sebesar 53% atau sekitar 18 siswa sedangkan siswa yang belum mencapai ketuntasan belajar sebesar 47% atau dengan jumlah 16 siswa. Melihat kondisi pada saat pembelajaran peneliti mengamati bahwa kegiatan pada saat proses pembelajaran guru masih menggunakan model konvensional (ceramah, tanya jawab, penugasan) oleh karena itu perlu dilakukan pembelajaran yang inovatif, kreatif dan menyenangkan. Atas dasar pemikiran diatas peneliti tertarik untuk mengajukan judul “Penerapan Model Pembelajaran Scramble Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Bahasa Arab Arab Kelas V MI Muhammadiyah Jombang, Tahun Pelajaran 2013/2014”
Kajian Pustaka Model Pembelajaran Scramble Pengembangan model pembelajaran oleh guru merupakan suatu keniscayaan yang yang harus dilakukan dalam kegiatan pembelajaran. Guru merupakan ujung tombak keberhasilan kegiatan pembelajaran di sekolah yang terlibat langsung dalam merencanakan dan melaksanakan kegiatan pembelajaran. Secara harfiah model pembelajaran merupakan strategi yang digunakan guru untuk meningkatkan motivasi belajar, sikap belajar dikalangan siswa, maupun berpikir kritis, memiliki ketrampilan sosial, dan pencapaian hasil pembelajaran yang lebih optimal. Karena itulah, perkembangan model pembelajaran dari waktu ke waktu terus mengalami perubahan. Modelmodel pembelajaran tradisional kini mulai ditinggalkan berganti dengan model yang lebih modern. (Isjoni, 2009:8) Sedangkan menurut Joyce (dalam Trianto, 2007) mengartikan model pembelajaran sebagai suatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas atau pembelajaran dalam tutorial dan untuk menentukan perangkat-perangkat pembelajaran termasuk didalamnya buku, film, komputer, kurikulum, dan lain-lain. Model pembelajaran disini diartikan sebagai kerangka konseptual yang digunakan Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
765
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
sebagai pedoman dalam melakukan pembelajaran. Lebih lanjut Joyce & Weil, 1980 dalam (Rusman, 2010) menyatakan bahwa Model pembelajaran adalah suatu rencana atau pola yang dapat digunakan untuk membentuk kurikulum dan pembelajaran jangka panjang, merancang bahan-bahan pembelajaran, dan membimbing pembelajaran di kelas atau di luar kelas. Dalam model pembelajaran terdapat strategi pencapaian kompetensi peserta didik dengan pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran. Model pembelajaran adalah bentuk pembelajaran yang tergambar dari awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh guru di kelas. Dalam model pembelajaran terdapat strategi pencapaian kompetensi peserta didik dengan pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran. Selain memperhatikan tujuan, dan hasil yang ingin dicapai model pembelajaran memiliki lima unsur dasar, yaitu (1) syntax, yaitu langkah-langkah operasional pembelajaran, (2) social system, adalah suasana dan norma yang berlaku dalam pembelajaran, (3) principles of reaction, menggambarkan bagaimana seharusnya guru memandang, memperlakukan, dan merespon peserta didik, (4) support system, segala sarana, bahan, alat, atau lingkungan belajar yang mendukung pembelajaran, dan (5) instructional dan nurturant effects hasil belajar yang diperoleh langsung berdasarkan tujuan pembelajaran (instructional effects) dan hasil belajar (nurturant effects). (Lindayani, dkk., 2011:34). Berdasarkan hal diatas pengembangan model pembelajaran dalam kegiatan pembelajaran perlu dikembangkan. salah satunya adalah model pembelajaran scramble, tujuan daripada model pembelajaran Scramble adalah agar siswa lebih semangat dan dapat aktif dalam mengikuti pelajaran sehingga dapat mencapai hasil belajar yang memuaskan. Model Pembelajaran Scramble merupakan teknik yang sesuai untuk meningkatkan hasil belajar siswa dengan metode yang sederhana namun menarik sehingga siswa akan lebih termotivasi, semangat, disiplin dan antusias mengikuti kegiatan belajar dari awal hingga akhir. Model pembelajaran scramble memiliki beberapa kelebihan diantaranya adalah sebagai berikut adalah (1) Memudahkan mencari jawaban, (2) mendorong siswa untuk belajar mengerjakan soal tersebut (3) semua siswa terlibat, (4) kegiatan tersebut dapat mendorong pemahaman siswa terhadap materi pelajaran, (5) melatih untuk disiplin. (www.sriudin.com/2011/07/modelpembelajaran-scramble.html.) Beberapa langkah yang harus dilakukan dalam model pembelajaran scramble adalah sebagai berikut menyiapkan media; (1) Buatlah jawaban yang sudah diacak hurufnya, (2) Buatlah pertanyaan yang sesuai dengan kompetensi yang ingin dicapai. Langkah-langkah; (1) Guru menyajikan materi sesuai dengan kompetensi yang ingin dicapai. (2) Membagikan lembar kerja sesuai contoh. (Lindayani.,dkk,2008:130). Dari uraian di atas maka peneliti menganalisa bahwa metode pembelajaran yang digunakan oleh guru juga sangat mempengaruhi pencapaian hasil belajar peserta didik.
Hasil Belajar Hasil belajar dibidang pendidikan adalah hasil dari pengukuran terhadap siswa yang meliputi faktor kognitif, afektif dan psikomotor setelah mengikuti proses pembelajaran yang diukur dengan menggunakan instrumen tes atau instrumen yang relevan. Jadi hasil belajar adalah hasil pengukuran dari penilaian usaha belajar yang dinyatakan dalam bentuk simbol, huruf maupun kalimat yang menceritakan hasil yang sudah dicapai oleh setiap anak pada periode tertentu. Prestasi belajar dapat diukur melalui tes yang sering dikenal dengan tes prestasi belajar. Tes merupakan sejumlah pertanyaan yang memiliki jawaban yang benar atau salah. Tes diartikan juga sebagai sejumlah pertanyaan yang membutuhkan jawaban, atau sejumlah pertanyaan yang harus diberikan tanggapan dengan tujuan mengukur tingkat kemampuan 766
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
seseorang untuk mengungkap aspek tertentu dari orang yang dikenai tes. (Harun Rasyid, 2007:12). berbagai faktor yang mempengaruhi proses dan prestasi belajar meliputi a. Faktor lingkungan diantaranya (1) Lingkungan alami Keadaan suhu dan kelembaban udara berpengaruh terhadap belajar peserta didik di sekolah. Belajar dalam keadaan udara yang segar akan lebih baik hasilnya daripada belajar dalam keadaan udara yang panas dan pengap, (2) Lingkungan sosial budaya. Lingkungan sosial budaya di luar sekolah mendatangkan problem tersendiri bagi kehidupan siswa di sekolah. Mengingat pengaruh yang kurang menguntungkan dari lingkungan pabrik, pasar, dan arus lalu lintas tentu akan berdampak pada proses belajar dan prestasi belajar peserta didik. b. Faktor instrumental diantaranya (1) kurikulum. Muatan kurikulum akan mempengaruhi intensitas dan frekuensi belajar peserta didik. Kondisi Psikologis Pemadatan kurikulum dengan alokasi waktu yang disediakan relatif sedikit secara psikologis disadari atau tidak menggiring guru pada pilihan untuk melaksanakan percepatan belajar peserta didik untuk mencapai target kurikulum. Jadi kurikulum diakui dapat menghambat proses dan hasil belajar peserta didik di sekolah (2) program, Program pengajaran yang guru buat akan mempengaruhi kemana proses belajar itu berlangsung. Gaya belajar anak digiring ke suatu aktivitas belajar yang menunjang keberhasilan program pengajaran yang dibuat oleh guru. Program pengajaran yang dibuat tidak hanya berguna bagi guru, tetapi juga bagi anak didik. Bagi guru dapat menyeleksi perbuatan sendiri dan kata -kata atau kalimat yang dapat menunjang tercapainya tujuan pengajaran. Bagi anak didik dapat memilih bahan pelajaran atau kegiatan yang menunjang ke arah penguasaan materi seefektif dan seefisien mungkin, (3) sarana dan prasarana, Sarana dan fasilitas mempengaruhi kegiatan pembelajaran mengajar disekolah. Anak didik tentu dapat belajar lebih baik dan menyenangkan bila suatu sekolah dapat memenuhi segala kebutuhan belajar anak didik. Masalah yang anak didik hadapi dalam relatif kecil. Hasil belajar anak didik tentu akan lebih baik. (4) guru, Untuk menjadi seorang guru yang baik itu tidak dapat diandalkan kepada bakat ataupun hasrat (emansipasi) ataupun lingkungan belaka, namun harus disertai kegiatan studi dan latihan serta praktek/ pengalaman yang memadai agar muncul sikap guru yang diinginkan sehingga melahirkan kegairahan kerja yang menyenangkan. Pendapat tersebut di atas cukup beralasan karena memang yang mempengaruhi hasil belajar anak didik tidak hanya latar belakang pendidikan/ pengalaman mengajar, tetapi juga dipengaruhi oleh sikap mental guru dalam memandang tugas yang diembannya. (5) kondisi fisiologis, Kondisi fisiologis pada umumnya sangat berpengaruh terhadap kemampuan belajar seseorang. Orang yang dalam keadaan segar jasmaninya akan berlainan belajarnya dari orang yang dalam keadaan kelelahan. Anak-anak yang kekurangan gizi ternyata kemampuan belajarnya di bawah anakanak yang tidak kekurangan gizi; mereka lekas lelah, mudah mengantuk, dan sukar menerima pelajaran. (6) kondisi psikologis Faktor -faktor psikologis yang utama mempengaruhi proses dan hasil belajar anak didik ada beberapa yaitu :minat, Adalah suatu rasa lebih suka dan rasa keterikatan pada suatu hal atau aktivitas, tanpa ada yang menyuruh. Minat pada dasarnya adalah penerimaan akan suatu hubungan antara diri sendiri. Semakin kuat dan dekat hubungan tersebut, semakin besar minat. kecerdasan, Seseorang yang memiliki intelegensi baik (IQ-nya tinggi) Umumnya mudah belajar dan hasilnya pun cenderung baik. Sebaliknya, orang yang intelegensinya rendah, cenderung mengalami kesukaran dalam belajar, lambat berpikir, sehingga prestasi belajarnya pun rendah. Kecerdasan mempunyai peranan yang besar dalam ikut menentukan berhasil tidaknya Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
767
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
seseorang mempelajari sesuatu atau mengikuti suatu program pendidikan dan pengajaran. Dan orang yang lebih cerdas pada umumnya akan lebih mampu belajar daripada orang yang kurang cerdas. bakat, Disamping intelegensi (kecerdasan), bakat merupakan faktor yang besar pengaruhnya terhadap proses dan hasil belajar seseorang. bakat memungkinkan seseorang untuk mencapai prestasi dalam bidang tertentu, akan tetapi diperlukan latihan, pengetahuan, pengalaman, dan dorongan atau motivasi agar bakat itu dapat terwujud. motivasi, Seringkali anak didik yang tergolong cerdas tampak bodoh karena tidak memiliki motivasi untuk mencapai prestasi sebaik mungkin. Selanjutnya Kuat lemahnya motivasi belajar seseorang turut mempengaruhi keberhasilan belajar. Karena itu, motivasi belajar perlu diusahakan, terutama yang berasal dari dalam diri (motivasi intrinsik) dengan cara senantiasa memikirkan masa depan yang penuh tantangan dan harus dihadapi untuk mencapai cita-cita. Senantiasa memasang tekad bulat dan selalu optimis bahwa cita-cita dapat dicapai dengan belajar. kemampuan kognitif Ada tiga kemampuan yang harus dikuasai sebagai jembatan untuk sampai pada penguasaan kemampuan kognitif, yaitu persepsi, mengingat, dan berpikir. Persepsi adalah proses yang menyangkut masuknya pesan atau informasi ke dalam otak manusia. Melalui persepsi manusia terus-menerus mengadakan hubungan dengan lingkungannya. Hubungan ini lewat indranya, yaitu indra penglihatan, pendengar, peraba, perasa, dan pencium. (Djamarah,2002).
Metode Penelitian Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode kuantitatif dengan jenis penelitian eksperimen, dengan rancangan Penelitian ini adalah : Desain 2 : Pre-test and Post-test Group. Adapun desain/ rancangan yang peneliti sebagai berikut: Hasil tes sebelum metode dijalankan
Variabel X Metode Pembelajaran Scramble
Variabel Y Tes evaluasi
Hasil Belajar Bahasa Arab
Hasil tes sesudah metode dijalankan
Didalam desain ini observasi dilakukan sebanyak 2 kali yaitu sebelum eksperimen dan sesudah eksperimen. Observasi yang dilakukan sebelum eksperimen (01) disebut pre-test, dan observasi sesudah eksperimen (02) disebut post-test. Perbedaan antara 01 dan 02 yakni 01 – 02 diasumsikan merupakan efek dari treatment atau eksperimen. (Arikunto, 2006) Penelitian diawali dengan menetukan subyek penelitian berdasarkan jumlah seluruh peserta siswa kelas V di MI Muhammadiyah Jombang Tahun Pelajaran 2013/2014 adalah 34
768
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
peserta didik. Menurut Arikunto (2006) di dalam bukunya mengatakan bahwa apabila subyeknya kurang dari 100 lebih baik diambil semua sehingga penelitiannya merupakan penelitian populasi, artinya bahwa peneliti mengambil seluruh siswa kelas V sebagai subyekTetapi, jika jumlah subyeknya besar, dapat diambil antara 10-15% atau 20-25%. Dari hal diatas maka diambilah penelitian ini adalah jenis penelitian populasi karena subyek kurang dari 100.
Prosedur Pengumpulan Data Prosedur pengumpulan data dengan menentukan tahap-tahap pengumpulan data sebagai berikut: 1. Tahap persiapan a.menentukan jenis data, b. menentukan sumber data c. menentukan analisis data 2. Tahap pelaksanaan Dalam tahap ini peneliti terjun langsung ke lokasi penelitian dengan mengadakan observasi dan mencari dokumen-dokumen yang diperlukan. 3. Tahap pengolahan Data Setelah data terkumpul, kemudian diolah dengan menggunakan rumus analisa data yang sesuai. Teknik Analisis Data yang digunakan peneliti dalam menguji hipotesis pada metode penelitian kuantitatif dengan jenis penelitian eksperimen dengan hasil yang diperoleh dari data observasi, tes, dokumentasi yaitu dengan menggunakan rumus statistik uji t-test (uji beda) dua sampel berpasangan karena sesuai dengan judul penelitian. Selanjutnya peneliti menggunakan rumus uji t-test karena bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya pengaruh, dan besarnya pengaruh Penerapan Model Pembelajaran Scramble dalam Meningkatkan hasil belajar Bahasa Arab siswa kelas V di MI Muhammadiyah Jombang. Dalam mengolah data peneliti menggunakan alternatif program SPSS 16.0 for Windows. Langkah-langkah melakukan analisis data sebagai berikut: 1. menentukan uji hipotesis nol (Ho) dan hipotesis alternatif (Ha); 2. mencari nilai probabilitas/ sig (p) dengan taraf signifikan (α) 5 %; 3. menentukan diterima atau ditolaknya Ho dan Ha dengan kriteria pengujian sebagai berikut: a. jika nilai p > α atau nilai t hitung < t tabel maka Ho diterima dan Ha ditolak b. jika nilai p < α atau nilai t hitung > t tabel maka Ho ditolak dan Ha diterima 4. kesimpulan.
Hasil dan Pembahasan Agar memperoleh data yang lengkap, tepat dan benar yang peneliti peroleh dari MI Muhammadiyah I Jombang peneliti menentukan tahap-tahap pengumpulan data sebagai berikut. Tahap persiapan yaitu menentukan jenis data, menentukan sumber data, dan analisis data. Data secara khusus yang dilakukan dalam pengumpulan data mengenai prestasi belajar peserta didik, didapatkan dari nilai tes peserta didik selama proses pembelajaran dengan menggunakan penilaian tertulis yang mengarah pada ranah kognitif. Setelah data hasil penelitian diperoleh langkah selanjutnya yang dilakukan peneliti adalah menganalisis data tersebut untuk mengetahui uji kebenaran hipotesis, yakni “Penerapan Model Pembelajaran Scramble dalam
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
769
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Meningkatkan Hasil Belajar Bahasa Arab siswa Kelas V MI Muhammadiyah I Jombang Tahun 2013/2014”. Hipotesis akan diuji dan dianalisis dengan teknik uji t (uji beda) dua sampel berpasangan. Sebelum ditetapkan kesimpulan dari hasil analisis tersebut, terlebih dahulu ditetapkan hipotesis. Ho = tidak ada Pengaruh “Penerapan Model Pembelajaran Scramble dalam Meningkatkan Hasil Belajar Bahasa Arab Siswa Kelas V MI Muhammadiyah I Jombang Tahun Pelajaran 2013/2014”. Ha= ada pengaruh “Penerapan Model Pembelajaran Scramble dalam Meningkatkan Hasil Belajar Bahasa Arab Siswa Kelas V MI Muhammadiyah I Jombang Tahun Pelajaran 2013/2014” . Dengan kriteria pengujian hipotesis: a. jika nilai p > α atau nilai t hitung < t tabel maka Hipotesis nol (Ho) diterima dan Hipotesis alternatif (Ha) ditolak. b. jika nilai p < α atau nilai t hitung > t tabel maka Hipotesis nol (Ho) ditolak dan Hipotesis alternatif (Ha) diterima. Adapun output atau hasil penghitungan atau pengolahan data dengan menggunakan SPSS 16.0 for Windows dengan metode paired sample T-tes secara lengkap dapat dilihat pada tabel. Table 7 t-test (paired sample statistics) Paired Samples Statistics Mean
N
Std. Deviation
Std. Error Mean
Pair 1 Hasil Sesudah
82,5529
34
8,05057
1.38066
Hasil Sebelum
73,8088
34
6,15232
1.05511
Sumber : diolah dari SPSS
Tabel 7. Paired samples statistics menunjukkan ringkasan dari rata-rata dan standard deviasi dari kedua perbandingan. Untuk yang sesudah dengan diterapkan model pembelajaran Scramble nilai rata-rata peserta didik adalah 82,5529. Sedangkan yang sebelum diterapkan model pembelajaran Scramble nilai rata-rata peserta didik adalah 73,8088. Table 8 t-test (paired samples test) Paired Samples Test Paired Differences 95% Confidence Interval of the Difference Mean Hasil Sebelum- 8,74412 Sesudah
Std. Deviation 5,80951
Std. Error Mean 9,9632
Lower 10,77115
Upper 6,71708
t 8,776
df
Sig. (2tailed)
33
.000
Dari hasil output Paired Sample Test. Pada tabel ini terlihat bahwa mean sebesar 8,74412 dengan standar deviasi sebesar 5,80951. Nilai t-hitung sebesar 8,776. Sedangkan nilai Sig (2tailed) sebesar 0.00 < 0.05 sehingga dapat disimpulkan bahwa Ha diterima, dan dapat dikatakan bahwa ada “Penerapan Model Pembelajaran Scramble dalam Meningkatkan Hasil Belajar Bahasa Arab Siswa Kelas V MI Muhammadiyah I Jombang Tahun Pelajaran 2013/2014”.
770
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Interpretasi Nilai tertinggi dari hasil belajar siswa sesudah diterapkan model pembelajaran Scramble adalah 100 dan nilai terendah adalah 73,3. Sedang nilai tertinggi dari prestasi belajar peserta didik yang sebelum diterapkan model pembelajaran Scramble adalah 93,3 dan nilai terendah adalah 53,3. Hasil analisis statistik dengan menggunakan aplikasi program SPSS 16.0 for Windows dengan metode paired sample T-tes didapat nilai Mean hasil belajar sesudah diterapkan model pembelajaran Scramble sebesar 82,5529 = 82,55 dan Mean hasil belajar sebelum diterapkan model pembelajaran Scramble sebesar 73,8088 = 73,81. Sehingga selisih dari rata-rata keduanya adalah 8,74412 = 8,74. Sementara nilai t-hitung didapat sebesar 8.776 = 8.78. Jika nilai ini dikonsultasikan pada daftar t-tabel dengan taraf signifikan (α) 5 % dan df = N - 1 = 33 maka didapatkan t-tabel sebesar 2,042. Sehingga t-hitung (8.78) > t-tabel (2,042). Selain itu dari hasil analisis dan statistik dengan menggunakan aplikasi program SPSS 16.0 for Windows juga didapatkan nilai probabilitas sebesar 0.00 karena nilai probabilitas < taraf signifikan (α) yang ditetapkan dan t-hitung > t-tabel, dengan keterangan angka 0.00 < 0.05 dan 8.78 > 2.042 maka Hipotesis nol (Ho) ditolak dan Hipotesis alternatif (Ha) diterima. Dari analisa uji statistik diatas maka dapat dinyatakan hipotesis alternatif (Ha) telah terbukti sehingga dinyatakan bahwa ada “Penerapan Model Pembelajaran Scramble dalam Meningkatkan Hasil Belajar Bahasa Arab Siswa Kelas V MI Muhammadiyah I Jombang Tahun Pelajaran 2013/2014”. Hal diatas membuktikan upaya peningkatan hasil belajar mata pelajaran Bahasa Arab siswa kelas V di MI Muhammadiyah I Jombang Tahun 2013/2014 dapat ditempuh melalui penerapan model-model pembelajaran kooperatif salah satu diantaranya dengan penerapan model pembelajaran Scramble. Karena dengan penerapan model pembelajaran Scramble ini mampu meningkatkan hasil belajar siswa. Hal ini terbukti pada saat penerapan model pembelajaran Scramble mata pelajaran Bahasa Arab pada peserta didik kelas V menunjukkan dapat merangsang keaktifan dalam kegiatan pembelajaran, membangun kretifitas, berpikir kritis, melatih kedisiplinan serta meningkatkan ketrampilan berbahasa yang meliputi aspek : menyimak, membaca, menulis dan berbicara. Selain itu memang terbukti model pembelajaran scramble mampu meningkatkan hasil belajar, sebab siswa yang lebih aktif dalam proses pembelajaran dan menjadi narasumber bagi siswa yang kurang mampu.
Simpulan Setelah dilakukan penelitian, deskripsi data, analisis data, interpretasi dan pembahasan, maka langka akhir dari suatu penelitian tersebut adalah pemberian simpulan dan yang dapat peneliti simpulkan sebagai berikut: 1. Penerapan Model Pembelajaran Scramble dapat meningkatkan hasil belajar Bahasa Arab siswa kelas V MI Muhammadiyah I Jombang Tahun Pelajaran 2013/2014. Hal ini dibuktikan dari hasil analisa data statistik. bahwa hipotesis alternatif (Ha) diterima dengan kriteria tertentu. 2. Nilai rata-rata hasil belajar siswa yang sesudah diterapkan model pembelajaran Scramble adalah 82,55. Sedangkan nilai rata-rata hasil belajar siswa sebelum diterapkan model pembelajaran Scramble adalah 73,81. Sehingga selisih dari rata-rata keduanya adalah 8.74. Hal ini menunjukkan bahwa proses pembelajaran dengan menerapkan model pembelajaran Scramble mempunyai pengaruh yang baik dalam meningkatkan prestasi belajar Bahasa Arab siswa kelas V MI Muhammadiyah I Jombang Tahun Pelajaran 2013/2014. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
771
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Daftar Pustaka Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Djamarah Bahri Syaiful. 2002. Psikologi Belajar. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Harun Rayid dan Mansur. 2007. Penilaian Hasil Belajar. Bandung: CV. Wacana Prima. Isjoni. 2009. Pembelajaran Kooperatif Meningkatkan Kecerdasan Komunikasi Antar Peserta Didik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Lindayani, Dyah Amiyah dan Murtadlo, M Ali. 2011. Manajemen Pembelajaran Inovatif. Surabaya: Arta Sarana Media. Muhibbin Syah, 2006, Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru, PT Remaja Rosdakarya, Bandung. Rusman, 2010, Model-model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru, Rajawali Pers PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Syaekhuddin, dkk, Belajar Bahasa Arab Untuk Madrasah Ibtidaiyah Kelas V, Jakarta: Penerbit Erlangga. Undang-Undang Dasar 1945 dan Amandemenya. Surakarta: Pustaka Mandiri www.sriudin.com/2011/07/model-pembelajaran-scramble.html, diunggah pada hari Senin, tanggal 6 April 2015.
772
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
“Javanesse Cultural School” (JCS) Untuk Anak Usia Dini: Sebuah Konsepsi Untuk Mengembalikan Karakter Lokal M. Syaifuddin S.18 ([emailprotected]) Erni Munastiwi 19 ([emailprotected]) Abstract With regard to erode cultural attention by the public at the level of the children, this study aims to formulate Cultural Based-Early Childhood Education. Borg & Gall’s Research & Development (2005) was the basic methodological disposal in formulating this study. The conception found was "Javanesse Cultual School" (JCS), which comprised several aspects of penetration such as; Language, Interiors, Fashion, Custom, Game, and Song. This six interiors were expected to be able to build Childhood ‘s cultural values. Keywords: cultural values, formulation, JCS Abstrak Berkenaan dengan mengikisnya perhatian cultural oleh masyarakat di tingkat anak-anak, Penelitian ini bertujuan untuk menformulasi Pendidikan Anak Usia Dini Berbasis Budaya. Metode Research and Development Borg & Gall 2005 menjadi dasar metodologis dalam menformulasi penelitian ini. Konsepsi yang telah ditemukan adalah “Javanesse Cultual School” (JCS) yang terdiri beberapa penetrasi aspek diantaranya; Language, Interiors, Fashion, Custom, Game, dan Song. Enam interior tersebut diharapkan mampu membangun nilai-nilai pada diri Anak Usia Dini. Kata Kunci: nilai cultural, formulasi, JCS
Pendahuluan Beberapa antropolog dan arkeolog telah membuktikan bahwa kearifan lokal di daerah manapun sedang mengalami pengikisan yang sangat drastis dan malah menjadi komoditaskomoditas binis lokalitas yang tidak mampu mengajarkan apapun kepada penduduknya melainkan menjadikan mereka individu-individu yang kapitalis. Dampak buruknya adalah karakter masyarakat lokal atau lokalitas kelompok masyarakat semakin sulit untuk diidentifikasi. Lebih parahnya lagi nilai-nilai lokalitas semakin menghilang akibat dihindari dan dibenci oleh empunya nilai itu sendiri, gengsi dan merasa ketinggalan dengan globalisasi. Akibatnya adalah disparitas sosial semakin homogen, sehingga sikap humanis masyarakat semakin menurun. Di Indonesia, khususnya Jawa, kenyataan tersebut tidak hanya terjadi pada masyarakat di tingkat dewasa, akan tetapi merambah kepada perilaku anak-anak. Akibat desakan kebudayaan dari luar, anak-anak semakin tidak mengenal karakter-karakter yang mengandung nilai-nilai tanah kelahirannya, akan tetapi mereka cenderung berkomunikasi dengan layar game yang menuntutnya untuk sibuk dengan dirinya sendiri tanpa belajar berinteraksi dengan masyarakat sekelilingnya dan tanpa mengenal permainan-permainan lokal yang mengajarkan ketangkasan, kecerdasan sosial dan keagungan sikap. Pendidikan anak usia dini merupakan pendidikan awal pembentukan manusia. Pada usia ini otak berkembang 80 persen sampai usia 8 tahun. Penelitian menunjukkan bahwa anak lahir 18 19
Dosen Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris, STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia Dosen Jurusan pendidikan anak usia dini, UIN Sunan Kalijaga Yogjakarta
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
773
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
dengan 100 milyar sel otak. Ketika memasuki usia dini, koneksi tersebut berkembang sampai beberapa kali lipat dari koneksi awal yaitu sekitar 20.000 koneksi (Jalongo: 2007: 77) 20. Pernyataan tersebut membuktikan bahwa pengenalan dan penanaman nilai-nilai kultural harus dimulai sejak usia dini agar identitas lokal masyarakat tetap kuat meski bersinggungan dengan kultur dan material manapun. Akhir-akhir ini bahkan muncul gaya hidup baru bahwa anak usia dini banyak di sekolahkan di sekolah-sekolah PAUD internasional yang menamakan dirinya sebagai International Pre-School. Di satu sisi hal ini baik buat pengembangan wawasan anak usia dini, akan tetapi di sisi yang lain mengakibatkan anak usia dini tidak pernah mengetahui nilai-nilai nenek moyangnya. Tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk tetap mempertahankan karakter sosial masyarakat Indonesia sesuai dengan dengan pengertian pendidikan karakter dalam PP No.58 yaitu pendidikan yang melibatkan penanaman pengetahuan, kecintaan dan penanaman perilaku kebaikan yang menjadi sebuah pola/kebiasaan. Maka pengetahuan yang ditanamkan adalah berbagai pengetahuan yang bermanfaat bagi kehidupan siswa mendatang. Kecintaan adalah kecintaan terhadap sesama serta kecintaan terhadap identitas negeri. Penanaman perilaku kebaikan adalah perilaku yang berdasarkan nilai-nilai budaya bangsa. Untuk mencapai tujuan tersebut maka perlu adanya sebuah formulasi setting pendidikan anak usia dini yang mencerminkan nilai-nilai lokal masyarakatnya. Di Indonesia, khususnya di Jawa, tiap daerah mempunyai nilai-nilai lokal yang fariatif, sehingga formulasinya harus mampu secara fleksible mengikuti alur budaya yang diyakini. Oleh karena itu diperlukan adanya sebuah penelitian yang mendalam dimulai dengan sebuah formulasi setting Javanese Cultural School, kemudian dilanjutkan dengan pelaksanaan, dan pemantauan perkembangan karakter peserta didik.
Metode Penelitian Penelitian ini lebih mengedepankan kajian-kajian kualitatif dengan menginterelasikan dua metode yang keduanya sangat konstruktif untuk dipakai dalam sebuah formulasi pendidikan yang bersifat kultural. Untuk menformulasi Javanesse Cultural School penelitian ini memadukan metode R & D dan Ethnography atau bisa disebut Etnographical R&D. Perpaduan ini bertujuan untuk saling melengkapi, artinya sebuah R&D diimplementasikan dalam nuansa etnografis, sehingga sehingga perkembangan karakter peserta didik mampu dideskripsikan, baik secara sosiologis maupun psikologis. Borg dan Gall (1983: 772) menyatakan bahwa penelitian dan pengembangan (R&D) adalah suatu proses yang digunakan untuk mengembangkan atau mengvalidasi produk-produk yang dugunakan dalam pendidikan dan pembelajaran, dalam artian pendekatan R&D ini sangat cocok untuk menilai atau mengverifikasi berbagai model dalam pembelajaran dalam proses belajar mengajar di lembaga pendidikan atau bahkan untuk menilai atau mengverifikasi pola atau model pendukung terhadap jalannya belajar mengajar seperti halnya supervisi pendidikan21. Tahap-tahap yang harus dilalui dalam R&D ini adalah; 1) tahap penelitian dan pengumpulan informasi (research and information collecting); 2) tahap perencanaan (planning), 3) membangun pra-rencana produk (develop prelimnary form of product), 4) tahap melakukan uji pendahuluan di lapangan (preliminary field testing), 5) tahap melakukan revisi produk 20 21
Jalongo, Mary Renck. 2007. Early Childhood Language Arts. USA: Pearson Education, Inc. Borg, W.R.& Gall, M.D. (1983). Educational Research: an Inroduction. Fourth edition. New York: Longman.
774
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
operasional (operational product revision), 6) tahap melakukan uji produk di lapangan (main field testing), 7) tahap revisi produk operasional (operasional produ revision), 8) tahap melakukan uji operasional di lapangan (operational field testing), 9) tahap revisi produk akhir (final product revision), 10) tahap penyebaran dan pelaksanaan (dissemination and implementation) Borg & Gall (1989: 784-785). Fungsi R&D dalam penelitian ini adalah sebagai dasar untuk menformulasi bentukbentuk pendidikan yang spesifik. Sedangkan Ethnography berfungsi sebagai metode untuk melihat perkembangan peserta didik, baik secara psikologis maupun sosial, sehingga data yang dihasilkan cenderung lebih natural. Alasan utama penggunaan metode ethnography adalah bahwa anak usia dini merupakan masa-masa keemasan untuk berkembang, maka tidak seharusnya diganggu dengan kepentingan penelitian yang sifatnya tampak melibatkan mereka. Membiarkan mereka berkembang secara alami, di sisi yang lain peneliti memahami secara kultural dengan berperan sebagai insider. Alasan tersebut diperkuat oleh pernyataan Aubrey. At. All (2005) bahwa: The aim of ethnography is to make a person’s implicit behaviours explicit, in the belief that these insights will lead to a greater understanding of why people do the things they do. Ethnography also aims to help us understand others and ourselves a little better. Ethnographers are interested in patterns of behaviour, and the impact and consequences of human actions. Central to ethnography is the belief that human behavior is rule bound and rule governed. Ethnographers believe that through systematic observation they may come to identify recurring patterns of human behaviour and social activity22. Pernyataan tersebut mengindikasikan bahwa dengan pendekatan ethnography, peneliti akan mampu memahami alasan-alasan tentang berbagai hal yang dilakukan oleh peserta didik. Perkembangan peserta didik, baik scara intercultural maupun ekstrakultural menjadi ukuran utama keberhasilan konsep Javanesse Cultural School. Pendekatan ini lebih terfokus kepada pengamatan mendalam terhadap perilaku individu, baik objek penelitian atau individu-individu yang berada di sekitar objek penelitian.
Hasil Penelitian Penelitian dilakukan dengan melakukan beberapa tahap diantaranya; 1) formulasi Javanese Cultural School , 2) kedua adalah aplikasi Javanese Cultural School dalam waktu satu bulan, 3) evaluasi Javanese Cultural School, 4) aplikasi Javanese Cultural School tahap kedua, dan 5) evaluasi aplikasi tahap akhir.
Formulasi Javanese Cultural School Javanese Cultural School (JCS) diformulasi berdasarkan alasan yang kuat diantaranya adalah: 1) kemunduran pemahaman budaya yang dialami oleh kebanyakan masyarakat Jawa, 2) menurunnya sikap-sikap ke-Jawaan atau adat-istiadat yang seharusnya dianut oleh orang Jawa, dan 3) semakin berkurangnya media-media yang bertugas metransfer nilai-nilai Jawa, baik media seni, pembelajaran dan sebagainya. Tujuan awal JCS adalah diperuntukkan untuk semua tingkat satuan pendidikan, akan tetapi konsep yang paling utama ditanamkan pada anak usia dini. Oleh karena itu rancangan konseptual ini merupakan rancangan konseptual JCS yang difokuskkan untuk anak usia dini. 22
Carol Aubrey, Tricia David, Ray Godfrey and Linda Thompson. Early Childhood Educational Research published in the Taylor & Francis e-Library, 2005.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
775
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Anak usia dini mengalami perkembangan signifikan di umur satu sampai delapan tahun. Umur tersebut merupakan masa imitative, artinya anak memulai aktifitas-aktifitas mengimitasi figure yang ada disekelilingnya, karakter individu yang ada disekelilingnya. Memang, banyak dikatakan bahwa anak membawa karakter bawaannya sendiri-sendiri, akan tetapi pengaruh dunia sosial di sekelilingya lebih signifikan membentuk siapa dia. Kemunduran pemahaman budaya yang dialami anak disebabkan oleh kemunduran pemahaman budaya yang dialami oleh orang tuanya. Sedangkan kemuduruan pemahaman budaya yang dialami oleh orang tuanya bisa jadi disebabkan oleh hal yang sama atau desakan dari budaya luar yang membuatnya terpaksa berubah. Hasilnya adalah, penurunan nilai-nilai budaya sendiri dan banyak mengadopsi budaya yang mencoba mendesak dia dari luar. Budaya dari luar tersebut bisa jadi berbentuk materi atau media yang lebih membuat dia tertarik untuk mendapatkannya karena materi atau media dari dalam lebih bersifat lemah daripada yang dari luar. Oleh karena itu, fungsi JCS adalah menciptakan materi atau media budaya sebagai alat untuk mentranformasi budaya pada umur anak yang paling dasar. Materi atau media tersebut dirangkum dalam bentuk sekolah karena sekolah karna pembatasaanya lebih terkontrol daripada ketika media atau materi tersebut dilepas di langsung di masyarakat. Konsep JCS secara makro adalah sebagai berikut: LANGUAG
JC S
E INTERIO RS
JAWA
FASHIO N CUSTO M GAME
ATTITU DES
VALUES
SONG Konsep JCS adalah konsep menvisualisasikan kembali nuansa Jawa dalam sebuah sekolah. Artinya sekolah tersebut tidak hanya mengajarkan etika-etika Jawa, akan tetapi mengkondisikan peserta didik seperti berada di lingkungan masyarakat Jawa yang sebenarnya. Tentunya, guru dan seluruh lingkungan sekolah diperlukan untuk benar-benar paham semua unsur tersebut. Konsep ini diawali dengan language, bahasa mempunyai peranan penting untuk membangun karakter ana usia dini. Bahasa Jawa yang terdiri dari tiga tingkatan yang ketiganya difungsikan untuk berkomunikasi dengan tipe individu yang berbeda, diindikasikan mampu memberikan pemahaman kepada anak usia dini tentang memberikan penghargaan kepada orang lain meski hanya dengan menggunakan media wicara. Tingkatan tersebut di antaranya adalah; 1. Ngoko, level bahasa ini cenderung difungsikan untuk berbicara dengan individu yang sama umurnya. Seperti halnya teman sekelas menunjukkan bahwa level umur mereka sama, sehingga untuk mengatakan kamu, maka digunakan kata kon, awakmu, atau peno. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam masyarakat Jawa ketika individu satu bicara dengan individu lain yang sama umurnya, maka yang disuguhkan adalah keakraban, kegotongroyongan. Tidak ada sekat apapun dalam berkomunikasi antar sebaya. 776
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
2. Kromo, level bahasa ini difungsikan untuk berkomunikasi dengan orang yang umurnya sedikit lebih tua dari kita. Adik ketika bicara dengan kakaknya, adik kelas ketika bicara dengan kakak kelasnya, keponakan ketika bicara dengan pamannya. Pada intinya level tetap menggunakan bahasa ngoko, akan tetapi ada beberapa pattern yang dirubah, seperti halnya ketika mengatakan ‘kamu’ ke orang yang sedikit lebih tua, maka pattern tersebut berubah menjadi ‘sampean’. Fungsi etis dalam level bahasa ini adalah untuk menghormati orang yang; lebih dulu ahir, lebih dulu tahu, dan atau mempunyai orang tua yang menjadi kakak atau paman dari orang tua kita. 3. Kromo Inggil, yang cenderung berfungsi sangat spesifik, yakni untuk berkomunikasi dengan orang yang sangat dihormati, dituakan, disegani, dan atau diagungkan dalam lingkup keluarga maupun masyarakat. Misalnya jika kita mengatakan ‘sampean’ terhadap kakak kita, maka terhadap orang tua, tokoh masyarakat, atau guru kita dengan sebutan ‘panjenengan’. Aspek bahasa tidak bisa disepelekan begitu saja, karena aspek ini mempunya andil besar dalam pembentukan karakter anak usia dini. Ketika anak usia dini terbiasa menghormati orang yang lebih tua, maka secara natural ia akan menjadi lebih humanis kepada siapapun. Ketika anak usia dini terbiasa dengan pola komuniasi yang santun, maka ia akan terbiasa berperilaku santun dan mampu menahan diri dari sikap emosional. Interiors merupakan aspek yang tidak kalah penting dengan bahasa. Kenapa interior menjadi hal yang relative signifikan dalam pembentukan karakter anak usia dini? Jawabannya ialah bahwa anak usia dini perlu dikondisikan untuk mengenal masa lalu nenek moyangnya lewat media visual aktif. Artinya media visual berupa bentuk desain sekolah Jawa bukanlah media visual pasif seperti halnya berbagai video yang telah tersedia jutaan jenisnya di jejaring sosial. Media visual aktif ialah penonton atau penikmat mampu meraba, merasakan, dan memahami tiap lekuk objek pembelajarannya dan bahkan mampu membiasakan diri dengan objek tersebut serta mampu meneretas ke dalam dimensi sejarah atas bimbingan para gurunya.
Gambar 2: http://rumahoke.com/wp-content/ uploads/2014/06/desain-rumah-jawa-kuno-5.jpg
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
777
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Jika sebuah pendidikan anak usia dini berbasis budaya menggunakan lokasi belajar pada rumah yang berinterior seperti contoh di atas, hal tersebut mampu memberikan nuansa tersendiri bagi peserta didik. Lingkungan belajar paling tidak harus mempunyai tema yang mampu mengarahkan peserta didik untuk mendapatkan gambaran-gambaran tertentu tentang latar belakang sebuah kebudayaan. Lingkungan sekolah yang dikondisikan berbudaya akan membawa peserta didik secara alamiah berbudaya pula. Fashion. Menyesuaikan dengan interior yang diberi nuansa tradisional, maka pakaian atau kostum yang dipakai oleh peserta didik adalah kostum-kostum yang cenderung tradisional. Kostum yang dipakai dalam JCS ini merupakan kostum tematik. Fungsi pemakaian busana tradisional tersebut adalah untuk mengenalkan kembali pada peserta didik tentang berpakaian menurut adat, bermartabat budaya, dan memberikan kebanggaan tersendiri bagi tiap pemakainya. Dalam masyarakat Jawa, busana adalah sebuah eksistensi diri, sebuah identitas golongan masyarakat. JCS memberikan ruang bagi peserta didik untuk memahami dan merasakan secara etnografis bagaimana merasakan busana berbagai golongan. Dalam konsep JCS peserta didik dikenalkan dengan tiga jenis busana, yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat seperti contoh di bawah ini;
Jawa Timur
Jawa Tengah
Jawa Barat
Pengenalan busana tersebut semata-mata agar peserta didik tahu bahwa potensi lokal mereka sangat kaya. Pengenalan tersebut diberlakukan dengan cara sebagai berikut; 1) dalam satu minggu ada tiga hari waktu untuk berpkaian adat, 2) tiga hari yang lain peserta didik dibiasakan memakai searagam indentitas Nusantara, yakni Batik. Tujuan daripada itu semua adalah menumbuhkan satu kecintaan dan image kepada anak usia dini, bahwa pakaian yang bagus adalah pakaian lokal yang penuh karakter dan bukan pakaian yang selama ini tampak di televisi. Dalam pikiran mereka pastinya akan terjadi berbagai gesekan, akan tetapi pembiasaan untuk memakai pakaian tradisional merupakan cara untuk melegitimasikan dalam diri anak usia dini bahwa pakaian lokal mereka adalah yang terbaik daripada pakaian yang lain-lain. Custom dalam hal ini adalah kebiasaan. Berbicara tentang kebiasaan, maka hal ini mempunyai hubungan erat dengan etika. Artinya, etika merupakan alasan-alasan fundamental tentang sikap hidup masyarakat jawa sehari-hari. Prinsip dasar etika Jawa adalah prinsip rukun dan hormat (Suseno, 1985:39)23. Prinsip rukun utuk mempertahankan masyarakat dalam keadaan harmonis, Rukun mengandung usaha terus menerus oleh semua individu untuk bersikap tenang dang menyingkirkaan hal-hal yang bersifat kekerasan. Prinsip hormat, 23
Suseno Franz Magnis, 1985, Etika Jawa, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
778
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
hendaknya ketika individu berbicara dan bersikap terhadap mengandung sikap hormat sesuai dengan derajat dan kedudukannya Bagi orang Jawa, manusia yang bijaksana adalah manusia yang menjaga ketentraman satu sama lain, sehingga aturan-aturan hidupnya-pun mencerminkan sebuah kebersamaan dan saling menghargai. Kebiasaan masyarakat Jawa yang diterapkan dalam JCS adalah etika-etika sederhana yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Pendidikan yang berhubungan dengan etika bisa juga disebut dengan pendidikan Budi Pekerti. Beberapa kebiasaan orang Jawa yang dapat diterapkan diantaranya adalah: 1. Puluk, ialah sebuah kebiasaan orang Jawa untuk makan dengan menggunakan tangan secara langsung. Kebiasaan ini diperlukan untuk membiasakan seseorang agar bersikap sederhana. Mengatur volume makanan yang akan dimasukkan ke dalam mulut dengan perkiraan indra peraba tangan. 2. Mlaku Mbungkuk, ketika seseorang yang lebih muda lewat didepan orang tua, maka jalan seseorang tersebut selayaknya membungkuk. Hal ini berfungsi untuk menghormati diri dan keberadaan orang tua tersebut yang tentunya telah hidup lebih lama dari kita. 3. Lungguh, atau duduk. Bagi orang Jawa cara duduk bagi laki-laki dan wanita berbeda. Jika laki-laki cenderung sila¸atau menyilangkan kaki kanan ke kiri dan sebaliknya, sedangkan perempuan sendeklu, yakni merapatkan paha kanan dan kiri. Hal ini berfungsi secara klinis dan psikologis. Sila adalah lambing kelaki-lakian sedangkan sendeklu secara klinis mampu menjaga organ kewanitaan. 4. Ora ilok, adalah beberapa larangan orang Jawa yang mempunnyai makna dalam keseharian kita. Beberapa larangan tersebut diantaranya; a. Mangan karo ngomonong, makan sambil berbicara. Pada faktanya banyak masyarakat kita yang justru menggunakan acara makan sebagai wahana bincang-bincang, akan tetapi orang Jawa melarang hal tersebut. Alasan utamanya adalah alasan klinis dan etis. Secara klinis makan sambil berbicara dapat mengakibatkan tersedak dan mengganggu proses mengunyah. Sedangkan secara etis makan sambil berbicara itu dianggap tidak menghormati makanan. Bagi orang Jawa makanan itu adalah benda hidup, sehingga ketika makan harus dirasakan sambil menyatakan rasa sukur dalam hati bahwa pada twrsebut telah diberi kebaikan oleh Tuhan berupa makanan. b. Lungguh neng nduwur bantal mengko wudunen, tidak boleh duduk di atas bantal nanti bisulan. Memang tidak logis, akan tetapi hal ini bertujuan untuk mengajari anak agar mampu menempatkan sesuatu pada tempat dan prosinya. Perilaku-perilaku Jawa di atas hanyalah contoh kecil dari etika orang Jawa yang karakternya cenderung sederhana, menghargai satu sama lain, dan mensukuri atas kuasa Tuhan. Hal tersebut adalah konsep orang Jawa dalam memahami hidup damai. Game, atau permainan. Orang Jawa, mempunyai banyak jenis permainan yang sifatnya membangun ketangkasan, kecerdasan, dan kesetiaan terhadap teman. Beberapa permainan tersebut diantaranya; a. Betengan, Sekitar enam sampai sepuluh anak dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama dan kelompok kedua. Setiap kelompok berkumpul di sebuah tiang atau pohon yang berjarak sekitar 15 meter. Tiang ini disebut dengan beteng. Tugas utama adalah merebut atau menyentuh beteng musuh. Permainan dimulai ketika salah satu anggota kelompok (A1) berlari mendekat ke arah tiang kelompok kedua. Kemudian salah satu anggota kelompok kedua (B1) harus menyentuh anggota kelompok pertama yang tadi berlari mendekat. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
779
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
b. Delikan, Sekitar 5 – 10 anak berkumpul kemudian mereka melakukan hompimpa untuk menentukan satu anak yang jadi. Satu anak tersebut berdiri di sebuah tiang sambil menutup mata dan menghitung atau mengucapkan wis…wis? (sudah). Sementara anak yang lain harus sembunyi.Sambil bilang durung..durung (belum). Jika satu anak tersebut sudah tidak mendengar ucapan durung, berarti dia harus mulai mencari. Permainan ini diakhiri jika satu anak tersebut sudah berhasil menemukan teman-teman yang dicarinya, minimal satu anak. c. Jamuran, Permainan yang ketiga adalah jamuran. Sekitar 6-10 anak sambil bergandengan tangan mengelilingi seorang anak yang berada di tengah. Kemudian mereka berputar sambil menyanyikan lagu Jamuran. Jamuran ya ge ge thok Jamu apa ya ge ge thok Jamur gajih mberjijih sak ara-ara Semprat-semprit Jamur apa Setelah lagu berhenti, maka anak-anak juga berhenti berputar. Permainan ini juga sering dilakukan di sebuah lapngan yang luas di bawah pendaran cahaya bulan pernama. Permainan di atas hanyalah beberapa contoh permainan Jawa. Dari tiga permainan tersebut bisa dpahami bahwa permainan betengan benar-benar mengajar ketangkasan, artinya anak dikondisikan untuk mampu mempertahankan apa menjadi tanggunjawabnya. Sedangkan Delikan mengajarkan intuisi dan kecerdasan berfikir anak. Artinya anak diajari untuk memperkirakan berbagai kemungkinan tentang persembunyian lawan. Jamuran merupakan permainan yang bersifat teamworking, artinya anak diajarkan tentang bagaimana melakukan sebuah kerjasama dengan orang lain. Song, orang Jawa merupakan individu yang penuh dengan nyanyian. Beberapa aspek hidup mereka sering beriringan dengan nyanyian. Seperti halnya ketika membajak sawah, mereka sering melantunkan lagu-lagu lamban yang memberikan dorongan dalam batinnya untuk bersikap sabar. Lagu anak-anak juga banyak sekali mewarnai dolanan-dolanan anak seperti halnya; cublek-cublek suweng, lir-ilir, sor kuplok, dan sebagainya yang rata-rata mempunyai ajaran dasar untuk anak. Satu contoh lagu sor kuplok yang hanya terdiri satu bait; sor kuplok padhang mbulan esok-esok mangan ketan, dudohe setengah wajan, ibuhe tele’e jaran. Sor Koplok mencoba memberi gambaran reflektif bahwa Sor Koplok tetaplah ngisore kuplok (di bawah topi) ada otak yang mampu meneretas melintasi ruang dan waktu. Jika otak terasa liar dan mempertuhankan segalanya, maka kembalikan ia ke hati, karena hati adalah mikro kosmos yang mampu menjaga keseimbangan kosmos dalam bentuk apapun (syaifuddin, 2013: 04)24. JCS adalah sebuah sekolah yang konstruksi kurikulumnya adalah kurikulum berbasis Jawa. Semua unsur Jawa masuk, baik dari segi bahasa, bentuk fisik sekolah (interior), pakaian (fashion), kebiasaan (custom), permainan, dan berbagai lagunya. Semua unsure tersebut dilibatkan untuk memberikan nuansa ajaran dasar kepada anak usia dini, sehingga karakter kejawaan begitu melekat.
Simpulan Berdasarkan berbagai pengamatan yang mendalam, konsepsi sekolah anak usia dini berbasis kultural yang juga disebut sebaga JCS harus melibatkan berbagai unsur diantaranya adalah; 1) bentuk fisik sekolah (interior), 2) pakaian (fashion), 3) kebiasaan (custom), 4) 24
Sholih, Muhammad Syaifuddin, 2013. Sor Kuplok. Matahari Publishing Yogyakarta
780
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
permainan, dan 5) lagu-lagu. Lima unsure tersebut berpadu dalam rangkaian kurikulum anak usia dini, sehingga rasa cinta terhadap budaya lokal akan semakin tumbuh. Jika rasa cinta terhadap budaya Jawa semakin tumbuh, konsekwensinya adalah generasi muda akan berusaha menghidupkan kembali budaya lokalnya dengan memadukan teknologi yang sedang berkembang sesuai dengan zamannya.
Daftar Pustaka Archaeologizing Heritage? Transcultural Entanglements between Local Social Practices and Global Virtual Realities Proceedings of the 1st International Workshop on Cultural Heritage and the Temples of Angkor (Chair of Global Art History, Heidelberg University, 2–5 May 2010) http://rumahoke.com/wp-content/ Jalongo, Mary Renck. 2007. Early Childhood Language Arts. USA: Pearson Education, Inc. Sholih, Muhammad Syaifuddin, 2013. Sor Kuplok. Matahari Publishing Yogyakarta Suseno Franz Magnis, 1985, Etika Jawa, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
781
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Pelaksanaan Pendidikan Inklusif Pada Sekolah Dasar Di Kabupaten Banyuwangi Aliya Fatimah 25 ([emailprotected]) Abstract The purpose of this research is to describe (1) The implementation of inclusive education in Islamiyah Muhammadiyah school Banyuwangi. (2) The availability of equipment an inclusive education. (3) The effectiveness of implementation on inclusive education in Banyuwangi Regency. This research have be done in Islamiyah Muhammadiyah school in Banyuwangi Regency. This research were analized by using kualitatif approach. The data collected by interview, observation, documentation and picture. Beside a head master as aresourcher, this writer also used same informant to support this study. This research slowed that: (1) The implementation of inclusive education at elementary scholl in Banyuwangi Regency to govermant policy namely KTSP, an it was arranged based on the unit of education and the still not effective and it is need the perfection. The class management that was used by the Theachers has ideal approach, the teacher’s group work (KKG) for GPK (special treatment’s teacher does not follow well. (2) The implementation of inclusive education still has immaterial characteristic that is only motivation, and the school does not have a medium or facilities to support thelearning proses. (3) The effectiveness of inclusive education in Banyuwangi Regency, the implementation of inclusive education still not organized bacouse it does not have any support from Banyuwangi government in order that the result is not effective. Key words: The Inplementation of inclusive education at elementary school. Abstrak Tujuan penelitian ini adalah mendiskripsikan (1) Pelaksanaan pendidikan inklusif di MI Islamiyah Muhammadiyah Banyuwangi, (2) Ketersediaan daya dukung dari pelaksanaan pendidikan inklusif, (3) Efektifitas pelaksanaan pendidikan inklusif di Kabupaten Banyuwangi. Penelitian ini dilakukan di MI Islamiyah Muhammadiyah Kabupaten Banyuwangi. Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Metode pengambilan data dilakukan dengan wawancara mendalam, observasi, dokumentasi, dan foto. Informan yang terlibat adalah kepala sekolah, guru, dan beberapa narasumber. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Pelaksanaan pendidikan inklusif yang ada di sekolah dasar di Kabupaten Banyuwangi menggunakan kurikulum yang mengacu pada kebijakan pemerintah yaitu KTSP, tetapi belum efektif dan masih perlu penyempurnaan. (2) Daya dukung yang dirasakan oleh sekolah penyelenggara pendidikan inklusif masih bersifat non materiil yang berupa motivasi, untuk dukungan sarana prasarana atau fasilitas untuk pendidikan inklusif belum ada. (3) Efektivitas pendidikan inklusif di sekolah dasar Banyuwangi sudah berjalan tetapi belum terorganisasi hal tersebut dikarenakan belum adanya dukungan dari pemerintah Banyuwangi sehingga pelaksanaannya belum efektif. Kata kunci : Pelaksanaan Pendidikan Inklusif Sekolah Dasar.
Pendahuluan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasa l5 ayat 1 menyebutkan setiap warga Negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan bermutu. Undang-undang tersebut diisyaratkan bahwa pemerintah melalui Menteri Pendidikan nasional untuk menyelenggarakan pendidikan bermutu untuk semua warga negara Indonesia
25
Universitas Bakti Indonesia Banyuwangi, Jawa Timur, Indonesia
782
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
tanpa kecuali. Hal yang demikian ini juga berlaku bagi anak-anak yang memiliki hambatan dalam belajar atau Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Pendidikan khusus merupakan penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. (UU sisdiknas 20/2003, Psl. 15) Pendidikan khusus juga diberikan bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa. Pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa berfungsi mengembangkan potensi keunggulan peserta didik menjadi prestasi nyata sesuai dengan karakteristik keistimewaannya. Pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa ini bertujuan mengaktualisasikan seluruh potensi keistimewaannya tanpa mengabaikan keseimbangan perkembangan kecerdasan spiritual, intelektual, emosional, sosial, estetik, kinestetik, dan kecerdasan lainnya. Pendapat ini mempertegas bahwa pendidikan yang diselenggarakan secara terintegrasi, kurang memberikan makna yang universal terhadap pelayanan pendidikan. Pendidikan terintegrasi masih bernuansa diskriminasi, berbeda dengan sistem inklusi. Pendidikan inklusi menghadirkan lingkungan belajar yang menyenangkan, termasuk kelas harus dikelola sedemikian rupa, sehingga anak-anak belajar dikelas dalam suasana lingkungan yang nyaman, menyenangkan, mudah beraktifitas. Bentuk dan muatan kurikulum di desain sesuai dengan kebutuhan, memaksimalkan potensi anak dan memberikan pembelajaran yang relevan dengan kebutuhan anak secara obyektif. Perlakuan secara objektif terhadap anak belum banyak dilakukan dilembaga-lembaga pendidikan, kebanyakan lembaga pendidikan hanya memberikan pelayanan secara umum, kurang memberikan kesempatan bagi anak-anak berkebutuhan khusus belajar bersama dengan anak normal pada umumnya, sebenarnya setiap anak seyogyanya mendapatkan pelayanan secara obyektif (Muhammad, 2008:48). Pendidikan untuk semua (Education for All) menuju inklusi merupakan konsekwensi dari diterbitkannya Konvensi Hak Anak (KHA) yang diproklamirkan dalam piagam PBB tanggal 20 Nofember 1989, bahwa anak-anak karena kerapuhannya, memerlukan asuhan dan perlindungan khusus. Konvensi Hak Anak menempatkan penekanan khusus pada tanggung jawab keluarga atas pengasuhan dan perlindungan utama. Dengan demikian peran keluarga sangat strategis dalam upaya ikut mensukseskan pengembangan sekolah inklusi, begitu juga stakeholder. Anak-anak luar biasa mendapatkan pendidikan di sekolah luar biasa (SLB) sesuai dengan spesialisasinya, yaitu SLB-A untuk sekolah anak tuna netra, SLB-B untuk sekolah anak tuna rungu, SLB-C untuk sekolah anak tuna grahita, SLB-D untuk sekolah anak tuna daksa. Selain SLB juga disediakan Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), sekolah ini menampung berbagai jenis anak berkelainan, sehingga di dalamnya mungkin terdapat anak tuna netra, tuna rungu, tuna grahita, tuna daksa,atau mungkin tuna ganda, system ini merupakan model segregasi untuk menuju integrative, atau dikenal dengan pendidikan terpadu, yaitu dengan mengintegrasikan anak luar biasa ke sekolah reguler, namun masih terbatas pada anak-anak yang mampu mengikuti kurikulum di sekolah tersebut. Kebijakan tersebut dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang mengisyaratkan bahwa pemerintah harus memberikan pelayanan pendidikan bermutu untuk semua tanpa adanya diskriminasi.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
783
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Pendidikan inklusi adalah pendidikan yang memberikan pelayanan pendidikan bermutu kepada semua anak yang termarjinalisasikan, terpinggirkan, dan terisolir serta memberikan bimbingan kepada peserta didik yang memiliki berbagai perbedaan latar belakang ekonomi, budaya, social, agama, bahasa, lamban belajar (slow leaner), kesulitan belajar,diskakulia, disgrafia, disleksia, tuna grahita, tuna netra, tuna laras, hiperaktif, autism serta kebutuhan lainnya. Dengan demikian memunculkan sebuah pertanyaan besar, apakah mampu sekolah regular melaksanakan pendidikan inklusi. SDN Rogojampi 3, SDN Watukebo 3, MI Islamiyah Muhammadiyah dan SDN Boyolangu 2 adalah sebagian sekolah yang menyelenggarakan pendidikan inklusi di kota Banyuwangi, sekolah tersebut memberikan pelayanan pendidikan pada semua anak tanpa memandang latar belakang anak. Anak biasa (normal) belajar bersama-sama dengan anak yang berkebutuhsn khusus (ABK) dengan pelayanan sama. Pendidikan Inklusi yang pada dasarnya adalah merupakan penggabungan dari pendidikan regular dengan anak yang berkebutuhan khusus tentungan memiliki berbagai hambatan dan masalah, Adapun hambatan yang ada disekolah-sekolah inklusi ini tentunya lebih banyak di banding sekolah regular biasa, beberapa hambatan yang sampai sekarang masih menjadi satu permasalahan antara lain kurangnya guru pembimbing khusus karena pada dasarnya guru-guru yang ada disekolah regular adalah guru yang dari luar pendidikan luar biasa, kemudian masalah sarana dan prasarana juga merupakan salah satu hambatan dalam proses pembelajaran. Untuk di daerah Banyuwangi sendiri permasalahan yang juga menjadi hambatan sekolah inklusi adalah belum adanya payung hukum dari pemerintah daerah, dan bagaimana sekolah tersebut bisa mengatasi dan menyelesaikan permasalahan yang ada, hal tersebut merupakan sesuatu yang sangat menarik untuk diteliti. Apakah pendidikan inklusi yang dilakukan sudah sesuai dengan harapan pemerintah dan masyarakat sebagai pengguna jasa pendidikan. Sesuai dengan uraian diatas maka Peneliti tertarik untuk meneliti Pendidikan Inklusif pada MI Islamiyah Muhammadiyah Kabupaten Banyuwangi. Hal tersebut dikarenakan MI Islamiyah Muhammadiyah merupakan sekolah termuda dalam penyelenggara pendidikan inklusif akan tetapi sudah dapat dijadikan sebagai model pelaksanaan sekolah inklusif khususnya di sekolah dasar Kabupaten Banyuwangi. Bertolak dari permasalahan dan informasi diatas, maka tulisan ini akan difokuskan untuk (1) mengetahui bagaimana kondisi objektif pelaksanaan pendidikan inklusif di MI Islamiyah Muhammadiya Kabupaten Banyuwangi, (2) melihat apakah kurikulum merupakan salah satu faktornketercukupan daya dukung penyelenggaraan pendidikan inklusif di MI Islamiyah Muhammadiyah, (3) mengetahui sejauh mana efektifitas pelaksanaan pendidikan inklusif di MI Islamiyah Muhammadiya Kabupaten Banyuwangi.
Landasan Teori Konsep Pendidikan Inklusif Banyak ahli pendidikan mengemukakan konsep pendidikan inklusi secara beragam. Namun hakekatnya memiliki tujuan yang sama. Menurut Hildegun Oslen (2002: 3) pendidikan inklusi berarti harus mengakomodasi semua anak tanpa memandang kondisi fisik, intelektual, social emosional, linguistic, atau kondisi lainnya. Ini harus mencakup anak-anak penyandang cacat, dan berbakat. Anak-anak jalanan dan pekerja, semua dari populasi terkecil atau
784
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
berpindah-pindah. Anak dari kelompok etnis minoritas, linguistic, atau budaya dan anak-anak dari area atau kelompok yang kurang beruntung atau termarjinalisasi. Pengertian inklusi dan ramah pembelajaran menurut adaptasi LIRP versi Indonesia (UNESCO 2004): adalah mengikut sertakan anak berkelainan di kelas regular bersama dengan anak-anak yang lainnya, itu dalam arti sempit. Pengertian secara luas inklusi berarti melibatkan seluruh anak tanpa kecuali seperti : 1. Anak yang menggunakan bahasa yang berbeda dengan bahasa pengantar yang digunakan di dalam kelas, 2. Anak yang beresiko putus sekolah karena sakit, kelaparan atau tidak berprestasi dengan baik, 3. Anak yang berasal dari golongan agama atau kasta yang berbeda, 4. Anak yang sedang hamil, 5. Anak yang terinveksi HIV / AIDS, 6. Anak yang berusia sekolah tetapi tidak sekolah.
Pelaksanaan Pendidikan Inklusi Di Sekolah Dasar Reguler Dilihat Dari Segi Kurikulum Pada kurikulum 2004 dan kurikulum 2006 pengembangan kurikulum sekolah menjadi wewenang satuan pendidikan itu sendiri dengan tetap mengacu pada pedoman yang dikeluarkan oleh Badan Standart Nasional (BSNP) serta memperhatikan rambu-rambu undang-undang no 20 tahun 2003, yaitu pasal 1 ayat 19,pasal 18 ayat 1,2,3, dan 4; pasal 32 ayat 1,2, dan 3; pasal 35 ayat 2; pasal36 ayat 1,2,3, dan 4;pasal37 ayat 1,2, dan 3; pasal 38 ayat 1 dan 2, termasuk juga peraturan pemerintah (PP) no 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP). Setiap satuan pendidikan dalam penyelenggaraan pendidikan bagi peserta didiknya harus berpegangan pada kurikulum. Kurikulum yang saat ini adalah kurikulum 2006 atau sering disebut dengan Kurikilum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sampai saat sekarang sekolah yang sudah menggunakan Kurikulum 2013. Satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan inklusi tetap menggunakan kurikulum yang berlaku pada satuan pendidikan yang bersangkutan. Hanya saja khusus bagi anak didik tertentu perlu diadakan penyesuaian dengan kemampuan dan kebutuhan khusus bagi anak yang berkelainan dan atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.Bentuk penyesuaian kurikulum dengan kebutuhan khusus anak didik dituangkan dalam program pengajaran individual (PPI) atau Program Individual. PPI merupakan rencana pendidikan bagi seorang anak didik. Semua anak didik yang berkelainan dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa harus dibuatkan PPI. PPI merupakan program yang dinamis artinya sensitive terhadap berbagai perubahan kemajuan anak didik, disusun oleh sebuah tim dari berbagai perubahan kemajuan anak didik, disusun oleh sebuah tim dari berbagai profesi keahlian. Anak didik berkelainan atau anak didik yang memiliki kelainan adalah anak didik yang secara signifikan (berarti) mengalami kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, mental, intelektual, emosional, dan atau social, sehingga mereka memerlukan pendidikan khusus. Dengan demikian, meskipun anak didik mengalami kelainan atau penyimpangan tertentu, tetapi kelainan/ penyimpangannya tidak signifikan sehingga anak tersebut tidak memerlukan pendidikan khusus, anak didik tersebut bukan tergolong anak didik yang memiliki kelainan. Buku pedoman penyelenggaraan pendidikan terpadu atau inklusi yang diterbitkan oleh Direktorat Pendidikan Luar Biasa, Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
785
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Depdiknas tahun 2003, untuk pendidikan inklusi, anak didik yang memiliki kelainan dapat dikelompokkan menjadi: a. Tuna netra atau gangguan pengelihatan, b. Tuna rungu atau gangguan pendengaran, c. Tuna wicara atau gangguan komunikasi, d. Tuna grahita atau gangguan kecerdasan, e. Tuna daksa atau gangguan fisik dan kesehatan, f. Tuna laras atau gangguan emosi dan prilaku, g. Berkesulitan belajar, h. Lamban belajar, i. Autistik, j. Gangguan motorik, k. Korban penyalahgunaan narkoba, l. Gangguan dari dua atau lebih jenis-jenis di atas.
Karakteristik dan Kebutuhan Khusus (Special Needs Characreristic) Setiap anak baik yang memiliki kelainan atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa memiliki karakteristik (ciri-ciri) tertentu yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Perbedaan karakteristik/ ciri-ciri tersebut juga menggambarkan adanya perbedaan kebutuhan layanan pendidikan bagi setiap anak didik. Tim pengembang kurikulum / TPK (dalam hal ini pengembang PPI), terlebih dahulu perlu mengetahui kebutuhan khusus (special needs) setiap anak tersebut, baik yang berkaitan dengan kemampuan/ kesanggupan maupun ketidakmampuan anak didik secara individual. Untuk keperluan pengembangan PPI, kebutuhan khusus (special needs) anak didik diidentifikasi melalui pengenalan karakteristik yang menonjol.
Tingkat kecerdasan Ditinjau dari segi kecerdasan, peserta didik yang membutuhkan pendidikan khusus dikelompokkan menjadi 3, yaitu (1) kecerdasan dibawah normal, (2) kecerdasan normal, (3) kecerdasan diatas normal. 1) Kecerdasan di bawah normal Kecerdasan di bawah normal anak lamban belajar (slow learner) dan tuna grahita. Karakteristik yang menonjol dari anak didik lamban belajar salah satunya adalah memiliki kecepatan belajar dibawah anak didik seusianya, sehingga untuk menyelesaikan materi pelajaran tertentu membutuhkan waktu yang lebih lama. Sehingga ini berakibat lamanya dalam menyelesaikan materi pelajaran di sekolah dasar. Anak tuna grahita ringan salah satu karakteristiknya yang menonjol adalah kemampuan akademiknya maksimal setara dengan anak didik sekolah dasar kelas 4 (empat). Kemudian salah karakteristik yang sangat menonjol anak didik tunagrahita sedang adalah kemampuan akademiknya maksimal setara dengan kemampuan akademik anak sekolah dasar kelas 2 (dua).
2) Anak didik dengan kecerdasan normal Anak didik dengan kecerdasan normal adalah anak didik yang memerlukan pendidikan khusus yang memiliki kecerdasan normal adalah (a) tunanetra, (b) tunarungu, (c) tunadaksa, (d) tunalaras,(e) mengalami kesulitan belajar khusus, yang meliputi; (1) kesulitan belajar membaca (disleksia), (2) kesulitan belajar menulis (disgrafia), (3) kesulitan belajar berhitung (diskalkulia). Meskipun kecerdasan relative normal, anak didik tersebut mengalami kelainan fisik, social, emosional, dan/atau sensoris neorologis, sehingga mereka mengalami hambatan pada saat belajar. Anak-anak didik ini sebenarnya mampu menyelesaikan tugas-tugas akademik seperti 786
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
yang lainnya, hanya saja memerlukan waktu sedikit lebih lama dibandingkan dengan anak didik normal lain yang seusianya.
3) Anak didik yang memiliki kecerdasan diatas normal Anak didik yang memiliki kecerdasan normal adalah : (a) anak didik yang superior, kadar kecerdasannya antara 110-125, (b) gifed yaitu anak didik yang memiliki kadar kecerdasan antara 125-140, (c) genius yaitu anak didik yang memiliki kecerdasan di atas 140. Anak didik yang memiliki kecerdasan di atas normal, memiliki kelebihan di banding dengan anak didik yang memiliki kadar kecerdasan normal dan di bawah normal. Kelebihan itu terletak pada salah satu atau lebih dari ; (1) kemampuan intelek umum, (2) kemampuan akademik khusus, (3) kemampuan berfikir kreatif, (4) kemampuan memimpin, (5) kemampuan salah satu bidang seni, dan (6) kemampuan psikomotor. Anak didik yang mengalami kadar kecerdasan diatas normal memiliki kecepatan belajar diatas kecepatan belajar anak didik lain seusianya. Sehingga untuk menyelesaikan materi yang diajarkan tidak banyak waktu yang diperlukan.
Metode Penelitian Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain penelitian kualitatif, yaitu merupakan sebuah proses penyelidikan untuk memahami masalah tentang pendidikan inklusi yang ada di kabupaten Banyuwangi, yang kemudian disusun secara terperinci dalam sebuah latar ilmiah. Pendekatan kualitatif sering digunakan oleh para peneliti dalam penyusunan teori dasar (grounded theory) yang termasuk dalam kajian grounded research (Bogdan,1992). Glaser dan Straus (dalam Singarimbun dan Effendi, 1995:9) menyatakan bahwa grounded research merupakan suatu pendekatan baru yang didasarkan pada sumber teori dan data dengan mengembangkan konsep-konsep di lapangan. Pada umumnya seorang peneliti terlibat secara penuh dalam penelitiannya dari awal sampai akhir. Sedangkan metode kualitatif merupakan prosedur penelitian yang nanti akan menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Jadi pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holyistic (menyeluruh), sehingga tidak boleh mengisolasikan individu atau organisasi ke dalam variable atau hipotesis, tetapi perlu memandangnya sebagai bagian dari suatu kesatuan (Bogdan dan Taylor dalam Moloeng,1995; 3) Melalui penelitian ini, peneliti akan dapat mengenal subjek secara pribadi dan lebih dekat. Dalam hal ini bisa terjadi karena adanya pelibatan peneliti dengan subyek penelitian. Pelibatan langsung ini akan dapat mengeksplorasikan situasi, kondisi yang ada di sekolahsekolah inklusi di Banyuwangi. Dengan demikian data yang terkumpul melalui wawancara, observasi, dan dokumentasi, terutama dengan subyek penelitian peneliti cenderung untuk memilih pendekatan kualitatif dalam penelitian
Tehnik Pengumpulan data Dalam penelitian ini, Peneliti menggunakan beberapa tehnik pengumpulan data,yaitu Tehnik Observasi Partisipan Observasi dapat dilakukan dengan dua cara, yang kemudian digunakan untuk menyebut jenis observasi yaitu: 1) Observasi non sistematis, yang dilakukan oleh pengamat dengan tidak menggunakan instrument pengamatan, 2) Observasi sistematis,
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
787
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
yang dilakukan oleh mengamat dengan menggunakan pedoman sebagai instrument pengamatan (Suharsimi: 131).
Hasil Penelitian Salah satu sekolah penyelenggara pendidikan Inklusif adalah Madrasah Ibtidaiyah Islamiyah Muhammadiyah berdiri sejak tahun 2000 dengan nama MI Islamiyah Muhammadiyah, Sekolah ini dibangun diatas tanah seluas 925 m2 denga luas bangunan 442 m2 dengan model 2 lantai, sekolah ini merupakan sekolah yang dikelola oleh lembaga Muhammadiyah di kecamatam Muncar dibawah naungan Departemen Pendidikan Agama kabupaten Banyuwangi. MI Islamiyah Muhammadiyah merupakan salah satu sekolah yang berada di pinggiran di Banyuwangi, untuk menuju kota Banyuwangi harus menempuh jarah sekitar 40 kilometer. Sampai saat ini untuk daerah kecamatan Muncar sekolah Madrasah Ibtidaiyah belum mendapatkan tempat yang baik di masyarakat maupun dilingkungan pendidikan sekolah dasar. Hal tersebut memacu semangat kepala sekolah beserta dewan guru untuk bisa membuktikan bahwa pada dasarnya pendidikan dimanapun adalah sama. MI Islamiyah Muhammadiyah di samping mengutamakan mutu pendidikan secara umum yang telah dibuktikan dengan out put yang baik MI Islamiyah Muhammadiyah merupakan satu-satunya sekolah inklusif dikecamatan Muncar, dimana sekolah ini dapat menerima anak berkebutuhan khusus, sedangkan untuk sekolah luar biasa sendiri lokasinya sangat jauh dari daerah ini. Masyarakat sekitar MI Islamiyah Muhammadiyah adalah masyarakat yang hetrogen ada beberapa yang bekerja sebagai nelayan, petani, pedagang, maupun profesi yang lain seperti bekerja sebagai tenaga kerja Indonesia yang sampai bertahun-tahun meninggalkan rumah. Karena di sekitar MI islamiyah Muhammadiyah masih banyak anak-anak yang membutuhkan pelayanan khusus jadi masyarakat sekitar sangat mendukung dijadikannya sekolah tersebut sebagai sekolah inklusif, karena masyarakat yakin bahwa sekolah ini akan memberikan pelayanan bagi siswa-siwa yang membutuhkan pelayanan khusus (ABK) maupun pada anakanak pada umumnya tanpa adanya diskriminasi atau perbedaan dalam pemberian pelayanan pendidikan.
Pelaksanaan Pendidikan Inklusif MI Islamiyah Muhammadiyah Banyuwangi Bagian ini akan didiskripsikan pelaksanaan inklusif di MI Islamiyah Muhammadiyah ditinjau dari segi kurikulumnya. Selanjutnya akan dinjelaskan problem yang muncul diawal menjadi sekolah inklusif, sampai pada saat ini. Hal ini memperjelas proses menjadi sekolah inklusif, maka akan digambarkan persiapan-persiapan yang dilakukan oleh pihak sekolah, Proses menjadi Sekolah Inklusif dan Perkembangannya. Di daerah sekitar MI Islamiyah Muhammadiyah orang tua siswa yang ABK sangat berharap putranya bisa sekolah di MI Islamiyah Muhammadiyah Muncar dengan alasan yang pertama yaitu dekat dengan tempat tinggal siswa kemudian bisa mendampingi secara langsung juga factor biaya yang sangat terjangkau oleh kalangan masyarakat. Dari segi pendidik sendiri (guru), ada beberapa guru yang menerima siswa tersebut dengan apa adanya, ada juga guru yang tidak bisa menerima keberadaan siswa tersebut karena dihawatirkan akan mengganggu proses belajar mengajar. Kepala sekolah sangat antusias untuk menerima siswa ABK di MI Islamiyah Muhammadiyah karena beliau siapapun yang didaftarkan disekolah ini harus diterima dengan baik baik dengan kondisi normal maupun yang memiliki kebutuhan khusus, kemudian kondisi
788
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
orang tua siswa yang sangat koomperatif sekali dengan fihak sekolah, contohnya selalu mendampingi putranya dalam belajar sehingga tidak sampai mengganggu siswa yang lain, memberikan informasi tentang kesehatan putranya setiap saat kepada fihak sekolah. Keputusan yang diambil oleh MI Islamiyah Muhammadiyah untuk menjadi sekolah inklusif sekarang sudah menunjukkan hasil yang baik, sehingga akan membantu kemajuan pendidikan di kabupaten Banyuwangi. Mulai tahun 2010 MI Islamiyah Muhammadiyah telah mencanangkan diri menjadi salah satu pelaksana pendidikan inklusif, hal ini dijelaskan oleh kepala sekolah pada tanggal 09 Desember 2010. Setelah melaksanakan pendidikan inklusif MI Islamiyah Muhammadiyah selalu mendapat perhatian serta bimbingan dari SMPLB Banyuwangi selaku kordinator serta pembimbing pendidikan inklusif, dari ketelatenan semua fihak sekolah serta usaha yang semaksimal mungkin, maka MI Islamiyah Muhammadiyah bisa mengelola pelaksanaan pendidikan inklusif dengan baik. Meskipun pada dasarnya sekolah tersebut masih mengalami banyak sekali hambatan dalam pendidikan inklusif ini.
Pengembangan kurikulum dalam pendidikan inklusif Kurikulum adalah seperangkat rencana atau pengaturan pelaksanaan pembelajaran dan atau pendidikan yang didalamnya mencakup pengaturan tentang tujuan, isi (materi), proses dan evaluasi. Tujuan berarti apa yang akan dicapai, materi berarti apa yang akan dipelajari, proses berarti apa yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan dan evaluasi berarti apa yang harus dilakukan untuk mengetahui keberhasilan pencapaian tujuan. Berdasarkan pengertian kurikulum tersebut, secara umum terdapat empat komponen utama yang harus ada dalam kurikulum yaitu (1) tujuan (2) isi/materi (3) proses dan (4) evaluasi. Tujuan adalah seperangkat kemampuan atau kompetensi yang akan dicapai setelah para siswa menyelesaikan program pendidikan dalam kurun waktu tertentu, tujuan pembelajaran secara umum terbagi menjadi tiga jenis kemampuan, yaitu (1) kognitif, (2) afektif, (3) psikomotorik. Isi (materi) adalah isi atau konten yang harus dipelajari oleh siswa supaya bisa mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Materi pembelajaran bisa berupa informasi , konsep, teori, dan lain-lain. Materi pembelajaran harus relevan atau mendukung terhadap pencapaian kompetensi dasar dan standar kompetensi, dalam kurikulum 2006 (KTSP), rumusan materi tidak lagi tersedia dalam kurikulum, tetapi harus dibuat atau dikembangkan sendiri oleh sekolah/guru. Materi biasanya dikembangkan oleh guru dengan mengacu kepada sumber yang relevan. Kemudian setelah isi/materi ada proses yang atrinya adalah kegiatan atau aktivitas yang akan dijalani oleh siswa supaya bisa menguasai materi yang diajarkan dan bisa mencapai tujuan-tujuan pembelajaran yang ditetapkan, proses kurang lebih sama pengertiannya dengan kegiatan belajar mengajar (KBM) atau pengalaman belajar, yakni serangkaian kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan oleh siswa dan guru. Selanjutnya adalah evaluasi adalah proses kegiatan yang dilakukan untuk mengetahui tingkat keberhasilan/ pencapaian tujuan-tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Peneliti akan mendiskripsikan tentang kurikulum untuk siswa yang berkebutuhan khusus yang mengikuti pendidikan inklusif di sekolah regular. Berikut pemaparan dari salah satu pembimbing inklusif Dr.Budiono M pd. Dari pendidikan luar biasa UNESA; Begini bu, untuk pendidikan inklusif itu memang ada beberapa model dalam pengembangan kurikulumnya sendiri, yaitu ada empat macam 1) model duplikasi, 2) model Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
789
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
modifikasi, 3) model sunstitusi, 4) model omisi. Dari beberapa model tersebut semua akan menerapkan empat komponen yang ada yaitu tujuan, isi, proses dan evaluasi.(PI UNESA/ Dr Budiono, Mpd/24 Januari 2011). MI Islamiyah Muhammadiyah dalam pengembangan kurikulum inklusi sendiri telah menggunakan model modifikasi. Modifikasi berarti merubah untuk disesuaikan. Dalam kaitan dengan model kurikulum untuk siswa berkebutuhan khusus, maka model modifikasi berarti cara pengembangan kurikulum, dengan memodifikasi kurikulum umum yang diberlakukan untuk siswa-siswa regular dirubah untuk disesuaikan dengan kemampuan siswa yang berkebutuhan khusus. Dengan demikian, siswa yang berkebutuhan khusus menjalani kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. Dalam kurikulum modifikasi, ada beberapa hal yang perlu modifikasi yaitu: (1) Modifikasi tujuan, berarti tujuan-tujuan pembelajaran yang ada dalam kurikulum umum diubah untuk disesuaikan dengan kondisi siswa berkebutuhan khusus. Sebagai konsekwensi dari modifikasi tujuan, maka siswa yang berkebutuhan khusus akan memiliki rumusan kompetensi sendiri yang berbeda dengan siswa-siswa regular, baik berkaitan dengan standar kompetensi lulusan (SKL), standar kompetensi (SK), kompetensi dasar (KD) maupun indicator. (2) Modifikasi isi, berarti materi-materi pelajaran yang diberlakukan untuk siswa regular yang dirubah untuk disesuaikan dengan kondisi anak yang berkebutuhan khusus. Dengan demikian anak yang berkebutuhan khusus mendapatkan sajian materi yang sesuai dengan kemampuannya. Modifikasi materi bisa berkaitan dengan materi yan tingkat kedalaman, keluasan, dan kesulitan yang berbeda atau lebih rendah daripada materi yang diberikan kepada siswa regular. (3) Modifikasi proses, berarti ada berbedaan dalam kegiatan pembelajaran yang dijalani oleh siswa yang berkebutuhan khusus dengan yang dilami oleh siswa pada umumnya. Metode atau strategi pembelajaran umum yang diberlakukan untuk siswa-siswa regular tidak diterapkan untuk siswa berkebutuhan khusus. Jadi mereka memperoleh pembelajaran khusus yang sesuai dengan kemampuannya. (4) Modifikasi evaluasi, berarti ada perubahan dalam system penilaian untuk disesuaikan dengan kondisi siswa berkebutuhan khusus. Dengan kata lain, siswa berkebutuhan khusus menjalani system evaluasi yang berbeda dengan siswa-siswa yang lainnya. Perubahan tersebut bisa berkaitan dengan perubahan soal-soal ujian, berubahan dalam waktu evaluasi, teknik/cara evaluasi, atau tempat evaluasi.termasuk juga dalam perubahan criteria kelulusan, system kenaikan kelas, bentuk raport juga ijasah. Kurikulum modifikasi diterapkan di MI Islamiyah karena melihat kondisi siswa yang berkebutuhan khususnya lebih banyak yang mengalami hambatan dalam belajar, jadi model modifikasi lebih mudah untuk dilakukan oleh guru regular maupun GPK. Model modifikasi yang dilakukan di sekolah MI Islamiyah Muhammadiyah adalah modifikasi pada level satuan pendidikan sekolah yaitu standar kompetensi kelulusan (SKL), standar kompetensi (SK), kompetensi dasar (KD), modifikasi indicator. Data dibawah ini adalah contoh dari modifikasi yang dibuat oleh salah satu guru mata pelajaran IPA di MI Islamiyah Muhammadiyah. Berikut adalah contoh modifikasi Kompetensi Dasar mata pelajaran IPA kelas lima.
790
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Standar Kompetensi(SK) (umum) Mengidentifikasi cara makhluk hidup menyesuaikan diri degan lingkungannya
Kompetensi Dasar(KD) (umum) Mengidentifikasi penyesuaian diri hewan dengan lingkungan tertentu untuk mempertahankan hidupnya.
Kompetendi Dasar (KD) (modifikasi) Berkebutuhan khusus ringan Mengidentifikasi jenis-jenis hewan yang hidup di darat.
Berkebutuhan khusus sedang Mengidentifikasi jenis-jenis hewan yang ditemui dirumah dan sekitarnya.
Dari data di atas akan memberikan suatu kemudahan pada pelaksanaan pendidikan inklusif baik pada siswa yang berkebutuhan khusus maupun pada guru mata pelajaran, sehingga tidak terlalu berat beban dalam proses belajar mengajar. Peneliti juga akan mendapatkan contoh tentang indikator yang telah dimodifikasi,yang dibuat oleh guru mata pelajaran IPS di MI Islamiyah Muhammadiyah. Contoh Modifikasi Indikator mata pelajaran IPS kelas lima semester satu. Standar kompetensi (SK) (umum)
Kompetensi Dasar (KD) (umum)
Indikator (umum)
Indikator (modifikasi) Hambatan Hambatan Kecerdasan Kecerdasan ringan sedang
Menghargai berbagai peninggalan dan tokoh sejarah yang berskala nasional pada masa HindhuBudha dan Islam, keragaman kenampakan alam dan suku bangsa serta kegiatan ekonomi di Indonesia.
Mengenal keragaman kenampakan alam dan buatan serta pembagian wilayah waktu di Indonesia dengan menggunakan peta/atlas/globe dan media lainnya.
Menggambar peta Indonesia. Menunjukka n pada peta pembagian wilayah waktu di Indonesia.
Membuat denah sekolah. Mengidentifikas i fase-fase waktu dalam satu hari (pagi, siang, sore, malam) dikaitkan dengan ragam aktifitas yang dilakukan (tidur, bangun, sekolah, bermain dll.)
Membuat denah ruang kelas. Mengidentifikasi fase-fase waktu dalam satu hari (pagi, siang, sore, malam), dikaitkan dengan raga, aktifitas yang dilakukan (tidur, bangun, sekolah, bermain dll.)
Contoh modifikasi materi pembelajaran di sekolah inklusif MI Islamiyah Muhammadiyah pada mata pelajaran IPA kelas lima: Standar Kompetensi: mengidentifikasi cara mahluk hidup menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Kompetensi Materi Kompetensi Materi (modifikasi) Dasar (KD) Pelajaran Dasar (KD) Hambatan Hambatan (umum) (umum) (modifikasi) kecerdasan ringan kecerdasan sedang Mengidentifikasi Jenis/ragam Mengidentifi Jenis-jenis hewan Jenis-jenis hewan penyesuaian diri bentuk kasi jenisyang hidup yang ditemui hewan dengan penyesuaian jenis di darat didarat. (hidup) dirumah lingkungan diri hewan dan dan sekitarnya.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
791
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
tertentu untuk mempertahankan hidupnya.
terhadap lingkungan tertentu
dilingkungan sekitar.
Dari beberapa modifikasi yang telah dilaksanakan oleh MI Islamiyah Muhammadiyah, ada beberapa hal yang masih menjadi hambatan dalam pelaksanaan proses belajar mengajar. Contoh dari hambatan pada MI Islamiyah Muhammadiyah Jenis Hambatan Hambatan Kecerdasan
Modifikasi Proses yang Digunakan a. Penyajian materi dengan penjelasan yang sederhana. Bahasa yang mudah disertai dengan contoh-contoh. b. Penggunaan objek-objek konkrit dalam penjelasan konsep. c. Pemberian materi dan tugas-tugas yang kadarnya lebih mudah. d. Pemberian pembelajaran tambahan secara individual di luar jam belajar bersama. e. Penekanan pembelajar pada kompetensi-kompetensi fungsional (skill yang dibutuhkan ubtuk kemandirian dalam aktivitas kehidupan sehari-hari) f. Pemanfaatan teman sebangku atau sekelas sebagai tutor g. Waktu pembelajaran ditambah.
Jadi dari data di atas peneliti mengambil kesimpulan bahwa MI Islamiyah Muhammadiyah telah melaksanakan pendidikan inklusif dengan menggunakan kurikulum modifikasi, adapun hasil pelaksanaan kurikulum ini dapat membantu proses pembelajaran pada pendidikan inklusif ini, hal ini dapat dibuktikan dengan hasil evaluasi akhir yang masih mendapatkan peringkat terbaik pada ujian akhir nasional tingkat kecamatan Muncar. Berdasarkan uraian hasil penelitian dan pembahasan tentang pelaksanaan pendidikan sekolah dasar inklusif di kabupaten Banyuwangi, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Kondisi Objektif Pendidikan Inklusif di Kabupaten Banyuwangi. Efektivitas pelaksanaan pendidikan inklusif di Kabupaten Banyuwangi sampai saat ini masih perlu pembenahan, hal tersebut dikarenakan masih belum tertatanya system pembelajaran maupun pengelolaan pendidikan inklusif. Dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif, tenaga pendidik juga harus diperhatikan dengan baik dalam hal ini peran GPK yang ada di Kabupaten Banyuwangi masih belum maksimal. GPK yang ada sebaiknya adalah guru yang memiliki kualifikasi pendidikan S1 Psikologi atau S1 PLB, sehingga dalam membimbing ABK benar-benar sesuai dengan latar belakang pendidikannya.
2. Efektivitas Pelaksanaan Pendidikan Sekolah Dasar Inklusif di Kabupaten Banyuwangi Pelaksanaan pendidikan inklusif di Banyuwangi sudah berjalan dengan baik,tetapi masih belum efektif. Hal tersebut dapat dilihat dari kesiapan tenaga pendidikan yang masih belum terlatih dalam penanganan ABK, sarana yang dibutuhkan dalam pelaksanaan pendidikan inklusif juda masih kurang terpenuhi serta dukungan dari pemerintah Kabupaten Banyuwangi masih belum ada, sehingga pendidikan inklusif di Kabupaten Banyuwangi masih belum terorganisasi.
792
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Rekomendasi Beberapa saran yang dapat Peneliti sampaikan berkenaan dengan penelitian ini untuk berbagai fihak adalah sebagai berikut: a. Kepala Sekolah melakukan perubahan manajemen, proses pembelajaran ABK harus menggunakan PPI yang dirancang bersama-sama dengan orang tua murid, GPK, kepala sekolah, dan lebih bagus lagi jika melibatkan professional (pedagogic,psikolog). Hal ini sesuai dengan kaidah yang telah ada dan dimaksudkan semua komponen sehingga tidak muncul banyak permasalahan dalam perjalanannya. b. Kepala Sekolah bekerjasama dengan konsultan ahli dalam hal perencanaan pengembangan inklusif ke depan yang meliputi Perguruan Tinggi dan yayasan inklusif seperti Hellen Keller International. c. Khusus Dinas Pendidikan Kabupaten Banyuwangi harus mengadministrasikan data sekolah inklusif, memperhatikan serta membantu pelaksanaan pendidikan inklusif, supaya pelaksanaan pendidikan inklusif dapat berjalan sesuai dengan ketentuan yang ada.
Daftar Pustaka Dapa, A., Duyo. U. dan Marentek. (2007) Manajemen Pendidikan Inklusi. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Dirjen Dikti, (2004). Pedoman Sertifikasi Konpetensi Pendidik. Jakarta:Departemen Pendidikan Nasional. Dirjen Dikti, TK/SD, (2004). Manajemen Berbasis Sekolah. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Direktorat Luar Biasa. (2007).Pengembangan Kurikulum. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa.(2007). Kebutuhan dan Pengelolaan Sarana dan Prasarana Pendidikan. Departemen Pendidikan Nasional. Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa.(2007). Manajemen Sekolah Inklusif. Departemen Pendidikan Nasional. Direktorat Luar Biasa.(2004). Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Terpadu/Inklusi. Jakarta: Depdiknas. Direktorat Pendidikan Luar Biasa.(2004). Buku 4 Pengadaan dan Pembinaan Tenaga Kependidikan. Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional. Direktorat Pendidikan Luar Biasa. (2004). Buku 7 : Manajemen Sekolah. Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional. Direktorat Pendidikan Luar Biasa.(2004). Buku 4: Menciptakan Kelas Inklusif Ramah Terhadap Peserta Didik : Direktorat Jendral Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah bekerja sama dengan Hellen Keller International. Dunn William.(2000). Pengantar Analisa Kebijakan Publik. Yogyakarta: Gajah Mada Universitas Press. Handojo,Y.(2003). Petunjuk Praktis dan Pedoman untuk mengajar anak normal, autis, dan prilaku lain. Jakarta: Buana Ilmu Populer. Komariyah Aan &Triatna Cepi.(2005). Visionerry Leadership menuju sekolah efektif. Jakarta :Buana Aksara. Puspita Dewi, E. (2010) Analisis kesiapan psikologi guru dalam pelaksanaan pendidikan inklusif di SMP Negeri 18 Malang, Malang: Universitas Muhammadiyah Malang Peraturan Pemerintah No 19.(2005) Standar Pendidikan Nasional. Jakarta: Sinar Grafika. Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 70.(2009). Tentang Pendidikan Inklusi. Soetomo.(1993). Dasar –dasar Interaksi Belajar Mengajar. Surabaya: Usaha Nasional. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
793
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Sugiyono.(2007). Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif dan R&D. Bandung:ALFABETA. Suryadi. A & Tilaar.H.A.R.(1994). Analisis Kebijakan, suatu pengantar. Bandung: Remaja Rosda Karya offset. Tarmansyah.(2007).Buku Ajar Inklusi Dirjen Dikti. Jakarta: Depdiknas. Tarmansyah.(2009). Inklusi Pendidikan untuk Semua. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. (1945) Amandemen dengan Penjelasannya. Surabaya: Setiaji. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23/2003.(2008).Tentang Perlindungan Anak.Jakarta: Sinar Grafika Undang-Undang Republi Indonesia Nomor 23/2004.(2006) Tentang Pemerintah Daerah. Bandung: Nuansa Aulia.
794
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
795
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Prosiding Volume 1 Nomor 1 Tahun 2015 Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia 25 - 26 April 2015
Terima kasih Ikutilah Seminar Nasional Ke-2 Tanggal 23 - 24 April 2016 Prosiding Volume 2 Nomor 1 Tahun 2016
796
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
797
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
798
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Deskripsi
Volume 1 No 1 Tahun 2015
ISSN: 2443-1923
PROSIDING SEMINAR NASIONAL HASIL PENELITIAN PENDIDIKAN DAN PEMBELAJARAN
PROSIDING
www.stkipjb.ac.id
SEMINAR NASIONAL HASIL PENELITIAN PENDIDIKAN DAN PEMBELAJARAN “Rekonstruksi Kurikulum dan Pembelajaran di Indonesia”
Jombang, 25-26 ARRIL 2015
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
STKIP PGRI JOMBANG JL. PATTIMURA III/20 JOMBANG Telp.(0321) 861319-854318 FAX. (0321)854319
PROSIDING ISSN: 2443-1923
SEMINAR NASIONAL HASIL PENELITIAN PENDIDIKAN DAN PEMBELAJARAN “REKONSTRUKSI KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN DI INDONESIA”
STKIP PGRI JOMBANG 25 - 26 APRIL 2015
VOLUME 1 Nomor 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
HAK CIPTA
PROSIDING SEMINAR NASIONAL HASIL PENELITIAN PENDIDIKAN DAN PEMBELAJARAN “REKONSTRUKSI KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN DI INDONESIA”
STKIP PGRI JOMBANG 25 - 26 APRIL 2015
Editor Drs. Asmuni, M.Si. Dr. Wiwin Sri Hidayati, .M.Si Dr. Agus Prianto, M.Pd. Wahyu Indra Bayu, M.Pd. Khoirul Hasyim, M.Pd Banu Wicaksono, S.S., M.Pd. Risfandi Setyawan, M.Pd.
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Pendidikan Matematika Pendidikan Ekonomi Pendidikan Jasmani dan Kesehatan Pendidikan Bahasa Inggris Pendidikan Bahasa Inggris Pendidikan Jasmani dan Kesehatan
Mitra Ahli Prof. Dr. Ali Maksum, M.Psi Prof. Dr. Joko Nurkamto, M.Pd Prof. Dr. Nyoman S. Degeng, M.Pd
Universitas Negeri Surabaya Universitas Sebelas Maret Surakarta Universitas Negeri Malang
Diterbitkan Oleh: STKIP PGRI JOMBANG
Hak Cipta © 2015 STKIP PGRI JOMBANG
ISI DI LUAR TANGGUNG JAWAB EDITOR/PENERBIT
ii
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
PERSONALIA SEMINAR NASIONAL HASIL PENELITIAN PENDIDIKAN DAN PEMBELAJARAN “REKONSTRUKSI KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN DI INDONESIA” STKIP PGRI JOMBANG 25 - 26 APRIL 2015
Steering Committee Dr. Winardi, M,Hum. Drs. Asmuni, M.Si. Dra. Siti Maisaroh, M.Pd. Dr. Agus Prianto, M.Pd. Dr. Nanik Sri Setyani, M.Si. Drs. Kustomo, M.Pd. Dr. Wiwin Sri Hidayati, M.Pd. Drs. Adib Darmawan, M.A. Dr. Susi Darihastining, M.Pd. Drs. M. Setyowahyu, S.H., M.M.
Ketua STKIP PGRI Jombang Pembatu Ketua I STKIP PGRI Jombang Pembantu Ketua II STKIP PGRI Jombang Pembatu Ketua III STKIP PGRI Jombang Kaprodi Pendidikan Ekonomi Kaprodi PPKn Kaprodi Pendidikan Matematika Kaprodi Pendidikan Bahasa Inggris Kaprodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Kaprodi Pendidikan Jasmani dan Kesehatan
Organizing Committee Dr. Munawaroh, M.Kes. Tatik Irawati, S.Pd., M.Pd. Rifa Nurmilah, S.Pd., M.Pd. M. Farhan Rafi, M.Pd. Cahyo Tri Atmojo, S.Pd., M.M. Mu’minin, S.Pd., M.A. Ahmad Sauqi A., M.A. Afi Ni’amah, S.Pd., M.Pd. Drs. Pahriyono, M.Si
Ketua Sekretaris Bendahara Sie Kesekretariatan Sie Makalah dan Prosiding Sie Persidangan Sie Perlengkapan Sie Konsumsi Sie Akomodasi
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
iii
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
KATA PENGANTAR Puji syukur kita panjatkan kehadhirat Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang atas limpahan Rahmat-Nya, bahwa Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran dengan tema “Rekonstruksi Kurikulum dan Pembelajaran di Indonesia” dapat terlaksana, dan hasilnya dapat diterbitkan dalam bentuk prosiding. Seminar ini diselenggarakan dalam rangka Dies Natalis STKIP PGRI Jombang ke-38, dan akan diselenggarakan rutin setiap tahun. Karenanya prosiding ini merupakan volume pertama, dan akan terbit secara rutin setahun sekali. Dengan demikian seminar ini merupakan babak baru kegiatan akademik rutin STKIP PGRI Jombang pada tahun-tahun yang akan datang. Tahun 2015 merupakan tonggak membangun budaya meneliti bagi para dosen, khususnya di STKIP PGRI Jombang. Karena hasil penelitian para dosen dapat diseminarkan secara nasional dan diterbitkan dalam prosiding yang diselenggarakan di kampus sendiri. Hal ini merupakan tuntutan profesi dosen, sekaligus sebagai kewajiban pengelola dan penyelenggara perguruan tinggi sebagaimana telah diamanatkan oleh undang-undang pendidikan tinggi (UU 12/2012). Tahun 2015 ini pantas disebut sebagai “tahun perubahan” bagi perguruan tinggi, terutama dalam rangka memenuhi tuntutan UU-DIKTI, KKNI, dan SN-DIKTI. Kurikulum dan pembelajaran dikti wajib direkonstruksi dan disesuaikan dengan tuntutan KKNI dan SN-DIKTI, di samping memenuhi tuntutan pengguna lulusan, tuntutan global, dan perkembangan ipteks. Karena itulah tema seminar ini sengaja diluncurkan sebagai wahana interaksi akademis dan pertukaran gagasan dalam rangka menyongsong perubahan kurikulum KPT-DIKTI yang berbasis KKNI dan SN-DIKTI, beserta pembelajarannya. Sementara prosiding ini diterbitkan sebagai wahana pertukaran informasi dari hasil penelitian pendidikan dan pembelajaran dalam semangat saling asah, asih dan asuh dengan sesama pembelajar dalam menyikapi tantangan masa depan. Karena setiap pembelajar memikul tanggungjawab profesional untuk menyiapkan generasi masa depan yang kritis, kreatif dan inovatif, mandiri, bertanggung jawab serta memiliki karakter yang tangguh dan berdaya saing tinggi. Hal ini hanya dapat dicapai melalui pengembangan keilmuan secara berkelanjutan dan implementasi pembelajaran yang tepat dan berhasil guna. Ucapan terima kasih disampaikan kepada semua pihak yang telah mendukung terlaksananya seminar dan prosiding ini, baik secara langsung maupun tidak langsung. Khususnya kepada Prof. Dr. Ali Maksum (Guru Besar UNESA Surabaya & Sekretaris Pelaksana KOPERTIS VII Jawa Timur), Prof. Dr. Djoko Nurkamto (Guru Besar UNS Surakarta), dan Prof. Dr. Nyoman S. Degeng (Guru Besar UM Malang) yang telah berkenan menjadi narasumber. Akhirnya, dengan mengharap Rahmat dan Ridha-Nya semoga hasil-hasil penelitian yang dirumuskan dalam prosiding ini dapat memberi inspirasi dan manfaat bagi perkembangan pendidikan dan pembelajaran di Indonesia dalam rangka menyiapkan anak bangsa yang cerdas, berkarakter dan berdaya saing dalam menghadapi arus globalisasi. Salam, Ketua Panitia / Editor Asmuni
iv
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
DAFTAR ISI Halaman Sampul Halaman Hak Cipta Personalia Kata Pengantar Daftar Isi
i ii iii iv v
Keynote Speakers Kurikulum dan Pembelajaran di Perguruan Tinggi: Menuju Pendidikan yang Memberdayakan
3 – 14
Prof. Dr. Ali Maksum, M.Si.
Pengembangan Kurikulum Pendidikan Tinggi Berbasis KKNI dan SN-Dikti
15 – 32
Pokok-Pokok Pikiran Revolusi Mental Menggubah Pembelajaran: Pada Pendididkan Dasar, Menengah Dan Tinggi
33 – 50
Prof. Dr. Joko Nurkamto, M.Pd.
Prof. Dr. I Nyoman Sudana Degeng. M.Pd.
Integrasi Soft Skills dalam Pembelajaran
Dr. Wiwin Sri Hidayati, M.Pd & Drs. Asmuni, M. Si.
51 – 56
Presentasi Sub Tema: Kurikulum dan Pembelajaran Pendidikan Tinggi Problem Based Learning untuk menumbuhkan Critical Thinking dan Hasil Belajar Mahasiswa
59 – 66
Khoirul Hasyim
Podcast untuk Meningkatkan Kemampuan Menyimak Mahasiswa STKIP PGRI Jombang
67 – 74
Strategies of Successful and Less Successful Students of English Education Department STKIP PGRI Jombang in Completing Tenses Tasks
75 – 85
Pembelajaran Berbasis Proyek Melalui Program Magang Sebagai Upaya Peningkatan Soft Skills Mahasiswa Untuk Mata Kuliah Akuntansi
86 – 96
Yunita Puspitasari, Adib Darmawan, & Ida Setyawati
Erma Rahayu Lestari & Banu Wicaksono
Yulia Effrisanti
Pengaruh Penggunaan Media Jejaring Sosial Edmodo terhadap Partisipasi Mahasiswa dalam Diskusi Kelas pada Materi Ajar Teoretis dan Praktis
97 – 106
Asmuni & Wiwin Sri Hidayati
Implementasi Penggunaan Edmodo dalam Mata Kuliah Belajar Pembelajaran
107 – 114
Ima Chusnul Chotimah & Rosi Anjarwati
Improving The Ability In Structure I of Students STKIP PGRI Jombang Through The Process-Product Writing Approach
115 – 124
Chalimah & Afi Ni’amah
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
v
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Proses Konstruksi Mahasiswa Calon Guru dalam Membuat Strategi Penyelesaian Masalah Pembagian Bilangan Pecahan
125 – 140
Peningkatan Kompetensi Mengajar Mahasiswa Peer Teaching Program Studi Pendidikan Jasmani dan Kesehatan STKIP PGRI Jombang Melalui Lesson Study
141 – 150
Esty Saraswati Nur Hartiningrum, Lia Budi Tristanti, & Edy Setio Utomo
Basuki & Novita Nur S.
Student’s Verified Strategies of Paraphrasing (A Case Study of the Sixth Semester of English Students through Verbal Report)
151 – 164
Banu Wicaksono & Erma Rahayu Lestari
Tuturan Fatis Guru Besar dalam Perkuliahan Kelas Linguistik
165 – 174
Meningkatkan Kemampuan Berbicara Bahasa Inggris dengan Sulih Suara
175 – 185
The Implementation of Task-Based Writing for Teaching Expository Text
186 – 194
Pahriyono
Muhammad Farhan Rafi & Tatik Irawati Lestari Setyowati & Sony Sukmawan
EFL Students Mispronouncing English Vowels
195 – 206
Analisis Kesalahan Mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika STKIP PGRI Pasuruan dalam Menyelesaikan Soal Persamaan Diferensial Linier Homogen dan Tak Homogen
207 – 216
Analisis Keterampilan Mengajar Calon Guru Pendidikan Jasmani, Olahraga Dan Kesehatan (Studi pada Mahasiswa S1 Program Studi Pendidikan Jasmani dan Kesehatan STKIP PGRI Jombang yang Menempuh Program PPL)
217 – 224
Analisis Permasalahan Pemanfaatan Media Karikatur dalam Pembelajaran Ekonomi (Analisis pada Mahasiswa Praktikan Micro Teaching STKIP PGRI Jombang)
225 – 231
Ninik Suryatiningsih & Addini Zuhriyah
Rif’atul Khusniah
Wahyu Indra Bayu & Risfandi Setyawan
Nanik Sri Setyani
Perbandingan Bentuk Pemberian Hadiah Berupa Nilai Dengan Hukuman Berupa Tugas Terhadap Hasil Belajar Mata Kuliah Gulat Pada Mahasiswa Angkatan 2011D dan 2011E Program Studi Penjaskes STKIP PGRI Jombang
232 – 236
Perspektif Sikap Berperilaku Moral Ekonomi Mahasiswa Fakultas Ekonomi Program Kependidikan UM
237 – 248
Rahayu Prasetiyo, Yudi Dwi Saputra, & Joan Rhobi Andrianto
Muhammad Basri
Re-Konstruksi Perilaku Melalui Pembelajaran Karakter Ulul Albab Dalam Rangka Mewujudkan SDM Perbankan Syariah Berdaya Saing Global
249 – 258
Siswanto, Yayuk Sri Rahayu, & Nihayatu Aslamatis Sholekah
vi
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Manajemen Sarana Prasarana dalam Meningkatkan Proses Pembelajaran di STKIP PGRI Pasuruan
259 – 269
Pengaruh Gaya Kepemimpinan Demokratis Terhadap Kinerja Pengurus Koperasi Karpindo PPLP PT PGRI Jombang
270 – 283
Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Penduduk, Pendidikan dan Pengangguran Terhadap Kemiskinan Di Kota Surabaya
284 – 295
Analisis Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Inflasi di Indonesia: Pendekatan Error Correction Model (ECM)
296 – 309
Hukum Perlindungan Konsumen Dalam Pembangunan Ekonomi
310 – 317
Suchaina
Munawaroh
Norida Canda Sakti
Lina Susilowati
Heppy Hyma Puspytasari dan Roy Wahyuningsih
Struktur Tingkat Perbandingan Frasa Ajektiva dalam Majalah Jaya Baya
318 – 324
Heny Sulistyowati
Analisis Pengembangan Potensi Ekonomi Lokal Untuk Menguatkan Daya Saing Daerah Di Kabupaten Jombang
325 – 335
Masruchan
Evaluasi Manajemen Penyelenggaraan Jatim Sprint 60 Meter
336 – 344
Hubungan Motivasi Berprestasi dan Disiplin Diri dengan Prestasi Renang 50 Meter Gaya Bebas
345 – 354
Agus Tomi
Ahmad Yani
Presentasi
Sub Tema: Kurikulum dan Pembelajaran Pendidikan Menengah Pengembangan Kurikulum dalam Implementasi Pendidikan Karakter Di SMK
357 – 366
Diah Puji Nali Brata
Penerapan SEM (Sport Education Model) dalam Konteks Kurikulum 2013
367 – 378
Rama Kurniawan & Adang Suherman
Efektifitas Model Pembelajaran Inkuiri Berbasis Karakter Untuk Meningkatkan Moralitas Ekonomi Siswa Kelas X SMAN 3 Jombang
379 – 387
Ayu Dwidyah Rini
The Effect of Task Planning on Students’ EFL Writing Cohesion
388 – 399
Rofiqoh
Survey Keterampilan Mengajar Guru Pendidikan Jasmani dan Olahraga
400 – 410
Internalisasi Nilai-Nilai Kearifan Lokal Dalam Pembelajaran Ekonomi SMA
411 – 419
Hendra Mashuri & Rizki Apriliyanto Leny Noviani
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
vii
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Pengaruh Penerapan Metode Tutor Sebaya, Pemberian Tugas, dan Motivasi Belajar terhadap Prestasi Belajar Siswa pada Kompetensi Keahlian Adminstrasi Perkantoran di SMK Negeri I Magetan dan SMK PSM 2 Kawedanan Magetan
420 – 433
Efektivitas Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) dalam Meningkatkan Motivasi dan Prestasi Belajar Siswa Kelas XII APK-1 Semester 1 SMK Negeri 1 Magetan Materi Mengolah Data/Informasi Tahun 2013/2014
434 – 448
Pengaruh Metode Pembelajaran Simulasi, Drill, dan Motivasi Belajar terhadap Hasil Belajar Siswa pada Kompetensi Keahlian Akuntasi di SMK Negeri 1 Magetan dan SMK PSM 2 Kawedanan Magetan Tahun Pelajaran 2013-2014
449 – 463
Tutik Aminah
Arum Yuliani
Rina Sumaiyanti
Penerapan Metode Role Playing Terhadap Hasil Belajar Keterampilan Dasar Smash Normal (Open Smash) Dalam Permainan Bolavoli Pada Peserta Didik Kelas X AK 1 SMK PGRI 1 Jombang
464 - 470
Pengaruh Media Presentasi Program Adobe Flash, Powerpoint dan Motivasi Terhadap Hasil Belajar Kompetensi Mengelola Kas Bank pada Siswa Kelas XI Akuntansi di SMK 1 Magetan dan SMK PSM 2 Kawedanan Tahun Pelajaran 2013/2014
471 – 483
Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Motivasi Belajar Siswa Terhadap Prestasi Belajar Pada Mata Pelajaran Ekonomi (Studi Pada Siswa Kelas X SMK Matsna Karim Desa Bulurejo Kecamatan Diwek Kabupaten Jombang)
484 – 493
Pengaruh Bahan Ajar Berbasis Media Audio Visual Terhadap Hasil Belajar Siswa Kelas X Pada Mata Pelajaran Ekonomi SMA Negeri 2 Bondowoso
494 – 502
Peran MGMP Dalam Meningkatkan Profesionalisme Guru Ekonomi Tingkat SMA Di Kabupaten Jombang
503 – 513
Olivia Dwi Cahyani
Sri Winarningsih
Dwi Wahyuni
Dedy Wijaya Kusuma
Diah Dinaloni
Pengaruh Pembelajaran Variasi dan Kombinasi Aktivitas Bermain Bolavoli Terhadap Kemampuan Melakukan Passing Atas, Bawah dan Servis Atas Bolavoli Pada Siswa Kelas X Madrasah Aliyah Negeri 5 Jombang
514 – 525
Kinerja Guru Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan SMAN, dan SMKN Se-Kabupaten Mojokerto Berdasarkan Latar Belakang Pendidikan Tahun 2014
526 – 537
Mohammad Zaim Zen & Achmed Zoki
Puguh Setya Hasmara, Arsika Yunarta, & Dian Wahyudin
viii
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pendidikan Sistem Ganda (PSG) Di SMKN 2 Selong Tahun Pelajaran 2013/2014
538 – 548
Analisis Metakognisi Siswa Dalam Menyelesaikan Soal-Soal Bangun Datar Berdasarkan Kemampuan Matematika
549 – 560
Pengaruh Dukungan Organisasi dan Potensi Kreatif Terhadap Praktek Kerja Kreatif (Studi Terhadap Para Guru Di Kabupaten Jombang)
561 – 576
Muhamad Ali
Mochammad Edy Santoso & Oemi Noer Qomariyah
Agus Prianto
Kepemimpinan Kepala Sekolah pada Sekolah Negeri di Pondok Pesantren (Studi Multikasus pada Tiga Sekolah Negeri di Pondok Pesantren Darul Ulum Rejoso Peterongan Kabupaten Jombang)
577 – 584
Penempatan Program Keahlian Di Sekolah Menegah Kejuruan Dalam Membentuk Kreativitas Siswa
585 – 594
Firman
Mayasari
Presentasi
Sub Tema: Kurikulum dan Pembelajaran Pendidikan Dasar Implementasi Pembelajaran Kooperatif Tipe Student Teams Achievement Division (STAD) dan Metode Jigsaw Serta Motivasi Belajar Terhadap Hasil Belajar Siswa Kelas VIII SMPN 2 Ngariboyo dan SMPN 1 Ngariboyo
597 – 612
Penerapan Metode Polya Dalam Menyelesaikan Soal Cerita Pada Pokok Bahasan Aritmatikasosial di Kelas VII Putra SMP Yadika Bangil
613 – 623
Pengaruh Model Project Based Learning pada Pembelajaran Penjasorkes Terhadap Kreativitas Siswa (Studi pada Siswa Kelas VIII-A SMP Negeri 1 Plosoklaten Kabupaten Kediri)
624 – 636
Sugiharto
Andika Setyo Budi Lestari
Hasan Saifuddin & Bayu Budi Prakoso
Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Gerak Dasar Lompat Jauh Dengan Menggunakan Alat Bantu Tradisional
637 – 646
Nur Ahmad Muharram & Ardhi Mardiyanto
Pengaruh Metode Mengajar dan Persepsi Kinestetik Terhadap Keterampilan Dasar Bermain Sepak Bola
647 – 657
Slamet Raharjo
Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Dengan Pendekatan Pembelajaran Open Ended Materi Pokok SPLDV Di Kelas VIII MTsN Denanyar Jombang
658 – 667
Ahmad Bahrul Ulum & Oemi Noer Qomariyah
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
ix
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Kesalahan Siswa Sekolah Dasar dalam Merepresentasikan Pecahan pada Garis Bilangan
668 – 678
Efektivitas Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Course Review Horay Pada Pembelajaran Segiempat
679 – 690
Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Group Investigation dalam Pembelajaran Matematika untuk Meningkatkan Aktivitas dan Hasil Belajar Siswa
691 – 697
Eny Suryowati
Titik Idayanti & Ama Noor Fikrati
Veni Saputri
Pegaruh Penerapan Model Pembelajaran Taktis dan Kemampuan Motorik Terhadap Hasil Belajar Bolavoli Pada Siswa Putra Kelas VIII SMPN 4 Lamongan
698 – 709
Ilmul Ma’arif, Zakaria Wahyu Hidayat, & Kahan Tony Hendrawan
Perbandingan Metode Pembelajaran Whole Practice dan Part Practice Terhadap Hasil Belajar Dribbling Bolabasket (Studi Kelas V SDK Santo Yusup Surabaya)
710 – 717
Pengaruh Modifikasi Permainan Bolabasket Terhadap Kebugaran Jasmani Siswa SMPKr Petra Jombang
718 - 726
Arnaz Anggoro Saputro
Mecca Puspitaningsari & Nurdian Ahmad
Perencanaan, Pelaksanaan, dan Problematika Pembelajaran Menulis Siswa Kelas V SDN IV Sukorejo Perak Jombang
727 – 736
Mu’minin
Kompetensi Guru Dalam Pelaksanaan Pembelajaran Pendidikan Jasmani Dan Kesehatan Di MIN Rejoso Kecamatan Peterongan Kabupaten Jombang
737 – 747
Agus Budi Hartono
Bentuk Tuturan Masyarakat Manduro Sebagai Pendukung Pembelajaran Bahasa Indonesia
748 – 761
Diana Mayasari
Penerapan Model Pembelajaran Scramble Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Bahasa Arab Siswa Kelas V MI Muhammadiyah I Jombang Tahun Pelajaran 2013/2014
762 – 771
“Javanesse Cultural School” (JCS) Untuk Anak Usia Dini: Sebuah Konsepsi Untuk Mengembalikan Karakter Lokal
772 – 780
Mindaudah
M. Syaifuddin S. & Erni Munastiwi
Pelaksanaan Pendidikan Inklusif Pada Sekolah Dasar Di Kabupaten Banyuwangi
781 – 793
Aliya Fatimah
x
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Volume 1 Nomor 1 Tahun 2015 Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran “Rekonstruksi Kurikulum dan Pembelajaran di Indonesia” STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia 25 - 26 April 2015
Keynote Speakers
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
2
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Kurikulum dan Pembelajaran di Perguruan Tinggi: Menuju Pendidikan yang Memberdayakan Ali Maksum Guru Besar Unesa, Sekretaris Pelaksana Kopertis Wilayah VII Jawa Timur “Education is the most powerful weapon which you can use the change the world” Nelson Mandela Saya sengaja mengutip pernyataan yang melegenda dari mantan Presiden Afrika Selatan dan peraih nobel perdamaian tersebut guna memperkuat keyakinan kita bahwa pendidikan merupakan kunci utama meraih kesuksesan. Jika kita ingin memperbaiki kehidupan, memperbaiki masa depan, memperbaiki keluarga, memperbaiki masyarakat, memperbaiki bangsa, dan bahkan mengubah dunia, maka jawabannya satu: Pendidikan. Dalam konteks ini, pendidikan dimaknai sebagai upaya sadar dan terencana yang memungkinkan setiap individu belajar secara aktif mengembangkan potensi dirinya menuju insan paripurna. Seseorang yang ingin sukses dan menjadi pemenang dalam kehidupan perlu menempatkan pendidikan sebagai pilar terdepan. Negara yang ingin maju dan berhasil perlu menempatkan pendidikan sebagai agenda utama pembangunan. Sejumlah data bisa ditunjukkan untuk menyatakan bahwa tingkat pendidikan suatu bangsa berbanding lurus dengan kemajuan bangsa itu sendiri. Menurut data World Bank 2014, angka partisipasi kasar pendidikan tinggi di Indonesia baru mencapai 27%, sementara Malaysia 36%, Thailand 51%, Australia 83%, Amerika 95%, dan Korea 98%. Dilihat dari struktur pendidikan, 55,31% tenaga kerja kita berpendidikan SD ke bawah dan hanya 11,98% berpendidikan perguruan tinggi (Kompas.com, 2014), sementara di Singapura, lebih dari 90% pekerjanya berpendidikan menengah dan tinggi. Terkait dengan Human Development Index, Indonesia ada pada posisi 121 dari 187 negara, sementara Philipina pada peringkat 114, Thailand 89, Malaysia 62, dan Singapura ada pada peringkat 9 (UNDP, 2014). Demikian juga data global competitivenss report 2013-2014 menunjukkan bahwa posisi Indonesia ada pada peringkat 38, sementara Thailand pada posisi 37, Malaysia 24, dan Singapura pada posisi 2 (World Economic Forum, 2013). Tentu, hal yang demikian tidak boleh menjadikan spirit kita melemah untuk berubah dan berbenah menuju yang lebih baik. Kita harus punya keyakinan kuat bahwa Indonesia adalah negara besar, dengan penduduk 250 juta, 17.000-an pulau, lebih dari 1000 suku bangsa, dan 700 bahasa daerah, aneka tanaman tumbuh subur, dan keindahan alam laksana pecahan surga. Tetapi lagi-lagi, harus diakui bahwa prestasi bangsa ini belum sebanding dengan potensi yang dimiliki. Pertanyaannya kemudian, mengapa Indonesia dengan sejumlah kekayaan dan kemewahan alam yang diberikan oleh Tuhan belum bisa membuat bangsa ini menjadi negara maju? Dari sisi waktu kemerdekaan, Indonesia lebih dulu merdeka dibanding Malaysia yang diberikan kemerdekaan oleh Inggris pada 1957, lebih dulu dibanding Singapura yang memisahkan diri dengan Malaysia pada 1965, dan hanya selisih 2 hari dengan Korea yang merdeka pada 15 Agustus 1945. Dilihat dari jumlah perguruan tinggi, Indonesia paling banyak dibanding sejumlah negara Asean, bahkan dibandingkan dengan China sekalipun yang memiliki penduduk
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
3
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
1,3 milyar. Indonesia juga memiliki rasio guru-murid yang lebih baik dibanding Malaysia, China, Inggris, dan Amerika. Dari telaah dan perenungan mendalam, saya sampai pada kesimpulan bahwa yang membuat suatu bangsa maju bukan karena keberlimpahan sumberdaya alam atau lamanya suatu negara berdiri, tetapi lebih pada kualitas manusianya. Sementara itu, kualitas manusia hanya dapat dihasilkan melalui pendidikan yang memberdayakan, sebuah proses pendidikan yang membuat individu menjadi mandiri, mampu berpikir kritis, inovatif, berkarakter, dan berdaya saing.
Pendidikan yang memberdayakan Pendidikan yang memberdayakan menempatkan peserta didik sebagai insan yang aktif dan dengan segenap potensi yang dimilikinya, mampu mengonstruksi pengetahuan dan pengalamannya. Sebagaimana lima pilar yang dikampayekan Unesco (2009a), yakni learning to know, learning to do, learning to be, learning to live together, and learning to transform one self and society. Dengan demikian, individu pembelajar tidak sekadar tahu tetapi juga mampu mengonstruksi pengetahuan, terampil menerapkan pengetahuan yang dimiliki, baik dalam konteks dirinya maupun lingkungan masyarakatnya. Setiap individu, menurut Debono (2015), memiliki kemampuan mengorganisasikan dirinya, yang kemudian disebut sebagai selforganizing system. Individu sebagai suatu sistem, akan mampu mengelola ikhwal dirinya untuk maju dan berkembang (Mayer, 2014). Sejalan dengan ini, fungsi institusi pendidikan adalah menciptakan lingkungan dan iklim belajar yang memungkinkan segenap potensi pembelajar teraktualisasikan. Sumber-sumber belajar seperti perpustakaan, laboratorium, buku, jurnal, dan internet cukup tersedia dan dapat diakses dengan mudah. Proses pembelajaran harus mampu memberikan inspirasi, menumbuhkan dan memperkuat rasa keingintahuan (curiosity) mahasiswa terhadap sesuatu. Rasa keingintahuan yang kuat akan menumbuhkan budaya belajar, keberanian bertanya, dan keinginan mencipta. Kondisi yang demikian merupakan iklim yang baik bagi munculnya inovasi dan kemajuan suatu bangsa. Inilah yang dipikirkan dan dilakukan oleh Singpura, Korea, dan China, yaitu how to instill a culture of enquiry and critical thinking into their education systems (Leslie, 2014). Bertalian dengan pendidikan yang memberdayakan, ada tiga esensi dasar yang menjadi “roh” penyelenggaraan pendidikan, yakni pendidikan yang mencerdaskan, pendidikan yang menyejahterakan, dan pendidikan yang memanusiakan. Sebagaimana tersurat dalam pembukaan UUD 1945, pendidikan berkelindan dengan upaya negara mencerdaskan kehidupan bangsa. Esensi dasarnya adalah to train the individual mind and to maintain personal independence. Seseorang yang terdidik dengan baik, akan mampu menggunakan akal sehatnya dengan baik, mampu berpikir kritis dan konstruktif, serta mampu memecahkan masalah dan mengambil keputusan secara efisien dan efektif. Sayangnya, pendidikan kita selama ini cenderung membuat peserta didik sangat tergantung dengan perintah guru, sehingga peserta didik merasa inferior, miskin kreatifitas dan inovasi, dan dalam jangka panjang merusak kemampuannya mengatasi masalahnya sendiri (Maksum, 2011). Karena itu, tidak mengherankan dalam ajang kompetisi yang menguji kemampuan berpikir kritis dan kemampuan mengatasi masalah, seperti PISA (programme for international student assessment), dari 65 negara yang dilakukan asesmen, Indonesia ada pada peringkat 64, sementara Malaysia pada peringkat 52, Thailand 50, Singapura 2, dan China 1 (OECD, 2013). Dalam realitas kehidupan sehari-hari, indikasi rendahnya level berpikir dan kemampuan memecahkan masalah juga masih banyak terjadi di 4
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
masyarakat. Misalnya, banyak anggota masyarakat yang terkena penipuan berkedok investasi dan penipuan dengan modus hadiah, yang nyata-nyata tidak masuk akal sehat. Demikian juga orang begitu mudah melakukan tindak kekerasan, menyakiti, dan bahkan menghilangkan nyawa orang lain karena hal yang sepele. Dibutuhkan kesadaran yang kuat bahwa tujuan utama pendidikan bukan untuk mencari nilai atau mendapatkan ijazah. Apalagi menempuh jenjang pendidikan tinggi sekadar untuk prestise dan mendapatkan pengakuan yang sejatinya semu. Penyelenggaraan pendidikan yang sekadar berorientasi pemerolehan ijazah tanpa akuntabilitas dan proses yang benar, tidak saja melanggar ketentuan tetapi juga mendestruksi kecerdasan publik, menjadi lemah pikir yang dalam jangka panjang dapat berujung pada pembodohan bangsa. Itulah mengapa pemerintah, dalam hal ini Dikti dan Kopertis, melarang keras penyelenggaraan kelas jauh, pendidikan di luar domisili tidak sesuai ketentuan, pemendekan masa studi, dan pengebirian SKS. Dikti dan Kopertis sebagai representasi negara punya kewajiban untuk melindungi kepentingan publik. Setelah bisa dipastikan kemampuan berpikir kritis dan konstruktif terbentuk, proses berpikir perlu dijaga agar tetap jernih, jangan sampai terjadi bias atau sesat pikir. Hal yang demikian bisa terjadi apabila seseorang tidak lagi independen, misalnya karena ada muatan emosi, kepentingan pribadi, dan tekanan dari luar. Perlu diingat, sesar pikir bisa menyebabkan sesat perilaku. Hukum dan aturan sulit ditegakkan manakala berhimpitan dengan kerabat keluarga dan pertemanan yang muatan emosinya begitu kuat. Pengadaan barang dan penyelenggaraan kegiatan bisa koruptif apabila ada kepentingan pribadi untuk mendapatkan keuntungan. Demikian juga suatu kebijakan yang pruden bisa berbelok ditengah jalan jika ada intervensi atau tekanan dari luar. Intinya, pola pikir dan sikap imparsial perlu dirawat agar seseorang bisa tetap berpikir jernih dan memiliki laku jalan lurus. Pendidikan yang memberdayakan juga berarti menyejahterakan. Ada relasi yang cukup kuat antara tingkat pendidikan dan kesejahteraan. Pendidikan yang baik akan mengangkat derajat seseorang. Individu yang terdidik dengan baik akan dapat membuka dan menciptakan peluang bagi diri dan orang lain yang berdampak pada ekonomi. Dari aspek ekonomi, per capita income Indonesia sebesar 4.730 US$, sementara Thailand 9.280 US$, Malaysia 16.270 US$, Jepang 36.750, dan Singapura telah mencapai 60.110 US$ (World Bank, 2014). Dalam hal ini, kita bisa belajar dari Malaysia, Singapura, dan Korea. Bukankah pada awal kemerdekaan mereka kondisinya relatif mirip sebagai negara yang baru merdeka, yakni terjadi keterbelakangan ekonomi yang masif. Terlebih mereka tidak memiliki sumberdaya alam yang cukup dibanding Indonesia. Sekarang bisa kita lihat bagaimana kehebatan mereka dalam kesejahteraan ekonomi. Lagi-lagi, kunci keberhasilan mereka adalah menempatkan pendidikan yang bermutu sebagai piliar utama. Tesis ini yang rupanya menginspirasi program beasiswa bidikmisi Kemdikbud, memutus mata rantai kemiskinan bagi keluarga kurang mampu dengan memberikan kesempatan kepada calon mahasiswa, yang secara ekonomi kurang beruntung namun secara akademik sangat potensial, melalui pendidikan yang bermutu. Setelah mereka lulus, maka diharapkan bisa mendapatkan atau menciptakan pekerjaan yang dapat mengangkat ekonomi keluarga. Kesejahteraan tidak hanya bermakna ekonomi, melainkan juga kualitas hidup manusia yang ditunjukkan oleh kondisi kesehatan, baik fisik maupun psikis. WHO memperkirakan sekitar 70% kematian di dunia disebabkan oleh penyakit nonmenular, seperti jantung, hipertensi, kardiovaskular, dan diabetes melitus, yang sebagian besar disebabkan karena gaya hidup yang tidak sehat. Kementerian Kesehatan RI mencatat bahwa jumlah penderita stroke Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
5
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
pada 2015 meningkat lebih dari 100%. Pada tahun 2013 tercatat 12,1 penderita per 1000 penduduk, sementara pada 2015 menjadi 25-35 orang per 1000 penduduk (Kompas, 16 April 2015). Sebuah penelitian yang dilakukan di Jakarta juga menunjukkan bahwa ada 67% penduduk Jakarta mengalami kelebihan berat badan atau obesitas, 95% penduduk wanita memiliki lingkar perut di atas normal, dan pada saat yang sama, 87% pria memiliki riwayat hipertensi (The Jakarta Post, May 11, 2012). Data-data tersebut berkaitan erat dengan budaya gerak, dalam hal ini olahraga, yang masih rendah. Fakta tersebut juga sejalan dengan hasil penelitian Komnas Penjasor 2011 bahwa tingkat kebugaran jasmani remaja kita (14-17 tahun) sangat memprihatinkan, putra 33,66 ml/kg/min dan putri 24,23 ml/kg/min. Secara rinci, untuk remaja putra, 56% kategori sangat rendah, 15% kategori rendah, 23% kategori sedang, dan hanya 6% masuk kategori baik ke atas. Sementara untuk putri, 64% masuk kategori sangat rendah, 30% kategori rendah, 3% kategori sedang, dan hanya 2% masuk kategori baik. Pendidikan yang memberdayakan juga mengandung makna memanusiakan. Istilah “memanusiakan” penting untuk digaris bawahi mengingat seseorang bisa kehilangan kemanusiaannya manakala limbic system yang merupakan locus berprosesnya syahwat “kebinatangan” tidak terkelola dan terdidik dengan baik. Nafsu ingin menguasai, menghancurkan orang lain yang tidak sejalan, keserakahan ekonomi, termasuk libido ada di wilayah ini. Karena itu, kesanggupan untuk menahan dan mengelola syahwat-syahwat instinktif yang dapat mendistorsi sifat kemanusiaan perlu dirawat. Acapkali kita tidak tahan atas godaan kemewahan dan kenikmatan di sekitar kita, apakah itu berupa kedudukan, rekognisi sosial, materi, bonus, komisi, dan bentuk gratifikasi lainnya. Eksperimen klasik Walter Mischel terhadap sekelompok anak usia 4-5 tahun sungguh menarik untuk disimak. Anak-anak dimasukkan ke dalam ruangan, duduk secara beraturan, dan di hadapan setiap anak disediakan marhsmello (semacam permen-coklat). Mereka diberi dua opsi, pertama, ketika bel berbunyi anak-anak boleh langsung makan marhsmello tersebut, atau opsi kedua menahan diri sampai 15 menit hingga eksperimenter datang dan memberikan marhsmello dua kali lipat. Ada sebagian yang memilih opsi pertama dan sebagian yang lain memilih opsi kedua. Seteleh mereka remaja dan dewasa dicek lagi, hasil penelitian menunjukkan bahwa anak yang bisa menunda kenikmatan (delayed gratification) bisa lebih sukses dikemudian hari, baik dalam akademik, kompetensi sosial, dan kemampuan menghadapi tekanan, dibanding dengan mereka yang tidak dapat menahan diri (Maksum, 2014). Laku keserakahan sebagian bangsa ini bisa kita lihat dari indeks persepsi korupsi yang dikeluarkan oleh lembaga Transparency International tahun 2014, Indonesia ada pada peringkat 107 dari 175 negara yang disurvei dengan skor 34 pada rentang skala 0-100. Sementara Philipina dengan skor 38, Malaysia 52, Jepang 76, dan Singapura 84. Demikian juga dalam penyalahgunaan narkotika, BNN memprediksi prevalensi pengguna narkoba di Indonesia pada 2015 mencapai 5,1 juta orang dan sekitar 50 orang meninggal setiap hari akibat narkoba. Tentu, hal ini sangat mengkawatirkan, kita berada dalam darurat narkoba. The last but not least adalah soal terorisme yang menghentak kemanusiaan. Kelompok radikal yang menggunakan emosi agama ini, tanpa disadari ideologinya telah menelisik jauh pada sejumlah remaja kita. Mereka menganggap kebenaran ada pada dirinya dan pihak yang berbeda dianggap salah dan absah untuk dihancurkan. Sejatinya mereka merupakan anak-anak yang baik, tetapi salah asuhan dan salah jalan menempuh kekerasan “suci” untuk memperoleh “surga”. Sebagian besar persoalan kebangsaan sebagaimana yang telah diuraikan di atas akan bisa diatasi dengan pendidikan yang memberdayakan: mencerdaskan, menyejahterakan, dan 6
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
memanusiakan. Pertanyaannya sekarang, bagaimana mewujudkan tujuan tersebut? Rekonstruksi kurikulum menjadi agenda yang urgen untuk dilakukan.
Kurikulum, antara dokumen dan implementasi Secara sederhana, kurikulum dapat diartikan sebagai seperangkat rencana dan pengaturan mengenai capaian pembelajaran lulusan, bahan kajian, proses, dan penilaian yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pendidikan. Kurikulum menjadi urgen karena merupakan peta jalan menuju harapan, yakni manusia Indonesia yang hendak kita wujudkan. Perlu disadari bahwa tantangan generasi berubah dari waktu ke waktu, dan karena itu pula, kurikulum tentu perlu menyesuaikan dengan kebutuhan jamannya. Dalam konteks pendidikan tinggi, kurikulum mengalami beberapa kali perubahan (Kemdikbud, 2014b). Pada tahun 1990-an, konsep ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) mendapatkan tempat yang terhormat dalam diskursus pembangunan, termasuk di dalam dunia pendidikan. Karena itu, pada kurikulum 1994 bisa disebut sebagai kurikulum berbasis isi, yang diarahkan pada penguasan Iptek. Memasuki tahun 2000, Unesco mempromosikan empat pilar pendidikan, yakni learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together. Beriringan dengan itu, sekitar 2002, istilah kompetensi menjadi wacana yang sangat kuat bertalian dengan kualitas lulusan. Oleh karenanya, kurikulum saat itu dikatakan sebagai kurikulum berbasis kompetensi. Lalu, bagaimana halnya dengan kurikulum yang sekarang? Keluarnya sejumlah peraturan perundang-undangan seperti UU No. 12 tahun 2012 tentang pendidikan tinggi, Perpres No. 8 tahun 2012 tentang kerangka kualifikasi nasional Indonesia (KKNI), dan Permendikbud No. 49 tahun 2014 tentang standar nasional pendidikan tinggi, memberikan pesan kuat bahwa pendidikan tinggi harus mampu melahirkan manusia Indonesia yang cakap, berkarakter, dan berdaya saing. Pendidikan tinggi berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa (Kemdikbud, 2012a). Selain itu, pendidikan tinggi harus mampu memberdayakan mahasiswa menjadi manusia terdidik (educated person) yang berpengetahuan, kreatif, inovatif, dan berkarakter. Manusia Indonesia juga harus mampu sejajar dan bersaing dengan warga bangsa yang lain. Kualifikasi manusia Indonesia seperti itulah yang diharapkan bisa terbentuk melalui proses pendidikan di perguruan tinggi. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian terkait dengan keterampilan yang dibutuhkan diabad 21. Ada lima keterampilan pokok yang perlu dimiliki, yakni keterampilan beradaptasi, berkomunikasi kompleks, memecahkan masalah nonrutin, manajemen diri, dan berpikir sistem (National Academy of Sciences, 2011). Lalu, bagaimana kurikulum dikembangkan? Sesuai semangat UU no 12 tahun 2012 yang memberikan otonomi pada perguruan tinggi, maka pengembangan kurikulum diserahkan sepenuhnya pada otonomi kampus. Entitas program studi dan asosiasi keilmuan, termasuk asosiasi profesi menjadi think tank penyusun kurikulum. Tentu menjadi lebih baik, jika penyusunan kurikulum melibatkan pemangku kepentingan, terutama pengguna lulusan. Ada dua model struktur yang dapat digunakan dalam menyusun kurikulum, yakni model serial dan model parallel (Kemdikbud, 2014b). Model serial adalah pendekatan yang menyusun mata kuliah berdasarkan logika struktur keilmuan. Mata kuliah disusun dari yang paling dasar menuju lanjutan. Dalam model ini dikenal istilah matakuliah prasyarat, yang menunjukkan keterhubungan matakuliah yang satu dengan yang lain. Adapun model paralel menyajikan mata kuliah pada setiap semester sesuai dengan tujuan kompetensinya. Model ini lebih menyerupai
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
7
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
sistem blok, menyusun matakuliah berdasarkan ketercapaian kompetensi, bukan sekadar pembelajaran semesteran. Selain dua model tersebut, ada model lain yang bisa juga dipertimbangkan untuk diterapkan, yakni model konsekutif dan model konkuren. Kedua model ini biasanya diterapkan dalam konteks pendidikan guru. Model konsekutif adalah menyusun struktur matakuliah secara berurutan dengan memperhatikan capaian pembelajaran. Ada pembedaan yang tegas antara penguasaan kompetensi keilmuan dan kompetensi pedagogik. Mengacu model konsekutif, maka pendidikan guru didesain menjadi 4+1, yakni empat tahun fokus pada penguasaan kompetensi keilmuan dan satu tahun kompetensi profesi. Adapun model konkuren menyusun kurikulum yang mengintegrasikan antara kompetesi keilmuan dan kompetensi profesi pada saat yang bersamaan, sebagaimana yang selama ini dilakukan di lembaga pendidikan tenaga kependidikan. Apakah kurikulum yang telah didesain sedemikian rupa pada gilirannya dapat mewujudkan tujuan yang hendak dicapai? Di sinilah persoalannya. Pergulatan antara kurikulum sebagai dokumen dan kurikulum in action. Acapkali kurikulum sebagai dokumen telah tersusun dengan begitu baik, namun pelaksanaannya jauh panggang dari api. Dalam konteks ini, peran pengelola kurikulum, dalam hal ini ketua program studi dan peran pelaksana kurikulum, yakni dosen, menjadi sangat urgen. Ada korelasi yang sangat kuat antara kepemimpinan akademik dan kualitas dosen terhadap keberhasilan pelaksanaan kurikulum, Semakin tinggi komitmen Kaprodi dan dosen dalam melaksanakan kurikulum, semakin tinggi pula peluang keberhasilan capaiancapaian kurikulum.
Capaian pembelajaran dan KKNI Ada semacam missing link antara lulusan perguruan tinggi dengan dunia kerja. Persoalan pengangguran bukan semata karena ketiadaan pekerjaan, tetapi juga ketidaksesuaian antara jenis pekerjaan dan lulusan yang memenuhi kualifikasi yang dibutuhkan. Artinya, ada sejumlah pekerjaan yang tidak bisa diisi oleh lulusan perguruan tinggi. Pemangku kepentingan tidak tahu capaian pembelajaran yang dimiliki oleh lulusan. Kemampuan apa saja yang dimiliki oleh lulusan perguruan tinggi jenjang diploma, sarjana, magister, dan doktor? Bagaimana pula dengan mereka yang memiliki kemampuan memadai meski tidak diperoleh melalui pendidikan formal? Pertanyaan lanjutan yang tidak kalah pentingnya adalah apakah lulusan pendidikan sarjana di Indonesia setara dengan lulusan sarjana dari Singapura, Malaysia, atau Thailand? Begitu juga berlaku sebaliknya? Dalam konteks ini, globalisasi pendidikan menjadi pertimbangan, terlebih seiring kebijakan masyarakat ekonomi Asean yang akan berlaku pada akhir 2015. Ikhwal inilah yang pada dasarnya melatarbelakangi keluarnya Perpres no. 8 tahun 2012 mengenai kerangka kualifikasi nasional Indonesia (KKNI), yang merupakan kerangka penjenjangan kualifikasi SDM yang menyetarakan capaian pembelajaran bidang pendidikan dengan pelatihan dan pengalaman kerja. Ada 9 level dalam KKNI, yang dari perspektif pendidikan formal, level 1-2 adalah pendidikan menengah, level 3-6 adalah pendidikan diploma dan sarjana, level 7 profesi, level 8 magister, dan level 9 doktor. Dari perspektif dunia kerja, level 1-3 adalah operator, 4-6 teknisi/analis, dan 7-9 ahli. KKNI pada dasarnya juga merupakan respons Indonesia setelah meratifikasi konvensi Unesco tentang pengakuan pendidikan, ijazah, serta gelar pendidikan tinggi di Asia dan Pasifik pada 16 Desember 1983 dan diperbarui pada 30 Januari 2008 (Unesco, 2005). Sungguh disadari bahwa di setiap Negara memiliki cara, sistem, dan budaya yang berbeda satu sama lain. Pada saat yang sama, ada kebutuhan untuk menyetarakan beberapa perbedaan tersebut, mengingat 8
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
terjadinya masifikasi pendidikan tinggi dewasa ini (Unesco, 2009b). Adanya KKNI memberikan kesempatan kepada siapapun dia, dengan kompetensi yang dimiliki dapat disejajarkan satu dengan yang lain. Pencapaian KKNI dapat dilakukan melalui berbagai jalur, yaitu pendidikan formal, pengembangan profesi, peningkatan karier di dunia kerja, dan akumulasi pengalaman individu. Terkait dengan KKNI, apa yang perlu dilakukukan oleh kampus? Perguruan tinggi perlu menggunakan KKNI sebagai rujukan dalam merencanakan sistem pembelajaran sehingga lulusannya sesuai dengan kualifikasi jenjang KKNI. Mengacu Permendikbud No. 73 tahun 2013 tentang penerapan KKNI bidang pendidikan tinggi, perguruan tinggi, melalui Prodi, perlu menyusun deskripsi capaian pembelajaran minimal mengacu level KKNI. Capaian pembelajaran merupakan kemampuan yang diperoleh seseorang melalui internalisasi pengetahuan, sikap, ketrampilan, kompetensi, dan akumulasi pengalaman kerja. Dengan demikian, Prodi dengan segenap sumberdaya yang dimiliki, multitrack and multimethod, mengupayakan terwujudnya capaian pembelajaran. Setelah dipastikan rumusan capaian pembelajaran, langkah berikutnya adalah menyusun, melaksanakan, dan mengevaluasi kurikulum mengacu KKNI. Terakhir, mengembangkan sistem penjaminan mutu internal untuk memastikan capaian pembelajaran yang telah ditetapkan. Unsur capaian pembelajaran mencakup sikap dan tata nilai, kemampuan, pengetahuan, dan tanggung jawab. Seluruh unsur ini menjadi kesatuan yang saling mengait dan juga membentuk relasi sebab akibat. Dengan demikian, dalam konteks capaian pembelajaran, siapapun orang di Indonesia, dalam perspektif sebagai SDM, pertama-tama harus memiliki sikap dan tata nilai keindonesiaan, padanya harus dilengkapi dengan kemampuan yang tepat dan didukung oleh pengetahuan yang sesuai, maka padanya berlaku tanggung jawab sebelum dapat menuntut haknya (Kemdikbud, 2014b).
Pemenuhan standard Capaian pembelajaran dalam kurikulum dapat dioptimalkan apabila ada standarisasi, mulai dari masukan, proses, dan keluaran. Secara lebih komprehensif, ada Permendikbud no. 49 tahun 2014 tentang standar nasional pendidikan tinggi (SNPT), yang bisa dijadikan kerangka kerja mewujudkan capaian pembelajaran. Terdapat 10 standar yang perlu dipenuhi, yaitu: standar kompetensi lulusan, isi pembelajaran, proses pembelajaran, penilaian pembelajaran, dosen dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana pembelajaran, pengelolaan pembelajaran, pembiayaan pembelajaran, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat. Dalam setiap standar tersebut terdapat ketentuan yang perlu diacu dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi. Meski demikian perlu diingat bahwa sejatinya SNPT adalah kriteria minimal tentang penyelenggaraan tridharma, yang bertujuan menjamin tercapainya tujuan pendidikan tinggi dan mencapai mutu sesuai kriteria yang ditetapkan. Karena merupakan kriteria minimal, maka perlu diupayakan dan didorong agar perguruan tinggi melampaui kriteria yang ditetapkan. Pada saat yang sama, penetapan standar juga perlu dievaluasi dan disempurnakan secara periodik dan berkelanjutan. Pada kesempatan ini, saya ingin memberikan penekanan pada beberapa standar yang menuntut perhatian lebih. Pertama adalah masalah dosen. Dosen merupakan “roh” dari sebuah perguruan tinggi. Maju mundurnya perguruan tinggi sangat tergantung pada kualifikasi dan kompetensi dosennya. Kualifikasi pendidikan minimal seorang dosen adalah S2 untuk program studi diploma dan sarjana, sementara untuk program pascasarjana adalah S3. Meski kebijakan ini sudah diberlakukan sejak 2005, bersamaan dengan ditetapkannya UU no. 14 than 2005 Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
9
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
tentang guru dan dosen, tetapi hingga sekarang masih banyak dosen yang berstatus S1. Berdasarkan data di PD-Dikti pada 12 April 2015, terdapat 38.796 atau 22% dari total 178.270 dosen yang masih bergelar S1 di Kementerian Ristek dan Pendidikan Tinggi. Sementara itu, dosen yang berkualifikasi S2 sebanyak 61% dan S3 sebanyak 13%, serta yang memperoleh jabatan professor baru 3%. Sebuah perguruan tinggi dianggap unggul, menurut BAN-PT, manakala jumlah dosen bergelar Doktor ≥ 50% dan yang memiliki jabatan akademik professor ≥ 30%. Seorang dosen juga perlu memperbarui pengetahuan dan keterampilan dengan mengikuti sejumlah seminar, pelatihan, dan sejenisnya. Untuk bisa memberikan inspirasi dan pencerahan kepada mahasiswa, rasanya tidak mungkin seorang dosen hanya mengandalkan pengetahuan masa lampau, buku yang digunakan sudah tertinggal lebih dari 10 tahun, tidak pernah melakukan penelitian dibidangnya, dan abai terhadap perkembangan keilmuan terkini. Kedua, terkait sarana dan prasarana. Mengenai sarana prasarana, tidak cukup sekadar adanya ruang kuliah, tetapi juga laboratorium, perpustakaan, dan tempat diskusi yang memungkinkan mahasiswa berinteraksi dan menggunakan sumber-sumber belajar secara optimal. Demikian juga tempat/ruang untuk pengembangan bakat dan minat mahasiswa seperti karya ilmiah, olahraga, dan kesenian. Dosen juga diberikan tempat/ruang untuk menjalankan aktifitas profesinya seperti membaca, menyiapkan perkuliahan, dan menerima konsultasi mahasiswa. Masih banyak perguruan tinggi yang belum bisa menyediakan fasilitas, baik bagi dosen dan mahasiswa, meski dalam standar yang minimal. Ketiga, proses pembelajaran. Proses pembelajaran dilakukan dengan memperhatikan kelayakan, baik dalam kuantitas maupun kualitas. Dalam satu semester, pertemuan dilakukan selama 16 kali pertemuan. Perlu juga diingat bahwa pengertian 1 sks setara dengan 160 menit kegiatan belajar per minggu per semester. Dalam bentuk pembelajaran kuliah 1 sks mencakup 50 menit tatap muka, 50 menit terstruktur, dan 60 menit mandiri. Pembelajaran akan optimal jika sks diterapkan secara murni dan konsisten. Mahasiswa belajar tidak hanya saat bertemu dengan dosen, tetapi ditindaklanjuti dalam bentuk pendalaman melalui kegiatan tersruktur dan mandiri. Dalam konteks pembelajaran, yakni interaksi antara dosen, mahasiswa, dan sumber belajar, perlu dijaga keseimbangan terkait beban kerja. Bagi mahasiswa, beban normal belajar adalah 8 jam per hari atau 48 jam per minggu, setara dengan 18 SKS per semester. Sementara itu bagi dosen, beban kerja yang mencakup tridharma dan tugas tambahan, paling sedikit 40 jam per minggu atau setara dengan 12 sks. Dengan memperhatikan ketentuan tersebut, diharapkan iklim akademik akan tumbuh sehingga capaian pembelajaran dapat terwujud. Beban belajar/kerja yang jauh di bawah atau di atas normal tentu tidak diharapkan, apalagi yang berkorelasi negatif dengan penguatan iklim akademik. Perlu kesadaran yang cukup kuat dari dosen bahwa paradigma pembelajaran sudah berubah, tidak lagi berpusat pada dosen, tetapi mahasiswa (Kemdikbud, 2014b). Dalam konteks ini, mahasiswa belajar mencari dan mengonstruksi pengetahuan, bukan sekadar menerima pengetahuan dari dosen. Demikian juga pengetahuan harus dipandang sebagai hasil konstruksi atau hasil transformasi oleh pembelajar, bukan sesuatu yang sudah jadi yang tinggal ditransfer ke mahasiswa. Peran dosen lebih sebagai fasilitator dan motivator, sementara mahasiswa menunjukkan kinerja kreatif, yang mengintergrasikan kemampuan kognitif, psikomotor, dan afektif. Metodenya mengarah pada inquiry and discovery dan sumber belajarnya bersifat multi demensi dan kontekstual. Penilaian juga sebaiknya dalam bentuk authentic assessment atau performance assessment, yaitu penilaian atas proses perolehan, penerapan pengetahuan dan ketrampilan, 10
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
melalui proses pembelajaran yang menunjukkan kemampuan mahasiswa dalam proses dan produk. Penilaian model ini terdiri dari tiga kegiatan pokok, yakni dosen memberi tugas, mahasiswa menunjukkan kinerjanya, dan dinilai berdasarkan indikator tertentu dengan instrumen yang disebut Rubrik (Kemdikbud, 2014b). Perlu diketahui bahwa rubrik merupakan panduan penilaian yang menggambarkan kriteria yang digunakan dosen dalam menilai dan memberi tingkatan ketercapaian hasil belajar mahasiswa. Dalam rubrik termuat daftar karakteristik unjuk kerja yang diharapkan terwujud dalam proses dan hasil kerja serta dijadikan panduan untuk mengevaluasi masing-masing karakteristik tersebut. Keempat, terkait dengan penelitian. Perguruan tinggi harus memiliki kebijakan terkait arah, fokus, dan mekanisme penelitian. Jangan sampai perguruan tinggi hanya menghabiskan waktu untuk mengelola proses belajar-mengajar. Pengajaran hanyalah salah satu dari tridharma perguruan tinggi. Para dosen harus didorong untuk melakukan penelitian. Dosen perlu dirangsang untuk meraih dana penelitian dari luar institusi. Bagi mereka yang masih pemula, institusi perlu memberikan insentif, meski tidak besar, misalnya 3-5 juta per proposal. Dalam menciptakan budaya meneliti, keterlibatan dosen dan keikutsertaan mahasiswa dalam penelitian menjadi penting. Seiring dengan produk penelitian, publikasi ilmiah menjadi keniscayaan. Jumlah artikel yang terpublikasi, artikel yang disitasi, bahkan diperolehnya hak kekayaan intelektual, termasuk paten merupakan indikator utama kualitas penelitian di suatu perguruan tinggi.
Soal mutu, jangan ditawar Berdasarkan data PD-Dikti pada 26 Maret 2015, jumlah perguruan tinggi di Indonesia sebanyak 4.268, terdiri dari 365 PTN dan 3.903 PTS, dengan total prodi sebanyak 21.864. Sementara itu, jumlah mahasiswa sebesar 7,4 juta, terdiri dari 2,8 juta di PTN dan 4,6 juta di PTS. Adapun jumlah dosen bergelar Doktor sebesar 22.430 (12%) dan yang memiliki jabatan akademik profesor sebesar 4.948 (3%) dari keseluruhan 184.551 dosen. Bandingkan dengan jumlah perguruan tinggi di Amerika, yakni 4.599 dengan 21 juta mahasiswa. Dari segi kuantitas, sangat boleh jadi yang kita miliki sudah lebih dari cukup. Namun dari segi mutu, masih menyisakan persoalan yang serius. Pendidikan yang tidak bermutu tidak saja merugikan lulusan, tetapi dalam jangka panjang akan menjadi beban bangsa. Untuk mewujudkan pendidikan yang bermutu memang butuh biaya, tetapi ketersediaan biaya tidak serta merta pendidikan bermutu akan terwujud. Dalam konteks yang mikroskopik, misalnya iklim akademik, tidak dibutuhkan biaya mahal. Ketika mahasiswa disediakan jaringan listrik dan wifi, maka para mahasiswa dengan mudah mengakses segala informasi yang ada di internet. Mereka bisa menjelajahi perkembangan keilmuan terkini melalui berbagai tulisan, jurnal, dan kegiatan akademik yang tersaji di dunia maya. Bahkan sejumlah perguruan tinggi hebat, seperti MIT, bahan ajarnya dapat diunduh melalui website yang ada secara gratis. Yang justru menjadi keprihatinan kita selama ini adalah soal curiosity, rasa ingin tahu yang lemah terhadap pengetahuan yang terwujud dalam kerja yang “sistematis” dan penuh “kesungguhan”. Kebiasaan jalan pintas menjadi mainstream laku sebagian komunitas akademik. Misalnya, ingin mendapatkan ijazah, tetapi tidak mau menjalani kuliah secara wajar. Membutuhkan artikel tidak mau berproses secara wajar, alih-alih dengan membaca, meneliti, dan menulis, tetapi justru mencari tulisan orang lain yang serupa, yang pada akhirnya berujung pada tindakan plagiasi.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
11
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Saya ingin memberikan penguatan perlunya budaya membaca dan menulis dengan mengutip hasil penelitian Robert Wilson, et.al. (2013), neurologist pada Rush University Medical Center Chicago. Mereka meneliti 300 orang lanjut usia dan memeriksa kapasitas memori dan keterampilan berpikir setiap tahun. Mereka juga ditanya mengenai kebiasaan, menulis, dan aktifitas kognitif lainnya, termasuk saat masa anak-anak dan remaja. Mereka diikuti perkembangannya sampai meninggal dan selanjutnya diperiksa kondisi otaknya untuk membuktikan adanya demensia. Hasil penelitian cukup mengejutkan bahwa subyek yang jarang membaca dan menulis, mengalami penurunan fungsi kapasitas mental 48% lebih cepat dibanding rata-rata subyek penelitian. Karena itu, mari kita semua menjadikan kebiasaan membaca dan menulis sebagai gaya hidup, yang tidak saja berpengaruh pada profesionalisme sebagai dosen, tetapi juga meninggikan kualitas hidup kita sebagai manusia. Budaya mutu harus menjadi bagian dari budaya kerja akademik kita. Apalagi sudah dikeluarkan Permendikbud no 50 tahun 2014 tentang sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi. Dalam Permendikbud tersebut dinyatakan bahwa sistem penjaminan mutu merupakan kegiatan sistemik untuk meningkatkan mutu pendidikan tinggi secara berencana dan berkelanjutan, memastikan kesesuaian antara penyelenggaraan pendidikan dengan standar yang telah ditentukan. Ada dua model penjaminan mutu, pertama bersifat internal yang lazim disebut SPMI dan kedua bersifat eksternal yang dilakukan oleh BAN-PT. Keduanya berjalin berkelindan dalam mengupayakan terwujudnya mutu pendidikan tinggi. Sudah bukan waktunya lagi kita bekerja sekadar menggugurkan kewajiban, tidak pernah berpikir apakah yang kita kerjakan memberikan manfaat dan nilai lebih kepada pihak lain. Terlalu besar resiko yang harus ditanggung manakala mutu dikorbankan. Tidak bisa lagi kita mengajar hanya sekadar mengalihkan pengetahuan yang kita miliki kepada mahasiswa, tanpa ada jaminan hal itu dapat mengubah dan menginspirasi mahasiswa kearah yang lebih konstruktif. Ketika kita meneliti, tidak cukup sekadar memenuhi kredit poin kenaikan pangkat, tanpa pernah berpikir apakah yang kita teliti berkontribusi pada ilmu pengetahuan dan kemaslahatan umat manusia. Ada banyak ukuran mutu yang bisa digunakan untuk menilai keunggulan sebuah perguruan tinggi. Misalnya, berapa proporsi guru besar dan doktor yang dimiliki, publikasi ilmiah yang dihasilkan, termasuk paten, yang diyakini berkontribusi besar terhadap peningkatan kesejahteraan umat manusia. Dalam konteks publikasi ilmiah, kita juga masih kalah jauh dengan sejumlah negara Asean. Pada tahun 2013, publikasi Indonesia sebanyak 4.175, sementara Thailand 11.313, Singapura 17.052, dan Malaysia sebanyak 23.190 (www.scimagojr.com – diunduh 17 Nov 2014). Perkembangan publikasi ilmiah Malaysia begitu luar biasa, pada tahun 2007 sebanyak 5000 dan tahun 2013 menjadi empat kali lebih. Pada suatu forum kerjasama antar universitas, saya sempat berdiskusi dengan Naib Canselor (Rektor) Universiti Sultan Zainal Abidin di Malaysia, Prof. Yahya bin Ibrahim, apa yang dilakukan perguruan tinggi di Malaysia terkait percepatan publikasi ilmiah yang belakangan ini begitu signifikan? Prof. Yahya menyatakan bahwa yang utama adalah mendorong dosen dan mahasiswa mengunggah karya ilmiah yang dihasilkan, baik dari skripsi, tesis, disertasi, dan bentuk penelitian lainnya. Hal yang sama sejatinya telah dilakukan di Indonesia, dengan keluarnya surat edaran Dirjen Dikti pada Januari 2012. Dalam surat tersebut dinyatakan bahwa dalam rangka meningkatkan publikasi karya ilmiah, maka lulusan S1 harus mengasilkan karya yang dipublikasikan di jurnal ilmiah, S2 pada jurnal nasional terakreditasi, dan S3 pada jurnal internasional. Meski belum signifikan, seiring waktu langkah ini dapat membangkitkan kinerja publikasi kita.
12
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Daftar Bacaan Debono, E. (2015). Serious creativity: How to be creative under pressure and turn ideas into action. London: Vermilion. Kemdikbud (2014a). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia nomor 49 tahun 2014 tentang standar nasional pendidikan tinggi. Jakarta: Kemdikbud. Kemdikbud (2014b). Buku kurikulum pendidikan tinggi. Jakarta: Ditjen Dikti, Kemdikbud. Kemdikbud (2014c). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia nomor 50 tahun 2014 tentang sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi. Jakarta: Kemdikbud. Kemdikbud (2013). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia nomor 73 tahun 2013 tentang penerapan kerangka kualifikasi nasional Indonesia bidang pendidikan tinggi. Jakarta: Kemdikbud. Kemdikbud (2012a). Undang-undang nomor 12 tahun 2012 tentang pendidikan tinggi. Jakarta: Kemdikbud. Kemdikbud (2012b). Peraturan Presiden nomor 8 tahun 2012 tentang kerangka kualifikasi nasional Indonesia. Jakarta: Kemdikbud. Kompas (2015). Ancaman saat tubuh menua, edisi 16 April, h.14 Kompas.com (2014). BPS: Kualitas tenaga kerja Indonesia masih rendah, edisi 5 februari. Leslie, I. (2014). Curious: The desire to know and why your future depends on it. London: Quercus. Maksum, A. (2014). National mental model and competitiveness: Transformation toward achieving and progressive behavior. Anima, Indonesian Psychological Journal, vol. 29, no. 2. Maksum, A. (2011). Membangun mental prestatif: Tugas utama pendidikan ke depan. Dalam Sirkit Syah dan Martadi, “Rekonstruksi Pendidikan”. Surabaya: Unesa University Press. Mayer, J.D. (2014). Personal intellegence: The power of personality and how it shapes our lives. New York: Scientific American/Farrar, Straus and Giroux. National Academy of Sciences (2011). Assessing 21st Century Skills: Summary of a Workshop. Washington: Division of Behavioral and Social Sciences and Education. OECD (2013). PISA 2012 Results in Focus: What 15-year-olds know and what they can do with what they know. Scimago (2014). The SCImago Journal & Country Rank, diunduh 17 Nov 2014. The Jakarta Post (2012). Study shows 67 percent of Jakartans overweight, Edisi 11 Mei. UNDP (2014). Human development report 2014. New York: United Nation Development Program. Unesco (2005). The Regional convention on the recognition of studies, diplomas and degrees in higher education in Asia and the Pacific. Kunming, China: Academic Degrees Committee of the State Council. Unesco (2009a). Education for Sustainable Development. France: Division for the coordination of United Nations priorities in education. Unesco (2009b). Trends in global higher education: Tracking an academic revolution. A report prepared for the Unesco 2009 world conference on higher education. France: Division for the coordination of United Nations priorities in education. Wilson, R., et al. (2013). Life-span cognitive activity, neuropathologic burden, and cognitive aging. Neurology, vol. 81, no. 4 Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
13
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
World Bank (2014). World development indicators. Washington: International Bank for Reconstruction and Development. World Economic Forum (2014). The Global Competitiveness Index 2013–2014.
14
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Pengembangan Kurikulum Pendidikan Tinggi Berbasis KKNI dan SN-DIKTI Joko Nurkamto Guru Besar dan Kepala Lembaga Pengembangan Pendidikan UNS Suarakarta
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
15
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
16
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
17
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
18
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
19
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
20
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
21
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
22
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
23
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
24
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
25
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
26
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
27
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
28
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
29
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
30
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
31
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
32
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
POKOK-POKOK PIKIRAN Revolusi Mental Menggubah Pembelajaran: Pada Pendididkan Dasar, Menengah, dan Tinggi Nyoman S. Degeng Guru Besar dan Teknolog Pembelajaran, Universitas Negeri Malang
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
33
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
34
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
35
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
36
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
37
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
38
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
39
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
40
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
41
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
42
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
43
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
44
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
45
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
46
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
47
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
48
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
49
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
50
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Integrasi Soft Skills dalam Pembelajaran Dr. Wiwin Sri Hidayati, S.Pd., M.Pd Dosen dan Ketua Prodi Pendidikan Matematika STKIP PGRI Jombang Drs. Asmuni, M.Si Dosen dan Pembantu Ketua I STKIP PGRI Jombang
Soft Skills Klaus (2007) menyatakan bahwa soft skills encompass personal, social, communication, and self management behaviours, they cover a wide spectrum: self awareness, trustworthiness, conscientiousness, adaptability, critical thinking, organizational awareness, attitude, innitiative, emphathy, confidence, integrity, self-control, leadership, problem solving, risk taking and time management. Pernyataan ini menjelaskan bahwa soft skill meliputi personal, sosial, komunikasi, dan perilaku manajemen diri, yang mencakup spektrum yang luas: kesadaran diri, kepercayaan, kesadaran, kemampuan beradaptasi, berpikir kritis, kesadaran organisasi, sikap, inisiatif, empati, kepercayaan diri, integritas, pengendalian diri, kepemimpinan, pemecahan masalah, pengambilan risiko dan manajemen waktu. Aribowo (dalam Sailah, 2008) membagi soft skills menjadi dua bagian, yaitu intrapersonal skills dan interpersonal skills. Intrapersonal skills adalah keterampilan seseorang dalam mengatur diri sendiri. Adapun interpersonal skills adalah keterampilan seseorang yang diperlukan dalam berhubungan dengan orang lain. Dua jenis keterampilan tersebut dirinci sebagai berikut, intrapersonal skills terdiri dari: transforming character, transforming beliefs, change management, stress management, time management, goal setting & life purpose, accelerated learning techniques. Interpersonal skills terdiri dari: communication skills, relationship building, motivation skills, leadership skills, self-marketing skills, negotiation skills, presentation skills, public speaking skills. Zhang (2012) membuat definisi hard skills dan soft skills sebagai berikut, "hard skills are the technical skills required to perform a certain type of task, and soft skills are interpersonal skills, such as communication, teamwork, and conflict management". Hard skills adalah keterampilan teknis yang diperlukan untuk melakukan jenis tugas tertentu, dan soft skills merupakan keterampilan interpersonal, seperti komunikasi, kerja sama tim, dan manajemen konflik. Elfindri dkk. (2010:67), mendefinisikan Soft skills sebagai keterampilan dan kecakapan hidup, baik untuk diri sendiri (intrapersonal), maupun berkelompok atau bermasyarakat (interpersonal). Coates (2006) menyebutkan bahwa intrapersonalitas adalah keterampilan yang dimiliki seseorang dalam mengatur dirinya sendiri, seperti manajemen waktu, manajemen stres, manajemen perubahan, karakter transformasi, berpikir kreatif, memiliki acuan tujuan positif, dan teknik belajar cepat. Sedangkan interpersonalitas adalah keterampilan berhubungan atau berinteraksi dengan lingkungan kelompok masyarakatnya dan lingkungan kerjanya serta interaksi dengan individu manusia sehingga mampu mengembangkan unjuk kerja secara maksimal, kemampuan memotivasi, kemampuan memimpin, kemampuan negosiasi, kemampuan presentasi, kemampuan komunikasi, kemampuan menjalin relasi, dan kemampuan bicara di muka umum. Yuliani (2012), mendefinisikan soft skills sebagai bentuk kompetensi perilaku sehingga dikenal pula sebagai keterampilan interpersonal atau people skills, yang
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
51
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
mencakup keterampilan komunikasi, resolusi konflik dan negosiasi, efektivitas pribadi, pemecahan masalah secara kreatif, pemikiran strategis, membangun tim, keterampilan mempengaruhi dan keterampilan menjual (gagasan atau ide). Rani (2006), menjelaskan bahwa: Soft Skills have two parts. One part involves developing attitudes and attributes, and the other part involves fine-tuning communication skills to express attitudes, ideas and thoughts well. Crucial to successful work is the perfect integration of ideas and attitudes, with appropriate communication skills in oral, written and non-verbal areas. Attitudes and skills are integral to soft skills. Each one influences and complements the other. Tulisan ini menjelaskan bahwa soft skills memiliki dua bagian, yaitu bagian yang melibatkan pengembangan sikap dan atribut, dan bagian lainnya melibatkan ketepatan keterampilan komunikasi untuk mengekspresikan sikap, ide dan pikiran dengan baik. Penting untuk pekerjaan yang sukses adalah integrasi sempurna dari ide-ide dan sikap dengan keterampilan komunikasi yang tepat secara lisan, tertulis, dan nonverbal. Sikap dan keterampilan merupakan bagian integral dari soft skill. Rujukan lainnya, Sharma (2009), menyebutkan bahwa soft skills adalah seluruh aspek dari generic skills yang juga termasuk elemen-elemen kognitif yang berhubungan dengan non academic skills. Menurut Widhiarso (2009), soft skills adalah seperangkat kemampuan yang mempengaruhi bagaimana kita berinteraksi dengan orang lain. Soft skills merupakan kemampuan yang tidak nampak dan seringkali berhubungan dengan emosi manusia. Donata (2010) menjelaskan bahwa Soft skills are intangible interpesonal skills that are associated with an individual’s ability to effectively interact with others and/or lead others. These skills are not easy to measure but they can be observed in individuals who possess the ability to interact with people well. Penjelasan di atas menunjukkan bahwa soft skills adalah keterampilan interpersonal yang berhubungan dengan kemampuan individu untuk berinteraksi dengan orang lain secara efektif. Keterampilam ini tidak mudah diukur, tetapi dapat diamati dengan melihat ketika seseorang berinteraksi dengan orang lain. Patrick (2001), mengelompokan soft skill dapat dikategorikan ke dalam 7 area yang disebut Winning Characteristics, yaitu, communication skills, organizational skills, leadership, logic, effort, group skills, and ethics. Kemampuan nonteknis yang tidak terlihat wujudnya (intangible) namun sangat diperlukan itu, disebut soft skills. Chaturvedi (2011) menuliskan soft skills are essentially to be categorized as self development skills, interaction skills, leadership skills, organization skills and communication skills. Artinya, soft skills dikategorikan sebagai keterampilan pengembangan diri, keterampilan berinteraksi, keterampilan kepemimpinan, keterampilan berorganisasi, dan keterampilan komunikasi. Soft skills melengkapi hard skills (bagian dari IQ), yang merupakan persyaratan teknis pekerjaan dan banyak kegiatan lainnya. Soft Skill atau keterampilan lunak merupakan tingkah laku personal dan interpersonal yang dapat mengembangkan dan memaksimalkan kinerja manusia (melalui pelatihan, pengembangan kerja sama tim, inisiatif, dan pengambilan keputusan lainnya. Selanjutnya, Klaus (2007) menyatakan "...What, then, are soft skills? Soft skills are those personality traits and interpersonal skills that balance technical skills and quantitative job requirements". Soft skills adalah ciri-ciri kepribadian dan keterampilan interpersonal. Lorenz (2009) menyebutkan "soft skills refer to a cluster of personal qualities, habits, attitudes and social graces that make someone a good employee and compatible to work", yang berarti soft skills mengacu pada sekelompok kualitas pribadi, kebiasaan, sikap dan rahmat sosial yang membuat seseorang karyawan yang baik dan kompatibel untuk bekerja. Soft skills adalah 52
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
keterampilan seseorang dalam berhubungan dengan orang lain (termasuk dengan dirinya sendiri). Atribut soft skills, dengan demikian meliputi nilai yang dianut, motivasi, perilaku, kebiasaan, karakter dan sikap. Atribut soft skills ini dimiliki oleh setiap orang dengan kadar yang berbeda-beda, dipengaruhi oleh kebiasaan berfikir, berkata, bertindak dan bersikap. Namun, atribut ini dapat berubah jika yang bersangkutan mau merubahnya dengan cara berlatih membiasakan diri dengan hal-hal yang baru. Soft Skills included in Measuring Assessing Soft Skills (MASS) Materials Manners, Ownership of tasks, Attendance, Motivation, Professionalism, Work output Conduct in workplace, Timekeeping, Verbal Communication, Organisation/ planning, Team-working/ Respect, Helping others, Conscientiousness, Ability to ask for help, Adaptability/ Flexibility, (Kechagias,. 2011: 83-84). Maksudnya, beberapa hal yang merupakan penilaian dalam soft skills yaitu, kemampuan kerja, kepedulian, motivasi, profesionalisme, pengaruh hasil kerja di tempat kerja, kedisiplin, komunikasi verbal, organisasi atau perencanaan, kerjasama atau rasa hormat, membantu orang lain, waspada, kemampuan untuk membantu, adaptasi atau loyalitas. Berbeda dengan soft sklls, hard skills adalah penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi, dan keterampilan teknis yang terkait sesuai bidang ilmu. Hard skilsl merupakan keterampilan teknis yang dibutuhkan untuk profesi tertentu. Contoh, guru olah raga membutuhkan keterampilan menangkap bola, programmer wajib menguasai teknik pemrograman dg bahasa tertentu. Hard skills dibutuhkan untuk dapat bekerja sesuai tujuan. Hard skills berhubungan dengan kompetensi inti untuk setiap bidang keilmuan lulusan. Contoh, seseorang sarjana pendidikan harus menguasai hard skill di bidang menyusun perangkat pembelajaran. Berdasarkan definisi di atas, penulis memberikan definisi soft skills sebagai jalinan atribut personalitas baik intrapersonal skills maupun interpersonal skills. Sedangkan hard skills adalah penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi, dan keterampilan teknis yang terkait sesuai bidang ilmu. Integrasi Soft Skills dan Hard Skills dalam Pembelajaran Pengajaran dan pembelajaran di sekolah memiliki komponen sosial, emosional, dan akademis yang kuat. Bagaimana agar siswa tidak bosan dalam belajar? Pendidik harus memberikan muatan-muatan lain seperti memberi motivasi, memberi pujian, memberi jokes yang disampaikan baik secara verbal maupun nonverbal dengan ekspresi wajah yang ceria, dan memberikan senyuman yang tidak dipaksakan. Agar hal tersebut dapat dilakukan maka harus dibarengi dengan mengatur emosi ketika menghadapi berbagai macam karakter siswa yang berada dalam kelas. Sebagaimana kita ketahui bahwa siswa yang berada dalam satu kelas sangat mungkin kemampuannya heterogen. Untuk itulah guru/pendidik juga harus mengelola manajemen stres. Selain itu, guru/pendidik juga harus menguasai keterampilan manajemen waktu, agar apa yang sudah direncanakan sebelumnya dapat dilaksanakan dengan benar. Hal tersebut untuk mendukung ketika mengajar. Bagaimana mengelola waktu dalam mengajar bukanlah hal yang mudah, apalagi jika sebelumnya tidak membuat perencanaan sama sekali. Oleh karena itu pendidik harus sudah membuat alokasi waktu yang dituangkan dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), mulai dari kegiatan pendahuluan, kegiatan inti, dan kegiatan penutup. Komunikasi baik verbal maupun nonverbal, manajemen waktu dan manajemen stres adalah sebagian kecil dari atribut soft skills yang sebaiknya dimiliki dan dikembangkan oleh pendidik yang dapat diintegrasikan dalam pembelajaran. Guru sebagai salah satu komponen Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
53
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
dalam sistem pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan siswa, memiliki peranan penting dalam menentukan arah dan tujuan dari suatu proses pembelajaran. Kemampuan yang dikembangkan tidak hanya ranah kognitif dan psikomotorik semata yang ditandai dengan penguasaan materi pelajaran dan keterampilan, melainkan juga ranah kepribadian siswa. Pada ranah ini siswa harus menumbuhkan rasa percaya diri sehingga menjadi manusia yang mampu mengenal dirinya sendiri yakni manusia yang berkepribadian yang ungggul dan mandiri. Manusia utuh yang memiliki kemantapan emosional dan intelektual, yang mengenal dirinya, yang mengendalikan dirinya dengan konsisten dan memiliki rasa empati (tepo seliro). Menurut Howard Gardner dalam bukunya yang bejudul Multiple Inteligences (1993), bahwa ada 2 kecerdasan yang berkaitan dengan kemampuan mengembangkan kepribadian yaitu: 1. Kecerdasan Interpersonal (interpersonal Intelligence) adalah kemampuan untuk mengerti dan menjadi peka terhadap perasaan, intensi, motivasi, watak, dan temperamen orang lain. Kepekaan akan ekspresi wajah, suara dan gerak tubuh orang lain (isyarat), dan kemampuan untuk menjali relasi dan komunikasi dengan berbagai orang lain. 2. Kecerdasan Intrapersonal (intrapersonal intelligence) adalah kemampuan memahami diri dan bertindak adaptif berdasarkan pengetahuan tentang diri. Kemampuan berefleksi dan keseimbangan diri, kesadaran diri tinggi, inisiatif dan berani. Soft skill yang diberikan kepada siswa/mahasiswa oleh guru dapat diintegrasikan dengan materi pembelajaran. Menurut Saillah (2008), materi soft skills yang perlu dikembangkan kepada para mahasiswa, tidak lain adalah penanaman sikap jujur, kemampuan berkomunikasi, dan komitmen. Untuk mengembangkan soft skills dengan pembelajaran, perlu dilakukan perencanaan yang melibatkan para guru, siswa, alumni, dan dunia kerja, untuk mengidentifikasi pengembangan soft skills yang relevan. Menurut Sudrajat (2009), guru dalam melaksanakan pembelajaran harus memperhatikan hal-hal berikut ini: volume dan intonasi suara guru dalam proses pembelajaran harus dapat didengar dengan baik oleh peserta didik; tutur kata guru santun dan dapat dimengerti oleh peserta didik; guru menyesuaikan materi pelajaran dengan kecepatan dan kemampuan belajar peserta didik; guru menciptakan ketertiban, kedisiplinan, kenyamanan, keselamatan, dan kepatuhan pada peraturan dalam menyelenggarakan proses pembelajaran; guru memberikan penguatan dan umpan balik terhadap respons dan hasil belajar peserta didik selama proses pembelajaran berlangsung; guru menghargai peserta didik tanpa memandang latar belakang agama, suku, jenis kelamin, dan status sosial ekonomi; guru menghargai pendapat peserta didik; guru memakai pakaian yang sopan, bersih, dan rapi; pada tiap awal semester, guru menyampaikan silabus mata pelajaran yang diampunya; dan guru memulai dan mengakhiri proses pembelajaran sesuai dengan waktu yang dijadwalkan. Setiap orang termasuk peserta didik sudah memiliki soft skills walaupun berbeda-beda. Soft skills ini dapat dikembangkan menjadi lebih baik atau bernilai (diterapkan dalam kehidupan sehari-hari) melalui proses pembelajaran. Pendidikan soft skills tidak seharusnya melalui satu mata pelajaran khusus, melainkan dintegrasikan melalui mata pelajaran yang sudah ada atau dengan menggunakan strategi pembelajaran yang berpusat pada siswa. Instrumen Soft Skills dalam Pembelajaran Kechagias (2011: 131), Soft skills assessment is a new and as yet underdeveloped domain. Hali ini menunjukkan bahwa penilaian Soft skills adalah domain baru dan belum berkembang. Widhiarso (2011), menyebutkan bahwa soft skills lebih didominasi oleh 54
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
komponen kepribadian individu sehingga prosedur pengukurannya sedikit berbeda dengan pengukuran komponen abilitas individu. Oleh karena itu pengukuran soft skills akan mengarah pada karakteristik yang sifatnya internal pada diri individu seperti dimensi afektif, motivasi, dan interes. Pengukuran soft skills dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut: 1. Pelaporan diri, sebagaimana tes yang diartikan sebagai sekumpulan sampel respon yang menunjukkan atribut ukur pada diri individu, pengukuran soft skills juga menghasilkan sejumlah respon dari individu yang menunjukkan tingkat soft skills yang dimiliki. Pelaporan diri merupakan sekumpulan stimulus berupa pernyataan, pertanyaan atau daftar deskripsi diri yang direspon oleh individu. Pernyataan merupakan turunan dari domain ukur yang sifanya teoritik konseptual setelah melalui proses operasionalisasi menjadi indikator-indikator. Setelah domain ukur dan indikator telah ditetapkan, proses penyusunan instrumen pengukuran selanjutnya adalah penulisan item. Misalnya mengukur tingkat kesenangan individu diwujudkan melalui pernyataan “Saya senang bisa berinteraksi dengan banyak orang” atau “Saya lebih suka bekerja sama dibanding dengan bekerja sendirian”. Item ini kemudian direspon dengan kontinum dari sangat setuju sampai sangat tidak setuju. Proses penulisan item ini merupakan seni tersendiri yang membutuhkan kepekaan dalam membahasakan indikator empirik perilaku individu. 2. Checklist, adalah jenis alat ukur afektif atau perilaku yang memuat sejumlah indikator, biasanya kata sifat atau perilaku yang diisi oleh seorang penilai. Checklist lebih banyak dipakai untuk mengukur aspek psikologis yang tampak, misalnya perilaku. Sama seperti self report, penyusunan item-item pada checklist juga diawali dari operasionalisasi aspek-aspek domain ukur yang sifatnya konseptual menjadi seperangkat indikator yang sifatnya operasional. Pada pengukuran soft skills, checklist lebih tepat dipakai untuk mengukur dimensi perilaku mahasiswa misalnya cara mempresentasikan makalah, cara berinteraksi dengan orang lain, atau strategi mengatasi masalah. Teknik peer evaluation antar mahasiswa biasanya menggunakan checklist. 3. Pengukuran performansi, beberapa soft skills banyak yang terkait dengan abilitas relatif aktual seperti komunikasi efektif, pemecahan masalah, berpikir kreatif atau berpikir kritis sehingga pengukuran dengan menggunakan self report pada tataran tertentu kurang relevan. Desain yang tepat untuk mengukur komponen ini adalah pengukuran performansi. Pengukuran performansi merupakan pengukuran terhadap proses atau hasil kinerja individu terhadap tugas yang diberikan. Penyekoran dilakukan dosen berdasarkan rubrik yang telah dibuat sebelumnya. Rubrik merupakan panduan penyekoran yang memuat kriteria performansi. Penyekoran dapat dilakukan ketika subjek sedang bekerja atau hasil pekerjan yang diberikan. Sebelum diaplikasikan kepada subjek, instrumen yang dibuat perlu dievaluasi kualitasnya yang ditunjukkan oleh properti psikometris instrumen tersebut dari data uji coba instrumen soft skills. Pengukuran soft skills terhadap mahasiswa perlu dikenakan pada setiap kategori mahasiswa, dari mahasiswa baru, mahasiswa tingkat menengah dan mahasiswa tingkat akhir. Solichin (2011) menggunakan beberapa cara untuk mengumpulkan data pada penelitiannya tentang tingkat kompetensi soft skills guru, yaitu; kuesioner berupa daftar pertanyaan /pernyataan yang diberikan kepada responden untuk diisi, observasi yaitu melakukan pengamatan terhadap perilaku guru sebagai responden dalam menularkan soft skills kepada anak didiknya, dan wawancara yaitu melakukan tanya jawab dengan para responden untuk mendapatkan informasi yang mendukung kuesioner dan pengamatan. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
55
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Instrumen untuk memperoleh hasil belajar nontes terutama dilakukan untuk mengukur hasil belajar yang berkenaan dengan soft skill, terutama yang berhubungan dengan apa yang dapat dibuat atau dikerjakan oleh peserta didik dari apa yang diketahui atau dipahaminya. Dengan kata lain, instrumen seperti itu terutama berhubungan dengan penampilan yang dapat diamati dari pada pengetahuan dan proses mental lainnya yang tidak dapat diamati dengan panca indra (Widoyoko, 2009:104). DAFTAR PUSTAKA Chaturvedi, A .2011. "Communicative Approach toSoft & Hard Skills". Jurnal VSRD-IJBMR, Vol. 1 (1), 2011, 1-6. Coates, D.E. 2006. People Skill Training: Are You Getting a Return on Your Investmen .(http://www.2020insight.net/Docs4/PeopleSkill.pdf, diakses tanggal 15 Juli 2010). Donata. 2010. "How to Differentiate Between Hard Skills And Soft Skills" (http://factoidz.com/job-requirements-the-importance-of-hard-skills-and-soft-skills-inthe-workplace/. diakses tanggal 30 November 2012). Elfindri, dkk. 2010. Soft Skills untuk Pendidik. Baduose Media. Goleman, D. 2006. Kecerdasan Emosional. Edisi Bahasa Indonesia terjemahan T. Hermaya. Jakarta: PT SUN. Gymnasium 56760 Neapolis (Thessaloniki). Kechagias, K. 2011. Teaching and Assessing Soft Skills. Publisher: 1st Second Chance School of Thessaloniki (Neapolis) Str. Strempenioti, 1st and 3rd Klaus, P. 2007. The Hard Truth About Soft Skills. Collins Harper. Lorenz. K. 2009. "Top 10 Soft Skills for Job Hunters". (http://jobs.aol.com/articles/2009/ 01/26/top-10-soft-skills-for-job-hunters/, diakses tanggal 20 Januari 2011). Patrick S. O. 2001. Making College Count: a Real Wolrd Look at How to Succeed in and After College, Monster.Com, USA. Rani, S.M. E .2006. "Need and Importance of Soft Skills In Students". Vol.-II 3 Jan-June (Summer) 2010. (http://www.inflibnet.ac.in/ojs/index.php/JLCMS/article/viewFile/119/ 116, diakses tanggal 30 November 2012). Sailah, I. 2008. Pengembangan Soft Skills di Perguruan Tinggi. Jakarta: Tim Kerja Pengembangan Soft Skiils Direktorat Kelembagaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Sharma, A. 2009. Professional Development for Teachers. (http://schoolofeducators.com/2009/ 02/importance-of-soft-skills-development-in-education, diakses tanggal 30 Juli 2010). Solichin, E. 2012. Tingkat Kompentensi Soft Skills Guru. Penelitian. Sudrajat, A. 2009. "Standar Pelaksanaan Proses Pembelajaran". (http://akhmadsudrajat.word press. com/2009/05/26/standar-pelaksanaan-1roses-pembelajaran/, diakses tanggal 10 Januari 2010) Widhiarso, W. 2009. "Evaluasi Pembelajaran Mata Kuliah Umum Kependidikan". Makalah disampaikan pada kegiatan seminar dan sarasehan di FIP UNY tanggal 14 Februari 2009. Widoyoko, S. Eko Putra. 2009. Evaluasi Program Pembelajaran: Panduan Praktis Bagi Pendidik dan Calon Didik, Yogyakarta: Pustaka Belajar. Yuliani, S. 2012. "Apa itu Soft Skills". (http://sriyuliani.staff.fisip.uns.ac.id/kuliah/apa-itu-softskills/, diakses tanggal 30 November 2012). Zhang, A. 2012. "Cooperative Learning and Soft Skills Training in an IT Course" Journal of Information Technology Education: Research Volume 11, P 67-79.
56
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Volume 1 Nomor 1 Tahun 2015 Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran “Rekonstruksi Kurikulum dan Pembelajaran di Indonesia” STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia 25 - 26 April 2015
Presentasi Sub Tema: Kurikulum dan Pembelajaran Pedidikan Tinggi
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
58
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Problem Based Learning untuk menumbuhkan Critical Thinking dan Hasil Belajar Mahasiswa Khoirul Hasyim 1 ([emailprotected]) Abstract This study aims to determine how the role and impact of Problem Based Learning (PBL) using authentic materials in developing critical thinking skills and also enhancing learning outcomes of students of English Language Education students of STKIP PGRI Jombang in English Morphology class. Positive hypothesis in this study is that PBL was able to enhance student learning outcomes and able to develop critical thinking skills. This study is a quantitative by using experimental design. The sample was selected by using purposive sample technique. There are 40 students which is divided into two groups: the experimental group and the control group. The data obtained was processed using SPSS 16.0 for Windows. The results of this study showed that PBL is significant in improving student learning out come, especially on English Morphology class. In addition, the group work which is applied during the teaching learning process were able to develope students’ communication ability. Selection of cases based on the ability of the group and the selection of reference toward materials and problem-solving strategies which is chosen by students in cases of english morphology class is effective to develope the critical thinking process that is based on social conditions and contexts of the reality. Key Words: problem based learning, critical thinking, learning outcome Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana peran dan dampak Problem Based Learning (PBL) dengan menggunakan materi otentik dalam menumbuhkan keterampilan berpikir kritis dan meningkatkan hasil belajar mahasiswa program studi pendidikan bahasa inggris STKIP PGRI Jombang dalam perkuliahan English Morphology. Hipotesis positif pada penelitian ini adalah bahwa PBL mampu meningakatkan hasil belajar mahasiswa dan mampu menumbuhkan keterampilan berpikir kritis. Penelitian ini menggunakan pendekatan keuantitatif dengan menggunakan desain eksperimental. Sample dipilih dengan menggunakan teknik purposif sample yang berjumlah 40 mahasiswa yang terbagi dalam dua kelompok yaitu kelompok eksperimental dan kelompok kontrol. Data yang didapatkan diolah menggunakan SPSS 16.0 untuk program windows. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa PBL siginifikan dalam meningkatkan kemampuan belajar mahasiswa, utamanya pada perkuliahan English Morphology. Selain itu, proses kerja kelompok yang diterapkan pada perkuliahan mampu menumbuhkan kemampuan berkomunikasi. Pemilihan kasus-kasus yang berdasarkan kemampuan kelompok serta pemilihan bahan acuan dan strategi pemecahan masalah pada kasus-kasus morfologis terbukti mampu membawa mahasiswa kepada proses berpikir kritis yang berdasarkan kondisi sosial dan konteks yang ada. Kata Kunci: problem based learning, berpikir kritis, hasil belajar
Pendahuluan Permasalahan yang sering muncul dalam dunia pendidikan tinggi adalah lemahnya kemampuan mahasiswa dalam menggunakan kemampuan berpikirnya untuk menyelesaikan
1
Dosen Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris, STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
59
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
masalah. Mahasiswa cenderung dijejali dengan berbagai informasi yang seringkali hanya terfokus pada kemampuan kognitif saja. Banyak sekali pengetahuan dan informasi yang dimiliki mahasiswa tetapi sulit untuk dihubungkan dengan situasi yang mereka hadapi. Alih-alih dapat menyelesaikan masalah, pengetahuan mereka seperti tidak relevan dengan apa yang mereka hadapi. Ketika mahasiswa mengikuti sebuah pendidikan tiada lain untuk menyiapkan mereka menjadi manusia yang tidak hanya cerdas tetapi mampu menyelesaikan persoalan yang akan mereka hadapi di kemudian hari dalam kehidupan dunia nyata yang sebenar-benarnya. Hal tersebut menjadi sebuah permasalahan yang harus dipecahkan “Setiap perguruan tinggi dihadapkan permasalahan untuk menentukan bagaimana menyajikan materi perkuliahan sehingga mahasiswa tidak hanya mendapatkan pengetahuan tentang disiplin, tetapi juga menjadi pribadi yang pembelajar yang otonomi yang mamapu mengembangkan kemampuan memecahkan masalah yang nantinya dapat diterapkan dalam pendidikan dan karir mereka selanjutnya.” (Stanford, 2011:1) Sudah sering mendengar keluhan mahasiswa betapa beratnya mereka mengikuti beban dari sebuah materi kuliah. Mereka dituntut untuk mengetahui segala hal yang dituntut oleh kurikulum. Walaupun kapasitas intelektualnya dapat menjangkau beban tersebut, mahasiswa seperti telepas dari dunianya. Padahal yang mereka hadapi harus dapat diselesaikan dengan kemampuan sendiri. Oleh karena itu, pendidikan harus membekali mereka dengan kemampuankemampuan yang dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan yang mereka hadapi. Kemampuan tersebut adalah kemampuan memecahkan masalah. Kemampuan ini dapat dikembangkan melalui pembelajaran dimana masalah dihadirkan di proses perkuliahan dan mahasiswa diminta untuk menyelesaikannya. Dengan segala pengetahuan dan keterampilan yang mereka miliki. Pembelajaran bukan lagi sebagai “transfer of knowledge”, tetapi mengembangkan potensi mahasiswa secara sadar melalui kemampuan yang lebih dinamis dan aplikatif. Sebagaimanahalnya dengan mata kuliah English Morphology, keberadaaanya merupakan hal penting bagi para pembelajar Bahasa Inggris utamanya dalam mengenali dan memahami proses terbentuknya kata. Sebagai dasar pengetahuan tentang proses terbentuknya kata, keberadaan morfologi sebagai suatu ilmu akan dapat memberikan landasan tentang bagaimana menghasilkan dan membentuk kata dengan benar secara gramatikal. Lebih lanjut, dari dasar pemroduksian kata yang benar maka akan dapat dihasilkan susunan kalimat yang benar sesuai dengan tata aturannya. Kehadiran contoh-contoh kasus morfologis, umumnya adalah contoh kata yang sengaja dibuat-buat dan seringkali kata tersebut jarang ditemukan pada teks-teks sehari-hari. Hal tersebut mengakibatkan kesenjangan antara apa yang dikaji dan dibahas dalam perkuliahan dengan apa yang ada di dunia nyata. Terpisahnya pengalaman dunia nyata dengan pembelajaran yang terjadi di kelas menyebabkan rendahnya motivasi mahasiswa dalam proses pembelajaran di perkuliahan. Hal tersebut terlihat dari hasil kuesioner yang diambil pada studi pendahuluan. Rendahnya motivasipun berdampak pula pada hasil belajar mahasiswa yang rendah pula. Pola perkuliahan yang tidak terpusat kepada mahasiswa membawa dampak minimnya keaktifan mahasiswa dalam proses pembelajaran di kelas. Karenanya model pembelajaran yang diterapkan semestinya berubah menjadi terpusat kepada mahasiswa dengan menggunakan materi otentik yang ada di dunia nyata. Kehadiran materi yang berbasis otentik pada pembelajaran membuat pembelajaran menjadi kontekstual sehingga akan mampu menumbuhkan sikap berpikir kritis
60
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
terhadap fenomena-fenomena kebahasaan yang ada pada dunyia nyata atau fenomena kebahasaan yang berlaku sinkronis. Pembelajaran berbasis pemecahan masalah (problem based learning) merupakan metode mengajar dengan fokus pemecahan masalah yang nyata, proses dimana pembelajar didorong untuk lebih aktif terlibat dalam materi pelajaran dan mengembangkan keterampilan berpikir kritis (Arends, 2008). PBL (problem based learning) yang sangat erat hubungannya dengan kemampuan berpikir tinggi (berpikir kritis) dikarenakan pembelajaran ini memadukan antara kemampuan pembelajar dengan topik bahasan maupun lingkungan. Hal tersebut menunut pembelajar untuk aktif berpikir secara terpadu serta kontekstual terhadap masalah-masalah pemahaman yang mereka hadapi (Anitah, 2008). Dalam pendapatnya mengenai PBsL, Duch (1996), Finkle dan Torp (1995) menyatakan bahwa adanya permasalahan nyata sebagai konteks untuk para pembelajar belajar untuk berpikir kritis serta keterampilan memecahkan masalah nyata yang ditemuai dalam kehidupan sehari-hari, dan memperoleh pengetahuan merupakan ciri khas yang dimiliki PBL. Dengan demikian, sangatlah jelas bahwa PBL dirancang untuk membantu pembelajar mengambangkan keterampilan berpikir untuk menyelesaikan masalah dengan melibatkan kamampuan intelektualnya melalui situasi nyata sehingga menjadi pembelajar yang mandiri dan otonomi. Lebih jauh lagi, Stanford (2011) mengungakpakan bahwa PBL mampu membawa mahasiswa untuk bekerjasama dengan kelompok mereka untuk memecahkan masalah yang nyata dan kompleks sehingga dapat mengembangkan isi pengetahuan yang didapatkan sebagaimana mereka memecahkan masalah, menemukan alasan penyebab, berkomunikasi, serta kemampuan untuk menilai diri sendiri. Permasalahan tersebut tentunya dapat mengelola keteretarikan pembelajar terhadap materi yang mereka pelajari dikarenakan mereka menyadari bahwa mereka sedang belajar kemamapauan yang mereka butuhkan agar supaya dapat suskes dalam bidang yang mereka pelajari. PBL dilaksasakan dengan sumsi bahwa proses pembelajaran adalah aktif, terintegrasi, dan melibatkan proses pengonsktruksian faktor-faktor konteks dan sosial (Barrows, 1996; Gijselaers, 1996). Dalam pandangannya, Wilkerson and Gijselaers (1996) menyatakan bahwa PBL bercirikan pembelajaran yang berpusat pada siswa, dimana tugas pengajar adalah sebagai fasilitator dan diseminator yang bertugas untuk menstimulasi dan memberikan batasan dalam proses pembelajaran. Hal itu menegaskan bahwa peran pengajar diharapakan mampu mengembangkan ketertarikan pembelajar terhadap materi yang sedang mereka pelajari, melakukan pengayaan materi, menciptakan situasi kerja kelompok, dan mengarahkan pembelajar untuk mampu menjadi pembelajar yang otonomi. Dalam kaitannya dengan berpkir kritis, dalam PBL pembelajar harus belajar secara sadar terhadap segala informasi yang mereka miliki terhadap permasalahan yang sedang mereka hadapi, serta tentang bagaimana menerapkan strategi guna memecahan masalah tersebut. Memiliki kemampuan dalam menggunakan beragam pemikiran akan membantu pembelajar mampu memecahkan masalah secara efektif dan menjadi pembelajar yang otonomi. Dalam proses inilah, keterampilan berpikir kritis akan muncul, sebagai akibat dari pengetahuan mengenali kemampuan diri sendiri sehingga mampu untuk mencari dan manyadari kebutuhan pengetahuan terhadap apa yang sedang dipelajari. Selain itu, pemilihan dan pengaplikasian strategi dalam memcahkan masalahpun akan menstimuli munculnya kemampuan berpikir kritis berdasaskan faktor konteks dan sosial nyata yang mereka hadapi.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
61
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Dalam memahami informasi dan kenyataan sosial, PBL yang juga bercirikan kerja kelompok dapat menumbuhkan komunitas belajar dimana pembelajar bebas untuk mengomunikasikan ide-ide yang mereka miliki serta menyampaikan pertanyaan-pertanyaan terkait materi yang sedang dipelajari (Allen, Duch, & Groh, 1996). Hal tersebut menunjukkan bahwa ketrampilan berkomunikasi (atau mengomunikasian ide) akan meningkat seiring ketertarikan dan motivasi yang mereka dapatkan dari kelompok dimana mereka terlibat secara aktif dalam sebuah kerja sama yang terpercaya yang dilakukan oleh sesama anggota kelompok. Terhadap hal yang demikian, kerja kelompok akan dapat meningkatkan kemampuan para pembelajar, utamanya mendukung terciptanya proses berpikir kritis. Sejalan dengan hal tersebut, Asmuni et. al (2014) dalam kajiannnya menyatakan bahwa PBL efektif untuk meningkatkan kemampuan analitis pembelajar yang mendukung berkembangnya kemampuan berpikir kritis mahasiswa. Secara umum, banyak pendapat para pakar yang menyatakan bahawa PBL merupakan sebuah metode yang efektif dalam menumbuhkembangkan kemampuan memecahkan masalah kepada para pembelajar. Pembelajar akan membuat sebuah hubungan yang kuat antara konsep teori ketika mereka mempalajari kenyataan dengan kemampuan yang mereka miliki dengan menggunakan informasi yang mereka miliki dengan aktif dari pada hanya menerima informasi secara pasif (Gallaher, 1997; Resnick & Klopfer, 1989). Meskipun pembelajaran yang aktif membutuhkan tugas-tugas tambahan (untuk pembelajar), namun Kingsland (1996) menyatakan bahwa hasil observasinya terhadap proses belajara dengan menggunakan PBL menunjukkan hasil yang memuaskan. Kemampuan pembelajar dalam memecahkan masalah siring dengan tumbuhnya keterampilan memecahkan masalah yang mereka lakukan dalam proses pembelajaran berbasis PBL, kenyataannya mampu menumbuhkan kepercayaan diri pembelajar terutama dalam pemecahan masalah. Hal tersebut juga mendukung tumbuhnya pola belajar mandiri (otonomi). Keterampilan inilah yang nantinya akan sangat membantu mereka dalam dunia kerja yang akan mereka hadapi nantinya. Kepercayaan diri tidak tumbuh dengan sendirinya, karenanya dibutuhkan pengajar yang berfungsi sebagai diseminator, fasilitator yang mengarahkan pembejaran kepadda sebuah situasi pembelajaran yang bagus dimana tercipta hubungan positif antara pengajar dan pembelajar serta antara sesama pembelajar. Kepemilikan pembelajaran akan proses belajar yang mereka lakukan, akan mampu menumbuhkembangkan keterampilan yang mereka miliki yang nantinya akan mampu meningkatkan motivasi dan keterperolehan hasil belajar yang lebih baik (MacKinnon,1999).
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan menggunakan desain eksperimental. Sebuah desain eksperimental digunakan dimana sikap dan prestasi belajar dinilai pada sebelum dan sesudah perlakuan diberikan. Data dikumpulkan pada sebuah instrumen penelitian yang dapat mengukur sikap dan prestasi belajar, serta informasi lainnya dikunpulkan dan dianalisa dengan menggunakan prosedur statistik dan pengujian hipotesis (Creswell, 1994: 22). Senada hal itu, Sugiyono (2012:7) menyatakan bahwa metode penelitian kuantitatif dapat diartikan sebagai metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti pada populasi atau sampel tertentu. Teknik pengambilan sampel pada umumnya dilakukan secara random, pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian, analisis data
62
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
bersifat kuantitatif/statistik dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan (Sugiyono, 2012: 7). Populasi dalam penelitian ini adalah kelas morfologi pada program studi Pendidikan Bahasa Inggris STKIP PGRI Jombang Jawa Timur Indonesia. Sebagai sampel, penelitian ini menentukan dua kelas berbeda yaitu kelas morfologi pada angkatan 2012 A dan kelas morfologi angkatan 2012 B. Tiap-tiap kelompok sampel masing-masing terdiri dari 20 mahasiswa dengan asumsi bahwa mereka memiliki pengetahuan tingkat pengetahuan yang setara berdasarkan uji homogenitas yang dilakukan sebelum penentuan sampel pada studi awal. Sampel tersebut dipilih secara pusposif, dimana purposif sampel menunjukkan bahwa peneliti memandang sampel sebagai seperangkat strategi, memilih siapa, dimana dan bagaimana menjalankan penelitian tersebut (Palys, 2008). Kelas morfologi angkatan 2012 A sebagai eksperimental grup yang mengaplikasikan metode PBL. Sedangkan, kelas morfologi angkatan 2012 B sebagai kelas kontrol yang mengapilkasikan metode diskusi dan ceramah. Pengambilan istrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes tulis yang berisi soal kasus-kasus morfologi yang bersumber dari teks-teks nyata yang ada di kehidupan seharihari. Data hasil pembelajaran kemudian diolah dengan menggunakan independen sampel t-test pada SPSS 16.0 untuk program windows. Pengujian terhadap hipotesis menggunakan prosedur statistik dimana investigator menggambarkan kesimpulan-kesimpulan berdasarkan sampel penelitian (Creswell, 1994: 13). Penelitian ini menggunakan beberapa prosedur sebagai berikut: (1) menentukan permasalahan pemelitian, (2) mentukan hipotesis, (3) memilih sampel, (4) memformulasikan prosedur pengumpulan data, (5) menerapkan PBL kepada kelompok eksperimental, (6) mengumpulkan data dari kedua kelompok sampel, (7) mengolah data yang terdiri dari pengecekan data, pengkalisifikasian data, penilaian dan tabulasi data, (8) menganalisa data secara statistik dengan menggunakan t-test dan, (9) menyimpulkan hasil analisis data.
Hasil Penelitian Pada penelitian ini perlakuan berbeda diterapkan pada kedua kelompok sampel. Pada kelompok eksperimental, beberapa strategi langkah pengejaran dimulai yang diadopsi dari Dion (1996) dengan memperkenalkan sebuah permasalahan (topik tertentu) pada kelas perkuliahan sebelumnya dengan sangat ringkas dan sekilas (unsur-unsur topik yang diperkenalkan tidaklah dijelaskan secara mendetil). Kemudian pada kelas PBL di awal dijelaskan tujuan-tujuan strategi yang digunakan beserta harapan-harapan setelah selesai perkuliahan. Langkah selanjutnya adalah membagi kelas menjadi kelompok-kelompok kecil yang beranggotakan 6 mahasiswa per kelompok. Setelah itu, setiap kelompok diberikan data-data morfologis yang diambil dari koran berbahasa Inggris dengan instruksi beserta soal-soal morfologis yang harus mereka pecahkan. Langkah selanjutnya adalah memberikan kesempatan kepada setiap kelompok untuk berdiskusi. Dalam diskusi tersebut mahasiswa memilih data-data morfologis yang diambil dari teks nyata berdasarkan kemampuan yang dimiliki kelompok. Pada proses selanjutnya, saat kelompok melakukan analisa dan diskusi, dosen memantau perkembanan diskusi dan meluruskan hal-hal yang menyimpang terlalu jauh dari bahasan yang mereka tentukan. Menunjukkan sumbersumber referensi yang bisa diacu. Pada akhir pembelajaran, semua kelompok memaparkan hasil temuan analisa mereka terhadap kasus-kasus morfologi yang mereka pilih serta sumber-sumber referensi yang mereka jadikan dasar. Pada tahapan ini diskusi kelas secara menyuluruh melibatkan semua kelompok Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
63
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
yang ada. Saling memberi masukan ide dan pertanyaan terjadi pada tahapan ini. Kemudian kelas diakhiri dengan menginventarisir data dan hasil analisis dan temuan setiap kelompok beserta strategi pemecahannya, termasuk permasalahan yang muncul dalam kelompok kecil mereka. Kelas eksperimental ini dilakukan selama tiga kali pertemuan yang menyesuaikan terhadap jumlah kelompok dan alokasi waktu perkuliahan. Berbeda dengan kelas kontrol, pembelajaran dimulai dengan brain storming tentang topik yang dibahas. Kemudian diberikan ceramah terhadap materi yang sedang dibahas oleh dosen. Pada tahapan ini mahasiswa hanya berlaku sebagai pendengar. Artinya perkuliahan masih terpusat pada dosen. Tahapan selanjutnya adalah melakukan diskusi klasikal. Pada diskusi ini dosen menyajikan kasus-kasus morfologis dan bersama-sama dengan mahasiswa menganalisa dan memecahkan kasus morfologis yang ada. Hal yang menjadi pembeda yang signifikan pada diskusi yang terjadi adalah mahasiswa tidak menentukan permasalahan atau kasus morfologis yang ada. Kecenderungannya adalah masalah morfologis tersebut merupakan sajian pilihan dosen. Pada akhir pembelajaran dosen mengulas kembali materi yang dibicarakan tanpa memberikan tugas apapun. Kelas ceramah dan diskusi ini berlaku selama 3 pertemuan. Pada pertemuan ke-4 diberikan tes berupa pemecahan dan analisa kasus morfologis secara individu kepada semua sampel penelitian. Penerapan PBL pada kelas eksperimental menunjukkan perbedaaan hasil belajar yang signifikan. Signifikansi tersebut terlihat dari pemerolehan nilai dari hasil post-test yang diberikan kepada kedua kelompok sampel. Hasil tes tersebut sebagaimana terlihat pada tabel berikut: Table 1.1 Kelompok Kontrol (menggunakan PBL) Kelompok Eksperimental Kelompok Kontrol Subyek Nilai No. Subyek Nilai 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
64
A B C D E F G H I J K L M N O P Q R S T
87,50
A1
57,50
85,00 86,00 91,00 79,50 79,00 87,00 88,00 85,50 83,00 84,00 85,00 88,50 85,00 85,00 87,00 87,00 87,00 91,50 85,50
B2 C3 D4 E5 F6 G7 H8 I9 J10 K11 L12 M13 N14 O15 P16 Q17 R18 S19 T20
71,00 75,00 76,50 65,50 75,00 70,50 73,00 65,00 67,50 70,00 72,50 65,00 65,00 67,50 63,00 78,50 71,00 73,50 63,00
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Data pada tabel di atas kemudian di analisa menggunakan SPSS 16.0 untuk program windows dan didapatkan hasil sebagai berikut:
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
65
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Group Statistics kelas Nilai
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
Kelas A
20
85.70
3.063
.685
Kelas B
20
69.05
5.336
1.193
Independent Samples Test
Levene's Test for Equality of Variances t-test for Equality of Means
F
nilai Equal variances Equal variances assumed not assumed 8.430
Sig. T
.006 12.103
12.103
Df Sig. (2-tailed) Mean Difference Std. Error Difference 95% Confidence Interval of Lower the Difference Upper
38 .000 16.650 1.376 13.865 19.435
30.293 .000 16.650 1.376 13.842 19.458
Analisis t-test untuk kedua sampel independen dilakukan dengan asumsi varian yang sama. Maka Ho= kedua sampel adalah identik (PBL dan Ceramah Diskusi adalah sama). Sedangkan Ha= kedua sampel adalah tidak identik ( PBL dan Ceramah Diskusi adalah tidak sama). Berdasakan hasil perhitungan SPSS diperoleh nilai t hitung sebesar 12, 103 dan T tabel untuk taraf signifikansi pada data homgen adalah (sig. > 0.05) yang artinya bahwa ada pebedaan yang signifikan antara hasil belajar kelompok ekperimental (PBL) dengan kelompok kontrol (ceramah diskusi). Dari data t hitung 12,103 > 0.05 juga menunjukkan bahwa efektifitas pembelajaran yang berorientasi (bertolok ukur pada nilai) menyatakan bahwa PBL efektif dalam meningkatkan kemampuan analisa morfologi mahasiswa. Pada kemampuan berpikir kritis, jelaslah tampak bahwa ulasan dan penyimpulan tentang cara-cara yang ditempuh kelompok yang berupa strategi pemecahan masalah, termasuk juga dengan pemilihan berbagai sumber acuan teori yang dipilih terhadap kasus morfologis yang mereka pilih dapatlah pula dikatakan bahwa hal tersebut menunjukkan tingkat berpikir tinggi, yang artinya berpikir secara kritis berdasarkan input sosial (berupa kemampuan kelompok) serta kanyataan kasus morfologis yang dipecahkan.
Rekomendasi 1.
66
Kebutuhan untuk menentukan metode pembelajaran yang tepat sesuai dengan kebutuhan pembelajar sangatlah diperlukan. Utamanya pada kasus pembelajar di tingkatan perguruan tinggi yang seharusnya mampu menerapkan proses berpikir secara kritis terhadap persoalan-persoalan nyata yang mereka temui, sehingga nantinya bisa menunjang karir mereka di dunia kerja.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
2.
3.
Penerapan PBL akan menjadi sebuah mata elang baru dalam mengembangkan proses berpikir kiritis serta kemampuan hasil belajar, terutama dengan menggunakan materi otentik yang ada di dunia nyata. PBL bisa diterapkan dalam berbagai pembelajaran terutama yang menuntut dan mengarahkan pembelajar untuk menjadi pembelajar yang otonom, dalam kaitannya mampu mengenali kemampuan diri sendiri serta kemampuan untuk mengomunikasikan ide-ide baru serta berani untuk manyampaikan klarifikasi terhadap permasalahn yang mereka hadapi.
Daftar Pustaka Allen, D. E., Duch, B. J., & Groh, S. E. 1996. The power of problem-based learning in teaching introductory science courses. In L. Wilkerson & W. H. Gijselaers (Eds.), Bringing problem-based Learning to higher education: Theory and practice.San Francisco: Jossey-Bass. Arrends Richard I. 2008. Learning To Teach edisi ke-7 buku 2. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Asmuni & Hasyim, Khoirul. 2014. Students’ analytical ability toward case and policy on teaching profession through the integration of hard skills and soft skills by using problem-based learning strategy. (a case study on the students of teaching profession class at STKIP PGRI Jombang). Paper on The 7th International Conference on Educational Research: 13-14 September 2014, Faculty of Education, Khon Kaen University, Thailand. P. 903-909 Barrows, H. S. 1996. Problem-based learning in medicine and beyond: A brief overview. In L.Wilkerson & W. H. Gijselaers (Eds.), Bringing problem-based learning to higher education: Theory and practice. San Francisco: JosseyBass. Creswell, J. W. 1994. Research Design : Quantitative And Qualitative Approach. London : Sage Dion, L. 1996. But I teach a large class. Available on-line at: http://www.udel.edu/pbl/cte/spr96-bisc2.html. Finkle, S.L. y Torp, L.L., 1995. Introductory Documents. Illinois Math and Science Academy. Gijselaers, W. H. 1996. Connecting problembased practices with educational theory. In L.Wilkerson & W. H. Gijselaers (Eds.), Bringing problem-based learning to higher education: Theory and practice. San Francisco: Jossey-Bass. Gallagher, S. A.1997. “Problem-based learning: Where did it come from, what does it do, and where is it going?” Journal for the Education of the Gifted, 20 (4), 332-362. Kingsland, A. J. 1996. “Time expenditure, workload, and student satisfaction in roblembased learning.” In L. Wilkerson & W. H. Gijselaers (Eds.), Bringing problem-based Palys, Ted.2008. Purposive Sampling in Lisa M. Given (Ed.).2008. The Sage Encyclopedia of Qualitative Research Methods. Sage: Thousand Oaks, CA, Vol.2, pp.697-698. Resnick, L. B., & Klopfer, L. E. 1989. “Toward the thinking curriculum.” In L. B. Resnick & L. E.Klopfer (Eds.), Toward the thinking curriculum:Current cognitive research (pp. 118). Reston, VA: Association for Supervision and Curriculum Development. Sri Anitah W. dkk. 2008.Strategi Pembelajaran, Jakarta. Penerbit Universitas Terbuka Stanford. 2011. Problem Based Learning. Stanford University Newslwtter on Teaching. Winter, Vol. 11, No. 1 Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
67
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Podcast untuk Meningkatkan Kemampuan Menyimak Mahasiswa STKIP PGRI Jombang Yunita Puspitasari 2 Adib Darmawan 2 & Ida Setyawati 2 ([emailprotected]) Abstract Teaching listening strategies that do not provide training but leaning on listening tests can lead to students’ failure in comprehending aural texts. This article discusses how listening teaching does not turn into listening test. Podcast is chosen as listening teaching material because it has variety of themes, levels of difficulty, inexpensive and easily segmented. Podcast can facilitate students to practice listening strategies. Two cycles of collaborative action research was conducted to find out how to apply Podcast in Listening I. The research findings show that Podcast are not only able to enhance students' listening ability but also increase their active participation during learning activities. The results illustrate procedures in using Podcast as teaching materials that can enhance students’ listening ability. The procedures includes of two instructional stages, namely PrePod and PresPod. Keywords: Podcast, materials, listening ability, teaching listening Abstrak Pengajaran strategi menyimak yang tidak menyuguhkan latihan, tetapi lebih bersandar pada tes menyimak dapat menyebabkan kegagalan memahami teks lisan. Artikel ini mendiskusikan bagaimana pengajaran menyimak tidak menjadi tes menyimak. Podcast dipilih sebagai materi pengajaran menyimak karena podcast memiliki tema yang bervariasi, tingkat kesulitan yang beragam, murah dan mudah disegmentasi. Podcast dapat memfasilitasi mahasiswa untuk berlatih strategi menyimak. Dua siklus penelitian tindakan kolaborasi dilakukan untuk mengetahui bagaimana Podcast digunakan dalam mata kuliah Listening I. Hasil penelitian menunjukan bahwa Podcast tidak hanya dapat meningkatkan kemampuan menyimak mahasiswa, tetapi juga dapat meningkatkan partisipasi aktif mereka dalam kegiatan belajar. Hasil penelitian berupa prosedur pengajaran menggunakan Podcast sebagai materi pengajaran yang dapat meningkatkan kemampuan menyimak mahasiswa. Prosedur tersebut meliputi dua tahap, yaitu PrePod dan PresPod. Kata Kunci: Podcast, materials, listening ability, teaching listening.
Pendahuluan Diskusi tentang pengajaran bahasa, terutama bahasa Inggris, masih tentang bagaimana menciptakan suasana yang nyaman dalam proses belajar mengajar, karena suasana seperti itu dapat memotivasi belajar bahasa. Saepulmillah (2008) berpendapat bahwa motivasi merupakan salah satu faktor kunci yang mempengaruhi keberhasilan siswa dalam belajar bahasa. Dengan demikian, mengajar bahasa Inggris harus disampaikan dalam suasana nyaman yang dapat memotivasi belajar siswa. Dalam rangka membangun suasana tersebut, guru* harus kreatif dan inovatif. Sejalan dengan itu Brown (2007: 68) menyebutkan bahwa teknik pengajaran kelas merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi motivasi dalam belajar bahasa asing. Dengan demikian, guru memiliki peran penting dalam menentukan strategi pengajaran yang efektif dan dapat memotivasi siswa. Guru juga memiliki tanggung jawab untuk mendorong 2
Dosen Pendidikan Bahasa Inggris, STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur
68
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
siswa belajar bahasa Inggris baik di dalam maupun di luar kelas. Guru juga perlu memberikan kesempatan kepada siswa mendapatkan eksposur ke bahasa target. Di antara empat keterampilan berbahasa, menyimak merupakan keterampilan berbahasa yang dapat menampung masukan bahasa dan memfasilitasi siswa untuk belajar bahasa asing. Melalui keterampilan ini siswa dapat memperoleh bahasa. Keterampilan menyimak yang baik membuka lebih banyak kesempatan bagi siswa untuk mendapatkan masukan lebih dari bahasa target, Inggris. Selain itu, menyimak merupakan media komunikasi dengannya pesan ditransfer. Dalam hal ini, menyimak tidak dapat diabaikan begitu saja dalam pengajaran bahasa, serta sebagai media untuk mengkomunikasikan bahasa. Richards dan Renandya (2002: 235) menyatakan bahwa pemahaman melalui menyimak adalah inti dari akuisisi bahasa kedua dan karena itu menuntut perhatian yang jauh lebih besar dalam pengajaran bahasa. Gebhard (2000: 143) bahkan secara langsung menunjukkan bahwa mendengarkan bukanlah keterampilan pasif. Menyoroti pentingnya menyimak, Nations dan Newton (2009: 37) menyatakan bahwa menyimak adalah prekursor alami untuk berbicara. Tahap awal perkembangan bahasa dimulai dengan menyimak. Menyimak dianggap sebagai keterampilan kali pertama, di antara empat keterampilan berbahasa, yang diperkenalkan dalam pembelajaran bahasa. Kegiatan menyimak merupakan proses interaktif, karena itu harus disajikan dalam proses pengajaran sebagai suatu proses interaktif. Dengan demikian, penting untuk mengajarkan menyimak secara efektif. Sayangnya, usaha yang dilakukan dalam menghadirkan menyimak efektif dalam pengajaran menyimak masih sangat kecil (Saha dan Talukdar: 2008). Saha dan Talukdar juga menunjukkan bahwa kesalahpahaman Pendekatan Komunikatif di Bangladesh membuat guru tidak memberikan praktek menyimak yang memadai bagi para siswa. Kasuskasus serupa masih terjadi di beberapa kelas bahasa Inggris di Indonesia, siswa jarang mendapatkan kegiatan menyimak yang dapat membangkitkan motivasi mereka dalam belajar bahasa Inggris. Dalam kelas tersebut guru biasanya hanya duduk dan memainkan kaset sementara siswa mendengarkan dengan keras agar dapat menjawab beberapa pertanyaan. Strategi menyimak jarang disajikan. Tampaknya bahwa karakteristik bahasa alami yang diucapkan sama sekali tidak ada dan praktek menyimak tidak ada.. Masalah lain muncul dari segi materi dan fasilitas belajar. Guru sering mengeluhkan keterbatasan materi dan fasilitas dalam mendukung pengajaran. Khususnya, dalam penelitian ini, penelitian awal menunjukkan bahwa mahasiswa menemukan kesulitan dalam menangkap ucapan-ucapan, tidak terbiasa dengan kosakata lisan, dan gagal untuk mendapatkan tujuan dari teks lisan. Walaupun fasilitas telah memadai, mahasiswa menganggap menyimak itu sulit karena mereka harus menangkap apa yang mereka dengar dalam waktu yang terbatas. Alhasil, mereka lelah dan sulit untuk berkonsentrasi. Mahasiswa mengalami kesulitan dalam mengingat pesan dari apa yang telah mereka dengarkan, jika diberikan kesempatan menyimak yang terbatas; sehingga mereka lemah dalam menangkap pesan lisan. Perlu digaris bawahi bahwa dosen** seharusnya mengajar menyimak bukan menguji menyimak. Sekali lagi, peran dosen sangat penting dalam menentukan bagaimana proses belajar mengajar secara efektif dapat meningkatkan kemampuan siswa menyimak. Brown (2007: 340) menganjurkan guru untuk mengambil peran sebagai fasilitator yang menawarkan bantuan kepada siswa dalam menciptakan sebuah pengajaran yang menarik dan memotivasi. Dengan demikian pengajaran menyimak harus disajikan dengan tepat agar dapat mendukung proses pembelajaran yang bermakna.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
69
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Perkembangan praktek belajar mengajar telah membawa beberapa wawasan bagaimana mengajar menyimak. Sebuah alternatif pengajaran menyimak yang dapat menjawab kebutuhan para siswa adalah penggunaan Internet. Internet menawarkan fitur yang luar biasa untuk pengajaran menyimak. Salah satu dari beragam fitur Internet yang populer untuk mengajar menyimak adalah Podcast. Meskipun ada banyak fitur lainnya yang dapat menjadi sumber yang bagus untuk mengajarkan menyimak seperti Facebook, Webblog, Videocast, dan You-tube, Podcast masih mengungguli dalam pengajaran menyimak. Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa Podcast secara signifikan dapat meningkatkan kemampuan siswa menyimak (Baehaqi: 2009; Juniardi: 2008; Yamarmanto: 2008). Oleh karena itu, di antara alternatif dalam mengajar menyimak sebagaimana disebutkan di atas, penelitian tentang Podcast sebagai strategi alternatif untuk meningkatkan kemampuan menyimak masih perlu dilakukan. Artikel ini menggambarkan bagaimana Podcast diimplementasikan dengan model yang berbeda, dan pada setting dengan fasilitas yang memadai namun dengan input sekolah yang berbeda. Tidak seperti penelitian terdahulu (Juniardi: 2008;Yumarnamto dan Wibowo: 2008; Kavaliauskienė: 2008, Najamuddin: 2009), kali ini Podcast dihadirkan dengan segmemtasi Podcast dan Podcast worksheet yang berisi key concept, self monitoring, 5wh/1h, dan tabel informasi. Kekhususan inilah yang membuat penelitian tentang masih Podcast perlu dilakukan. Gambaran strategi pengajaran menyimak dengan menggunakan Podcast pada artikel ini dikhususkan pada penggunaan Podcast dalam meningkatkan kemampuan menyimak mahasiswa STKIP PGRI Jombang. Artikel ini diawali dengan pembahasan metode penelitian yang digunakan, dilanjutkan dengan paparan hasil penelitan. Berikutnya artikel ini menyajikan pembahasan hasil penelitian, simpulan dan saran.
Metode Penelitian Metode Penelitian Tindakan Kolaboratif digunakan untuk menggambarkan bagaimana strategi tersebut dapat meningkatkan kemampuan menyimak mahasiswa. Penelitian ini mengikuti siklus penelitian tindakan sebagai prosedur penelitian (Koshy, 2005:4); siklus dapat dilihat pada Gambar 1.
Cycle 1 PLAN
Cycle n
Cycle 2 ACT
REVISED PLAN
ACT
REFLECT
REFLECT
OBSERVE
OBSERVE
Gambar 1 Diagram Prosedur Penelitian Tindakan (Kemmis dan Mc Taggart, 2000:595 dikutip dalam Koshy, 2005: 4)
70
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Peneliti bertindak sebagai praktisi dan memulai penelitian dengan melakukan studi pendahuluan. Di sini, kolaborator adalah dua dosen dari Program Studi Pendidikan bahasa Inggris STKIP PGRI Jombang yang membantu peneliti dalam mengamati proses belajar mengajar, administrasi tes menyimak dan kuesioner. Para kolaborator memegang gelar master dari universitas terkemuka dan telah mengajar bahasa Inggris di perguruan tinggi selama lebih dari sepuluh tahun. Peneliti dengan bantuan kolaborator membuat perencanaan. Dengan menggunakan kolaborator, peneliti percaya bahwa temuan akan lebih dapat dipercaya, karena pengumpulan data melalui triangulasi teknik dan sumber data. Subyek penelitian adalah mahasiswa semester tiga STKIP PGRI Jombang. Subjek dipilih karena di kelas ini ditemukan banyak permasalahan berkenaan dengan kemampuan menyimak mahasiswa seperti yang telah dibahas pada pendahuluan. Ada 40 mahasiswa di kelas A yang mengambil mata kuliah Listening I. Kelas ini terdiri dari siswa yang heterogen dalam hal kemampuan menyimak, jenis kelamin, sosial ekonomi, dan etnis, karena pembagian kelas angkatan tahun 2011 dilakukan secara acak dari kelas 2011A sampai dengan kelas 2011F. Penelitian tindakan kolaboratif ini terdiri dari dua siklus, setiap siklus terdiri dari empat pertemuan. Tiga pertemuan adalah pelaksanaan strategi, dan pertemuan terakhir dikhususkan untuk tes hasil belajar. Sebelum pelaksanaan strategi, kriteria keberhasilan telah ditetapkan untuk merefleksikan keberhasilan siklus. Keberhasilan itu ditetapkan pada kemampuan menyimak mahasiswa dan partisipasi mahasiswa selama pelaksanaan strategi. Berdasarkan kriteria keberhasilan, instrumen penelitian dipilih. Data penelitian dikumpulkan melalui tes hasil belajar, daftar periksa observasi, dan catatan lapangan. Tes hasil belajar diberikan untuk memperoleh bukti pada kemampuan menyimak mahasiswa, sementara daftar periksa observasi dan catatan lapangan digunakan untuk merekam partisipasi siswa selama pelaksanaan penggunaan Podcast dalam pengajaran menyimak. Data kemampuan menyimak dianalisis secara kuantitatif untuk melihat poin peningkatan kemampuan yang dinyatakan meningkat jika rata-rata tes hasil belajar mahasiswa melebihi rata-rata tes awal sebanyak 20 poin. Data pada partisipasi siswa dianalisis secara kualitatif, yaitu dengan data reduction, data display dan conclusion drawing. Dua siklus dilakukan, karena pada siklus I peningkatan kemampuan menyimak siswa belum terlihat. Hal ini ditunjukkan oleh rata-rata tes hasil belajar mereka pada siklus 1 yang tidak mencapai 20 poin peningkatan sebagai kriteria keberhasilan, meskipun secara umum pengamatan menunjukkan peningkatan partisipasi mahasiswa. Oleh karena itu, beberapa revisi dibuat dalam hal prosedur pengajaran untuk mendapatkan cara pengajaran yang lebih efektif . Revisi dibuat sebelum pelaksanaan siklus ke dua, antara lain: penggunaan kamus dan pemberian bimbingan dosen secara intens pada tiap kelompok.
Hasil Penelitian Berdasarkan permasalahan yang didapat pada penelitian pendahuluan, diketahui bahwa kemampuan menyimak mahasiswa kurang. Selain itu, data kuesioner tentang proses pembelajaran menyatakan bahwa proses pembelajaran menyimak dan materi pengajaran sebelum adanya tindakan kurang bervariasi. Permasalahan yang muncul tersebut kemudian diatasi dengan memberikan tindakan berupa penggunaan Podcast sebagai sumber materi. Pada Siklus 1, peningkatan partisipasi mahasiswa dalam proses belajar dan pembelajaran belum dapat memenuhni kriteria keberhasilan yang telah ditetapkan. Rerata skor tes hasil belajar menyimak hanya dapat meningkat 11.58 poin. Hal tersebut dikarenakan masih ada 10 mahasiswa denga Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
71
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
poin peningkatan di bawah 10 poin. Akan tetapi, mahasiswa menunjukan anutisasme mereka pada proses pembelajaran di kelas. Mahasiswa mendapati Podcast sebagai media sekaligus sumber belajar yang menarik. Selain itu segementasi Podcast membantu mereka berlatih strategi menyimal. Pada Siklus 2, setelah dilakukan revisi pada langkah-langkah pembelajaran, peningkatan pada kemampuan menyimak tampak jelas dengan rata-rata poin peningkatan 20.31. Kemampuan menyimak mahasiswa sudah dapat menjawab tingkat kemampuan yang ditetapkan pada kriteria sukses. Pada aspek keterlibatan mahasiswa dalam proses belajar mengajar, level kategori partisipasi mahasiswa masuk kategori baik. Dengan kata lain sekitar 26 sampai dengan 35 mahasiswa menunjukkan kontribusi positif pada proses belajar mengajar menyimak dengan menggunakan Podcast.
Pembahasan, Simpulan, Saran Data dari pengamatan menunjukkan bahwa mahasiswa bisa memiliki pemahaman yang lebih baik dengan meminta dosen untuk memutar ulang Podcast. Pengulangan ini bisa dilakukan untuk Podcast utuh atau potongan ucapan-ucapan yang merupakan segmentasi dari file audio Podcast. Harmer (2007:305) menganjurkan bahwa siswa akan mendapatkan lebih banyak manfaat dari pembelajaran menyimak jika materi audio diputar ulang dua kali atau lebih. Dia juga menyatakan bahwa dalam kegiatan menyimak, guru harus memberikan bantuan yang tepat sehingga siswa akan memahami lebih baik dari yang mereka lakukan sebelumnya. Temuan menunjukkan bahwa dalam pembelajaran teks lisan perlu diperdengarkan berulang-ulangan dengan bimbingan dari dosen agar mereka dapat berlatih menyimak secara efektif. Dengan demikian kegiatan menyimak yang membatasi mahasiswa dalam menyimak teks lisan tidak dapat memberikan pengalaman belajar yang bermakan kepada mahasiswa. Dosen dapat memberikan bimbingan bagaimana menyimak yang efektif dengan bantuan segmentasi Podcast. Aktifitas pembelajaran semacam ini tidak mudah dilakukan dengan kaset ataupun CD (Compact Disk). Segmentasi bisa dilakukan dengan CD, tapi tidak semudah seperti memotong file-file Podcast. Hasil penelitian menunjukkan manfaat lebih dari file audio Podcast dibanding dengan kaset atau CD dalam meningkatkan kemampuan menyimak mahasiswa. Podcast merupakan materi pengajaran menyimak yang mudah didapat dan murah. Jika dibandingkan dengan materi menyimak pada kaset ataupun CD, Podcast tentu saja lebih murah. Tidak semua isi materi pengajaran yang ada dalam kaset dan CD sesuai dengan tujuan instruksional pembelajaran sehingga diperlukan biaya lebih, karena untuk memenuhi tujuan instruksional kadang memerlukan lebih dari satu kaset atau CD. Hal lain adalah bahwa meskipun kaset komersial atau CD mudah didapat dan hadir dalam varian tingkat kesulitan dan tema, audio dalam kaset dan CD tidak mudah disegmentasi. Temuan menunjukkan bahwa segmentasi bahan audio Podcast sangat diperlukan untuk membantu mahasiswa berlatih menyimak. Dosen dapat memainkan podcast yang sudah tersegmentasi untuk membantu mahasiswa mengenali potongan-potongan kalimat kunci. Memperdengarkan podcast yang tersegmentasi juga dapat mengubah persepsi mahasiswa bahwa mereka harus mengetahui arti dari semua kata-kata dalam teks lisan untuk memahami pesan teks. Beberapa mahasiswa berpersepsi bahwa setiap kata atau ujaran yand ada dalam teks lisan itu pentingnya. Sayangnya, persepsi seperti ini secara tidak sadar sering dipupuk oleh guru/dosen (Ur, 1996:111). Upaya untuk memahami setiap kata atau ujaran dalam teks lisan sering mengakibatkan pemahaman yang tidak efektif serta perasaan kelelahan dan kegagalan. Ur (1996:112) sependapat bahwa mahasiswa sebaiknya diajarkan 72
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
untuk menyimak efektif, memilih kosakata atau ujaran kunci yang penting dan mengabaikan kosakata yang mungkin dapat diabaikan. Khususnya dalam penelitian ini, Podcast digunakan di kelas secara offline dengan segmentasi. Podcast bisa meningkatkan kemampuan menyimak jika digunakan dalam bentuk segmen dan file utuh, dan dengan mempertimbangkan kebutuhan mahasiswa dan tujuan instruksional. Penggunaan Podcast di kelas semacam ini sejalan dengan apa yang Kavaliauskienė (2008) telah sarankan, bahwa Podcast, pembelajaran secara online, akan lebih baik dalam meningkatkan siswa jika dikombinasikan dengan tatap muka di kelas. Memperdengarkan segementasi Podcast sambil membimbing dan memberikan model bagaimana mendapatkan potongan kata-kata yang tepat, seperti dalam penelitian ini, telah menunjukkan bahwa Podcast yang digunakan secara offline dengan tatap muka, dapat meningkatkan kemampuan mahasiswa. Pada penelitian ini terungkapkan bahwa mahasiswa yang jarang mendengarkan teks lisan otentik masih membutuhkan bimbingan untuk memahami teks dan memperdengarkan file audio dengan berulang-ulang sesuai kebutuhan mahasiswa dapat membantu mahasiswa memahami pesan teks lisan dengan lebih baik. Hal ini mendukung Stanley (2006) dan Beare (2009) bahwa Podcast tetap dapat memberikan keuntungan jika digunakan di dalam kelas, karena Podcast merupakan akses mendapatakan bahasa otentik. Temuan juga menunjukkan bahwa mahasiswa tertarik dengan materi audio baru. Podcast itu menarik bagi para mahasiswa karena berisi bahasa yang otentik diucapkan oleh penutur bahasa Inggris (Kilickaya: 2004). Selama mengajar beberapa mahasiswa bahkan menirukan ucapan-ucapan otentik tersebut. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Juniardi (2008), ia menyatakan bahwa mahasiswa menyukai materi Podcast, karena kontekstual dan otentik. Beberapa penelitian lain (Yumarnamto dan Wibowo: 2008; Kavaliauskienė: 2008, Najamuddin: 2009) juga menegaskan bahwa Podcast dapat mencuri perhatian mahasiswa. Motivasi positif tersebut dapat mendorong pembelajaran mahasiswa. Penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan Podcast sebagai materi pembelajaran dapat memotivasi mahasiswa. Motivasi ini berkontribusi banyak dalam meningkatkan kemampuan mahasiswa (Sapulmillah: 2008, Harmer, 2007:98). Selain itu, penelitian ini juga mengungkapkan bahwa terbatasnya bahan ajar tidak bisa disalahkan, karena Podcast adalah alternatif yang baik sebagai sumber materi. Chinnery (2007) mengatakan Podcast yang dapat memerangi hambatan dalam pengajaran seperti kualitas audio yang buruk dan keterbatasan bahan ajar . Selain itu, Man-Man (2006) menyatakan bahwa dengan imajinasi dan kreativitas, guru bahasa kedua/asing akan mampu melakukan yang terbaik dalam menggunaan teknologi-teknologi baru untuk mengembangkan siswa mereka. Dari temuan dan menyoroti studi sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa penggunaan podcast sebagai materi menyimak mengungguli sumber materi lain seperti kaset dan CD. Dengan keunggulan tersebut Podcast sebagai materi pengajaran menyimak dapat meningkatkan kemampuan menyimak mahasiswa STKIP PGRI Jombang, Hasil penelitian menunjukkan peningkatan kemampuan siswa . Peningkatan nilai tes prestasi mencapai lebih dari 20 poin dan peningkatan partisipasi mahasiswa mencapai kategori baik. Penggunaan Podcast sebagai materi adalah salah satu cara yang tepat untuk mengajarkan dan memberikan kontribusi yang bermanfaat dalam meningkatkan kemampuan siswa dalam memahami teks lisan. Oleh karena itu, prosedur tertentu harus diikuti. Prosedur dibagi menjadi dua yaitu, PrePod dan PresPod. Persiapan sangat penting dalam menerapkan strategi ini. PrePod adalah tahapan persiapan yang dilakukan dalam menguunakan Podcast pada mata kuliah menyimak. Pertama, guru harus Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
73
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
menelusuri untuk mencari Podcast yang sesuai dengan kebutuhan baik mahasiswa dan tujuan instruksional. Kedua, guru harus memanipulasi podcast sehingga mereka siap untuk disajikan di kelas. Manipulasi itu terutama dalam hal segmentasi Podcast yang dapat memfasilitasi mahasiswa dalam memahami teks lisan dan mempraktekkan strategi mereka . Persiapan selanjutnya adalah membuat lembar kerja mahasiswa yang mendukung penyajian materi podcast. PresPod adalah proses presentasi Podcast dalam pembelajaran menyimak. Dalam presentasi, teknik tiga-fase mencakup kegiatan awal, inti dan akhir. Dalam presentasi ini guru harus dapat memfasilitasi para siswa untuk berlatih strategi . Fase-fase itu antara lain: (1) membangun konteks pembelajaran dan melakukan brainstorming, (2) memberikan pertanyaan prediksi pada konteks, (3) memanfaatkan gambar dan membahas tata bahasa dan kosa kata penting yang akan muncul di Podcast, (4) memberikan bantuan personal (5) membiarkan mahasiswa secara intensif mendengarkan Podcast, (6) dan menanggapi kartu yang disediakan dalam lembar kerja, (7) memberikan pemodelan strategi dengan menggunakan Podcast tersegmentasi, (8) diskusi kelompok dan mengidentifikasi informasi dalam teks, (9) diskusi kelas untuk meninjau tugas dalam lembar kerja, dan (10) melakukan refleksi pembelajaran. Studi ini mengungkapkan bahwa Podcast membuat pengajaran menyimak menjadi menyenangkan dan teks lisan mudah dimengerti. Selama proses belajar, mahasiswa terlihat lebih menikmati kelas menyimak dengan Podcast, jika dibandingkan dengan pengajaran konvensional seperti yang biasanya dilakukan sebelum pelaksanaan strategi ini. Dengan kata lain, melalui strategi ini mahasiswa mendapat banyak pengalaman, mahasiswa lebih termotivasi untuk bekerja lebih keras, menciptakan suasana yang positif, dimana belajar berbagi diperoleh dan dibahas secara interaktif. Penggunaan Podcast mendorong kesempatan berinteraksi dan berkomunikasi antara mahasiswa. Podcast juga mendorong mahasiswa mengembangkan strategi menyimak seperti menyimak untuk ide-ide pokok dan detail. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penelitian ini. Penelitian ini hanya mengukur keberhasilan melaui tes kemampuan menyimak mahasiswa dan partisipasi mahasiswa dalam pembelajaran dalam kelas. Kegiatan pembelajaran individu atau menyimak ekstensif hanya untuk melatih pembiasaan belajar mandiri, bukan merupakan variable penelitian. Penelitian ini hanya terfokus pada kegiatan pembelajaran di dalam kelas sehingga peneliti selanjutnya dapat meneliti pada lingkup yang lebih luas. Pada penelitian ini strategi penggunaan Podcast diperkaya dengan adanya lembar kerja yang berisi Key concept, Self Monitoring card, 5Wh dan 1H, dan tabel. Lembar kerja dibuat sesuai kebutuhan mahasiswa karena itu lembar kerja Podcast dapat dibuat dalam bentuk lain. Dengan persiapan yang matang dan kreatifitas dosen lembar kerja Podcast dapat dibuat menarik dan bermakna untuk memfasilitasi mahasiswa mengasah keterampilan berbahasa.
Daftar Pustaka Beare, K. 2009. Introduction to English Listening Podcast. (Online), (http://esl.about.com/od/ englishlistening/a/intro_podcasts.html, accessed October 10, 2009) Brown, H.D. 2007.Teaching by Principle: An Interactive Approach to Language Learning Pedagogy. New York: Longman. Chinnery, G. M. 2007. Going to the MALL: Mobile Assisted Language Learning. Language Learning and Technology, 10 (1): (pp. 9-16)
74
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Gebhard, J.G. 2000. Teaching English as a Foreign or Second Language: A Teacher SelfDevelopment and Methodology Guide, Ann Arbor: Michigan University Press. Harmer, J. 2007. The Pracrice of English Language Teaching. Harlow: Pearson Education Limited. Juniardi, Y. 2008. Improving Students’ Listening Skill through Podcasting Program. Paper presented in Asia TEFL Conference Bali, 23rd August. Kavaliauskienė, G. 2008. Podcasting: A Tool for Improving Listening Skills. (Online). (http://www.iatefl.org.pl/call/j_techie33.html, accessed on 15 November 2009) Kilickaya, F. 2004. Authentic Material and Cultural Content in EFL Classrom. (Online), (http://iteslj.org/Techniques/Kilickaya-AutenticMaterial.html, accessed on 15 November 2009) Koshy, V. 2005. Action Research for Improving Practice. London: Paul Chapman Publishing. Thesis Man-Man, T. 2006. Developing Students’ Listening and Speaking Skills through ELT Podcasts. Education Journal. 34 (2):115-134. Nation, I.S. P. & Newton, J. 2009. Teaching ESL/EFL Listening and Speaking. New York: Routledge. Richard, J.C. & Renandya, W. A. 2002. Methodology in Language Teaching: An Anthology of Current Practice. Cambridge: Cambridge university Press. Saepulmillah, A. (2008). The use of English Pop Songs in the Teaching of Listening at MTs. Pamoyanan Tasikmalaya. (UnPublished Thesis).State University of Malang. Saha, M. & Talukdar, A. R. 2008. Teaching Listening as an English Language Skill. (Online) (http:// httpwww.articlesbase.com/languages/articles/teaching-listening-as-an-englishlanguage-skill/367095.html, retrieved on September 12, 2010) Stanley, G. 2006. Podcasting: Audio on the Internet Comes of Age, TESL-EJ, 9 (4). Ur, Penny. 1996. A Course in Language Teaching: Practice and Theory. Cambridge: Cambridge University Press. Yumarnamto, M & Wibowo, B. H. S. 2008. Podcasts and Videocasts from the Internet to Improve Students’ Listening Skills. Paper presented in Asia TEFL Conference Bali, 23rd August.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
75
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Strategies of Successful and Less Successful Students of English Education Department STKIP PGRI Jombang in Completing Tenses Tasks Erma Rahayu Lestari 3 ([emailprotected]) Banu Wicaksono 3 ([emailprotected]) Abstract Student centered learning as the idea of constructivism theory has become an education research focus. Investigating strategy of learners in completing tenses task, teachers may adjust their teaching method to the students’ need within structure lesson. This research aims at identification of learning strategies used by both successful and less successful learners in completing tenses tasks. Within this case study research, twenty students were selected as subject of the research. They were grouped into successful and less successful learners based on tenses test given previously. They were subjected to perform think aloud and interview sections. The result of this study indicates that successful learners uses cognitive strategies in varied and advanced way they uses elaboration strategy with correct picturing of sentence situation and context. Grouping strategy, which classifies verbs into event or state, is reported to used as well. While less successful learner applies analyzing expression strategy that focus on the time expressions and deduction strategy which lies sentence analysis to tenses patterns. Keywords: learning strategies, successful learners, less successful Abstrak Pengajaran berpusat pada pembelajar dalam teori konstruktivis menjadi focus penelitian pendidikan saat ini. Mengetahui strategi pembelajar yang digunakan untuk menyelesaikan soal tenses akan memberikan informasi cara mereka belajar sehingga penyesuaian dapat dilakukan pada metode pengajaran mata kuliah structure. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui strategi apa yang digunakan oleh pembelajar yang berhasil dan yang kurang berhasil pada saat menyelesaikan soal-soal tenses, Dengan menggunakan metode penelitian case stud, dua puluh orang dipilih menjadi responden dan dibagi menjadi pembelajar yang berhasil dan yang kurang berhasil berdasarkan pada tenses test. Mereka diminta untuk menjalankan think aloud dan interview. Hasil dari penelitian menunjukan bahwa pembelajar yang berhasil menerapkan strategi kognitif mereka dengan cara yang lebih beragam. Mereka menjawab soal dengan elaboration strategy dengan mengilustrasikan situasi dan konteks kalimat. Selain itu mereka juga mengunakan grouping strategy dimana mereka mengklasifikasikan event atau state verbs. Sementara itu pembelajar yang kurang berhasil lebih banyak bergantung pada analyzing expression strategy yang terfokus pada penggunaan keterangan waktu. Selain itu mereka juga banyak menerapkan deduction strategy untuk menganalisa kalimat berdasarkan rumus tenses Kata Kunci: strategi belajar, pembelajar yang berhasil, pembelajar yang kurang berhasil
Introduction Learning strategies are some procedures applied by the learners to facilitate them learning second or foreign language. Oxford (1990: 63) defines learning strategies as “specific actions, behaviors, steps, or techniques --such as seeking out conversation partners, or giving oneself encouragement to tackle a difficult language task -- used by students to enhance their own learning.” The learners are aware that they face difficulties in learning a language. Based on the awareness, they start thinking a set of actions that can ease the difficulty and improve their
3
Dosen Prodi. Pendidikan Bahasa Inggris STKIP PGRI Jombang
76
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
understanding, such as seeking the meaning of words within their dictionary, making conversation with partners, discussing with the teacher and so forth. Learning strategies are good indicators of how learners come up to tasks or problems that appear during the process of language learning. In other words, learning strategies give language teacher valuable clues about how their students assess the situation, plan, select appropriate skills to understand, learn, remember new input presented in the language classroom. However, there are some areas in language learning strategies which remain scarce and researchers are only beginning to make inroads. Anderson (2005:766) writes that there is a great lack in studying learning strategies used by L2 learners to learn and understand the elements of grammar. Grammar is the basis of language, thus mastery of grammar is a prerequisite for effective language learning. Oxford (1990: 17) asserts that grammar is also language skill and it intersects and overlaps with the four language skill in particular way. It is noticed that STKIP PGRI students have problem in grammar learning especially in learning tenses. Students still need to learn tenses since tenses to be one subject that should be mastered as the basis of their knowledge. In practice, STKIP PGRI Jombang English Education Department students are recognized to vary in range from the most successful learners with most excellent scores in English tenses to the unsuccessful one. The various range of students’ achievement, in fact, is apart from the way of teaching. There is a trend in STKIP PGRI Jombang to leave inductive way of teaching and teach students more deductively, including the teaching of tenses in grammar subject. This condition gets the students to learn the lesson more independently. Despite the revision way of teaching, the students’ problem of better understanding in tenses persists. The reason to this issue may lie on the students themselves. Students are not aware that generally they use different strategies while learning English tenses. Therefore, no wonder their achievements in learning are different as well. Brown (2007: 118) assumes that those who are successful use good learning strategies, while those who are unsuccessful may not use them. Learning strategies used by the both group tenses learners may become a good investigation that will uncover the gap between two. Furthermore, besides the learning strategies understanding by the learners, learning strategies in learning tenses should be recognized by the teacher because teacher can help students to optimize their strategies that results to the better tense learning achievement. If teachers are familiar with the learning strategies, they can introduce the strategies or even teach them to the students. Besides teaching the learning strategies, teachers may create a situation in classroom in which the learners can apply better learning strategies. Richard (2001:101) promotes that an institution need to have an analysis for developing curriculum and learners is one of the key factors. Since there is lack awareness of the learning strategies used by students in completing tenses task, the researcher considers to find answer to the following research questions: In what ways do successful and less successful students of English Education Program, STKIP PGRI Jombang differ in their application of learning strategies to complete tenses task?
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
77
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Review of Related Literature The study on grammar learning strategies conducted by Yalçin (2005) purposes in investigating the way of language learners make conscious effort to learn grammar by using language learning strategies; and it also looks at the relationship between strategy use and grammar learning achievement. She finds out that successful second language learners are aware of the strategies they use, but the less successful learners are reported less in using strategies for they do not know how to choose the appropriate strategies. However the research does not show any significant relations between grammar learning strategies to students’ achievement, for the broadness scope of attainments. For that reason, she advices the next researchers to explore more on grammar learning strategies. The next study was done by Choomthong (2011) that investigated Thai EFL learners’ difficulties in learning English passive and the learning strategies they use. She discovers that Thai students are difficult in deciding the situation of when passive voice should be used, in manipulating English tenses into passive, in mastering irregularities, in mastering the syntactic construction of passive voice. Furthermore, she reveals that most of the Thai students, even the competence ones, use translation strategies in learning foreign language. The characteristics of strategies for grammar learning give the perimeter to formulate the grammar learning taxonomy. Since there is no exact taxonomy, we may derive the strategies from the existing ones. Since the strategies from O’Malley and Chamot (1990), and Oxford (1990) are well developed and possible to uncover the learner way of learning, they may use complementary. This research runs with cognitive strategies by O’Malley and Chamot (1990), and Oxford (1990) that meet the strategies for grammar learning characteristics in completing tenses task. Table of Strategies for Learning Grammar Adopted from Gurata (2008) Learning strategies Cognitive Strategies Practicing (Oxford, 1990)
Definition
Elaboration (O’Malley
Relating new information to prior knowledge; relating different
Repeating, formally practicing with sounds and writing systems, recognizing and using formulas, recombining, and practicing naturalistically. Resourcing (O’Malley Using target language reference materials (i.e. dictionaries, and Chamot, 1990) textbooks, etc.) Grouping (O’Malley and Classifying words, terminology, numbers, or concepts according Chamot, 1990) to their attributes. Note Taking (O’Malley Writing down key words and concepts in abbreviated verbal, and Chamot, 1990) graphic, or numerical form to assist performance of a language task. Highlighting (Oxford, Using a variety of emphasis techniques (e.g. underlining, 1990) starring, or color-coding) to focus on important information in a passage Deduction/Induction Applying rules to understand or produce the second language or (O’Malley and Chamot, making up rules based on language analysis. 1990) Imagery (O’Malley and Relating new information to visual concepts in memory via Chamot, 1990) familiar, easily retrievable visualizations, phrases, or locations
78
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
and Chamot, 1990)
parts of the new information to each other; making meaningful personal associations to information presented; using mental or actual pictures or visuals to represent information Transfer (O’Malley and Using previously acquired linguistic and/or conceptual Chamot, 1990) knowledge to assist comprehension or production Inferencing (O’Malley Using available information to guess meanings of new items, and Chamot, 1990) predict outcomes, or fill in missing information Analyzing expressions Determining the meaning of a new expression by breaking it (Oxford, 1990) down into parts; using the meanings of various parts to understand the meaning of the whole expression Analyzing Contrastively Comparing elements of the new language with elements of one’s (Oxford, 1990) own language to determine similarities and differences Translating (Oxford, Using the first language as a base for understanding and/or 1990) producing the second language One part of English grammar is tenses.There is always a question on how many tenses in English are. In the term of grammatical expression, Payne (2011: 280) argues English verbs have three morphological forms that are usually described as present tense (two forms) and past tense. These are reasonable terms, since most of the uses of the forms include the time of speaking and most of the uses of the past tense form have something to do with the past. The tense basic forms as suggested by Payne (2011)are present, future and past tense. Future may includes into present since the future still have relation to the time of speaking or present. Payne (2011: 281) comprises some major usages. Present tense may describe the state of now, habitually over a period of time that includes now, future or the planning of which includes now, possible/ probable conditional future situation, and vivid narrative past. Payne (2011: 281) gives the most common function of past tense that clearly explains the completed situation presented or occurred before the time of speaking. The next paradigm that goes together with tense is aspect. Kroeger (2005: 152) characterizes aspect through the questions Is the situation changing or static? Is the event spread over period of time, or is it thought of as being instantaneous? Does the situation have a definite end point, or is it open-ended? Does the situation involve a single unique event, or an event which is repeated over and over? Based on the aspect characteristics, Kroeger (2005: 152) divides it into lexical aspect and morphological aspect. Lexical aspect focuses on the predicate of a sentence. There are two types of predicate, events and states. The former describes a situation which is changing over time; for example the predicate can be used naturally to answer the question what happened?, the predicate also can normally be expressed in progressive and the predicate in present tense implies habitual interpretation. The later describes a situation which is relatively static or unchanged. Since it is static, it cannot answer the questions what happened? and it only implies temporal state at a particular time. Morphological aspect deals mostly on perfective and imperfective aspects. Payne (2011: 287) says that “in perfective aspect a situation is viewed in its entirely, including its beginning, middle and completion.” English does not have a specific grammatical form to express perspective aspect. On the other hands Payne (2011:288) describes a situation with an ongoing Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
79
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
state or process as imperfective aspect. Habitual, progressive, and iterative aspects are all subtypes of imperative.
Research Method Subjects This study takes STKIP PGRI Jombang as the research site since English grammar is still a subject in English department curriculum. The subject of the study specified to the students who had taken Integrated Course subject previously. There are three classes with 50 up to 60 students each class. They were given grammar test from Azar (2000: 76) with the tenses part focus. Students who met grammar tenses test correct answer above 80% attributed as successful learners, meanwhile less successful learners were students who had tenses grammar test correct answer below 40%. Ten students were selected to be successful learners and ten others were selected to be less successful learners. They were selected since they not only met category score of successful and less successful learners, but they also voluntarily and willingly participated in this study.
Instrument 1. Interview
The interview in this research was semi structured adapted from the learning strategies taxonomy of Oxford (1990) and O’Malley and Chamot (1990). Besides the interview questions are also adapted from SILL (Strategy Inventory for Language Learning) develops by Oxford (1990). The interview was conducted in Bahasa Indonesia since subjects had better understanding to the questions and had better responses in Bahasa Indonesia. The researcher recorded, transcribed, translated, coded and categorized to identify the patterns of the responses. 2. Think aloud Think aloud based on Someren et al (1994: 8) is psychological protocols to obtain the way people run cognitive processes that take place during the problem solving. Think aloud has been adapted to learning strategies research to elicit the invisible brain process in learning. Think aloud were conducted while the subjects were completing a task. During task accomplishment, they were demanded to spoke out aloud to what they were thinking. The task that was used in think aloud protocols was taken from Hashemi with Murphy (2004). The problems were in the form of choosing correct verb form in the brackets within paragraph or conversation as proposed by Brown (2003: 226) that the assessment technique for grammar may represented in the form of tense changing within paragraph. The task was divided into five groups. The first group was dealing with present and present progressive in paragraph; the second was present perfect, and present perfect progressive in dialogue; the third was past and past progressive in paragraph; the fourth was past and past perfect in paragraph; the fifth was future, future continuous or the future perfect in dialogue. Before the think aloud protocols, there was a training session to give knowledge what they were supposed to do in the process. The researchers gave an example with difference questions, after that they practiced think aloud with questions example. The subjects were given opportunity to chose to think aloud in Bahasa Indonesia or in English, and they preferred to use Bahasa Indonesia.
80
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Data Analysis The first stage of data analysis is organizing the data into categories of successful and less successful learner. The next is making the transcription of the recorded verbal data from interview and think aloud protocol. Researcher listened to the recording data then made transcription. She then translated the interview transcript into English. Researcher didn’t translate think aloud transcription to maintain the true content that will be different in meaning as it’s translated. The last is interpreting the data to answer the research questions by comparing the way the strategy implemented by successful and less successful learners. Maintaining data validity, researcher conducts verification process by doing member checking or respondent validation as proposed by Lincoln and Guba (1985: 314). Researcher conducts the process during the interview session when she and the respondents discuss the recorded interview. Respondents are free to comment whether they affirm, add or change their answer.
Result Inferencing cognitive strategy was used when subject made a guess to fill information. Successful learners used inferencing strategy in conjunction with grouping strategies in answering present and present continuous question. “I’m thinking or I think my pronunciation is much better than when I arrived, and I understand almost everything now. Ee… I think my…saya kira ini pakai present simple karena menunjukan sesuatu pendapat… ya…dari kata think.” (I think this uses present simple because it shows an opinion … yes … from the word think) This subject guessed the answer in present tense since he classified the word think to its attribute of state verb. In answering another question, successful learners used inferencing strategy with elaboration strategy. A subject made a guess based on the mental pictures he created. “He has offered or has been offering me some works. Saya kira ini menggunakan has offered atau present perfect karena di kalimat ini Steve telah ee… menawarkan pekerjaan … mm… maksudnya itu saya sudah ditawari maksudnya itu kejadian ini sudah complete jadi menggunakan present perfect.” (I think this uses has offered or present perfect because in this sentence Steve has ee… offered works … mm … it means I have been offered, means that situation has completed so it uses present perfect) He made a guess at the beginning, create a mental picture and ensure himself to approve his guess. He created mental picture by putting himself in the situation from the phrase “it means I have been offered”. In this case elaboration helps him to get the answer. However elaboration strategy failed him once when he didn’t have complete elaboration. “When we arrived or had arrived we arrived or we had oh ini saya kira pakai past perfect dan kemudian pakai reserved or past simple karena yang pertama menunjukan aktifitas itu dilakukan atau sudah terjadi ketika aktifitas yang lainnya sudah terjadi” ( I think this uses past perfectand then I use reserved or past simple because the first one shows the activity that has done when other activity completed) In this case he seemed in rush to complete the question. He didn’t have clear picture of the situation since he couldn’t locate which situation happened first. Successful learners frequently used inferencing with elaboration strategy. When we looked back to his interview data, successful learners studied tenses using elaboration strategy
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
81
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
in the form of making context or situation analysis to the dialogue or sentence examples. Context and situation analysis also helped him to understand tenses usages or functions. The other strategy that helped successful learners completing the task was resourcing. As reported in interview session, he used dictionary and TOEFL book, during think aloud he brought both references on purpose. He looked up tenses explanation twice from TOEFL book. When he used dictionary, he didn’t use it for translating the whole sentence. He use it once as he didn’t know the meaning of suspected in Bahasa Indonesia. Besides resourcing strategy, there were translating and analyzing expression strategies. Translating strategy applied by successful learners when he got difficulty in elaborating the condition of the sentence. After translating, she could locate a word or a phrase with certain attribute so she could determine the next strategy. “Yeah, so every day since then I’ve looked or I’ve been looking at his work online. Jadi setiap hari setelah itu saya melihat… ini saya kira menggunakan present perfect progressive karena ee… di kalimat ini menunjukkan bahwa di kejadian ini telah dilakukan di waktu lampau dan masih terjadi pada waktu sekarang dari kata-kata so every day since then I’ve been looking his work online.”(translating … this I think it uses present perfect progressive because ee… in this sentence shows that this situation had been done in past time and still continuing to the present from the word so every day since then I’ve been looking his work online. She firstly translated the sentence, and then he made a guess from picturing the situation. At the end she made up her mind as she knew the presence of time expression. The strategy for this case may be sequenced in this way: translating, inferencing, elaborating and analyzing expression. She also applied his way in using translating strategy which was completed with other strategies in another question. The strategies she used were in this sequence: translated the sentence, looked up explanation from his book and spotted the time expression. She missed elaborating strategy since she didn’t make any situation analysis, and this failed her to give correct answer. The way how strategy utilized in think aloud had been revealed. The following is the explanation of the use of certain strategy for certain question. Dealing with answering tenses questions, successful learners consistently used inferencing strategy. One subject used to infer first and followed by the supporting information to determine the answer. This caused by his understanding that different tenses should be treated by different strategy. When he answered present and present continuous tense questions set, he applied grouping strategy for some questions with event or state verb option such think or own. As the question didn’t focus on the verb aspect, he used elaboration to analyze the situation, “Mm saya kira ini juga pakai present progressive karena e… di kalimat ini menunjukan temporary action.” (I think this uses present progressive because e … this sentence shows temporary action). He also used analyzing expression strategy to locate the time expression such on weekdays and these days. Those strategies took him to correct answers. For the next question set about present perfect and present perfect continuous, successful learners employed mostly inferencing based on the information form elaboration strategy. They elaborated the event on the sentence whether it is continuing or completed event. The use of the strategy reflects on this statement “saya kira ini menggunakan present perfect karena kejadian ini sudah terjadi … ee is completed.” (I think this uses present perfect because the occasion has
82
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
already happened… ee is completed). Once he used analyzing expression strategy when he spotted time expression so every day since then. Answering past and past continuous tense questions set, one of successful learners used resourcing strategy as he was not sure to his own context analysis. This also happened to the next question set. He seemed experiencing difficulty to answer the two question sets. However he still maintained correct answer for past and past continuous tense from the help of his book. While the next questions set he didn’t go with his book but he only relied on his incomplete elaboration. This made him get wrong answer for some questions. The last questions set were finished using analyzing expression strategy. Successful learners focused his attention on the presence of time expression, “Saya kira ini menggunakan you’ll be doing. Terlihat dari time signalnya this time next Sunday.” (I think this uses you’ll be doing. It is seen from the time expression this time next Sunday). The strategy helped him to get the 3 correct answers and 1 wrong one. From the data of successful learners, it could be concluded that there were several factors that affected his learning tense. The first was the inferencing strategy which was used in conjunction with other strategies. The second was elaborating strategy that could describe the situation or sentence context clearly. The third strategy was the use of analyzing expression that refers to the time expression did not always provide a sentence understanding correctly. The fourth was grouping strategy that gave attribute to the verbs as event or state ones. Similar to successful learners, less successful learners also applied inferencing strategy, however the information they used for guessing came from analyzing expression strategy “I’m thinking or I think my pronunciation is much better than when I arrived, and I understand almost everything now. Disini sudah jelas ada time signal now yang ee… ini ee… mengenai function yang changing situation karena pronunciationnnya much better ee… dan sebelum dia datang jadi jawabannya I’m thinking.” (Here is clear of the existence of time signal now that ee… this ee… it’s about changing situation function because the pronunciation is much better ee … and before he arrived, so the answer is I’m thinking) One of less successful learners inferred the answer was I’m thinking. He used analyzing expression as he gave the meaning of various parts such now as the time expression of present continuous, and much better as the expression of changing situation. His wrong focus in analyzing expression gave his wrong understanding to the whole sentence. Another wrong interpretation when using analyzing expression strategy showed in this quotation: “I think jawabannya itu I’m helping Robbie’s dad karena disini ada time signal yang jelas yaitu on weekdays.(I think the answer is I’m helping Robbie’s Dad because there is a very clear time expression of on weekdays).” She believed that on weekdays was time expression showing progressive events. Less successful learners depended a lot on time expression cues in answering the first questions set about present and present continuous and the second questions set about present perfect and present perfect continuous. They got difficulties to locate time expressions in past and past continuous questions set. They then started to use elaboration strategies in answering past perfect and past tense set of questions. Using elaboration strategy, one of less successful learners made her own mental picture as done by successful learners. She imagined the situation and then determined the answer.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
83
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
“All speakers mm… apa menyiapkan dengan baik. Jadi karena sudah disiapkan dengan baik jadi jawabannya pastilah had prepared dikarenakan sudah lampau. Sudah disiapkan dengan sangat baik jadi menggunakan tenses past perfect.” (All speakers mm … what, prepared well. So, since it had prepared well so the answer must be had prepared because it was in the past. Had been prepared well so it uses past perfect tense.) Here, she tried to imagine the sequences of the situation. She pictured that preparation had to be done long before an occasion and she knew that a situation happened before other situation should use past perfect. When we compare think aloud data and interview data, this subject reported her way of learning that mostly depended on understanding and memorizing tense pattern. During the interview she didn’t report the use of analyzing expression and elaboration strategy. She might take that time expression was the part of tenses pattern, that was why she didn’t especially mentioned it in the interview session. Elaboration strategy in the way of using mental picture in understanding context or situation was never be the preference of less successful learners. Some other strategies applied by less successful learners were deduction/ induction, transfer, translating, resourcing and grouping strategies. The first was used in answering past and past continuous question set. They looked up tenses pattern since they had difficulty in determining sentence form appeared in “while” conjunction. “While her friends were shopping, she was going or went to look round an art gallery. Sedikit membingungkan lagi, mungkin saya harus melihat referensi saya lagi mengenai past progressive. Ee… disini dikatakan setelah while ada ee… was atau were subject plus were atau was plus verbing. Setelah itu baru subject ee… subject plus apa ya… “(a bit confusing, maybe I need to check my references about past progressive. Ee…here stated that after while is ee… was or were subject plus were or was plus verb ing. After that subject ee… subject plus what is it…) This subject checked the pattern of past continuous using while in her own note. This strategy didn’t help her answering this question since she could not understand the use of the tense completely. The next was transfer strategy which was used as she recalled her English course material or used any reference from it. The reference she mentioned in the quotation was her course notes. She used to look up the tense pattern explanation on her course note book instead of target language reference. She preferred to have it because the course note was easier to read. This transfer strategy revealed in her interview data as well. For translating strategy, less successful learners had the same application as successful learners. She translated the sentence to gain understanding and then she applied other strategy. The last two strategies, resourcing and grouping strategies, were not frequently used. Less successful learners also equipped herself with dictionary to looked up words she doesn’t know. While grouping strategies was used once. She realized that the word think might indicate state aspect at the time she completed past and past continuous question. Less successful learners treated every tenses questions set with different application of strategies. Answering present and present continuous question set, most of them only made use of two cognitive strategies, inferencing and analyzing expression strategy. Many times they looked for the time expression at the beginning. When they assumed the inexistence of time expression, they decided the sentence as present tense. However they sometimes misunderstood
84
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
the time expression that got them to the wrong answer, “I think jawabannya itu I’m helping Robbie’s dad karena disini ada time signal yang jelas yaitu on weekdays.” (I think the answer is I’m helping Robbie’s dad because it has clear time signal on weekdays). Less successful learners maintained analyzing expression strategy to the next question set of present perfect and present perfect continuous. Since they got difficulty to locate the time expression, they started to have reference assistance. The strategy they applied didn’t guarantee to get correct answer. For past and past continuous tense questions set, some less successful learners started to analyze the question with various strategies. As one strategy didn’t give any help, they applied different one. But the used of diverse strategy didn’t help them to get certain correct answer. This practice remained to the next. Less successful learners once again made use of analyzing expression for answering the last question set. They recognized some familiar time expression. When they read the time expression completely, they got correct understanding and answer. The other way around, incomplete reading lead them to wrong answer. Do you know what you will do or you’ll be doing this time next Sunday? Disini juga sangat jelas ada next Sunday. Nah jadi jawabannya bisa dipastikan you will do karena next Sunday adalah time signal dari future Here also had a clear time expression next Sunday. So the answer certainly is you will do because next Sunday is future time expression. From the data of less successful learners, it could be concluded that there were several factors that affected her learning tense. The first was recognizing time expression as analyzing expression strategy didn’t help her to get correct answer. The second was deduction/ induction strategy in the form of tenses pattern applicable to sentence also didn’t help her in understanding sentence in certain tenses. The third was elaboration and grouping strategy that need more attention to gain better understanding. In conclusion, successful learners apply some strategies to be the factors for their understanding. The factors are the use of inferencing strategy which was used in conjunction with other strategies, elaborating strategy with correct picturing of sentence situation and context, and grouping strategy which classifying verbs into event or state aspect. Less successful learners apply some strategies to be the factors for their misunderstanding. The factors are analyzing expression that focus on the time expressions and deduction strategy which lies sentence analysis to tenses patterns.
Recommendation Successful learners’ strategies give us cues in conducting tenses teaching. Strategies that need to integrate in teaching tenses are grouping, elaborating, and analyzing expression. Grouping strategy is better to introduce present tenses since there are state and event aspects play important role. Elaborating strategy, then, helps learners to analyze past events by picturing the sequence of situation. While analyzing expression is useful in determining tenses in future.
References Anderson, N.J. 2005. L2 Strategies. In Eli Hinkel (Ed). Handbook of Research in Second Language Teaching and Learning. Pp 757-772. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates Inc. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
85
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Azar, Betty Schrampfer. 2002. Understanding and Using English Grammar 3rd Edition. New York: Pearson Education. Brown, H. Douglas. 2003. Language Assessment Principle and Classroom Practices. California: Long man. Brown, H. Douglas. 2007. Principle of Language Learning and Teaching, fifth edition. New York: Pearson Education Inc. Choomtong, Daranee. 2011. A Case Study of Learning English Passive of Thai EFL Learners: Difficulties and Learning Strategies. The Asian Conference on Language Learning 2011 Oficial Proceeding. 73-87. Gurata, Ali. 2008. The Grammar Learning Strategies Employed by Turkish University Preparatory School EFL Students. Bilkent University. Unpublished. Hashemi, Louise, with Murphy, Raymond. 2004. English Grammar In Use Supplementary Exercises. Cambridge: Cambridge University Press. Kroeger, Paul R. 2005. Analyzing Grammar: An Itroduction. New York: Cambridge University Press. Lincoln, Y., Guba, E. 1985. Naturalistic Inquiry. Sage Publications, Newbury Park, CA. O'Malley, J.M. & Chamot, A.U. 1990. Learning Strategies in Second Language Acquisition. Cambridge. U.K.: Cambridge University Press. Oxford, R.L. 1990. Language Learning Strategies: What Every Teacher Should Know. Boston: Heinle & Heinle. Payne, Thomas E., 2011. Understanding English Grammar: A linguistic Introduction. Cambridge: Cambridge University Press. Richard, Jack C. 2001. Curriculum Development in Language Teaching. New York: Cambridge University Press. Someren, Maarten W., et al. 1994. The Think Aloud Method. A Practical Guide to Modelling Cognitive Processes. London: Academic Press. Yalçin, T.F. 2005. An Analysis of the Relationship between the Use of Grammar Learning Strategies and Student Achievement at English Preparatory Classes. Journal of Language and Linguistics Studies. Vol 1. No.2. 155-169.
86
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Pembelajaran Berbasis Proyek Melalui Program Magang Sebagai Upaya Peningkatan Soft Skills Mahasiswa untuk Matakuliah Akuntansi Yulia Effrisanti 4 ([emailprotected]) Abstract The aim of this research is to know the project based learning through apprentice project can be used to rise up soft skills of student for accounting. This research is class action research with project based learning method. This research is started from define COOP Dikti as a project or task for student. Apprentice has been done for four month and the purpose is student can help owner to improve accounting problem. Monitoring has been done over project. The result of this research shows that over apprentice project, student learn and able to communicate with the owner, deliver the ideas based on the accounting subject of learning, student are able to grow up their confidence, control the emotional or feeling when the idea is delivered and the owner did not accept their idea, improvisation, and work team. The conclusion of this research is project based learning through of apprentice project can be used to grow up the soft skill of students. Keywords: Project based learning, apprentice, soft skills, accounting Abstrak Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah pembelajaran berbasis proyek melalui program magang bisa digunakan sebagai upaya peningkatan soft skills mahasiswa untuk mata kuliah akuntansi. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas dengan menggunakan metode pembelajaran berbasis proyek. Penelitian diawali dengan penentuan program magang COOP Dikti sebagai proyek atau penugasan kepada mahasiswa. Magang dilaksanakan selama empat bulan dengan tujuan mahasiswa bisa membantu pemilik memperbaiki permasalahan akuntansi. Monitoring dilakukan selama proses magang dilaksanakan. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa selama proses magang, mahasiswa belajar dan dituntut untuk bisa berkomunikasi dengan pemilik, menyampaikan pendapat sesuai dengan ilmu akuntansi yang dimiliki, menumbuhkan kepercayaan diri, mengendalikan emosi/ perasaan saat ide yang diberikan kurang berkenan pada pemilik, improvisasi, dan kemampuan bekerja secara tim. Kesimpulan dari penelitian ini adalah pembelajaran berbasis proyek melalui program magang bisa digunakan sebagai upaya peningkatan soft skills mahasiswa. Kata Kunci: pembelajaran berbasis proyek, magang, soft skills, akuntansi
Pendahuluan Perkembangan dunia pendidikan terutama pendidikan tinggi di Indonesia yang meningkat pesat, menyebabkan semakin banyak pula jumlah siswa yang melanjutkan pendidikannya di pendidikan tinggi. Hal ini tentunya mendorong perguruan tinggi untuk meningkatkan kualitasnya termasuk kualitas lulusan atau alumnus dari perguruan tinggi tersebut. Apalagi tuntutan dalam dunia kerja yang akan dimasuki oleh lulusan perguruan tinggi semakin hari semakin tinggi. Seringkali kualitas lulusan perguruan tinggi hanya dilihat dari tingginya nilai indeks prestasi atau hard skills saja. Padahal menurut Djoko Hari Nugroho (2009), hampir semua perusahaan dewasa ini mensyaratkan adanya kombinasi yang sesuai antara hard skills dan soft skills untuk semua posisi karyawannya. Di dunia kerja saat ini, pendekatan hanya pada hard 4
Pendidikan Ekonomi STKIP PGRI Jombang
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
87
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
skills sudah ditinggalkan. Mereka berpendapat bahwa tidak ada gunanya jika seorang karyawan memiliki kemampuan hard skills yang baik, namun soft skillsnya buruk. Hal ini bisa dilihat pada iklan lowongan kerja berbagai yang juga mensyaratkan kemampuan soft skills dalam persyaratan pekerjaannya, seperti team work (bekerja secara tim), kemampuan komunikasi, dan interpersonal relationship (hubungan yang baik dengan rekan kerja). Saat rekruitmen karyawan, banyak perusahaan cenderung memilih calon yang memiliki kepribadian lebih baik meskipun hard skillsnya tidak terlalu tinggi dengan alasan memberikan pelatihan ketrampilan jauh lebih mudah daripada pembentukan karakter. Dari pendapat tersebut bisa disimpulkan bahwa dalam dunia kerja yang dibutuhkan tidak hanya hard skills saja tetapi soft skills juga memiliki peranan yang penting. Apalagi di tahun 2015 ini MEA (Masyarakat Ekonomi Asean) akan dilaksanakan. Dengan pelaksanaan MEA ini, tenaga kerja-tenaga kerja dari negara yang tergabung dalam MEA ini, bisa dengan mudah memasuki atau menduduki posisi yang dibutuhkan oleh dunia kerja di Indonesia. Sehingga persaingan dalam memasuki dunia kerja juga semakin sulit. Oleh sebab itu, seyogyanya perguruan tinggi tidak hanya mempersiapkan lulusannya dengan nilai yang tinggi saja (hard skills), tetapi juga mempersiapkan kemampuan kecerdasan emosional atau soft skills. Pembelajaran berbasis proyek menurut Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu Pendidikan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (2013) adalah metode pembelajaran yang menggunakan proyek/kegiatan sebagai media. Menurut Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu Pendidikan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (2013) pula, salah satu manfaat dari metode pembelajaran ini adalah melibatkan peserta didik untuk belajar mengambil informasi dan menunjukkan pengetahuan yang dimiliki, kemudian diimplementasikan dengan dunia nyata. Adapun ketrampilan yang diperoleh diantaranya adalah kemampuan bekerja dengan baik dengan orang lain, membuat keputusan bijaksana, mengambil inisiatif, memecahkan masalah yang kompleks. Ketrampilan-ketrampilan tersebut merupakan suatu perwujudan dari soft skills yang seyogyanya dimiliki oleh mahasiswa. STKIP PGRI Jombang sebagai satu-satunya sekolah tinggi ilmu keguruan yang ada di kota Jombang Jawa Timur, telah menyadari adanya kebutuhan dalam dunia kerja tersebut. Meskipun sekolah tinggi ini tujuan utamanya adalah mencetak tenaga guru yang berkualitas, tetapi juga mempersiapkan lulusannya untuk bekerja di bidang non kependidikan. Dalam meningkatkan hard skills dari mahasiswa, cara yang dilakukan diantaranya dengan memberikan materi atau kegiatan akademik yang sesuai dengan kebutuhan dunia pendidikan dan dunia kerja saat ini, sehingga pemahaman mahasiswa akan materi yang ada dikurikulum cukup baik. Sedangkan untuk meningkatkan soft skills, mahasiswa diarahkan pada kegiatan non akademik seperti mengikuti kegiatan himpunan mahasiawa prodi (HMP), seminar, kewirausahaan, magang dan praktek kerja lapangan (PPL). Untuk mendorong mahasiswa lebih aktif lagi dalam meningkatkan soft skills ini, mulai tahun 2014 kemarin, keaktifan mahasiswa ini juga dijadikan dasar pertimbangan dalam nilai kelulusan mahasiswa. Misalnya untuk mahasiswa yang aktif dalam kegiatan organisasi intra kampus, memiliki sertifikat kegiatan, seminar ataupun mengikuti program magang, mendapatkan nilai yang lebih dibandingkan dengan mahasiswa yang tidak mengikuti kegiatan apapun. Pada tahun 2014 STKIP PGRI Jombang berkesempatan menerima hibah Dikti untuk melakukan program magang yang dikenal dengan istilah program COOP dimana mahasiswa melaksanakan magang di UKM dengan jangka waktu 4 bulan. Adapun tujuan dari program ini 88
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
sesuai dengan pedoman program COOP tahun 2014 salah satunya adalah peningkatkan kemampuan mahasiswa dalam mengimplementasikan materi-materi yang didapat selama perkuliahan dalam kehidupan nyata atau dunia kerja dimana dalam program ini lokasinya adalah di UKM yang ada di Jombang. Dalam program magang tahun 2014 ini, bidang yang dituju adalah pemasaran dan akuntansi, yang sesuai dengan mata kuliah yang ada di sekolah tinggi ini. Mata kuliah akuntansi pada program studi pendidikan ekonomi STKIP PGRI Jombang dilakukan dua kali yaitu pada semester I untuk pengantar akuntansi, dan semester III untuk akuntansi keuangan. Selama ini proses pembelajaran untuk mata kuliah akuntansi hanya dalam perkuliahan di kelas sehingga yang terasah adalah hard skills atau kemampuan akademik dari mahasiswa. Oleh karena itu, dengan adanya program COOP ini, diharapkan juga bisa mengasah soft skills mahasiswa untuk hal-hal yang berkaitan dengan akuntansi. Penentuan bidang akuntansi dipilih berdasarkan pada kebutuhan dari UKM itu sendiri. Mayoritas permasalahan yang ada di UKM adalah dalam bidang pemasaran dan akuntansi. Sehingga program magang ini salah satunya difokuskan pada bidang akuntansi agar UKM juga mendapatkan manfaat dari program magang COOP ini dengan adanya peningkatan sistem tata kelola keuangan pada UKM. Karena program magang COOP Dikti ini dilaksanakan pada sepuluh UKM dengan jumlah mahasiswa peserta sebanyak 15 orang, maka pada penelitian ini dibatasi pada pelaksanaan magang satu mahasiswa pada bidang akuntansi, dengan penempatan lokasi di UKM yang bergerak di bidang perdagangan busana yaitu butik Layla Collection. Adapun rumusan masalah untuk penelitian ini adalah apakah pembelajaran berbasis proyek melalui program magang COOP Dikti bisa digunakan sebagai upaya peningkatan soft skills mahasiswa untuk mata kuliah akuntansi. Sedangkan tujuannya adalah untuk mengetahui apakah pembelajaran berbasis proyek melalui program magang COOP Dikti bisa digunakan sebagai upaya peningkatan soft skills mahasiswa untuk mata kuliah akuntansi.
Landasan Teori Pembelajaran berbasis proyek menurut Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu Pendidikan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (2013) merupakan metode belajar yang menggunakan masalah sebagai langkah awal dalam mengumpulkan dan mengintegrasikan pengetahuan baru berdasarkan pengalamannya dalam beraktifitas secara nyata. Adapun keuntungan pembelajaran berbasis proyek menurut Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu Pendidikan Kementrian dan Kebudayaan (2013:3) adalah : 1. Meningkatkan motivasi belajar peserta didik untuk belajar, mendorong kemampuan mereka untuk melakukan pekerjaan penting, dan mereka perlu untuk dihargai 2. Meningkatkan kemampuan pemecahan masalah 3. Membuat peserta didik menjadi lebih aktif dan berhasil memecahkan problem-problem yang kompleks 4. Meningkatkan kolaborasi 5. Mendorong peserta didik untuk mengembangkan dan mempraktikkan ketrampilan komunikasi 6. Meningkatkan ketrampilan peserta didik dalam mengelola sumber
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
89
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
7. Memberikan pengalaman kepada peserta didik pembelajaran dan praktik dalam mengorganisasi proyek, dan membuat alokasi waktu dan sumber-sumber lain seperti perlengkapan untuk menyelesaikan tugas 8. Menyediakan pengalaman belajar yang melibatkan peserta didik secara kompleks dan dirancang untuk berkembang sesuai dunia nyata 9. Melibatkan para peserta didik untuk belajar mengambil informasi dan menunjukkan pengetahuan yang dimiliki, kemudian diimplementasikan dengan dunia nyata 10. Membuat suasana belajar menjadi menyenangkan, sehingga peserta didik maupun pendidik menikmati proses pembelajaran Sedangkan langkah-langkah operasional dalam pembelajaran ini adalah : 1. Penentuan pertanyaan mendasar 2. Menyusun perencanaan proyek 3. Menyusun jadwal 4. Monitoring 5. Menguji hasil 6. Evaluasi pengalaman Program kerja praktik (magang) menurut Chandra suharyanti, dkk (2013) adalah suatu kegiatan pembelajaran di lapangan yang bertujuan untuk memperkenalkan dan menumbuhkan kemampuan mahasiswa dalam dunia kerja nyata. Sedangkan menurut Sumardiono (2014:43) magang adalah proses belajar dari seorang ahli melalui kegiatan di dunia nyata. Jadi intinya program magang merupakan kegiatan pembelajaran yang dilakukan untuk mendapatkan pengalaman dalam berkontribusi dan berkarya di kehidupan nyata. Dengan demikian diharapkan setiap mahasiswa mampu mengikuti dan memahami kegiatan kerja yang dilakukan di dunia usaha sehingga mahasiswa tersebut mendapatkan sesuatu yang baik dan berguna bagi dirinya serta mampu menunjukkan kinerjanya secara maksimal. Selain itu dapat membentuk mental motivasi mahasiswa sebagai tenaga kerja yang siap kerja dan mampu mandiri serta berjiwa pekerja keras, jujur, bertanggungjawab, serta ulet dalam bekerja (Chandra Suharyanti,dkk, 2013:4). Program magang COOP Dikti sendiri sudah dilakukan sejak tahun 2004. Tapi sejak tahun 2009, magang ini lebih ditekankan pada Usaha Kecil Menengah (UKM). Menurut buku pedoman program COOP 2014 yang dikeluarkan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Perguruan Tinggi, program ini merupakan program yang menginterasikan berbagai latar belakang ilmu yang di dapat di bangku kuliah dengan pengalaman nyata dunia usaha. Adapun sasaran program COOP (2014) menurut buku pedoman program COOP ini adalah : 1. Mendidik mahasiswa agar memiliki jiwa wirausaha, ulet dan kreatif, bertanggung jawab dan mampu bekerjasama 2. Meningkatkan kualitas lulusan perguruan tinggi khususnya kesiapan dalam menghadapi dunia kerja. 3. Menciptakan hubungan kerjasama yang baik antara mahasiswa, perguruan tinggi, dan UKM 4. Membantu dan mendorong UKM agar lebih mandiri, sehat, dan berdaya Adapun soft skills menurut Djoko Hari Nugroho (2009) merupakan ketrampilan yang lebih banyak terkait dengan sensitivitas perasaan seseorang terhadap lingkungan di sekitarnya. Sedangkan yang dimaksud dengan soft skills menurut Chandra Suharyanti dkk (2013) yaitu kemampuan-kemampuan yang tidak terlihat pada diri setiap manusia yang dapat berkembang
90
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
seiring pengetahuan tentang yang ada dalam diri setiap orang tersebut tentang bagaimana menjalani hidupnya dan mengantisipasi setiap masalah yang dihadapinya saat itu. Secara garis besar soft skills bisa digolongkan ke dalam dua kategori yaitu intrapersonal dan interpersonal skills (Djoko Hari Nugroho, 2009:119). Intrapersonal skill mencakup self awareness (self confident, self assessment, trait & preference, emotional awareness) dan self skill (improvement, self control, trust, worthiness, time/source management, proactivity, conscience). Sedangkan interpersonal skills mencakup social awareness (political awareness, developing others, leveraging diversity, service orientation, emphaty), dan social skill (leadership, influence, communication, conflict management, cooperation, team work, sinergy). Haryono Jusup (2005:4) mendefinisikan akuntansi dari dua sudut pandang yaitu sudut pandang pemakai jasa akuntansi dan sudut pandang proses kegiatannya. Ditinjau dari sudut pemakainya, akuntansi dapat didefinisikan sebagai suatu disiplin yang menyediakan informasi yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan secara efisien dan mengevaluasi kegiatankegiatan suatu organisasi. Informasi yang dihasilkan akuntansi diperlukan untuk : i. Membuat perencanaan yang efektif, pengawasan dan pengambilan keputusan oleh manajemen ii. Pertanggungjawaban organisasi kepada para investor, kreditur, badan pemerintah, dan sebagainya. Sedangkan definisi akuntansi dari sudut proses kegiatannya yaitu sebagai proses pencatatan, penggolongan, peringkasan, pelaporan, dan penganalisisan data keuangan suatu organisasi. Definisi ini menunjukkan bahwa kegiatan akuntansi merupakan tugas yang kompleks dan menyangkut bermacam-macam kegiatan. Didalam akuntansi, suatu transaksi harus dicatat secara debet dan kredit. Antara debet dan kredit ini harus sama jumlahnya. Hal ini terdapat dalam rumus pokok persamaan akuntansi yaitu harta (aktiva) merupakan jumlah dari kewajiban (utang) dan kekayaan bersih (modal). Atau bisa dituliskan sebagai berikut : Harta (aktiva) = Kewajiban (utang) + Kekayaan bersih (modal) Dengan memahami rumus ini, diharapkan akan dapat menganalisis debet dan kredit dengan benar. Dan untuk selanjutnya, tidak akan mengalami kesulitan dalam menjurnal atau menganalisis transaksi. Secara umum, siklus akuntansi bisa dilihat pada Gambar1sebagai berikut : Transaksi Bukti-bukti Transaksi Jurnal
Buku Besar
Sub buku besar
Neraca Lajur Laporan Keuangan Gambar 1 Siklus akuntansi
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
91
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Dalam praktik akuntansi yang sesungguhnya, pencatatan atas suatu transaksi atau sekelompok transaksi yang sama, harus didasari oleh tanda bukti berupa dokumen-dokumen transaksi seperti faktur, kwitansi, dan lain sebagainya. Pengaruh masing-masing transaksi ini dianalisis dahulu pengaruhnya terhadap elemen-elemen persamaan akuntansi. Hasil analisis transaksi tersebut dituangkan dalam suatu alat pencatatan yang disebut jurnal (Al Haryono Jusup, 2005:120). Jurnal adalah alat untuk mencatat transaksi perusahaan yang dilakukan secara kronologis (berdasarkan urutan waktu terjadinya) dengan menunjukkan rekening yang harus didebet dan dikredit beserta jumlah rupiahnya masing-masing. Setelah diposting atau dicatat di jurnal, maka dilakukan pencatatan ke buku besar. Buku besar terdiri dari bermacam-macam rekening dan merupakan sumber data untuk menyusun laporan keuangan (Tuti Trisnawati, 2009:36). Setelah itu, dibuatlah jurnal penyesuaian agar rekening-rekening menunjukkan saldo yang tepat untuk periode yang bersangkutan. Kemudian dibuatlah neraca lajur yang berfungsi untuk mempermudah penyusunan laporan keuangan. Neraca lajur adalah suatu kertas berkolomkolom (berlajur-lajur) yang dirancang untuk menghimpun semua data akuntansi yang dibutuhkan pada saat perusahaan akan menyusun laporan-laporan keuangan dengan cara yang sistematis (Al.Haryono Jusup, 2005:232). Dengan selesainya neraca lajur, maka penyusunan laporan keuangan akan menjadi lebih mudah karena dalam neraca lajur ini memuat semua informasi yang diperlukan untuk menyusun neraca dan laporan laba rugi yang merupakan elemen dari laporan keuangan. Laporan keuangan, paling tidak terdiri dari tiga laporan yaitu neraca, laporan laba rugi, dan laporan perubahan modal. Al Haryono Jusup (2005:21-25) mendefinisikan neraca, laporan laba rugi, dan laporan perubahan modal sebagai berikut: o Neraca adalah suatu daftar yang menggambarkan aktiva, kewajiban, dan modal yang dimiliki oleh suatu perusahaan pada saat tertentu o Laporan laba rugi adalah laporan yang dibuat untuk menggambarkan hasil operasi perusahaan dalam suatu periode waktu tertentu o Laporan perubahan modal adalah laporan yang dibuat untuk menggambarkan alasan yang menjadi penyebab terjadinya perubahan jumlah modal pemilik.
Metode Penelitian Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas. Penelitian dilakukan pada satu orang mahasiswa program studi pendidikan ekonomi peserta magang Dikti pada UMKM di Jombang yang bergerak di bidang perdagangan busana dengan fokus pada bidang akuntansi. Magang ini dilakukan selama empat bulan yaitu mulai akhir Juli hingga akhir November 2014. Sedangkan proses pembuatan laporan akhir program magang dilakukan satu minggu setelah program magang berakhir. Indikator yang digunakan untuk melihat adanya peningkatan pada soft skills mahasiswa adalah intrapersonal skills (meningkatnya kepercayaan diri mahasiswa, kemampuan mengelola emosi, improvisasi) dan interpersonal skills (meningkatnya kemampuan berkomunikasi dengan orang lain/pemilik usaha, kemampuan bekerja secara tim). Penelitian diawali dengan penentuan pertanyaan mendasar yaitu bagaimana pelaksanaan proses akuntansi di UMKM. Dilanjutkan dengan menyusun perencanaan proyek yaitu dengan menentukan program magang COOP Dikti sebagai sarana untuk mengetahui dan memperbaiki pelaksanaan proses akuntansi di UMKM yang telah ditentukan. Kemudian dilanjutkan dengan penyusunan jadwal magang. Program magang dilakukan mulai 21 Juli-21 November 2014. Selama proses magang berlangsung, dilakukan monitoring antara peneliti dengan peserta magang dengan frekuensi satu minggu sekali untuk membahas perkembangan dan kesulitan 92
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
yang dihadapi peserta dalam proses magang. Langkah berikutnya adalah menguji hasil yang diperoleh dari program magang mulai dari pengumpulan data, kedisiplinan, pengolahan dan penyajian data. Dan yang terakhir adalah mengevaluasi pengalaman yang diperoleh selama proses magang berlangsung.
Hasil Penelitian Pembelajaran ini dimulai dengan penentuan pertanyaan mendasar mengenai bagaimana pelaksanaan proses akuntansi di UMKM. Dari sini disusunlah rencana menggunakan program magang Coop Dikti sebagai upaya peningkatan soft skills mahasiswa terutama di bidang akuntansi. Magang pada penelitian ini dilakukan pada UKM butik Layla Collection yang berlokasi di Jl Kusuma Bangsa Jombang Jawa Timur. Pada minggu pertama, yang dilakukan adalah mengobservasi sistem yang telah ada atau telah dilaksanakan pada UKM tersebut. Dari sini bisa ditemukan apa saja yang sudah berjalan dengan baik dan apa yang harus diperbaiki. Dari hasil observasi, didapatkan temuan bahwa UKM ini telah melakukan pembukuan secara teratur meskipun tidak terlalu rapi. Selama ini yang melakukan proses akuntansi adalah pemiliknya sendiri. Sedangkan untuk pencatatan setiap transaksi pengeluaran, dilakukan oleh pegawai dari butik tersebut yang bertugas pada saat itu. Hal ini karena pegawai pada butik ini dibagi menjadi dua shift. Pencatatan pengeluaran ini dijadikan satu buku dengan pencatatan penjualan dan pembelian. Pengeluaran untuk UKM dan pribadi kadangkala juga masih tidak terpisah. Proses akuntansi yang dilakukan selama ini adalah secara manual. Berdasarkan dari temuan-temuan yang didapat pada saat observasi, mahasiswa mengkomunikasikan beberapa saran dan perbaikan selama proses magang kepada pemilik UKM. Terkait dengan pembukuan yang belum rapi, mahasiswa berinisiatif untuk merapikan pembukuan yang ada. Pemilik butik menyambut baik hal ini karena sebenarnya pemilik juga berniat untuk memperbaiki hanya saja masih belum ada kesempatan. Untuk pencatatan penjualan dan pembelian, akhirnya dipisahkan. Dalam perbaikan ini, mahasiswa ikut memberikan kontribusi atau berimprovisasi mengenai kolom-kolom apa saja yang perlu ditambahkan dalam buku tersebut dan cara pencatatan agar terlihat rapi dan mudah dibaca serta dipahami. Selain itu mahasiswa belajar meningkatkan kepercayaan dirinya untuk mengaplikasikan ilmu yang diperoleh di bangku kuliah dan juga belajar berkomunikasi dengan orang lain untuk menyampaikan pendapatnya . Pencatatan transaksi akuntansi sebelum prsoses magang bisa dilihat pada gambar 2 dan pencatatan transaksi akuntansi setelah adanya proses magang mahasiswa terlihat pada gambar 3.
Gambar 2 Pencatatan transaksi akuntansi sebelum program magang Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
93
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Gambar 3 Pencatatan transaksi akuntansi setelah program magang Dalam proses magang ini, mahasiswa mengetahui adanya kekeliruan dalam penggunaan istilah retur. Dalam catatan pemilik, yang dimaksud retur adalah pemakaian barang dagangan untuk pemilik butik sendiri padahal penggunaan istilah retur yang benar adalah pengembalian barang dagangan yang dibeli karena adanya cacat barang. Mahasiswa mencoba mengkomunikasikan kekeliruan istilah ini kepada pemilik, namun ternyata pemilik tidak berkenan untuk mengubah kekeliruan tersebut. Sehingga sampai proses magang berakhir, tidak ada perbaikan dalam pengertian retur. Pada kasus ini, mahasiswa juga mempelajari cara menyampaikan pendapat dan berkomunikasi dengan orang lain tanpa bermaksud untuk menggurui. Selain itu, mahasiswa juga mempelajari mengelola emosi atau berbesar hati karena saran yang disampaikan tidak diterima oleh pemilik. Pada bulan September, pemilik UKM meminta mahasiswa untuk melakukan analisa atas penjualan bulanan selama 2014. Permintaan ini disambut dengan baik oleh mahasiswa untuk menunjukkan kemampuan menganalisa data. Bahkan mahasiswa berinisiatif memberikan warna yang berbeda setiap tiga bulan untuk diagram batang penjualannya sehingga analisa lebih mudah dilakukan. Hasil ini bisa dilihat pada gambar 4. Mahasiswa tidak hanya membuatkan diagram batang hasil penjualan saja tetapi juga melakukan analisa misalnya mengapa di bulan Juli penjualannya tinggi sedangkan di bulan Juni penjualannya lebih sedikit dibandingkan bulan Juli. Dari kasus ini, bisa meningkatkan kepercayaan diri yang dimiliki mahasiswa karena mahasiswa merasa memiliki kemampuan yang diakui oleh orang lain. Selain itu mahasiswa juga belajar cara bekerja sebagai suatu tim meskipun tim tersebut hanya terdiri dari mahasiswa tersebut dan pemiliknya serta cara menyampaikan pendapat atau inisiatif kepada orang lain. Disini juga terlihat adanya improvisasi dari mahasiswa yaitu dalam pemberian warna untuk bulan-bulan tertentu agar lebih mudah dalam melakukan analisa.
94
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Gambar 4 Hasil diagram batang analisa penjualan Untuk pengeluaran pribadi dan UKM yang kadangkala tidak terpisah, mahasiswa menyarankan kepada pemilik untuk dipisah agar sesuai dengan standar akuntansi. Pemilik menyambut baik saran dari mahasiswa dan akhirnya memisahkan antara pengeluaran pribadi dengan UKM. Dengan diterimanya saran ini, mahasiswa merasakan adanya peningkatan kepercayaan diri karena ilmu yang didapat di bangku perkuliahan bisa diimplementasikan. Hal ini juga tidak terlepas dari kemampuan mahasiswa untuk berkomunikasi dengan pemilik. Adanya pemutihan yang dilakukan setahun dua kali oleh pemilik barang. Tujuan dari pemutihan ini adalah untuk mencocokkan stok/persediaan barang antara catatan dengan barang yang ada. Dengan dilibatkannya mahasiswa pada kegiatan ini, menambah pengetahuan mahasiswa mengenai cara menghitung stok/persediaan barang yang tentunya bisa meningkatkan kepercayaan diri mahasiswa dan kemampuan dalam bekerja secara tim karena dalam melakukan pemutihan ini dilakukan bersama-sama dengan karyawan yang lain. Terakhir, mahasiswa memberikan pandangan mengenai akuntansi yang terkomputerisasi dengan menggunakan program SmEA (Smart Excell Accounting). Pemilik menginginkan mahasiswa untuk memberikan contohnya. Dan ternyata pemilik berkenan atas akuntansi yang terkomputerisasi ini sehingga mahasiswa pun membuatkan akuntansi yang terkomputerisasi dengan menggunakan program SmEA ini. Contoh dari akuntansi terkomputerisasi yang dibuat oleh mahasiswa bisa dilihat pada gambar 5. Hanya saja, pemilik menghendaki akuntansi komputerisasi ini untuk jurnal harian dan buku besar saja. Meskipun demikian, hal ini meningkatkan kepercayaan diri mahasiswa karena merasa memiliki kemampuan dalam bidang ilmu akuntansi yang berguna bagi pemilik UKM meskipun tidak semua proses akuntansi bisa dibuatkan komputerisasinya.
Gambar 5 Hasil pencatatan akuntansi terkomputerisasi
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
95
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Dari kegiatan-kegiatan yang dilakukan selama proses magang ini, terlihat bahwa mahasiswa tidak hanya menerima perintah dari pemilik saja. Tetapi juga memberikan saran pada pemilik UKM walaupun tidak semua saran tersebut bisa diterima. Dengan memberikan saran, mahasiswa merasakan adanya peningkatan kepercayaan diri, peningkatan kemampuan untuk berkomunikasi dan bernegosiasi dengan pemilik UKM, mengasah kemampuan berimprovisasi, dan meningkatkan kemampuan bekerja secara tim. selain itu, terdapat peningkatan kemampuan mengelola emosi mahasiswa sehubungan dengan tidak diterimanya saran yang diberikan. Tahap monitoring dilakukan selama proses magang berlangsung. Secara rutin, setiap satu minggu atau dua minggu sekali mahasiswa berkomunikasi untuk menyampaikan perkembangan-perkembangan maupun kesulitan-kesulitan yang dihadapi selama berada di tempat magang. Tahap berikutnya dari proses pembelajaran berbasis proyek adalah memberikan penilaian atas tugas yang telah diberikan kepada mahasiswa. Penilaian ini diberikan berdasarkan kedisiplinan dalam hal ini kedisiplinan mahasiswa untuk datang ke tempat magang dan melaksanakan tugasnya sesuai dengan jadwal, keaktifan mahasiswa dalam memberikan sumbangan tenaga dan pemikiran mengenai akuntansi selama proses magang ini serta pertanggungjawaban mahasiswa atas kegiatan yang dilaksanakan baik secara tertulis maupun secara lisan. Dari kriteria-kriteria tersebut, peneliti sebagai dosen pemberi tugas memberikan nilai 85 atau nilai A kepada mahasiswa tersebut. Tahap terakhir adalah mengevaluasi pengalaman yang telah diperoleh. Dari proses magang ini, mahasiswa mendapatkan pembelajaran proses akuntansi yang ada di dunia kerja secara nyata. Mulai dengan data yang berasal dari transaksi, membuat jurnal, buku besar, serta membuat analisa dari data-data penjualan yang ada. Bahkan mahasiswa berinisiatif untuk membuat proses akuntansi menggunakan komputer dengan program excell (SmEA). Selain mendapatkan tambahan ilmu akademis (hard skills) atas kegiatan magang COOP Dikti ini, mahasiswa juga mendapatkan peningkatan soft skillsnya yang berupa peningkatan kepercayaan diri, peningkatan dalam mengelola emosi, peningkatan berimprovisasi, peningkatan kemampuan berkomunikasi dengan pemilik, dan peningkatan kemampuan bekerja secara tim.
Simpulan Metode pembelajaran berbasis proyek adalah metode belajar yang menggunakan masalah sebagai langkah awal dalam mengumpulkan dan mengintegrasikan pengetahuan baru berdasarkan pengalamannya dalam beraktifitas secara nyata. Salah satu cara adalah melalui program magang, dimana dalam penelitian ini program magang yang digunakan adalah program magang COOP Dikti. Dari proses magang yang telah dijalani, ternyata mahasiswa mendapatkan banyak manfaat dalam meningkatkan soft skillsnya. Adapun manfaat yang diperoleh adalah mahasiswa bisa meningkatkan kemampuan berkomunikasi dengan orang lain dalam menyampaikan pendapat atas pengetahuan ilmu akuntansi yang diperoleh dalam perkuliahan. Hal ini juga meningkatkan kepercayaan diri mahasiswa bahwa mereka memiliki keahlian dalam bidang akuntansi yang berguna bagi orang lain. Kemampuan soft skills lainnya yang diperoleh selama proses magang COOP Dikti ini adalah kemampuan untuk bekerja secara tim, kemampuan berimprovisasi, dan kemampuan dalam mengelola emosi mahasiswa bilamana pemilik tidak berkenan atas saran yang disampaikan.
96
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Daftar Pustaka Jusup,Al Haryono. 2005. Dasar-dasar Akuntansi jilid II. Penerbit STIE YKPN Yogyakarta Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan Dan Penjaminan Mutu Pendidikan. 2013. Model Pembelajaran Berbasis Proyek (Project Based Learning). Diambil pada tanggal 25 Maret 2015 dari http://docs.google.com/document Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan. 2015. Pedoman Umum Program Belajar Bekerja Terpadu (Program COOP) Nugroho,Djoko Hari. 2009. Integrasi Soft Skill Pada Kurikulum Prodi Elektronika Instrumentasi-STTN Untuk Persiapan SDM PLTN. Seminar Nasional V SDM Teknologi Nuklir Yogyakarta. Diambil pada tanggal 17 Maret 2015 dari jurnal.sttn-batan.ac.id/wpcontent/uploads/2010/03/A-14_ok.pdf Suharyanti,Chandra, Wiedy Murtini, Tutik Susilowati. 2013. Pengaruh Proses Pembelajaran dan Program Kerja Praktek Terhadap Pengembangan Soft Skills Mahasiswa. Diambil pada tanggal 17 Maret 2015 dari download.portalgaruda.org/article=172534&val=4074 Sumardiono. 2014. Apa Itu Homeschooling. Penerbit PT. Gramedia Trisnawati,Tuti. 2009. Akuntansi untuk Koperasi dan UKM. Penerbit Salemba Empat Widiatmoko dan S.D. Pamelasari. 2012. Pembelajaran Berbasis Proyek Untuk Mengembangkan Alat Peraga IPA Dengan Memanfaatkan Bahan Bekas Pakai, Jurnal Pendidikan IPA Indonesia. Diambil pada tanggal 25 Maret 2015 dari http://journal.unnes.ac.id/ index.php/jpii
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
97
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Pengaruh Penggunaan Media Jejaring Sosial Edmodo terhadap Partisipasi Mahasiswa dalam Diskusi Kelas pada Materi Ajar Teoretis dan Praktis Asmuni 5 ([emailprotected]) Wiwin Sri Hidayati 6 ([emailprotected]) Abstract This study aimed in obtaining empirical evidence of: (1) the influence of using social network media Edmodo to student participation in class discussions on teaching materials which are theoretical and practical; (2) the relationship between the use of social network media Edmodo with student participation in class discussion on the theoretical teaching materials; (3) the relationship between the use of social network media Edmodo with student participation in class discussion on practical teaching materials. This research is experimental study by using a factorial design. Variables consists two independent variables, namely the use of social media Edmodo (x1) and without the use of Edmodo (x2). The dependent variable consists of two variables, namely the participation of students in a class discussion on the theoretical teaching material (y1), and practical (y2). The experiment was conducted in STKIP PGRI Jombang, East Java, Indonesia. The study population is students participating in the course Philosophy of Education in odd semester academic year 2014/2015, there are 186 students. Samples were taken by using random sampling 174 students. Data collection techniques uses authentic assessment techniques. The data analysis techniques uses multivariate analysis of variance (MANOVA) using SPSS v.16.0 for Windows. The research proves that (1) there is the influence of social network media use Edmodo to student participation in class discussions on teaching materials which are theoretical and practical; (2) there is a relationship between the use of social network media Edmodo with student participation in class discussion on the theoretical teaching materials; (3) there is a relationship between the use of social network media Edmodo with student participation in class discussion on practical teaching materials. Keywords: edmodo, participation, discussion, theoretical, practical. Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh bukti empiris tentang: (1) pengaruh penggunaan media jejaring sosial Edmodo terhadap partisipasi mahasiswa dalam diskusi kelas pada materi ajar teoretis dan praktis; (2) hubungan antara penggunaan media jejaring sosial Edmodo dengan partisipasi mahasiswa dalam diskusi kelas pada materi ajar teoretis; (3) hubungan antara penggunaan media jejaring sosial Edmodo dengan partisipasi mahasiswa dalam diskusi kelas pada materi ajar praktis. Penelitian ini adalah jenis penelitian eksperimen dengan desain faktorial. Variabel penelitian terdiri dari dua variabel independen, yaitu penggunaan media jejaring sosial Edmodo (x1) dan tanpa Edmodo (x2). Variabel dependen terdiri dua variabel, yaitu partisipasi mahasiswa dalam diskusi kelas pada materi ajar teoretis (y1), dan praktis (y2). Penelitian dilaksanakan di STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur. Populasi penelitian adalah mahasiswa peserta matakuliah Filsafat Pendidikan pada semester gasal tahun akademik 2014/2015 yang berjumlah 186 mahasiswa. Sampel diambil dengan teknik random sampling sebanyak 174 mahasiswa. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik assesment otentik. Teknik analisis data menggunakan analisis varian multivariat (MANOVA) dengan aplikasi SPSS v.16.0 for windows. Hasil penelitian membuktikan bahwa (1) terdapat pengaruh penggunaan media jejaring sosial Edmodo terhadap partisipasi mahasiswa dalam diskusi kelas pada materi ajar teoretis dan praktis; (2) terdapat hubungan antara penggunaan media jejaring sosial Edmodo dengan partisipasi mahasiswa dalam diskusi kelas pada materi ajar teoretis; dan (3) terdapat hubungan antara penggunaan media jejaring sosial Edmodo dengan partisipasi mahasiswa dalam diskusi kelas pada materi ajar praktis. Kata Kunci: edmodo, partisipasi, diskusi, teoretis, praktis. 5 6
Dosen Program Studi PPKn, STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur Dosen Program Studi Pendidikan Matematika, STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur
98
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Pendahuluan Sistem pembelajaran merupakan bagian penting untuk mampu menghasilkan lulusan yang berdaya saing tinggi. Sistem pembelajaran yang baik mampu memberikan pengalaman belajar kepada mahasiswa untuk membuka potensi dirinya dalam menginternalisasikan knowledge, skills dan attitudes serta pengalaman belajar sebelumnya (Ilah Sailah, dkk., 2014). Permendikbud No. 49 Tahun 2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi, telah mengharuskan sistem pembelajaran di perguruan tinggi berbasis pada capaian pembelajaran (Pasal 5, 6, 7), serta proses pembelajarannya memiliki karakteristik yang mencerminkan sifat interaktif, holistik, integratif, saintifik, kontekstual, tematik, efektif, kolaboratif, dan berpusat pada mahasiswa (Pasal 11 ayat (1)). Oleh karena itu pola pembelajaran di perguruan tinggi yang terpusat pada dosen (Teaching Centered Learning) dinilai sudah tidak memadai lagi, dan harus diubah menjadi berpusat pada mahasiswa (Student Centered Learning) (Ilah Sailah, dkk., 2014). Di sisi lain, teknologi informasi dan komunikasi (ICT) semakin berkembang dan semakin terjangkau oleh dosen dan mahasiswa. Komputer/laptop dan internet, misalnya, bukan lagi sebagai sesuatu yang asing bagi mereka. Hal ini sangat memungkinkan untuk memanfaatkan ICT sebagai media/teknologi pembelajaran, seperti untuk penerapan model blended learning (kombinasi pembelajaran tatap muka dengan pembelajaran melalui internet), atau sebagai penunjang (support/complement) pembelajaran. Model pembelajaran ini memiliki beberapa keunggulan, antara lain dapat meningkatkan pedagogi, akses dan fleksibilitas, serta efektifitas dan efisiensi (Graham, 2009). Apalagi belakangan ini tersedia banyak aplikasi berbasis internet, seperti email, web blog, facebook, twitter, instagram, line, watsap, BBM, fb massanger, dan lain-lain yang mudah diakses secara gratis. Namun pada umumnya beberapa fasilitas ini hanya dimanfaatkan sebagai jejaring sosial (social network) saja, meskipun fasilitas itu memang disediakan sebagai media jejaring sosial (dan bisnis), tetapi dengan kreativitas dan inovasi guru/dosen dapat dimanfaatkan untuk keperluan pendidikan dan pembelajaran. Pada prinsipnya media jejaring sosial adalah media pertukaran yang dinamis (dynamic exchange) antar orang, kelompok, dan institusi dalam lingkungan yang kompleks, dan memiliki karakteristik instrinsik sesuai dengan maksud penggunanya, antara lain membantu komunikasi, bertukar informasi, menambah teman, atau bahkan untuk modus berbagai kejahatan. Karakteristik instrinsik inilah yang memungkinkan dapat diubah pemanfaatannya sebagai sarana yang ideal untuk meningkatkan proses pendidikan, di samping ia memang menyediakan berbagai manfaat untuk setting pendidikan. Seperti facebook dapat di-setting untuk keperluan pendidikan, yaitu melalui fasilitas pengelolaan group, tetapi terdapat kelemahan masalah privasi, sehingga tidak cocok untuk sarana pembelajaran kelas (Arroyo, 2011), meskipun facebook juga menyediakan pengaturan privasi. Berbeda dengan media jejaring sosial Edmodo, meskipun seperti Facebook, tetapi Edmodo merupakan media jejaring sosial bersifat pribadi yang menyediakan platform yang aman untuk pembelajaran kelas (Arroyo, 2011), karena fitur Edmodo disesuaikan dengan kebutuhan pembelajaran menyediakan fasilitas khusus untuk guru/dosen (Teacher), siswa/mahasiswa (Student), dan orang tua (Parent), pengaturan kelas (groups) beserta code/PIN-nya secara khusus, fasilitas diskusi (post), tugas (assignment), ujian (quiz), polling, dan sebagainya. Dengan demikian media jejaring sosial Edmodo lebih efektif untuk diskusi kelas (group) daripada Facebook, meskipun Edmodo tidak menyediakan fasilitas ataupun tautan untuk teleconference.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
99
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Polling yang dilakukan peneliti (Teacher) bulan September 2014 terhadap mahasiswa (Student) group Filsafat Pendidikan, pada umumnya merespon positif. Data menunjukkan 22,99% votes menyatakan sangat setuju (SS) bahwa diskusi melalui "Edmodo" dapat meningkatkan keterampilan komunikasi interpersonal secara tertulis, 77,01% menyatakan setuju (S), 0% yang menyatakan tidak setuju (TS) dan sangat tidak setuju (STS). Ini artinya bahwa diskusi melalui media jejaring sosial Edmodo dapat meningkatkan ketrampilan komunikasi interpersonal. Namun ironisnya, media jejaring sosial Edmodo kurang dikenal dan kurang digunakan oleh guru/dosen untuk keperluan pembelajaran, terlebih lagi siswa atau mahasiswanya (Thongmak, 2013). Hal ini menunjukkan, bahwa dalam kasus Thailand (Thongmak, 2013) khususnya, dan di Negara-negara berkembang lainnya, termasuk Indonesia, penggunaan media jejaring sosial Edmodo sebagai media/teknologi pembelajaran belumlah sampai pada predikat memuaskan. Di sisi lain (pengalaman peneliti), tingkat partisipasi mahasiswa dalam diskusi kelas (aktivitas pembelajaran tatap muka) di masing-masing kelas relatif rendah, bahkan kadang hanya didominasi oleh mahasiswa tertentu yang memiliki kemampuan komunikasi lisan baik, sementara mahasiswa lainnya tidak jarang pula hanya sebagai pendengar setia, diam sambil menonton temannya yang penuh semangat mendiskusikan materi perkuliahan. Oleh karena itulah penelitian ini bertujuan untuk memperoleh bukti empiris tentang: (1) pengaruh penggunaan media jejaring sosial Edmodo terhadap partisipasi mahasiswa dalam diskusi kelas pada materi ajar teoretis dan praktis; (2) hubungan antara penggunaan media jejaring sosial Edmodo dengan partisipasi mahasiswa dalam diskusi kelas pada materi ajar teoretis; (3) hubungan antara penggunaan media jejaring sosial Edmodo dengan partisipasi mahasiswa dalam diskusi kelas pada materi ajar praktis.
Landasan Teori Media jejaring sosial Edmodo lahir setelah media jejaring sosial Facebook berkembang pesat jumlah penggunanya. Hampir setiap orang yang memiliki jaringan internet, baik komputer (PC), laptop, tablet, atau ponsel pasti mengenal dan mungkin memiliki account Facebook. Edmodo diciptakan oleh Nic Borg dan Jeff O'Hara pada akhir tahun 2008. Borg & O’Hara menyadari kebutuhan lingkungan sekolah untuk berkembang memenuhi tuntutan dunia abad ke21. Keberhasilan platform jejaring sosial sebelumnya, seperti MySpace dan Facebook, menunjukkan bahwa banyak siswa sebagai pengguna media jejaring sosial tersebut tetapi aktivitas mereka tidak terhubung dengan belajar dan pembelajaran di sekolah. Borg & O'Hara percaya bahwa jejaringan sosial diarahkan pada kebutuhan peserta didik bisa memberi dampak besar terhadap bagaimana mereka berkolaborasi, dan belajar dalam dunia mereka, daripada mengandalkan setting guru mereka di sekolah (Gushiken, 2013). Jadi bisa dikatakan bahwa Edmodo merupakan media jejaring sosial yang dipersiapkan untuk belajar dan pembelajaran bagi guru dan siswa, dosen dan mahasiswa, sehingga tercipta sistem pembelajaran yang inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Terbukti, lebih dari 18 juta pengguna (2008-2013), Edmodo berhasil mengumpulkan pujian dari guru dan siswa. Guru menggunakan Edmodo untuk mengirim pengumuman dan tugas bagi siswa mereka. Siswa menggunakan Edmodo untuk berkomunikasi dengan guru-guru mereka untuk bertanya tentang pelajaran dan pekerjaan rumah, dan berkolaborasi dengan sesama siswa pada kegiatan dan ide-ide proyek. Di samping itu lingkungan Edmodo bebas dari iklan, game, dan gangguan lain yang mungkin mengganggu belajar siswa (Gushiken, 2013).
100
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Karakteristik media jejaring sosial Edmodo dapat pula dipahami dari fitur-fitur yang disediakan. Fitur Edmodo berbasis pengguna, yaitu guru/dosen (Teacher), siswa/mahasiswa (Student), dan orang tua (Parent), sehingga fitur-fiturnya pun disesuaikan dengan kebutuhan pendidikan dan pembelajaran, yaitu fitur: (a) Groups, digunakan oleh Teacher untuk mengelompokkan students berdasarkan kelas, mata kuliah/pelajaran, atau lainnya yang dilengkapi dengan code PIN masing-masing. (b) Alert, digunakan oleh Teacher untuk memberi pesan penting/khusus. (c) Assignment, digunakan oleh Teacher untuk memberi tugas kepada students. Fitur ini dilengkapi dengan batas waktu (deadline) dan attach file (melampirkan file) sehingga students dapat mengunduh dan/atau mengirim laporan tugas dalam bentuk file kepada Teacher. (d) Quiz, digunakan oleh Teacher untuk memberi assesmen beserta batas waktu penyelesaiannya. (e) Gradebook, digunakan oleh Teacher untuk memberi nilai students dari hasil Assignment dan Quiz. (f) Polling, digunakan oleh Teacher untuk mengetahui respon student tentang sesuatu yang terkait dengan pelajaran dan proses pembelajaran (umpan balik). (g) File and Links, digunakan oleh Teacher dan students untuk mengirim pesan dan link pada group. (h) Library, digunakan untuk menyimpan dan menyebarkan berbagai sumber belajar kepada students maupun group. (i) Parents Codes, berfungsi untuk memberi kesempatan kepada orangtua/wali masing-masing students untuk invite sehingga dapat memantau aktivitas belajar anaknya. Contoh fitur-fitur Edmodo dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah ini.
Gambar 1: Fitur-fitur pada ‘Home’ Edmodo (edmodo.com) Fitur yang tersedia pada aplikasi jejaring sosial Edmodo tersebut sangat memungkinkan peluang bagi mahasiswa untuk meningkatkan penguasaan substansi mata kuliah dan kemampuan komunikasi interperpersonal. Sebab edmodo telah menyediakan fitur untuk posting dan reply (seperti facebook), sehingga dosen dengan mahasiswa, atau mahasiswa dengan mahasiswa, dapat berinteraksi secara tertulis mengenai seputar perkuliahan (lihat Gambar 2).
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
101
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Gambar 2: Fitur posting dan reply Edmodo (edmodo.com) Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa pendekatan diskusi yang dihasilkan meningkat kuat dalam jumlah bicara mahasiswa dan bersamaan pengurangan jumlah bicara dosen, serta perbaikan substansial dalam pemahaman teks (Murphy, et al., 2009). Artinya partisipasi mahasiswa dalam diskusi kelas dapat meningkat seiring peningkatan kemampuan komunikasi interpersonal, begitu juga sebaliknya. Dasar pemikiran teoritis untuk menjelaskan peran diskusi kelas (sebagai strategi pembelajaran) sebagian besar dari teori sociocognitive dan sosial budaya. Menurut Piaget, interaksi sosial adalah sarana utama untuk mempromosikan penalaran individu. Demikian pula Vygotsky, pembelajaran dipahaminya sebagai proses budaya. Menurut Wertsch, Del Rio, dan Alvarez sebagaimana dikutip oleh Murphy, et al (2009), menjelaskan bahwa ketika mahasiswa berinteraksi dengan orang lain dalam kelompok dengan cara yang mendalam dan bermakna, maka temuan yang dihasilkan berada di luar kemampuan dan disposisi dari mahasiswa secara individual. Mahasiswa ke diskusi membawa nilai sosial dan budaya yang unik, latar belakang pengalaman, dan pengetahuan sebelumnya dan asumsi. Melalui interaksi, mahasiswa menggabungkan cara berpikir dan berperilaku, bahwa pengetahuan, keterampilan, dan disposisi yang diperlukan untuk mendukung transfer ke situasi lain memerlukan pemecahan masalah independen. Dengan demikian secara teoretis, proses interaksi atau komunikasi interpersonal yang dihasilkan dari proses diskusi, baik melalui diskusi dalam media jejaring sosial Edmodo maupun diskusi kelas (tatap muka), terdapat hubungan dan saling berpengaruh. Meskipun harus dipahami pula bahwa masih banyak variabel (faktor) lain yang harus dipertimbangkan, terutama kemampuan ICT mahasiswa.
Metode Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksperimen dengan menggunakan desain faktorial (factorial design), karena penelitian ini bertujuan untuk menentukan efek dari perlakuan dua variabel independen terhadap dua variabel dependen (Gall, Gall & Borg, 2007; Miller, 1996). Varibel independen (x) terdiri dari dua variabel, yaitu variabel uji (x1) dan 102
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
variabel kotrol (x2). Variabel uji (x1) adalah penggunaan media jejaring sosial Edmodo, dan variabel kontrol (x2) adalah tanpa penggunaan media jejaring sosial Edmodo. Variabel kontrol (experimental control) diperlukan untuk menghindari ‘pengganggu’ (intervening variable) agar dapat memastikan bahwa satu-satunya variabel yang yang berubah secara sistematis adalah variabel uji (x1), sekaligus untuk meminimalkan variasi acak dalam data sehingga dapat menyoroti pengaruh variabel uji (x1) tersebut (Miller, 1996). Demikian juga variabel dependen (y) juga terdiri dari dua variabel, yaitu partisipasi mahasiswa dalam diskusi kelas pada materi ajar teoretis (y1), dan materi ajar praktis (y2). Kedua variabel dependen ini mengacu desain tindakan berulang (repeated measures design) dari Miller (1996), dimana variabel y2 merupakan tindakan berulang dari variabel y1. Artinya, bahwa variabel y2 (materi ajar praktis) merupakan penerapan dari varibel y1 (teori dari aliran Filsafat Pendidikan) berupa kajian atau analisis kritis terhadap masalah-masalah aktual dan faktual pendidikan (dan pembelajaran) di Indonesia. Varibel y1 dilaksanakan pada paruh semester pertama (sebelum ujian tengah semester), sedangkan variabel y2 dilaksanakan pada paruh semester kedua (sesudah ujian tengah semester). Penelitian dilaksanakan di STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia. Populasi adalah mahasiswa peserta matakuliah Filsafat Pendidikan pada semester gasal tahun akademik 2014/2015 (September 2014 s.d Februari 2015) yang berjumlah 186 mahasiswa yang dikelompokkan ke dalam 4 (empat) kelas pararel. Pembelajaran pada empat kelas ini diperlakukan sama, yaitu sama-sama diterapkan strategi pembelajaran diskusi kelompok kecil (small group discussions) di luar jam perkuliahan (terstruktur), dan presentasi dalam diskusi kelas (class discussion), serta diskusi umum (semua kelas) dalam media jejaring sosial Edmodo di luar jam perkuliahan sebagai perkuliahan mandiri. Karena bersifat mandiri, maka diskusi umum dalam media jejaring sosial Edmodo sifatnya tidak wajib, sehingga hanya sebagian yang aktif dan sebagian lainnya tidak invite di media jejaring sosial Edmodo. Sampel diambil dengan teknik random sampling, dengan ketentuan bahwa yang menjadi sampel penelitian adalah mahasiswa (populasi) yang aktif mengikuti diskusi kelas (perkuliahan tatap muka) minimal 90% dari total pertemuan, dengan tanpa memandang jenis kelamin dan segala latar belakangnya. Ketentuan sampel ini sengaja dibuat oleh peneliti dengan maksud agar sampel dengan aktivitas belajar yang relatif sama sehingga dapat diperoleh data yang relatif homogin. Dari hasil analisis dokumen (presensi) dan laporan penilaian presentasi dari teman sekelas diketahui bahwa mahasiswa yang memenuhi kriteria sampel (sebelum maupun sesudah tengah semester) sebanyak 174 mahasiswa, terdiri dari 89 mahasiswa aktif berdiskusi dalam media jejaring sosial Edmodo dan 85 mahasiswa tidak invite. Metode pengumpulan data menggunakan asesmen otentik dalam bentuk laporan proses (reporting process) presentasi dan diskusi kelas yang (antara lain) berisi nama dan NIM (Nomor Induk Mahasiswa) yang berpartisipasi aktif dalam setiap diskusi kelas. Adapun analisis data menggunakan metode analisis varian multivariat (multivariate analysis of variance) atau MANOVA. Hal ini beralasan bahwa dalam penelitian ini varian yang dibandingkan berasal dari dua variabel terikat (dependent) dan dua variabel bebas (independent), variabelnya bersifat acak, maka yang paling efektif untuk uji statistiknya adalah MANOVA (Miller, 1996; Izenman, 2008; Jobson; 1991), dengan menggunakan aplikasi SPSS v.16.0 for windows.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
103
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Hasil Penelitian Asumsi MANOVA bahwa varian tiap-tiap variabel dependen adalah sama (homogen). Demikian pula matriks varian/covarian dari variabel dependen adalah sama. Homoginitas varian maupun matriks varian/covarian dari variabel dependen merupakan syarat penggunaan uji statistik MANOVA (Miller, 1996; Izenman, 2008; Jobson; 1991). Dalam penelitian ini uji homogenitas varian tiap-tiap variabel dependen menggunakan uji Levene’s sebagaimana disajikan pada Tabel 1 sebagai berikut: Tabel 1 Uji Levene’s (Homoginitas varian tiap-tiap variabel dependen) Levene's Test of Equality of Error Variancesa F
df1
df2
Sig.
Y1
.122
1
172
.727
Y2
8.787
1
172
.003
Tests the null hypothesis that the error variance of the dependent variable is equal across groups. a. Design: Intercept + X
Pada Tabel 1 terlihat bahwa hasil uji Levene’s menunjukkan bahwa nilai Fy1 = 0,122 pada signifikansi 0,727 dan nilai Fy2 = 8,787 pada signifikansi 0,003. Jika pada uji MANOVA ditetapkan probabilitas signifikansi 0,05 berarti variabel y1 tidak signifikan karena Sig.y1 = 0,727 > 0,05 yang berarti bahwa variabel y1 memiliki varian yang homogen sesuai dengan asumsi MANOVA. Namun pada variabel y2 ternyata signifikan karena Sig.y2 = 0,003 < 0,05 yang berarti bahwa variabel y2 tidak homogen dan menyalahi asumsi MANOVA. Meskipun demikian syarat uji MANOVA dinilai masih kuat (robust) dan bisa dilanjutkan analisisnya. Sedangkan uji homogenitas matriks varian/covarian dari variabel dependen menggunakan uji Box’s M sebagaimana disajikan pada Tabel 2 sebagai berikut: Tabel 2 Uji Box’s M (Homoginitas matriks varian/covarian dari variabel dependen) Box's Test of Equality of Covariance Matricesa Box's M
5.842
F
1.923
df1
3
df2
5.713E6
Sig.
.123
Tests the null hypothesis that the observed covariance matrices of the dependent variables are equal across groups. a. Design: Intercept + X
Pada Tabel 2 terlihat bahwa nilai Box’s M = 5,842 pada signifikansi 0,123. Jika pada uji MANOVA ditetapkan probabilitas signifikansi 0,05 berarti Sig.Box’s M = 0,123 > 0,05 maka hipotesis nol diterima. Dengan demikian dapat diputuskan bahwa matriks varian/covarian dari variabel dependen memiliki varian yang homogen, sehingga uji MANOVA memenuhi syarat
104
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
untuk dilanjutkan. Dengan kata lain, bahwa uji MANOVA pada penelitian ini “lulus” uji homogenitas sehingga layak dijadikan metode analisis data (uji statistik). Berdasarkan hasil uji MANOVA terbukti bahwa terdapat perbedaan partisipasi mahasiswa dalam diskusi kelas pada materi ajar teoretis (y1) dan praktis (y2) antara yang aktif berdiskusi dalam media jejaring sosial Edmodo (x1) dengan yang tidak mengikuti diskusi dalam media jejaring sosial Edmodo (x2). Hal ini terlihat pada Tabel 3 sebagai berikut: Tabel 3 Uji Multivariat Multivariate Testsb Effect Intercept
X
Value
F
Hypothesis df
Error df
Sig.
Pillai's Trace
.957
1.887E3a
Wilks' Lambda
.043
1.887E3a
2.000
171.000
.000
Hotelling's Trace
22.074
1.887E3a
2.000
171.000
.000
Roy's Largest Root
22.074
1.887E3a
2.000
171.000
.000
Pillai's Trace
.316
39.457a
2.000
171.000
.000
Wilks' Lambda
.684
39.457a
2.000
171.000
.000
Hotelling's Trace
.461
39.457a
2.000
171.000
.000
Roy's Largest Root
.461
39.457a
2.000
171.000
.000
2.000
171.000
.000
a. Exact statistic b. Design: Intercept + x
Hasil uji multivariat (MANOVA) pada Tabel 3 membuktikan bahwa nilai F dari effect x (Edmodo) dengan analisis Pillai’s Trace, Wilk’ Lambda, Hotelling’s Trace, dan Roy’s Largest Root menunjukkan pada Sig. (signifikansi) 0,000. Jika pada uji MANOVA ditetapkan probabilitas signifikansi 0,05 berarti nilai F dari analisis Pillai’s Trace, Wilk’ Lambda, Hotelling’s Trace, dan Roy’s Largest Root semuanya lebih kecil dari 0,05. Dengan demikian nilai F dari analisis Pillai’s Trace, Wilk’ Lambda, Hotelling’s Trace, dan Roy’s Largest Root semuanya signifikan. Artinya, bahwa terdapat perbedaan yang signifikan dari kedua varibel dependen (y1 dan y2) antara kedua variabel independen (x1 dan x2). Selanjutnya pada uji between-subjects effects disajikan pada Tabel 4 sebagai berikut: Tabel 4 Uji between-subjects effects Tests of Between-Subjects Effects Source
Dependent Variable
Corrected Model
y1
16.519a
1
16.519
17.858
.000
y2
55.939b
1
55.939
78.808
.000
y1
1944.105
1
1944.105
2.102E3
.000
y2
2227.526
1
2227.526
3.138E3
.000
y1
16.519
1
16.519
17.858
.000
y2
55.939
1
55.939
78.808
.000
Intercept
Y
Type III Sum of Squares
Df
Mean Square
F
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Sig.
105
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923 Error
Total
Corrected Total
y1
159.096
172
.925
y2
122.089
172
.710
y1
2129.000
174
y2
2423.000
174
y1
175.615
173
y2
178.029
173
a. R Squared = .094 (Adjusted R Squared = .089) b. R Squared = .314 (Adjusted R Squared = .310)
Pada Tabel 4 terlihat bahwa pada sumber Y nilai Fy1 = 17,858 pada Sig. (signifikansi) 0,000 dan nilai Fy2 = 78,808 pada Sig. (signifikansi) 0,000. Jika pada uji MANOVA ditentukan probabilitas signifikansi 0,05, berarti nilai Fy1 maupun nilai Fy2 lebih kecil dari 0,05. Hal ini membuktikan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan variabel y1 yang diakibatkan oleh varibel x1. Demikian pula terdapat perbedaan yang signifikan variabel y2 yang diakibatkan oleh varibel x1. Dengan demikian hasil penelitian ini membuktikan bahwa (1) terdapat pengaruh yang signifikan penggunaan media jejaring sosial Edmodo terhadap partisipasi mahasiswa dalam diskusi kelas pada materi ajar teoretis maupun praktis. (2) Terdapat hubungan yang signifikan antara penggunaan media jejaring sosial Edmodo dengan partisipasi mahasiswa dalam diskusi kelas pada materi ajar yang bersifat teoretis. (3) Terdapat hubungan yang signifikan antara penggunaan media jejaring sosial Edmodo dengan partisipasi mahasiswa dalam diskusi kelas pada materi ajar yang bersifat praktis.
Rekomendasi 1. Penggunaan media jejaring sosial Edmodo efektif untuk dipraktikan dalam pembelajaran di perguruan tinggi, baik untuk matakuliah yang bersifat teoretis maupun praktis (terapan atau analisis), karena banyak ragam kompetensi yang dapat diperoleh mahasiswa. 2. Penelitian lanjutan yang berfokus pada penggunaan jejaring sosial Edmodo masih sangat diperlukan, terutama yang terkait dengan pengembangan atribut-atribut soft skills.
Daftar Pustaka Arroyo, C. G. (2011). On-line social networks: innovative ways towards the boost of collaborative language learning. International Conference ICT for Language Learning, 4th edition. Basori (2013). Pemanfaatan social learning network ”Edmodo” dalam membantu perkuliahan teori bodi otomotif di Prodi PTM JPTK FKIP UNS. Jurnal JIPTEK 6(2), Juli 2013, 99105. edmodo.com (https://www.edmodo.com) Gall, M.D., Gall, J.P., & Borg, W.R. (2007). Educational research: An introduction, eighth edition. Boston: Person Education, Inc. Graham, C. R. (2009). Blended learning models. Encyclopedia of Information Science and Technology, 375-382. Gushiken, B. (201). Integrating edmodo into a high school service club: to promote interactive online communication. TCC Worldwide Online Conference.
106
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Ilah Sailah, dkk. (2014). Buku kurikulum pendidikan tinggi. Jakarta: Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Izenman, A.J. (2008). Modern multivariate statistical techniques: regression, classification, and manifold learning. New York, NY: Springer Science+Business Media, LLC. Jobson, J.D. (1991). Applied multivariate data analysis, volume I: regression and experimental design. New York, NY: Springer Science+Business Media. Thongmak, Mathupayas (2013), Social network system in classroom: antecedents of edmodo adoption. Journal of e-Learning and Higher Education, Vol. 2013 (2013), pp. 1-15. Miller, S. (1996). Experimental design and statistics (2nd edition). New York: Routledge. Murphy, P. K., et al. (2009). Examining the effects of classroom discussion on students’ comprehension of text: a meta-analysis. Journal of Educational Psychology, 101(3), 740764. Kemendikbud. (2014). Permendikbud (Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan) RI Nomor 49 Tahun 2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
107
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Implementasi Penggunaan Edmodo dalam Mata Kuliah Belajar Pembelajaran Ima Chusnul Chotimah 7 ([emailprotected]) Rosi Anjarwati 7 ([emailprotected]) Abstract There are several subjects that must be covered by the students of STKIP PGRI Jombang. One of them is Belajar Pembelajaran in second semester of English Department. In the fact, the students found difficulty in understanding the material because of the lack of time. Edmodo is one of electronic media which has some benefits, such as: easy and affordable. This Classroom Action Research concerned to solve that problem by appliying Edmodo as a media that could be accessed outside the class, so that the lecturer could give the feedback of students’ understanding in the form of summary whenever and wherever they are. The result of the data analysis which was got through test and questionnaire showed that there was improving on the students ability in understanding the material of Teaching and Learning. Keywords: Learning Learning, Edmodo Abstrak Ada beberapa jenis mata kuliah wajib yang harus ditempuh oleh mahasiswa STKIP PGRI Jombang. Salah satunya adalah Belajar Pembelajaran yang berada di semester 2 untuk prodi Bahasa Inggris. Pada kenyataanya, mahasiswa menemukan kesulitan dalam memahami materi karena terbatasnya waktu. Edmodo adalah salah satu media elektronik yang memiliki beberapa keunggulan, diantaranya mudah dan terjangkau. Penelitian Tindakan Kelas ini bertujuan untuk mengatasi permasalahan tersebut dengan menerapkan Edmodo sebagai media yang dapat diakses diluar kelas sehingga dosen dapat memberikan umpan balik terhadap pemahaman mahasiswa yang dituangkan dalam bentuk resume kapanpun dan dimanapun. Hasil analisis data yang didapat dari tes dan kuesioner menunjukkan adanya peningkatan kemampuan siswa dalam memahami materi mata kuliah Belajar Pembelajaran. Kata Kunci: Belajar Pembelajaran, Edmodo
Pendahuluan Pendidikan di tingkat perguruan tinggi di Indonesia mempunyai peran yang cukup penting dalam perkembangan bangsa dan negara karena di tingkat inilah anak bangsa (mahasiswa) telah dapat berpikir kritis. Berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 12 tahun 2012 tentang pendidikan tinggi, pasal 1 (2): “Pendidikan Tinggi adalah jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program diploma, program sarjana, program magister, program doktor, dan program profesi, serta program spesialis, yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi berdasarkan kebudayaan bangsa Indonesia. “Terdapat beberapa jenis pendidikan tinggi di Indonesia, diantaranya adalah Universitas, Institut, Akademi serta Sekolah Tinggi. Salah satu Sekolah Tinggi yang berkembang di kabupaten Jombang adalah STKIP PGRI Jombang. Di STKIP PGRI Jombang, terdapat beberapa program studi dengan beberapa jenis mata kuliah. Belajar Pembelajaran merupakan salah satu mata kuliah yang harus ditempuh oleh mahasiswa program studi Bahasa Inggris. Mata kuliah ini bertujuan agar mahasiswa mampu memahami hakikat belajar, menganalisis teori-teori belajar dan landasan filosofisnya, menganalisis berbagai teori pembelajaran dan mampu merancang serta mengembangkan 716
STKIP PGRI Jombang
108
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
berbagai alternatif aplikasi model pembelajaran disesuaikan dengan teori-teori pembelajaran yang mendasarinya. Sebagai mata kuliah yang berbahasa Indonesia, Belajar Pembelajaran seharusnya akan lebih mudah dipahami oleh mahasiswa program studi Bahasa Inggris yang merupakan bahasa nasional. Pada kenyataannya mahasiswa dikelas 2014 C mengalami kesulitan dalam memahami materi mata kuliah ini. Kesulitan tersebut disebabkan kurang maksimalnya penjelasan materi yang disampaikan oleh teman sesama mahasiswa dalam bentuk presentasi serta terbatasnya waktu bagi dosen untuk mengulas kembali dan memberi umpan balik terhadap hasil presentasi dan diskusi. Berdasakan kondisi tersebut diatas, peneliti ingin menggunakan teknologi informasi sebagai media karena perkembangan dan kemajuan dibidang ilmu pengetahuan dan penerapannya sangat bergantung pada teknologi informasi. Ada empat manfaat teknologi informasi dalam dunia pendidikan menurut Mirfani, yaitu: (1) sebagai alat pengelolaan pengetahuan, (2) sebagai alat pembelajaran, (3) sebagai alat pengelolaan usaha, dan (4) sebagai alat pengkajian. Salah satu bentuk teknologi informasi adalah internet; dan dalam penelitian ini peneliti menggunakan Edmodo. Edmodo adalah platform pembelajaran yang aman bagi guru (dosen), siswa (mahasiswa) dan sekolah (kampus) berbasis sosial media. Edmodo menyediakan cara yang aman dan mudah bagi kelas untuk terhubung dan berkolaborasi, berbagi konten dan akses pekerjaan, nilai dan pemberitahuan sekolah. (Haris, 2013) Edmodo memiliki beberapa keunggulan diantaranya dapat membantu pengajar membangun sebuah kelas virtual berdasarkan pembagian kelas nyata di sekolah, dimana dalam kelas tersebut terdapat penugasan, quiz dan pemberian nilai pada setiap akhir pembelajaran. Selain itu, pembelajaran dapat dilakukan dimana saja, kapan saja dan dapat dilakukan dari alat apa saja yang mendukung. Berdasarkan pertimbangan diatas, peneliti menerapkan Edmodo sebagai media alternatif dalam rangka memecahkan persoalan yang dihadapi dalam mata kuliah Belajar Pembelajaran di kelas 2014 C Program Studi Bahasa Inggris STKIP PGRI Jombang.
Landasan Teori Hakikat Belajar Pembelajaran Berbicara tentang Belajar dan Pembelajaran, tidak bisa dipisahkan dari konsep pendidikan. Pendidikan ialah segala pengalaman belajar yang berlangsung dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup serta pendidikan dapat diartikan sebagai pengajaran yang diselenggarakan di sekolah sebagai lembaga pendidikan formal (Mudyahardjo, 2001:6). Berdasarkan pengertian diatas, pendidikan diartikan secara sempit yaitu hanya pada area formal. Muhibinsyah (2003: 10) memberikan pengertian yang agak luas tentang pendidikan, yaitu sebuah proses dengan metode-metode tertentu sehingga orang memperoleh pengetahuan, pemahaman, dan cara bertingkah laku yang sesuai dengan kebutuhan.
Manfaat Teknologi Informasi dalam Pendidikan Dalam era modern dan globalisasi seperti saat ini, kehidupan manusia tidak dapat terlepas dari teknologi. Peningkatan layanan informasi yang lebih baik dalam pendidikan adalah salah satu dampak pesatnya perkembangan teknologi informasi dan internet. Penerapan teknologi juga bermanfaat bagi pendidikan terutama untuk mewujudkan pendidikan nasional Indonesia.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
109
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Menurut Suripto, Fatmasari & Purwatiningsih, manfaat teknologi informasi dalam pendidikan antara lain: akses ke kerpustakaan, akses ke pakar, melakukan kuliah atau pembelajaran online, menyediakan layanan informasi akademi dan administrasi suatu institusi pendidikan, menyediakan fasilitas mesin pencari data, menyediakan fasilitas diskusi, menyediakan fasilitas direktori alumni ke sekolah serta menyediakan fasilitas kerjasama. Diantara manfaat tersebut diatas, manfaat yang nyata dapat diperoleh oleh guru (dosen) dan siswa (mahasiswa) adalah manfaat pada proses pembelajaran. Yang pertama adalah Virtual Experiment. Demonstrasi dengan bantuan teknologi informasi ini digunakan untuk menampilkan suatu kegiatan eksperimen di depan kelas. Maksud dari virtual eksperiment disini adalah suatu kegiatan laboratorium yang dipindahkan didepan komputer. Yang kedua yaitu kelas virtual; Maksud kelas virtual di sini adalah siswa belajar mandiri yang berbasiskan web, misalnya menggunakan Edmodo. Bentuk kelas maya yang telah di kembangkan di sekolahsekolah yang memiliki fasilitas teknologi informasi. (Suripto, Fatmasari & Purwatiningsih).
Pengertian Edmodo Edmodo adalah platform microblogging pribadi yang dikembangkan untuk guru dan siswa, dengan mengutamakan privasi siswa. Guru dan siswa dapat berbagi catatan, tautan, dan dokumen. Edmodo menggunakan desain yang mirip dengan Facebook, dan menyediakan guru/dosen dan siswa/mahasiswa tempat yang aman untuk menghubungkan, berkolaborasi dan berbagi konten. Guru/dosen juga dapat mengirim nilai, tugas dan kuis untuk siswa/mahasiswa. Situs Edmodo tersebut gratis dan mudah digunakannya selama seorang guru dan murid bisa terhubung dengan internet. Edmodo adalah sebuah jawaban bagi sebuah ruang kelas virtual yang nyaman dan aman, dikarenakan: 1) Siswa bisa berinteraksi dalam pantauan gurunya (bebas cyber crime dan cyber bullying); (2)Tidak ada orang luar yang bisa masuk dan melihat kelas virtual yang dibuat oleh seorang guru tanpa mendapat kode khusus dari guru yang bersangkutan; (3) Guru bisa memulai pertanyaan, menaruh foto atau video, menaruh presentasi bahan ajar, yang kesemuanya bebas untuk diunduh oleh siswa dan dikomentari; (4) Murid bisa kembali kapan saja untuk mengulang materi yang diberikan gurunya, bahkan PR bisa diberikan melalui edmodo. Murid juga bisa mengumpulkan PR nya lewat edmodo; (5) Guru bisa menaruh nilai dari pekerjaan siswa sebagai acuan bagi siswa; (6) Kelas virtual yang dibuat seorang guru tidak terbatas, guru bisa menaruh bahan ajar untuk digunakan di angkatan atau tahun ajaran berikutnya; (7) Siswa bisa bekerja sama dengan siswa lain dalam grup kecil yang dibentuk oleh gurunya; (8) Siswa yang pendiam bisa bebas berkata-kata dan berpendapat tanpa khawatir dipermalukan, sementara si anak tipe aktif bisa posting pertanyaan kapan saja asal ia terhubung dengan internet. Berdasarkan manfaat tersebut diatas, Edmodo sangat sesuai untuk diterapkan dalam mata kuliah Belajar Pembelajaran yang membutuhkan waktu ekstra diluar tatap muka di kelas. Selain manfaat- manfaat yang sudah dipaparkan, Edmodo memiliki kelebihan yaitu mengadaptasi tampilan seperti facebook, secara sederhana Edmodo relatif mudah untuk digunakan bahkan untuk pemula sekalipun, Compatibility. Edmodo mendukung preview berbagai jenis format file seperti: pdf, pptx, html, swf dan sebagainya. Dan aplikasi, Edmodo tidak hanya dapat diakses dengan menggunakan PC (laptop / desktop) tetapi juga bisa diakses dengan menggunakan gadget berbasis Android OS.
110
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Metode Penelitian Penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas dimana peneliti bertindak sebagai dosen dan sebagai peneliti. Dalam melakukan penelitian ini, peneliti menyusun beberapa tahapan, diantaranya: Perencanaan, Implementasi, Observasi, dan Refleksi.
Perencanaan Dalam tahapan ini, peneliti mempersiapkan materi yang terangkum dalam beberapa topik yang akan didiskusikan selama 1 semester pada mata kuliah Belajar Pembelajaran. Peneliti juga membuat grup Edmodo Belajar Pembelajaran kelas 2014 C. Pada tahapan perencanaan, terdiri dari 3 langkah, diantaranya: menyiapkan strategi pembelajaran yang sesuai, membuat Rencana
Menyiapkan Strategi Pembelajaran Strategi penggunaan media Edmodo yang diaplikasikan pada mata kuliah Belajar Pembelajaran adalah sebagai berikut: Pertama, dosen meminta mahasiswa untuk membuat alamat email dan kemudian masuk di grup Edmodo Belajar Pembelajaran kelas 2014 C pada minggu pertama. Kemudian dosen membagi kelas menjadi 10 grup dan diberikan topik materi yang akan mereka presentasikan. Masing-masing grup harus membuat makalah berdasarkan topik dan dikumpulkan 2 minggu kemudian. Kedua, kelompok pertama mempresentasikan topik materi yang ada dalam makalah mereka dan dilanjutkan dengan pemberian komentar dan tanya jawab dari mahasiswa dan dosen memberikan umpan balik dari kegiatan tersebut. Sedangkan bagi mahasiswa yang lain harus merangkum tentang materi tersebut dan mengirimkan hasil rangkumannya ke grup Edmodo kelas 2014 C paling lambat 3 hari setelah pertemuan di kelas. Kegiatan ini dilakukan setiap minggu. Ketiga, dosen memberikan komentar terhadap hasil resume mahasiswa setiap minggu untuk mengetahui sejauh mana mahasiswa memahami materi yang sudah dipresentasikan.
Membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Rancangan pembelajaran terdiri dari kegiatan presentasi dari masing-masing grup dan mahasiswa yang lain membuat resume dan mengirimkan hasil resume mereka ke grup Edmodo. Ada 4 topik yang dibahas, diantaranya: Konsep Belajar Pembelajaran, Prinsip Belajar Pembelajaran, Peran Guru dalam Belajar Pembelajaran dan Teori-teori dalam Belajar Pembelajaran.
Kriteria Keberhasilan. Dalam penelitian tindakan kelas ini ada dua criteria of succes; (1) 75% dari mahasiswa mendapatkan nilai lebih dari atau sama dengan 75, dan (2) respon positif dari mahasiswa berdasarkan isian kuesioner yang diberikan, yaitu lebih dari atau sama dengan 70%.
Implementasi Ketika semua perangkat pembelajaran siap untuk digunakan, peneliti mengimplementasikan aktivitas-aktivitas yang sudah di design dengan menggunakan Edmodo sebagai media elektronik pada mata kuliah Belajar Pembelajaran. Subjek penelitian ini adalah mahasiswa program studi Bahasa Inggris angkatan 2014/2015 kelas 2014 C pada semester kedua STKIP PGRI Jombang yang berjumlah 22 mahasiswa.
Observasi Data dan sumber data.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
111
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah data kuantitatif. Data tersebut yakni dari hasil tes mahasiswa dan hasil isian kuesioner mahasiswa terhadap penggunaan Edmodo sebagai media pembelajaran. Data tersebut didapat dari mahasiswa yakni dari hasil tes dan kuesioner.
Alat dan tehnik pengumpulan data. Dalam memperoleh data, peneliti menggunakan tes untuk mengetahui seberapa jauh pemahaman mahasiswa terhadap materi, dan kuesioner terhadap penggunaan Edmodo sebagai media pembelajaran. Kuesioner dipakai untuk mengetahui bagaimana respon mahasiswa terhadap penggunaan Edmodo sebagai media pembelajaran elektronik pada mata kuliah Belajar Pembelajaran.
Refleksi Pada bagian ini peneliti menganalisa hasil implementasi penggunaan Edmodo sebagai media pembelajaran elektronik pada mata kuliah Belajar Pembelajaran pada siklus awal. Adapun data yang dianalisa adalah dari hasil tes dan isian kuesioner yang disi oleh mahasiswa. Tahapan ini membahas seberapa jauh strategi yang dikembangkan dapat memecahkan masalah dan faktor-faktor yang menyebabkan strategi tersebut tidak berhasil dalam memecahkan masalah tersebut. Dalam penelitian ini, peneliti merefleksi apakah strategi yang telah diaplikasikan dalam proses belajar pembelajaran dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada mata kuliah Belajar Pembelajaran. Data diolah kemudian dipadukan dengan kriteria keberhasilan untuk mengetahui apakah data tersebut memenuhi kriteria atau tidak. Hasil dari refleksi tersebut, kemudian digunakan sebagai dasar memutuskan untuk merevisi starategi yang diaplikasikan pada siklus berikutnya untuk mendapatkan hasil yang lebih baik dari pembelajaran atau peneliti memutuskan untuk mengakhiri penelitian tersebut karena hasil tersebut sudah memenuhi kriteria keberhasilan.
Hasil Penelitian Temuan pada Siklus 1 Siklus pertama dilaksanakan selama 4 pertemuan pada tanggal 2, 9, 16 dan 23 Maret 2015. Ada 4 topik yang dibahas pada siklus pertama, diantaranya: Konsep Belajar Pembelajaran, Prinsip Belajar Pembelajaran, Peran Guru dalam Belajar Pembelajaran, dan Teori-teori dalam Belajar Pembelajaran. Topik-topik tersebut sesuai dengan Silabus dan SAP yang dibuat oleh dosen sebelum melakukan kegiatan belajar pembelajaran. Dalam siklus pertama, peneliti menemukan bahwa hasil dari tes menunjukkan 54,55% mahasiswa mendapatkan nilai lebih dari atau sama dengan 75. Kenyatannya, mahasiswa mengalami kesulitan dalam menghubungkan teori dengan kenyataan yang ada di lapangan. Mahasiswa juga kurang mendapatkan referensi atau sumber yang berhubungan dengan studi kasus yang kerap terjadi di lapangan khususnya di dunia pendidikan Adapun instrument kedua yang digunakan oleh peneliti yang berhubungan dengan respon mahasiswa adalah kuesioner. Ada empat indikator dalam kuesioner tersebut. Indikator pertama tentang ketertarikan mahasiswa dalam menggunakan Edmodo. Dalam indikator ini, peneliti menemukan lebih dari 81,82% mahasiswa tertarik ketika dosen menjelaskan Edmodo dan 95,45% mahasiswa antusias saat dosen meminta mereka untuk mendaftar sebagai pengguna Edmodo dalam mata kuliah Belajar pembelajaran. Indikator kedua tentang media yang digunakan, dalam hal ini adalah media Edmodo. Dalam indikator ini, peneliti menemukan sekitar 68,18% dari mahasiswa merasa mudah dalam
112
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
memahami instruksi yang diberikan oleh dosen dalam Edmodo. Masih dalam indikator yang sama peneliti menemukan sekitar 45,45% dari mahasiswa mengalami kesulitan dalam mengoperasikan Edmodo. Itu disebabkan oleh berbagai hal, diantaranya: tidak semua mahasiswa bisa mengakses Edmodo dari gadget mereka, sinyal yang kurang bagus sehingga sebagian dari mereka mengalami kesulitan bergabung dalam grup Edmodo. Selanjutnya, peneliti juga menemukan sekitar 72,73% mahasiswa menyatakan termotivasi untuk belajar pada mata kuliah ini ketika diminta untuk menulis resume di Edmodo. Indikator ketiga tentang kemampuan memahami materi yang diperoleh mahasiswa selama proses pembelajaran dengan menggunakan Edmodo. Dalam indikator ini ditemukan bahwa sekitar 86,36% mahasiswa merasa terbantu dalam memahami materi dan komentar serta feed back dari dosen membantu mereka dalam meningkatkan pemahaman terhadap mata kuliah Belajar Pembelajaran. Ditemukan juga 72,27% mahasiswa merasa bahwa komentar dan feed back dari teman-teman mereka membantu dalam meningkatkan pemahaman terhadap mata kuliah Belajar Pembelajaran. Indikator yang keempat tentang pendapat mahasiswa dalam mengerjakan instruksi dari dosen selama proses belajar pembelajaran. Ditemukan bahwa sekitar 81,82% mahasiswa selalu mengerjakan instruksi yang ada di Edmodo dan sekitar 63,64% mahasiswa selalu mengerjakan instruksi yang ada di Edmodo sesuai dengan durasi waktu yang ditentukan. Berdasarkan hasil analisa diatas, implementasi penggunaan Edmodo sebagai media elektronik dalam mata kuliah Belajar Pembelajaran belum mendapatkan hasil yang maksimal. Hal ini dibuktikan dari hasil tes mereka belum memenuhi kriteria keberhasilan. Walaupun dari hasil kuesioner sebagaian besar dari mahasiswa merasa mengalami peningkatan pemahaman setelah menggunakan media Edmodo. Namun hasil tes memiliki bukti yang berbeda. Dalam hal ini, peneliti perlu untuk merevisi strategi sebelum siklus yang kedua diaplikasikan, sehingga bisa mencapai kriteria keberhasilan. Peneliti perlu untuk lebih sering memberikan quis berupa pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan topik di setiap pertemuan. Quis tersebut diberikan satu hari setelah topik tersebut dipresentasikan via Edmodo. Mahasiswa diminta untuk aktif memberikan komentar terhadap pertanyaan tersebut. Dan bagi mahasiswa yang masih mengalami kesulitan, mereka bisa melakukan tanya jawab dengan dosen pengajar via Edmodo. Dalam hal ini, diharapkan mahasiswa bisa berdiskusi dan menemukan solusi tentang kesulitan yang mereka hadapi kapanpun dan dimanapun.
Temuan di Siklus 2 Siklus kedua dilaksanakan pada tanggal 30 Maret, 6 dan 13 April 2015. Pada siklus ini, peneliti mengaplikasikan penggunaan Edmodo untuk mengirimkan hasil resume mahasiswa dan dosen memberikan komentar pada tulisan tersebut. Selain itu, dosen juga memberikan latihan setiap minggunya dengan memberikan quis berupa pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan materi setiap minggunya. Mahasiswa diminta untuk aktif memberikan komentar terhadap pertanyaan tersebut. Mahasiswa juga bisa melakukan tanya jawab tentang materi yang belum mereka fahami via Edmodo, dan dosen memberikan feed back terhadap pertanyaan mahasiswa. Setelah peneliti mengaplikasikan strategi yang sudah direvisi sebelumnya, peneliti memberikan tes untuk mengetahui hasil kemampuan mereka dalam memahami materi. Setelah menganalisa hasil tes mahasiswa, peneliti menemukan bahwa 77,27% mahasiswa mendapatkan nilai lebih dari atau sama dengan 75. Begitu juga dari hasil kuesioner, lebih dari 72% di setiap Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
113
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
pertanyaan yang ada dalam kuesioner mendapatkan respon positif dari mahasiswa. Hasil analisa diatas menunjukkan bahwa implementasi penggunaan Edmodo sebagai media pembelajaran mata kuliah Belajar Pembelajaran mahasiswa program studi Bahasa Inggris angkatan 2014/2015 kelas 2014 C STKIP PGRI Jombang mencapai kriteria keberhasilan. Adapun peningkatan respon positif mahasiswa dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 1 Tabel Respon Mahasiswa selama Penelitian Tindakan kelas No
Bentuk Pertanyaan dalam Kuesioner
1.
Mahasiswa tertarik mempelajari mata kuliah Belajar Pembelajaran ketika dosen menjelaskan Edmodo Mahasiswa merasa antusias saat dosen meminta mendaftar sebagai pengguna Edmodo dalam mata kuliah Belajar pembelajaran Mahasiswa merasa mudah memahami instruksi yang diberikan oleh dosen dalam Edmodo Mahasiswa menemukan kesulitan dalam mengoperasikan Edmodo Mahasiswa termotivasi untuk belajar mata kuliah Belajar Pembelajaran ketika diminta untuk menulis resume di Edmodo Mahasiswa merasa terbantu dalam memahami materi dengan adanya Edmodo Komentar dan feed back dari dosen membantu mahasiswa dalam dalam meningkatkan pemahaman terhadap mata kuliah Belajar Pembelajaran Komentar dan feed back dari temanteman membantu mahasiswa dalam meningkatkan pemahaman terhadap mata kuliah Belajar Pembelajaran Mahasiswa selalu mengerjakan instruksi yang ada di Edmodo Mahasiswa mengerjakan instruksi yang ada di Edmodo sesuai dengan durasi waktu yang ditentukan
S
2.
3.
4. 5.
6.
7.
8.
9. 10.
Hasil respon mahasiswa (%) Siklus 1 Siklus 2 KS TS S KS
TS
81,82
13,64
4,54
90,91
9,09
95,45
4,55
95,45
4,55
68,18
31,82
90,91
9,09
45,45
40,91
13,64
22,73
77,27
72,73
22,72
4,55
81,82
18,18
86,36
13,64
90,91
9,09
86,36
13,64
86,36
13,64
72,27
22,73
81,82
18,18
81,82
18,18
86,36
9,09
4,55
63,64
31,82
4,54
72,73
22,72
4,55
*S: Setuju; KS: Kurang Setuju; TS: Tidak Setuju. Tabel 1 menunjukkan ada peningkatan hasil respon mahasiswa dalam proses pembelajaran dengan menggunakan media Edmodo. Berdasarkan hasil pada temuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa setelah peneliti melaksanakan tahapan implementasi, observasi, dan analisa hasil temuan selama penelitian berlangsung, peneliti memutuskan bahwa penelitian tindakan kelas tentang penggunaan Edmodo sebagai media pembelajaran elektronik pada mata kuliah Belajar Pembelajaran mahasiswa Program Studi Bahasa Inggris angkatan 2014/2015 kelas 2014 C STKIP PGRI Jombang dapat
114
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam memahami mata kuliah tersebut, dimana hasil tes mahasiswa telah mencapai kriteria keberhasilan. Keputusan ini juga didukung dengan hasil respon positif mahasiswa yang dituangkan dalam kuesioner. Peneliti menyatakan bahwa penelitian tindakan kelas ini berhasil. Oleh karena itu, peneliti memutuskan untuk mengakhiri penelitian.
Simpulan Penggunaan Edmodo sebagai media pembelajaran elektronik dapat meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam memahami materi. Edmodo dapat membuat mahasiswa tertarik dan termotivasi untuk belajar mata kuliah Belajar Pembelajaran. Mahasiswa juga merasa terbantu dengan adanya komentar dan feed back baik dari dosen atau teman-teman, sehingga mahasiswa dapat meningkatkan pemahaman terhadap mata kuliah Belajar Pembelajaran. Akhirnya, Edmodo adalah salah satu media yang bisa digunakan dalam proses pembelajaran, khususnya pada mata kuliah dasar umum Belajar Pembelajaran.
Daftar Pustaka Haris.2013. Panduan Edmodo bagi Teacher. Materi Pelatihan E-Learning baginDosen dan Mahasiswa Universitas Darussalam Ambon. Latief, Adnan. 2010. Tanya Jawab Metode Penelitian Pembelajaran Bahasa. Malang: UM Press. Mirfani. 2011. Manfaat Teknologi bagi Pendidikan. http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._ADMINISTRASI_PENDIDIKAN/195706161986011. Diakses pada tanggal 18 April 2015 Mudyahardjo, R.2001. Filsafat Ilmu Pendidikan: Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya Muhibinsyah.2003. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Suripto, Fatmasari & Purwatiningsih. 2012. Penggunaan Teknologi Informasi Komunikasi danDampaknya dalam Dunia pendidikan. http://www.pustaka.ut.ac.id/dev25/pdfprosiding2/fisip201013.pdf. Diakses pada tanggal 17 April 2015 Undang-Undang Pendidikan Tinggi RI tahun 2012. www.edmodo.com. Diakses pada tanggal 18 April 2015 www.fkip.unidar.ac.id. Diakses pada tanggal 18 April 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
115
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Improving The Ability In Structure I of Students STKIP PGRI Jombang Through The Process-Product Writing Approach Chalimah 8 Afi Ni’amah 8 Abstract This study is aimed at one main purpose : improving the ability in structure 1 especially in telling past events through the process-product writing approach. The design of this study belongs to a classroom action research. In this study, classroom action research is used to introduce the process-product writing approach to teach grammar to the students of 2014 B at STKIP PGRI Jombang. This study was started by conducting a preliminary study which was then followed by cycles comprising several procedures include planning the action, implementing the action, observing the action, and analyzing and reflecting on the action. Based on the findings, it can be concluded that the process-product writing approach could improve the students’ ability in grammar. 83% of the students could master the process of editing (process writing approach) and 96% of the students are excellent at grammar (product writing approach). Keywords: Improving, Structure 1, Process-product approach.
Abstrak Studi ini ditujukan pada satu tujuan utama: meningkatkan kemampuan structure 1 khususnya tentang past melalui process-product writing approach. Desain studi ini termasuk penelitian tindakan kelas. Pada studi ini, penelitian tindakan kelas digunakan untuk memperkenalkan process-product writing approach untuk mengajar grammar bagi mahasiswa 2014 B di STKIP PGRI Jombang. Studi ini dimulai dengan melaksanakan preliminary study yang kemudian diikuti dengan siklus yang melibatkan beberapa prosedur termasuk perencanaan tindakan, pelaksanaan tindakan, observasi, analisa, dan refleksi. Berdasarkan temuan, dapat disimpulkan bahwa process-product writing approach bisa meningkatkan kemampuan mahasiswa di grammar. 83% mahasiswa bisa menguasai proses editing (process writing approach) dan 96% mahasiswa sangat baik pada grammar (product writing approach). Kata Kunci:Meningkatkan, Structure 1, Process-product approach.
Introduction The Teaching of English in the Indonesian Context English in Indonesia is considered as a foreign language, meaning that it is not used for social (Huda, 2004: 46) as well as official communication (Widiati & Cahyono, 2006: 142). Its being foreign language gives implications to its teaching. Gebhard (2000: 3) states that the objective of the teaching of English as a foreign language is usually to make the students able to pass the entrance examination, not to prepare them to be able to communicate by using English. Besides, in foreign language settings the students do not have chance to apply what they have studied to communicative situation outside the classroom. It is quite often to happen that the English they hear and read in the classroom is the only comprehensible English they have. The foregoing review of literature shows that practicing teachers are faced with a range of options for grammar instruction in their classrooms. There are, however, many types of difficulties faced by students and teachers with regard to grammar instruction in an EFL 8
Dosen Program studi Pendidikan Bahasa Inggris STKIP PGRI Jomban, Jawa Timur
116
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
context. Identifying such difficulties and being consciously aware of them would help teachers find ways of overcoming them and provide effective grammar instruction. In teaching grammar, these areas have to be considered: grammar as rules, grammar as form, and grammar as resource. A better approach is perhaps to see grammar as one of many resources that we have in language which helps us to communicate. We should see how grammar relates to what we want to say or write, and how we expect others to interpret what our language use and its focus.
The Nature of the Process-Product Writing Approach The process writing approach is considered as a correction to the previous approach namely product oriented approach (Cahyono, 2001: 6). In product oriented approach the teachers tend to focus on evaluating the students’ final products (Widiati, 2004: 69). Moreover, Widiati (2004) argues that this approach does not tell us how the writers themselves experience the genuine process of writing. Unlike the product oriented approach, the process writing approach focuses on the process a writer participates in when he/she creates meaning (Montague, 1995: 1). This approach relies on the belief that “writing is not a single activity, but one which is recursive” (Widiati & Cahyono, 2006: 141). By recursive it means that to produce a piece of writing, a writer follows some stages that can be performed from the time he/she starts writing up to the time the final product is finished. Their opinion is in line with Raimes (1987, cited in Cahyono, 2001: 6). She states that the process writing approach views “writing as a creative process consisting of a series of stages occurring recursively throughout the process and feeding on one another.” Responding to the old product oriented approach, Brown (2001: 335) asserts that actually there is nothing wrong with the product oriented approach which gives more attention to the grammar of the students’ piece of writings. Shih (1986, cited in Brown, 2001: 335) states that process approach do most of the following: a. focus on the process of writing that leads to the final written product; b. help student writers to understand their own composing process; c. help them to build repertoires of strategies for prewriting, drafting, and rewriting; d. give students time to write and rewrite; e. place central importance on the process of revision; f. let students discover what they want to say as they write; g. give students feedback throughout the composing process (not just on the final product) as they attempt to bring their expression closer and closer to the intention; h. encourage feedback from both the instructor and peers; i. include individual conferences between teacher and student during the process of composition. Product approach do most of the following: a. model texts are read, and then features of the genre are highlighted b. do controlled practice of the highlighted features c. organize the ideas d. use the skills, structures and vocabulary they have been taught to produce the product to show what they can do as fluents and competent users of the language To sum up, the process writing approach does not seem that to create a piece of text follows a linear way. Rather, it follows several steps from the beginning of the writer starts writing his/her ideas up to the time he/she finishes completing the final version of his/her text. If Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
117
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
the process writing approach has been finished, it will be followed by the product approach. In the next section, the process-product writing approach is discussed in greater detail.
The Process-Product Writing Approach The process writing approach which gives more attention to the process of the writer experiences in the process of text making rather than to the final product comprises several stages. However, many writers propose several ideas of the stages themselves. According to Gebhard (2000: 226-230), there are four stages involved in the process of text making-prewriting, drafting, revising, and editing. Christenson (2002: 41) offers the process writing approach comprises five stages, i.e., prewriting, drafting, revising, editing, and publishing. Taking into account the schemes of stages in the process of writing proposed by some writers above, it is apparent that in general the process of writing consists of four stages, that is prewriting, drafting, revising, and editing. Consequently, in connection with this study, the process writing stages used are prewriting, drafting, revising, and editing. The first stage in the process writing approach is prewriting. According to Seow (2001: 316), at this stage a writer stimulates his/her thoughts to generate ideas and collect information for writing. Seow’s (2001) opinion is similar to Christenson’s (2002: 41). She states that prewriting activity involves everything the writer does before starting the actual task of writing. This activity includes activating schemata, generating ideas, and making plans for approaching the writing task. Smalley, Ruetten, and Kozyrev (2001: 3) affirm that in this prewriting activity the writer thinks about the topic and generates ideas. In general, prewriting stage has something to do with how the writer generates ideas for his/her writing. There are various techniques that can be used to generate ideas at the prewriting stage. These include brainstorming, free writing, WH-questions plus, and clustering. Brainstorming, according to Smalley, et al., (2001: 4) is “a sudden insight and connection”. In brainstorming spontaneity is needed and there is no right or wrong answer (Seow, 2001: 316). Gebhard (2000: 227) says that in brainstorming the writer calls out associations as many as possible of the topic given and at the same time they jot down their ideas. The next technique is free writing. Its meaning is writing without stopping (Smalley, et al, 2001: 5). It means that the writer writes everything coming to his/her mind without thinking too much about whether the ideas are correct or the grammar is right. One rule should be applied in free writing activity, in that don’t stop writing (Calderonello & Edwards, 1986: 25).So when the writer does free writing he/she does not interrupt the flow of the ideas. Another technique that can be used to generate ideas is WH-questions plus. As the name implies, in using this technique a writer produces who, why, what, where, when, and how questions about a certain topic and gives answers to the questions as fully as possible. It means that the writer may create another series of WH-questions to the answers of the first series (Seow, 2001: 316 and Smalley, et al., 2001: 6). WH-questions plus may help the writer to determine what he/she knows and what he/she would like to know about the topic (Calderonello & Edwards, 1986: 26). The last technique is clustering. According to Smalley, et al. (2001: 6), clustering is a process of making visual maps of the writer’s ideas. In using this technique what the writer needs to do is placing a circled key word in a center of a page. Then, from the circled word draw a line and write an idea associated with the word. The writer keeps doing this until he/she cannot think of any more ideas (Gebhard, 2000: 227 and Smalley, et al., 2001: 6).
118
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
After finishing the process of generating ideas, the writer comes to the next stage of the process writing approach, namely drafting. Brown (2001: 348) calls this stage and also the revising stage as “the core for process writing”. Christenson (2002: 41) and Gebhard (2000: 228) state that drafting is the process of writing the ideas down on paper. In writing the first draft, the writer may not be overly concerned with the grammatical correctness; rather the writer should focus more to get the ideas down on paper (Smalley, et al., 2001: 8). At the revising stage, the writer takes a second look especially of the content and organization of his/her ideas in his/her drafts to make the writer’s intent clearer to the reader(Christenson 2002: 41, Gebhard, 2000: 228 and Seow, 2001: 317). At this stage, the writer may add sentences to connect the ideas, to change the order of the sentences or paragraphs, to substitute another way of saying something or even to throw away the ideas that are not relevant to the topic or that are repetitive (Calderonello & Edwards, 1986: 11 and Smalley, et.al, 2001: 8). In doing revision, Seow (2001: 318) suggests that the writer may work in pairs and read each other’s draft. By listening attentively to his/her own draft, the writer will be more conscious of what he/she has written. The final stage of process writing approach is editing. After paying attention to the content and organization of his/her ideas at the revising stage, at this stage the writer starts thinking about the process of tidying up his/her writing. It means that the writer checks the sentences to make sure that they are grammatically and mechanically correct. Checking the mechanics include checking the spelling, punctuation, capitalization, and word choice or diction (Christenson 2002: 41, Smalley, et al., 2001: 9, and Seow, 2001: 318). A simple checklist may be used to help the writer to do self/peer revision. Seow (2001) provides some examples of the questions that can be utilized to check grammar. The examples are “Have you used your verbs in the correct tense?”, “Have you checked for subject-verb agreement?”, and “Have you used all your pronouns correctly?” Then, to check the mechanics, the writer can employ questions such as “Have you capitalize all first letter in each sentence?”, “Have you spelled all words correctly?”, and “Have all sentences been given correct punctuations?” In brief, the process writing approach consists of four stages, i.e., prewriting, drafting, revising, and editing. Besides, in the process of text creation the writer deals with different activities in each stage before he/she finishes his/her piece of writing. The most important thing to keep in mind is that “process is not the end; it is a means to the end.” (Brown, 2001: 337). After the process writing approach has been done, the writer goes to the second process namely product writing approach by focusing on the example given by the lecturer and compared it with their writing indidually, check their sentences based on the examples and theory given by the lecturer individually, and as the end result of the learning process, students use their skills, structures, and vocabulary to make better or revision to produce better product in grammatically writing.
Research Method The design of this study belongs to a classroom action research. According to Koshy (2007: xii), The main role of action research is to facilitate practitioners to study aspects of practice – whether it is in the context of introducing an innovative idea or in assessing and reflecting on the effectiveness of existing practice, with the view of improving practice.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
119
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
The design of the research follows a model proposed by Kemmis and McTaggart (2000, cited in Koshy, 2007: 4). They propose that action research comprises four stages, namely planning the action, implementing the action, observing the action, and reflecting on the action. In this study, the researcher acted as the teacher/lecturer who implemented the processproduct writing approach to the students. Meanwhile her collaborator acted as an observer who observed the students’ progress during the teaching and learning process. The observation was emphasized on the activities which showed the criteria of success. This research was conducted at STKIP PGRI Jombang. It is located in Jln Pattimura III/20 Jombang in class of 2014 B. Time allotment for the teaching of structure 1 is 2 x 100’ for each meeting. Those time allotments are used for the regular teaching and learning process in the classroom/in its language laboratory. The procedures of this research are adapted from a model proposed by Kemmis and McTaggart (2000, cited in Koshy, 2007: 4). A preliminary study was conducted to know the real condition of the lecturers’ and the students’ problem in the teaching and learning process of English, especially in the teaching and learning process of writing. In addition to asking the students to write, to make sure the researcher about the problems they have, the researchers also administer questionnaires to the students. The result of the analysis on the students’ compositions and questionnaires will be used as a basis for the researcher to prepare the lesson plan. In the first step the researcher and her collaborative lecturer prepared the strategy, the lesson plan, the instruments, the criteria of success, and the introduction session of the strategy. In the teaching and learning process, the teacher-researcher assigned the students to follow the process-product writing approach which comprised four steps, namely prewriting, drafting, revising, and editing in writing grammatically correct. At the prewriting stage, the class activity was designed to guide students to generate, select, and order ideas of the topic given. In generating ideas, Wh-questions plus were utilized. At the drafting stage, the students were directed to put down the generated ideas at the prewriting stage into paper without considering grammar excessively. At the revising stage, the students were led to revise their drafts. The revision was made in terms of content and organization. In doing revision, the students were given revising guidelines. At the editing stage, the students edited their revised drafts by using the editing guidelines. The editing process covered grammar, vocabulary and mechanics (spelling, punctuation, and capitalization). In each stage of the process-product writing approach, the lecturer gave the students examples to make them easier in accomplishing the tasks. Finally, the students had to take a look at the examples of correct writing grammar 1 and made sure that their grammar was definitely correct
Result Table 1. The Analytic Scoring Rubric for the Students’ final compositions Aspect of writing Content
120
5
Final Score 30
Excellent
4
24
Good
3
18
Average
Weighting
Score
30%
Criteria Main ideas stated clearly and accurately. Main ideas stated fairly clearly and accurately. Main ideas somewhat unclear and
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Organization
Vocabulary
Grammar
Mechanics
25%
20%
20%
5%
2 1 5
12 6 25
Poor Very poor Excellent
4
20
Good
3
15
Average
2
10
Poor
1
5
Very poor
5
20
Excellent
4
16
Good
3
12
Average
2
8
Poor
1
4
Very poor
5
20
Excellent
4
16
Good
3 2
12 8
Average Poor
1
4
Very poor
5 4
5 4
Excellent Good
3
3
Average
2
2
Poor
1
1
Very poor
inaccurate. Main ideas not clear and accurate. Main ideas not at all clear and accurate. Well organized and perfectly coherent. Fairly well organized and generally coherent. Loosely organized but main ideas clear, logical but incomplete sequencing. Ideas disconnected, lacks logical sequencing No organization, incoherent. Very effective choice of words and word forms. Effective choice of words and word forms. Adequate choice of words but some misuse of vocabulary and word forms. Limited range, confused use of words and word forms. Very limited range, very poor knowledge of the words and word forms. No errors, full control of complex structure. Almost no errors, good control of structure. Some errors, fair control of structure. Many errors, poor control of structure. Dominated by errors, no control of structure. Mastery of spelling and punctuation. Few errors in spelling and punctuation. Fair number of spelling and punctuation errors. Frequent errors in spelling and punctuation. No control over spelling and punctuation.
The adaptation is made in terms of giving different weighting to each aspect of writing. The weighting is based on Jacobs et al (1981 in Weigle, 2002: 116) scoring profile. Cohen’s analytic scoring rubric provides feedback to the students on what aspects of writing they are good or poor. For the lecturer, the rubric supplies information on specific aspects of the students’ writing for planning instruction. The criteria of success play significant roles in this research study. They show the researcher what kind of data should be collected and when to stop the study. Furthermore, they provide the evidence of the strength of the strategy utilized in this study. This action research is considered to be successful if it meets the following criteria. (1) 80% of the students’ final compositions obtain a final score of 70 in the analytic scoring rubric.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
121
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Table 2. The Description of the Criteria of Success No
1
Criteria of Success
Data
80% of the students’ final compositions obtain a final score of 70 in the analytic scoring rubric.
The students’ final products after the implementation of the processproduct writing approach
Sources of Data The students’ final products
Instruments Portfolios
Procedures of Data Collection Collecting the students’ final products after the implementation of the approach complete
Tompkins (1994, cited in Kalesu, 2005) suggests that the introduction session be started by explaining the process-product approach, describing and demonstrating each stage to make it clearer for the students to follow, and guiding students as they develop several brief compositions to experience the writing process and focus on the correct grammar. The introduction session is done in two meetings. In the first meeting, the students learn the prewriting and the drafting stages. The first round of the implementation of the process-product writing approach in teaching grammar to the students. Then, it will be followed by the discussion and reflection of what have been done in the classroom during the implementation of the approach. In the implementation of the process-product writing approach, the researcher acted as the practitioners who carried out the teaching and learning process. (1) Prewriting The lecturer explained the objectives of the lesson to be achieved by the students. Then, she delivered a number of questions concerning the topic orally to activate the students’ background knowledge on the topic discussed. Next, the lecturer gave a model on how to generate, select, and order ideas. She asked them to do prewriting activity on a topic given. (2) Drafting The lecturer gave the students a model of how to make a rough draft based on the generated ideas in prewriting stage. Then, she asked the students to write their own rough drafts based on the ordered ideas at the prewriting stage. (3) Revising Before asking the students to revise their drafts, the lecturer equipped students with a model of a rough draft and revision guidelines for helping them revise their drafts. She guided them working on step-by-step revision. She first asked the students to check the sample draft whether it contained a topic sentence or not. Then, she asked them to identify all supporting details whether they refered to topic sentence or not. Finally, she asked them to arrange the details logically. After discussing the sample draft, the lecturer asked the students to revise their drafts by using the revising guidelines. (4) Editing After telling the students that they were going to edit their revised rough drafts, she gave the students a model of a revised rough draft and editing guidelines. She provided them a model of a revised rough draft and editing guidelines for leading them to work on editing drafts. She asked them to check the sample of a revised draft whether or not the spelling of each word, the capitalization, and the punctuation are correct. After having discussion on the model of revised draft, the lecturer asks the students to do editing activities by employing the editing guidelines. In the product assessment, the students must be able to imitate the correct pattern. 122
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Observing the action is the process of recording and collecting data about any aspects or events referring to the criteria of success that take place in the teaching and learning process. Observation on the implementation of the process-product writing approach takes into account two important aspects: data and data sources and research instruments and procedure of data collection. Considering the criteria of success, the researcher employed qualitative and quantitative data. Qualitative data are the results of (1) the observation and field notes about any activities of the students which show the criteria of success, (2) questionnaires about the students’ responses to the implementation of the process-product writing approach; and (3) portfolios of the students’ work at each stage of the process-product writing approach. While quantitative data is obtained from the result of the students’ final compositions which are collected after each round of the implementation of the process-product writing approach completed. To collect the data, there are four kinds of research instruments the researcher develops such as observation checklist, field notes, portfolios, and questionnaire. The data on the students’ progress at each stage of the process-product writing approach which is obtained through observation checklist, field notes, and portfolios will be analyzed qualitatively. It means that the data will be elaborated in words than in numbers. It happens also to the data on the students’ response to the implementation of the process writing approach which will be obtained through questionnaire. Then the data on the students’ final products will be analyzed by using the analytic scoring rubric determined. Reflection is intended to evaluate the effect of the action that has been carried out to the students’ ability in writing recount texts. For this reason, the result of the data analysis will be checked against the criteria of success predetermined to draw a conclusion. If all the criteria of success have been fulfilled, the action is stopped and if one of the criteria of success is not yet met, the study is continued to the next cycle by revising and improving the plan. The revision and improvement is focused on the relevant criteria which are not yet met in the first cycle. In order to know whether or not the implementation of the action plan in cycle 1 was successful, both the researcher and her collaborator did the observation, and then analyzed the data taken from the observation checklist, field notes, and students’ final writing. The analysis was focused on the result of the teaching and learning grammar through process-product writing approach. From the students’ side, it was found that most students were active involved in the writing process. It was proved by the result of the observation checklist that total point earned 30 out of 32 possible or 93.75% of the students were actively involved during teaching and learning process. Furthermore, the students felt relax and happy during the process of teaching and learning. From the lecturer’s side, she had good performance in conducting the teaching learning process in the classroom. She did all of the activities that had been planned in all the stages of process-product writing approach well. Consequently, the process of teaching and learning ran smoothly in each stage of the process-product writing approach. In addition, she was also patient in guiding the students through all the stages. The analysis was concerned with the subjects’ competence in every stage of using the process writing approach. The result of the observation on the subjects’ improvement in the writing process in cycle 1 could be seen in table below.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
123
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
No
Stages
1
Prewriting
2
Drafting
3
Revising
4
Editing
5
Imitating Checking
Demonstrated Competence
and
Explore, select, and ordering ideas to make an outline Write a rough draft as a development of the outline Rewrite the draft as the lecturer suggested Identify the mechanical and grammar errors Imitate and recheck based on the basic pattern (focus on grammar only)
Level of Achievement Good Fair Poor 75%
4%
21%
75%
8%
17%
79%
8%
13%
83%
13%
4%
83%
14%
3%
The analytical scoring rubric on the subjects’ product was adapted from Berhman (2003) as seen in the table below. Component of writing Content Organization Vocabulary Grammar Mechanics
Excellent Pre-test Cycle 1 (%) (%) 79 83 92 96 88
Good Pre-test Cycle 1 (%) (%) 54 50 -
Fair Pre-test Cycle 1 (%) (%) 29 29 38 -
Poor Pre-test Cycle 1 (%) (%) -
Conclusions Based on the findings, it can be concluded that the process-product writing approach could improve the students’ ability in grammar. 83% of the students could master the process of editing (process approach) and 96% of the students are excellent at grammar (product approach
References Brown, H.D. 2001. Teaching by Principles: An Interactive Approach to Language Pedagogy. (2nd Ed). White Plains, NY: Addison Wesley Longman. Berhman, C.H. 2003. Ready to Use : Writing Proficiency Lesson & Activities. San Fransisco: John Wiley & Sons. Cahyono, B. Y. 2001. Second Language Writing and Rhetoric: Research Studie in the Indonesian Context. Malang: State University of Malang Press. Calderonello, A.H. & Edwards Jr, B.L. 1986. Roughdrafts: The Process of Writing. Boston, MA: Houghton Mifflin Company. Christenson, T.A. 2002. Supporting Struggling Writers in the Elementary Classroom. Newark, DE: International Reading Association. Gebhard, J.G. 2000. Teaching English as a Foreign or Second Language: A Teacher Selfdevelopment and Methodology Guide. Ann Arbor, USA: The University of Michigan Press. Huda, N. 2004. Peningkatan Penguasaan Bahasa Inggris untuk Menghadapi Globalisasi [Improving English Mastery to Face Globalization]. Kumpulan Artikel: Lustrum ke-10 Universitas Negeri Malang. Malang: Universitas Negeri Malang. Kalesu, A. 2005. Implementing the Process Writing Approach to Develop the Writing Ability of the Third Year Students of SMP 9 Palu. Unpublished Thesis. Malang: Graduate Program State University of Malang. Koshy, V. 2007. Action Research for Improving Practice: A Practical Guide. London: Paul Chapman Publishing.
124
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Nunan, D. 1999. Second Language Teaching and Learning. Boston: Heinle & Heinle. Raimes, A. 1983. Techniques in Teaching Writing. New York: Oxford University Press. Seow, Anthony.2001. The Writing Process and Process Writing. In J.C. Richards & W.A. Renandya,. 2001. Methodology in Language Teaching: An Anthology of Current Practice. Cambridge: Cambridge University Press. Smalley, R.L., Ruetten, M.K., & Kozyrev, J.R. 2001. Refining Composition Skills: Rhetoric and Grammar. (5th Ed). Boston, MA: Heinle & Heinle. Weigle, Sara Cushing. (2002). Assessing writing. Cambridge: Cambridge University Press Widiati, U & Cahyono, B. Y. 2006. The Teaching of EFL Writing in the Indonesian Context: The State of the Art. Jurnal Ilmu Pendidikan, 13(3): 139-150. Widiati, U. 2004. Approaches to Teaching Writing in the ESL Context. Kumpulan Artikel: Lustrum ke-10 Universitas Negeri Malang. Malang: Universitas Negeri Malang.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
125
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Proses Konstruksi Mahasiswa Calon Guru dalam Membuat Strategi Penyelesaian Masalah Pembagian Bilangan Pecahan Esty Saraswati Nur Hartiningrum 9 ([emailprotected]) Lia Budi Tristanti 9 ([emailprotected]) Edy Setiyo Utomo 9 ([emailprotected]) Abstract Problem solving the issue of dividing fractions, teachers often explain the cross-product strategy. This strategy is efficient and profitable is widely applicable in all contexts and domains. However, this strategy does not match the mental operations involved in building strategies and less meaningful in certain situations. In the cross-product strategy, fractional division is often understood without meaning. Preservice would eventually become a teacher, where teachers are influential in the process of student activities in the uses strategies to solve math problems. Hence the need for a study of the construction process of candidates for Master's students in making the division problem-solving strategies fractions. The strategy is constructed of non-traditional strategies are not cross product. However, non-traditional strategies should be in conformity with the concept of division, especially division of fractions. The strategy is constructed of preservice in problem solving division of fractions is flipped and multiplying Strategy, the strategy of using decimal, divide the numerator and denominator strategy, the common denominator strategies, strategies for reducing repetitive, recurrent summation strategy and strategy using algebraic manipulation Keywords: Construction Process , Strategies , Division of Numbers Fractions Abstrak Menyelesaikan masalah pembagian bilangan pecahan, guru sering menjelaskan mengenai strategi perkalian silang. Strategi ini menguntungkan yaitu efisien dan secara luas berlaku di seluruh konteks dan domain. Namun strategi ini tidak cocok dengan operasi mental yang terlibat dalam membangun strategi dan kurang bermakna dalam situasi tertentu. Dalam strategi perkalian silang, pembagian pecahan sering dipahami tanpa makna. Mahasiswa calon guru ini nantinya akan menjadi seorang guru, dimana guru berpengaruh dalam proses kegiatan siswa dalam menggunaan strategi untuk menyelesaikan masalah matematika. Oleh karena itu perlu adanya suatu penelitian tentang proses konstruksi mahasiswa calon guru dalam membuat strategi penyelesaian masalah pembagian bilangan pecahan. Strategi yang dikonstruksi bukanlah strategi non tradisional yaitu perkalian silang. Meskipun demikian, strategi non tradisional tersebut harus sesuai dengan konsep pembagian khususnya pembagian pecahan. Strategi yang dikonstruksi mahasiswa dalam menyelesaikan masalah pembagian pecahan adalah Startegi membalik dan mengalikan, strategi penggunaan desimal, strategi membagi pembilang dan penyebut, strategi penyebut umum, strategi pengurangan berulang, strategi penjumlahan berulang dan startegi menggunakan manipulasi aljabar. Kata Kunci: Proses Konstruksi, Strategi, Pembagian Bilangan Pecahan
Pendahuluan Matematika timbul karena pikiran-pikiran manusia, yang berhubungan dengan ide, proses dan penalaran (Russeffendi, 2006: 260). Matematika terbentuk dari pengalaman manusia dalam dunianya secara empiris. Kemudian pengalaman itu diproses di dalam dunia rasio, diolah secara analisis dengan penalaran di dalam struktur kognitif sehingga sampai terbentuk konsep-konsep matematika supaya konsep-konsep matematika yang terbentuk itu mudah dipahami oleh orang lain dan dapat dimanipulasi secara tepat, maka digunakan bahasa matematika atau notasi 9
Dosen Prodi Pendidikan Matematika STKIP PGRI Jombang
126
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
matematika yang bernilai global (universal). Konsep matematika didapat karena proses berpikir, karena itu logika adalah dasar terbentuknya matematika. Dapat dikatakan bahwa matematika merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari struktur yang abstrak dan pola hubungan yang ada didalamnya. Pecahan adalah bagian dari konsep matematika. Yim (2009) menyatakan pembagian dengan bilangan pecahan memberikan siswa berkesempatan untuk merenungkan makna perkalian dengan bilangan pecahan dan pembagian dengan bilangan bulat, konsep pecahan yang senilai, dan konsep timbal balik, yang berkaitan dengan satu sama lain. Pembagian bilangan pecahan merupakan suatu konsep yang menarik karena hasilbagi pada pembagian bilangan asli itu lebih kecil dari deviden namun hasil bagi pada pembagian bilangan pecahan itu lebih besar dari deviden. Geller (dalam Walle, 2010) menyatakan seorang guru harus merangsang siswa untuk membuat strategi sendiri dalam menyelesaikan soal. Oleh karena itu sebelum guru merangsang siswanya untuk membuat strategi sendiri dalam menyelesaikan soal, seorang guru juga harus berpikir bagaimana dia membuat strategi sendiri dalam menyelesaikan soal. Tujuan dari observasi ini adalah melihat bagaimana calon guru menyelesaikan soal pembagian bilangan pecahan, dan bagaimana mereka mengkonstruk strategi untuk menyelesaikan soal tersebut.Strategi pembagian bilangan pecahan yang dikembangkan oleh beberapa penelitian dalam proses pembelajaran dalam kelas disajikan dalam Tabel 1 berikut Tabel 1. Strategi Penyelesaian Soal Pembagian Bilangan Pecahan Arti Pembagian Pembagian sebagai kebalikan dari perkalian Pembagian sebagai pengukuran
Strategi
Pembagian sebagai pengukuran
Strategi pengulangan pembagian
Pembagian sebagai pengukuran
Strategi penggunaan desimal
Pembagian sebagai determinan dari tingkat satuan Pembagian sebagai kebalikan
Menggunakan tingkat satuan
Contoh (b, c, d 0)
Membalik dan mengalikan
Strategi penyebut umum (Warrington 1997)
Kamu dapat mereduksi/mengurangi
sebanyak 8 kali dari 6 (Schifter
et al. 1999)
(Carpenter et al. 1981)
Sinicrope et al. (2002) Menggunakan hukum distributif
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
127
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Arti Pembagian dari perkalian
Strategi
Pembagian sebagai dari kebalian produk kartesian Pembagian sebagai determinan dari tingkat satuan
Strategi membagi pembilang dan penyebut
Contoh (b, c, d 0)
Wearne and Hiebert (1988)
Pembagian sebagai determinan dari tingkat satuan Pembagian sebagai determinan dari tingkat satuan
Strategi mengalikan dengan penyebut dan membagi dengan pembilang dari pembagi Strategi Mengubah pembagi menjadi 1 Strategi Mengubah deviden menjadi 1
(Ashlock 1986; Ma 1999; Tirosh 2000)
. (Yim, 2009)
. (Yim, 2009)
(Yim, 2009)
Penelitian-penelitian tersebut dilakukan di negara dengan kondisi dan budaya yang berbeda di Indonesia. Dari penelitian-penelitian yang sudah ada, belum ada penelitian yang merumuskan proses konstruksi mahasiswa calon gutu dalam membuat strategi penyelesaian masalah pembagian bilangan pecahan. Oleh karena itu, Peneliti bermaksud melakukan penelitian untuk mendeskripsikan proses konstruksi mahasiswa calon guru dalam membuat strategi penyelesaian masalah pembagian bilangan pecahan.
Metode Penelitian Penelitian ini tergolong penelitian kualitatif dan lokasi yang dipilih pada penelitian ini adalah Program Studi Pendidikan Matematika Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Persatuan Guru Republik Indonesia (STKIP PGRI) Jombang. Pengambilan subjek penelitian ini dipilih berdasarkan strategi penyelesaian masalah pembagian pecahan yang bukan strategi tradisional formal. Instrumen dalam penelitian ini ada dua macam, yaitu instrumen utama dan instrumen bantu. Instrumen utama adalah peneliti sendiri, karena peneliti sendiri yang berhubungan dengan subjek penelitian dan tidak dapat diwakilkan, sedangkan instrumen pendukung ada 2 macam, yaitu: tugas penyelesaian masalah pembagian pecahan dan pedoman wawancara. Soal yang digunakan peneliti adalah:
128
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Linda mempunyai
meter bahan pakaian yang akan digunakan untuk
membuat baju anak-anak. Setiap pola baju membutuhkan
meter bahan.
Berapa banyak baju yang bisa dibuat dari bahan pakaian yang dia miliki? Pengumpulan data penelitian dimulai dengan pemberian soal kepada para subjek. Subjek diminta untuk menyelesaikan soal. Hasil pekerjaan subjek kemudian dianalisis untuk melihat gambaran proses konstruksi strategi penyelesaian masalah pembagian pecahan yang ditampilkan melalui wawancara. Hasil wawancara kemudian ditranskip dan digabung dengan hasil pekerjaan tertulis subjek. Gambaran proses konstruksi strategi yang diungkap melalui penelitian ini mengacu pada penyelesaian soal.
Hasil Penelitian dan Pembahasan Ketika subjek diberikan suatu tugas pemecahan masalah. Subjek memaparkan bahwa pokok permasalahannya adalah membagi bahan kain sebesar
dengan
karena bahan kain
tersebut akan dibuat baju dan setiap baju membutuhkan
bahan kain. Sehingga subjek
menggunakan pembagian bilangan pecahan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Namun strategi pembagian bilangan pecahan dari subjek tersebut yang berbeda dengan strategi formal tradisional. Pemaparan strategi yang digunakan oleh subjek adalah sebagai berikut: Strategi formal tradisional. Subjek merubah bilangan pecahan campuran terlebih dahulu menjadi bilangan pecahan, baru menyelesaikannya dengan operasi pembagian bilangan pecahan. Merubah dengan cara 4 dikalikan 3 kemudian ditambah 2 dan merubah
menjadi
,
menjadi , dengan cara 1
dikalikan 6 kemudian ditambah 1, sehingga permasalahannya berubah menjadi
.
Strategi formal tradisonal yaitu pembagi bilangan pecahan itu dibalik kemudian dikalikan. Alasan Subjek menggunakan strategi ini karena saat di sekolah dulu dia diajarkan seperti itu dan dia tidak mengetahui alasan mengapa membalik dan mengalikan. Namun subjek yakin bahwa strategi yang dia gunakan tersebut adalah benar karena berdasarkan pengalaman dalam menyelesaikan masalah Subjek.
Gambar 1. Strategi Formal Tradisional yang Dikonstruk oleh Subjek Subjek membuat bentuk umum dari strategi tersebut yaitu
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
129
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Gambar 2. Bentuk Umum Strategi Formal Tradisonal
Strategi 1. Strategi pembagian yang pertama digunakan oleh Subjek adalah menggubah setiap bilangan pecahan menjadi desimal kemudia membaginya. Alasan Subjek menggunakan strategi ini adalah karena dia berpikir bahwa penyebut adalah pembagi dari pembilang, dengan membagi 14 dengan 3 yaitu 14 3 = 4.66 dan
itu sama
itu sama dengan membagi 7 dengan 6
yaitu 7 6 = 1.66. Selanjutnya membagi 4.66 dengan 1.66, 4.66 1.66 = 4 (Lihat Gambar 3). Subjek menyadari bahwa strategi ini kurang efektif ketika seseorang tidak memahami konsep operasi bilangan desimal yaitu letak titik (Pada umumnya di Indonesia menggunakan istilah “koma”) dan tidak semua bilangan pecahan dapat direpresentasikan dalam bentuk desimal misal bentuk desimal ini tidak berakhir jadi hasilnya itu pendekatan bukan hasil pasti. Misal
, jika diselesaikan dengan menggunakan srategi ini (menunjukkan strategi I) maka
hasilnya adalah 5, nilai 5 ini adalah hasil pastinya. Jika didapat nilai pendekatan. (menggunakan
3
angka
dirubah ke bentuk desimal maka
(menggunakan 3 angka desimal) dan desimal),
sehingga
(menggunakan 3 angka desimal). Nilai 4.997 merupakan nilai pendekatan sehingga ada kesalahan dari nilai pendekatan itu. “Itu akan menimbulkan banyak permasalahan” ungkap Subjek. Subjek mengungkapkan bahwa sebelumnya ia belum pernah menggunakan strategi ini karena sebelumnya ia tidak pernah menemukan strategi ini ketika membaca buku atau sumber yang lain. Namun biasanya hanya merubah bentuk pecahan menjadi desimal, bukan menyelesaikan pembagian bilangan pecahan dengan merubah ke desimal terlebih dahulu. Oleh karena itu, “saya menggunakan ide merubah pecahan ke desimal untuk menyelesaikan masalah ini” ungkap Subjek.
Gambar 3. Strategi 1 yang dikonstruksi oleh Subjek
Strategi 2. Strategi pembagian kedua yang digunakan oleh Subjek adalah membagi 4 dengan 1 hasilnya 4 dan membagi dengan hasilnya 4 (lihat Gambar 4). Namun Subjek tidak bisa meyakini strategi dapat digunakan dengan baik karena ketika ada masalah lain yaitu
130
.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Gambar 4. Strategi 2 yang dikonstuksi oleh Subjek
Strategi 3. Strategi pembagian ketiga yang digunakan Subjek adalah membagi penyebut dengan penyebut dan membagi pembilag dengan pembilang (seperti aturan dalam perkalian bilangan pecahan).
(Lihat Gambar 5). Subjek yakin jika strategi ini dapat
digunakan untuk menyelesaikan masalah pembagian pecahan secara umum dengan cara mencoba beberapa contoh pembagian bilangan pecahan. Subjek mengungkapkan bahwa sebelumnya ia belum pernah menggunakan strategi ini karena sebelumnya ia tidak pernah menemukan strategi ini ketika membaca buku atau sumber yang lain.
Gambar 5. Strategi 3 yang dikonstruksi oleh Subjek
Strategi 4. Strategi pembagian yang keempat adalah kedua pecahan tersebut diubah menjadi bilangan bulat dengan cara membagi dengan penyebut dari masing-masing pecahan (lihat Gambar 6).
Gambar 6. Strategi 4 yang dikonstruksi oleh Subjek Saat subjek mendapatkan ide ini, dia langsung terinspirasi dengan bentuk umum dari pembagian bilangan pecahan (lihat Gambar 7). Dia sangat senang ketika dapat menemukan ide untuk alasan dari strategi formal tradisional. kedua bilangan pecahan dikalikan dengan b (penyebut dari pecahan I) kedua bilangan pecahan dikalikan dengan d (penyebut dari pecahan II) merubah dalam bentuk bilangan pecahan pembagi itu sama dengan penyebut dalam bilangan pecahan
Gambar 7. Bentuk Umum Strategi Formal Tradisional yang dikonstruksi oleh Subjek Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
131
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Subjek II. Subjek merubah bilangan pecahan campuran terlebih dahulu menjadi bilangan pecahan, baru menyelesaikannya dengan operasi pembagian bilangan pecahan. Merubah menjadi , dengan cara 4 dikalikan 3 kemudian ditambah 2 kemudian dikalikan dengan Merubah
menjadi
hasilnya
.
, dengan cara 1 dikalikan 6 kemudian ditambah 1, sehingga
permasalahannya berubah menjadi
.
Strategi pembagian pertama yang digunakan Subjek II adalah membalik dan mengalikan, yaitu pembagi bilangan pecahan itu dibalik kemudian dikalikan
.
Alasan subjek II menggunakan strategi ini karena saat di sekolah dulu dia diajarkan oleh guru seperti itu dan dia tidak mengetahui alasan mengapa membalik dan mengalikan. Subjek II yakin bahwa strategi yang dia gunakan adalah benar karena berdasarkan pengalaman dalam menyelesaikan masalah pembagian bilangan pecahan. Subjek II juga membuat bentuk umum dari strategi ini yaitu
(lihat Gambar 8).
Gambar 8. Strategi 1 yang dikonstruksi oleh Subjek II
Strategi pembagian kedua yang digunakan oleh subjek II adalah pengurangan berulang. Subjek II mendapatkan ide ini dari konsep dasar dari operasi pembagian adalah pengurangan berulang sampai hasilnya 0. , sehinggga , 4 diperoleh dari banyaknya mengurangi sampai hasilnya 0 (lihat Gambar 9). Subjek II mengungkapkan ia akan mengalami kesulitan jika hasilnya adalah bukan bilangan bulat, misalnya . Sehingga Subjek II menyimpulkan strategi ini dapat digunakan untuk pembagian bilangan pecahan dengan hasil bilangan bulat. Bentuk umum dari strategi ini adalah . Hasil baginya adalah n, mengurangi dengan bilangan yang sama yaitu kali sampai hasilnya 0 (lihat Gambar 10).
sebanyak n
Gambar 9. Strategi 2 yang dikonstruksi oleh Subjek II
Gambar 10. Bentuk Umum Strategi 2 yang Dikonstruksi oleh Subjek II 132
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Strategi pembagian ketiga yang digunakan oleh subjek II adalah penjumlahan berulang. Subjek II mendapatkan ide ini dari konsep dasar dari operasi perkalian adalah penjumlahan berulang sampai hasilnya bilangan yang akan dibagi. itu artinya mencari banyaknya
sampai didapat
yaitu
,
sehinggga , 4 diperoleh dari banyaknya sampai hasilnya (Lihat Gambar 11). Seperti halnya strategi pengurangan berulang, Subjek II mengungkapkan ia akan mengalami kesulitan jika hasilnya adalah bukan bilangan bulat. Misalnya , kita harus menjumlahkan beberapa
sampai hasilnya . Hal tersebut tidak pernya kita
dapatkan, . Sehingga Subjek II menyimpulkan strategi ini dapat digunakan untuk pembagian bilangan pecahan dengan hasil bilangan bulat. Subjek II juga menuliskan bentuk umum dari strategi ini yaitu . Hasil baginya adalah n, menjumlahkan
dengan bilangan yang sama sebanyak n kali
sampai hasilnya (lihat Gambar 12).
Gambar 11. Strategi 3 yang Dikonstruksi oleh Subjek II
Gambar 12. Bentuk Umum Strategi 3 yang dikonstruksi oleh subjek II Strategi pembagian keempat adalah kedua bilangan dikalikan penyebut pecahan. (lihat Gambar 13). Subjek II menuliskan bentuk umum dari strategi ini yaitu (lihat Gambar 14): kedua bilangan pecahan dikalikan dengan b (penyebut dari pecahan I) menggunakan sifat invers b dalam perkalian
kedua bilangan pecahan dikalikan dengan d (penyebut dari pecahan II) pembagi itu sama dengan penyebut dalam bilangan pecahan sehingga akan ditemukan seperti strategi I. Subjek menemukan alasan/ asal mula didapatkan algoritma tersebut.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
133
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Gambar 13. Strategi 4 yang Dikonstruksi oleh Subjek II
Gambar 14. Bentuk Umum dari Strategi 4 yang Dikonstruksi oleh Subjek II
Pada saat menuliskan bentuk umum dari Strategi 4 ini, subjek II langsung ini mengungkapkan bahwa ia telah menemukan alasan dari algoritma membalik dan mengalikan. Subjek II : “ini seperti bentuk umum dari strategi yang pertama tadi, sekarang saya tahu alasan kenapa pembagian bilangan pecahan itu harus dibalik dan dikali” Pengamat : “Dari mana kamu bisa mengetahui alasan itu?” Subjek II : “Dari ini tadi (sambil menunjukkan hasil kerjanya), kedua pecahan dikalikan dengan masing-masing penyebut” Pengamat : “Kenapa harus dikalikan dengan masing-masing penyebut?” Subjek II : “agar pecahan ini menjadi bilangan bulat, sehingga muda dibaginya” Pengamat : “Apakah harus dikalikan dengan masing-masing penyebut pecahan itu?” Subjek II : “Ya.... emmmmmm (bergumam sambil berpikir beberapa menit) Pengamat : “Apa kamu sedang berpikir? Memikirkan apa?” Subjek II : “sepertinya tidak harus dikalikan dengan penyebut pecahan” Pengamat : “Trus dikalikan dengan apa?” Subjek II : “sebentar (terdiam beberapa menit), bisa juga dikalikan dengan kebalikan dari bilangan pecahan ini (menunjukkan pembagi bilangan pecahan)”
Pada saat subjek menjelaskan bentuk umum dari strategi keempat ini, dia mendapatkan ide lagi untuk alasan dari algoritma pembagian yaitu membalik dan mengalikan (lihat Gambar 15). kedua bilangan pecahan dikalikan dengan invert dari
(pembagi bilangan pecahan)
menggunakan sifat invers dalam perkaliann
134
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
sifat dari pembagi 1 yaitu a 1 = a
Gambar 15. Bentuk Umum dari Strategi 5 yang Dikonstruksi oleh Subjek II
Strategi keenam yang dikonstruksi oleh subjek II adalah membagi penyebut dengan penyebut dan membagi pembilang dengan pembilang (seperti aturan dalam perkalian bilangan pecahan). . Subjek mengungkapkan bahwa sebelumnya ia belum pernah menggunakan strategi ini karena sebelumnya ia tidak pernah menemukan strategi ini ketika membaca buku atau sumber yang lain. Namun, Subjek II yakin jika strategi ini dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah pembagian pecahan secara umum karena
Gambar 16. Strategi 6 yang Dikonstruksi oleh Subjek II
Hasil mengkonstruksi subjek dalam strategi menyelesaikan masalah pembagian pecahan disajikan dalam Tabel 2. Tabel 2. Strategi Penyelesaian Soal Pembagian Bilangan Pecahan Strategi Membalik dan Mengalikan
Karakteristik a) Strategi formal yang dianggap sebagai cara yang lebih umum untuk membagi bilangan pecahan b) Membangun pengetahuan perkalian dan pembagian
Contoh (b, c, d 0)
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
135
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Strategi Strategi penggunaan desimal
Strategi membagi pembilang dan penyebut
Strategi penyebut umum
136
Karakteristik bilangan asli a) Strategi informal yang dibangun berdasarkan pengetahuan tentang hubungan pecahan dan desimal b) Mengkonver si semua pecahan menjadi bilangan desimal c) Mnggunakan operasi pembagian bilangan desimal d) Strategi ini kurang efektif ketika bentuk desimal ini tidak berakhir jadi hasilnya itu pendekatan bukan hasil pasti Srategi informal dengan membagi penyebut dengan penyebut dan membagi pembilang dengan pembilang a) Membangun pengetahuan dari pembagian bilangan bulat dan pecahan yang ekuivalen b) Mengalikan dengan penyebut deviden dan mengalikan
Contoh (b, c, d 0)
Kurang efektif untuk soal
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Strategi
Strategi pengurangan berulang
Strategi penjumlahan berulang
Karakteristik dengan penyebut pembagi c) Mengkonver si bilangan pecahan menjadi bilangan bulat d) Menggunaka n pembagian bilangan bulat e) Memberikan alasan untuk algoritma membalik dan mengkalikan a) Strategi informal yang dibangun berdasarkan pengetahuan tentang pembagian bilangan bulat dari pengurangan berulang b) Mengurangi Deviden dengan bilangan yang sama (pembagi) c) Kurang efektif jika hasil baginya bukan bilangan bulat a) Strategi informal yang dibangun berdasarkan pengetahuan tentang invers pembagian adalah perkalian, dimana
Contoh (b, c, d 0)
. Hasil baginya adalah n, mengurangi
dengan bilangan yang sama yaitu
sebanyak n kali
sampai hasilnya 0
. Hasil baginya adalah n, menjumlahkan
dengan bilangan yang sama sebanyak n kali sampai
hasilnya
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
137
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Strategi
Karakteristik perkalian itu adalah penjumlahan berulang b) Menjumlaha n Pembagi sampai didapatkan jumlah dari deviden c) Kurang efektif jika hasil baginya bukan bilangan bulat Menggunakan a) Strategi manipulasi formal yang aljabar menuntut siswa untuk memanipulas i bilangan pecahan b) Mengubah deviden = 1, dengan cara mengalikan dengan invers dari penyebut dari deviden dan mengalikan dengan invers dari pembilang deviden c) Memberikan alasan untuk algoritma membalik dan mengkalikan Menggunakan a) Strategi manipulasi formal yang aljabar menuntut siswa untuk memanipulas i bilangan pecahan b) Mengubah deviden = 1, dengan cara mengalikan dengan
138
Contoh (b, c, d 0)
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Strategi
Karakteristik invers dari pembilang deviden dan mengalikan dengan invers dari penyebut dari deviden c) Memberikan alasan untuk algoritma membalik dan mengkalikan Menggunakan a) Strategi manipulasi formal yang aljabar menuntut siswa untuk memanipulas i bilangan pecahan b) Mengubah pecahan kedua (pembagi) menjadi 1 yaitu mengalikan dengan invers dari pembilang pembagi dan mengalikan dengan invers dari penyebut dari pembagi c) Memberikan alasan untuk algoritma membalik dan mengkalikan Menggunakan a) Strategi manipulasi formal yang aljabar menuntut siswa untuk memanipulas i bilangan pecahan b) Mengubah pecahan kedua (pembagi) menjadi 1
Contoh (b, c, d 0)
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
139
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Strategi
Karakteristik yaitu mengalikan dengan invers dari penyebut dari pembagidan mengalikan dengan invers dari pembilang pembagi c) Memberikan alasan untuk algoritma membalik dan mengkalikan Menggunakan a) Strategi manipulasi formal yang aljabar menuntut siswa untuk memanipulas i bilangan pecahan b) Mengubah deviden = 1 dengan cara kedua pecahan dikalikan dengan invers dari deviden c) Memberikan alasan untuk algoritma membalik dan mengkalikan
Contoh (b, c, d 0)
=
Simpulan Berdasarkan pembahasan hasil penelitian ditarik kesimpulan bahwa subjek mengkonstruksi berbagai strategi dalam menyelesaikan masalah pembagian pecahan. Subjek tidak hanya menggunakan strategi formal tradisional, namun subjek juga dapat mengkonstruk sendiri strategi formal tradisional tersebut yaitu melalui manipulasi aljabar. Selain strategi formal tradisional, subjek juga mengkontruk berbagai strategi penyelesaian masalah pembagian, yaitu strategi penggunaan desimal, strategi membagi pembilang dan penyebut pecahan kedua dan strategi penyebut umum.
140
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Saran Berdasarkan simpulan di atas, maka disarankan untuk penelitian selanjutnya adalah sebagai berikut: a. Mendalami proses berpikir mahasiswa calon guru dalam mengkonstruksi strategi menyelesaian masalah pembagian b. Mendalami penerapan strategi menyelesaikan masalah pembagian dalam proses pembelajara
Daftar Pustaka Ashlock, R. B. 1986. Error patterns in computation: a semi-programmed approach (4th ed.). Columbus, OH: Charles E. Merrill Publishing Company. Russefendi, E.T.2006. Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya Dalam Pengajaran Matematika Untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito. Santrock, John W. 2011. Educational psychology. McGraw-Hil: New York. Sinicrope, R., Mick, H., & Kolb, J. 2002. Fraction division interpretations. In B. Litwiller & G. Bright (Eds.), Making sense of fractions, rations, and proportions: 2002 Year Book (pp. 153–161). Reston, VA: National Council of Teachers of Mathematics. Walle, John A Van De. 2002. Matematika Sekolah Dasar dan Menengah, Pengembangan Pengajaran. Erlangga: Jakarta. Warrington, M. 1997. How Children Think about Division with Fractions. Mathematics Teaching in the Middle School, 2(6), 390–397. Wearne, D., & Hiebert, J. 1988. A Cognitive Approach to Meaningful Mathematics Instruction: Testing a Local Theory Using Decimal Numbers. Journal for Research in Mathematics Education, 19, 371–384. Yim, Jaehoon. 2009. Children’s Strategies for Division by Fractions in the Context of the Area of a Rectangle. Educ Stud Math (2010) 73:105–120. DOI 10.1007/s10649-009-9206-0. Springer Science + Business Media B.V. 2009.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
141
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Peningkatan Kompetensi Mengajar Mahasiswa Peer Teaching Program Studi Pendidikan Jasmani dan Kesehatan STKIP PGRI Jombang Melalui Lesson Study Basuki 10 ([emailprotected]) Novita Nur Synthiawati 10 ([emailprotected]) Abstract This study aim to improve the teaching competence of peer teaching student of Physical Education and Health in STKIP PGRI Jombang through lesson study. This study used a class action research design. The form of action was an attempt to improve the competence of peer teaching students through lesson study. The results of this study showed the average at the beginning of the test was 57%, first cycle was 65% and in the second cycles was 72.8% and the third cycle was 88.7%. The conclusion of this study in the first cycle, almost all students still impaired adaption due to students of peer teaching were asked to be more creative and inovative in doing plan, do and see that influenced the competence of peer teaching students. The second cycle, peer teaching students had been able to adapt well, seen most of the students were able to do plan, do and see well and the learning process could be optimized. The third cycle could be seen clearly that the changeover of each student in implementing plan, do, and see were better Keywords: Competence, Peer Teaching Student, Lesson Study Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kompetensi mengajar mahasiswa peer teaching Pendidikan Jasmani dan Kesehatan di STKIP PGRI Jombang melalui lesson study. Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian tindakan kelas (classroom action research). Bentuk tindakan tersebut adalah usaha meningkatkan kompetensi mahasiswa peer teaching melalui lesson study. Hasil penelitian ini diperoleh rata-rata pada tes awal adalah 57%, siklus satu adalah 65% dan di siklus dua adalah 72. 8% dan siklus ketiga adalah 88.7%. Kesimpulan penelitian ini pada siklus pertama, hampir semua mahasiswa masih mengalami gangguan adaptasi karena mahasiswa peer teaching dituntut untuk lebih kreatif dan inovatif dalam melakukan plan, do dan see sehingga berpengaruh terhadap kompetensi mahasiswa peer teaching. Siklus kedua, mahasiswa peer teaching sudah dapat beradaptasi dengan baik, terlihat sebagian besar mahasiswa mampu melakukan plan, do dan see dengan baik dan proses pembelajaran dapat optimal. Dan siklus 3 perubahannya sudah bisa dilihat dengan jelas bahwa masing-masing mahasiswa dalam melaksanakan plan, do, dan see dengan lebih baik lagi. Kata Kunci: Kompetensi, Mahasiswa Peer Teaching, Lesson Study
Pendahuluan Menjadi pendidik tidaklah mudah, banyak tunutan yang harus dikuasai apalagi untuk menjadi pendidik yang profesional. Pemerintah telah menetapkan kompetensi-kompetensi yang wajib dimiliki oleh seorang pendidik. Kompetensi pendidik yang wajib dimiliki antara lain: kompetensi personal, kompetensi professional, kompetensi paedogogik, dan kompetensi social. Kompetensi pendidik yang wajib dimiliki diantaranya adalah: 1) kompetensi personal artinya secara individu seorang pendidik harus sehat jasmani dan rohani dan dapat bertanggungjawab kepada masyarakat dan pemerintah, 2) kompetensi profesional artinya pendidik harus dapat menjalankan pekerjaannya sebagai pendidik sesuai dengan profesinya, 3) kompetensi 1017
Dosen Prodi Pendidikan Jasmani dan Kesehatan STKIP PGRI Jombang
142
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
paedagogik artinya pendidik harus mempunyai kemampuan untuk mengajar dan membimbing anak, dan 4) kompetensi sosial bahwa seorang pendidik harus dapat menghargai peserta didik, bergaul dengan teman sejawat dan berhubungan dengan masyarakat (Suparlan, 2004:126). Selain itu Seorang pendidik juga dituntut mengetahui karakteristik peserta didik, sesuai dengan pendapat Usman, (1990:3) bahwa peserta didik adalah manusia dengan berbagai potensi yang akan berkembang. Berkaitan dengan kompetensi yang wajib dimiliki pendidik, setiap perguruan tinggi baik negeri maupun swasta berusaha menanamkan kompetensi tersebut untuk mengahasilkan calon pendidik yang berkompeten. Banyak cara yang dilakukan perguruan tinggi untuk mengahasilkan mahasiswa yang berkompeten dalam bidangnya terutama bidang pendidikan. Selain memunculkan matakuliah yang bersifat pendidikan, seperti: dasar-dasar pendidikan, perkembangan peserta didik, strategi pembelajaran, belajar dan pembelajaran dan sebagainya. Perguruan tinggi juga masih menyelenggarakan kegiatan micro teaching atau juga dikenal dengan peer teaching dan praktek pendidikan lapangan (PPL) atau Real Teaching yang guna untuk memantapkan dan memperdalam ilmu dalam pendidikan terlebih dalam hal bagaimanakah mahasiswa nantinya mampu mengajar/mendidik dengan baik. Seorang pendidik diharapkan mempunyai keterampilan mengajar dan membimbing peserta didik dengan baik. Tujuan dari pembelajaran dapat tercapai dengan optimal tentunya didukung dari keterampilan pendidik tersebut. Menurut Mosston dan Asworth (1994:6) mengungkapkan ada tiga hal penting yang harus diperhatikan pada setiap kali akan mengajar (setiap kali pertemuan) yang meliputi: sebelum pertemuan (pre-impact), pada saat pertemuan (impact), dan sesudah pertemuan (post impact). Sedangkan menurut lutan (2002:90) secara umum, sistematika pengajaran dibagi menjadi tiga bagian: (a) pendahuluan, berisi tentang membuka kelas, (b) inti, dan (c) penutup (Lutan, 2002:90). Tahap pendahuluan, Syarifudin (1997:16) menyatakan bahwa “pada tahap pendahuluan meliputi: (1) kejelasan informasi, (2) pemberian tugas atau aba-aba, (3) bentuk pengelolaan kelas dengan kejelasan formasi peserta didik dan posisi pendidik, (4) tingkat aktivitas gerak peserta didik, (5) pemanfaatan fasilitas, sarana dan prasarana yang disesuaikan dengan situasi pembelajaran yang berlangsung”. Tahap pendahuluan merupakan fase untuk menyiapkan perhatian peserta didik kepada kegiatan yang akan berlangsung, menyiapkan fisik dan mental peserta didik untuk mengikuti kegiatan pembelajaran inti. Bagian pendahulan diisi dengan kegiatan memusatkan kembali perhatian anak kepada pengajaran, biasanya diawali dengan kegiatan pemanasan berupa rangsangan aktivitas jasmani yang ringan (Lutan, dkk. 2002: 90). Tahap inti, pendidik harus mempunyai gaya mengajar yang baik agar proses pembelajaran dapat diterima oleh peserta didik. Selain itu pendidik juga agar peserta didik tidak bosan dalam melaksanakan aktivitas gerak berulang-ulang dan tidak lama menunggu giliran untuk bergerak. Lutan (2002: 92) berpendapat bahwa dalam bagian ini ada dua tugas utama yang lazim dilakukan oleh pendidik, yakni: (1) penyediaan pengalaman gerak, (2) pelaksanaan pengalaman yang bertujuan untuk mendidik. Tahap ini dapat dikatakan merupakan tahap dimana peserta didik merealisasikan pola gerak menjadi tindak gerak (Syarifudin, 1997: 27). Tahap penutup adalah tahap menutup pelajaran yang dilakukan pendidik untuk mengakhiri kegiatan inti pelajaran. Maksudnya adalah memberikan gambaran menyeluruh tentang apa yang telah dipelajari peserta didik, mengetahui tingkat pencapaian peserta didik, dan tingkat keberhasilan pendidik dalam proses belajar mengajar. Lutan, dkk (2002:93) menyatakan “Pada tahap penutup dapat diberikan penenangan, berupa pemberian tugas ringan”. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
143
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Lutan (1988: 428) mengemukakan “tahap penenangan isinya ialah semacam kegiatan untuk memulihkan kembali kondisi fisik dan psikis peserta didik ke dalam keadaan yang normal. Latihan relaksasi seperti lari pelan, stretching pasif, dan message antar teman, dapat dilakukan untuk memulihkan fungsi fisiologis ke dalam keadaan normal seperti sebelum berlatih”. Pada tahap terakhir ini juga perlu dilakukan semacam tinjauan kembali hasil yang telah dicapai. Pada tahap penutup ini, peran pendidik tidak hanya mengumpulkan peserta didik untuk dibubarkan. Akan tetapi, selain itu juga memberikan semacam pelemasan otot dan pendidik hendaknya memberikan evaluasi atau rangkuman terhadap pembelajaran yang telah dilaksanakan. Berawal dari hal-hal tersebut, mahasiswa perguruan tinggi yang terutama mengambil jalan untuk menjadi pendidik atau calon pendidik harus menguasai kompetensi. Sebenarnya setiap perguruan tinggi pendidikan tentu sudah membekali mahasiswanya dengan bekal yang tergolongan tidak sedikit mulai jenis matakuliah teori yang terkait dengan pendidikan maupun praktek. Sama halnya dengan perguruan tinggi di STKIP PGRI Jombang program studi Pendidikan Jasmani dan Kesehatan yang juga dibekali dengan kegiatan Peer Teaching. Hasil penelitian awal melalui observasi yang dilakukan pada mahasiswa Peer Teaching prodi penjaskes STKIP PGRI Jombang angkatan 2012 diperoleh data sebagai berikut: a) aspek sikap sebesar 64,10% dengan kata lain cukup baik, b) aspek keterampilan mengajar sebesar 48,72% dengan kata lain kurang baik. Berdasarkan data yang diperoleh menunjukkan fakta bahwa untuk mahasiswa Peer Teaching prodi penjaskes sebagian besar belum menunjukkan seorang pendidik yang baik, padahal secara teori dan praktrek sudah diberikan dalam matakuliah. Observasi awal diketahui bahwa rata-rata skor keberhasilan mahasiswa peer teaching memiliki kompetensi sebesar 56,41% dengan taraf keberhasilan termasuk dalam cukup baik. Berdasarkan permasalahan diatas, maka perlu dilakukan penelitian tindakan kelas (PTK) dengan judul “Peningkatan Kompetensi mengajar mahasiswa peer Teaching Program Studi Pendidikan Jasmani dan Kesehatan STKIP PGRI Jombang”.
Metode Penelitian Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan rancangan penelitian tindakan kelas (PTK) atau Classrom Action Research. Rancangan penelitian ini terdiri dari perencanaan, pelaksanaan tindakan, observasi, dan refleksi pada setiap siklusnya, Kristiyanto (2010: 55). Subjek penelitian ini adalah mahasiswa peer teaching prodi Pendidikan Jasmani dan Kesehatan STKIP PGRI Jombang. Jumlah mahasiswa sebanyak 24 orang terdiri dari mahasiswa laki-laki 20, dan mahasiswa perempuan sebanyak 4 orang. Perencanaan adalah sebuah langkah yang awal, yaitu langkah untuk merencanakan tindakan yang telah dipilih untuk memperbaiki keadaan. Pelaksanaan tindakan adalah tahapan untuk melaksanakan hal-hal yang telah direncanakan dalam tahap perencanaan. Observasi adalah tahapan mengamati kejadian yang ada pada saat pelaksanaan tindakan. Refleksi adalah suatu bentuk perenungan yang sangat mendalam dan lengkap atas apa yang telah terjadi. Perencanaan penelitian ini berisi upaya untuk meningkat kompetensi mahasiswa peer teaching. Upaya-upaya inilah yang harus disiapkan untuk mencapai tujuan dalam pembelajaran. Kristiyanto (2010: 55) mengungkap hal-hal yang perlu diperhatikan yaitu: 1) pembuatan skenario pembelajaran, 2) persiapan sarana pembelajaran, 3) persiapan instrumen penelitian untuk pembelajaran, 4) simulasi pelaksanaan tindakan. Selain dengan pembuatan SAP juga 144
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
indikator capaian kompetensi peer teaching. Mahasiswa yang sudah bisa atau dikatakan memiliki kompetensi mengajar adalah mahasiswa peer teaching yang bisa melakukan atau sesuai indikator indikator sebagai berikut: a) sikap, antara lain: (1) keteladanan (2) tanggung jawab (3) semangat (4) komitmen (5) empati), (6) kerjasama, (7) disiplin, b) keterampilan mengajar, antara lain: (1) Menyiapkan Pembelajaran, (2) Membuka Pembelajaran (presensi, lingkup materi, apersepsi, tujuan: KAP), (3) Mengelola Waktu dan Arena Pembelajaran, (4) Mengelola Pemanasan dan Pendinginan, (5) Menempatkan Diri (memposisikan diri di arena pembelajaran), (6) Membuat Perintah, (7) Memonitor Perintah, (8) Memberi Umpan Balik (pengakuan kebenaran/ koreksi), (9) Mencatat Kemajuan Belajar Siswa, (10) Bertanya/Refleksi/ Menggali Pengalaman Belajar Siswa, (11) Menutup Pembelajaran (Apresiasi, tindak lanjut pertemuan, pembiasaan), (12) Mengevaluasi Diri Pada tahap tindakan, peneliti menyakini bahwa pada tahap ini dapat melaksanakan tindakan sesuai perencanaan yang telah dikesepakati dalam SAP. Tindakan penelitian melalui lesson study yang didalamnya meliputi plan, do, see. Tindakan yang diberikan yaitu mahasiswa berperan sebagai guru model dengan bergantian dan ada yang berperan sebagai observer. Plan, mahasiwa melakukan dengan tim. Do, mahasiwa melakukan plan dengan di observasi oleh observer. See, mahasiwa melakakukan refleksi bersama-sama dengan observer. Pada tahap observasi peneliti melakukan observasi terhadap tes yang dilakukan mahasiswa di tiap akhir siklus. Sedangkan pada tahap refleksi, dari data yang diperoleh pada tahap observasi data kemudian dikumpulkan dan dianalisis. Analisis data pada penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Analisis ini dilakukan dengan mendiskripsikan temuan-temuan yang terjadi selama proses pembelajaran berlangsung. Berdasarkan hasil analisis dilakukan refleksi melalui diskusi terfokus yang hasilnya untuk membuat keputusan berlanjut kesiklus selanjutnya atau tidak. Untuk mendiskripsikan data yang diperoleh menggunakan rumus persentanse, Sudijono (2001:40):P = F/N x 100% P = persentase F = frekuensi N = jumlah responden Sebagai patokan terhadap hasil analisis persentase digunakan klasifikasi pada tabel 1 berikut ini: Tabel 1 Persentase Taraf Keberhasilan No Persentase Klasifikasi 1 76%-100% Baik 2 56%-75% Cukup Baik 3 40%-55% Kurang Baik 4 < 40% Tidak Baik (Sumber Arikunto, 1998: 246)
Hasil Penelitian Berdasarkan hasil observasi awal mahasiswa kompetensi peer teaching Prodi Penjaskes STKIP PGRI. Jumlah mahasiswa sebanyak 24 orang terdiri dari mahasiswa laki-laki 20, dan mahasiswa perempuan sebanyak 4 orang. Mahasiswa yang sudah bisa atau memiliki kompetensi dikatakan baik adalah mahasiswa yang bisa melakukan dengan baik dan benar sesuai indikator sebagai berikut: (a) aspek sikap, antara lain: (1) keteladanan (2) tanggung jawab (3) semangat (4) komitmen (5) empati, 6) kerjasama, (7) disiplin, b) keterampilan mengajar, antara lain(1)
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
145
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Menyiapkan Pembelajaran, (2) Membuka Pembelajaran (presensi, lingkup materi, apersepsi, tujuan: KAP), (3) Mengelola Waktu dan Arena Pembelajaran, (4) Mengelola Pemanasan dan Pendinginan, (5) Menempatkan Diri (memposisikan diri di arena pembelajaran), (6) Membuat Perintah, (7) Memonitor Perintah, (8) Memberi Umpan Balik (pengakuan kebenaran/ koreksi), (9) Mencatat Kemajuan Belajar Siswa, (10) Bertanya/Refleksi/ Menggali Pengalaman Belajar Siswa, (11) Menutup Pembelajaran (Apresiasi, tindak lanjut pertemuan, pembiasaan), (12) Mengevaluasi Diri. Data observasi awal kompetensi mahasiswa peer teaching dapat dilihat pada tabel 2 di bawah ini: Tabel 2 Hasil observasi sikap Skor Keberhasilan Taraf No Indikator sikap mahamahasiswa (%) Keberhasilan 1 Keteladanan 63,33 cukup baik 2 tanggung jawab 63,33 cukup baik 3 Semangat 65,83 cukup baik 4 Komitmen 64,17 cukup baik 5 Empati 62,50 cukup baik 6 Kerjasama 65,83 cukup baik 7 Disiplin 65,83 cukup baik Rata-rata 64,40 cukup baik
Tabel 3 Hasil observasi keterampilan mengajar Skor Keberhasilan No Indikator keterampilan mengajar mahamahasiswa (%) 1 Menyiapkan Pembelajaran, 51,67 2 Membuka Pembelajaran (presensi, lingkup 49.17 materi, apersepsi, tujuan: KAP), 3 Mengelola Waktu dan Arena Pembelajaran, 50 4 Mengelola Pemanasan dan Pendinginan, 48,33 5 Menempatkan Diri (memposisikan diri di 48,33 arena pembelajaran), 6 Membuat Perintah, 47,50 7 Memonitor Perintah, 48,33 8 memberi Umpan Balik (pengakuan 48,33 kebenaran/ koreksi) 9 Mencatat Kemajuan Belajar Siswa 50 10 Bertanya/Refleksi/ Menggali Pengalaman 49,17 Belajar Siswa 11 Menutup Pembelajaran (Apresiasi, tindak 46,67 lanjut pertemuan, pembiasaan), 12 Mengevaluasi Diri 47,50 Rata-rata 48,75
Taraf Keberhasilan kurang baik kurang baik kurang baik kurang baik kurang baik kurang baik kurang baik kurang baik kurang baik kurang baik kurang baik kurang baik Kurang baik
Tabel 4 Hasil observasi awal kompetensi mengajar mahasiswa peer teaching Skor Keberhasilan Taraf No Aspek Kompetensi mahamahasiswa (%) Keberhasilan 1 Sikap 64.4 Cukup baik 2 keterampilan mengajar 48.75 Kurang baik Rata-rata 57 Kurang baik 146
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Berdasarkan tabel hasil observasi awal kompetensi mengajar mahasiswa peer teaching di atas dapat diketahui bahwa rata-rata skor kompetensi mengajar mahasiswa adalah 57% dengan kata lain cukup baik. Untuk kompetensi mahasiswa peraspek yaitu: a) aspek sikap sebesar 64,4% dengan kata lain cukup baik, b) aspek keterampilan mengajar sebesar 48, 75% dengan kata lain kurang baik.
Siklus I Pada siklus I pelaksanaan plan dilakukan oleh tim mahasiswa yang terdiri dari tim mahasiswa yaitu 2 mahasiswa. Sesi Do, mahasiwa yang sebagai guru model melakukan pembelajaran sesuai dengan Plan dan diobserver oleh mahasiswa. Sesi See, guru model dan observer melakukan refleksi secara bersama-sama. Setelah 3 pertemuan dilakukan tes diakhir siklus I. Diperoleh data dari observasi siklus I sebagai berikut: Tabel 5 Hasil observasi sikap No
Indikator sikap
1 2 3 4 5 6 7
Keteladanan Tanggung jawab Semangat Komitmen Empati Kerjasama Disiplin Rata-rata
Skor Keberhasilan mahamahasiswa (%) 69,17 74,17 67,50 70,83 68 68,33 69,17 69,52
Taraf Keberhasilan cukup baik cukup baik cukup baik cukup baik cukup baik cukup baik cukup baik cukup baik
Tabel 6 Hasil observasi keterampilan mengajar No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Indikator keterampilan mengajar Menyiapkan Pembelajaran, Membuka Pembelajaran (presensi, lingkup materi, apersepsi, tujuan: KAP), Mengelola Waktu dan Arena Pembelajaran, Mengelola Pemanasan dan Pendinginan, Menempatkan Diri (memposisikan diri di arena pembelajaran), Membuat Perintah, Memonitor Perintah, memberi Umpan Balik (pengakuan kebenaran/ koreksi) Mencatat Kemajuan Belajar Siswa Bertanya/Refleksi/ Menggali Pengalaman Belajar Siswa Menutup Pembelajaran (Apresiasi, tindak lanjut pertemuan, pembiasaan), Mengevaluasi Diri Rata-rata
Skor Keberhasilan mahasiswa (%) 61,67 57,5
Taraf Keberhasilan cukup baik cukup baik
62,5 63,33 63
cukup baik cukup baik cukup baik
61,67 61,67 59,17
cukup baik cukup baik cukup baik
62,5 58,33
cukup baik cukup baik
60
cukup baik
55,83 60,56
cukup baik cukup baik
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
147
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Tabel 7 Hasil observasi siklus I kompetensi mengajar mahasiswa peer teaching Skor Keberhasilan Taraf No Aspek Kompetensi mahasiswa (%) Keberhasilan 1 Sikap 69,52 Cukup baik 2 keterampilan mengajar 60,56 Cukup baik Rata-rata 65 Cukup baik Berdasarkan tabel hasil observasi siklus I kompetensi mengajar mahasiswa peer teaching adalah 65 % dengan taraf kata lain cukup baik. Untuk kompetensi mengajar mahasiswa peraspek yaitu: a) aspek sikap sebesar 69,52 % dengan kata lain cukup baik, b) aspek keterampilan mengajar sebesar 60,56% dengan kata lain cukup baik. Hasil pembelajaran yang dilaksanakan di siklus I dapat diketahui bahwa dengan lesson study membuat mahasiswa belajar berulang-ulang baik dari sesi plan, do, dan see sehingga mampu membuat mahsiswa tersebut menjadi tahu dan mengerti atau bagaimana melakukan yang terbaik meskipun melalui proses mencoba dan mencoba terus. (Lutan (1988:354) mengemukakan bahwa keterampilan motorik yang berbeda-beda dapat diubah dengan efek belajar atau pengalaman. Pada pembelajaran yang dilakukan mahasiswa peer teaching memiliki kelebihan dan kekurangan. Adapun kelebihan dalam proses pembelajaran yang sudah dilakukan di siklus I diantaranya adalah sebagai berikut: 1) Mahasiswa peer teaching menjadi terdorong untuk selalu melaksanakan atau do menjadi baik setelah direfleksi bersama-sama. 2) Pembelajaran yang diberikan/dilakukan menjadi lebih menarik dan tidak membosankan. Sementara itu kekurangan atau kelemahan yang terdapat dalam pembelajaran pada siklus I diantaranya adalah mahasiswa peer teaching belum memahami benar tentang lesson study sehingga penerapannya memerlukan waktu untuk beradaptasi. Dari kelemahan yang terjadi pada saat pembelajaran di siklus I maka pada pembelajaran di siklus berikutnya (siklus II) diharapkan tidak terulang lagi. Untuk siklus selanjutnya tindakan yang diberikan dengan menambahkan 1 mahasiswa dan 1 dosen. Setelah adanya penambahan diharapkan dapat meningkatkan pemahaman dan dapat meningkatkan plan, do, dan see lebih optimal lagi.
Siklus II Pada siklus II pelaksanaan plan dilakukan oleh tim mahasiswa dengan dosen yang terdiri dari tim mahasiswa yaitu 3 mahasiswa dan 1 dosen. Sesi Do, mahasiwa yang sebagai guru model melakukan pembelajaran sesuai dengan Plan dan diobserver oleh mahasiswa dan dosen. Sesi See, guru model dan observer melakukan refleksi secara bersama-sama. Setelah 3 pertemuan dilakukan tes diakhir siklus II. Observasi siklus II diperoleh data sebagai berikut:
No 1 2 3 4 5 6 7
148
Indikator sikap Keteladanan tanggung jawab Semangat Komitmen Empati Kerjasama Disiplin Rata-rata
Tabel 8 Hasil observasi sikap Skor Keberhasilan mahamahasiswa (%) 73,33 77,50 75 74,17 75 75 74,17 74,88
Taraf Keberhasilan cukup baik baik cukup baik cukup baik cukup baik cukup baik cukup baik cukup baik
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Tabel 9 Hasil observasi keterampilan mengajar Skor No Indikator keterampilan mengajar Keberhasilan mahasiswa (%) 1 Menyiapkan Pembelajaran, 73,33 2 Membuka Pembelajaran (presensi, lingkup materi, 68,33 apersepsi, tujuan: KAP), 3 Mengelola Waktu dan Arena Pembelajaran, 71,67 4 Mengelola Pemanasan dan Pendinginan, 70 5 Menempatkan Diri (memposisikan diri di arena 66,67 pembelajaran), 6 Membuat Perintah, 71,67 7 Memonitor Perintah, 70 8 memberi Umpan Balik (pengakuan kebenaran/ 71,67 koreksi) 9 Mencatat Kemajuan Belajar Siswa 72,5 10 Bertanya/Refleksi/ Menggali Pengalaman Belajar 72,5 Siswa 11 Menutup Pembelajaran (Apresiasi, tindak lanjut 69,17 pertemuan, pembiasaan), 12 Mengevaluasi Diri 70,83 Rata-rata 70,69
Taraf Keberhasilan cukup baik cukup baik cukup baik cukup baik cukup baik cukup baik cukup baik cukup baik cukup baik cukup baik cukup baik cukup baik cukup baik
Tabel 10 Hasil observasi siklus II kompetensi mengajar mahasiswa peer teaching Skor Keberhasilan Taraf No Aspek kompetensi mahasiswa (%) Keberhasilan 1 Sikap 74,88 Cukup baik 2 keterampilan mengajar 70,69 Cukup baik Rata-rata 72,8 Cukup baik Berdasarkan tabel hasil observasi siklus I kompetensi mengajar mahasiswa peer teaching adalah 72,8 % dengan taraf kata lain cukup baik. Untuk kompetensi mengajar mahasiswa peraspek yaitu: a) aspek sikap sebesar 74,88 % dengan kata lain cukup baik, b) aspek keterampilan mengajar sebesar 70,69% dengan kata lain cukup baik. Hasil pembelajaran yang dilaksanakan di siklus II sudah terlihat perubahan dari pada siklus I. pada siklus II mahasiswa peer teaching mengalami peningkatan yang jelas pada aspek keterampilan mengajar. Ini sesuai dengan pendapat widiartha dkk (2008:9) bahwa dengan proses lesson study yang melibatkan para guru dalam kelompok-kelompok diskusi kecil dengan aktifitas merencanakan mengajar, mengajar, melakukan observasi proses belajar mengajar dan melakukan diskusi setelah pembelajaran untuk melakukan berbagai perbaikan bagi proses pembelajaran berikutnya. Adapun kelebihan dalam pembelajaran di siklus II selain memotivasi guru dalam mengajar untuk lebih baik lagi dalam mengajar dan membuat pembelajaran lebih menarik, seperti yang dikemukakan widiartha dkk (2008:9) dengan lesson study akan membuat seorang pendidik dipaksa mempelajari hal positif dari pendidik yang lain. Ternyata dengan jalan selalu berdiskusi dapat menemukan solusi-solusi permasalah dalam pembelajaran tersebut. Sementara itu kekurangan atau kelemahan yang terdapat dalam pembelajaran pada siklus II adalah mahasiswa peer teaching belum begitu memahami karakteristik siswa sehingga dalam penerapan lesson study belum maksimal. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
149
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Siklus III Pada siklus III pelaksanaan plan dilakukan oleh tim mahasiswa dengan dosen yang terdiri dari tim mahasiswa yaitu 4 mahasiswa dan 2 dosen. Sesi Do, mahasiwa yang sebagai guru model melakukan pembelajaran sesuai dengan Plan dan diobserver oleh mahasiswa dan dosen. Sesi See, guru model dan observer melakukan refleksi secara bersama-sama. Setelah 3 pertemuan dilakukan tes diakhir siklus III . Diperoleh data dari observasi siklus III sebagai berikut: Tabel 8 Hasil observasi sikap Skor Keberhasilan No Indikator sikap Taraf Keberhasilan mahasiswa (%) 1 Keteladanan 87,50 baik 2 tanggung jawab 88,33 baik 3 Semangat 83,33 baik 4 komitmen 83,33 baik 5 empati 85,83 baik 6 kerjasama 85,83 baik 7 disiplin 86,67 baik Rata-rata 85,83 baik Tabel 3 Hasil observasi keterampilan mengajar Skor Keberhasilan No Indikator keterampilan mengajar mahasiswa (%) 1 Menyiapkan Pembelajaran, 89,17 2 Membuka Pembelajaran (presensi, lingkup 81,67 materi, apersepsi, tujuan: KAP), 3 Mengelola Waktu dan Arena Pembelajaran, 83,33 4 Mengelola Pemanasan dan Pendinginan, 79,17 5 Menempatkan Diri (memposisikan diri di arena 81,67 pembelajaran), 6 Membuat Perintah, 85 7 Memonitor Perintah, 77,5 8 memberi Umpan Balik (pengakuan kebenaran/ 82,5 koreksi) 9 Mencatat Kemajuan Belajar Siswa 79,17 10 Bertanya/Refleksi/ Menggali Pengalaman Belajar 80,83 Siswa 11 Menutup Pembelajaran (Apresiasi, tindak lanjut 78,33 pertemuan, pembiasaan), 12 Mengevaluasi Diri 80 Rata-rata 81,53
Taraf Keberhasilan cukup baik cukup baik cukup baik cukup baik cukup baik baik baik baik baik baik baik baik baik
Tabel 2 Hasil observasi siklus III kompetensi mengajar mahasiswa peer teaching No 1 2
150
aspek kompetensi Sikap keterampilan mengajar Rata-rata
Skor Keberhasilan mahasiswa (%) 85,83 81,53 83,7
Taraf Keberhasilan baik baik baik
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Berdasarkan tabel hasil observasi siklus III kompetensi mengajar mahasiswa peer teaching adalah 83,7 % dengan taraf kata lain cukup baik. Untuk kompetensi mengajar mahasiswa per-aspek yaitu: a) aspek sikap sebesar 85,83 % dengan kata lain cukup baik, b) aspek keterampilan mengajar sebesar 81,53% dengan kata lain cukup baik. Hasil pembelajaran yang dilaksanakan di siklus III sudah terlihat perubahan lebih baik lagi dari pada siklus II. Pada siklus III mahasiswa peer teaching mengalami peningkatan yang jelas pada aspek sikap dan keterampilan mengajar. Ini berarti bahwa pembelajaran menggunakan lesson study lebih efektif dan kompetensi mengajar pendidik yang dalam hal ini guru model menjadi meningkat kompetensisnya. Hasil ini selaras dengan penelitian Prof Kiyomi dari Universitas Tokyo Jepang menyatakan bahwa lesson study merupakan bentuk pelatihan professional yang palling efektif (Syamsuri, Istamar dan Ibrohim, 2008).
Simpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian ini dapat ambil kesimpulan bahwa pembelajaran lesson study dapat meningkatkan kompetensi mengajar meliputi aspek sikap dan keterampilan mengajar. Kesimpulan dapat diperjelaskan persiklus yaitu: 1. Pada siklus pertama, hampir semua mahasiswa masih mengalami gangguan adaptasi karena mahasiswa peer teaching dituntut untuk lebih kreatif dan inovatif dalam melakukan plan, do dan see sehingga berpengaruh terhadap kompetensi mengajar mahasiswa peer teaching. 2. Pada siklus kedua, mahasiswa sudah dapat beradaptasi dengan baik, terlihat sebagian besar mahasiswa mengalami perubahan yang jelas terutama pada aspek keterampilan mengajar. 3. Pada siklus ketiga, mahasiswa sudah menunjukan perubahan yang jelas terlihat dari aspek sikap dan keterampilan mengajar.
Daftar Pustaka Arikunto, Suharsimi. 1998. Manajemen Penelitian. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Cerbin, Bill dan Kopp, Bryan. 2005. Lesson Study College Teachers: An. On Line Guide. Kristiyanto, Agus. 2010. Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dalam Pendidikan Jasmani dan Kepelatihan Olahraga. Surakarta: UNS Press Lutan, R. 1988. Belajar Keterampilan Motorik, Pengantar Teori Dan Metode. Jakarta: Departemen Pendidikan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan. Lutan, R. Dkk. 2002. Supervisi Pendidikan Jasmani. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Dirjen Pendidikan Dasar Dan Menengah. Mosston, M. & Ashworth, S. 1994. Teaching Physical Education. 4th. Ed. Machmillan: College Publishing Company Syamsuri, Istamar dan Ibrohim. 2008. Lesson Study (Studi Pembelajaran) model Pembinaan Pendidik secara Kolaboratif dan Berkelanjutan: dipetik dari Program SISTTEMSJICA dikabupaten Pasuruan-jawa Timur (2006-2008). Malang: FMIPA UM
Sudijono, A. 1987. Pengantar Statistika Pendidikan. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Suparlan. 2004. Mencerdaskan Kehidupan Bangsa. Jakarta: Hikayat Syarifuddin. 1997. Pokok-pokok Pengembangan Program Pembelajaran Pendidikan Jasmani. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Undang-Undang No. 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Usman, Muhamad. 1990. Menjadi Guru Profesional. Bandung: Angkasa Widiartha, Putu.A dan Sudarmanto, Dwi dan Ratnaningsih, Nining. 2008. Lesson Study Sebuah Upaya Peningkatan Mutu Pendidik Pendidikan Nonformal.Surabaya: Guna Wijaya. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
151
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Student’s Verified Strategies Of Paraphrasing (A Case Study Of The Sixth Semester of English Students Through Verbal Report) Banu Wicaksono 11 ([emailprotected]) Erma Rahayu Lestari 11 ([emailprotected]) Abstract This research is a case study to uncover strategies in paraphrasing verified from their understanding and their quality of paraphrasing. Eight students of the sixth semester of English Department STKIP PGRI Jombang were voluntarily willing to enrol the study. They completed paraphrasing tasks and directly participated in retrospective interview adapted from Ericsson and Simon’s (1993) verbal report protocol. This procedure is done to reveal students’ strategies in paraphrasing verified to the understanding of the results of the interview. To investigate the extent to which students in paraphrasing strategy associated with the quality of their paraphrasing, researchers adapted paraphrase quality assessment from McInnis (2006) using two raters to maintain the validity of the assessment. The results of the verbal report show that there are 15 paraphrases strategies used by the subjects. Cognitive and compensation strategy are strategies that are commonly performed by all subjects. There is also an indication of a discrepancy between the subjects’ strategy in paraphrasing and their knowledge of paraphrasing. Subjects’ quality of paraphrasing is not only affected by strategies used but also their mastery of English. Keywords: Paraphrasing Strategies, Verbal Report Abstrak Penelitian ini adalah penelitian studi kasus untuk mengungkap strategi mahasiswa dalam berparafrase yang terverifikasi dari pemahaman pengertian parafrase dan kualitas parafrase mereka. Delapan mahasiswa semester enam Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris STKIP PGRI Jombang secara sukarela menjadi subyek dalam penelitian ini. Mereka menyelesaikan tugas paraphrase sekaligus melaporkan secara lisan apa yang mereka pikirkan dan kerjakan dengan mengadaptasi langkah verbal report protocol dari Ericsson dan Simon (1993). Prosedur ini dilakukan untuk mengungkap strategi parafrase yang diverifikasikan dengan pemahaman paraphrase dari hasil wawancara. Untuk menyelidiki sejauh mana strategi mahasiswa dalam berparafrase dihubungkan dengan kualitas parafrase mereka, peneliti mengadaptasi penilaian kualitas parafrese dari McInnis (2006) dengan menggunakan dua rater untuk menjaga validitas penilaian. Hasil dari verbal report menunjukan bahwa ada 15 strategi parafrese yang digunakan oleh para subyek. Strategi kognitive dan kompensasi merupakan strategi yang umum dilakukan oleh semua subjek. Hasil penelitian ini mengindikasikan adanya ketidak sesuaian antara strategi dan pemahaman parafrase, serta kualitas parafrase yang tidak hanya dipengaruhi oleh penggunaan strategi tetapi juga penguasaan subyek terhadap Bahasa Inggris. Kata Kunci: Paraphrasing Strategies, Verbal Report
Introduction The spread of English as the international language is increasing ever more in our globalized world, and the academic community is no exception. In today's academic society, the acquisition of English for Academic Purposes (EAP) skills can be considered to be an essential skill. One of the indicators associate with academic success is often associated with one’s academic writing ability. 11
Dosen Prodi. Pendidikan Bahasa Inggris STKIP PGRI Jombang
152
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Applying academic writing skill, normally students require some techniques on academic skills; one of academic skills is paraphrasing. Oshima and Hogue (2000: 127) describe paraphrasing as “a way of restating other ideas, meaning and information in our own words”. It means that in doing paraphrase, students should have engaged with and understood the ideas from their source materials, whilst still recognizing that the ideas they are discussing are not their own. Campbell in B. Kroll (1990: 211) argues that in order to be a success in academic writing students should appropriately integrate the ideas from other sources. The lack understanding the idea of paraphrasing may result in a suspected case of plagiarism, which is often interpreted as “academic dishonesty”. Considering the arguments, paraphrase is becoming one of the most important techniques in writing skills of English learners. Students may study paraphrasing strategies by the book instructions; however they, as learners, have individual differences. Dornyei (2005: 1) gives the term of individual differences as “characteristics or traits in respect of which individuals may be shown to differ from each other.” In learning, students are exposed to the same materials but they have different brain process that results to different mastery. The brain process is known as learning strategies. Wenden (1987: 6) suggests that “learning strategies refers to language learning behavior learners actually engage in to learn and regulate the learning of second language”. This study is adapted from McInnis (2009) who employs the criteria for “Paraphrase Appropriateness” to analyze the quality of paraphrasing. She graded the students’ appropriateness of paraphrase using her own checklist for paraphrase appropriateness. Depending on the meeting of seven criteria of good paraphrase taken from Purdue University Online Writing Lab (2009), she was able to classify each student’s paraphrase into following four categories: appropriate (meets all criteria), somewhat appropriate (meets 5-6) criteria) somewhat inappropriate (meets 3-4 criteria) and inappropriate (meets fewer than 3 criteria). Verbal protocols as noted by Park (2009: 287) have been widely applied to investigate the process of students’ attempt in learning or performing a task using their own strategies. He also adds that the mind process is “stable and can be verbalized…with their attention still focused on task performance” (Park, 2009: 287). These protocols begin with administering the task for students, and then they are encouraged to verbalize the thought content. The verbal report may occur concurrently with the task The present study is conducted in STKIP PGRI Jombang for there are various concept and strategies of students on paraphrase. It is crucial to conduct a study in viewing students’ definition of paraphrasing strategies as well as their paraphrasing strategies and how their strategies affect the quality of their paraphrase.
Method This research is qualitative. The subjects in this study were 8 students of STKIP PGRI Jombang who were selected from 14 students who already enrolled the recruitment of the research. All the subjects were the sixth semester students who had already taken English Writing I, II, and III courses. Those criteria of selection were taken on the basis that all the students on that semester were already master some techniques on paraphrasing and also have sufficient vocabulary since they already got the paraphrasing material in Writing II course on the third semester and thesis writing seminar in semester five. To sum up, the subject of this study were taken based on a purposeful sampling. This method is in line with the theory of
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
153
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Paton (2002) which states that the purposeful sampling is a non-random method of sampling where the researcher selects “information-rich” cases for study in depth. The researcher employed some instruments to collect the data:
1. Written Task. The written task is used to know the students ability in paraphrasing. The tasks in this study were in the form of sentences that should be paraphrased by the subjects. The task was taken from Brown (2006), “The principle of Language Learning and Teaching” chapter one. The theme of the reading task is also adjusted to the subjects’ background (education). To match with the paraphrasing strategies suggested by Sharpe (2007) and Belly (2006), the six sentences with possible structure for paraphrasing works were chosen. The first sentence was chosen since it dealt with chronological, the second dealt with substituting multiple synonyms, the third dealt with the use of strong verb to report. The last two sentences dealt with chronological and coordination.
2. Verbal Report. Through verbal report subjects reported through verbalization their thought concerning their learning strategies as they were currently perform a task of sentence level paraphrasing. Citing Ericsson and Simon (1993) on the level of verbalization, this study applied the two levels of verbalization, named talk-aloud and think-aloud in the initial process of the data collection. In this process, the student have verbalized all their thinking process and recorded their verbalization using voice recorder tool. The verbal report process ended with retrospection which was conducted in line with interview process so the subjects were not be distracted when they have to verbalized their thinking process. By applying this strategy subjects only focused on their thought while they were performing the given task.
3. Interview. Interview in this study was designed unstructured since the purpose was to elicit students’ paraphrasing strategies. This also completed the data from verbal report. What have been collected in level 1 and 2 of verbal report have been cross checked to the subjects’ response through the interview. This method was benefit to data triangulation in getting valid information. To have a depth analysis, the interview was conducted man-in-man after the task completion. The interview was also recorded. This research applies the following steps of data analysis: Step 1: Transcribing the Verbal Data (Task Completion and Interview). In this step the researcher transcribed in full the reports of the eight subjects who had verbalized their thought during the task completion and the interview session. Step 2 : Coding. After transcribing the verbal data, the researcher categorized each unit of data according to its function and purpose. To answer question number two, the coding system for classifying students’ paraphrasing strategies was done. The coding classified the data into general category (capital alphabet) and sub-category (lowercase alphabet). The researcher also recruited a second coder (one of the lecturers of Writing II, English Department of STKIP PGRI Jombang) to verify and participate on categorizing all of the transcribed verbal reports of the subjects, as well as later to judge the quality of subjects’ paraphrasing through the appropriateness of paraphrases. Step 3: Data Reflection. To address research question 1 on how to the students define paraphrasing, the researcher elaborated the data from the unstructured interview conducted at
154
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
the end of verbal report. The interview was designed to complete the verbal report data to elicit students’ definition or perception on paraphrasing and their paraphrasing strategies. What have been collected in level 1 and 2 of verbal report have been cross checked to the subjects’ response through the interview. Thus this method was also benefit to data triangulation in getting valid information. To address research question 2, to know the verified paraphrasing strategies used by students, the researcher elaborated the data from the verbal report protocol coded using adapted learning strategies from Oxford (1990) and paraphrasing strategies by Sharpe (2007), Oshima and Hogue (2000), and Bailey (2006).To verify the student’s strategies used in paraphrasing, the researcher compared and analyzed the verbal report and interview transcriptions that already coded previously. To address research question 3 on relating the students ’verified paraphrasing strategies and their qualities of paraphrasing, the researcher elaborated the data from grading the students’ paraphrasing quality or appropriateness issued by McInnis (2009). The researcher than verified the data to be cross-checked to reveal students verified perception and strategies of paraphrasing taken from the first and the second research questions.
Finding and Discussion Finding The Subject’s Knowledge of Paraphrasing. After conducting the verbal report protocols and interview as a method of data collection the students perception of paraphrasing revealed. When asked about their typical conception on paraphrasing the subjects’ responses varied. In the case of paraphrasing definition, all of the subjects agreed that paraphrasing was used when they wanted to rephrase or rewrite the information from an outside source in their own words without changing the original meaning. All the 8 subjects believed that changing the sentence or the paragraph in their own language was necessary in order to avoid from doing plagiarism. Therefore, words substitution was needed in order to paraphrase. However, the subjects had varied methods in performing their way to paraphrase. Some of them had missed perception on ways of paraphrasing which latter on would affect their paraphrasing quality. The following table summarizes subjects’ perception, their ways to paraphrase and their mistake seeing from Sharpe’s (2007) suggestions: Table 1. Summary of Subjects’ Definition and their Ways to Paraphrase Definition of Paraphrase Rephrase / rewrite the information from outside sources using their own words without changing the original meaning
Subjects’ Name Subject 1, Subject 2, Subject 3, and Subject 5,
Subject 6
Ways to Paraphrase
Other Findings
Choose synonyms for word and phrases (use keywords and vocabularies substitution) and use alternative grammar structures
Paraphrasing could be shorter or (mostly longer than its original sentence. Personal opinion can be used in order to explain or support the idea.
Choose synonyms for word and phrases (use keywords,
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
155
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Subjects’ Name
Definition of Paraphrase
Paraphrase is simply changing a sentence or paragraph using their own words
Ways to Paraphrase
Subject 4, Subject 7 and Subject 8
Other Findings
vocabularies substitution) and use alternative grammar structures. Paraphrased sentence should be in about the same length) Mostly emphasize on vocabulary substitution
Student’s Verified Strategies for Paraphrasing. In order to map student’s verified paraphrasing strategies, the verbal report data coded and processed using adapted learning strategies from oxford (1990) and suggested paraphrasing strategies from Sharpe (1997). The average data of student’s paraphrasing strategies that used to complete all tasks (6 questions) can be summarized from the following table: Table 2. The Frequency/ Trend of Student’s Paraphrase Strategies was Mapped using Oxford (1990) DIRECT STRATEGIES
S
Memory Strategy
S1
K w 5
S2
Compens Cognitive strategies ation (DS-CogS) Strategies
el
Ct rd
5
1
6
dg rs p y 6 6
2
2
6
S3
5
6
S4
2
S5
6
1
S6
S7
INDIRECT STRATEGIES Affecti Social Metacognitive ve strategi strategies strategi es es
To so Dic
ovl Ipt sm
se
Tr
dcu
1
5
6
1
1
1
6
6
1
4
1
1
2
4
3
6
6
6
1
6
1
4
6
2
6
3
6
4
6
4
6
1
6
1
1
6
6
6
3
5
4
4
3
1
6
6
6
6
6
2
6
5
6
6
6
6
6
6
6
4
6
6
S8
1
6
6
6
1
6
6
6
∑
13 25 2
4
12 32 23 33
%
52. 27.1 1 4.2
Note: s = subject
156
48 34 48 34 12 36 70. 100 8 100 70.8 25.0 75.0
8.3 25.0 66.7 47.9 68.8
5 10.4
dic = using dictionaries or thesaurus
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
kw =using keyword from the original source. el =elaborating or associating unknown words from the original source. ct = citing original sources rd = reading to gain understanding dgp = recognizing and using different formula and pattern from the original source to the paraphrase work. rsy =recombining the synonym to = translating the original source. so = summarizing the original source.
ovl = over viewing and linking with already known material. ipt = identifying the purpose of a language task sm = self-monitoring for the mistakes or problems in paraphrasing se = self-evaluating for checking paraphrasing work tr = taking risk in using unknown cues dcu = developing cultural understanding to the nature of paraphrasing. % = the percentage of the strategy used by eight subjects to finish the current task.
a. Direct Strategies 1) Memory Strategies a)
Using Keyword from the Original Source Finding or using keyword as a strategy in paraphrasing was applied by subject 1. He took “production tempo” (speed), “increase” (to be greater), and “multi word” (much more word) as the key words. The words “sophisticated” (high), “repertoire” (vocabularies understanding) and “mushrooming” (increasing) became keywords on task 4. “Complex structures” (complex understanding) and expand (enlarge) became keyword on task 5. Dealing with this study, however not all subjects used key words as their strategy to paraphrase. Subject 2, 3, 4, 6, 7, and 8 did not approve this strategy although they admitted using keywords in the interview. When the researcher interviewed Subject 3 after doing the verbal report, she admitted finding the key words as her method of paraphrasing. While in fact, she actually only found the difficult words. Here we found some misunderstanding about the terms of key words. b) Elaborating or Associating Unknown Words from the Original Source. This strategy is a part of the direct strategy where the subjects associating the unknown word, phrases or even a sentence to elaborate unknown information from the source sentence. In other words, when subjects may not be familiar with a given theme they might associate the phrases or sentences by elaborating the ideas of the sentences. The example of using elaboration to associate unknown words was performed by Subject 3. When Subject 3 got difficulties in deciding the word “what come to be known”, she tried to elaborate this meaning by taking account to the previous words or phrases. She started to translate the sentence in Bahasa Indonesia to have text understanding but in vain. This was caused by her limitation on vocabulary mastery. Her effort to translate the vocabulary was only based on her prediction without checking dictionary. Finally, she decided to elaborate the sentence by connecting each phrases to its context. c) Using Citation. Taking citation to acknowledge the author/ writer ideas is very important to account. In order not to commit in plagiarism, an appropriate paraphrasing should provide the information of from whom the ideas originated. As being discussed in problems of the study number 1, from
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
157
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
the conducted interview, mostly all subjects were aware the important of putting citation. They were also aware of their task to paraphrase the six sentences. However, only two of them realized the important of putting the citation. They admit that they only concentrated on transforming a sentence using their own words or phrases and maintaining the original meaning from the source. This condition can be seen from the following interview excerpt from Subject 3: Interviewer Subject 3 Interviewer Subject 3
: Clark (2003) what does it means? : So, it is from his opinion. : So when we paraphrase, is it important to contribute the name? : yes, actually… but at the previous time I do not focus on the name. … I only focus on how to transform the sentence.
2) Cognitive Strategies a) Reading Text to Gain Understanding. Reading the text carefully was the strategies that applied by all the subjects. To gain comprehension of the text, they read and reread the original sentence they would paraphrase. They identified and grouped words or phrases logically in order to understand the idea of the text. To comprehend the idea of the sentence completely, they often looked up dictionary to find the meaning of words that was not understood. The applied example of this strategy performed by Subject 1 when he was paraphrasing task 1: The first quotation I found was: "Modern" research on child language acquisition dates back to the latter part of the Eighteenth century, after the German philosopher Dietrich Tiedemann recorded his observation of the psychology and linguistics development of his young son”. The word that I still do not understand here is dates back, latter part, and acquisition. However after I searched in the dictionary, acquisition here in my understanding is related to language abilities or language skills and of course dealing with children. b) Recognizing and Using Different Formula and Pattern from the Original Source to the Paraphrase Work. Recognizing text structure in this case refers to understanding meaning through analyzing the cohesive devices and discourse markers that contribute to the logical relation of ideas. Usually the aims of these strategies were to make syntactic shift of paraphrased sentence. As they realized that syntactical shift is needed in paraphrasing, all the subjects of the study applied this strategy to make their paraphrase appropriate.”When we borrow ideas from outside sources or another person’s text we should write that ideas using our own language and sentence pattern without changing the original meaning” (Subject 3) c) Recombining the Synonym and Grammar Change in Paraphrasing. Finding and recombining synonyms seem to be one of the most productive processes in the paraphrasing tasks conducted by all of the subjects (Subject 1 to 8) since they really understood the important of using this the strategies to make appropriate paraphrasing. Before deciding to use a particular synonym of a word, subjects took some specific processes such as checking the appropriateness of the level of formality, accuracy in certain contexts, and word choices. Some of them found the synonyms from dictionary, some of them took the facility of finding synonyms on Microsoft Word program to guess the meaning of the words or check for certain synonyms. The data below reflect such a cognitive strategy:
158
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
I try to reverse the construction … later than the German philosopher Dietrich Tiedemann.. this one recorded.. for the word recorded I will use surveillance.. of psychological and linguistic improvement of his little young oh sorry little son. So, the paraphrasing of this sentence would be) improvement of his little son.. the new research for child language acquisition come from. So at the eight century.. OK, I will put this word in front …. So.. of the eighteen century later than .. I will try to write the paraphrasing)… Of the eighteen century, later than the German Philosopher Dietrich Tiedemann surveillance of the physiological and linguistics improvement of his little son, the new research for child language acquisition come from (Subject 6). d) Translating the Original Source. Translating the original source is a strategy of paraphrasing used by all subjects. Using this strategy, students could bridge their lack understanding and the rules of Standard English. This cognitive strategy allows learners to use their own native language as a basis for understanding the new vocabularies or words in the second/ foreign language. Since all the subjects are not English native, this strategy is very helpful in transforming the source idea. For subjects who have low quality paraphrasing, Subject 7 and Subject 8, translating seemed to be the main strategy to paraphrase after reading the original quotation. Subject 7 for example, when the researcher revealed her first strategies used in paraphrasing, she admitted to translate the original sentences first to Bahasa Indonesia than she paraphrased it still in Bahasa Indonesia. To make English paraphrasing, off course, she just definitely translated her paraphrase she already did in Bahasa Indonesia to the target language (English). The first thing I did in paraphrasing was translating the sentence into Bahasa Indonesia than paraphrase it also in Bahasa Indonesia. After that to have English paraphrasing, I directly translated my paraphrased sentence in Bahasa Indonesia to English (Subject 7) e) Summarizing the Original Source. As one of paraphrasing strategies, summarizing the original source was conducted to reduce or to simplify the original source and to capture the gist or idea of the paragraph. After analyzing the key information and difficult vocabulary in task 1, Subject 2 directly reduced or simplified the original source. To make it simple, this sentence emphasized on how the increase of children’s vocabulary increased day by day to be combined into a sentence. So it can be written as the child acquisition can be seen by their development on vocabularies day by day (Subject 2). This strategy, however, was not widely used by the subject. They prefer to translate the original sentences in order to uncover the ideas of sentence rather than to summarize. Only Subject 5 and 7 applied this strategy to paraphrase.
3) Compensation Strategies. Compensation strategies help students to use the language even they have large gaps in knowledge. This strategy was intended to make up for a lack of knowledge in the areas of grammar and vocabulary. a) Using Dictionaries or Thesaurus. Dictionary appears to be an important tool for almost all the subjects not only to find the meaning of newly encountered words but also to confirm and check their understanding of meaning existing in their repertoire of vocabulary. During the task, all the subjects were provided with dictionary either electronic (through hand phone) or Bilingual (English-English) dictionary. The following excerpt from Subject 1 shows the utilization of dictionary:
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
159
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
The word that I still do not understand here is Dates back, latter part, and the latter is acquisition. But after I searched the dictionary for word acquisition here in my understanding related to language abilities or language skills and of course dealing with children or the children. And on the back dates, which I found here is something that has done or something to do ... " (Subject 1) b. Indirect Strategies 1) Metacognitive Strategies. These strategies go beyond purely cognitive devices and provide the students with a way to coordinate their learning process. Metacognitive strategies have positive effects to support cognitive strategies. Meaning the use of metacognitive strategies assists students in applying cognitive strategies in task completion. a) Over Viewing and Linking with Already Known Material. This strategy dealt with over viewing comprehensively a key concept, principle, or set of materials in an upcoming language activity and associating it with what student has already known. This strategy can be accomplished in many different ways, learning why the activity is being done, building the needed vocabulary, and making the associations. Below is the example script taken from Subject 6’s verbalized report in case of linking with already known materials. “…if not mistaken, I ever known the word insight. It means wawasan (perception). For the word “derived” it comes from what come to be known as the series method” (Subject 6). b) Identifying the Purpose of a Language Task. This strategy dealt with the subject consciousness in identifying the purpose of language task. All subjects of the study actually aware their purpose of doing the task. That was why before starting their paraphrasing task they clarified what would they do concerning the task. This strategy helped the students maintained their purpose of doing task in order to fully aware of what they doing. Quotation bellow represented the fact of her awareness of the task: “Here, I will try to quote from many sources about Language Acquisition for Children” (Subject 1). Here I’d like to paraphrase for number one (Subject 2, Subject 4) I have opinion that the key words of this paragraph “Modern” research on child language acquisition so I don’t need to change that sentence but I have to change another sentence as usual I do in paraphrasing (Subject 6) c) Self-Monitoring for the Mistakes or Problems in Paraphrasing. When the subjects got difficulties in paraphrasing the original sentence, they performed many different strategies. Many subjects performed self-monitoring as a metacognitive strategy, in order to take control over their mistakes or their difficulties when they paraphrased. Selfmonitoring actually is an internal mental process in which individual record data of what they were doing in order to adjust or encounter their difficulties. It involved checking, verifying and correcting of their performance during a paraphrasing task. Subject 3, Subject 5, Subject 6, Subject 7 and Subject 8 were the subjects who often practiced this strategy. d) Self-Evaluating for Checking Paraphrasing Work. Evaluating the full sentence of paraphrase was commonly the last step taken by all the subjects in both groups to check the accuracy of grammar and equality of meaning. This was especially visible as this strategy occurred close to the reading of the full original text before the subjects decided to stop doing the task. Subjects 2, 3, 4, 6 and 7 applied this self-evaluating
160
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
strategy. Subject 4 and Subject 8 always used this strategy to check the completeness of their paraphrasing. The following excerpt reflects this strategy. The paraphrase will be: Furthermore the German philosopher Dietrich Tiedemann made a note of his monitoring from his young son which is about expansion of the psychological and linguistics to the last part of the century after seventeenth (Subject 4)
2) Affective Strategies a) Taking Risk in Using Unknown Cues. When subjects found unknown or unsolved words, even after consulting dictionary, to paraphrase the source, they tried to solve the meaning of the unfamiliar words by finding a gist or hint, whether from the context or their previous understanding. In order to complete their paraphrasing finally they had to decide to use the unknown cues, even they might not understand whether the cues was correct or not. “I want to shorten the words more and more words are spoken every day to language since the words already referred to language (Subject 5). In applying this strategy, Subject 5 had already taking risk to simplify the phrases. She made wrong generalization of the words “more words are spoken every day” to language since language cannot replace the words “more and more words are spoken every day”. Whenever the subjects did not comprehend the appropriate meaning, when they did not correlate to the sentence’s context mostly they often made mistakes. The example of this case is performed by Subject 4 when she must replace the word “repertoire” to “list of song”. Thus, this effort leads the subject to wrong perception.
3) Social Strategies a) Developing Cultural Understanding to the Nature of Paraphrasing. This affective strategy provided learners a background knowledge of the culture of the speakers of the language for a better understanding of new vocabulary words and exploring cultural and social norms. This strategy included questioning for clarification, asking for explanation, or verification to become aware of social norms. Over here I find two new vocabularies the first one is tempo and the second is multiword. Ok I will look up at dictionary first. I find that the tempo word is speed ee ... maybe I can change it into speed but this related with the ability of speaking so I will change it into speed of speaking. (Subject 1) Subject 1 noticed that there were two words that he didn’t know the meaning. For the first word, tempo, he looked up the meaning at dictionary, however he thought that the dictionary meaning of the word didn’t match to the sentence meaning. He, then, considered background of the text and he came to an understanding of the word tempo into speed of speaking. The process of considering background of the text might include into the condition of understanding vocabulary by exploring cultural or social norm. He took the way of verifying the word from dictionary.
How do the students’ verified paraphrasing strategies relate to the quality of their paraphrase? This question links three domain areas. The first domain was connected to student’s perceptions on paraphrasing, the second was related to student’s paraphrasing strategies, and the last domain was students’ paraphrasing quality. This discussion revealed how the relationship between them in determining the quality of students paraphrases. The researcher has classified the subject into three categories or paraphrasing quality by finding the mean of their Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
161
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
paraphrasing quality from the two raters based on McInnis (2009: 48) qualification. The lowest achievement (inappropriate paraphrasing) was Subject 5, Subject 7 and Subject 8. Subject 2 and Subject 6 ware in the classification of somewhat inappropriate. The best from all (somewhat appropriate) was Subject 1, Subject 3 and Subject 4. a) Somewhat Appropriate Group. The subjects perceived that the purpose of paraphrasing is to simplify the content, to avoid plagiarism, to improve clarity of the content, and to reformulate the same ideas using different words. To them, such a concept and definition of paraphrasing seemed already set as in their in long-term memory and easily applied when the subjects were writing the paraphrases during the task. The words I don’t’ understand here are: dates back, latter part, and acquisition. After I checked dictionary, the word acquisition relates to language ability, while dates back means something that was done or something to do (Subject 1 finding the appropriate definition or synonyms of difficult vocabularies) Children who are at school age will learn both something which can be talked and which can’t be talked as they learn about the social functions of their language (the use of appropriate alternative grammar structure using coordination performed by Subject 4) The social function of children language is should be learned in their school in order they understand the word that should be avoided or the word is should be used (Subject 3). (the use of sufficient syntactical shift, word order, active to passive performed by Subject 4) b) Somewhat Inappropriate Paraphrasing Group. This group actually also have applied what somewhat appropriate group did. On the understanding on paraphrasing, actually Subject 6 had better capacity of knowledge as revealed from the interview. She had a better understanding on what paraphrasing is and she even gave appropriate way to paraphrase. She stated that paraphrasing was to rephrase / rewrite the information from outside sources using their own words without changing the original meaning. In the matter of how to paraphrase, Subject 6 explained that “when we paraphrase, the paraphrased sentence should be in about the same length. We also should choose appropriate synonyms for word and phrases (use keywords, vocabularies substitution) and use alternative grammar structures”. She also revealed the important to cite or referring attribution to original author by mentioning the source. However, since her lack proficiency in English, she often made some mistakes in elaborating and defining the core of the sentence. “The contraction tempo now days starts to raise many words are uttered in daily life and many combinations uttered as multiword sentences” (Subject 6). Subject 6 made mistakes in finding the synonym or the equivalent word of production tempo and the use of wrong order word to replace “many combinations uttered as multiword sentences” became “combinations of multi-word sentences are uttered”. c) In appropriate Paraphrasing Group. Inappropriate or unacceptable paraphrasing is usually caused by making only superficial changes to the original text such as replacing some of the words with synonyms or changing the sentence order. Unacceptable paraphrasing usually showed ones did not have a significant understanding of the subject and opens the possibility of misrepresenting the original author's ideas.
162
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
The last group was classified as inappropriate paraphrasing group since the subjects perform inappropriate paraphrasing. When we referred back to their knowledge or understanding on paraphrasing, this group acknowledge that paraphrasing was simply changing a sentence or paragraph using their own words by “retaining the original meaning” (Subject 7 and Subject 8).
Discussion Through verbal report protocols suggested by Ericson and Simon (1993), the researcher attempted to gather, explore and analyze student’s perception and their strategies in paraphrasing the six sentences provided. It is also approved to describes or investigate the process of student’s attempt in performing a task using their own strategies. This idea is in line with Park (2009: 287) mentioning that this method is widely used to investigate student’s strategies in learning though administering the tasks then encourages them to verbalize the thought content. The finding of the study shows that almost all the subjects (5 subjects: Subject 1, 2, 3, 5, and 6) actually understand well on the definition of paraphrase. They argue that paraphrasing is rewriting the information from outside sources using their own words without changing the original meaning. For example from the interview data, Subject 3 believed that to paraphrase is to cite an outside article using our own words. Therefore, when she paraphrased a sentence she considered that the use of citation is a must. However, from the interview conducted at the end of verbal protocol, she admitted that she forgot to cite the citation since she only focused on how to transform the sentence. Thus, the finding seems to be correlates to Liao and Tseng (2010) from which they discovered the mismatch between the subject perception and behavior. Although the students aware the important of paraphrase they failed to produce acceptable paraphrase since they do not have sufficient experience and practice. However, for some subjects of the study, the application of verbal report protocols to reveal their paraphrasing strategies seems to have some limitation. Obviously, subjects can verbalize only thoughts and processes about which they are consciously aware. Thus, processes that are automatic and executed outside of conscious awareness are not likely to be included in verbal protocols, and other means of assessing such processes must be used. Also, nonverbal knowledge is not likely to be reported. They admit that they do not accustom to this procedure. To eliminate this limitation, the researcher previously provides some examples and instruction deals with verbal report protocols. The researcher applies the paces of data collection includes: subject recruitment, introducing subject to the task (verbal report training session), the paraphrasing session, and ended with post task interview and follow up. This steps, as the result can help the students to follow and complete the verbal report protocols, even though at the time of doing this protocols they still not feeling comfortable. The researchers then evaluated the verified paraphrasing strategies used by students. In doing so, the researcher uses the data from the written task and the interview script. The researcher discovered that the subjects used a variety of strategies, which did not always conform to their self-reported perceptions of what constitutes effective and appropriate paraphrasing. For example, some subjects verbalized an effort to avoid direct copying by citing or referring to original author and mentioning the source but in fact most of them forgot to write the citation. To discover students paraphrasing strategies, the learning strategies taxonomy issued by oxford (1990) can be said to be very helpful in mapping out the students’ paraphrasing Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
163
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
strategies. The use of learning strategies taxonomy also justified by Macaro (2001: 20) that it can be justified to all language learning types. The researcher then evaluated the quality and appropriateness of six paraphrases produced by the eight subjects relates to the subjects’ verified paraphrasing strategies. This study adapted the previous research by McInnis (2009) in which she applied her own taxonomy on criteria for paraphrasing appropriateness. This checklist for paraphrasing appropriateness proved to be able to map the quality of students’ paraphrasing in this study. Using this checklist, all of the subjects’ paraphrasing quality eventually could be graded. The uses of the second coder also help the researcher to have a reliable data. Like Keck (2006) and McInnis (2006) the researcher also recommend the use of the second rater for the further researchers since this method is beneficial to data triangulation in order to get a valid or objective data. Additionally, from the finding, strategies that were verbalized by subjects during the task and from the interview at the end of verbal report process show a disconnection between perceived and actual appropriateness. The result indicates that the quality of subjects paraphrasing determined not only by how the subjects integrate their understanding to the terms of paraphrasing and the variety of paraphrasing strategies they used but also depends on their English proficiency.
Conclussion and Sugestion The perceptions which were obtained from students’ verbalized report on paraphrasing and stimulated recall interview indicate that the subjects had already had sufficient knowledge on paraphrasing. They clarified that paraphrasing is the using of our own words to express someone else’s idea whilst still preserving the main ideas of the original source. However, some subjects reflected misperception on defining paraphrasing. On the matter of students paraphrasing strategies, the data is formulated from Oxford (1990) learning strategies which also taking from Sharpe (2007) suggestions in paraphrasing. The result showed about 15 integrated strategies (direct and indirect strategies) applied by the subjects basing on Oxfords (1990) classifications on direct and indirect strategies. Those strategies were using keyword from the original source, elaborating or associating unknown words from the original source, using citation, reading text to gain understanding, recognizing and using different formula and pattern from the original source to the paraphrase work, recombining the synonym and grammar change in paraphrasing, translating the original source, summarizing the original source, using dictionaries or thesaurus, over viewing and linking with already known material, identifying the purpose of a language task, self-monitoring for the mistakes or problems in paraphrasing, self-evaluating for checking paraphrasing work, taking risk in using unknown cues, developing cultural understanding to the nature of paraphrasing. To the questions of how students’ strategies affect the quality of their paraphrase, the answer revealed from confronted the quality of paraphrasing from McInnis criteria’s to the subjects’ foreknowledge of paraphrasing and the strategies applied in paraphrasing. The result indicates that the quality of subjects paraphrasing determined by how the subjects integrate their understanding to the terms of paraphrasing and the variety of paraphrasing strategies they used. The subjects’ quality of paraphrasing also depends on their English mastery. Thus, even though they have the same perception or even different, the quality of paraphrasing always relate on their English proficiency. Based on the conclusion, it is suggested to English teacher to establish a consistent policy as well as provide the objective nature of judging the quality and appropriateness of 164
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
paraphrases. Hopefully, the teaching of how to paraphrase is not merely thought in the Writing class but integrates this skill to the students’ daily academic writing activities using various strategies of paraphrasing. For the next researchers, the exploration study of other academic skills such as on summarizing and synthesizing will also be worth pursuing.
References Bailey, Stephen. 2006. Academic Writing. A Handbook for International Students. Second Edition. Routledge. 2 Park Square, Milton Park, Abingdon, Oxon OX14 4RN Brown, H. Douglas. 2003. Language Assessment Principle and Classroom Practices. California: Longman. Campbell, C. (1990). Writing with others’ words: Using Background Reading Text in Academic Compositions. In B. Kroll (Ed.), Second language writing: Research Insights for the Classroom (pp. 211-230). Cambridge: Cambridge University Press. Dörnyei, Z. (2005). The Psychology of the Language Learner: Individual Differences in Second Language Acquisition. Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Ericsson, K. A., & Simon, H. A. (1993). Protocol analysis: Verbal Reports as Data (Rev. ed.). Cambridge, MA: Bradford Books/MIT Press. Keck, C. (2006). The Use of Paraphrase in Summary Writing: A Comparison of L1 and L2 Writers. Journal of Second Language Writing, 15, 261-278. Liao, Ming-Tzu and Tseng, Chiung-Ying (2010). Students' Behaviors and Views of Paraphrasing and Inappropriate Textual Borrowing in an EFL Academic Setting. PanPacific Association of Applied Linguistics 14(2), 187-211 Macaro, Ernesto. 2001: Learning Strategies in Foreign and Second language Classroom. London: Continuum. Mcinnis, Lara. 2009 Analyzing English L1 and L2 Paraphrasing Strategies Through Concurrent Verbal Report and Stimulated Recall Protocols. Department of Curriculum, Teaching and Learning University of Toronto. Unpublished. Meriam Websters Dictionary, Definition of Synonym, retrieved November 8, 2013. URL: www.merriam-webster.com/dictionary/synonym Oshima, Alice & Hogue, Ann. 2000. Writing Academic English, Third Edition, Young Publishing House. Oxford, R.L. 1990: Language Learning Strategies: What Every Teacher Should Know. Boston: Heinle & Heinle. Park, Siwon. 2009. Verbal Report in Language Testing. The Journal of Kananda University of International Studies Vol. 21 (2009) Purdue University Online Writing Lab. (2009). Quoting, Paraphrasing and Summarizing. Retrieved October 27, 2013, from www.owl.english.purdue.edu/owl/resource/563/01/ Sharpe, Pamela. J. (2007). Barron’s TOEFL iBT Internet-Based Test with 10 audio CDs. Bina Rupa Aksara Shi, L. (2004). Textual Borrowing in Second-Language Writing. Written Communication, 21(2), 171-200. Wenden, A. and Rubin. Joan. 1987. Learner Strategies in Language Learning. New Jersey: Prentice Hall.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
165
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Tuturan Fatis Guru Besar dalam Perkuliahan Kelas Linguistik Pahriyono 12 ([emailprotected]) Abstract Interpersonal contact is inevitably occurred in any social lives. It should be maintained to create the convivial gregariousness considerably concented to be a nature of human communication, including in learning interaction and communication. Based on the pragmatic perspective, the interpersonal contact is maintained by performing phatic utterances defined as a type of speech in which ties of union are created by a mere exchange of words. This study is aimed at analyzing and describing the functions of phatic utterances performed by the Professors in the linguistic classes. The phatic utterances are the data of this study analyzed by the model developed by Yin (2011) covering (1) compiling, (2) disassembling, (3) reassembling, (4) interpreting), and (5) concluding. The result reveals that the phatic utterances performed by the Professors have some functions such as (1) to brek silence, (2) to give reinforcement, (3) to keep conversation going on, (4) to make chit-chat, (5) to express solidarity, (6) to create a good sound of feeling, and (7)to say good bye. Keywords: phatic utterance, interpersonal contact, language function, learning interaction. Abstrak Kontak interpersonal yang pasti terjadi dalam setiap kehidupan sosial. Ini harus dijaga untuk menciptakan gregariousness ramah jauh menyetujui untuk menjadi sifat komunikasi manusia, termasuk dalam interaksi dan komunikasi pembelajaran. Berdasarkan perspektif pragmatis, kontak interpersonal yang dipertahankan dengan melakukan ucapan-ucapan phatic didefinisikan sebagai jenis pidato di mana hubungan serikat diciptakan oleh pertukaran hanya kata-kata. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan menjelaskan fungsi dari ucapan-ucapan phatic dilakukan oleh Profesor di kelas bahasa. Ucapan phatic adalah data penelitian ini dianalisis dengan model yang dikembangkan oleh Yin (2011) yang meliputi (1) kompilasi, (2) pembongkaran, (3) menyusun kembali, (4) menafsirkan), dan (5) hasil concluding. Hasil kajian ini mengungkapkan bahwa ucapan-ucapan phatic dilakukan oleh Profesor memiliki beberapa fungsi seperti (1) ke brek diam, (2) untuk memberikan penguatan, (3) untuk menjaga percakapan terjadi, (4) untuk membuat chit-chat, (5) untuk mengekspresikan solidaritas, (6) untuk membuat suara yang bagus perasaan, dan (7) untuk mengucapkan selamat tinggal. Kata kunci: tuturan phatic, kontak interpersonal, fungsi bahasa, interaksi belajar.
Pendahuluan Kemampuan berbahasa yang dimiliki manusia merupakan satu dari tanda-tanda kebesaran Allah SWT yang patut untuk dikaji sehingga dapat diperoleh manfaat khususnya dalam pengembangan ilmu kebahasaan dan penggunaan bahasa dalam kehidupan sehari-hari. Berbahasa merupakan bagian hidup manusia, baik verbal maupun non-verbal. Dengan berbahasa manusia bisa menyampaikan apa yang ada di pikiran dan perasaannya, serta apa yang menjadi keinginan dan tujuannya. Dengan berbahasa pula terjadi sebuah interaksi interpersonal dan interaksi sosial sehingga terjadi saling tukar pikiran dan berbagi perasaan.Ini yang menjadi kebutuhan manusia dalam membangun kehidupan sosial di mana mereka berada.Jadi, saling bertutur kata, bertukar kata-kata, dan bercerita antara satu dengan lainnya merupakan kodrat dan kebutuhan dasar manusia. Diakui bahwa ketika seseorang itu bertutur kata dia pasti memiliki maksud (intentionatau sense) yang hendak disampaikan kepada orang lain dan biasanya menghendaki adanya pengaruh 12
Dosen Pendidikan Bahasa Inggris, STKIP PGRI Jombang
166
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
(efek) dari tuturannya itu (Austin, 1962). Dalam teori penggunaan bahasa dinyatakan bahwa interaksi verbal adalah lebih menitikberatkan pada interaksi makna yang mengedepankan konteks sebagai penentu maknanya dari pada interaksi bentuk.Interaksi semacam ini disebut dengan istilah pragmatik (Huang, 2007; Gazdar, 1979). Dunia pendidikan tinggi juga tidak terlepas dari adanya interaksi atau komunikasi verbal yang terjadi antara dosen/guru besar dan mahasiswa. Komunikasi verbal yang dilakukan partisipan tersebut menggunakan bentuk-bentuk linguistik tertentu yang memiliki makna dan fungsi tertentu pula (Jumanto, 2006). Misalnya, seorang dosen menggunakan tuturan (ungkapan) untuk menunjukkan emosinya, ‘saya senang mengajar Bahasa Inggris’, ‘saya suka berbicara Bahasa Inggris’. Ungkapan semacam itu bersifat ekspresif atau emotif yang menunjukkan perasaan atau isi hati penutur. Juga, terdapat tuturan lain yang dapat digunakan oleh penutur dengan tujuan menyuruh orang lain melakukan sesuatu, misalnya ‘hidupkan AC-nya’, ‘tutup pintu itu’, dan sejenisnya. Tuturan seperti itu bersifat direktif yang bertujuan menyuruh orang lain melakukan sesuatu. Tuturn expresif atau emotif serta tuturan direktif tersebut di atas mengacu pada penutur (speaker) atau mitra tutur (hearer).Di samping itu, terdapat tuturan yang mengacu pada pihak atau orang ketiga atau sesuatu yang dibicarakan, kemudian fungsi tuturan ini dinamakan fungsi referensial (Jakobson, 1960). Misalnya, ‘Bahasa Inggris itu bahasa internasional’, ‘mahasiswa itu bernama Jayanti’, ‘Rani itu cantik sekali’, dan sejenisnya. Dalam komunikasi verbal pada manusia seringkali juga tidak mengacu pada seseorang atau sesuatu apapun tetapi itu lebih berfungsi pada upaya menjaga kontak interpersonal dan/atau kontak sosial di antara mereka.misalnyadalam Bahasa Inggris, ‘hello’, ‘how’re you?’, ‘nice day, isn’t it? Dan dalam Bahasa Indonesia, misalnya ‘selamat pagi, Prof.’, ‘mau mengajar, Prof?’, ‘Wah, kalian Nampak semangat ya, kuliah’, dan sejenisnya.Tuturan-tuturan semacam itu sering diucapkan ketika seseorang saling bertemu yang merupakan fenomena komunikasi verbal yang dikenal dengan istilah ‘komuni fatis’ (phaticcommunion) (Malinowski, 1923), fungsi fatis (phaticfunction)(Jakobson, 1960), ‘tuturan fatis’ (phaticutterance) (Kreidler, 1998), dan komunikasi fatis (phaticcommunication) (Jumanto, 2006). Komuni fatis merupakan komunikasi yang tidak dimaksudkan untuk mencari atau mengirimkan informasi, tetapi lebih sebagai komunikasi yang memiliki fungsi sosial untuk memantapkan atau mempertahankan kontak sosial dan interpersonal (Richard etal., 1992). Sehubungan dengan hal ini, Jumanto (2006) menggunakan istilah komunikasi fatis untuk tujuan yang sama dari hasil penelitiannya pada masyarakat modern penutur jati Bahasa Inggris.Adapun penelitian ini berfokus pada kajian bagaimanakah fungsi tuturan fatis guru besar dalam perkuliahan kelas linguistik Program Doktor Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta? Mengingat pentingnya fungsi tindak tutur fatis untuk menjaga kontak interpersonal dan/atau sosial, maka dalam dunia pendidikan tinggi hubungan atau kontak personal antardosen dan mahasiswamerupakan aspek penting demi keberhasilan aktivitas pembelajaran.Penelitian ini merupakan kajian pragmatik yang menitikberatkan pada aspek tuturan fatis dalam peristiwa tutur yang terjadi di kampus dalam perkuliahan guru besar dalam kelas linguistik Program Doktor Pascasarjana di Universitas Sebelas Maret Surakarta. Tentu penelitian ini berbeda dengan kajian yang dilakukan oleh peneliti terdahulu seperti Malinowski (1923) yang mengambil objek kajian komuni fatis (phaticcommunion) dalam kehidupan masyarakat primitif yang menggunakan bahasa lokal (daerah) di Papua, dan Jumanto (2006) yang mengkaji komunikasi fatis dengan objek kajian masyarakat modern yang berbahasa Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
167
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Inggris di Jakarta. Adapun penelitian ini mengkaji tuturan fatis (phaticutterance) dengan objek kajian perkuliahan guru besar dalam kelas linguistik Program Doktor Universitas Sebelas Maret Surakarta. Tipikal penutur juga berbeda antara penelitian terdahulu tersebut dengan penelitian ini, yaitu kajian komuni fatis (Malinowski, 1923) dengan tipikal penutur primitif berlatar belakang tidak berpendidikan berprofesi bertani/berkebun, dan komunikasi fatis (Jumanto, 2006) dengan tipikal penutur modern berlatar belakang pendidikan tinggi berprofesi nonpendidikan, sedangkan kajian tuturan fatis (penelitian sekarang) dengan tipikal penutur berpendidikan doktor dengan profesi guru besar.Adapun dari aspek metodologi, antara penelitian terdahulu dan sekarang memiliki kesamaan, yaitu menggunakan metode etnografi komunikasi.
Landasan Teori Dalam penggunaan bahasa sehari-hari termasuk dalam kehidupan dunia pendidikan ditemukan penggunaan tuturan seperi ‘apa kabar?’, ‘mau mengajar, pak?’, ‘wah, kalian nampak lebih semangat, ya’, dan sebagainya.Tuturan-tuturan terebut lebih menekankan pada fungsi menjaga hubungan baik antara penutur dan mitra tutur yang disebut sebagai tuturan fatis (Phaticutterance).Tuturan fatis ini masih tetap dipandang penting karena memiliki tujuan dan maksud tersendiri yaitu menjaga kontak interpersonal dalam kehidupan sosial (Kreidler, 1998). Tuturan fatis di antaranya adalah ucapan salam, ucapan perpisahan, ucapan terima kasih, dan sejenisnya. Juga semua ungkapan tentang komentar terhadap cuaca, bertanya tentang kondisi kesehatan.Juga frasa-frasa yang digunaka untuk mendoakan seseorangsaat memulai perjalanan, peringatan hari ulang tahun, hari-hari besar nasional, hari-hari besar keagamaan, dan lain-lain.Dalam aktivitas pembelajaran di kelas juga digunakan tuturan fatis oleh guru, dosen, guru besar, termasuk juga siswa dan mahasiswa, seperti sapaan ‘pak!’, ‘selamat pagi, pak!’, ‘wah, ide anda baik sekali’, ‘tugas kalian sudah bagus, tapi perlu beberapa tambahan’, dan sejenisnya.Jadi, tuturan fatis pada dasarnya memiliki satu fungsi utama yaitu menjaga kontak interpersonal dan/atau kontaks sosial di samping memiliki fungsi spesifik lainnya atas dasar konteks tuturan. Karl Buhler (1918 dalam Jumanto, 2006) seorang berkebangsaan Jerman yang menjelaskan fungsi bahasa dengan model organon. Model tersebut dikembangkan berlandaskan atas kerangka konsep dasar komunikasi yang mencakup tiga komponen pokok yaitu pengirim (sender), pesan (message), dan penerima (receiver). Dalam model Buhler dijelaskan aktivitas komunikasi verbal antara penutur/pengirim (speaker/sender) dan mitra tutur/penerima (listener/receiver) dengan menggunakan media atau tanda (S = sign). Di dalam model itu terdapat lingkaran yang menggambarkan fenomena akustik yang konkrit. Juga, terdapat segitiga yang melambangkan tiga faktor variabel dalam model tesebut, yaitu pengirirm, tanda yang digunakan, dan penerima. Berdasarkan atas model Buhler tersebut, fungsi bahasa mencakup tiga aspek, yaitu 1) fungsi ekspresif, 2) fungsi apelatif, dan 3) fungsi representatif. Fungsi ekspresif adalah fungsi yang didasarkan atas bahasa sebagai gejala dan digunakan untuk mengungkapkan perasaan penutur; fungsi apelatif adalah fungsi yang didasarkan atas bahasa sebagai sinyal yang memiliki daya tarik untuk mengarahkan perasaan dan perilaku penutur; dan fungsi representatif yaitu fungsi yang didasarkan atas bahasa sebagai lambang yang dapat digunakan untuk membicarakan objek dan berbagai keadaan (objectsandstatesofaffairs).
168
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Malinowski (1923) juga mengembangkan nosi fungsi bahasa dengan mendasarkan pemikirannya pada gagasan Buhler.Dalam interaksi dan komunikasi sehari-hari, manusia menggunakan bahasa sebagai alat yang belakangan diyakini dan ditemukan secara empiris bahwa bahasa berfungsi lebih dari sekedar alat komunikasi.Terdapat fungsi bahasa yang lebih menitik beratkan pada cara bertindak (modeofaction) yang digagas oleh Malinowski (1923) bahwa bahasa berfungsi sebagai pengikat sosial dan pencipta kehidupan yang harmonis, ramah tamah, penuh persahabatan dan kedekatan personal sehingga tercipta kehidupan yang menyenangkan dan damai serta saling menghormati di antara satu dengan lainnya. Kemudian Malinowski (1923) mencetuskan istilah untuk itu yang dikenal dengan nama komuni fatis (phaticcommunion), yaitu tipe tuturan yang digunakan untuk menciptakan ikatan sosial yang harmonis dengan semata-mata saling bertukar kata-kata.Istilah komuni fatis merupakan pernyataan teori (statementoftheart) dari Malinowski (1923) yang didasarkan atas hasil penelitian pada masyarakat primitif di Papua-Melanesia, dengan fokus kajian pada beberapa bahasa dari suku-suku primitif di wilayah tersebut. Jadi, bahasa dalam bentuk asli dan fungsi primitifnya memiliki ciri pragmatik, yaitu sebagai sebuah cara dari perilaku manusia, sebagai sebuah elemen yang tak terpisahkan dari tindakan manusia yang dilakukan secara bersama-sama (concertedhumanaction). Jakobson (1960) menjelaskan bahwa komunikasi itu terjadi mencakup enam faktor penting yang selalu ada dalam tindak komunikasi verbal.Enam faktor tersebut mencakupi 1) penutur (addresser) yang menyampaikan 2) pesan (message) kepada 3) mitra tutur (addressee). Agar supaya pesan tersebut dapat dioperasikan, maka dibutuhkan yang namanya 4) konteks (context) yang diacu, dan dikenali oleh mitra tutur, baik itu yang bersifat verbal ataupun yang bisa diverbalkan, lalu 5) kode, yang juga bisa dikenali oleh penutur dan mitra tutur sebagian ataupun keseluruhannya, yang juga disebut sebagai encoder dan decoder dari pesan; dan selanjutnya 6) kontak (contact), yaitu saluran fisik (physicalchannel) dan hubungan psikologis (psychologicalconnection) antara penutur dan mitra tutur sehingga dimungkinkan komunikasi tetap terjaga dan dipertahankan. Jadi, menurut Jakobson (1960) bahwa enam faktor komunikasi tersebut memiliki peran penting dalam menetapkan sebuah fungsi bahasa sehingga komunikasi dapat berjalan dengan baik dan lancar atau bisa disebut sebagai komunikasi yang efektif. Enam fungsi bahasa menurut Jakobson (1960) tersebut meliputi: 1) fungsi bahasa emotif (emotive), fungsi yang memberikan penekanan pada pengirim pesan (penutur) dan merupakan ungkapan langsung dari sikap penutur tentang apa yang sedang dibicarakan; 2) fungsi bahasa konatif (conative), fungsi yang memberikan penekanan pada petutur; 3) fungsi bahasa referensial (referential), fungsi yang memberikan penekanan pada acuan atau konteks yang sedang dibicarakan; 4) fungsi bahasa fatis (phatic), fungsi yang menitik beratkan pada kontak (contact) yang terjadi antara penutur dan mitra tutur; 5) fungsi bahasa metalingual (metalingual), fungsi yang menitik beratkan pada kode (code) yang digunakan oleh penutur dan petutur; dan 6) fungsi bahasa puitis (poetic), fungsi yang menitik beratkan pada pesan (message) yang disampaikan sehingga dapat melahirkan citra dalam perasaan, kesan yang mendalam, dan pesan dipandang berhasil. Jumanto (2006) melakukan penelitian dengan fokus kajian fungsi komunikasi fatis yang terjadi di kalangan penutur jati (nativespeakers) bahasa Inggris.Tiga ragam bahasa Inggris terbesar di dunia (the American, the British, dan the Australian) dipilih dalam penelitiannya.Dengan berpijak di atas pundak para raksasa terdahulu seperti Malinowski, Buhler, Jakobson, dan lain-lain, Jumanto dapat menemukan dua belas fungsi komunikasi fatis di Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
169
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
kalangan penutur jati bahasa Inggris. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa fungsi-fungsi fatis masih banyak digunakan oleh penutur jati bahasa Inggris di era modern seperti sekarang ini. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada beda antara temuan Malinowski yang obyeknya adalah masyarakat primitif dengan Jumanto dengan obyek masyarakat modern. Sesungguhnya mereka ingin hidup damai, ramah tamah, harmoni, saling menghormati, dan dalam ikatan sosial yang kuat serta hubungan interpersonal yang tetap terjaga dengan berbahasa dan berkomunikasi yang bersifat fatis. Terdapat dua belas fungsi komunikasi fatis dijelaskan Jumanto (2006), yaitu 1) memecahkan kesenyaapan, 2) memulai percakapan, 3) melakukan basa-basi, 4) melakukan gossip, 5) menjaga agar percakapan tetap berlangsung, 6) mengungkapkan solidaritas, 7) menciptakan harmoni, 8) menciptakan perasaan nyaman, 9) mengungkapkan empati, 10) mengungkapkan persahabatan, 11) mengungkapkan penghormatan, dan 12) mengungkapkan kesantunan.
Metode Penelitian Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan metode etnografi komunikasi.Terdapat beberapa alasan mengapa digunakannya metode etnografi komunikasi dalam penelitian ini. Pertama, metode etnografi komunikasi dapat memperlihatkan proses komunikasi khususnya saat melakukan tindak tutur fatis. Kedua, metode etnografi komunikasi menawarkan suatu cara pendokumentasian yang sistematis dan rinci tentang interaksi komunikasi yang berupa tindak tutur fatis. Ketiga, metode etnografi komunikasi dapat menyingkap peran budaya dalam interaksi komunikasi khususnya ketika melakukan tindak tutur fatis (Watson-Gegeo, 1995). Peristiwa tutur dalam penelitian ini adalah perkuliahan kelas linguistik Program Doktor di Universitas Sebelas Maret Surakarta pada bulan September 2011 sampai dengan bulan Agustus 2012. Adapun data penelitian ini berupa tuturan fatis yang digali dari sumber data, yaitu guru besar bidang linguistikyang berjumlah empat orang. Instrumen penelitian yang digunakan adalah observasi dengan teknik rekam (recording), simak (listening), dan catat (note-taking). Dalam melakukan observasi, peneliti berpartisipasi aktif di dalam kelas sebagai mahasiswa.Data penelitian yang telah didapat dianalisis dengan teknik analisis data yang dikembangkan oleh Yin (2011) yang mencakupi lima tahap, yaitu (1) compiling (pengumpulan), (2) disassembling (pelabelan atau pengkodean), (3) reassembling (pengelompokan dalam bentuk tabel, grafik, dafar, dan sejenisnya), (4) interpreting (penafsiran dalam bentuk naratif), dan (5) concluding (penyimpulan).
Hasil Penelitian Tuturan fatis yang diproduksi oleh guru besar dalam perkuliahan kelas linguistik di Program Doktor Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta memiliki beberapa fungsi fatis di antaranya adalah 1) memecahkan kesenyapan (to breakthesilence), 2) memberikan penguatan (to give reinforcement), 3) menjaga percakapan tetap berlangsung, 4) melakukan basa-basi (to make chit-chat), 5) mengungkapkan solidaritas (to express solidarity), 5) menciptakan perasaan nyaman (to create good sound of feeling) , dan 6) mengungkapkan perpisahan (to say good bye). Fungsi fatis tersebut dapat dijelaskan sebagaimana berikut ini. 1. Memecahkan Kesenyapan (to break silence) Suasana senyap yang dimaksud dalam perkuliahan ini adalah suasana di mana para mahasiswa dalam keadaan pasif, tidak bersuara, dan terlihat serius atau nampak tidak 170
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
bersemangat mendengarkan penjelasan guru besar.Dalam situasi seperti ini, guru besar hanya berbicara sendiri tanpa adanya reaksi apapun dari mahasiswa.Situasi semacam ini tentu tidak diinginkan oleh para guru besar sehingga mereka mencoba memecahkan kesenyapan tersebut dengan berbagai cara seperti yang ditemukan dalam penelitian ini yang dijelaskan berikut ini. Fungsi fatis memecahkan kesenyapan dilakukan oleh para guru besar dengan beberapa caraseperti a) memberi salam awal pertemuan kuliah, dan b) memberikan contoh menarik terkait materi perkuliahan, dan c) bercanda. a) Memberi salam awal pertemuan Tuturan berikut ini digunakan oleh para guru besar dalam memberikan salam awal perkulihan, yaitu Selamat Pagi, Bapak-Ibu…!, Selamat Siang, Bapak-Ibu….!, Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Ketika para mahasiswa duduk tenang tanpa kata di ruang kelas sebelum kuliah dimulai, situasi terlihat senyap lalu guru besar mengucap salam tersebut sebagai salam awal perkuliahan dan dialog atau tanya-jawab seputar materi kuliah atau guru besar yang bersangkutan bercerita terlebih dahulu sebelum memulai kuliahnya. Salam semacam itu termasuk tuturan fatis yang difungsikan untuk membuka kran kontak interpersonal. Oleh karenanya salam tersebut seringkali tidak menghendaki adanya jawaban dari mitra tutur, dan penutur tidak merasa terserang muka positif dan muka negatifnya apabila salamnya tidak mendapat jawaban dari mitra tutur. Jadi, salam awal pertemuan perkuliahan pada umumnya dilakukan oleh semua guru besar, tetapi pada akhir perkuliahan, mereka tidak mengucapkapkan salam akhir pertemuan melainkan hanya ungkapan penutup dan ungkapan perpisahan. b) Memberikan contoh menarik terkait materi perkuliahan Selama perkuliahan berlangsung seringkali terasa senyap, mahasiswa terdiam tanpa ada reaksi apapun, lalu guru besar biasanya memecahkan kesenyapan tersebut dengan cara membuat contoh yang begitu menarik terkait materi yang disampaikan. Contoh yang mereka buat cenderung bernuansa hangat, aktual, segar, dan terkadang berbau seksual sehingga mengundang mahasiswa bereaksi dan merespon pernyataan gur besar tersebut dan suasana kelas berubah menajdi tidak senyap. Di antara tuturan fatis yang digunakan para guru besar tersebut adalah (i) Pak, kalo di Solo sing ati-ati…; (ii) Misalnya, Pak Prih pulang habis kuliah ini, ketika sampek Madiun berhenti pijet, lalu sampai di rumah ditanya sama istri: “kok lama pak”. Pak Prih jawab: “Iya tadi macet di jalan”; (iii) Misalnya, istri masak sampai keringatan, suami datang, lalu dihidangkan. Suami berkomentar enak padahal masakan sejatinya tidak enak. Haaa…haaa….; (iv) Misalnya, ‘mangan gak mangan pokok e kumpul’ sebenarnya ‘kumpul gak kumpul pokok e mangan’. Haaa….haaa….; (v) Misalnya, itu dalam Bahasa Inggrisnya apa pak, orang laki-laki yang serba takut terhadap cewek? Sudah jatuh cinta tapi ndak mau mengunjungi, haaa..haaa… Dalam Bahasa Inggrisnya disebut “chiken”, haa…haaa….; (vii) Jadi orang itu jangan tua-tua keladi, tapi tua-tua kelapa, artinya semakin tua semakin banyak santannya, supaya senang istrinya, haaa…haaa…. Contoh-contoh tersebut berkategori contoh ringan dan sederhana namun terkait dan mengena dan memang ditujukan untuk memecah kesenyapan kelas sehingga terjadi kontak yang akrab, hidup dan menyenangkan dan itu identik dengan karakteristik tuturan fatis. c) Bercanda Cara lainnya yang digunakan oleh guru besar dalam memecahkan kesenyapan dalam perkuliahan adalah dengan bercanda. Di antara tuturan bercanda yang diproduksi para guru besar tersebut adalah (i) Jadi, gini ya, kalo mau tahu tentang hal ini, ya sinau dewe…., Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
171
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
haaa…haaa…; (ii) Jadi, kalau mau jadi doktor kudu sinau maneh; (iii) Saya ndak mau anda jadi lulusan doktor “tembre-tembre” itu; (iv) Orang Inggris itu orang yang paling jelek lidahnya; (v) Coba pak, jelaskan! Sing “ceto” gitu loh….; (vi) Ayo pak Joni coba jawab, pak. Pak Joni ini lama ndak pernah perang, la mau perang gimana ndak ada musuhnya…. Dalam bercanda terkadang tiba-tiba terjadi dialog akrab antara guru besar dengan mahasiswa seperti berikut ini. Guru besar: Pak, buku dan referensi lainnya jadikan istri kedua. Nanti kalo ngerjakan disertasi juga gitu jadikan dia istri kedua. Mahasiswa: Wah, ceritanya nambah ini, Prof. Guru besar: Nambah ndak apa-apa, tapi kalo ganti jangan…, haaa…haaaa…. 2. Memberikan penguatan (to give reinforcement) Tuturan fatis yang digunakan guru besar dalam memberikan penguatan dilakukan dengan cara a) memuji, misalnya Wah, ide itu bagus sekali pak, nanti akan lebih bagus apabila dikembangkan dengan eksplorasi teori-teori lain pak; b) menyatakan setuju dengan pendapat mitra tutur, misalnya Ok, bagus, saya setuju pak. Mungkin ada tambahan dari yang lain? Penutur mengetahui bahwa tuturan tersebut pasti dikehendaki oleh mitra tutur meskipun mungkin secara fakta ide mitra tutur tidak seperti yang dikatakan oleh penutur tetapi tuturan ini memiliki daya ilokusi yang besar dalam memberikan penguatan dan penutur tidak begitu menghendaki adanya respon dari mitra tutur, tetapi yang terpenting yang menjadi tujuan penutur adalah terjalinnya kontak interpersonal antara penutur dan mitra tutur. 3. Menjaga percakapan tetap berlangsung (to keep conversation going on) Untuk menjaga percakapan tetap berlangsung, para guru besar memproduksi tuturan fatis dengan cara a) Menghindari kesenyapan ketika sedang berbicara, di antaranya (i) Hmmmm…, (ii) Aaaa, begini, pak…., dan sebagainya; b) Mengalihkan topik atau fokus pembicaraan, di antaranya (i) Baik!…, (ii) Baiklah, pak!, (iii) Ok…, (iv) Oklah…!, dan sebagainya; dan c) Memberikan tanda sedang mendengarkan, di antaranya (i) iya…iya…, (ii) ya pak.., ya…, (iii) Hhe ehh…, dan sebagainya. Tuturan tersebut di atas tidak menunjukkan arti yang jelas akan tetapi memiliki fungsi yang sangat penting dalam penggunaan bahasa. Penutur memiliki maksud yang dapat dimaknai sebagai cara untuk menjaga percakapan tetap berlangsung atau tidak terputus. Jadi, tuturan tersebut tergolong sebagai tuturan fatis karena dari segi arti dapat dikatakan tidak jelas tetapi memiliki fungsi penting yang secara sengaja diproduksi penutur untuk menjaga percakapan tetap berlangsung. 4. Melakukan Basa-Basi (to makae chit-chat) Para guru besar melakukan basa-basi dengan cara bertanya sesuatu yang sudah jelas dan/atau bertanya sesuatu yang penutur sendiri sudah tahu. Tuturan berikut dapat dikategorikan sebagai tuturan fatis yang berfungsi untuk melakukan basa-basi yang dilakukan guru besar dalam perkulihan mereka, yaitu (i) Kenapa orthografi kata ‘baik’ dan ‘itik’ itu berbeda?; (ii) Bapak tahu orang sakit Polio?; (iii) Itu Kira-kira apa maksudnya?; (iv) Itu masuk tindak tutur apa, pak?; (v) Apa itu yang dimaksud dengan ‘truth conditional semantics’?; (vi) Sekarang hari apa pak? Jumat ya kan?; (vii) Baiklah, sampai di mana pembahasan kita? Sampai pada tindak tutur ya. Guru besar seringkali membuat kalimat tanya semacam itu di tengah-tengah perkuliahannya dan pertanyaan tersebut yang pada akhirnya dijawab sendiri melalui penjelasan atau ilustrasi. Mitra tutur mengetahui bahwa penutur tentu tahu apa jawaban yang sesungguhnya
172
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
dari pertanyaan tersebut, oleh karenanya mitra tutur tidak menjawabnya dan penutur tidak mempermasalahkan hal itu. Jadi, pertanyaan penutur tersebut merupakan pertanyaan basa-basi yang hanya ditujukan agar kontak interpersonal antara penutur dan mitra tutur tetap terjaga dalam perkuliahan. 5. Mengungkapkan solidaritas (to express solidarity) Diantara beberapa cara yang dipakai guru besar dalam mengungkapkan solidaritas, yaitu a) mengucapkan do’a, di antaranyaSemoga hal ini bisa menggugah pemikiran anda semua; b) mengucapkan terima kasih, di antaranya (i)Terima kasih atas perhatiannya ya pak; (ii) Matur nuwun bapak ibu, ketemu lagi hari apa pak?dan c) setuju dan tertarik pada pendapat mitra tutur, di antaranyaSaya tertarik dengan masalah itu, bu. Ungkapan solidaritas dalam bentuk do’a jarang sekali diungkapkan oleh guru besar, tetapi dalam bentuk ungkapan terima kasih seringkali dilakukan. Ungkapan maturnuwun yang diungkapkan guru besar sebagai penutur didasarkan atas pertimbangan kultur jawa tengah (solo) bukan atas dasar pertimbangan power dan distance. Oleh karenanya ungkapan matur nuwun dirasa tidak mengancam muka mitra tutur karena tuturan tersebut dibalut oleh konteks kultural jawa tengah (solo) yang sangat popular dengan ungkapan tersebut dalam setiap situasi. 6. Menciptakan perasaan nyaman (to create good sound of feeling) Dalam hal ini, guru besar melakukannya dengan cara a) memberi semangat, di antaranya (i) Jadi sekalipun S3 tetap sinau lebih giat lagi, bukunya itu “diuyel-uyel” gitu loh, jangan hanya istrinya saja yang “diuyel-uyel” itu, haaa…haaa, (ii) S3 memang harus banyak eksplorasi, (iii) Bacanya yang kuat ya pak; dan b) memberikan ungkapan yang menenangkan, di antaranya (i) Kalo mengalami kebuntuan masalah disertasi, ya jangan diam, tahu-tahu lama ndak pernah kelihatan, waaaahh…., datang saja ke saya, nanti saya bantu, (ii) Sudah pak, yang penting dikerjakan dulu, kalau sudah selesai langsung di email gitu saja, waktunya saya kasi sampai akhir semester ini. Tuturan (ai) tersebut di atas bertujuan memberi semangat dengan strategi bercanda sehingga kontak interpersonal antara penutur dan mitra tutur terasa hangat dan tetap terjaga, tidak ada ketegangan.Penggunaan kata “uyel-uyel” (Bahasa Jawa) mengacu pada suatu tindakan meremas-remas, megang-megang objek secara intensif atau berulang kali tanpa mengenal lelah dan putus asa. Kata tersebut akan terasa humoris apabila digunakan untuk mengungkapkan perilaku suami kepada istri yang dicintai. Atas dasar ini, guru besar meminjam kata tersebut sebagai latar pemberian semangatnya kepada mitra tutur.Adapun tuturan lainnya bersifat langsung atau literal digunakan oleh guru besar dalam memberikan perasaan nyaman kepada mitra tutur. 7. Mengungkapkan perpisahan Pada akhir pertemuan, para guru besar mengungkapkan tuturan perpisahan yang dikategorikan sebagai tuturan fatis. Ungkapan perpisahan berikut digunakan oleh para guru besar dalam mengakhiri perkuliahan mereka, di antaranya adalah (i) Sudah sampai di sini dulu, sudah jam setengah sembilan; (ii) Saya kira cukup, saya sudah siap mau makan siang dulu, haaa…haaa; (iii) Saya kira cukup itu yang bisa saya sampaikan, cukup banyak ya, cukup banyak ya….; (iv) Baik, sekian bapak-ibu, untuk minggu depan kita bicara bagian 3 dan 4 ya…; (v) Demikian bapak/ibu. Kita ketemu lagi minggu depan. Tolong dipelajari materi yang saya berikan; (vi) Matur nuwun bapak ibu, ketemu lagi hari apa pak? (vii) Gitu pak ya. Ini mohon maaf ya, sudah di sms….; (viii) Saya rasa bisa kita akhiri pak ya. Terima kasih atas
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
173
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
perhatiannya….; (ix) Habis ini pak Pri (Supriyadi) ya, ya sudah sampai di sini pak ya….; dan (x) Masih ada kuliah lagi habis ini?, kita sampai di sini aja, terima kasih. Tuturan (i) merupakan tuturan fatis yang digunakan untuk mengungkapkan perpisahan yang diungkapkan secara tidak langsung. Frase sudah jam setengah Sembilan merupakan pemarkah lingual yang menunjukkan waktu berakhirnya perkuliahan sesuai dengan jadual yang telah disepakati oleh penutur dan mitra tutur. Meskipun mitra tutur sudah tahu bahwa jam setengah sembilan itu berakhirnya perkuliahan, penutur memberitahukan kepada mitra tutur dengan tujuan utama bukan menginformasikan akan tetapi untuk mengungkapkan perpisahan dan penutur tidak begitu peduli apakah tuturannya tersebut mendapat jawaban atau tidak dari mitra tutur. Atas dasar itu, tuturan (i) tersebut dikategorikan sebagai tuturan fatis yang berfungsi sebagai ungkapan perpisahan. Demikian juga dengan tuturan lainnya yang memiliki fungsi yang sama. Ungkapan sudah sampai di sini dulu, saya kira cukup, sekian bapak-ibu, demikian bapakibu, gitu pak ya, saya rasa bisa kita akhiri…, ya sudah sampai di sini…., dan kitasampai di sini aja…merupakan ungkapan penutup perkuliahan yang pada umumnya diikuti oleh ungkapan perpisahan baik yang langsung (literal) seperti (v) kita ketemu lagi minggu depan, ataupun yang tidak langsung (non-literal) seperti (iii) saya sudah siap mau makan siang dulu, haaa…haaa; (iv) untuk minggu depan kita bicara bagian 3 dan 4 ya…;(vii) Ini mohon maaf ya, sudah di sms…., dan sebagainya.Pada umumnya ungkapan-ungkapan penutup yang diproduksi guru besar dalam perkuliahan ini bersifat sederhana dan sebagaian besar diikuti dengan ungkapan perpisahan yang berstruktur tidak langsung.Ungkapan perpisahan langsung jarang sekali digunakan karena ungkapan tidak langsung dalam perspektif pragmatik termasuk ungkapan yang berkategori lebih santun.
Simpulan Berdasarkan atas hasil analisis data yang diperoleh dalam penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa tuturan fatis yang memiliki fungsi utama menjaga kontak interpersonal digunakan oleh para guru besar dalam perkuliahan Program Doktor Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. Tuturan-tuturan fatis tersebut memiliki fungsi spesifik di antaranya adalah 1) memecahkan kesenyapan yang dilakukan dengan cara a) memberi salam pada awal pertemuan, b) memberikan contoh menarik terkait dengan materi kuliah, dan c) bercanda; 2) memberikan penguatan (reinforcement) dengan cara a) memuji, dan b) setuju dengan pendapat mitra tutur; 3) menajaga percakapan tetap berlangsung, dilakukan dengan cara a) menghindari kesenyapan ketika sedang berbicara, b)mengalihkan topik atau fokus pembicaraan, dan c)memberikan tanda sedang mendengarkan4) basa-basi, dilakukan dengan cara bertanya sesuatu yang sudah jelas dan/atau bertanya sesuatu yang penutur sendiri sudah tahu. 5) mengungkapkan solidaritas, dilakukan dengan cara a) memberikan do’a, b) mengucapkan terima kasih, dan c) setuju/tertarik dengan pendapat mitra tutur; 6) menciptakan perasaan nyaman, dilakukan dengan cara a) memberi semangat, dan b) memberi ungkapan yang menenangkan; dan 7) mengungkapkan perpisahan.
Daftar Pustaka Austin, J.L. (1962). How to do things with words. London: Oxford University Press. Gazdar, Gerald (1979). Pragmatics: Implicature, Presupposition, and Logical Form, Academic Press, Inc., Florida.
174
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Horn, Laurence R. & Ward, Gregory (20060.The Handbook of Pragmatics, Blackwell Publishing Co, Victoria. Huang, Yan (2007). Pragmatics, Oxford University Press, Inc., New York. Jakobson, Roman (1960). ‘Concluding Statement: Linguistics and Poetics’, dalam T. Sebeok (ed.),StyleinLanguage, MIT Press, Cambridge, MA., hal. 350-377. Jumanto (2011).Pragmatik: Dunia Linguistik Tak Selebar Daun Kelor. WorldPro Publishing, Semarang. Jumanto (2008).Komunikasi Fatis di Kalangan Penutur Jati Bahasa Inggris. WorldPro Publishing. Semarang. Kreidler,Charles W. (1998). Introduction to English Semantics, Blackwell Publishing Co., Victoria. Maleong, L.J. (1991). Metodologi Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung. Malinowski, Bronislaw (1923). ’The Problem of Meaning in Primitive Languages’, dalam Ogden, C.K. dan I.A. Richards (eds), The Meaning of Meaning. K. Paul, Trend, Trubner, London, hal. 296-336. Mey, Jacob L. (2001). Pragmatics: An Introduction (2nd Edition), Blackwell Publishers Inc., Massachussetts. Richards, J.C., Jonathan Hull, and Susan Proctor. 1990. Interchange: English for Int’lCommunication. Cambridge: Cambridge University Press. Smith, Barry (2003). John Searle: Contemporary Philosophy in Focus, Cambridge University Press, Inc., Cambridge. Watson-Gegeo, Karen Ann. (1995). “Ethnography in ESL: Defining the Essentials,” Reading on Second Language Acquisition, (ed). H. Douglas Brown dan Susan Gonzo, 36-53. Englewood Cliffs,NJ: Prentice-Hall Regents. Wijana, I D ewa Putu (1996).Dasar-Dasar Pragmatik, Andi Offset, Jogyakarta. Yin, Robert K. 2011.Qualitative Research: From Start to Finish. New York: The Guilford Press
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
175
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Meningkatkan Kemampuan Berbicara Bahasa Inggris dengan Sulih Suara Muhammad Farhan Rafi 13 ([emailprotected]) Tatik Irawati 13 ([emailprotected]) Abstract The intent of this action research was to know how the implementations of dubbing film can improve the ability of the students’ speaking. This study focuses collaborative classroom action research which researchers and the teacher worked together to apply the research. The research had two cycles by applying the procedures; planning, implementing, observing and reflecting. The data collected by having some instruments; observation, questionaire and test. The research subject is 39 students of 2013 C STKIP PGRI Jombang. When the research and data analysis finished, the result showed that there were a significant improvement in students’ participant and thw achievement of speaking skill. At the beginning of research in preliminary study, the average score of the students was 72, whereas Criteria Minimum of Achievement was 78. At the end of cycle 1 improved to 74.48, and improved to 83 at the end of cycle 2. It means that the students’ participant and the score were increasing after doing the action. In particular, dubbing film can improve students’ achievement in speaking. Key Words: Dubbing Film, Speaking Ability Abstrak Penelitian ini dimaksudkan untuk menegetahui bagamana perapan tehnik sulih suara yang dapat meningkatkan kemampuan speaking mahasiswa. Penelitian ini difokuskan pada penelitan tindakan kelas secara kolaboratif dimana peneliti dan guru bekerjasama dalam pelaksanaan penelitian. Penelitian ini dilaksanakan dengan dua siklus dengan beberapa prosedur: perencanaan, tindakan, observasi dan refleksi. Instrument yang digunakan adalah observasi, kuesioner, dan tes. Sedangkan subjek penelitian adalah mahasiswa STKIP PGRI Jombang angkatan 2013 C yang berjumlah 39 mahasiswa. Dari hasil penelitian ditemukan ada peningkatan kemampuan mahasiswa baik dari proses pembelajaran yang lebih positif dan nilai yang lebih baik. Pada penelitian awal nilai rata-rata speaking mahasiswa adalah 72 sedangkan standart ketuntasan adalah 78. Pada akhir siklus pertama hasil nilai rata-rata speaking mahasiswa adalah 72 dan meningkat menjadi 83 pada akhir siklus kedua. Dari hasil ini berarti partisispasi dan nilai mahasiswa meningkat setelah penelitian. Maka bisa disimpulkan bahwa sulih suara dapat meningkatkan kemampuan berbicara pada mahasiswa. Kata kunci: Sulih suara, Kemampuan Berbicara
Pendahuluan Dalam sillabus mata kuliah speaking for daily conversation, diterangkan bahwa pada hasil belajar mahasiswa harus mampu berbicara bahasa Inggris dalam percakapan sehari-hari secara fasih dan lancar. Tetapi pada hasil test pada ujian akhir semester 2013-2014 ditemukan bahwa banyak mahasiswa yang masih belum mampu mencapai hasil yang maksimal. Dalam proses pembelajarannya, ditengarai ada beberapa hal yang mengakibatkan mahasiswa lemah dalam berbicara bahasa inggris diantaranya terbatasnya pembendaharaan kosakata mahasiswa, sehingga membuat mahasiswa kesulitan untuk mengungkapkan idenya, Cara pegucapan yang belum sempurna merupakan penghambat yang lain yang menghasilkan makna yang tidak sesuai dengan yang dimaksutkan, dan susunan kalimat yang tidak sesuai dengan ilmu kebahasaan 13
Dosen Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris, STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia
176
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
menimbulkan makna yang membingungkan. Selain itu ketidak percayaan diri dan kurang berani berbicara dalam proses pembelajaran serta merasa takut berbuat kesalahan dalam berbicara membuat mahasiswa untuk memilih menjadi mahasiswa yang pasif. Sedangkan bekomunikasi dalam bahasa inggris dibutuhkan beberapa hal yang harus di miliki, seperti jumlah kosakata yang telah dimiliki, mengetahui bentuk susunan kalimat dan mampu menggunakan, dan menguasai cara pengucapannya. Hal ini akan membuat mahasiswa mampu berkomunikasi secara lancar dan akurat. Menurut Cahyono dan Widiati (2011: 29), keberhasilan mahasiswa dalam mengembangkan kemampuan berkomunikasinya dapat dilihat dalam kelancarannya, keakuratannya dan keefektifannya. Para mahasiswa saat ini, dituntut untuk mampu menguasai ketrampilan berbahasa, salah satunya adalah berbicara, dan ketrampilan tersebut dapat berhasil dengan seringnya berlatih dengan teman yang juga mempunyai ketrampilan tersebut. Di masyarakat Indonesia sangat jarang seseorang berbicara bahasa inggris sehingga ini mempersulit mahasiswa untuk menemukan partner yang bisa diajak berlatih sehingga mahasiswa hanya bisa berlatih dalam kegiatan formal.di sekolah atau lembaga kursus. Karena pembelajaran ketrampilan ini hanya bisa ditemukan dalam kegiatn formal, maka pengajar harus mampu memaksimalkan dirinya untuk membantu para mahasiswa untuk berlatih. Dalam pengajaran berbicara bahasa inggris, menurut Cahyono dkk (2011:36) pengajaraanya harus menerapkan pendekatan pengajaran bahasayang bersifat komunikatif. Para mahasiswa bisa saling berinteraksi dalam proses pembelajaran sehingga mereka mampu meningkatkan kemapuan berbicara bahasa inggrisnya. Berdasarkan fakta di atas, kesulitan mahasiswa dan hasil yang belum memuaskan dalam ketrampilan berbicara pada mahasiswa di STKIP PGRI Jombang mungkin disebabkan karena teknik yang kurang efektif dari pengajaran ketrampilan berbicara dan ini menyebabkan kegiatan belajar mengajar menjadi tidak menarik. Ada beberapa masalah, pertama, guru tidak membuat perencanaan yang baik yang mencakup tujuan umum dan khusus instruksional, bahan ajar dan media untuk pengajaran. Blaz (2001:137) menyatakan bahwa penggunaan media pembelajaran selama instruksi dapat memfasilitasi dan meningkatkan belajar mahasiswa. Namun, untuk membantu mahasiswa untuk bisa berbicara, guru harus lebih kreatif untuk mencari tahu bahan otentik dan media yang tepat yang membantu mahasiswa untuk terlibat dalam pengajaran ketrampilan berbicara. Salah satu media yang bisa digunakan adalah film. Penggunaan film dalam pembelajaran, menurut Dewi (2013) film memberi dampak yang positif terhadap para mahasiswa. Mahasiswa termot ivasi dan tertarik untuk belajar serta mahasiswa mempunyai sikap penasaran untuk mengembangkan ketrampilan yang diperolehnya. Selain itu dengan film, kosakata, cara pengucapan dan pemahaman dalam berbicara bahasa Inggris dapat diperoleh dengan baik. Dalam film,terdapat subtitles yang juga membantu pelajar untuk lebih focus terhadap kalimat yang muncul dalam film tersebut, sehingga akam mampu membuat mahasiswa untuk lebih mudah memahami makna kalimat tersebut dan juga cara pengucapannya. Dengan adanya permasalahan dalam pembelajaran ketrampilan berbicara di atas dan efektifnya media film, maka peneliti menggrnakan tehnik Sulih suara untuk menyelesaikannya. Sulih suara merupakan penggatian suara para karakter dalam sebuah film. Tehnik Sulih suara memberikan kemudahan kepada mahasiswa untuk berdialog tanpa kesulitan membuat dialog seperti dalam pembuatan drama. Para mahasiswa hanya perlu menirukan percakapan yang muncul dalam film. Menurut Burston (2005) Keuntungan tehnik Sulih suara dalam pengajaran Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
177
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
ketrampilan berbicara membuat mahasiswa memahami kalimat – kalimat dalam percakapan dengan mudah karena dipraktikkan berulang-ulang, pengucapan yang sesuai dengan penutur asli karena mahasiswa menirukan langsung sesuai dengan percakapan yang muncul dalam film, dan penggunaan kosakata dan susunan kalimat yang benar dalam percakapan mereka. Selain itu, para mahasiswa akan merasa bangga bahwa mereka terlibat dalam pengisisan suara pada sebuah film yang menjadi film favorit mereka. Berdasarkan uraian diatas maka peneliti melibatkan mahasiswa dalam teknik Sulih suara. Peneliti berfokus pada peningkatan kemampuan berbicara bahasa Inggris di STKIP PGRI Jombang dengan menggunakan salah satu tehnik pembelajaran kooperatif, yaitu Sulih suara. Landasan Teori
Ketrampilan Berbicara (Speaking) Ketrampilan berbicara bahasa Inggris (speaking) merupakan salah satu ketrampilan bahasa yang dalam proses pembelajarannya memerlukan kemampuan penguasaan komponenkomponen bahasa yaitu kosakata, susunan kalimatdan cara pengucapannya. Menurut Keith dan Morrow (1990:70) Ketrampilan berbicara adalah sebuah kegiatan dengan mengucapkan kalimat-kalimat yang dilakukan oleh dua atau beberapa orang yang bertindak sebagai pembicara dan pendengar sehingga mereka dapat bereaksi sesuai dengan apa yang mereka maksud. Tarigan (1995: 149) menambahkan bahwa ketrampilan berbicara adalah ketrampilan menyampaikan pesan melalui bahasa lisan. Keterkaitan antara bahasa lisan dan pesan sebagai media penyampaian sangat berat. Pesan yang diterima oleh pendengar adalah dalam bentuk bunyi bahasa bukan dalam bentuk yang lain. Kemudian pendengar mengalihkan pesan dalam bentuk bunyi bahasa itu menjadi bentuk apa yang diucapkan oleh pembicara. Dalam ketrampilan berbicara, menurut Tarigan (1995: 149) terdapat beberapa tujuan umum dalam berbicara, yaitu 1) menghibur, pembicara menarik perhatian pendengar denga cara, seperti humor, spontanitasm menggairahkan, kisah-kisah jenaka, petualangan dan sebagainya untuk menimbulkan suasana gembira pada pendengarnya. 2) menginformasikan, tujuan ini dilaksanakan untuk menjelaskan suatu proses, menguraikan, menafsirkan, atau menginterpretasikan sesuatu hal, memberi, menyebarkan atau menanamkan pengetahuan. 3) menstimulasi berbicara, menurut Tarigan berbicara itu harus pintar merayu, mempengaruhi, atau meyakinkan pendengarnya. Hal ini bisa tercapai jika pembicara benar-benar mengetahui kemauan, minat, inspirasi, kebutuhan dan cita-cita pendengarnya. Menurut Arsjad dan Mukti (1993: 17-20) seorang pembicara harus menguasai topic yang sedang dibicarakan dan harus berbicara dengan jelas dan tepat. Beberapa factor yang harus diperhatikan oleh pembicara untuk keefektifan berbicara adalah 1) ketepatan ucapan (pronunciation), pengucapan bunyi-bunyian harus tepat, begitu juga dengan penempatan tekanan, durasi dan nada yang sesuai, 2) pemilihan kosakata (vocabulary) harus jelas dan tepat dan bervariasi sehingga dapat memancing kepahaman dari pendengar, 3) Tatabahasa (Grammar), kalimat yang diucapkan harus tepat sesuai dengan susunan bahasa yang benar.
Pengajaran Berbicara di Kelas EFL (English as the Foreign Language). Mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis adalah empat keterampilan bahasa yang diperoleh dalam tahapan yang berbeda dalam fase perkembangan bahasa mahasiswa. Belajar bahasa kedua atau asing berarti belajar untuk berkomunikasi dengan orang lain. Dalam berkomunikasi akan melibatkan interaksi dengan satu atau lebih pelaku. Berkomunikasi yang
178
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
efektif juga meliputi pendengaran yang baik, sebuah pemahaman tentang bagaimana perasaan pihak lain dan sebuah pengetahuan tentang bagaimana aturan untuk mengambil giliran atau membiarkan pihak lain untuk berbicara juga. Menurut (Harmer, 1997). Ada beberapa unsur dalam berbicara yaitu keistimewaan bahasa, pengelolaan bahasa dan interaksi pihak lain. Pengajaran berbicara (speaking) di kelas EFL (English as the Foreign Language) di Indonesia sudah menggunakan konsep communicative competence, di mana konsep ini sudah menekankan pada penerapan pendekatan pengajaran bahasa yang bersifat komunikatif (communicative language teaching). Dalam pendekatan ini, para mahasiswa sudah saling berinteraksi dalam proses pembelajaran, aktivitas kelas menjadi pusat kegiatan yang meningkatkan kemampuan berbicara mahasiswa. Menurut Bambang dan Widiati (2011: 38) pengajaran berbicara bisa ditekankan pada latihan berbicara secara akurat dan lancar yang meliputi pengucapan dan tata bahasa. selain itu, bertujuan untuk memahami bentuk bahasa seperti frasa, kalimat dan dialog. Para mahasiswa bisa mempraktikkan dan menghafalkan bentuk bahasa tersebut dengan cara pengulangan dan drilling. Dalam penerapan kelas speaking, kegiatannya bisa diklasifikasikan menjadi kegiatan individu atau kelompok. Kegiatan individu bisa menerapkan bercerita, mendiskripsikan sesuatu dan berpidato. Sedangkan kegiatan kelompok bisa menerapkan Dubbing, role-play, presentasi, debat dan diskusi. Dan saat ini kegiatan kelompok lebih dominan dari pada kegiatan individu. Kegiatan kelas berbicara di Indonesia telah banyak menggunakan instruksi yang bermacam-macam pola. Menurut Kasim (2004) terdapat lima kegiatan kelas yang bisa diterapkan yaitu kegiatan guru dangan kelas,guru dengan kelompok,guru dengan murid, murid dengan murid dan murid dengan guru. Dalam kegiatan ini, guru hanya sebagai fasilitator yang membantu mahasiswa untuk lebih memahami makna dari pada bentuk kalimat sehingga mahasiswa lebih termotivasi dalam kegiatan kelas berbicara tersebut.
Sulih Suara Salah satu strategi pembelajaran kooperatif yang dikembangkan adalah Dubbing. Dubbing dalam bahasa Indonesia berarti sulih suara dan biasanya digunakan di dalam dunia perfilman. Penggunaan tehnik ini diperkirakan akan mampu membuat mahasiswa lebih terlibat dan termotivasi untuk belajar berbicara karena rasa penasaran dan tertantang untuk menghasilkan suara yang terdengar bagai suara penutur aslinya. Menurut Suwartono (2006) rasa penasaran, keasyikan dan tantangan dalam kelas berbicara akan menjaga kesinambungan pembelajaran hingga di luar lingkungan akademik. Tehnik Sulih suara adalah tehnik pengisian suara terhadap rekaman yang banyak diteapkan oleh stasiun-stasiun televisi untuk tayangan film atau sinema asing. Dalam tehnik Dubbing biasanya bahasa asing diganti dengan bahasa Indonesia. Dalam dunia entertainment juga terdapat tehnik yang serupa untuk seni tarik suara, yang populer dengan istilah karaoke. Kita bisa memanfaatkan tehnik ini sebagai cara untuk melatih berbicara bahasa Inggris dengan cara menggantikan suara penutur aslinya. Menurut Suwartono (2006) Cara yang demikian memberikan beberapa keuntungan: 1) mahasiswa belajar pelafalan sekaligus mengekspresikan seni, 2) mahasiswa merasa senang dalam belajar, dan 3) seperti pembelajaran bahasa pertama karena dilaksanakn di bawah sadar.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
179
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Prosedur Sulih suara dalam Pengajaran Berbicara Bahasa Inggris Menurut Bintoro (2013) Prosedur tehnik Sulih suara sebagai berikut (1) pemutaran sebuah film dengan durasi yang tidak lama. Tujuan pemutaran film tersebut adalah supaya mahasiswa mengetahui alur cerita film tersebut. (2) mahasiswa menyimak film tersebut untuk mengetahui isi cerita. (3) Bagilah mahasiswa menjadi 5 atau 6 orang sesuai dengan jumlah peran yang akan di dubbing-kan. Kelompok-kelompok harus beragam dalam hal gender, etnis, ras, dan kemampuan. (4) Kelompok berdiskusi dalam menentukan peran atau tokoh yang akan mereka dubbing-kan. Mahmahasiswa bebas menggunakan kreatifitasnya ntuk menentukan perannya. (5) Mahasiswa melatih percakapan yang mereka dapatkan sesuai dengan perannya. Mahasiswa harus berbicara sesuai dengan penutur asli yang terdapat pada film tersebut. (6) Kelompok mempresentasikan hasil dubbing yang telah mereka lakukan dengan merekam atau praktik secara langsung. (7) Pada akhir sesi, memberikan penilaian dari hasil dubbing mereka. Ada beberapa manfaat dari teknik Sulih suara. Pertama, Sulih suara mempromosikan pembelajaran kooperatif yang dapat memberikan efek menyenangkan pada diri mahasiswa karena pembelajaran tidak monoton. Hal ini senada dengan Suwantoro (2006) ia mengatakan Sulih suara menimbulkan rasa senang dan keasyikan tersendiri bagi mahasiswa yang menggunakannya. Bintoro (2013) menyatakan bahwa di Sulih suara, setiap mahasiswa dapat bereksplorasi sesuai kreativitasnya dalam meningkatkan kemampuan bicara. Suwantoro (2006) menambahkan bahwa Sulih suara melibatkan lebih dari satu orang dan setiap mahasiswa akan melaksanakan tugas pembelajaran bersama-sama. Bahkan diantara anggota dalam kelompok akan bisa saling mengisi, terutama yang kemampuannya kurang akan menampatkan contoh atau model, sehingga timbul rasa percaya diri. Tidak ada mahasiswa dapat berhasil sepenuhnya kecuali semua orang bekerja sama dengan baik sebagai sebuah tim.
Metode Penelitian Penelitian ini dimaksudkan untuk memecahkan suatu masalah dalam pengajaran berbicara. Oleh karena itu, desain penelitian ini adalah penelitian tindakan di mana suatu aksi dirancang untuk mengatasi suatu masalah, (Kemmis dan Mc Taggart, 1998:5, Ary et.al, 2006:539). Aksi di sini adalah suatu strategi atas beberapa kendala yang muncul, dengan kata lain suatu strategi digunakan untuk memecahkan masalah. Dalam hal ini desain penelitian tindakan kolaboratif diterapkan karena peneliti bekerja bersama-sama dengan dosen Speaking di STKIP PGRI Jombang yang terlibat dari awal sampai akhir proses kegiatan penelitian. Melalui desain penelitian tindakan kolaboratif, peneliti ingin mengusulkan penggunaan Sulih suara sebagai teknik untuk memecahkan masalah dalam kelas berbicara (speaking), karena masih kurangnya kemampuan mahasiswa dalam berkomnikasi menggunakan bahasa Inggris. Teknik Sulih suara digunakan di dalam kelas dalam bentuk grup lengkap serta tersegmentasi. Dengan adanya segmentasi mahasiswa dapat berlatih untuk berkomunikasi dengan bahasa Inggris. Dengan teknik dubbing mahasiswa dapat berkomunikasi sesuai dengan susunan kalimat,cara pengucapan yang benar dan kosakata yang sesuai dengan maknanya. Untuk menggambarkan bagaimana teknik tersebut dapat meningkatkan kemampuan menyimak mahasiswa, penelitian ini mengikuti siklus penelitian tindakan sebagai prosedur penelitian (Kemmis dan McTaggart, 2000:595 seperti dikutip dalam Koshy, 2005:4); siklus dapat dilihat pada Gambar 1
180
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Cycle 1
Cycle 2
Cycle n
REVISED PLAN
PLAN ACT
REFLECT
REFLECT
Gambar 1 Diagram Prosedur Penelitian Tindakan (Kemmis dan Mc Taggart, dalam Koshy, 2005: 4)
Peneliti bertindak sebagai praktisi dan memulai penelitian dengan melakukan studi pendahuluan. Di sini, kolaborator adalah dosen mata speaking for daily conversation di STKIP PGRI Jombang yang membantu peneliti dalam mengamati proses belajar, administrasi tes menulis dan kuesioner. Peneliti dengan bantuan kolaborator membuat perencanaan. Dalam merencanakan strategi, peneliti sendiri menyiapkan strategi yang di terapkan dengan teknik Sulih suara. Membuat rencana pelajaran, sedangkan kolaborator membantu peneliti dalam penetapan kriteria keberhasilan. Dalam melaksanakan tindakan peneliti bertindak sebagai praktisi yang mengajar mendengarkan dengan menggunakan Sulih suara sedangkan kolaborator bertindak sebagai pengamat yang mengamati pelaksanaan tindakan di kelas dengan menggunakan ceklis observasi dan catatan lapangan. Pada akhir siklus, tes dan kuesioner diberikan untuk menggambarkan prestasi mahasiswa dan respon terhadap strategi. Setelah menerapkan strategi peneliti dan kolaborator mengevaluasi pelaksanaan strategi dan mendiskusikan kemungkinan memodifikasi strategi jika strategi tidak dapat memenuhi kriteria keberhasilan. Proses siklus berakhir setiap kali masalah telah dipecahkan atau kriteria keberhasilan yang telah dicapai. Dengan menggunakan kolaborator, peneliti percaya bahwa temuan akan lebih dapat dipercaya. Para kolaborator memegang gelar master dari universitas terkemuka dan telah mengajar bahasa Inggris di perguruan tinggi selama lebih dari sepuluh tahun. Setting dari penelitian ini adalah STKIP PGRI Jombang, yang merupakan salah satu kampus di kabupaten Jombang. Subyek penelitian adalah Mahasiswa kelas 2013 C semester genap. Subjek ini dipilih karena di kelas ini ditemukan banyak berkenaan dengan kemampuan bebicara. Ada 39 mahasiswa di kelas 2013 C yang mengikuti proses. Kelas ini terdiri dari mahasiswa yang heterogen dalam hal kemampuan, jenis kelamin, sosial ekonomi, dan etnis.
Penelitian Pendahuluan. Untuk mendapatkan informasi aktual maka studi pendahuluan akan dilakukan. Melalui studi pendahuluan peneliti dan kolaborator-nya akan menganalisis fenomena yang muncul dalam proses pembelajaran. Dengan demikian, itu akan dapat mengidentifikasi masalah yang mendesak untuk dipecahkan. Data yang akan diperoleh menyangkut kondisi riil permasalahan yang dihadapi oleh dosen dan mahasiswa dalam proses pengajaran dan pembelajaran. Penelitian pendahuluan dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan deskripsi dan informasi sebagai Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
181
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
alat bukti terhadap masalah. Ini, kemudian, dapat digunakan sebagai dasar dalam memutuskan cara terbaik (action) untuk memecahkan masalah.
Perencanaan. Perencanaan adalah tahap di mana persiapan yang cermat dibuat sebelum melakukan tindakan. Pada bagian ini, peneliti menyajikan: (a) Strategi Pembelajaran (b) Rencana Pelaksanaan Pembelajaran dan (c) Kriteria keberhasilan
Strategi Pembelajaran. Dalam melakukan penelitian ini, peneliti akan menerapkan penggunaan teknik Sulih suara dalam pembelajaran ketrampilan berbicara bahasa Inggris. Dengan memanfaatkan teknik Sulih suara mahasiswa akan mendapatkan lebih banyak kesempatan untuk berlatih keterampilan berbicara dan mendapatkan lebih banyak input bahasa target secara otentik.
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). RPP dirancang dengan tujuan memberikan guru dengan pedoman kegiatan belajar mengajar dari ajaran mendengarkan dengan memanfaatkan teknik Sulih suara dalam pembelajaran ketrampilan berbicara bahasa Inggris.. Rencana pelajaran yang dikembangkan oleh peneliti mencakup hal-hal berikut: (1) tujuan instruksional (2) bahan pembelajaran dan media pembelajaran (3) kegiatan belajar mengajar dan (4) penilaian. Tujuan instruksional dari mata kuliah Speaking 3 yang berdasarkan silabus adalah bahwa mahasiswa mampu mengembangkan topik pembicaraan dan memiliki ketrampilan dalam berbicara Bahasa Inggris secara tepat, lancar dan akurat pada tingkat intermediate serta mampu menunjukkan kepercayaan diri, keantusiasan dalam bekerjasama dengan tim dan memainkan perannya selama bercakap-cakap menggunakan Bahasa Ingris pada tingkat intermediate. Tujuan instruksional dalam penelitian ini dibatasi pada bagaimana mahasiswa mampu berbicara bahasa Inggris secara tepat, lancar dan akurat dengan topik yang terdapat dalam sebuah film dan mahasiswa mampu berdialog dengan kosakata, pengucapan dan tata bahasa sesuai dengan penutur aslinya. Dalam studi ini, bahan pembelajaran dan media yang dipilih disesuaikan dengan tujuan instruksional. Sulih suara digunakan sebagai teknik. Beberapa media yang digunakan untuk mendukung pelaksanaan strategi tersebut adalah video, movie dan transcript movie. Kegiatan pembelajaran di kelas dilakukan dengan menerapkan teknik Sulih suara dengan mengikuti prosedur pengajaran strategi seperti disebutkan sebelumnya. Penilaian ini dilakukan pada akhir siklus untuk mengetahui apakah pelaksanaan strategi dapat meningkatkan kemampuan ketrampilan berbicara bahasa Inggris mahasiswa. Tes prestasi digunakan untuk menilai kemampuan ketrampilan berbicara bahasa Inggris mahasiswa. Sebuah tes dilakukan untuk melihat apakah mahasiswa telah memperoleh pengetahuan atau keterampilan tertentu dalam waktu tertentu (Djiwandono, 1996:17, Brown, 2004:47). Tes prestasi dibuat oleh peneliti untuk mengukur kemampuan ketrampilan berbicara bahasa Inggris mahasiswa, sebagaimana yang ternyatakan dalam tujuan instruksional. Tes diberikan setelah implementasi strategi, yaitu menggunakan tehnik Sulih suara untuk pengajaran ketrampilan berbicara bahasa Inggris.
Kriteria sukses. Kriteria keberhasilan ditetapkan untuk mengkonfirmasi apakah pelaksanaan strategi dapat meningkatkan kemampuan ketrampilan berbicara bahasa Inggris mahasiswa. Penelitian ini dianggap berhasil jika dua kondisi terpenuhi.
182
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Pertama, ditunjukkan dengan data yang dihasilkan dari skor mahasiswa pada tes prestasi sebanyak lebih dari 70% mahasiswa yang nilainya lebih dari standard ketuntasan yang diberikan pada akhir siklus yang menunjukkan peningkatan. Peningkatan yang dimaksud adalah adanya peningkatan skor mahasiswa pada tes prestasi jika dikonfirmasi dengan skor pada studi pendahuluan dengan standard ketuntasan 78. Kedua, mahasiswa terlibat secara aktif dalam proses belajar mengajar selama pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan teknik Sulih suara. Hal ini tercermin ketika mahasiswa memberikan respon yang baik pada setiap langkah pembelajaran seperti yang ditunjukkan dalam ceklis observasi dan catatan lapangan. Ini berarti bahwa hampir dalam semua kegiatan belajar mengajar di setiap tahap respon mahasiswa muncul di kategori Baik atau 34 sampai 39 mahasiswa terlibat dalam kegiatan belajar mengajar. Dengan demikian, peneliti dapat berasumsi bahwa mereka menikmati kegiatan yang diberikan oleh dosen dan merasa bahwa teknik Sulih suara yang disajikan dalam pembelajaran ketrampilan berbicara bahasa Inggris dapat membantu mereka berbicara bahasa Inggris secara tepat, lancar dan akurat.
Implementasi. Peniliti akan berperan sebagai yang melaksanakan pengajaran menulis dengan menggunakan Sulih suara dalam pembelajaran ketrampilan berbicara bahasa Inggris.
Observasi. Pengamatan akan dilakukan selama pelaksanaan tindakan. Mengamati adalah proses pencatatan dan pengumpulan data tentang setiap aspek atau peristiwa yang terjadi selama implementasi. Menurut Suyanto dan Sukarnyana (2001:51) fungsi pengamatan adalah untuk mengetahui (1) kesesuaian untuk melaksanakan dan merencanakan tindakan, dan (2) seberapa sukses pelaksanaan aksi mencapai kriteria keberhasilan. Dalam penelitian ini, observasi adalah proses pengumpulan data dalam penggunaan Sulih suara untuk meningkatkan kemampuan ketrampilan berbicara bahasa Inggris mahasiswa.
Sumber Data. Data dalam penelitian ini akan menjadi data kuantitatif dan kualitatif. Data tersebut akan diambil dari sumber data yang berbeda. Data kuantitatif diambil dari hasil test menulis, sedangkan data kualitatif diperoleh dari setiap detail faktual yang berhubungan dengan implementasi strategi seperti: sikap mahasiswa terhadap strategi pembelajaran, keterlibatan mahasiswa dalam kegiatan pembelajaran serta aspek lain yang ditemui selama pelaksanaan penggunaan Sulih suara dalam pengajaran ketrampilan berbicara bahasa Inggris.
Instrumen Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data. Setelah mendefinisikan sumber data, menentukan instrumen penelitian dan teknik untuk mengumpulkan data pasti dilakukan dalam penelitian. Dalam studi ini, peneliti akan menggunakan tiga instrumen untuk memperoleh data dari sumber data yang berbeda: tes prestasi, ceklis observasi, dan kuesioner. Spesifikasi data berdasarkan kriteria keberhasilan, dan instrumen yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 1 Tabel 1 Spesifikasi pada Sumber Data dan Instrumen yang digunakan No 1.
Instrument Test
Data Score
Variable skor penilaian kinerja mahasiswa dalam berbicara bahasa Inggris secara tepat, lancar dan akurat.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
183
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
2.
Ceklis Observasi
Kegiatan mahasiswa dalam proses belajar mengajar di kelas Kinerja mahasiswa dalam penerapan penggunaan teknik Sulih suara dalam pembelajaran ketrampilan berbicara bahaasa Inggris.
Keterlibatan mahasiswa dalam proses pembelajaran. Sikap mahasiswa selama proses belajar mengajar. Langkah-langkah pembelajaran yang diterapkan sebagaimana yang direncanakan.
3.
Kuesioner
Refleksi mahasiswa terhadap pelaksanaan penggunaan Sulih suara dalam pembelajaran ketrampilan berbicara bahaasa Inggris.
Pendapat mahasiswa tentang pelaksanaan penggunaan Sulih suara dalam pembelajaran ketrampilan berbicara bahaasa Inggris.
Refleksi. Dalam merefleksikan, analisis data dilakukan. Data yang diperoleh selama penelitian ini diklasifikasikan dan dianalisis. Analisis ini berfokus pada (1) kemampuan berbicara bahasa Inggris dan (2) partisipasi mahasiswa dalam proses pengajaran dan proses pembelajaran dengan menggunakan Sulih suara. Jika salah satu kriteria keberhasilan tidak tercapai, siklus lain perlu dilakukan, dan beberapa aspek dapat direvisi.
Hasil Penelitian Siklus 1 pada penilitian dilaksanakan pada tanggal 9, 16, dan 23 Pebruari 2015. Peneliti menemukan beberapa temuan pada siklus awal ini di antaranya kebanyakan mahasiswa masih mendapatkan banyak kesulitan dalam melaksanakan prosedur penelitian. Pada awal pertemuan peneliti dan kolaborator melaksanakan kegiatan awal yaitu mahasiswa mendiskusikan bagian film yang akan di sulih suarakan. Pada tahap ini mahasiswa sangat aktif tapi masih merasa kesulitan untuk menentukan bagian film dan pemilihan karakter pada film yang dipilih. Pada pertemuan berikutnya mahasiswa membaca transkrip film yang akan disulih suarakan agar bisa mendapatkan kelancaran dalam berdialog, pada tahap ini ditemukan banyak mahasiswa yang belum memahami arti dialog dan kesalahan dalam pengucapan kata atau kalimat. Pada pertemuan yang ketiga ini peneliti menemukan kebanyakan mahasiswa kesulitan mengikuti dialog para tokoh yang ada pada film sehingga apa yang mereka ucapkan tidak sesuai dengan film. Dalam pelaksanaan tehnik sulih suara pada pembelajaran speaking, dari hasil kuesiner, ditemukan motivasi mahasiswa dalam kelas speaking selama pelaksanaan teknik Jigsaw. Persepsi mahasiswa tentang keinginan mereka untuk berbicara bahasa inggris menggunakan tehnik sulih suara masih rendah karena kesulitan mereka pada pengucapan. Isu kedua adalah persepsi mahasiswa tentang kegunaan dari teknik sulih suara juga membantu mereka untuk mengekpresikan kalimat bahasa Inggris sesuai dengan native. Isu ketiga adalah pada persepsi mahasiswa tentang kemudahan berbicara dengan tehnik sulih suara juga masih rendah. Hal ini
184
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
jelas menunjukkan bahwa mahasiswa belum banyak termotivasi selama teknik sulih suara yang diterapkan pada siklus pertama. Berdasarkan hasil nilai berbicara mahasiswa, beberapa mahasiswa masih belum serius dalam melakukan sulih suara film pada kelas speaking. Meskipun ada sedikit peningkatan nilai Rata-rata dari studi awal untuk mahasiswa pada siklus pertama. Rata-rata untuk yang pertama adalah 72 dan nilai rata-rata mahasiswa pada siklus pertama adalah 74,48. Ini menunjukan bahwa nilai mahasiswa masih dibawah criteria ketuntasan yaitu 78. Dari hasil yang telah tertulis diatas, peneliti merevisi beberapa strategi yang akan diterapkan di antaranya peneliti memberikan motivasi kepada mahasiswa dengan mendampingi dalam diskusi pemilihan dialog pada film. Mahasiswa membaca script dengan memperhatikan cara pengucapan dengan lebih serius. Mahasiswa diberi waktu lebih banyak untuk mendrilling dialog dan mempraktekkan hasil latihan sulih suara. Siklus 2. Pelaksanaan siklus kedua pada tanggal 6 dan 13 April 2015, pada siklus ini peneliti menemukan bahwa ada perubahan positif pada proses sulih suara mahasiswa. Kemampuan mahasiswa dalam berbicara juga sudah meningkat yang ditunjukkan pada table 2 Tabel 2 hasil nilai rata-rata pada siklus penelitian tindakan kelas No 1.
Aspek Penilaian awal Hasil nilai speaking 72 mahasiswa
Siklus 1
Siklus 2
74.48
83
Table 2 menunjukkan bahwa pelaksanaan belajar mengajar kelas speaking dengan menggunakan tehnik sulih suara meningkatkan hasil nilai mahasiswa. Melihat dari hasil proses belajar mengajar dan hasil nilai mahasiswa pada siklus kedua, ada peningkatan yang positif pada proses sulih suara pada kelas speaking serta peningkatan nilai pada hasil mahasiswa yang mencapai rata-rata 83 yang berarti lebih besar dari standart ketuntasan. Sehingga penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tehnik sulih suara secara bertahap dan secara positif dapat meningkatkan kemampuan speaking mahasiswa. Pada intinya tehnik sulih suara merupakan tehnik yang efektif untuk meningkatkan kemampuan speaking mahasiswa. Tehnik ini juga mampu meningkatkan motivasi mahasiswa dalam mengembangkan kemampuan berbicara mereka dengan baik. Mahasiswa lebih lancar dalam berbicara bahasa Inggris dan mampu mengucapkan kalimat dengan fasih. Sulih suara dapat membantu mereka untuk lebih pecaya diri dan kreatif dalam mengembangkan kemampuan bahasa inggrisnya. Pada kesimpulannya, tehnik sulih suara merupakan salah satu tehnik yang tepat pada pembelajaran kelas speaking pada mahasiswa.
Daftar Pustaka Arsjad, M. G. & Mukti, U. S. 1988. Pembinaan Kemampuan Berbicara Bahasa Indonesia. Jakarta: Airlangga Bintoro, A. F. 2013. Peningkatan Ketrampilan Berbicara dengan Teknik Sulih Suara dan Analisis Kesalahan Bahasa pada Siswa Kelas V SD Negeri Sriwulan I Sayung Demak. Piwulang Jawi. 2 (1) hal. 1-7 Blaz, D. 2001. A Collection of Performance Task and Rubrics: Foreign Language Larchmont: Eye on Education.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
185
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Brown, H. D. 2001. Teaching by Principles: An Interactive Approach to Language Pedagogy (2nd ed.). White Plains: Addison Wesley Longman. Burston, J. 2005. Video Dubbing Projects in the Foreign Language Curriculum. CALICO Journal. 23 (1) hal. 79-92 Cahyono, B.Y, & Widiati, U. 2011. The Teaching of English as a Foreign Language in Indonesia. Malang: UM Press Dewi, A. S. 2013. Using Animation Film to Enhance Students’ Speaking Skill. Language Edu. 2 (7): hal 1984-1990 Kemmis, S. & McTaggart, R. (Eds.).1988. The Action Research Planner (3rd ed.). Victoria: Deakin University Press. Koshy, V. 2005. Action Research for Improving Practice: A Practical Guide. London: Paul Chapman. Suwartono. 2006. Pembelajaran Pelafalan Bahaasa Inggris melalui Teknik Sulih Suara. Cakrawala Pendidikan. 27 (1): hal. 41-56 Tarigan, D. 1995. Materi Pokok Pendidikan Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud Latief, Adnan. 2010. Tanya Jawab Metode Penelitian Pembelajaran Bahasa. Malang: UM Press
186
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
The Implementation of Task-Based Writing for Teaching Expository Text Lestari Setyowati ([emailprotected]) Sony Sukmawan ([emailprotected]) Abstract Many EFL students often consider writing as not only the most difficult skill to master, but also a demanding activity. One way to help students to write is through the application of task-based writing. The purpuse of this research is to find out the effect of Task-Based in Writing Expository text. The research was conducted in October 2013, consisting of two cycles in Classroom Action Research design by using task-based writing. The task-based writing consisted of pre-task, during task, and post-task. Unfortunately, the result of the study shows that Task-Based is unable to improve the students’ writing in expository text. In the discussion, some factors that might hinder the success of the application of Task Based Writing are discussed. Keywords: writing performance, task-based writing, expository writing Abstrak Banyak para pembelajar Bahasa Inggris sebagai bahasa asing merasa bahwa menulis adalah keterampilan bahasa yang paling sulit untuk dikuasai. Salah satu cara untuk menolong siswa agar dapat memiliki kemampuan menulis bahasa Inggris adalah dengan menerapkan Task-Based Writing (Menulis Berbasis Tugas). Tujuan penelitian ini adalah untuk mencari efektifitas TaskBased Writing untuk menulis teks Expositoris. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2013 dengan menggunakan Penelitian Tindakan Kelas di kelas Writing III. Terdapat dua siklus dalam penelitian ini. Dalam pendekatan TaskBased Writing, terdapat tiga tahap pembelajaran, yaitu tahap sebelum menulis (pre-task), selama menulis (during task), dan setelah menulis ( post-task). Hasil penelitian menunjukkan bahwa Task-Based Writing tidak mampu meningkatkan kemampuan kinerja siswa dalam menulis teks eskpositoris. Dalam bagian pembahasan, disebutkan beberapa kemungkinan faktor yang mempengaruhi ketidakmampuan metode ini dalam meningkatkan kemampuan menulis teks ekspositoris. Kata Kunci: Kinerja menulis, Task-Based Writing, menulis teks exspositoris
Introduction Having the ability to write in foreign language, especially in English, is very important in this modern era. Many jobs required writing skill and many of our daily activity also require writing skill, such as writing email, letters, job application, writing recipes. However, based on the author’s experience of teaching writing, many writing lectures often trapped in problems which they are not aware of. The first is the product approach writing which is often used in writing classes. This approach will do little benefit for the students since they are only given the example of the model text, then are required to create a composition based on the model. Second, writing classes usually, but not always, are teacher-centered. Based on the observation, during the teaching and learning writing, the students of writing classes were silent as they only listen to the lecturer’s explanation about the introductory paragraph, formulating good sentences, punctuation, spelling, diction, cohesive devices, transitions between paragraph, main ideas, sentence connector grammar, conjunction, and other writing elements, and lillte practice was given to train the student’ writing skill.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
187
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Basically, there are better ways of presenting these in writing classing, rather than merely just ‘explaining’. Ironically, writing classes under the author’s observation for the preliminary study in this mini research do little to write in writing class. Most of the time, the students’ activity was ‘listening task’, and not ‘writing task’. Because of these problems, many students feel writing is boring and not challenging. When the author asked them personally why they did not like writing classes, most of them said‘difficult’, ‘not easy’, or ‘I do not know what to write’. Based on the above description, the author was challenged to solve the students writing problem and to improve quality of the teaching through the application of Task-Based learning by conducting a mini classroom action reserach. In order to achieve the objective, Task-Based Learning, is chosen the students writing problems. Task-Based writing possess several characteristics which is believed able to solve the students’ writing problem. Those characteristics are, according to Ellis (2011), ‘meaning’ focused, goal directed, clearly defined outcome, and the participants choose the linguistics resources needed to complete the task. Interestingly, though Task-based emphasizes meaning over form but it can also be used for learning form. Because of those features, Task-based teaching offers the opportunity for ‘natural’ learning inside the classroom. Ellis further argues that this approach is intrinsically motivating since it is compatible with a learner-centered educational philosophy, and at the same time allows for teacher input and direction.
Literature Review Task-Based Learning (TBL) shares distinctive characteristics from other approaches. TBL is known for its task cycles. Willis (1998) divides the components of Task-Based Learning framework into Pre-task phase (an introduction to topic and task), task cycle (task-planningreport), and Language focus (analysis and practice). The Pre-Task is the preparation stage in which the teacher explores the topic with the class by using various means in order that students get the general idea about the task being completed. The next stage is Task cycle in which students do the task in pairs or small groups while the teacher keep the distance so that they can have the ‘private’ feel and mistakes in language are tolerated. Next, the planning stages. Here, the students prepare to report to the whole class. Since reporting is public, students naturally want to be accurate so the teacher stands by to offer help in language advice. The last stage in Task cycle is Reporting. In this stage, some groups are required to present their reports to the class, or exchange written reports, and compare results. In reporting stage, the teacher acts as a chairperson, and then comments on the content of the reports. In the Language Focus (Analysis) section, students examine the text and then discuss specific features of the text . They can focus on the new words, phrases and patterns . While in the Practice part, the teacher conducts practice of new words, phrases, and patterns occurring in the data, either during or after the Analysis. Components of a TBL Framework PRE-TASK PHASE INTRODUCTION TO TOPIC AND TASK Teacher explores the topic with the class, highlights useful words and phrases, and helps learners understand task instructions and prepare. Learners may hear a recording of others doing a similar task, or read part of a text as a lead in to a task.
188
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
TASK CYCLE TASK Students do the task, in pairs or small groups. Teacher monitors from a distance, encouraging all attempts at communication, not correcting.
PLANNING REPORT Students prepare to report to the Some groups present their reports whole class (orally or in writing) to the class, or exchange written how they did the task, what they reports, and compare results. decided or discovered. The Teacher acts as a chairperson, and teacher stands by to give then comments on the content of language advice. the reports.
LANGUAGE FOCUS ANALYSIS PRACTICE Students examine and then discuss specific features Teacher conducts practice of new words, phrases, of the text or transcript of the recording. They can and patterns occurring in the data, either during or enter new words, phrases and patterns in after the Analysis. vocabulary books. Adapted from Jane Willis 1998 “ Task Based Learning Framework”
Previous Research on Task-Based A lot of research has been done to prove the effectiveness of TBLT in improving students’ writing competence. For example, the result of an experimental Study conducted by Birjandi and Malmir (2009) on 120 Iranian advanced EFL learners’ shows that task-based approach was more effective than traditional approach in teaching narrative and expository writing . Similarly, Cao (2012) in her experimental study shows similar results of study. In her research, she wanted to find out whether Task-based approach can bring forth significant improvement in college EFL learners’ writing competence . The result of her study shows that this approach can enhance the college EFL learners’ writing competence as compared to the common writing methods used in Chinese EFl context. Moreover, the Task-based approach can also help learners creativity in writing. This is confirmed by the research conducted by Marashi and Dadari (2012) who investigated the impact of using task-based writing on EFL learners’ writing performance and their creativity. After doing an experimental study on 89 intermediate EFL learners , they came to a conclusion that this approach can enhance the students’ writing performance as well as their creativity. After being confirmed that this approach is effective to improve the EFL learners writing, I am going to apply the task based writing to solve the students writing problems as well as to improve their writing performance. A lot of research has been done to prove the effectiveness of TBLT in improving students’ writing competence. For example, the result of an experimental Study conducted by Birjandi and Malmir (2009) on 120 Iranian advanced EFL learners’ shows that task-based approach was more effective than traditional approach in teaching narrative and expository writing . Similarly, Cao (2012) in her experimental study shows similar results of study. In her research, she wanted to find out whether Task-based approach can bring forth significant improvement in college EFL learners’ writing competence . The result of her study shows that this approach can enhance the college EFL learners’ writing competence as compared to the common writing methods used in Chinese EFl context. Moreover, the Task-based approach can also help learners creativity in writing. This is confirmed by the research conducted by Marashi and Dadari (2012) who investigated the impact of using task-based writing on EFL learners’ writing performance and their creativity. After doing an experimental study on 89 intermediate EFL learners , they came to a conclusion that this approach can enhance the students’ writing performance as well as their creativity. After being confirmed that this approach is effective to
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
189
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
improve the EFL learners writing, Task-Based teaching is used to teach writing to solve the students writing problems as well as to improve their writing performance.
Method The study employs Classroom Action Research (CAR). Koshy (2005) defines action research as an enquiry which is carried out in order to understand, evaluate and then modify educational program in order to improve educational practice. One of the proposed designs of action research is Classroom Action Research (CAR). The design is based on the consideration that the teacher as researcher attempts not only to solve the problem of the particular classroom, but also to improve the quality of teaching. One of the distinctive features of CAR design is the cycles to be implemented in the research; which consist of planning, acting, observing, and reflecting (Kemmis and Taggart, 2007). The participants of the study were 21 intermediate EFL students taking Writing II in their third semester of English Education at College of Teachers Training and Education (STKIP) PGRI Pasuruan in the academic year 2013-2014 in their third semester. The class which is taken is 2012 D. This class was taken because their writing achievement is the lowest among the other 3 classes. There are 32 students in one class, however, only 17 students were taken as the subjects of the study on the basis of the attendance and papers submitted during the research. Two cycles were conducted in which each cycle consists of two meetings. The duration of each meeting was 90 minutes. The first cycle was conducted on 11 October and 16 October 2013. The second cycle was conducted on 16 October and 22 October 2013. Based on the English Education syllabus, the third semester students should have the ability to write good English paragraph : paragraph writing in narrative, descriptive, and expository type of texts by using different types of paragraph development. This research, however, focused on expository developed by example and detail) (Cycle 1), and expository paragraph developed by process analysis (Cycle 2). The final drafts of the students writing in each cycle were collected along with their draft of brainstorming activities. The scoring criteria for the students writing includes content (the thesis statement, the development of body, and the conclusion), organization of ideas , and language (see Appendix 1). All the writing was marked by the lecturer herself. The cycles are stopped when the criteria of success has been reached (Appendix 2)
First Cycle The topic of the first cycle is entertainment. The pre-task lasted 15 minutes. In this section, A You Tube video about The Avengers (3:00) film thriller was presented. It was played to prepare the students’ background knowledge followed by guided questions and answer, whether they watched the movie, whether they like the movie, and what makes the movie interesting. After that, the students were given a model text taken from the internet about one’s dislike in horor movies. In the model text, the students should identify the thesis statement, main ideas, conclusion, and conjunction. The During Task stage (practice and production phase), lasted 75 minutes. Before students do the practice stage, a short video of Fatin Sidqia singing “Diamond” during the X Factor competition was played. Then the students are given choices to write whether they want to write about their favourite singer or favourite movies. In this stage, the students, in pair, were asked to make brainstorming about their choice, such as what makes them like/dislike the movie or the singer, and give examples and details of their specific characters. Later on, they wrote the first draft in pair. The draft should consist thesis
190
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
statement. When the time is over, the brainstorming activity and the first draft. In Meeting 2, the production phase was continued and lasted 50 minutes. The students revised the draft in pair based on the feedback given by the lecturer in their first draft and brainstorming activity. The post-task (report) lasted 50 minutes. Here, the students were asked to read their writing and friends were invited to give feedback.
Second cycle The topic of cycle two was recycling. In Cycle two, the students were asked to make something from unused materials. Similar to the 1st cycle, the Pre-task last for 15 minutes. In the pre-task a short video from You Tube is shown to the students. The video entitled Making of Table Mats with Waste Plastic (3:51). After the students watched the video, class discussion followed. The lecturer asked the students what were other objects that can be recycled, and what product that be produced from recycled materials. Then, the students were shown slides about empty drinking bottles which transformed into bowling toys. From that point, the students were curious of how to make that. During-Task stage lasted about 75 minutes which covered several activities. First, a model text of how to make bowling toys was given, and, similar to the first cycle, students were asked to indentify its structure, the steps, the transition, and the language. Then, in pair, they were asked to find an unused material that can be recycled and transformed into other beneficial objects, and to brainstorm their ideas. After that, they made the first draft of the writing. During the practice and production stage, the lecturers offers help to the students if they had problems with their composition. In the next meeting, came the post-task phase which lasted 60 minutes. In their report, the students made a process writing of how to make a new item from unused things. In the post-task phase, students in pair, were asked to report their products in front of the class through the use of slides in which they have explain how to make their objects from unused materials. After the presentation, came the language focus. Here, the class gave comments in terms of contents and language.
Finding The impact on the students’ writing quality. In order to know the impact of the implementation of Task-based on the quality of the students’ writing, the final piece of writing in each cycle was marked the lecturer which also become the researcher. The raw scores ranked based on the Institution Standard are shown in Table 1. Table 1. Students’ scores category Score 91 – 100 84 – 90 77 – 83 71 – 76 66 – 70 61 – 65 55 – 60 0 - 54 N
Total Cycle 1 4 13 17
Category % 24%
76% -
Cycle 2 4 13 17
% 24% 76% -
Excellent Very Good Good Average Below Average Poor Very Poor Fail
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
191
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Total Score Mean
1343 79
1343 79
Table 1, the same of percentage reach the criteria of ‘excellent’ and the same amount of students reach the ‘average’ shows us that in Cycle 1, none of the students reaches the criteria of ‘excellent’. Based on the criteria of success no 4, which says that this action research will be considered succesful if 80% of the students’ score falls at the ‘average’ criteria, the result of the research shows that the criteria of success has not been reached.
The Students ability to develop the Content. The criteria of success states that the result of the research is considered successful if 80% students fall under the ‘good’ criteria, in which they are able to make thesis statement and conclusion and develop the body of the paragraph based on the controlling idea as stated in thesis. Table 2 shows that the criteria of success no 1 has not been reached. Table 2Content ( Cycle 1) Criteria Excellent Good Average Below Total Average Content (Paragraph 4 13 17 development) Percentage 24% 76 % 100 Cycle 2 Content development) Percentage
(Paragraph 4 24 %
12
1
17
71 %
5%
100
The Students ability to organize the paragraph. The criteria of success states that the result of the research is considered successful if 80% students fall under the ‘good’ criteria, in which they are able to develop the ideas by using particular paragraph organization (example details and process). The result shows that the criteria number 2 has not been reached. Table 3 Organization ( Cycle 1) Criteria
Excellent
Good
Organization
4
13
Percentage
24 %
76 %
Cycle 2 Organization Percentage
4 24 %
13 76 %
Average
Below Average -
Total
-
-
100
-
-
17 100
-
17
The Students ability in the use of Language. The criteria of success states that the result of the research is considered successful if 75% students have no problems in the language (vocabulary, tenses, spelling) used in the writing. The result shows that criteria number 3 has not not been reached.
192
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Table 4 Language ( Cycle 1) Criteria Language Percentage
Excellent Good Average Below Total Average 6 11 17 35 % 65 % 100
Cycle 2 Language Percentage
-
7 41 %
10 59 %
-
17 100
Discussion One of the disctinction of Classroom Action research is its goal to solve the problems in the classroom and to improve the quality of teaching. The use of Task-based in teaching writing based on many research conducted by previous researchers (Birjandi and Malmir, 2009; Cao, 2012; Marashi and Dadari, 2012) show that Task-Based is effective. However in this research, the result shows otherwise. The result of this mini scale research shows that Task-Based is unable to improve the students’ writing in exspository text. Four criteria of success set prior the research was unable to be reached. Among the four criteria of success, the language criteria is the one which reaches the worst percentage although there is improvement of from cycle 1 (Good: 35 %) to cycle 2 (Good: 41 %). The researchers believed that if the students have better ability in their language, this reserach would have been successful. Let us take a look to one of the students’ writing written by Amri. Kamen Raider My favorite genre of movies is superhero movies because their gesture that excited to copied, their super power, and their costume is unique. My first superhero movies is Kamen Raider. Kamen Raider is a fiction hero from Japan, back then I was around 10 years old when I watch it. Every time I watch it, I copied their gesture. Kamen Raider have a super power, like they can summon a weapon that can destroy a giant stone, and slice an iron. And with their power they can changing and wear a costume. Just the choosen one that can be a Kamen Raider. The enemy of Kamen Raider is a monster. Those monsters hunt human to make them slave and rule the world. The duty of Kamen Raider is to help human from the monster. Until now every time I watch it that’s make me excited copied their gesture, imagine about have a super power, and wear a costume. (Amri, 2012 D, Writing II) Any writing teacher naturally will judge that this writing is not quite good because of its grammatical problems, and it is understandable especially when it disturbs the meaning or the message. In most writing classes, former writing teachers mostly focused on the accuracy . If there are a lot of grammatical errors in the students’ writing, writing teachers will judge that the composition is bad. Writing teacher will be attempted to comment more accuracy instead of content. Because of this, many students feel discouraged and unmotivated when they are assigned to write. Basically, having studied English systematically for almost 10 years (as they have been learning English from Elementary School). College students in general are supposed to have built a solid foundation for sentence structure and other grammatical items, let alone the English Education students. But unfortunately, the expectation does not really reflect the reality. Most students still do not possess solid ground for their grammatical competence.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
193
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Judging the students’ writing quality should not only focus in the perfect sentences created by the students on paper, but good writing should be seen as a whole, whether they have been able to state their thesis statement and developed it well in the body, then concludes the main points in the conclusion. At this point, Task-Based has served its function well since its mainly focus is in content. Task-Based Teaching, as stated by Ellis (2004) and Nunan (2004) offers students to focus more on content or meaning. Because grammar is not the primary focus, students can shift their attention to the content of their writing, such as the topic, the ideas, how to develop and generate the ideas, and how to connect them between paragraphs. In this research, aside of being unable to reach the criteria of success, Task-based helps the students with the content of their writing is through the application of pre-task, the provision of You Tube videos to prepare the background knowledge in the pre-task, and the brainstorming activity. This can be seen that none of the students fall in the criteria of below average in terms of content and organization. Despite of this research inability to reach the criteria of success, it does mean that this research is a failure. The use of Task-Based in teaching writing has given some benefits that students can take. There are some weaknesses in this research which makes the research is unable to reach the criteria of success. First, the first author positioned herself as a lecturer who taught the class and at the same time also acted as the researcher. This is dangerous since it will give bias in the tecahing and scoring. She was also positioned herself as the sole scorer in this research which made her unable to be objective. The previous researcher should have at least two raters to score the same writing to minimize the subjectivity. Second, perhaps the criteria of success is too high so that the reserachers put too much hope to the students. The future researcher perhaps should see the students’ ability in reality and set the criteria of success carefully, not just something thrown away because we believe they can. Third, the writing product was written in group, thus she was unable to see clearly whether their writing products are their true reflection ability in writing. Therefore, the future researchers should give individualize writing assignments, so that the real reflection of the students’ writing ability can be seen. And fourth, more cycles are needed if this resarch was to be successful. During the application of this mini research, the researcher has limited time constraint to finish as the students’ class was planned to be used for the lesson study program. In the researchers’ opinion as writing teachers, Task-Based instruction, has some weaknesses. First, until the end of Cycle 2, students still have problems in their writing, especially in accuracy. Task-Based could not really help these students’ problems in grammar though there is a specific phase called “Language Focus”. Within Willis (1998) framework, the post-task should be the place for language focus in which students and teacher can give feedback. During this phase, feedbacks were given. But when the final drafts were collected and read, it turned out that problems in grammar, sentence structure, spelling, and choice of words were not solved completely. Ideally students should give feedback to other friends, but since not all have a solid ground of grammar ability, many of them were unable to give appropriate feedback. Peers should have sufficient background knowledge in the language itself to be able to give proper feedbacks to other students’ writing. If they do not have solid ground in grammar, problems in accuracy will continue to arise. The Post-task or the language focus will work very well if it is applied in EFL context with high level proficiency learners. If it is applied within EFL context with low or intermediate level proficiency, the post task cannot really help students to spot their own weaknesses in the language. 194
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Conclusion The research shows that Task-Based is unable to improve the students’ writing performance due to some weaknesses discussed above. When it is said to be unable, it does not mean it is a failure. Looking at the tables presented in the finding section, it can be seen that none of the students in this mini scale research is in the category of below average. In terms of content and organization criteria, almost none of the student are in the average criteria. These shows that basically Task-Based is an appropriate technique to be implemented in the writing classes. It shares benefits to the students with its phases of learning. Some suggestions are addressed to the future researcher. First, more detail and planned preparations are needed to better the result of the study. Second, the writing product should be done individually, not in pair/group. Three, more time is needed to find the real impact of writing. And Fourth, realistic criteria of success should be set carefully so that the students’ writing skill can be reached realistically.
References Birjandi, Parviz and Ali_Malmir. 2009. The Effect of Task-Based Approach on the Iranian Advanced EFL Learners’ Narrative vs. Expository Writing. The Iranian Journal of Applied Language Studies (IJALS) Vol 1, No 2. Cao, Linying. 2012. A Feasibility Study of Task-based Teaching of College English Writing in Chinese EFL Context. English Language Teaching; Vol. 5, No. 10 Ellis, Rod. 2004. Task-Based Language Learning and Teaching. Oxford: Oxford University Press. Kemmis, Stephen and Robin McTaggart.2007. Participatory Action Research: Communicative Action And The Public Sphere. (Online). (http://www.sagepub.com/upmdata/21157_Chapter_10.pdf), accessed on 20 March 2013 Koshy, V. 2005. Action Research for Improving Practice: A Practical Guide. Great Britain: TJ International Ltd. Marashi, Hamid and Lida Dadari. 2012. The Impact of Using Task-based Writing on EFL Learners’ Writing Performance and Creativity. Theory and Practice in Language Studies. Vol. 2, No. 12: 2500-2507. Nunan, David. 2004. Task-Based Language Teaching. Cambridge: Cambridge University Press. Willis, Jane. 1998. Task-Based Learning: What kind of Adventure?. UK: Ashton University. (Online). (http://www2.uni-uppertal.de/FB4/anglistik/multhaup/ methods_elt/pop_ups/ tbl_willis.htm), accessed on 14 March 2013.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
195
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
EFL Students Mispronouncing English Vowels Ninik Suryatiningsih 14 & Addini Zuhriyah14 ([emailprotected]) Abstract Pronunciation as the part of speech component is the important part of spoken language. The researcher focuses the pronunciation made by English Department Students of STKIP PGRI Pasuruan, because she wants to know their ability to pronounce English words, especially in English vowels whether their pronunciation correct or not. The design of this study is a descriptive study. The aimed of this research is to give original view of variable, indication and condition. The result from the students mispronunciation was showed that there were five kinds of vowels; [I] vowel, [i:] vowel, [æ] vowel, [α] vowel and [Ɛ] vowel known as mispronunciation. The mispronouncing vowels include of mispronouncing on [I] vowel 68 times or 46 %, [i:] vowel 9 times or 6 %, [æ] vowel 24 times or 16 %, [α] vowel 19 times or 13 % and [Ɛ] vowel 29 times or 19 %. And the dominant mispronouncing on vowel is mispronouncing on [I] vowel 68 times or 46 %. Keywords: Pronunciation, Vowel, Mispronouncing Abstrak Pronunciation adalah bagian dari komponen kata dan merupakan bagian yang sangat penting dalam berbahasa. Peneliti fokus pada pronunciation yang dihasilkan oleh mahasiswa program studi Pendidikan Bahasa Inggris STKIP PGRI Pasuruan, sebab peneliti ingin mengetahui kemampuan pengucapan kata-kata Bahasa Inggris, khusunya vowel dengan benar. Disain penelitian ini adalah diskriptif kualitatif yang bertujuan untuk memberikan beberapa fariabel, indikasi dan kondisi. Hasil dari kesalahan mahasiswa melafalkan terdapat pada 5 (lima) vowel, yaitu [I] ,[i:], [æ], [α] dan [Ɛ]. Dan kesalahan pelafalan [I] sebesar 46% ,vowel [i:] awbwaE 6%, vowel [æ] sebesar 16%, vowel [α] sebesar 13% dan vowel [Ɛ]sebesar 46% Kata Kunci: Pronunciation, Vowel, Kesalahan pengucapan
Introduction Pronunciation as the part of speech component is the important part of spoken language. It provides the basic knowledge of the sound including the stress, rhythm, and intonation. So, in speaking English we must have pronunciation ability in producing kinds of English sounds, to avoid misunderstanding when we want to say something to another person. Many students in Indonesia have a problem in pronunciation. Some of them cannot pronounce words well. It is caused on many factors, such as : (1) the area in which they grew up; (2) the area in which they now live; (3) the existence of speech or voice disorder; (4) their ethnic group; (5) their social class; and (6) their education. If there is one who wants to learn pronunciation, he might be ready to face the difficult problems like what Jones (1973 : 2), that the student of spoken English or any other spoken language is faced at the outset with 5 kinds of difficulties in pronunciation, such as (1) they have to recognize readily and certainly the variation of speech sounds occurring in the language, (2) they have to learn to make the foreign sound with his own organs of speech. (3) they must learn the proper usage in the matter of the sound attributes or prosodies as they are often called 14
Dosen Prodi Pendidikan Bahasa Inggris STKIP PGRI Pasuruan, Jawa Timur
196
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
(especially length, stress and voice pitch). (4) they must learn to use those sounds in their proper places in connected speech. (5) they must learn to pronounce sounds, i.e. to join a sequence rapidly and without stumbling. The ability in pronouncing sounds correctly without stumbling cannot be achieved in a short time. Clarey and Dixson in their book “Pronunciation Exercise” in English say that a student must first hear a sound clearly before they can reproduce it. Consequently, all pronunciation details should be continued over as long as a period of time as possible (Clarey and Dixson, 1976: 7). The researcher conducted the study at second semester students of the English Department of STKIP PGRI Pasuruan because in that time they get pronunciation course for the first time. And pronunciation is important part in speaking. So, the researcher wants to know their ability in pronouncing words. Based on the background above, the problem is : are the students’ pronunciation in pronouncing the English vowel [i:], [I],[æ], [ε] and [α] correct ?
Review of Related Literature In this chapter some related literature in accordance with the pronunciation of English vowels is discussed. It covers : (1) Pronunciation; (2) The nature of pronunciation; (3) Technique of teaching pronunciation; (4) The expectations of teaching pronunciation; and (5) English segmental elements.
Pronunciation. Pronunciation is one of the basic elements that one must possesses when he or she learns a language. Most people think that the most important thing in learning a foreign language is to be able to use the foreign language in communication. Soemardono (1991 : 3) says that actually everything one wants to express originally appears in the form of speech. Speech is inseparable from pronunciation. This statement confirms that even though there is written form of communication, which makes pronunciation a very crucial matter. Learn the pronunciation of an English word by looking it up in a dictionary and reading about how it is pronounced. Dictionaries tell us about pronunciation through a special system called phonetic transcription. To communicate effectively the speaker and the listener must have good pronunciation that can be understood by both. Carrel and Tiffany (1960 : 1) say that what one says may be more important then how he says it; yet it is an evident that there can be no fully effective communication through spoken language unless the manner of speaking gives force and impact to the thoughts and feeling that are to be conveyed. The acquisition of speaking skill, through whatever study and practice, is necessary; therefore it deserves a careful and conscientious attention from serious students. No two people pronounce exactly alike. The differences arise from a variety of causes such as locality, early influences, and social surroundings. Besides, there are also individual peculiarities for which it is difficult or impossible to account (Jones, 1967 : 11). The foreign learner often find difficulties in recognizing which type of language is spoken due to these differences. We cannot possible at the present time to regard any special type as ‘standard’ or intrinsically ‘better’ than other types.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
197
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
The pronunciation of a foreign language is a two-fold process. It involves aural receptivity or the recognition of sounds as well as the actual production of sounds. In other words, a student is faced with the problem of recognizing the significant sounds in the language he or she is learning before he or she can learn to produce them (Lado and Fries, 1968 : iii). For the information, Carrel and Tiffany (1960) say that the ability to speak well is an attribute that has both utility and beauty. There are many other kinds of English through out the world. American English is a kind of English, which is used in the United States of America (USA). It is one of the two most popular kinds of English in the world. When people talk about teaching or learning American English, they usually think of the General American Standard of English. General American is the kind of English used by educated American on television and in the press, and it is described in the dictionaries of American English, such as Merriam-Webster and Random House Dictionaries (www.esl-about.com). Pronunciation refers to the way a word or a language is usually spoken, or the manner in which someone utters a word. If someone said to have “correct pronunciation” then it refers to both within a particular dialect. A word can be spoken in different ways by various individuals or groups, depending on many factors, such as : (1) the area in which they grew up, (2) the area in which they now live, (3) the existence of a speech or voice disorder, (4) their ethnic group, (5) their social class, and (6) their education.
The Meaning of Pronunciation. Pronunciation is definitely the biggest thing that people notice when we are speaking English ([emailprotected]). Good pronunciation should be one of the first things that we learn in English. We can live without advance vocabulary—we can use simple words to say what we want to say. We can live without advance grammar—we can use simple grammar structures instead. But there is no such thing as “simple pronunciation”. If we don’t have good pronunciation, we have bad pronunciation. And the results of bad pronunciation are tragic. Pronunciation is the way in which a language for a particular word or sound is pronounced. Fachrurrazy (2002) explains that pronunciation includes pronunciation itself (i.e. the way of certain sound is produced, stress (i.e. the pronunciation of the words or syllables with more force than the surrounding words or syllables), and intonation (i.e. rise and fall of pitch of the voice in speaking, especially as this effects the meaning of what is said). Harris (1969 : 81) also underlines that pronunciation includes the segmental features— vowels and consonants—and the stress and intonation patterns. One of the definitions of pronunciation is given by Carrel and Tiffany (1960 : 4). According to them, pronunciation refers to the choice of sounds used in forming words.
The Technique of Teaching Pronunciation. As stated in [emailprotected]. itesm.mx, most of the literature on pronunciation deals with what and how to teach, while the learner remains an abstract, silent body in the classroom. By examining our students’ reflection, we give voice to their beliefs and concern about pronunciation learning. The finding suggests that students benefit from detailed phonetic or phonological instruction, which in turn, allows them to employ metacognitive strategies in a larger communicative context. The article also underlines that socio-affective factors, while often ignored, are a significant aspect of pronunciation learning.
198
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Morley (1994 : 70) underlines that the prevalent focus in pronunciation teaching nowadays should be on designing “new-wave instructional programs. We assume that by giving students the skills to analyze their language learning processes, we would help them keep improving even after they have left the context of the classroom. Reflective practice has played an important role in both teaching and learning. Pennington (1992), for example, asserts that reflective practice should become the means for not only enhancing classroom practice, but also developing motivated and confident second language learners. According to Fachrurrazy (1993: 57), there are some techniques which can be used for teaching pronunciation. They are : (1) giving a model for the correct pronunciation, stress, or intonation and asking students to repeat or imitate, (2) giving example sound or stress at the initial, medial and final position, and asking students to read, (3) putting sound in minimal pairs and asking students to pronoun, (4) introducing students to regular pattern of stress or pronunciation, and (5) predicting the students’ problem in pronunciation, stress or intonation and training them. Morley (1994), underscores the importance of speech-monitoring abilities and speech modification strategies for use beyond the classroom as an important goal for pronunciation teaching. Writing about the role of perception in pronunciation learning, Yule, Hoffman and Domico (1987), emphasize the need for self-monitoring skills. Self-monitoring is critical for creating independent and competent learners and is a necessary part of the consciousness raising process.
The Expectation of Teaching Pronunciation. The role of pronunciation in the different schools of language teaching has varied widely from having virtually no role in the grammar-translation method to being the main focus in the audio-lingual method where emphasis is on the traditional notions of pronunciation, minimal pairs, drills and short conversations (Castillo, 1990 : 3). Morley (1991 : 484) states, ‘the pronunciation class … was one that gave primary attention to phonemes and their meaningful contrasts, environmental allophonic variations and combinatory phonotactic rules, along with … attention to stress, rhythm, and intonation.’ In many language programmers the teaching of pronunciation was pushed aside, as many studies conclude ‘that little relationship exists between teaching pronunciation in the classroom and attained proficiency in pronunciation; the strongest factors found to affect pronunciation (i.e. native language and motivation) seem to have little to do with classroom activities’ (Suter, 1976 : 233-53, Purcell and Suter, 1980 : 271-87).
English Segmental Elements. Two main classes in English segmental elements are consonant and vowel. A consonant is defined as sound made by a closure in the vocal tract, or by a narrowing which is so marked that air cannot escape without producing audible friction. Vowels are sounds that have no such structure : air escape in a relatively unimpeded way through the mouth or nose. (Crystal,1995b : 152).
English Vowel. Vowel is a voice sound in the pronunciation which the air passes through mouth in a continuous stream, there being no construction and no narrowing such as would produce audible friction (Ward, 1952 : 65). Vowels can be classified according to the part of the tongue that is raised, the height to which it is raised, and the position of the lips (Jones, 1956).
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
199
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
According to the part of the tongue which is raised, there are three kinds of vowels (Jones, 1956 : 15). First, in front vowel. In the production of these vowels the ‘front’ of the tongue is raised in the direction of the hard palate. The front vowels include : i:, I, e, and æ. The second is back vowels. In the pronunciation of these vowels, the ‘back’ of the tongue is raised in the direction of the soft palate. The back vowels include : α:, Ɔ, Ɔ:, u, u: and Λ. The third is central vowels. These vowels are the intermediate between front and back vowels. The central vowels include : Ə: and Ə. According to the height to which it is raised, there are four kinds of vowel (Jones, 1956 : 56). First is close vowel. Close vowels are vowels produced by holding the tongue as high as possible, consistently without producing a frictional noise. Close vowels include : i:, I, u and u:. Second is an open vowel. Open vowels are vowels produced by holding the tongue as low as possible. They are : æ, α:, Ɔ, Ɔ:. The third is half close vowel. Half close vowels are vowels produced by positioning the tongue at one third of the distance from close to open vowels. They include : Ə: and Ə. The fourth is half open vowels. Half open vowel are vowels produced by positioning the tongue at two third of the distance from close to open vowels. They include : e and Λ.
English Diphthongs. Beside pure vowels, there are also vowels, which are not pure, called diphthong. Diphthong is a vowel during the formation of which the organs of speech perform a clearly perceptible movement (Jones, 1967). There are many diphthongs in English. A diphthong is defined as an independent vowel-glide not containing within itself either a ‘peak’ or a ‘through’ of prominence. By a vowel-glide it means that the speech-organs start at in the position of one vowel and move in the direction of another vowel. By independent we mean that the glide is expressly made, and is not merely an unavoidable concomitant of sounds preceding and following (Jones, 1967). During the formation of a diphthong the tongue does not remain stationary, as the case with pure vowels (monophthong), but performs a gradual movement in the direction of the second element, till the position required for that sound is reached. From this it is understood that a diphthong is not a succession of two well – defined vowels (as for instance in doing), but a gliding sound which only the beginning and the end have more or less clearly definable tongue – position. Another classification of English diphthong is based on the change of prominence (Jones, 1967). A diphthong is called falling diphthong when the beginning of a diphthong is more prominent than the end (Kruisinga, 1970 : 9). There are many falling diphthongs in English, but there are nine of them, which are essential for foreign learners (Jones, 1967). He numberes them from 13 to 21. They are eI, ou, aI, au, ƆI, IƏ, ƐƏ, ƆƏ, uƏ as mentioned previously. A diphthong is called a rising diphthong when the beginning of the diphthong is less prominent than the end. According to Jones (1967), there are three raising diphthongs ĭƏ, ŭƏ, ŭǐ. The mark over the first letter indicates the prominence.
Research Method The design of this study is a descriptive study. According to Arikunto (2005 : 34), descriptive study is aimed to give original view of variable, indication and condition. This study was conducted to depict a situation at the time of the study in order to get definite information. It was intended to identify mispronouncing in pronouncing vowels [i:], [I],[æ], [ε] and [α],
200
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
which exist in the students’ speeches in their attempt to use the target language and to determine the areas of the difficulties faced by the students in pronouncing [i:], [I],[æ], [ε] and [α] vowels. The subjects of the study were the second semester students of English Department of STKIP PGRI Pasuruan taking pronunciation course. Because it is the first time they got the pronunciation course. There were four classes, those are class A, class B, class C and class D. The researcher observed in class A. There are 35 students in this class. The researcher chose this class randomly, because, the distribution of the students not based on their ability. So, the researcher had assumption that all of the classes had equal ability and the ability all of the classes’ enough to represented with one class. And certainly the second semester students of English Department have to pronounce English vowels [i:], [I],[æ], [ε] and [α] well. It’s to improve the sound in that case. The reading aloud test was done to collect the data. It was because the reading aloud test is easy to score. The administration of the test on vowels [i:], [I], [æ], [ε] and [α], were done with the help from an English lecturer of pronunciation course of the second semester students of English Department at STKIP PGRI Pasuruan. The researcher also gives the right pronunciation with its phonetic symbols to make the readers know how the right pronunciation of each words. Table 3.1 Table of Phonetic Symbol Kinds of Words [æ] vowel : 1. After 2. Answer 3. That 4. Thanks 5. Cat [i:] vowel : 6. Please 7. Leave 8. People 9. Be 10. See [I] vowel : 11. Hit 12. Milk 13. Big 14. Swim 15. Minute [α] vowel : 16. Month 17. Young 18. Sun 19. Brother 20. Colour [Ɛ] vowel :
Phonetic Symbol æftƏ(r) ænsƏ(r) ðæt θæŋk kæt pli:z li:v pi:pl bi: si: hIt mIlk bIg swIm mInIt mαnθ jαŋ sαn brαðƏ(r) cαlƏ(r)
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
201
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
21. 22. 23. 24. 25.
Men Yellow Said Yesterday Friend
mƐn yƐlloƱ sƐit ‘jƐstƏdI frƐnd
In order to make this research run effectively the researcher used an instrument. The instrument is tape recorder. The researcher used a tape recorder to record the students’ voices. The researcher gave some words on a piece of paper and then the researcher asked the students to read it. There were 25 words, i.e. 5 words testing [i:] sound, 5 words testing [i] sound, 5 words testing [æ] sound, 5 words testing [ε] sound and 5 words. When the students read, the researcher recorded their voices. After all of the students finished to read, the researcher analyzed it. In this study, the data were presented quantitatively in order to find out the frequency of occurrence of the mispronunciations. To analyze the data the researcher did some activities. First, the researcher prepared some words for a test. Second, the researcher recorded the students’ voices and the last the researcher calculated their mispronouncing. The frequency of occurrence of the mispronouncing previously identified were counted and tabulated. The number of mispronouncing were then presented in the form of percentage, the quantitatively data are expected to show the students’ difficulties in pronouncing vowels [i:], [i], [æ], [ε] and [α]. The higher percentage of mispronouncing, and the more difficult the pronunciation for the students, will be presented with the table. Then, to know the proportion of the type of mispronouncing, it was calculated by using this formula: Number of mispronouncing of vowel x 100% Total number of mispronouncing
Findings The classification of mispronunciation is classifying mispronunciation in pronouncing English vowels. The researcher identified the students’ mispronunciation in pronouncing English vowel, as follow : Mispronouncing on Pronouncing. a. Mispronunciation in pronouncing [I] vowel. Mispronunciation of this vowel was because the students’ lips were too relaxed. And they didn’t make their tongue a little bit lower. The students were not habitual to pronounce [I] sound because in Indonesian they didn’t find this vowel so they need a process. e.g. a. Big – bi:g b. Milk – mi:lk c. Hit – hi:t The right pronunciation is as follows : a. Big – bIg b. Milk – mIlk c. Hit – hIt 202
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
b. Mispronunciation in pronouncing [i: ] A mispronunciation in this vowel was because the students’ didn’t spread their lips. So, the sound that produced was like [I] vowel. And the students still confused to differentiate betweens [i:] vowel and [I] vowel. e.g. a. Please – plIz b. Leave – lIv c. People -- pIpl The right pronunciation is as follows : a. Please – pli:z b. Leave – li:v c. People – pi:pl c. Mispronunciation in pronouncing [æ] vowel. Mispronunciation in this vowel was because the students’ mouths were almost closed. They didn’t spread their lips, push their tongue to the front. So, the sound that produced was like [Ɛ] vowel. And, because the students didn’t find this vowel in Indonesian words. e.g. a. Cat – kƐt b. Answer – ƐnsƏr c. That -- ðƐt The right pronunciation is as follows : a. Cat – kæt b. Answer – ænsƏr c. That – ðæt d. Mispronunciation in pronouncing [α] vowel. A mispronunciation of this vowel was because the student’s mouth was not too opened. So, the sound that produced was like [Ə] vowel. e.g a. Month – mƏnθ b. Sun – sƏn c. Colour – colƏ(r) The right pronunciation is as follows : a. Month – mαnθ b. Sun – sαn c. Colour – cαlƏ(r) e. Mispronunciation in pronouncing [Ɛ] vowel Mispronunciation of this vowel was because the students were not habitual to pronounce [Ɛ] sound because in Indonesian they didn’t find this vowel and they need a process. So, the sounds that produced were like [Ə] or æ sound. e.g. a. Men – mƏn b. Yellow – yælloƱ c. Said -- sæit The right pronunciation is as follows : a. Men – mƐn b. Yellow – yƐlloƱ c. Said -- sƐit
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
203
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Tabulating Mispronunciation. The result from the students mispronunciation was showed that there were five kinds of vowels; [I] vowel, [i:] vowel, [æ] vowel, [α] vowel and [Ɛ] vowel known as mispronunciation. The mispronouncing vowels include of mispronouncing on [I] vowel 68 times or 46 %, [i:] vowel 9 times or 6 %, [æ] vowel 24 times or 16 %, [α] vowel 19 times or 13 % and [Ɛ] vowel 29 times or 19 %. And the dominant mispronouncing on vowel is mispronouncing on [I] vowel 68 times or 46 %. The data were taken from the students’ pronunciation given by the lecturer, so the researcher collected and calculated them. The result was showed that the mispronunciation on words ‘after’, ‘month’, and ‘men’ were 6 times or 0,04 %; ‘please’, ‘yellow’, ‘brother’, ‘see’ and ‘friend’ were 1 time or 0,006 %; ‘young’ was 9 times or 0,06 %; ‘hit’ was 17 times or 0,11 %; ‘milk’ and ‘swim’ were14 times or 0.09 %; ‘big’ was 21 times or 0,14 %; ‘leave’ and ‘that’ were 5 times or 0,03 %; ‘answer’ was 3 times or 0,02 %; ‘people’, ‘minute’ and ‘cat’ were 2 times or 0,01 %; ‘said’ was 20 times or 0,13 %; ‘thanks’ was 8 times or 0,05 % and ‘color’ was 4 times or 0,03 %. The dominant mispronouncing on the type of mispronunciation in words was ‘big’ 21 times or 0,14 %. There were three words that the students well in their pronunciation; they were ‘sun’, ‘be’ and ‘yesterday’. The data were taken from the students’ pronunciation given by the researcher, so the researcher collected and calculated them.
Discussion. This part of chapter IV discusses the finding that has been described in the previous part. The discussion attempts to the problem, and explain the findings. Mispronouncing on Pronunciation. a. Mispronunciation in pronouncing [I] vowel. These mispronunciations were happened because they couldn’t differentiate betweens [I] vowel and [i:] vowel. The right pronunciation [I] vowel could produce if the students’ lips were relax and lower their tongue a little. e.g. a. Big – bIg b. Swim – swIm c. Minute – mInIt b. Mispronunciation in pronouncing [i:] vowel. Mispronunciation on [i:] vowel were happened because when they pronounced [i:] vowel not too long, sometimes like [I] vowel or [Ɛ]. If they wants to produce the right [i:] vowel they should spread their lips. e.g. a. Be – bi: b. See – si: c. Please – pli:z c. Mispronunciation in pronouncing [æ] vowel Mispronunciation in this vowel was happened because they’re pronouncing like [Ɛ] vowel. The right pronouncing [æ] vowel can be produced if they open their mouth, spread their lips, push their tongue to the front. e.g. a. That – ðæt b. Thanks – θæŋk c. Cat -- kæt
204
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
d. Mispronunciation in pronouncing [α] vowel. This mispronounciation was happened because the students were not too opened their mouth. If they want to produce the right pronouncing of [α] vowel, their mouth should be opened. e.g. a. Young -- yαŋ b. Sun -- sαŋ c. Brother -- brαð Ə(r) e. Mispronunciation in pronouncing [Ɛ] vowel. Mispronunciation on [Ɛ] vowel happened because sometimes their pronunciation like [Ə] vowel. The right pronunciation [Ɛ] vowel can be produced if the students’ mouths are almost closed, and the students spread their lips. e.g. a. Said -- sƐd b. Yesterday – yƐstƏda Based on the findings that have been described on the previous part, it can be seen that the highest percentage of mispronunciation made by the second semester students of English Department at STKIP PGRI Pasuruan was in the [I] vowel. It showed on table 4.1, that mostly students have made mispronunciation especially in the [I] vowel which reached 68 times or 46 % than the other vowels, which involved mispronouncing on [i:] vowel; [æ] vowel; [α] vowel and [Ɛ] vowel. And the lowest percentage of the type of mispronouncing is [i:] vowel, which reached 9 times or 6 %. One of the factors caused of the highest percentage of mispronouncing English vowels were the students’ pronunciation were not correct. It means that the students’ lips didn’t relax, and they didn’t make their tongue a little bit lower. There are many factors that make the students’ pronouncing is not correct, for examples : (1) the area in which they grew up; (2) the area in which they now live; (3) if they have speech or voice disorder; (4) their ethnic group; (5) their social class; (6) their education; (7) the English pronunciation is different with Indonesian pronunciation; and (8) in Indonesian pronunciation of vowels they didn’t faced the vowels like in EnglishNo two people pronounce exactly alike. The differences arise from a variety of causes such as locality, early influences, and social surroundings. Besides, there are also individual peculiarities for which it is difficult or impossible to account (Jones, 1967 : 11). Someone ability in pronunciation influenced with kinds of factors. Pronunciation problems happened when speaking a second language because most people are used to hearing and making sounds, which only exist in their mother tongue. Here are a few suggestion on how to train the students’ pronunciation : (1) the students’ learn to recognize that English sounds and Indonesian sounds are different; (2) they learn to hear clearly and think about how sounds are made when they are listening; (3) discover how this sounds are made and (4) practice moving your jaw, tongue, lips etc. as correctly as possible so that they are able to make the problematic English sounds clearly (www.freeencyclopedia.com). Considering those factors the students have made errors very frequently in pronouncing [I]. Most of the students felt that learning pronunciation was difficult enough for them. It is a good idea to try to imitate English words whenever we are listening to anything in English such as watching TV, watching a movie, listening to the radio or music, etc. We should also try to pronounce English words whenever we are somewhere alone with a little time to spare, e.g. while waiting for the bus, taking a shower, or surfing the web. Once your mouth and tongue get used to the new sounds, you will not find them difficult at all. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
205
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
The researcher also gives some tips for the reader who wants to learn the English pronunciation: (1) do not confuse pronunciation of words with their spelling; (2) imagine a sound in our mind before we say it. Try to visualize the positioning of your mouth and face. Think about how we are going to make the sound; (3) listen to and try to imitate each word when listening the radio or watching TV; (4) the English language has many different dialects, and words can be pronounced differently. It is important, however, that we are pronouncing words clearly to ensure effective communication and finally (5) we must practice what we are learning. Remember that we are teaching our mouth a new way to move. We are building muscles that we do not use in our own language. It is like going to the gym and exercising our body. Use the program to exercise our mouth a little bit each day
Conclusion The total numbers of mispronouncing were 149, mispronouncing on [I] vowel was 68 times or 46 %; mispronouncing on [i:] vowel was 9 times or 6 %; mispronouncing on [æ] vowel was 24 times or 16 %; mispronouncing on [α] vowel was 19 times or 13 %; and mispronouncing on [Ɛ] vowel was 29 times or 19 %. The researcher also tried to find out the causes of that mispronouncing from the students’ pronunciations. The factors causes of mispronunciations were : (1) the English pronunciation is different from Indonesian pronunciation; (2) the students couldn’t differentiate betweens the short i or [I] and the long i or [i:] and (3) in Indonesian pronunciation of vowels they didn’t face the vowels like in English. The other factors for examples : (1) the students forgot to pronounce English vowel correctly, although they had already learnt in their previous meeting; (2) sometimes the students feel nervous; (3) the area in which they grew up; (4) the area in which they now live; (5) if they have speech or voice disorder; (6) their ethnic group; (7) their social class; and (8) their education.
Suggestions At the end of this study, the researcher would like to give some suggestions based on the result of this study as follows : 1. To the Lecturer. From the frequency of those mispronouncing, it shows that pronunciation still needs more attention especially in [I] vowel, the teaching strategy or method used in process of teaching learning English especially in pronouncing skill, giving feedback to know the area of the difficulties in learning English pronunciation. 2. To the Students. They should pay attention to the English pronunciation that are different from the Indonesian pronunciation, they also should listen to how the sounds in real words and sentences and listen to and try to imitate each word when listening the radio or watching TV. References _____. Defitinion of Phonology, (OnLine), (http :// www.freedictionary.com, accessed on March, 15th 2014). _____. Defition of Mispronouncing, (OnLine), (http://www.yourdictionary.com/misprono uncing, accessed on March, 14th 2014).
206
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
_____. Pronunciation Problems, (OnLine), (http :// www.lc.usk.hk.com/sac/advice/english/ pronunciation, accessed on March, 14th 2014). Adhistiani, E.L. 2004. A Study of the Pronunciation of English Diphthong Use by Having Javanese Language Background. Thesis : State University of Malang. Dalton, D.F.2009. Some Techniques for Teaching Pronunciation, (OnLine), (http;//d [emailprotected], accessed on March, 24th 2014). Gimson, A.C. 1969. An Introduction to the Pronunciation of English. London : Edward Arnold. Hedeman, C. & Westerbeek, J.J. 1969. An Introduction to the Study of English Sound. Groningen : Noordhoff N.V. Jones, Daniels. 1973. The Pronunciation of English. Cambridge : The University Press. Kenyon, J.S. 1969. American Pronunciation. Michigan : George Wahr Publishing Company Ann Weber. Lane, Linda. 2005. Focus on Pronunciation 1. New York : Pearson Education. Manser, M.H. 1995. Oxford Learner’s Pocket Dictionary : New Edition. Oxford ; Oxford University Press. Otlowski, Marcus.2009. The Expectation of Pronunciation, (OnLine), (http://otlowski @cc.kochi-u.ac.jp, accessed on March, 24th 2014). Rakhmawati, Indra. 2008. The Error Analysis in Writing Descriptive Paragraph Made by the First Year Students of SMAN 4 Pasuruan. Thesis : STKIP PGRI Pasuruan. Rini, Sulistyo. 2008. A Study on Teaching Speaking of the Second Year Students on SMA Negeri 1 Pasuruan. Thesis : STKIP PGRI Pasuruan. Sirindorn, Y.R. 2008. A Study on the Students’ Error of English Pronounce in Expository Text at the Second Year Students of SMA Negeri 1 Kejayan. Thesis : STKIP PGRI Pasuruan. Vitanova, Gergana & Miller, Ann.2009. Reflective Practice in Pronunciation Learning, (Online), (http ://[emailprotected], accessed on March, 21st 2014).
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
207
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Analisis Kesalahan Mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika STKIP PGRI Pasuruan dalam Menyelesaikan Soal Persamaan Diferensial Linier Homogen dan Tak Homogen Rif’atul Khusniah 15 ([emailprotected]) Abstract Identify errors in the student work on the problems need to be done by each lecturer of course, this identification system aims to improve the course in order to obtain better results. The purpose of this study was to: (1) Identifying and classifying any mistakes done by the students in solving problems associated with PD Linear Homogeneous material and not homogenous, (2) Finding what causes students to make mistakes in completing questions relating to materials of PD Linear Homogeneous and PD Linear Non-Homogeneous. This research is a qualitative descriptive study conducted at the department of mathematics education student 2012 class A that followed the course Differential Equations II. The result showed that the most common mistake is to determine y p in the method of indeterminate coefficients and error integrating the inverse operator method. While in the method of variation of parameters, many students are not able to resolve a matter within the prescribed period. Keywords: Analysis of error, Lesson Study, Differential Equations. Abstrak Identifikasi kesalahan mahasiswa dalam mengerjakan soal perlu dilakukan oleh setiap dosen pengampu mata kuliah, identifikasi ini bertujuan untuk memperbaiki sistem perkuliahan sehingga diperoleh hasil yang lebih baik. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk: (1) Mengidentifikasi dan mengelompokkan kesalahan apa saja yang dilakukan mahasiswa dalam menyelesaikan soal-soal yang terkait dengan materi PD Linier Homogen dan Tak Homogen, (2) Menemukan apa yang menjadi penyebab mahasiswa melakukan kesalahan-kesalahan dalam menyelesaikan soal-soal yang berkaitan dengan materi PD Linier Homogen dan PD Linier Tak Homogen. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif yang dilakukan pada mahasiswa prodi pendidikan matematika kelas 2012 A yang mengikuti mata kuliah Persamaan Diferensial II. Hasil penelitian diperoleh kesalahan yang paling banyak terjadi yaitu pada penentuan y_p di metode koefisien tak tentu dan kesalahan mengintegralkan pada metode invers operator. Sedangkan di metode variasi parameter, banyak mahasiswa yang tidak dapat menyelesaikan soal dalam jangka waktu yang ditentukan. Kata Kunci: Analisis kesalahan, Lesson Study, Persamaan Diferensial.
Pendahuluan Pada setiap perkuliahan pastilah terjadi proses “belajar” yang dialami oleh dosen maupun mahasiswa yang hadir pada perkuliahan tersebut. Proses belajar ini melibatkan banyak pihak dan berbagai macam sumber belajar yang akhirnya memberikan suatu perubahan pada pihak yang telah belajar. Perubahan yang terjadi bisa pada tingkah laku, pemahaman maupun pengetahuan. Mata kuliah Persamaan Diferensial II merupakan mata kuliah wajib yang harus ditempuh oleh mahasiswa semester V program studi pendidikan matematika. Mata kuliah ini memuat materi tentang persamaan diferensial orde tinggi dan cara-cara untuk menyelesaikannya. Sebelum menempuh mata kuliah ini mahasiswa wajib menempuh terlebih dahulu mata kuliah persamaan diferensial I yang memuat materi persamaan diferensial orde I. Akan tetapi, pada 15
Dosen Program Studi Pendidikan Matematika STKIP PGRI Pasuruan
208
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
kenyataannya mata kuliah persamaan diferensial II tidak hanya memerlukan pengetahuan dari mata kuliah prasyarat persamaan diferensial I. Banyak pengetahuan dari mata kuliah lain yang diperlukan untuk menyelesaikan soal-soal-soal PD Linier Homogen orde tinggi dan PD Linier Tak Homogen. Yang paling banyak diperlukan yaitu materi-materi pada mata kuliah Kalkulus I dan Kalkulus II khususnya materi tentang turunan dan integral. Perbedaan kemampuan mahasiswa pada materi prasyarat menyebabkan banyak terjadi kesalahan pada saat penyelesaian soal-soal PD Linier Homogen orde tinggi dan PD Linier Tak Homogen. Kesalahan yang banyak dilakukan mahasiswa biasanya berkaitan dengan kurangnya pemahaman terhadap konsep dasar yang harus dikuasai, kurangnya pemahaman terhadap materi persamaan diferensial linier orde tinggi dan persamaan diferensial linier tak homogen, kurangnya ketelitian siswa dan kurangnya penguasaan pada teknik perhitungan. Kesalahan-kesalahan yang terjadi pada saat penyelesaian soal-soal PD Linier Homogen orde tinggi dan PD Linier Tak Homogen hampir sama dan selalu berulang pada angkatan berikutnya. Untuk meminimalisir kesalahan yang berulang dan untuk memperbaiki kualitas belajar dan pembelajaran di kelas, maka diperlukan suatu penelitian yang membahas tentang kesalahan-kesalahan yang sering muncul. Penelitian ini diharapkan dapat mengidentifikasi jenis-jenis kesalahan yang ada dan menemukan faktor penyebab terjadinya kesalahan tersebut. Berdasarkan uraian diatas, penelitian ini bertujuan untuk (1) Mengidentifikasi dan mengelompokkan kesalahan apa saja yang dilakukan mahasiswa dalam menyelesaikan soal-soal yang terkait dengan materi PD Linier Homogen dan Tak Homogen, (2) Menemukan apa yang menjadi penyebab mahasiswa melakukan kesalahan-kesalahan dalam menyelesaikan soal-soal yang berkaitan dengan materi PD Linier Homogen dan PD Linier Tak Homogen. Winkel (1996:53) mengemukakan bahwa Belajar adalah aktivitas mental (psikis) yang berlangsung dalam interaksi dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan pengetahuan pemahaman keterampilan dan nilai sikap. Perubahan itu bersifat konstan dan berbekas. Sedangkan Purwoto (1997: 24) menyatakan bahwa “Belajar adalah suatu proses yang berlangsung dari keadaan tidak tahu menjadi tahu atau dari tahu menjadi lebih tahu, dari tidak terampil menjadi terampil, dari belum cerdas menjadi cerdas, dari sikap belum baik menjadi bersikap baik, dari pasif menjadi aktif, dari tidak teliti menjadi teliti dan seterusnya. Pada pembelajaran matematika, mahasiswa dituntut untuk dapat menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan materi yang dibelajarkan. Menurut Polya (1973) terdapat empat langkah yang dilakukan dalam pemecahan masalah matematika, yaitu: 1) memahami masalah dan mengetahui apa yang diperlukan 2) mengetahui bagaimana berbagai materi dihubungkan kepada data, dalam rangka memperoleh gagasan solusi untuk membuat suatu rencana penyelesaian 3) menyelesaikan persoalan 4) periksa kembali proses dan hasil yang diperoleh. Malau (1996:44) menyatakan bahwa kesalahan yang sering terjadi pada saat menyelesaikan soal-soal matematika dapat dilihat dari beberapa hal antara lain karena kurangnya pemahaman atas materi prasyarat maupun materi pokok yang dipelajari, kurangnya penguasaan bahasa matematika, keliru menafsirkan atau menerapkan rumus, salah perhitungan, kurang teliti dan lupa konsep. Sependapat dengan itu, Suherman (2001:5) menyatakan bahwa konsep-konsep matematika tersusun secara hierarkis, terstruktur, logis dan sistematis mulai dari konsep yang paling sederhana sampai pada konsep yang paling kompleks. Hal ini
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
209
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
mengindikasikan bahwa didalam matematika terdapat konsep prasyarat dimana konsep ini menjadi dasar untuk memahami suatu topik atau konsep selanjutnya. Sriati (1994:8) dalam penelitian yang dilakukannya menyatakan bahwa kesalahan yang biasanya terjadi dalam mengerjakan soal matematika antara lain: 1) Aspek bahasa / terjemahan Yaitu kesalahan dalam mengubah informasi ke dalam ungkapan matematika atau kesalahan memberi makna suatu ungkapan matematika. 2) Aspek tanggapan / konsep Kesalahan dalam menafsirkan konsep, rumus dan dalil matematika. 3) Aspek strategi / langkah penyelesaian Kesalahan ini terjadi jika mahasiswa salah dalam memilih jalan penyelesaian atau jalan yang dipilih tidak tepat, sehingga tidak dapat menentukan pemecahan soal. 4) Kesalahan sistematik Adalah kesalahan yang berkenaan dengan pemilihan yang salah atas teknik ekstrapolasi 5) Kesalahan tanda Adalah kesalahan dalam memberikan atau menulis tanda atau notasi matematika 6) Kesalahan hitung Adalah kesalahan menghitung dalam operasi matematika. Identifikasi kesalahan mahasiswa dalam mengerjakan soal dilakukan dengan memberikan soal dalam bentuk Lembar Kerja Mahasiswa yang harus dikerjakan dalam jangka waktu tertentu. Hasil pekerjaan mahasiswa ini nantinya akan diidentifikasi mengenai kesalahan apa saja yang muncul dan hasilnya akan dikelompokkan dalam beberapa tipe kesalahan dari setiap materi. Materi-materi yang menjadi pokok bahasan pada penelitian ini antara lain: Penyelesaian PD Linier Homogen Orde Tinggi, Penyelesaian PD Linier Tak Homogen dengan Metode Koefisien Tak Tentu, Penyelesaian PD Linier Tak Homogan dengan Metode Variasi Parameter dan Penyelesaian PD Linier Tak Homogen dengan Metode Invers Operator. Analisis kesalahan dalam penelitian ini merupakan penyelidikan dari aspek letak, jenis dan faktor penyebab terjadinya kesalahan dengan cara menguraikan kesalahan yang dilakukan mahasiswa pada hasil pengerjaan Lembar Kerja Mahasiswa. Dalam penelitiannya Siyepu (2013) menyebutkan bahwa “The nature of errors is based on mistakes displayed by students when they attempt to solve mathematical problems. Students demonstrate different mistakes, which arise owing to many different reasons”. Kesalahan yang dimaksud diatas adalah kesalahan yang dilakukan mahasiswa pada saat mengerjakan permasalahan matematika. Dimana kesalahankesalahan tersebut muncul karena berbagai macam alasan yang berbeda dari setiap mahasiswa.
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi dosen pengampu mata kuliah Persamaan Diferensial II untuk memperbaiki rencana pembelajarannya sehingga dapat meminimalisir kesalahan mahasiswa dalam mengerjakan soal-soal yang diberikan dan menghindari terjadinya kesalahan yang berulang. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi kaprodi untuk memperbaiki kurikulum yang ada sehingga materi prasyarat yang diperlukan pada mata kuliah ini benar-benar telah diperoleh oleh mahasiswa sebelum menempuh mata kuliah ini.
210
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif yang bertujuan untuk mendeskripsikan letak kesalahan mahasiswa, jenis kesalahan dan faktor penyebab kesalahan tersebut. Data penelitian ini diperoleh dari hasil pekerjaan mahasiswa pada Lembar Kerja Mahasiswa (LKM). Subjek dalam penelitian ini adalah mahasiswa program studi pendidikan matematika STKIP PGRI Pasuruan yang mengambil mata kuliah persamaan diferensial II pada tahun ajaran 2014/2015 khususnya kelas 2012 A yang mengikuti Open Class pada kegiatan Lesson Study. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sampai Nopember 2014 selama kegiatan Lesson Study berlangsung. Pada saat kegiatan Open Class mahasiswa diberikan soal dalam bentuk Lembar Kerja Mahasiswa yang dikerjakan secara berkelompok dan ada pula yang dikerjakan secara individu. Hasil pekerjaan inilah yang nantinya akan diidentifikasi letak dan jenis kesalahannya serta dianalisa faktor penyebab terjadinya kesalahan tersebut.
Hasil Penelitian Dari 4 (empat) pokok bahasan yang menjadi bahan penelitian, yaitu: Penyelesaian persamaan diferensial linier orde tinggi, penyelesaian persamaan diferensial linier tak homogen dengan metode koefisien tak tentu, penyelesaian persamaan diferensial linier tak homogen dengan metode variasi parameter dan penyelesaian persamaan diferensial linier tak homogen dengan metode invers operator diperoleh beberapa kesalahan yang dilakukan oleh mahasiswa. Kesalahan-kesalahan yang muncul dari setiap pokok bahasan akan dianalisa secara terpisah. Bentuk-bentuk kesalahan yang muncul diuraikan sebagai berikut:
Pokok bahasan Penyelesaian Persamaan Diferensial Linier orde tinggi Jumlah responden sebanyak 4 kelompok masing-masing terdiri dari 4 mahasiswa.
Soal: Bentuk umum PD Linier Homogen Orde-n , , adalah konstanta. Dengan menggunakan notasi operator diferensial (D), Persamaan Diferensial dapat ditulis menjadi: Kesalahan jawaban responden: Kelompok 1:
Kelompok 2: Kelompok 3:
Jawaban seharusnya:
Soal: Pembentukan persamaan karakteristik Kesalahan jawaban responden: Kelompok 1: Kelompok 3:
Kelompok 4:
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
211
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Jawaban seharusnya: Kedua soal diatas merupakan soal yang saling berhubungan, kelompok 1 dan 3 menjawab salah untuk keduanya. Sedangkan kelompok 2 menjawab salah dalam penulisan persamaan menggunakan operator diferensial tetapi benar dalam pembentukan persamaan karakteristiknya. Untuk kelompok 4 terdapat sedikit kesalahan pada saat penulisan persamaan karakteristiknya, yaitu pangkat dari m tidak perlu diletakkan dalam tanda kurung (melambangkan turunan ke) cukup dengan menuliskan pangkatnya saja.
Soal: Selesaikan PD Kesalahan jawaban responden: Kelompok 1: Solusi umum PD Kelompok 2: Solusi umum PD Kelompok 4: Solusi umum PD Jawaban seharusnya: Kesalahan yang banyak terjadi disini adalah pada saat membentuk solusi umum PD. Banyak mahasiswa yang kurang memahami konsep dasarnya. Sedangkan untuk pemfaktoran menggunakan metode sintetis Horner, hampir semua mahasiswa menguasai metode tersebut sehingga tidak ada kesalahan pada saat penentuan akar-akar persamaannya.
Soal: Selesaikan PD Kesalahan jawaban responden: Kelompok 1: memfaktorkan ;
;
Solusi umum PD
Kelompok 3: memfaktorkan ;
;
Solusi umum PD
Jawaban seharusnya: ;
;
Solusi umum PD Letak kesalahan mahasiswa pada soal ini adalah ketika menentukan akar persamaan dimana Diskriminannya < 0, akar yang diperoleh adalah pasangan bilangan kompleks. Sebanyak 25% responden tidak bisa menentukan akar-akar persamaan dan 25% salah dalam perhitungan. Hal ini mengakibatkan kesalahan pada solusi umum PD.
212
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Pokok bahasan Penyelesaian Persamaan Diferensial Linier Tak Homogen dengan Metode Koefisien Tak Tentu Jumlah responden 7 kelompok masing-masing terdiri dari 3 mahasiswa. Soal: Selesaikan PD Kesalahan Jawaban Responden: Langkah 1 menentukan solusi umum PD Homogen Kelompok 1: Kelompok 4: Jawaban seharusnya Pada langkah ini mahasiswa tidak kesulitan dalam mencari akar-akar persamaan, tetapi pada saat pembentukan solusi umum masih terdapat beberapa mahasiswa yang kurang memahami konsep dasarnya sehingga pembentukan solusi umumnya kurang tepat. Langkah 2 menentukan solusi khusus PD Tak Homogen Kelompok 1:
Kelompok 2:
Kelompok 3:
Kelompok 4:
Kelompok 5:
Kelompok 6:
Kelompok 7:
Jawaban Seharusnya
(Aturan Modifikasi)
Sebanyak 100% responden melakukan kesalahan pada saat penentuan
. Kesalahan ini karena
mahasiswa kurang memahami aturan-aturan yang berlaku pada metode ini sehingga mengakibatkan kesalahan pada langkah berikutnya. Kesalahan ini merupakan kesalahan yang fatal karena pembentukan merupakan langkah utama dalam metode ini.
Pokok bahasan Penyelesaian Persamaan Diferensial Linier Tak Homogen dengan Metode Variasi Parameter Jumlah responden 17 mahasiswa. Soal: Selesaikan PD Kesalahan Jawaban Responden: Langkah 2 Menentukan solusi khusus PD Tak Homogen Menentukan persamaan syarat 1 Responden 1 : Responden 11: Tidak menentukan persamaan syarat 1 Jawaban seharusnya
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
213
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Menentukan persamaan syarat 2 Responden 1 : Responden 10: Tidak menentukan persamaan syarat kedua Responden 13: Responden 14: Tidak menentukan persamaan syarat kedua Responden 15 : Responden 16 : Jawaban seharusnya
Menghitung Determinan Wronsky
Responden 1: Tidak menghitung W, hanya menuliskan dengan W saja. Responden 8: Responden 9: Responden 10: Tidak menghitung W Responden 11: Tidak menghitung W Responden 13: Tidak menghitung W Responden 14: Tidak menghitung W Responden 15: Tidak menghitung W Responden 16: Tidak menghitung W
Jawaban seharusnya: Menentukan dan Kesalahan jawaban responden Responden 1, 8, 9, 10, 11, 13, 14, 15 dan 16 tidak mengerjakan Jawaban seharusnya:
Menentukan
dan
dan
(mengintegralkan)
Kesalahan jawaban responden Responden 1, 8, 9, 10, 11, 13, 14, 15 dan 16 tidak mengerjakan Responden 2: Tidak diintegralkan Responden 12: Tidak diintegralkan Jawaban seharusnya:
dan
Membentuk solusi umum PD Tak Homogen Responden 1, 8, 9, 10, 11, 13, 14, 15 dan 16 tidak mengerjakan Responden 17: Tidak membentuk solusi umum PD Tak Homogen
Tidak selesai mengerjakan
Responden 1, 8, 9, 10, 11, 13, 14, 15 dan 16
Pada pokok bahasan ini, tingkat pemahaman mahasiswa masih sangat kurang. Hal ini dibuktikan dengan besarnya tingkat kesalahan yang dilakukan oleh mahasiswa. Dan sebagian besar dari mahasiswa tidak mampu menyelesaikan soal ini dalam jangka waktu yang ditentukan.
214
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Pokok bahasan Penyelesaian Persamaan Diferensial Linier Tak Homogen dengan Metode Invers Operator Jumlah responden 5 kelompok masing-masing terdiri dari 4 mahasiswa. Soal: Selesaikan PD Kesalahan Jawaban Responden: Kesalahan mengintegralkan
Responden 1:
Jawaban seharusnya:
Responden 1:
Responden 2:
Responden 3:
Jawaban seharusnya: Kesalahan memfaktorkan Responden 4:
Jawaban seharusnya:
Kesalahan pemfaktoran ini menyebabkan kesalahan pada proses perhitungan selanjutnya, sehingga jawaban yang diperoleh juga salah. Begitu juga kesalahan pada saat mengintegralkan juga menyebabkan jawaban yang diperoleh salah. Dari uraian diatas, terlihat bahwa kesalahan yang paling sering terjadi yaitu kesalahan pada konsep dasar dan kurangnya pengetahuan dari materi prasyarat.Kesalahan-kesalahan mahasiswa dalam mengerjakan soal-soal yang diberikan seperti yang telah diuraikan sebelumnya, dapat dirangkum sebagai berikut menurut pokok bahasan masing-masing: Kegiatan Open Class 1 Sabtu/ 25 Oktober 2014
Materi Penyelesaian Persamaan Diferensial Linier Homogen Orde Tinggi
Jenis Kesalahan yang ditemukan (Prosentase) 1. Penulisan notasi operator diferensial (75%) 2. Pembentukan persamaan karakteristik (75%) 3. Kesalahan dalam menentukan akar-akar persamaan (25%) 4. Kesalahan dalam perhitungan (25%) 5. Kesalahan dalam pembentukan solusi umum PD (50%)
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
215
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Kegiatan Open Class 2 Sabtu/ 1 Nopember 2014
Open Class 3 Sabtu/ 8 Nopember 2014
Open Class 4 Sabtu/ 15 Nopember 2014
Materi Penyelesaian PD Linier Tak Homogen dengan Metode Koefisien Tak Tentu Penyelesaian PD Linier Tak Homogen dengan Metode Variasi Parameter
Penyelesaian PD Linier Tak Homogen dengan Metode Invers Operator
Jenis Kesalahan yang ditemukan (Prosentase) 1. Kesalahan dalam pembentukan solusi umum PD Homogen (50%) 2. Kesalahan dalam pembentukan solusi khusus PD Tak Homogen ( ) (100%) 1. Kesalahan menentukan persamaan syarat 1 (5,9%) 2. Tidak menentukan persamaan syarat 1 (5,9%) 3. Kesalahan menentukan persamaan syarat 2 (23,52%) 4. Tidak menentukan persamaan syarat 2 (11,76) 5. Kesalahan menghitung determinan Wronsky (11,76%) 6. Tidak menghitung determinan wronsky (41,17%) 7. Tidak menentukan dan (52,94%) 8. Menentukan dan (Tidak mengintegralkan) (64,70%) 9. Membentuk (47,05%) 10. Membentuk solusi umum PD Tak Homogen (58,82%) 11. Tidak selesai mengerjakan (35,29%) 1. Kesalahan dalam memfaktorkan (20%) 2. Kesalahan mengintegralkan (100%)
Simpulan Dari hasil penelitian diperoleh beberapa temuan yang dapat dijadikan sebagai masukan untuk perbaikan pembelajaran selanjutnya sehingga tidak terjadi kesalahan yang berulang. Beberapa kesalahan yang paling banyak terjadi dimana tingkat kesalahan mencapai 100% yaitu kesalahan dalam menentukan pada materi metode koefisien tak tentu dan kesalahan menhitung hasil pengintegralan pada materi metode invers operator. Kesalahan yang pertama dapat diminimalisir dengan cara penguatan pada konsep dasar metode koefisien tak tentu. Sedangkan kesalahan yang kedua merupakan kesalahan pada konsep dasar integral parsial yang merupakan materi dari kalkulus II. Sedangkan untuk materi metode variasi parameter, banyak mahasiswa yang tidak dapat menyelesaikan soal yang diberikan dalam jangka waktu yang ditentukan, hal ini mengindikasikan bahwa pada materi ini mahasiswa perlu waktu yang lebih panjang untuk menguasai konsep dasar metode ini sehingga tidak terjadi kebingungan pada saat menyelesaikan soal.
216
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Daftar Pustaka Malau, L.(1996). Analisis Kesalahan Jawaban Siswa Kelas I SMU Kampus Nommense Pematang Siantar dalam Menyelesaikan Soal-Soal Terapan Sistem Persamaan Linier 2 Variabel. Tesis tidak Diterbitkan. Malang: IKIP Malang Polya, G. (1973). How To Solve It: A New Aspect of Mathematical Method. New Jersey: Princeton University Press. Purwoto. (1997). Strategi Belajar Mengajar. UNS : UNS Press. Siyepu, S.W. (2003). An exploration of students’ errors in derivatives in a university of technology. Journal of Mathematical Behavior ,32 (577– 592). Sriati, A. (1994). Kesulitan Belajar Matematika Pada Mahasiswa SMA : Pengkajian Diagnostik Jurnal Kependidikan. Yogyakarta: Lembaga Penelitian IKIP Yogyakarta. Suherman, E. (2001). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: Kerjasama JICA dengan FMIPA UPI. Winkel, W.S. (1996). Psikologi Pengajaran. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
217
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Analisis Keterampilan Mengajar Calon Guru Pendidikan Jasmani, Olahraga Dan Kesehatan (Studi pada Mahasiswa S1 Program Studi Pendidikan Jasmani dan Kesehatan STKIP PGRI Jombang yang Menempuh Program PPL) Wahyu Indra Bayu 16 ([emailprotected]) Risfandi Setyawan 16 ([emailprotected]) Abstract Teacher which with quality is teacher owning ability at good category its profession area. Teacher competence cover pedagogic competence, personality competence, social competence, and professional competence. In learning process, what most is influencing of learning study is pedagogic competence. Because pedagogic competence this basically is ability of teacher in managing learning start from preparation, execution, evaluation, and assessment of learning to educative participant. This research aim to to obtaining real him about quality teaching skill’s teach candidate of physical education, sport, and health (N=30, Male= 22, Female=8). Assessment of performance use technique of Duration Recording System (DRS), so that can be analysed by using study observation sheet. Result of research indicate that ability in lesson plan category very good (28,4±2,97); ability learning process enter in category good (24±1,26); ability in assessing educative participant enter in category good (10,8±1,21); and teaching skill’s to enter in category good (41,87±7,22). From the result can be concluded that teaching skill’s teach candidate of physical education, sport, and health enter in category good. Keywords: Teaching Skill’s, Teacher Candidate of PESH Abstrak Guru yang berkualitas adalah guru yang memiliki kemampuan pada kategori baik di bidang profesinya. Kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Dalam pembelajaran, yang paling mempengaruhi efektivitas pembelajaran adalah kompetensi pedagogik. Karena kompetensi pedagogik ini pada dasarnya adalah kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran mulai dari persiapan, pelaksanaan, evaluasi, dan penilaian pembelajaran bagi peserta didik. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran nyata tentang kualitas keterampilan mengajar calon guru pendidikan jasmani, olahraga, dan kesehatan (N=30, 22 Laki-laki, 8 Perempuan) dalam mengelola pembelajaran. Penilaian kinerja menggunakan teknik Recording Duration System (DRS), sehingga bisa dianalisis dengan menggunakan lembar observasi pembelajaran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan dalam menyusun RPP masuk dalam kategori Baik Sekali (28,4 ±2,97); kemampuan menjalankan proses pembelajaran masuk dalam kategori Baik (24±1,26); kemampuan dalam menilai peserta didik masuk dalam kategori Baik (10,8±1,21); dan keterampilan mengajar masuk dalam kategori Baik (41,87±7,22). Dari hasil tersebut maka dapat disimpulkan bahwa keterampilan mengajar calon guru pendidikan jasmani, olahraga, dan kesehatan masuk dalam kategori Baik. Kata Kunci: Keterampilan Mengajar, Calon Guru PJOK
Pendahuluan Dalam proses pembelajaran PJOK, pertumbuhan dan perkembangan intelektual, sosial dan emosional anak sebagian besar terjadi melalui aktivitas gerak atau motorik yang dilakukan anak. PJOK menekankan aspek pendidikan yang bersifat menyeluruh antara lain kesehatan, kebugaran jasmani, keterampilan berfikir kritis, stabilitas emosional, keterampilan sosial, 16 1
Dosen Pendidikan Jasmani dan Kesehatan (Penjaskes) STKIP PGRI Jombang
218
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
penalaran dan tindakan moral, yang merupakan tujuan pendidikan pada umumnya. Di dalam pembelajaran yang paling mempengaruhi efektivitas pembelajaran adalah kompetensi pedagogik. Karena kompetensi pedagogik ini pada dasarnya adalah kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran mulai dari persiapan, pelaksanaan, evaluasi, dan penilaian pembelajaran bagi peserta didik. Kompetensi pedagogik adalah kompetensi yang khas, yang akan membedakan guru dengan profesi lainnya. Penguasaan kompetensi ini, menentukan keberhasilan proses dan hasil pembelajaran peserta didik. Kompetensi ini merupakan kemampuan dalam pengelolaan peserta didik yang meliputi pemahaman wawasan atau landasan kependidikan, pemahaman terhadap peserta didik, pengembangan kurikulum/sillabus, perancangan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan diaolgis, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktulaisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Agar proses pembelajaran dalam mata pelajaran (mapel) pendidikan jasmani, olahraga, dan kesehatan (PJOK) dapat berjalan dengan efektif, maka guru dituntut untuk memiliki kompetensi pedagogik tersebut. Pengelolaan proses pembelajaran itu sendiri pada dasarnya merupakan proses interaksi pedagogis antara guru, peserta didik, materi, dan lingkungannya. Makin efektif proses interaksi pedagogis dilakukan guru, maka makin efektiflah proses pembelajaran yang dilakukan guru tersebut (Maksum, 2010). Suroto (2005) menyatakan bahwa guru PJOK yang efektif akan mampu mengelola aktivitas siswanya sehingga dapat menjamin siswanya memiliki kecukupan gerak dan belajar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa guru yang berkualitas berpengaruh besar terhadap efektivitas pembelajaran (Suherman, 2007; Rink, 2002) dan pada gilirannya mempengaruhi prestasi anak didik (Siedentop & Tannehill, 2000). Efektivitas pembelajaran pada dasarnya merupakan cerminan dari efektivitas pengelolaan proses pembelajaran yang dilakukan oleh gurunya. Targetnya adalah siswa belajar. Sementara itu, pengelolaan proses pembelajaran itu sendiri pada dasarnya merupakan proses interaksi pedagogis antara guru, peserta didik, materi, dan lingkungannya. Makin efektif proses interaksi pedagogis dilakukan guru, maka makin efektiflah proses pembelajaran yang dilakukan guru tersebut. Untuk dapat manjalankan proses pembelajaran PJOK secara lebih baik, maka seorang guru harus mampu memerankan fungsi mengajar pada saat menjalankan pembelajarannya. Fungsi mengajar adalah fungsi guru dalam proses belajar mengajar. Penggunaan istilah ini ditujukan agar guru terfokus pada tujuan perilaku yang ditampilkannya pada saat mengajar daripada hanya sekedar terfokus pada perilaku mengajarnya itu sendiri. Lutan, dkk (2002) kualitas pengajaran mencakup dua aspek yaitu proses dan hasil, mutu proses yang melibatkan faktor guru, peserta didik, lingkungan dan tugas ajar sedangkan hasil berkenaan dengan derajat pencapaian tujuan. Faktor guru diyakini memegang peran yang sangat strategis dalam upaya memperbaiki kualitas pendidikan. Untuk dapat meraih proses pembelajaran yang lebih efektif, para guru dapat memilih dan menggunakan berbagai teknik dan keterampilan mengajar secara efektif. Keputusan mengenai teknik dan keterampilan mengajar bagaimana yang akan dipilih untuk menampilkan fungsi mengajar bergantung pada apa yang diketahui (what they know), apa yang diyakini (what they believe), minat (interest), keterampilan (skills), dan kepribadian (personality) gurunya itu sendiri. Sindentop (dalam Hickson & Fishburne, 2001: 4), dalam pembelajaran dikjasor yang terpenting yaitu menjelaskan, umpan balik, demonstrasi dan murid dapat menikmati proses pembelajaran. Sedangkan menurut Silverman (dalam Hickson dan Fishburne, 2001: 4), pembelajaran pendidikan jasmani dikatakan efektif jika, (a) Guru dapat merencanakan dan Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
219
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
mengatur pembelajaran dengan baik, (b) Guru dapat mengantisipasi situasi dalam kelas, (c) Guru menyadari bahwa kemampuan tiap siswa berbeda, (d) Guru harus pandai dalam merencanakan informasi yang disampaikan pada siswa, (e) Guru harus memiliki pengetahuan, kapan menggunakannya, dan menggunakan gaya mengajar yang sesuai, (f) Guru harus memberikan penjelasan dan demonstrasi yang akurat dan tepat, (g) Guru menentukan waktu latihan yang cukup, (h) Guru mampu meminimalisasi waktu yang tidak tepat ketika siswa latihan, (i) Guru mampu meminimalisasi siswa yang diam untuk menunggu giliran latihan. Hasil riset tentang pengajaran menunjukkan bahwa ada tiga butir hal yang penting untuk diperhatikan agar pengajaran PJOK efektif dalam arti bahwa anak didik akan memiliki keterampilan bergerak yang tinggi dengan sikap yang positif terhadap kegiatan fisik. Ketiga hal itu meliputi: (1) peserta didik memerlukan latihan praktek yang tepat dan memadai, (2) latihan praktek tersebut harus memberikan peluang tingkat sukses (rate of success) yang tinggi, dan (3) lingkungan perlu diintrukturisasi sedemikian rupa sehingga menumbuhkan iklim belajar yang kondusif (Mutohir, 2002: 24).
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif, yakni penelitian yang dilakukan untuk menggambarkan gejala, fenomena atau peristiwa tertentu. Pengumpulan data dilakukan untuk mendapatkan informasi terkait dengan fenomena, kondisi, atau variabel tertentu dan tidak dimaksudkan untuk melakukan pengujian hipotesis. Ary, Jacobs, dan Razavieh, (1990: 381) menyatakan :” ... descriptive research is not generally directed toward hypotesis testing. The aim to describe “what exists” with respect to variables or conditions in situation”. Penelitian ini dilakukan pada mahasiswa program studi pendidikan jasmani dan kesehatan (Prodi. Penjaskes) STKIP PGRI Jombang yang menempuh Mata Kuliah Program Pengalaman Lapangan (PPL) pada tahun 2014 yang ditempatkan pada satuan pendidikan SMA di Jombang dan Mojokerto. Sampel diambil secara random sebanyak 30 calon guru (mahasiswa) dari total 175 mahasiswa Prodi. Penjaskes yang menempuh Mata Kuliah Program Pengalaman Lapangan (PPL) pada tahun 2014. Ada empat instrumen yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu instrumen untuk penilaian pembuatan RPP, instrumen untuk penerapan proses pembelajaran, instrumen proses penilaian guru pada peserta didik, dan instrumen keterampilan mengajar guru PJOK. Proses pengambilan data dengan menggunakan teknik Recording Duration System (DRS), sehingga bisa dianalisis dengan menggunakan instrumen penelitian yang digunakan.
Hasil Penelitian Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan dalam menyusun RPP masuk dalam kategori Baik Sekali (28,4±2,97); kemampuan menjalankan proses pembelajaran masuk dalam kategori Baik (24±1,26); kemampuan dalam menilai peserta didik masuk dalam kategori Baik (10,8±1,21); dan keterampilan mengajar masuk dalam kategori Baik (41,87±7,22).
220
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Tabel 1. Nilai Keterampilan Mengajar Calon Guru PJOK No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Nama Calon Guru EP NK MAA ASN MK SLM EB FP AK IR AS MM EB TE AP VDP NAA GA FK APN NS EF SNW LI RF FDP FAF SN FH YP
Pembuatan RPP
Proses Pembelajaran
Penilaian Peserta Didik
Teaching Skill's
32 31 30 26 28 31 31 29 25 30 26 30 31 31 21 25 28 30 30 30 30 30 26 29 28 20 29 26 32 27
24 24 25 26 24 26 25 23 24 23 24 24 25 23 25 24 23 26 25 22 26 24 24 25 23 23 22 24 21 23
9 12 12 12 12 12 9 12 9 12 12 12 11 12 9 12 11 12 11 11 9 10 11 10 11 9 11 10 9 10
37 50 47 25 44 52 50 44 27 49 50 51 43 45 34 40 32 39 39 49 39 41 48 33 34 36 48 43 45 42
Tabel 2. Analisis Keterampilan Mengajar Calon Guru PJOK
Rata-Rata Maksimal Minimal Standar Deviasi
Pembuatan RPP 28,40 32 20 2,97
Proses Pembelajaran 24 26 21 1,26
Penilaian Peserta Didik 10,80 12 9 1,21
Teaching Skill's 41,87 52 25 7,22
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
221
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Ada delapan indikator dalam proses penilaian RPP, yaitu (1) menuliskan identitas RPP dengan lengkap; (2) menyusun indikator pencapaian kompetensi yang layak; (3) menyusun tujuan pembelajaran yang layak; (4) memilih materi pembelajaran yang sesuai; (5) memilih & menggunakan sumber belajar secara optimal; (6) memilih dan memanfaatkan media pembelajaran secara optimal; (7) merancang kegiatan pembelajaran dengan pendekatan saintifik; dan (8) merancang kegiatan penilaian sikap, pengetahuan, dan keterampilan. RPP dirancang sebelum proses pembelajaran dimulai, seperti ungkapan lama “jika kamu ingin sukses, maka kamu harus mempunyai rencana”. RPP layaknya rencana mengajar atau skenario pembelajaran untuk memperoleh tujuan pembelajaran yang sudah dicanangkan. Guru yang efektif adalah guru yang mempunyai perencanaan yang baik tentang pemahaman materi dan pengorganisasian keterampilan untuk membantu peserta didik dalam proses pembelajaran PJOK. Hastie & Martin, (2006), menerangkan bahwa ada beberapa ciri dari guru yang efektif dalam membuat rencana pembelajaran, yaitu, patience, flexibility, persistence, dan selfknowledge. Perencanaan yang efektif adalah buah dari usaha dan kesabaran (patience) dari guru, tanpa ciri itu tidak akan dihasilkan suatu perencanaan yang baik. Kadang suasana kelas tidak kondusif dan tidak sesuai dengan apa yang dirancanakan, maka perencanaan juga harus bersifat fleksibel (flexibility). Suasana yang tak terduga adalah masalah yang sulit bagi banyak guru. Bagaimanapun, guru yang kurang berpengalaman akan menemukan hal tersebut dan tampak akan lebih sulit meenyesuaikan rencana pembelajaran dibandingkan dengan guru yang berpengalaman mengajar (Lee, 2003). Kegigihan (persistence), kadang rencana pembelajaran menjadi serba salah, kadang hasilnya tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Sebagai contoh, apabila kita menggunakan gaya mengajar guided discovery dan peserta didik selalu melakukan kesalahn dalam memberikan solusi, maka yang harus dilakukan adalah mengevaluasi rencana pembelajaran, bukan menyalahkan peserta didik yang salah dalam melaksanakan tugas gerak (solusi). Dengan kegigihan, guru tersebut akan menjadi handal dalam membuat rencana pembelajaran. Yang terakhir adalah pengetahuan diri sendiri (self-knowledge), guru harus yakin bahwa rencana yang telah sudah disusun adalah perencanaan pembelajaran yang efektif. Suatu perencaan pembelajaran bisa saja sukses dilakukan oleh lain guru, tetapi belum tentu akan sukses apabila kita yang menjalankan rencana pembelajaran tersebut, begitu juga sebaliknya. Proses pembelajaran terdiri dari tiga bagian besar, yaitu kegiatan awal pembelajaran, kegiatan inti, dan kegiatan penutup pembelajaran. Ada delapan indikator dalam proses pembelajaran, yaitu (1) melakukan apersepsi, motivasi, penyampaian tujuan; (2) menguasai materi pelajaran; (3) menerapkan strategi pembelajaran yang mendidik; (4) menerapkan pendekatan pembelajaran saintifik (pendekatan berbasis proses keilmuan); (5) memanfaatkan sumber belajar/media dalam pembelajaran; (6) pelibatan peserta didik dalam pembelajaran; (7) menggunakan bahasa yang benar dan tepat dalam pembelajaran; dan (7) menerapkan langkah menutup pelajaran. Untuk memulai proses pembelajaran, guru harus menyampaikan apa yang akan dipelajari oleh peserta didik, apa keuntungannya, dan bagaimana proses penilaian yang akan dilakukan selama proses pembelajaran berlangsung. Selain itu penyampain oleh guru juga harus menimbulkan rasa tertarik dan tidak lupa adalah motivasi dari guru kepada peserta didik untuk mengitu proses pembelajaran. Pada bagian inti, guru mempraktekkan suatu keterampilan/tugas gerak kepada peserta didik, peserta didik akan lebih beruntung apabila ada demonstrasi langsung dari guru, karena hal tersebut merupakan cara komunikasi yang efektif untuk 222
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
memberikan informasi kepada peserta didik terkait tugas gerak atau keterampilan. Pemberian beberapa isyarat selama demonstrasi akan meningkatkan peforma atau kualitas gerak (Roach & Burwitz, 1986) dan khusus untuk anak muda akan memperoleh pola gerakan yang baru (McCullagh, Stiehl, & Weiss, 1990). Hastie & Martin, (2006), menjelaskan ada empat pendekatan dalam memberikan demonstrasi kepada peserta didik, yaitu (1) demonstrasikan keterampilan, tetapi jangan berbicara; (2) ulangi demonstrasi, tetapi dengan gerakan yang pelan; (3) demonstrasikan gerakan yang diperlukan dengan cepat; dan (4) sediakan pandangan yang berbeda. Selama proses pembelajaran berlangsung, tidak sedikit guru yang memberikan pertanyaan kepada peserta didik untuk strategi pemecahan masalah. Ada tiga jenis pertanyaan yang biasa digunakan dalam proses pembelajaran, yaitu (1) pertanyaan penjelasan; (2) pertanyaan konsekwensi; dan (3) pertanyaa pembenaran atau penalaran, Hastie & Martin, (2006). Pertanyaan yang bagus adalah yang meningkatkan pengetahun peserta didik, menantang pengetahuan peserta didik untuk tahun lebih banyak, dan membangun pengalaman yang baru. Setelah memberikan demonstrasi dan pertanyaan kepada peserta didik, maka tugas guru berikutnya adalah pengecekan pemahaman peserta didik tentang tugas gerak. Sidentop & Tannehill (2000) berpendapat bahwa pengecekan secara spesifik untuk meyakinkan peserta didik mendapatkan informasi yang akurat dari guru. Setelah itu adalah memonitor hasil kerja peserta didik. Bagian akhir dari proses pembelajaran adalah penilaian hasil belajar peserta didik. Hastie & Martin, (2006), ada dua tipe penilaian, yaitu penilaian formatif dan penilaian sumatif. Keuntungan dari proses penilaian formatif adalah dapat digunakan sebagai umpan balik bagi guru tentang kemajuan peserta didik, membantu guru memodifikasi pembelajaran, pemberdayaan peserta didik dalam proses penilaian, dan membatu guru dalam mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan selama proses pembelajaran berlangsung. Sedangkan keuntungan untuk penilaian sumatif adalah dilakukan pada akhir proses pembelajaran, penyedian indikator keberhasilan, memungkinkan guru untuk membagi kualitas dan membandingkan peserta didik, bersifat resmi dan ada dokumen pencapaian. Keterampilan mengajar (teaching skills) pada dasarnya adalah berupa bentuk-bentuk perilaku yang bersifat mendasar dan khusus yang harus dimiliki oleh seorang guru sebagai modal awal untuk melaksanakan tugas-tugas pembelajaran secara terencana dan profesional. Keterampilan mengajar (teaching skill’s) dalam penelitian ini mempunyai 12 indikator yang dijadikan pedoman dalam mengaliasa, yaitu (1) menyiapkan pembelajaran; (2) membuka pembelajaran (presensi, lingkup materi, apersepsi, tujuan); (3) mengelola waktu dan arena pembelajaran; (4) mengelola pemanasan dan pendinginan; (5) menempatkan diri (memposisikan diri di arena pembelajaran); (6) membuat perintah; (7) memonitor perintah; (8) memberi umpan balik (pengakuan kebenaran/koreksi); (9) mencatat kemajuan belajar siswa; (10) bertanya/ refleksi/ menggali pengalaman belajar siswa; (11) menutup pembelajaran (apresiasi, tindak lanjut pertemuan, pembiasaan); dan (12) mengevaluasi diri. Untuk indikator menyiapkan pembelajaran, penilaian dilakukan terhadap lima aspek yang dilakukan oleh guru, yaitu (1) membuat RPP; (2) merefresh penguasaan materi; (3) mengecek data kemampuan awal siswa; (4) menyiapkan tempat pembelajaran; dan (5) menyiapkan alatalat pembelajaran. Sedangkan indikator membuka pelajaran, lima aspek yang dianalisis adalah, (1) melakukan presensi; (2) menyampaikan ruang lingkup materi; (3) mengadakan apersepsi; (4) menyampaikan tujuan psikomotor; dan (5) menyampaikan tujuan kognitif dan afektif. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
223
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Untuk indikator mengelola waktu dan arena pembelajaran, aspek yang diharapkan dilakukan oleh guru adalah, (1) menyampaikan waktu yang tersedia untuk pembelajaran; (2) menyampaikan waktu yang tersedia untuk setiap tugas belajar; (3) menyampaikan batas-batas arena pembelajaran; (4) membuat tanda-tanda peningkatan level tugas; dan (5) membuat tanda pembeda dari tugas gerak yang berbeda. Guru akan mengajar lebih baik jika telah merencanakan dan menggunakan keterampilan pengelolaan kelas yang telah dikuasai dengan tepat. Indikator untuk pengelolaan pemansan dan pendinginan adalah, (1) menyebut nama gerak/formasi/permainan; (2) menyampaikan tujuan gerak/formasi/permainan; (3) menyampaikan cara melakukan/indikator kesempurnaan; (4) mengaitkan dengan materi inti; dan (5) mengecek hasil pemanasan/pendinginan. Untuk indikator menempatkan diri (memposisikan diri di arena pembelajaran) adalah (1) pada saat posisi perintah verbal, dia menjamin semua siswa mendengar; (2) pada saat posisi demo, memungkinkan semua peserta didik melihat dan mendengar penjelasan guru; (3) pada saat posisi monitoring total, memiliki sudut pandang penuh; (4) pada saat posisi memberi feedback individu, mendekat ke siswa sasaran; dan (5) pada saat membuka pelajaran, menempatkan posisi siswa di tempat yang aman dan nyaman (a.l. dari sinar matahari). Salah satu hal yang penting dalam memberikan sebuah instruksi tugas gerak kepada peserta didik sehingga tugas gerak bisa tuntas dilaksankan dengan baik oleh peserta didik adalah pemberian feedback (umpan balik). Feedback dari guru (orangtua dan pelatih) dapat mempengaruhi bagaimana peserta didik (anak) merasakan tentang kemampuan untuk mempraktekkan tugas gerak tersebut (Graham, 2008). Feedback terbagi atas general feedback, nonverbal feedback, feedback dengan informasi isi yang spesifik, dan feedback yang berisi nilainilai (Sidentop, 1983). Tabel 3. Jenis-Jenis Feedback general feedback nonverbal feedback
Gerakan yang bagus, Tembakan yang bagus Passing yang bagus, Bagus Adi Senyum, Memberi tanda OK, Memberi tanda jempol Tepuk tangan
feedback with specific Gerakan yang bagus, John! Kamu menembak dari sisi yang tepat information content feedback with value Lompatan yang bagus! Kamu dapat melompat lebih jauh lagi content dengan cara lututnya lebih ditekuk lagi Indikator menutup pembelajaran juga terdapat lima aspek yang harus dianalisa oleh observer, yaitu (1) menyimpulkan proses; (2) hasil; (3) memberikan apresiasi; (4) menyampaikan rencana materi berikutnya dan persiapan yang diperlukan; dan (5) menyampaikan tindak lanjut dalam kehidupan sehari-hari siswa.
Simpulan “Sukses” dalam pembelajaran bisa diartikan sebagai peserta didik belajar dan mengembangkan perilaku secara positif. Dalam pembelajaran PJOK, “sukses” bisa diartikan apabila dalam proses pembelajaran peserta didik “sibuk, senang, dan baik” (Placek, 1984). Dari hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa keterampilan mengajar calon guru PJOK masuk dalam kategori Baik. Sehingga calon guru PJOK bisa dikatakan baik dalam mengelola proses pembelajaran PJOK dan hal ini dapat dijadikan sebagai bahan kajian dalam meningkatkan 224
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
kualitas mengajar calon guru PJOK. Kelemahan harus segera ditutupi dan kelebihan harus tetap dipertahankan dan ditingkatkan, sehingga kualitas guru PJOK yang akan datanag semankin berkembang dan menjadi lebik baik lagi. Perlu diingat bahwa, tugas dasar mengajar adalah untuk menemukan cara membantu peserta didik belajar dan berkembang; untuk mendesain pengalaman pembelajaran supaya peserta didik bisa berkembang dalam hal keterampilan, pemahaman, dan sikap.
Daftar Pustaka Ary, D., Jacobs, L.C., & Razavieh, A. (1990). Introduction to Research in Education. Fort Worth: Harcourt Brace College Publishers. Graham, G. 2008. Teaching Children Physical Education: Becoming a Master Teacher. Champaign, IL: Human Kinetics. Maksum, A. (2010). Kualitas guru pendidikan jasmani di sekolah: antara harapan dan kenyataan. Makalah dipresentasikan dalam forum penelitian Balitbang Depdiknas. McCullagh, P., Stiehl, J., & Weiss, M.R. (1990). Developmental Modeling Effect on the Quatitative and Qualitative Aspects of Motor Performance. Research Quarterly for Exercise and Sport. 61(4): 344-350. Hastie, P. & Martin, E. (2006). Teaching Physical Elementary Education: Strategies for The Classroom Teacher. San Francisco: Pearson Education Inc. Lee, A. (2003). How the Field Envolved. In S.J. Silverman & C.D. Ennis (eds). Student Learning in Physical Education (2nd Edition). Champaigh, IL: Human Kinetics. Placek, J. 1984. A Multicase Study of Teacher Planning in Physical Education. Journal of Teaching in Physical Education. 4: 39-49. Rink, J. E. (2002). Teaching Physical Education for Learning (4th edition). New York: McGraw Hill. Roach, N.K & Burwitz, L. (1986). Observational Learning in Motor Skills Acquisition: The Effet of Verbal Directing Cues. Trend and Developments in Physical Education: Proceedings of the VIII Commonwealth and International Conference on Sport, Physical Education, Dance, Recreation, and Health. Conference ’86 Glasgow, 18-23 Juli. Publication Information: London, New York: E. & F.N. Spon, 1986. Sidentop, D. 1983. Developing Teaching Skills in Physical Education (2nd Edition). Mountain View, CA: Mayfield Publishing Company. Sidentop, D. & Tannehill, D. (2000). Developing Teaching Skills in Physical Education (4th Edition). Mountain View, CA: Mayfield. Suherman, A. (2007). Teacher’s Curricullum Value Orientations dan Implikasinya Pada Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Pendidikan Jasmani. Disertasi. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia. Suroto. (2005). Examining the relationship among students’ physical activity level, students’ learning behaviors, and students’ formative class evaluation during elementary school physical education classes. (Unpublish Doctoral Disertation). University of Tsukuba. Japan
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
225
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Analisis Permasalahan Pemanfaatan Media Karikatur dalam Pembelajaran Ekonomi (Analisis pada Mahasiswa Praktikan Micro Teaching STKIP PGRI Jombang) Nanik Sri Setyani 17 ([emailprotected]) Abstract This study aims to identify the practitioner student problems when trying utilize caricature media on Micro Teaching training process. The success of using instructional media in the learning process depends on (1) the content of the message, (2) how to explain the message, and (3) the characteristics of the message recipient. For that in choosing and using the media, to consider three factors. If the three factors are able to be delivered in the course of learning media will give maximum results. Economic utilization of instructional media at the high school level is required maximum preparation. This is because the characteristics of the message recipient / high school students are students who often or easily bored. One of the interesting learning media according to researchers is the caricature media. It is very suitable for high school students who like to receive the new information, more over when they are learning. This study is a descriptive-qualitative research. It is a method to observe, analyze and describe the phenomenon that occurs, the practitioner issues when utilizing the caricature media on learning process. Conclusion This study shows that students who try to practice the caricature media on the training process Micro Teaching majority (70%) had difficulty in determining / match with the contents of the message. This is due to the limited ability of the caricature media, most still use the media caricature that has been available on the internet. Though the media on the internet is not easy to be associated with the material. So the researchers suggest that there is additional material in the course Learning Media, it is a Photoshop computer program to help the practitioner more easily match the caricature with the material to be taught. Keywords: caricature, media Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi permasalahan mahasiswa praktikan pada saat berlatih memanfaatan media karikatur pada Micro Teaching. Keberhasilan menggunakan media pembelajaran tergantung pada isi pesan, cara menjelaskan pesan, dan karakteristik penerima pesan. Untuk itu dalam memilih dan menggunakan media, perlu diperhatikan ketiga faktor tersebut. Apabila ketiga faktor tersebut mampu disampaikan dalam media pembelajaran tentunya akan memberikan hasil yang maksimal. Pemanfaatan media pembelajaran Ekonomi di tingkat SMA sangatlah diperlukan persiapan yang maksimal. Hal ini karena karakteristik siswa SMA adalah sering atau mudah bosan. Salah satu media pembelajaran yang menarik menurut peneliti adalah media karikatur. Hal ini sangat cocok dengan masa remaja siswa SMA, mereka menyukai kebaruan dari informasi yang diterima, termasuk pada saat proses pembelajaran. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif-kualitatif, yaitu suatu metode yang mengamati, menganalis dan menggambarkan fenomena yang terjadi, yaitu permasalahan praktikan pada saat memanfaatkan media karikatur pada proses pembelajaran. Kesimpulan penelitian ini menggambarkan bahwa mahasiswa yang mencoba mempraktekan Media Karikatur pada proses latihan Micro Teaching sebagian besar (70%) merasa kesulitan dalam menentukan/mencocokkan dengan isi pesan. Hal ini dikarenakan kemampuan membuat media karikatur terbatas, sebagian besar masih menggunakan media karikatur yang sudah tersedia di internet. Padahal media di internet tidak mudah di kaitkan dengan materi. Sehingga peneliti menyarankan ada tambahan materi di mata kuliah Media Pembelajaran, yaitu program komputer ‘photoshope’ untuk membantu praktikan lebih mudah mencocokkan karikatur dengan materi yang harus diajarkan. Kata Kunci : Media Karikatur 17
Dosen Pendidikan Ekonomi STKIP PGRI Jombang
226
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Pendahuluan Untuk meningkatkan kualitas kegiatan Real Teaching (praktek mengajar di sekolah) mahasiswa praktikan harus melalui program penggodokan yang sering disebut dengan Micro Teaching (praktek mengajar di kampus/bersama dengan mahasiswa lain). Pada saat program Micro Teaching mahasiswa diwajibkan menggunakan media pembelajaran dalam latihannya. Mahasiswa sering memilih media power point dan peta konsep karena media ini relatif mudah dibuat dan dipraktekkan. Meskipun pemilihan media sering tidak maksimal, praktikan sering memanfaatkan media power point untuk menghafalkan naskah dengan cara dibaca, sehingga media ini menjadi tidak berfungsi bahkan membosankan. Materi Ekonomi adalah materi yang dinamis, selalu mengalami perubahan setiap saat. Untuk itu pemanfaat media pembelajaran sangatlah penting, apalagi untuk jenjang SMA (sering digunakan tolak ukur program micro teaching). Siswa dalam tahap remaja akan lebih senang belajar dengan menggunakan bentuk-bentuk simbol dengan cara yang semakin abstrak. Pemanfaatan media pembelajaran Ekonomi di tingkat SMA sangatlah diperlukan persiapan yang maksimal. Hal ini dikarenakan karakteristik penerima pesan/siswa SMA adalah siswa yang sering atau mudah bosan. Untuk menghindari kebosanan yang sering muncul di pembelajaran Ekonomi perlu dikembangkan media pembelajaran yang dimunculkan berganti ganti. Salah satu media pembelajaran yang menarik menurut peneliti adalah media karikatur. Hal ini sangat cocok dengan masa remaja siswa SMA, mereka menyukai kebaruan dari informasi yang diterima, termasuk pada saat mereka belajar. Berdasarkan latar belakang tersebut peneliti memilih judul penelitian sebagai berikut: “Analisis Permasalahan Pemanfaatan Media Karikatur dalam Pembelajaran Ekonomi.” (Analisis pada Mahasiswa Praktikan Micro Teaching STKIP PGRI Jombang )
Landasan Teori Media Pembelajaran Kata media berasal dari bahasa Latin, yakni medius yang secara harfiahnya berarti ‘tengah’, ‘pengantar’ atau ‘perantara’(Munadi (2008:6). Menurut Asosiasi Teknologi dan Komunikasi Pendidikan (Association of Education and Comunication Technologi/ AECT) di Amerika, yakni sebagai segala bentuk dan saluran yang digunakan orang untuk menyalurkan pesan/informasi” (Munadi, 2008:8). Sedang pengertian media pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat menyampaikan dan menyalurkan pesan dari sumber secara terencana sehingga tercipta lingkungan belajar yang kondusif dimana penerimanya dapat melakukan proses belajar secara efisien dan efektif. (Munadi, 2008:7-8). Kegunaan Media dalam proses pembelajaran menurut Sadiman (1986:17) adalah: a. Memperjelas penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat verbalistis (dalam bentuk kata kata tertulis atau lisan belaka) b. Mengatasi keterbatasan ruang, waktu dan daya indera c. Penggunaan media secara tepat dan bervariasi dapat mengatassi sikap positif anak didik. Dalam hal ini media berguna untuk: 1) menimbulkan kegairahan belajar 2) memungkinkan interaksi yanglebih langsung antara anak didik dengan lingkungan dan kenyataan 3) memungkinkan anak didik belajar sendiri sendiri menurut kemampuan dan minatnya.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
227
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
d. Dengan sifat yang unik pada tiap siswa ditambah lagi dengan lingkungan dan pengalaman yang berbeda, sedangkan kurikulum dan materi pendidikan ditentukan sama untuk setiap siswa, maka guru banyak mengalami kesulitan bilamana semuanya itu harus diatasi sendiri. Hal ini akan lebih sulit bila latar belakang lingkungan guru dengan siswa juga berbeda. Masalah ini dapat diatasi dengan media, yaitu kemampuannya dalam: 1) memberikan rangsangan yang sama 2) mempersamakan pengalaman 3) menimbulkan persepsi yang sama. Untuk itu seorang guru harus selalu memperhatikan kegunaan media yang dipakai, agar tidak terjadi kesalahan. Guru hanya menghasilkan siswa belajar dengan gembira namun tidak mempengaruhi hasil belajarnya.
Klasifikasi Media Klasifikasi media berdasarkan indera menurut Munadi (2008:54-57), dapat dibagi menjadi empat kelompok: a. Media Audio adalah media yang hanya mampu memanipulasi kemampuan suara semata. Ditinjau dari sifat pesan yang diterima terdiri dari verbal dan non verbal. Ada beberapa jenis media yang dapat dikelompokkan dalam media audio antara lain radio, alat perekam pita magnetic, piringan hitam dan laboratorium bahasa. b. Media visual adalah alat bantu mengajar yang berhubungan dengan indera penglihatan. Jenis media ini gambar, tulisan, maupun objek. c. Media audio visual adalah alat bantu mengajar yang mempunyai bentuk gambar dan mengeluarkan suara secara simultan. Dengan media audio visual ini seseorang tidak hanya melihat tetapi sekaligus dapat mengdengar sehingga dikenal dengan istilah audio visual aids (AVA) atau alat pandang dengar. d. Multi Media adalah media yang melibatkan berbagai indera dalam sebuah proses pembelajaran. Termasuk dalam media ini adalah segala sesuatu yang memberikan pengalaman secara langsung bisa melalui komputer, internet, melalui pengalaman berbuat ataupun terlibat. Masing-masing media tersebut memiliki kelebihan dan kelemahan. Guru harus pandai untuk mengkombinasikan atau mencocokkan dengan isi materi, cara penyampaikan dan karakteristik/kemampuan siswa.
Landasan Pengembangan Penggunaan Media Pembelajaran Menurut Daryanto (2012: 12-16) ada beberapa tinjauan tentang landasan pengembangan penggunaan media pembelajaran, yaitu: a. Landasan Filosofis; Ada suatu pandangan jika mnggunakan jenis media yang menggunakan tehnologi baru akan mengakibatkan proses pembelajaran menjadi kurang humanis. Hal ini tidak benar proses pembelajaran tetap haru humanis (pembelajaran masih tetap menganggap siswa memiliki kepribadian, harga diri, motivasi dan kemmampuan pribadi yang berbeda). b. Landasan Psikologis; Dengan memperhatikan keberagaman dan keunikan proses belajar, ketepatan pemilihan media dan metode pembelajaran akan sangat berpengaruh pada hasil belajar siswa. Agar pelaksanaannya efektif perlu memperhatikaniadakan hal-hal sebagai berikut: 1) Diadakan pemilihan media yang tepat sehingga dapat menarik perhatian siswa dan memberikan kejelasan obyek yang diamati
228
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
2) Bahan pembelajaran yang akan diajarkan disesuaikan dengan pengalaman siswa. c. Landasan Teknologis; Proses teori dan praktek perancangan, pengembangan, penerapan, pengelolaan serta penilaian proses dan sumber belajar harus dikombinasian sehingga menjadi sistem yang maksimal. d. Landasan Empiris; Berdasarkan landasan rasional empiris akan mengakibatkan kesesuaian antara karakteristi pembelajar, materi pelajaran dan media itu sendiri, bukan karena kesukaan guru. Pemanfaat media pembelajaran yang efektif sebaiknya memperhatikan semua landasan tersebut, agar fungsi media pembelajaran untuk mempercepat pemahaman siswa dapat terwujud, tidak sebaliknya siswa menjadi bingung. Seringkali siswa SMA menyatakan bahwa pembelajaran Ekonomi itu membosankan karena selalu diajak untuk menghafalkan konsep yag sering kali tumpang tindih karena materi ekonomi pembagian sangat banyak. Sudut pandang buku satu dengan yang lain kadang berbeda. Ada sebagian buku membagi menjadi empat misalnya, kadang dibuku lain dibagi menjadi lebih banyak, hanya sekedar tinjauannya diperkecil/lebih detail. Peran guru Ekonomi harus bijaksana dalam menghadapi berbagai macam sumber yang berbeda tersebut. Guru harus mampu menyampaikan penyebab dari perbedaan isi buku tersebut. Guru berkewajiban untuk memberi tambahan wawasan melalui proses analisis. Di setiap bahasan/pertemuan hendaknya guru selalu mengerjakan soal/kasus yang komprehensif. Siswa secara otomatis dilatih untuk mengaplikasikan sekaligus menguasai materi dari konsep yang telah dipelajari. Menurut Ritonga (2007) buku paket SMA dilengkapi dengan bahasan Cinta Ekonomi” yang berisikan artikel mengenai tokoh-tokoh mulai dari ekonomi hingga praktisi di dunia bisnis dan juga sinopsis buku-buku Ekonomi. Materi Ekonomi adalah materi yang dinamis, selalu mengalami perubahan setiap saat. Untuk itu pemanfaat media pembelajaran sangatlah penting, apalagi untuk jenjang SMA. Siswa dalam tahap remaja akan lebih senang belajar dengan menggunakan bentuk-bentuk simbol dengan cara yang semakin abstrak. Pemanfaatan media pembelajaran Ekonomi di tingkat SMA sangatlah diperlukan persiapan yang maksimal. Hal ini dikarenakan karakteristik penerima pesan/siswa SMA adalah siswa yang sering atau mudah bosan. Untuk menghindari kebosanan yang sering muncul di pembelajaran Ekonomi perlu dikembangkan media pembelajaran yang dimunculkan berganti ganti. Salah satu media pembelajaran yang menarik menurut peneliti adalah media visual berupa gambar karikatur. Hal ini sangat cocok dengan masa remaja siswa SMA, mereka menyukai simbol yang abstrak dan kebaruan dari informasi yang diterima, termasuk pada saat mereka belajar. Menurut Munadi (2008:85-89) media Visual berupa gambar dibagi tiga, yaitu sketsa, lukisan, dan photo. Media Karikatur termasuk media Sketsa yaitu gambar sederhana atau draf kasar yang melukiskan bagian-bagian pokok suatu objek tanpa detail. Karikatur menurut Ahmad Rohani dalam Munadi (2008:87) adalah suatu bentuk gambar yang sifatnya klise, sindirian, dan lucu. Karikatur merupakan ungkapan perasaan seseorang yang biasanya diekspresikan berdasarkan masalah-masalah politik dan sosial (termasuk ekonomi). Dalam komunikasi pembelajaran, karikatur dapat digunakan untuk melatih siswa berfikir kritis dan memiliki kepekaan atau kepedulian sosial, lebih mempertajam daya pikir dan daya imajinasi peserta didik (Munadi, 2008:87-88). Saat siswa memperhatikan suatu gambar, mereka akan terdorong untuk berbicara lebih banyak, berinteraksi baik dengan gambar-gambar tersebut, maupun dengan sesamanya, membuat hubungan di antara paradoks dan membangun Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
229
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
gagasan-gagasan baru. Gambar merupakan media visual yang penting dan mudah didapat. Dikatakan penting sebab ia dapat mengganti kata verbal, mengkonkritkan yang abstrak, dan mengatasi pengamatan manusia. Gambar membuat orang dapat menangkap idea tau informasi yang terkandung di dalamnya jelas, lebih jelas daripada diungkapkan oleh kata-kata (Munadi, 2008:89). Berdasarkan kajian tersebut media karikatur sangatlah cocok untuk diterapkan pada matapelajaran Ekonomi, khususnya materi yang seringkali membosankan bagi siswa. Siswa diharapkan akan dengan senang hati mengkaji materi melalui media karikatur yang penuh misteri. Kelemahan media ini tentunya pada kesulitan atau kendala mencocokkan gambar karikatur dengan tujuan materi yang diajarkan. Menurut Munadi (2008:86) alasan utama guru tidak menggunakan atau menghadirkan gambar dalam proses pembelajaran adalah ‘tidak bisa menggambar’. Pembelajaran yang efektif memerlukan perencanaan yang baik media maupun unsur pendukung yang lain. Agar pemanfaatan media pembelajaran dapat memberi hasil yang optimal terhadap hasil belajar siswa, maka dalam pemilihan media harus dipertimbangkan beberapa hal, yaitu : a) isi pesan, b) cara menjelaskan pesan, dan c) karakteristik penerima pesan. Apabila ketiga faktor tersebut mampu disampaikan dalam media pembelajaran tentunya akan memberikan hasil yang maksimal. Pemanfaatan media pembelajaran Ekonomi di tingkat SMA diperlukan persiapan yang maksimal. Hal ini dikarenakan karakteristik penerima pesan/siswa SMA adalah siswa yang sering atau mudah bosan. Salah satu media pembelajaran yang menarik menurut peneliti adalah media karikatur. Hal ini sangat cocok dengan masa remaja siswa SMA, mereka menyukai kebaruan dari informasi yang diterima, termasuk pada saat proses pembelajaran di kelas.
Metode Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi permasalahan mahasiswa praktikan pada saat mencoba memanfaatan media karikatur pada proses latihan Micro Teaching. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif-kualitatif, yaitu suatu metode yang mengamati, menganalis dan menggambarkan fenomena yang terjadi, yaitu permasalahan praktikan pada saat memanfaatkan media karikatur pada proses pembelajaran.
Hasil Penelitian Keberhasilan menggunakan media pembelajaran dalam proses pembelajaran tergantung pada (1) isi pesan, (2) cara menjelaskan pesan, dan (3) karakteristik penerima pesan. Untuk itu dalam memilih dan menggunakan media, perlu diperhatikan ketiga faktor tersebut. Apabila ketiga faktor tersebut mampu disampaikan dalam media pembelajaran tentunya akan memberikan hasil yang maksimal. Berdasarkan hasil angket dan wawancara dengan mahasiswa praktikan micro teaching dapat dijelaskan bahwa: 1. Berdasarkan Isi Pesan a. Pada saat memilih Media Karikatur, sebagian besar (90%) menentukan Materi terlebih dahulu baru membuat Karikatur yang cocok. b. Sebagian besar (80% ) Mahasiswa praktikan memilih Media Karikatur dengan cara menentukan Materi terlebih dahulu, kemudian mencari Karikatur (tidak membuat sendiri ) yang cocok, misal lewat internet 230
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
c. Beberapa mahasiswa praktikan (70%) membutuhkan waktu yang relatif lama untuk menentukan karikatur yang cocok dengan materi. Karena sulit mencocokkan materi dengan karikatur yang diperoleh dari internet. 2. Berdasarkan Cara Menjelaskan Pesan a. Beberapa mahasiswa praktikan (60%) sangat diuntungkan dengan media karikatur, karena saya dapat menjelaskan materi dengan menyenangkan. b. Sebagian besar (60%) mahasiswa ada kendala dalam melaksanakan pembelajaran dengan media. c. Beberapa mahasiswa praktikan (60%) kebingungan pada saat proses pembelajaran untuk mengkaitkan Materi dengan media Karikatur 3. Karakteristik Penerima Pesan a. Beberapa mahasiswa praktikan (70%) merasa siswa yang diajar terlihat antusias pada saat menggunakan media Karikatur b. Beberapa mahasiswa praktikan (60%) merasa pada saat menggunakan Media Karikatur siswa terlihat lebih mudah memahami maksud dari materi pembelajaran. c. Beberapa mahasiswa praktikan (70%) merasa rasa bosan yang sering muncul di materi pembelajaran Ekonomi terlihat relatif berkurang pada saat menggunakan media karikatur. Berdasarkan hasil angket tersebut dapat disimpulkan bahwa permasalahan mahasiswa praktikan pada saat mencoba memanfaatan media karikatur pada proses latihan Micro Teaching adalah : a. Beberapa mahasiswa praktikan (70%) membutuhkan waktu yang relatif lama untuk menentukan karikatur yang cocok dengan materi. Karena sulit mencocokkan materi dengan karikatur yang diperoleh dari internet. Hal ini didukung dengan hasil wawancara sebagai berikut: ” … karikatur saya peroleh dari asli internet (berkali kali tidak cocok), pingin menggambar sendiri tapi tidak bisa/tidak ada yang mengajari….”. b. Beberapa mahasiswa praktikan (60%) kebingungan pada saat proses pembelajaran untuk mengkaitkan Materi dengan media Karikatur. Hal ini disimpulkan berdasarkan hasil wawancara sebagai berikut: “ … karena karikaturnya saya peroleh dari internet, seringkali siswa masih bingung mengkaitkan dengan materi yang saya ajarkan”. “ … saya juga bingung pada saat siswa tidak jelas dengan pembelajaran saya/dalam hati memang muncul tidak terlalu pas dengan karikatur yang ditampilkan jika dikaitkan dengan materi yang diajarkan…” Untuk mengatasi hal tersebut, mahasiswa praktikan mencoba menggunakan beberapa strategi untuk mengurangi kelemahan tersebut: 1) memberi bacaan melalui fotocopy sebelum diberi gambar/karikatur. Hal ini didukung dengan hasil wawancara :’ … siswa diberi fotocopy buku/materi terlebih dahulu dan disuruh membaca sebelum digunakan media karikatur. Yang membaca pasti nyambung dengan maksud karikatur. Sehingga kegembiraan mereka melihat karikatur diikuti dengan pemahaman konsep materi lebih cepat.” 2) memngkombinasi dengan foto asli. Hal ini didukung dengan hasil wawancara: ”… Saya menggunakan karikatur yang saya kombinasi dengan foto asli yang diketahui siswa/lingkungan sekitar. Sehingga siswa tidak bosan dengan media yang digunakan…”. 3) mencoba menggambar sendiri melalui program computer photoshope, namun membutuhkan waktu yang lama karena belajar otodidak.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
231
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
4) mahasiswa menyarankan untuk menambah materi pada matakuliah Media Pembelajaran dengan materi menggambar melalui media computer program photoshop misalnya.
Simpulan Kesimpulan penelitian ini menggambarkan bahwa mahasiswa yang mencoba mempraktekkan Media Karikatur pada proses latihan Micro Teaching sebagian besar (70%) merasa kesulitan dalam menentukan/mencocokkan dengan isi pesan. Hal ini dikarenakan kemampuan membuat media karikatur terbatas, sebagian besar masih menggunakan media karikatur yang sudah tersedia di internet. Padahal media di internet tidak mudah di kaitkan dengan materi. Sehingga peneliti menyarankan ada tambahan materi di mata kuliah Media Pembelajaran, yaitu program komputer photoshope untuk membantu praktikan lebih mudah mencocokkan karikatur dengan materi yang harus diajarkan.
Daftar Pustaka Munadi, Yudhi, 2008, Media Pembelajaran Sebuah Pendekatan Baru, Gunung Baru Pers, Jakarta Daryanto, 2012, Media Pembelajaran, PT Sarana Tutorial Nurani Sejahtera, Bandung Ritonga, 2007, Ekonomi untuk SMA Kelas XI, PT Phibeta Aneka Gama, Jakarta Sadiman, Arief.S, 1986, Media Pendidikan, Pengertian, Pengembangan dan Pemanfaatnnya, PT Radja Grafendo Persada, Jakarta
232
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Perbandingan Bentuk Pemberian Hadiah Berupa Nilai dengan Hukuman Berupa Tugas Terhadap Hasil Belajar Matakuliah Gulat pada Mahasiswa Angkatan 2011D dan 2011E Program Studi Penjaskes STKIP PGRI Jombang Rahayu Prasetiyo 18, Yudi Dwi Saputra 18, & Joan Rhobi Andrianto 18 Abstract This study aims to examine indept the comparative form of a gift of value to the punishment of the task to the learning outcomes of students in the course of wrestling. This type of research is comparative research . Samples were 80 students of Physical Education and Health, grade 2011D and 2011E . The Methods of data collection usied the final value of the course of wrestling . The analysis using paired sample t- test at the significant level 0.05 . The analysis results showed that the learning outcomes of students who are rewarded in the form of a lower value than the punishment of the task Keywords: reward, punishment, learning outcomes Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji perbandingan bentuk pemberian hadiah berupa nilai dengan hukuman berupa tugas terhadap hasil belajar mahasiswa pada mata kuliah gulat. Jenis penelitian ini adalah penelitian perbandingan (comparative research). Sampel dalam penelitian adalah 80 mahasiswa program studi Pendidikan Jasmani dan Kesehatan, kelas 2011D dan 2011E. Metode pengumpulan data menggunakan nilai akhir mata kuliah gulat. Teknik analisis data menggunakan paired sample t-test pada taraf signifikansi 0.05. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil belajar siswa yang diberi penghargaan berupa nilai lebih rendah daripada hukuman berupa tugas. Kata Kunci: hadiah, hukuman, hasil belajar
Pendahuluan Pendidikan merupakan upaya manusia untuk memperluas cakrawala pengetahuannya dalam rangka membentuk nilai, sikap, dan perilaku. Sebagai upaya yang bukan saja membuahkan manfaat yang besar, pendidikan juga merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia yang sering dirasakan belum memenuhi harapan. Hal itu disebabkan karena pengajaran tradisional menitik beratkan pada metode imposisi, yakni pengajaran dengan cara menuangkan hal-hal yang dianggap penting oleh guru bagi murid (Hamalik, 2007). Metode ini tidak menerapkan apakah bahan pelajaran yang diberikan itu sesuai atau tidak dengan kesanggupan, kebutuhan, minat dan tingkat perkembangan serta pemahaman murid. Metode ini tidak pula memperhatikan apakah bahan-bahan yang diberikan itu didasarkan atas motif – motif dan tujuan yang ada pada murid. Kegiatan belajar mengajar yang melahirkan interaksi unsur -unsur manusiawi adalah suatu proses dalam rangka mencapai tujuan pengajaran. Guru dengan sadar berusaha mengatur lingkungan belajar agar bergairah bagi peserta didik. Dengan seperangkat teori dan pengalaman yang dimiliki, guru gunakan untuk bagaimana mempersiapkan program pengajaran dengan baik dan sistematis. Dengan pemberian reward dan punishment oleh guru kepada peserta didik
18
Dosen Program Studi Pendidikan Jasmani dan Kesehatan STKIP PGRI Jombang
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
233
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
sebagai alat untuk mencapai tujuan pembelajaran diharapkan akan tercipta lingkungan belajar yang bergairah sehingga hasil belajar peserta didik dapat meningkat. Dalam kegiatan belajar mengajar, terkadang siswa tidak menunjukkan perilaku yang diharapkan seperti halnya siswa terlihat lesu, pendiam, tidak memperhatikan apa yang disampaikan oleh guru. Maka hal tersebut perlu diselidiki faktor-faktor penyebabnya. Penyebab tersebut biasanya berasal dari beberapa faktor antara lain karena siswa merasa terpaksa atau takut pada gurunya, siswa dalam keadaan sakit, lapar, atau memiliki masalah pribadi dan lainlain. Hal ini menunjukkan bahwa siswa tidak memiliki semangat atau tidak terangsang afeksinya untuk melakukan suatu kegiatan belajar mengajar sehingga inti dari pembelajaran tidak tersampaikan secara maksimal. Sehubungan dengan hal tersebut diatas maka seorang pendidik diharapkan mampu menerapkan pola belajar mengajar yang dapat memotivasi semangat belajar siswa. Jadi salah satu tugas penting seorang guru adalah bagaimana cara menumbuhkan motivasi pada diri siswanya. Selain itu juga motivasi belajar sangat mempengaruhi diri peserta didik karena dapat menimbulkan niat belajar untuk menjamin kelangsungan kegiatan belajar. Seseorang yang mempunyai motivasi belajar tinggi adalah seseorang yang mempunyai kebutuhan untuk mencapai hasil belajar yang optimal. Peran aktif pendidik sangat penting. Salah satu hal yang dapat dilakukan oleh seorang pendidik untuk memotivasi siswa adalah memberikan penghargaan ketika siswanya bisa menjawab pertanyaan dari gurunya, baik dengan cara memberikan hadiah atau berupa nilai yang bagus ataupun dengan hukuman berupa tugas. Oleh karena itu peneliti ingin meneliti lebih seksama perbandingan bentuk pemberian hadiah berupa nilai dengan hukuman berupa tugas terhadap hasil belajar.
Landasan Teori Umumnya setiap siswa ingin mengetahui hasil pekerjaannya, yakni berupa angka yang diberikan oleh guru. Murid yang mendapat angka baik, akan mendorong motivasi belajarnya menjadi lebih besar. Sebaliknya murid yang mendapat angka jelek mungkin menimbulkan frustasi atau dapat juga menjadi pendorong agar belajar lebih baik. Sedangkan arti nilai menurut kamus umum bahasa Indonesia nilai adalah: Nomor; gambar bilangan; nilai. Sedangkan menurut Anas sudijono (1996:311), nilai adalah angka (bisa juga huruf), yang merupakan hasil ubahan dari skor yang sudah dijadikan satu dengan skor-skor lainnya, serta disesuaikan pengaturannya dengan standart tertentu. Nilai, pada dasarnya adalah angka atau huruf yang melambangkan seberapa jauh atau seberapa besar kemampuan yang telah ditunjukkan oleh testee terhadap materi-materi atau bahan yang di teskan, sesuai dengan tujuan intruksional khusus yang telah ditentukan. Nilai pada dasarnya juga melambang penghargaan yang diberikan oleh testert kepada testee atas jawaban betul yang diberikan oleh testee dalam tes hasil belajar. Artinya makin banyak jumlah butir soal dapat dijawab dengan betul, maka penghargaan yang diberikan oleh tester kepada testee akan semakin tinggi. Sebaliknya jika jumlah butir item yang dapat dijawab dengan betul itu hanya sedikit, maka penghargaan yang diberikan kepada testee juga kecil atau rendah. Angka dalam hal ini sebagai symbol dari nilai kegiatan belajarnya. Banyak siswa belajar, yang utama justru untuk mencapai angka atau nilai yang baik sehingga siswa biasanya yang dikejar adalah nilai ulangan atau nilai-nilai pada rapot angkanya baik-baik. Nilai-nilai yang baik
234
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
itu bagi para siswa merupakan motivasi yang kuat. Tetapi ada juga, bahkan banyak siswa bekerja atau belajar hanya ingin mengejar pokoknya naik kelas saja. Ini menunjukkan motivasi yang dimilikinya kurang berbobot bila dibandingkan dengan siswa – siswa yang menginginkan nilai baik. Namun demikian semua itu harus diingat oleh guru bahwa pencapaian angka-angka seperti itu belum melupakan hasil belajar yang sejati, hasil belajar yang bermakna. Oleh karena itu, langkah selanjutnya yang ditempuh oleh guru adalah bagaimana cara memberikan angkaangka dapat dikaitkan dengan values yang terkandung didalam setiap pengetahuan yang diajarkan kepada para siswa sehingga tidak sekedar kognitif saja tetapi juga keterampilan dan afeksinya. Hukuman adalah salah satu alat belajar yang juga diperlukan dalam pendidikan. Hukuman diberikan sebagai akibat dari pelanggaran kejahatan atau kesalahan yang dilakukan anak didik. Tidak seperti akibat yang ditimbulkan oleh ganjaran, hukuman mengakibatkan penderitaan atau kedukaan bagi anak didik yang menerimanya. Pemberian hukuman tidak bisa sembarangan, ada peraturan yang mengaturnya. Tidak ada alasan menghukum seseorang tanpa kesalahan. Jadi,hukuman itu dilaksanakan karena ada kesalahan. Di sinilah pangkal bertolaknya. Oleh karena itu, menurut Purwanto hukuman adalah penderitaan yang diberikan atau ditimbulkan dengan sengaja oleh seseorang (orang tua, guru, dan sebagainya) sesudah terjadi pelanggaran, kejahatan, atau kesalahan. Jika begitu, sebagai alat pendidikan, maka hukuman hendaklah senantiasa merupakan jawaban atas suatu pelanggaran yang dilakukan oleh peserta didik, sedikit banyak selalu bersifat menyusahkan peserta didik, dan selalu bertujuan ke arah perbaikan dan untuk kepentingan peserta didik. Ada pendapat yang membedakan hukuman itu menjadi dua macam yaitu : Hukuman preventif yaitu hukuman yang dilakukan dengan maksud agar tidak atau jangan terjadi pelanggaran, sehingga hal itu dilakukan sebelum pelanggaran itu dilakukan. Hukuman represif yaitu hukuman yang dilakukan disebabkan oleh pelanggaran, karena dosa yang telah diperbuat. Jadi hukuman ini dilakukan setelah terjadi pelanggaran atau kesalahan. Dalam konteks ilmu mendidik, tidak tepat jika istilah “preventif” dan “represif” hanya dihubungkan dengan hukuman. Lebih sesuai jika kedua istilah itu dipergunakan untuk memberikan sifat terhadap alat- alat siasat atau alat-alat pendidikan pada umumnya. Tujuan pemberian hukuman bermacam -macam. Itu berarti ada tujuan tertentu yang ingin dicapai dari pemberian hukuman. Dalam perspektif paedagogis, hukuman dilaksanakan dengan tujuan melicinkan jalan tercapainya tujuan pendidikan dan engajaran. Dari berbagai tujuan itulah pada akhirnya melahirkan teori-teori hukuman, sebagai berikut: a. Teori pembalasan Teori inilah yang tertua. Menurut teori ini, hukuman diadakan sebagai pembalasan dendam atas kelalaian dan pelanggaran dan pelanggaran yang telah dilakukan seseorang. Teori ini seratus persen tidak bisa diterapkan dalam pendidikan. Karena dalam kamus pendidikan tidak ada istilah pembalas dendam. Bahkan sifat balas dendam inilah yang hendak dibasmi dan dijauhkan dari diri anak didik. b. Teori perbaikan Menurut teori ini, hukuman dilakukan untuk membasmi kejahatan atau untuk membetulkan kesalahan. Hukuman jenis ini dilakukan untuk membuat seseorang jera melakukan kesalahan yang sama. Karena hukuman ini bersifat paedagogis, maka penerapannya sangat baik dilakukan dalam pendidikan. Hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan untuk meluruskan sikap dan perilaku anak didik sesuai apa yang diharapkan. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
235
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
c. Teori perlindungan Menurut teori ini, hukuman dilakukan untuk melindungi masyarakat dari perbuatanperbuatan yang tidak wajar. Tujuan dilaksanakannya hukuman ini agar masyarakat dapat dilindungi dari berbagai kejahatan yang telah dilakukan oleh pelanggar. d. Teori ganti rugi menurut teori ini hukuman dilakukan untuk mengganti kerugian yang telah diderita akibat kejahatan atau pelanggaran. e. Teori menakut-nakuti Menurut teori ini, hukuman dilakukan untuk menimbulkan emosi negatif dari dalam diri seseorang. f. Hasil Belajar Hasil Belajar adalah kemampuan yang dimiliki peserta didik setelah peserta didik menerima pengalaman belajar. Menurut Gagne hasil belajar harus harus didasarkan pada pengamatan tingkah laku melalui stimulus respon (Sudjana, 2005:19) Hasil belajar berkenaan dengan kemampuan siswa di dalam memahami materi pelajaran. Menurut Hamalik (2007: 31) mengemukakan, “hasil belajar pola-pola perbuatan, nilai-nilai, pengertian-pengertian, sikap-sikap, apresiasi, ablititas dan keterampilan”. Hasil belajar tampak sebagai terjadi perubahan tingkah laku pada diri siswa yang dapat diamati dan diukur dalam bentuk perubahan pengetahuan, sikap dan keterampilan. Perubahan tersebut dapat diartikan terjadinya peningkatan dan pengembangan yang lebih baik dibandingkan dengan sebelumnya. Hamalik, 2007: 155).
Metode Penelitian Jenis penelitian dalam penelitian ini adalah penelitian perbandingan (comparative research). Subyek penelitian ini adalah mahasiswa angkatan 2011D Prodi Penjaskes sebanyak 40 orang dan mahasiswa angkatan 2011E Prodi Penjaskes sebanyak 40 orang. Pengumpulan data dalam penelitian ini adalah menggunakan kartu hasil studi selama mengikuti mata kuliah Gulat. Data dalam penelitian ini dianalisismenggunakan uji beda mean (uji-t).
Hasil Penelitian Mahasiswa kelas 2011 D yang menggunakan penghargaan berupa nilai hasil belajarnya lebih rendah dibandingkan mahasiswa kelas 2011E yang menggunakan bentuk hukuman berupa tugas. Hal ni bisa dilihat dari nilai mean penghargaan berupa nilai sebesar X (144,55) dan mean Y (150,5 dan hukuman berupa tugas mean X (146,4) dan mean Y (154,9). Tabel 1.1 Deskripsi data hasil belajar siswa dengan bentuk penghargaan berupa nilai NO 1 2 3 4 5
236
DESKRIPSI JUMLAH SAMPEL (N) RATA-RATA / MEAN (X) RATA-RATA / MEAN (Y) STANDART DEVIASI (STD DEV) t hitung
STATISTIK 40 144,55 150,5 3,6 -7,51
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Tabel 1.2 Deskripsi data hasil angket motivasi belajar siswa dengan bentuk hukuman berupa tugas. NO 1 2 3 4 5
DESKRIPSI JUMLAH SAMPEL (N) RATA-RATA / MEAN (X) RATA-RATA / MEAN (Y) STANDART DEVIASI (STD DEV) t hitung
STATISTIK 40 146,4 154,9 33,7 -1,146
Adanya perbedaan besar hasil belajar yang menggunakan bentuk penghargaan berupa nilai dan bentuk hukuman berupa tugas terhadap mata kuliah Teori dan Praktek Gulat, jadi dapat kita lihat pada simpulan diatas mahasiswa yang menggunakan bentuk penghargaan berupa nilai lebih rendah daripada siswa yang menggunakan bentuk hukuman berupa tugas. Pada siswa yang menggunakan bentuk penghargaan berupa nilai diperoleh T hitung (-7,51) < t tabel (1,99). Sedangkan siswa yang menggunakan bentuk hukuman berupa tugas diperoleh T hitung (-1,146) < T tabel (1,99).
Simpulan Mahasiswa kelas 2011 D yang menggunakan penghargaan berupa nilai hasil belajarnya lebih rendah dibandingkan mahasiswa kelas 2011E yang menggunakan bentuk hukuman berupa tugas. Dari hasil diatas dapat dilihat bahwa hasil belajar mahasiswa yang menggunakan bentuk penghargaan berupa nilai lebih rendah daripada siswa yang menggunakan bentuk hukuman berupa tugas. Hal ini disebabkan karena pemberian tug bisa diparaktekkan mahasiswa. Sehingga mahasiswa termotivasi untuk memperbaiki gerakannya. Motivasi juga dapat dikatakan sebagai perbedaan antara dapat melaksanakan dan mau melaksanakan. Motivasi lebih dekat pada mau melaksanakan tugas untuk mencapai tujuan. Motivasi adalah kekuatan, baik dari dalam maupun dari luar yang mendorong seseorang untuk mencapai tujuan tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya. Selain itu juga motivasi belajar sangat mempengaruhi diri peserta didik karena dapat menimbulkan niat belajar untuk menjamin kelangsungan kegiatan belajar. Seseorang yang mempunyai motivasi belajar tinggi adalah seseorang yang mempunyai kebutuhan untuk mencapai hasil belajar, yang optimal.
Daftar Pustaka Hamalik, Oemar. 2007. Proses belajar mengajar. Jakarta: Pt Bumi Aksara. M, Sardiman. 1986. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Maksum, Ali. 2006. Metodologi Penelitian Dalam Olahraga. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya. Sudijono, A. 2007. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta : Raja Grafindo Persada Sudjana, Nana. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009, Cet. 14.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
237
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Persfektif Sikap Berperilaku Moral Ekonomi Mahasiswa Fakultas Ekonomi Program Kependidikan UM Muhammad Basri 19 ([emailprotected]) Abstract This study examines the attitudes perspective of Students of Economics Faculty of Economics Education Program State University of Malang in moral behavior economy. This study used a qualitative research design, data collection is done by focus group interviews. The study findings suggest the following things: moral behavior of economics attitudes: there are two criteria imperative positive attitude, namely (a) the attitude of trying to pay tuition on time and (b) hasten to pay debts attitude. There is a negative attitude, delaying the fulfillment of debt attitude. On the criterion of generalization, there are three positive attitude, namely (a) seeks volunteer disaster victims attitude, (b) return the goods being proactive in finding, (c) giving assistance to disaster victims attitude. Associated with the symmetry criteria, there are two positive attitude, namely (a) aspires to increase the burden of fuel a small community and (b) the attitude of trying to help the scavengers to collect junk and give it to scavengers. There are also two attitudes that are less expected, namely (a) stand against fuel price increases that could burden the economic life of small communities, and (b) economically dispose of used goods attitude. Next on the criteria of intrinsic motivation, it was revealed three positive attitude, namely (a) the attitudes of play an active role in the completion of the task group to avoid the neglect of moral norms as well as a changing role in the completion of the task group to hand over some money. (B) the attitude of avoiding the use of public facility for the sake of personal interest, and (c) participation in economic cooperation with the shopping at the cooperative as a consequence of membership. On the other, there are two negative attitude, namely (a) the attitude of using public facilities to private intention, and (b) the attitude of ignoring the consequences of cooperation. Keywords: Pesfective, attitudes, economic morality Abstrak Penelitian ini mengkaji tentang persfektif sikap mahasiswa Fakultas Ekonomi Program Kependidikan Universitas negeri Malang dalam berperilaku moral ekonomi. Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian kualitatif, pengumpulan data dilakukan dengan focus group interview. Temuan penelitian menunjukkan hal-hal berikut: sikap perilaku moral ekonomi: Kriteria imperatif ada dua sikap positif, yakni (a) sikap berupaya membayar SPP tepat waktu dan (b) sikap menyegerakan membayar hutang. Terdapat sikap negatif, yaitu sikap menunda pemenuhan kewajiban. Pada kriteria generalisasi, ada tiga sikap positif, yakni (a) sikap berupaya menjadi sukarelawan korban bencana, (b) sikap proaktif dalam mengembalikan barang temuan, (c) sikap memberikan bantuan terhadap korban bencana. Terkait dengan kriteria simetri, terdapat dua sikap positif, yakni (a) beraspirasi terhadap kenaikan BBM yang memberatkan masyarakat kecil dan (b) sikap berupaya membantu pemulung dengan mengumpulkan barang bekas dan memberikannya kepada pemulung. Terdapat pula dua sikap yang kurang diharapkan, yakni (a) berdiam diri terhadap kenaikan harga BBM yang dapat memberatkan kehidupan ekonomi masyarakat kecil, dan (b) sikap membuang barang bekas bernilai ekonomis. Selanjutnya pada kriteria motivasi intrinsik, terungkap tiga sikap positif, yakni (a) sikap berperan aktif dalam penyelesaian tugas kelompok dengan menghindari sikap mengabaikan norma moral berupa mengganti peran serta dalam penyelesaian tugas kelompok dengan menyerahkan sejumlah uang. (b) sikap menghindari penggunaan fasilitas umum demi kepentingan pribadi, serta (c) peran serta dalam kerjasama ekonomi dengan berbelanja di koperasi sebagai konsekuensi keanggotaan. Di sisi lain, terdapat dua sikap negatif, yakni (a) sikap menggunakan fasilitas umum untuk kepentingan pribadi, serta (b) sikap mengabaikan konsekuensi kerjasama. Kata kunci: Persfektif, sikap, moralitas ekonomi. 19
FKIP Universitas Tanjungpura
238
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Pendahuluan Perilaku ekonomi dapat berupa tindakan di bawah kontrol kemauan (voli-tional behavior) maupun tindakan karena diwajibkan (mandatory behavior), kedua jenis tindakan ini tidak serta merta terjadi, tetapi harus melalui tahapan terbentuknya sikap dan minat ekonomi terlebih dahulu (terutama volitional behavior) (Jogiyanto, 2007). Sikap ekonomi diartikan sebagai kondisi mental yang kompleks sebagai cara menempatkan dan membawa diri yang melibatkan keyakinan dan perasaan serta disposisi untuk bertindak terkait aktivitas ekonomi dengan cara tertentu, sementara minat ekonomi adalah keinginan untuk melakukan perilaku-perilaku ekonomi. Minat dibatasi pada keinginan, dan belum tentu menjadi faktor penentu terjadinya perilaku/tindakan ekonomi. Tahapan dari sikap ke minat hingga menjadi perilaku melalui proses yang disebut proses internalisasi, internalisasi sikap ekonomi akan menghasilkan penentuan sikap yang berhubungan dengan nilai, yang selanjutnya menjadi dasar perilaku ekonomi berupa tindakan ekonomi. Internalisasi sikap dan perilaku ekonomi yang diharapkan dalam proses pendidikan dan pembelajaran yang diselenggarakan baik di bangku pendidikan formal, maupun non formal adalah dalam rangka mencerdaskan kehidupan ekonomi peserta didik/warga belajar, sebagai upaya meningkatkan keadilan dan kesejahteraan ekonomi secara khusus bagi peserta didik/warga belajar dan masyarakat Indonesia secara umum. Hal ini sejalan dengan paham demokrasi ekonomi yang dianut di Indonesia yang berbeda dengan demokrasi ekonomi 'Barat', yang saat ini justru telah menjadi kiblat demokrasi di Indonesia. Terjemahan demokrasi ekonomi di Indonesia adalah bahwa kesejahteraan ekonomi bagi seluruh masyarakat Indonesia (well–being), bukan kesejahteraan dalam arti sempit (welfare) (Swasono, 2010). Selain well– being demokrasi ekonomi di Indonesia juga bermakna keadilan ekonomi. Perilaku ekonomi terdiri atas rasionalitas ekonomi, moralitas ekonomi dan gaya hidup, termasuk di dalamnya adalah efektifitas dalam aktivitas produktif dan efisiensi dalam aktifitas konsumtif (Wahyono, 2001). Dalam penelitian ini dibatasi pada perilaku ekonomi yang berupa moralitas ekonomi, yang teraktualisasi pada: 1) imperatif, yang terdiri atas (a) ketaatan pada aturan pranata dalam perekonomian (b) pemenuhan kewajiban dalam perekonomian; 2) tenggang rasa, yang terdiri atas (a) kepedulian terhadap ke-beradaan orang lain (b) kemampuan untuk menimbang dampak tindakan terhadap pihak lain; 3) kesetaraan, yang terdiri atas (a) kemampuan untuk menimbang kondisi masyarakat sekitarnya dalam perilaku ekonomi (b) Penghargaan terhadap persamaan hak sebagai pelaku ekonomi; dan 4) komitmen, yang terdiri atas (a) sikap mengutamakan norma moral dalam perilaku ekonomi (b) sikap prososial dalam perilaku ekonomi dan (c) sikap mengutamakan kerjasama dalam perilaku ekonomi. (Wahyono, 2001). Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa perilaku seseorang berhubungan dengan sikap dan minat, artinya bahwa sikap seseorang dimediasi oleh minat akan membentuk perilaku seseorang. Bagozzi (1981) melakukan penelitian yang berjudul Attitudes, intentions, and behavior: A test of some key hypotheses, menguji hipotesis tentang hubungan sikap dengan perilaku terhadap 157 sarjana dan staf fakultas, menemukan bahwa sikap mempengaruhi perilaku tetapi melakukannya dengan cara yang tidak langsung, melainkan melalui dampak sikap terhadap minat. Ajzen (1991) yang melanjutkan penelitian sebelumnya atas namanya sendiri, tentang The Theory of Planned Behavior (1985 dan 1987) menemukan bahwa niat untuk
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
239
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
melakukan perilaku dapat diprediksi dengan akurasi yang tinggi dari sikap terhadap perilaku, norma subjektif, dan kontrol perilaku dirasakan. Selanjutnya Kim dan Hunter (1993) meneliti tentang Relationships Among Attitudes, Behavioral Intentions, and Behavior: A Meta-Analysis of Past Research, Part 2, menemukan bahwa ada hubungan yang kuat antara sikap dengan perilaku, yang dimediasi oleh minat berperilaku. Dari ketiga kajian empris tersebut, dalam proyeksi peneliti ada hal penting yang terlupakan, bahwa perilaku terjadi melalui sikap dan minat tidak berlaku pada semua perilaku, melainkan hanya terjadi pada perilaku volitional (perilaku berdasarkan kontrol kemauan), sementara pada perilaku mandatory (perilaku yang diwajibkan) tidak mempertimbangkan minat seseorang untuk melakukan perilaku tersebut. Berdasarkan hal tersebut, peneliti memandang penting untuk melakukan kajian mendalam tentang anteseden minat terhadap perilaku seseorang. Sementara itu, moralitas ekonomi pada prinsipnya tidak dikesampingkan oleh adanya rasionalitas ekonomi, Wahyono (2001) meneliti tentang pengaruh perilaku ekonomi kepala keluarga terhadap intensitas pendidikan ekonomi di lingkungan keluarga. Penelitian dilakukan di kota Malang, dengan sampel penelitian sebanyak 376 orang kepala keluarga yang telah memiliki anak umur 15 tahun ke atas, atau telah duduk di kelas 3 SLTP. Temuan penelitian ini mendukung postulat yang diajukan oleh Klasik, sekaligus membuktikan kebenaran proposisi yg diajukan Etzioni bahwa manusia yang rasional tidak harus mengesampingkan komitmen moral dalam perilaku ekonominya. Penelitian ini juga menyarankan kajian yang lebih komprehensif dan mendalam tentang masalah perilaku ekonomi masyarakat, terutama dalam hubungannya dengan intensitas pendidikan ekonomi di lingkungan keluarga. Pentingnya meneliti persfektif sikap berperilaku moral ekonomi serta proses internalisasinya, dengan asumsi bahwa internalisasi moralitas ekonomi secara teoritis dapat dilakukan melalui pendidikan formal, non formal, dan informal (lingkungan keluarga dan masyarakat), sehingga memungkinkan untuk dilakukan upaya-upaya yang efektif proses internalisasi dimaksud. Penelitian ini dilakukan pada mahasiswa Fakultas Ekonomi program kependidikan dimaksudkan bahwa: a) mahasiswa telah melewati masa pendidikan yang cukup lama dan diproyeksikan telah memperoleh pengetahuan ekonomi yang memadai, selain itu boleh jadi (diproyeksikan) pula bahwa mahasiswa tersebut telah memperoleh pembelajaran ekonomi, baik pada pendidikan nonformal maupun di lingkungan keluarga dan masyarakat sekitarnya; b) sebagai calon guru ekonomi, mahasiswa akan menjadi asset penting dalam mengimplementasikan proses internalisasi sikap dan minat ke dalam moralitas ekonomi peserta didiknya. Berdasarkan konteks penelitian di atas, penelitian ini secara umum difokuskan pada pencarian persfektif sikap berperilaku ekonomi serta proses internalisasinya kepada mahasiswa.
Landasan Teori Jogiyanto (2007) mengatakan bahwa “sikap (attitude) adalah evaluasi kepercayaan (belief) atau perasaan positif atau negatif dari seseorang jika harus me-lakukan perilaku yang akan ditentukan”. Selanjutnya Fishbein dan Ajzen (dalam Jogiyanto 2007) mendefinisikan sikap (attitude) sebagai “jumlah dari afeksi (perasaan) yang dirasakan seseorang untuk menerima atau menolak suatu objek atau perilaku dan diukur dengan suatu prosedur yang menempatkan
240
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
individual pada skala evaluatif dua kutub, misalnya baik atau jelek; setuju atau menolak dan lainnya”.
Sementara Maxwell (2004: 28) menyebutkan "Bagi sementara orang sikap itu menimbulkan kesulitan dalam setiap peluang, bagi yang lain sikap itu membe-rikan peluang dalam setiap kesulitan. Ada yang mendaki dengan sikap positif, se-mentara yang lain jatuh dengan perfektif negatif". Dengan demikian, sikap seseorang terhadap perilaku yang akan dilakukaan menunjukkan seberapa jauh perasaannya menunjukkan perilaku itu baik atau jelek. Selanjutnya Chaplins (dalam Iskandar, 2010) menyatakan bahwa minat memiliki arti: Suatu sikap yang berlansung terus-menerus yang memusatkan perhatian seseorang, sehingga membuat dirinya jadi selektif terhadap objek niatnya. Perasaan yang menyatakan bahwa satu aktivitas, pekerjaan, atau objek itu berharga atau berarti bagi individu. Suatu keadaan motivasi, menuntun tingkah laku menuju satu arah (sasaran) tertentu. Pendapat di atas menunjukkan bahwa sikap berlangsung terus menerus dalam diri individu yang berupa perasaan yang menuntun atau mengarahkan seseorang untuk berperilaku. Terkait dengan hubungan sikap dengan perilaku, Azwar (2010) menyebutkan “sikap terhadap suatu perilaku dipengaruhi oleh keyakinan bahwa perilaku tersebut akan membawa kepada hasil yang diinginkan atau tidak diinginkan”. Selanjutnya Baron dan Byrne, juga Myers dan Gerungan (dalam Wawan dan Dewi, 2010) ada tiga komponen yang membentuk sikap, yaitu: Komponen kognitif (komponen perseptual), yaitu komponen yang berkaitan dengan pengetahuan, pandangan, keyakinan yaitu hal-hal yang berhubungan dengan bagaimana orang mempersepsi terhadap sikap. Komponen afektif (komponen emosional), yaitu komponen yang berhubungan dengan rasa senang atau tidak senang terhadap objek sikap. Rasa senang merupakan hat yang positif, sedangkan rasa tidak senang merupakan hat yang negatif Komponen ini menunjukkan arah sikap, yaitu positif dan negatif. Komponen konatif (komponen perilaku, atau action component), yaitu komponen yang berhubungan dengan kecenderungan bertindak terhadap objek sikap. Komponen ini menunjukkan intensitas sikap,yaitu menunjukkan besar kecilnya kecenderungan bertindak atau berperilaku seseorang terhadap objek sikap. Sikap ekonomi berarti seberapa jauh perasaan seseorang tentang baik atau buruknya perilaku-perilaku ekonomi, baik rasionalitas, moralitas, gaya hidup, efisiensi dalam aktivitas konsumtif, maupun efektivitas dalam aktivitas produktif. Dalam penelitian ini peneliti memfokuskan pada sikap berperilaku ekonomi yang berupa moralitas ekonomi. Moralitas ekonomi adalah bagian dari perilaku ekonomi yang berkaitan de-ngan sikap dan tindakan ekonomi seseorang dalam interaksinya dengan orang lain atau kelompok orang, yang menekankan pada kepedulian seseorang terhadap ke-beradan orang lain. Berbicara moralitas dalam perilaku ekonomi melibatkan paradigma yang cenderung berlawanan. Moralitas berbicara tentang kepedulian terhadap orang la-in, sementara paradigma perilaku ekonomi yang berterima umum yang dilandasi rasionalitas lebih menekankan bagaimana memenuhi laba yang diharapkan. Pencapaian kepuasan yang berupa laba seringkali mengabaikan kepentingan orang lain, dengan kata lain selama tidak bertentangan dengan hukum, apa saja boleh dilakukan untuk
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
241
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
mengumpulkan pundi-pundi laba yang dikehendaki. Sayangnya hukum di Indonesia belum mengatur secara mendalam dimensi moralitas ekonomi secara rasional. Mendalami moralitas ekonomi pancasila akan melahirkan jawaban dari persoalan di atas, meskipun latar belakang yang berbeda akan melahirkan persepsi yang berbeda pula. Latar belakang dimaksud adalah anutan teori klasik-neokalsik/liberal-neoliberal/kapitalis, teori sosialis maupun syariah. Terkait dengan persoalan paradigma di atas, Etzioni (1992) menawarkan paradigma yang dikenal dengan “aku dan kita” atau “komunitas responsif” sebagaimana ungkapannya sebagai berikut: Istilah komunitas responsif digunakan untuk memberikan kedudukan penuh, baik bagi individu maupun kolektivitas bersama. Komunitas yang responsif lebih bersifat mengintegrasikan dibanding agregasi individu pada individualisme yang bersifat sementara, karena agregasi terbentuk dari jalinan kepentingan masing-masing individu untuk memaksimumkan diri, dan kurang hierarkis dan terstruktur dibadingkan komunitas yang otoriter. Baik individu maupun komunitas sepenuhnya esensial, dan karenanya memiliki kedudukan yang sama. individu dan komunitas saling mem-bentuk dan saling membutuhkan. Pandangan Etzioni di atas, jika kita pahami secara mendalam pada prinsipnya terdapat kesamaan dengan konsep moralitas ekonomi pancasila yang ditawarkan para pendiri bangsa. Sudarmanto (2008) mengatakan bahwa: Ekonomi Pancasila sebagai ilmu ekonomi kelembagaan (institutional economics) yang menjunjung tinggi nilai-nilai kelembagaan Pancasila mengandung 5 asas yang mana semua substansi sila Pancasila yaitu (1) etika, (2) kemanusiaan, (3) nasionalisme, (4) kerakyatan/demokrasi, dan (5) keadilan sosial, harus dipertimbangkan dalam model ekonomi yang disusun. Disinilah kelima sila di atas menjadi substansi etika dalam Ekonomi Pancasila. Kalau sila 1 Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi landasan rangsangan moral maka sila 2 sampai 5 menjadi landasan rangsangan sosial ekonomika etik Ekonomi Pancasila. Ekonomi Pancasila dengan kata lain merangkum secara tepat dua elemen utama pencapaian kesejahteraan ekonomi. Selanjutnya konsep ekonomika etik ekonomi Pancasila, yang dikemukakan oleh Mubyarto (dalam Sudarmanto, 2008) dalam bukunya Sistem dan Moral Ekonomi Pancasila dicirikan sebagai berikut: (1) Roda perekonomian digerakkan oleh rangsangan ekonomi, moral dan sosial. (2) Ada kehendak kuat dari seluruh anggota masyarakat untuk mewujudkan keadaan kemerataan sosial ekonomi. (3) Prioritas kebijaksanaan ekonomi adalah pengembangan ekonomi nasional yang kuat dan tangguh, yang berarti nasionalisme selalu menjiwai setiap kebijaksanaan ekonomi. (4) Koperasi merupakan soko guru perekonomian nasional. (5) Adanya imbangan yang jelas dan tegas antara sentralisme dan desentralisme kebijaksanaan ekonomi untuk menjamin keadilan ekonomi dan keadilan sosial dengan sekaligus menjaga efisiensi dan pertumbuhan ekonomi. Ekonomi Pancasila menjunjung tinggi asas keadilan ekonomi bagi seluruh rakyat, sehinggga konsep efisiensi harus berbanding dengan konsep keadilan sosial. Karena konsep keadilan sosial berbicara pemerataan sementara efisiensi berbicara pertumbuhan.
Metode Penelitian Pelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, Pendekatan kualitatif dalam penelitian ini lebih bersifat natural, deskriptif, dan induktif. natural bermakna bahwa latar penelitian
242
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
merupakan sumber data langsung yang alami, sehingga peneliti harus mampu masuk secara langsung ke dalam latar penelitian di Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Malang. Sifat deskriptif dapat diartikan bahwa data yang dikumpulkan berupa kata-kata dan gambar-gambar, sehingga untuk memberikan dukungan terhadap uraian yang disajikan dalam laporan penelitian, diungkapkan kutipan-kutipan dari data sebagai hasil pengungkapan responden. Pemilihan sumber data atau subjek-subjek penelitian akan berlangsung secara bergulir sesuai kebutuhan hingga mencapai kejenuhan, dengan asumsi bahwa data penelitian ini bersumber dari orang-orang, peristiwa-peristiwa, dan situasi yang ada pada latar penelitian. Adapun yang menjadi subjek penelitian adalah mahasiswa pada Program Studi Pendidikan Tata Niaga, Pendidikan Administrasi Perkantoran, Pendidikan Akuntansi, dan Pendidikan Ekonomi yang berada pada semester 4, 6 dan 8, dengan asumsi mereka telah memperoleh pembelajaran bidang ekonomi yang memadai, di antaranya Dasar-dasar Ekonomi (Fundamental economics), Ekonomi Mikro (Microeconomics), Ekonomi Makro (Macroeconomic), Ekonomi Internasional (International Economics) dan Ekonomi Indonesia (Indonesian Economics). Prosedur pengumpulan data yang tepat akan menghasilkan terkumpulnya data sesuai dengan yang diharapkan. Penelitian ini menggunakan menggunakan dua teknik pengumpulan data, yaitu: (1) Wawancara mendalam (in depth interview); (2) Studi dokumen (study of documents). Dalam penelitian ini digunakan focus group interview, yang terdiri atas enam group dengan jumlah anggota kelompok bervariasi, antara tiga hingga tujuh mahasiswa, dengan jumlah keseluruhan informan 32 mahasiswa. Focus group interview dihentikan setelah data yang diperoleh dianggap jenuh, dalam penelitian ini dihentikan setelah kelompok ke enam. Studi dokumentasi (study of documents) digunakan untuk mengumpulkan data non manusia, teknik ini dapat digunakan untuk mendapatkan data pendukung secara efisien, yakni data-data tentang visi Fakultas Ekonomi UM, program studi yang ada, mata kuliah yang diajarkan dan jumlah mahasiswa pada program studi bidang kependidikan. Analisis data pada penelitian kualitatif pada dasarnya telah dimulai pada saat peneliti memasuki latar penelitian bahkan ketika studi pendahuluan dilakukan, tetapi secara umum dimulai ketika menelaah data yang tersedia. Analisis data penelitian ini menggunakan menggunakan model Spradley (1980), yaitu analisis domain (domain analysis), analisis taksonomi (taxonomy analysis), dan analisis komponensial (componential analysis). Validasi terhadap hasil penelitian perlu dilakukan dalam upaya memperoleh kredibilitas hasil penetitian, antara lain dengan perpanjangan waktu pengamatan, triangulasi, member check, audit trail dan expert opinion.
Hasil Penelitian Temuan terkait sikap mahasiswa terhadap perilaku moral ekonomi dengan kriteria imperatif ada dua, Sikap positif yang sangat diharapkan, yakni (1) sikap berupaya membayar SPP tepat waktu dan (2) sikap menyegerakan membayar hutang. Di sisi lain terdapat sikap yang harus dihindari, yaitu sikap menunda pemenuhan kewajiban. Sikap terhadap perilaku moral dengan kriteria generalisasi terungkap bahwa kecenderungan bersikap positif, yakni (1) sikap berupaya menjadi sukare-lawan korban bencana baik mengumpulkan maupun menyalurkan sumbangan, dan (2) sikap proaktif dalam mengembalikan barang temuan, di samping itu terdapat pula sikap positif yang lain yakni (3) sikap memberikan bantuan terhadap korban bencana. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
243
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Terkait dengan kriteria simetri, terdapat dua sikap yang sangat diharapkan, yakni (1) beraspirasi terhadap kenaikan BBM yang memberatkan masyarakat kecil dan (2) sikap berupaya membantu pemulung dengan mengumpulkan barang bekas dan memberikannya kepada pemulung. Sementara itu terdapat dua sikap negatif, yakni (1) berdiam diri terhadap kenaikan harga BBM yang dapat mem-beratkan kehidupan ekonomi masyarakat kecil, dan (2) sikap membuang barang bekas bernilai ekonomis . Selanjutnya yang terkait dengan kriteria motivasi intrinsik, terungkap tiga sikap positif yang sangat diharapkan, yakni (1) sikap berperan aktif dalam penyelesaian tugas kelompok dengan menghindari sikap mengabaikan norma moral berupa mengganti peran serta dalam penyelesaian tugas kelompok dengan menyerahkan sejumlah uang. (2) sikap menghindari penggunaan fasilitas umum de-mi kepentingan pribadi, serta (3) peranserta dalam kerjasama ekonomi dengan berbelanja di koperasi sebagai konsekuensi keanggotaan. Di sisi lain, terdapat dua sikap negatif yang tidak diharapkan, yakni (1) sikap menggunakan fasilitas umum untuk kepentingan pribadi, serta(2) sikap mengabaikan konsekuensi kerjasama. Secara umum, sikap terhadap perilaku moral ekonomi mahasiswa terlihat pada gambar 1. Sikap mahasiswa terhadap perilaku moral dengan kriteria imperatif terlihat bahwa terdapat dua sikap yang sangat diharapkan, yakni sikap berupaya membayar SPP tepat waktu dan sikap menyegerakan membayar hutang. Di sisi lain terdapat sikap yang harus dihindari, yaitu sikap menunda pemenuhan kewajiban. Temuan tersebut menggambarkan bahwa sikap terhadap moralitas ekonomi yang diharuskan (imperatif) merujuk pada norma-norma subjektif yang melahirkan sanksi, sehingga cenderung melahirkan kondisi perseptual, emosional dan konasi seseorang untuk mentaati atau mematuhi aturan dan norma yang ada. Etzioni (1992) menyatakan “ Sifat imperatif tindakan moral itu tercermin pada orang-orang yang bertindak secara moral, merasa bahwa mereka "harus" berperilaku dengan cara yang ditetapkan” . Sementara masih adanya sikap negatif terhadap perilaku moral imperatif lebih karena sanksi (termasuk sanksi moral) yang akan diterima akibat sikap negatif tidak berdampak signifikan terhadap yang bersang-kutan. Sikap terhadap perilaku moral dengan kriteria generalisasi terungkap bahwa kecenderungan bersikap positif, yakni sikap berupaya menjadi sukarelawan korban bencana baik mengumpulkan maupun menyalurkan sumbangan, dan sikap proaktif dalam mengembalikan barang temuan, di samping itu terdapat pula sikap positif yang lain yakni sikap memberikan bantuan terhadap korban bencana. Sikap positif tersebut muncul sebagai dorongan afeksi yang merasakan empati terhadap korban bencana, selanjutnya melahirkan rasa iba (compassion), sehingga terbentuklah perseptual dan kecenderungan untuk membantu sesama. Terkait dengan kriteria simetri, terdapat dua sikap yang sangat diharapkan, yakni beraspirasi terhadap kenaikan BBM yang memberatkan masyarakat kecil dan sikap berupaya membantu pemulung dengan mengumpulkan barang bekas dan memberikannya kepada pemulung. Sementara itu terdapat dua sikap negatif, yakni berdiam diri terhadap kenaikan harga BBM yang dapat memberatkan kehi-dupan ekonomi masyarakat kecil, dan sikap membuang barang bekas bernilai ekonomis. Sikap positif di atas dilandasi oleh perasaan iba (compassion) yang begitu kuat, mengingat beraspirasi terhadap sesuatu yang meberatkan masyarakat kecil merupakan barang langka, apalagi sikap bersedia untuk mengumpulkan barang bekas yang selanjutnya diberikan kepada pemulung secara cuma-cuma. Sementara itu sikap negatif di atas pada dasarnya bukanlah sikap yang betul-betul tidak diharapkan, membuang sampah yang bernilai ekonomis bagi pemulung, tetapi bagi yang bersangkutan belum tentu, 244
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
belum lagi jika dihadapkan bahwa yang bersangkutan berharap pemulung akan memungutnya sendiri di tempat sampah. Sikap negatif yang lainnya yakni sikap cuek terhadap kenaikan harga BBM yang memberatkan masyarakat kecil adalah wajar adanya jika yang bersangkutan mempercayai bahwa pemerintah mencabut subsidi BBM dengan tujuan yang baik. Selanjutnya yang terkait dengan kriteria motivasi intrinsik, terungkap tiga sikap positif yang sangat diharapkan, yakni sikap berperan aktif dalam penyelesaian tugas kelompok dengan menghindari sikap mengabaikan norma moral berupa mengganti peran serta dalam penyelesaian tugas kelompok dengan menyerahkan sejumlah uang. Sikap positif kedua adalah sikap menghindari penggunaan fasilitas umum demi kepentingan pribadi, serta sikap positif ketiga adala peranserta dalam kerjasama ekonomi dengan berbelanja di koperasi sebagai konsekuensi keanggotaan. Di sisi lain, terdapat dua sikap negatif yang tidak diharapkan, yakni menggunakan fasilitas umum untuk kepentingan pribadi, serta sikap mengabaikan konsekuensi kerjasama yang terungkap dengan rasa kurang memiliki terhadap koperasi di mana yang bersangkutan memiliki status keanggotaan. Motivasi intrinsik (mastery atau effectance motivation ) yang dapat menimbulkan sikap positif merupa-kan motivasi berefek besar, sehingga motivasi intrinsik menjadi modal utama dalam banyak hal termasuk penentuan sikap, minat dan perilaku seseorang. Seja-lan dengan hal tersebut, White (1959, dalam Broussard, 2002) menyatakan bahwa Mastery motivation is defined as a general tendency to interact with and to epress-in fluence over the environment.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
245
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015
Gambar 1. Persfektif Sikap Berperilaku Moral Ekonomi
ISSN 2443-1923
246
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Secara umum peneliti menggambarkan pengungkapan informan terkait internalisasi moralitas ekonomi yang dialami oleh mahasiswa Fakultas Ekonomi Program Kependidikan Universitas Negeri Malang melalui tiga jalur, yakni pendidikan formal, non formal dan informal, serta media informasi sebagaimana gambar berikut:
Gambar 2. Jalur Pendidikan Proses Internalisasi Sikap terhadap Moralitas Ekonomi Pidarta (2007) membagi jalur pendidikan di Indonesia menjadi tiga bagian, yaitu (1) Lembaga pendidikan jalur formal, (2) Lembaga pendidikan jalur nonformal (3) Lembaga pendidikan jalur informal pada keluarga dan masyarakat. Terkait dengan temuan penelitian, bahwa ketiga jalur tersebut secara bersama-sama melakukan proses internalisasi moralitas ekonomi kepada mahasiswa, yang membentuk sikap, membentuk minat dan melahirkan tindakan nyata (overt behavior). Selanjutnya Pidarta (2007) menyebutkan:Perbedaan utama kewajiban ketiga lembaga itu ialah pada orientasi pendidikannya. Kalau lembaga pendidikan jalur formal berorientasi kepada pengembangan manusia Indonesia seutuhnya, maka lembaga pendidikan jalur nonformal dan informal mengutamakan pengembangan afeksi dan psikomotor, yang sudah tentu juga mengembangkan kognisi sebagai unsur penunjang. Jika pendidikan formal terkait dengan moralitas akan berorientasi pada kognisi, afeksi dan psikomotor yang lebih bermakna membentuk rasionalitas, perasaan dan tingkah laku bermoral (mempertibangkan keadaan orang lain), maka jalur pendidikan non formal dan informal lebih berorientasi pada pembentukan afeksi dan psikomotor yang bermakna mengedepankan perasaan dan tingkah laku.
Simpulan Penelitian Berdasarkan paparan data dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa sikap perilaku moral ekonomi mahasiswa memperlihatkan dua sisi, yakni sikap positif dan sikap negatif. Sikap moralitas ekonomi tersebut diawali oleh dari persepsi mahasiswa terhadap suatu kejadian, kemudian secara bersama-sama perasaan sebagai bagian kondisi emosional menentukan kecenderungan seseorang untuk berperilaku moralitas ekonomi atau tidak. Temuan terkait sikap mahasiswa terhadap perilaku moral ekonomi dengan kriteria imperatif, terdapat sikap positif yang berupa sikap berupaya membayar SPP tepat waktu dan menyegerakan membayar hutang, sementara di sisi lain terdapat sikap negatif yaitu sikap menunda pemenuhan kewajiban. Sikap yang terakhir terjadi karena adanya persepsi mahasiswa
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
247
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
bahwa pemenuhan kewajiban terkait dengan membayar hutang kepada teman tidak memiliki dampak yang signifikan, sehingga ada kecenderungan mengabaikan kewajiban tersebut. Sikap berperilaku moral ekonomi dengan kriteria generalisasi terungkap bahwa kecenderungan bersikap positif, dalam hal ini digambarkan sikap terhadap korban bencana, terlihat ada kecenderungan bahwa persepsi dan perasaan mahasiswa membentuk kecenderungan untuk berperilaku memberikan bantuan kepada korban bencana. Terkait dengan kriteria simetri, ada kecenderungan persepsi dan perasaan memberikan kecondongan untuk berperilaku peduli terhadap kenaikan harga BBM yang memberatkan masyarakat kecil dan membantu pemulung dengan mengumpulkan barang bekas bernilai ekonomis, meskipun ada pula persepsi bahwa hal tersebut bukan urusan mahasiswa, sehingga cukup berdiam diri terhadap kenaikan harga BBM, begitu pula halnya sikap membuang barang bekas bernilai ekonomis. Selanjutnya yang terkait dengan kriteria motivasi intrinsik, sikap positif berperan aktif dalam penyelesaian tugas kelompok dengan menghindari sikap mengabaikan norma moral berupa mengganti peran serta dalam penyelesaian tugas kelompok dengan menyerahkan sejumlah uang, lebih pada peran perseptual mahasiswa bahwa perilaku tersebut merupakan tanggungjawab, begitu pula halnya sikap menghindari penggunaan fasilitas umum demi kepentingan pribadi, serta peranserta dalam kerjasama ekonomi dengan berbelanja di koperasi sebagai konsekuensi keanggotaan adalah hasil persepsi positif yang menimbulkan kecenderungan berperilaku moral ekonomi. Di sisi lain, sikap negatif menggunakan fasilitas umum untuk kepentingan pribadi, sikap mengabaikan konsekuensi kerjasama juga lahir sebagai hasil perseptual. Proses internalisasi moralitas ekonomi pada mahasiswa tersebut berdasarkan ungkapan informan, bahwa sekolah, orang tua/keluarga, pengajian/ kerohanian, media informasi dan masyarakat sekitar menjadi jalur internalisasi yang dominan dalam membentuk sikap berperilaku moral ekonomi mahasiswa. Sementara lingkungan kampus, teman sebaya, organisasi dan seminar/pelatihan juga menjadi sarana terinternalisasinya sikap berperilaku moral ekonomi meskipun tidak dominan.
Daftar Pustaka Ajzen, I. 1991. The Theory of Planned Behavior. Journal of Organizational Behavior and Human Decision Processes. 50: 179–211. Azwar, S. 2010. Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Bagozzi, R.P. 1981. Attitudes, intentions, and behavior: A test of some key hypotheses. Journal of Personality and Social Psychology. 41(4): 607–627. Broussard, S.C. 2002. The Relationship Between Classroom Motivation and Academic Achievement In First And Third Graders. B.CJ., Lousiana State University. Etzioni, Amitai. 1992. Dimensi Moral Menuju Ilmu Ekonomi Baru, Terjemahan Tjun Surjaman. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Iskandar, H. 2010. Tumbuhkan Minat Kembangkan Bakat. Jakarta: ST Book Jogiyanto. 2007. Sistem Informasi Keprilakuan. Yogyakarta: Penerbit Andi. Kim, M.S., Hunter, J.E. 1993. Relationships among Attitudes, Behavioral Intentions, and Behavior: A Meta-Analysis of Past Research, Part 2. Communication Research Journal. 20 (3) 331–364. Maxwell. J.C. 2004. Sikap 101, Terjemahan Arvin Saputra. 2004. Batam: Interaksara. Pidarta, M. 2007. Landasan Kependidikan: Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta 248
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Sudarmanto, R.Gn. Konsep Dasar Ekonomi Pancasila, http://blog.unila.ac.id/radengunawans/ files/2010/07/Makalah-Filsafat-Ilmu.pdf, diakses pada 06 November 2010. Swasono, Sri Edi. 2010. Indonesia dan Doktrin Kesejahteraan Sosial: dari Klasikal dan Neoklasikal sampai ke The End of Laissez-Fire. Jakarta: Perkumpulan Pra Karsa. Universitas Negeri Malang. 2010. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah: Skripsi, Tesis, Disertasi, Artikel, Makalah, Tugas Akhir, Laporan Penelitian. Edisi Kelima. Malang: Penerbit Universitas Negeri Malang. Wahyono, Hari. 2001. Pengaruh Perilaku Ekonomi Kepala Keluarga terhadap Intensitas Pendidikan Ekonomi di Lingkungan Keluarga. Disertasi tidak diterbitkan. Malang: PPSUM. Wawan, A., Dewi M.. 2010. Teori dan Pengukuran Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Manusia. Yogyakarta: Nuha Medika.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
249
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Re-Konstruksi Perilaku Melalui Pembelajaran Karakter Ulul Albab Dalam Rangka Mewujudkan SDM Perbankan Syariah Berdaya Saing Global Siswanto 20 Yayuk Sri Rahayu 20 & Nihayatu Aslamatis Sholekah 20 ([emailprotected]) Abstract Research purpose is to conduct a re-construction of attitudes and behavior through a series of learning processes in order to enhance the globally Islamic banking human competitiveness. Paradigmatically, this research used critical paradigm to grasp transformation process. Research strategy used theory of planned behavior which is extended with ulul albab concept as the value of local wisdom. The sites of research are learning process in SIM university of Singapore, University Sains Malaysia, and Islamic department – Economic Faculty of UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. The results showed that behavior can be formed with a systems approach, both the State and institutional system. Furthermore, behavior can be shaped with reward and coercion system. Provide challenges to students as a means of empowering. Giving some penalties as coercion reinforcements, are the ways make them to be more discipline and hard work. Keywords: reconstruction, behavior, learning, global competitiveness Abstrak Tujuan Penelitian ini adalah melakukan re-konstruksi sikap dan perilaku melalui serangkaian proses pembelajaran guna mewujudkan calon sumberdaya manusia perbankan syariah yang kompetitif dan berdaya saing global. Secara paradigmatik penelitian ini menggunakan paradigma kritis untuk memahami proses transformasi perilaku. Strategi penelitian menggunakan teori perilaku yang direncanakan -the theory of planned behavior- yang dipertajam dengan konsep ulul albab sebagai nilai-nilai kearifan lokal pada situs penelitian. Situs penelitian tentang proses pembelajaran di SIM University of Singapura, University Sains Malaysia (USM), dan Prodi Perbankan Syariah UIN Maliki Malang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku dapat dibentuk dengan pendekatan sistem, baik negara maupun institusi, dan pendekatan penguatan perilaku melalui bentuk penghargaan dan paksaan. Bentuk penghargaan dapat berupa proses pembelajaran yang memberdayakan kemampuan para mahasiswa dengan memberikan tantangan (challenge). Sedangkan bentuk penguatan perilaku melalui paksaan berupa punishment guna mendorong perilaku disiplin dan kerja keras. Kata Kunci: rekonstruksi, perilaku, pembelajaran, daya saing global
Pendahuluan SDM perbankan syariah di Indonesia perlu ditingkatkan. Ascarya dan Yusmanita (2008) menunjukkan bahwa kualitas SDM perbankan syariah Malaysia lebih tinggi dibandingkan dengan SDM perbankan syariah di Indonesia. Berbagai upaya dapat dilakukan dalam meningkatkan kualitas SDM perbankan syariah di Indonesia. Siswanto (2011) menunjukkan bahwa pemberdayaan psikologikal karyawan perbankan syariah dapat meningkatkan kualitas sumberdaya manusia perbankan syariah, terutama dalam meningkatkan komitmen organisasional. Siswanto (2014) juga menunjukkan bahwa kualitas SDM perbankan syariah dapat ditingkatkan melalui implementasi praktek manajemen sumberdaya manusia berbasis quran (quran-based human resource management). Disamping itu, Siswanto (2013) dalam sebuah peper pada Forum Riset Ekonomi Dan Keuangan Syariah ke-2 di UIN Jakarta juga 20
Jurusan Perbankan Syariah-Fakultas Ekonomi UIN Maliki Malang
250
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
menunjukkan bahwa kualitas SDM perbankan syariah dapat ditingkatkan melalui implementasi variabel spiritualitas di tempat kerja (workplace spirituality). Beberapa kajian telah dilakukan untuk meningkatkan kualitas SDM perbankan syariah, namun masih sangat minim kajian sistematis yang berkaitan dengan upaya merubah sikap dan perilaku melalui proses pembelajaran di lembaga pendidikan. Upaya ini sebenarnya telah dilakukan oleh Siswanto, dkk (2013) dengan melakukan sebuah studi pelacakan (treasure study) guna mewujudkan SDM perbankan syariah yang unggul melalui gagasan kurikulum. Penelitian tersebut menghasilkan serangkaian profil lulusan pada program studi perbankan syariah berdasarkan ekspektasi para stakeholders, yakni; calon pengguna lulusan (lembaga keuangan syariah), praktisi dan akademisi, mahasiswa dan orang tua wali mahasiswa. Berdasarkan serangkaian profil lulusan yang merefleksikan ekspektasi stakeholders tersebut diajukan serangkaian mata kuliah yang merupakan bagian dari kurikulum. Namun demikian, penelitianpenelitian tersebut masih ada celah yang perlu dilengkapi, terutama berkaitan dengan; (1) belum memasukkan aspek SDM perbankan syariah yang berdaya saing global, (2) belum mencakup keseluruhan ruang lingkup kurikulum sebagaimana yang dimaksud dalam Peraturan Pemerintah No. 32, Tahun 2013, (3) perlu mengembangkan kurikulum yang berbasis pelaksanaan program yang meliputi bentuk pembalajaran yang betul-betul dilaksanakan (actual curriculum), (4) mendudukkan peran strategis kurikulum pendidikan, yakni sebagai pedoman penyelenggaraan pembelajaran dalam rangka mencapai tujuan pendidikan, yakni membangun manusia seutuhnya yang berkarakter (DIKTI, 2008: 5), (5) adanya tuntutan peningkatan daya saing SDM Perbankan Syariah di era global dalam menyongsong Masyarakat Ekonomi Asean (MAE) tahun 2015. Berdasarkan latar belakang dan celah penelitian ini, maka dirasa perlu untuk merekonstruksi perilaku melalui serangkaian proses pembelajaran. Proses tersebut diproyeksikan untuk merubah sikap dan perilaku calon lulusan prodi perbankan syariah guna mewujudkan SDM perbankan syariah atau lembaga keuangan syariah yang berdaya saing global. Penelitian ini memiliki fokus dan tujuan melakukan re-konstruksi sikap dan perilaku melalui serangkaian proses pembelajaran guna mewujudkan calon sumberdaya manusia perbankan syariah yang kompetitif dan berdaya saing global. Situs penelitian adalah program studi perbankan syariah, Fakultas Ekonomi, Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang.
Landasan Teori Theory of Planned Behavior Theory of Planned Behavior adalah teori yang meramalkan pertimbangan perilaku karena perilaku dapat dipertimbangkan dan direncanakan.Peach et. al.(2006) dan Wellington et. al. (2006) menyatakan bahwa Theory of Planned Behavior memiliki keunggulan dibandingkan teori keperilakuan yang lain, karena Theory of Planned Behavior merupakan teori perilaku yang dapat mengidentifikasikan keyakinan seseorang terhadap pengendalian atas sesuatu yang akan terjadi dari hasil perilaku, sehingga membedakan antara perilaku seseorang yang berkehendak dan yang tidak berkehendak. Ajzen (2002) mengemukakan bahwa Theory of Planned Behavior telah muncul sebagai salah satu dari kerangka kerja yang paling berpengaruh dan konsep yang populer pada penelitian di bidang kemanusiaan. Menurut teori ini, perilaku manusia dipandu oleh 3 jenis
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
251
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
pertimbangan: a) Kepercayaan mengenai kemungkinan akibat atau tanggapan lain dari perilaku (kepercayaan perilaku). b) Kepercayaan mengenai harapan normatif dari orang lain dan motivasi untuk menyetujui harapan – harapan yang dimiliki berdasarkan kepercayaan normatif. c) Kepercayaan mengenai kehadiran faktor – faktor yang mungkin lebih jauh melintang dari perilaku (Kepercayaan Pengendalian). Teori perilaku yang direncanakan berasumsi bahwa manusia pada umumnya memiliki suatu kesadaran perilaku, dimana mereka senantiasa menimbang serangkaian informasi yang tersedia dan secara implisit maupun eksplisit mempertimbangkan implikasi dari tindakannya (Ajzen, 2005: 117). Beberapa kata kunci dalam teori perilaku yang direncanakan meliputi; sikap yang mendorong perilaku (attitude toward the behavior), norma subyektif (subjective norm), kontrol perilaku yang diharapkan (perceived behavioral control), niat (intention), dan perilaku (behavior).
The theory of Planned Behavior diperluas Konsep Ulul Ablab. Pembelajaran pada program studi Perbankan Syariah (S1) dilakukan sesuai dengan pengembangan pendidikan di Fakultas Ekonomi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang berdasarkan QS Al Baqarah : 151, artinya: Sebagaimana (kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.
Dan Quran Surat Al Jumu’ah ayat , artinya: Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata
Dimana diharapkan dari implementasi ayat tersebut memiliki lima ciri utama: 1. Selalu sadar akan kehadiran Tuhan disertai dengan kemampuan menggunakan potensi kalbu (dzikir), dan akal (pikir) sehingga sampai pada keyakinan adanya keagungan Allah dalam segala ciptaan-Nya 2. Tidak takut kepada siapapun kecuali kepada Allah, mampu membedakan yang baik dan yang buruk 3. Mementingkan kualitas hidup baik dalam keyakinan, ucapan maupun perbuatan, sabar dan tahan uji. 4. Bersungguh-sungguh dan kritis dalam menggali ilmu pengetahuan 5. Bersedia menyampaikan ilmunya kepada masyarakat dan terpanggil hatinya untuk ikut memecahkan problem yang dihadapi masyarakat. (Pusat Studi Tarbiyah Ulul Albab, 2010 : 115)
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Strategi penelitian menggunakan teori perilaku yang direncanakan -the theory of planned behavior- (Ajzen, 1985) yang dipertajam dengan konsep ulul albab sebagai nilai-nilai kearifan lokal pada situs penelitian. Teori perilaku yang direncanakan berasumsi bahwa manusia pada umumnya memiliki suatu kesadaran perilaku, dimana mereka senantiasa menimbang serangkaian informasi yang tersedia dan secara implisit maupun eksplisit mempertimbangkan implikasi dari tindakannya (Ajzen, 2005: 117). Beberapa kata kunci dalam teori perilaku yang direncanakan meliputi; sikap yang mendorong perilaku (attitude toward the behavior), norma subyektif (subjective norm), kontrol perilaku yang diharapkan (perceived behavioral control), niat (intention), dan perilaku (behavior).
252
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Penelitian ini secara paradigmatik menggunakan paradigma kritis. Paradigma kritis memiliki tujuan untuk melakukan perubahan (to transform) dan untuk membebaskan (to emancipate). Paradigma ini dirasa mampu mencapai tujuan yakni melakukan perubahan sikap dan perilaku melalui proses pembelajaran. Ajzen (2005: 117-118) menjelaskan bahwa berdasarkan teori perilaku yang direncanakan, niat dan perilaku merupakan fungsi dari 3 faktor utama, yakni; pertama, sifat dasar individu, kedua, pengaruh lingkungan sekitarnya, dan ketiga, berkaitan dengan persoalan peraturan. Berdasarkan paradigma dan strategi penelitian, diajukan serangkaian langkah-langkah praktis berupa alur pemikiran penelitian dalam rangka mencapai tujuan penelitian. Sikap dan Perilaku SDM Perbankan Syariah Unggul Persepsi Stakeholders The theory of Planned Behavior diperluas Konsep Ulul Ablab
Actual Curriculum
Pembelajaran Pada Prodi Perbankan Syariah Berwawasan global
Gambar 1. Alur Penelitian Tujuan penelitian adalah melakukan re-konstruksi sikap dan perilaku melalui serangkaian proses pembelajaran yang diselenggarakan program studi. Proses pembelajaran yang berorientasi pada pelaksanaan program kegiatan pembelajaran disebut dengan actual curriculum. Program-program kegiatan pembelajaran tersebut berbasis pada proses yang merujuk pada teori perilaku yang direncakan (theory of planned bahavior) dari Ajzen (1985) yang diperluas dengan konsep kearifan lokal ulul albab. Adapun data yang diperoleh untuk melakukan analisis berdasarkan teori perilaku yang direncanakan berasal dari persepsi stakeholders pengguna lulusan prodi perbankan syariah dan dari proses pembelajaran yang berawawasan global. Proses pembelajaran yang berwawasan global yang dimaksud adalah serangkaian proses kegiatan pembelajaran yang dijalankan prodi perbankan syariah yang memiliki orientasi internasional.
Hasil Penelitian Pembelajaran di School of Management Dalam rangka mewujudkan misi, tujuan dan motto dari SOM (School of Management) untuk memberikan lulusan yang tidak hanya kompeten dalam pengetahuan bisnis dan keterampilan, tetapi juga sangat dipandu oleh keyakinan spiritual mereka dan termotivasi oleh altruisme mereka, SOM telah melakukan banyak hal mulai dari penataan sistem pembelajaran, kurikulum sampai pada penyusunan kegiatan pendukung pembelajaran yang diarahkan untuk pembangunan karakter mahasiswa sesuai dengan yang telah ditetapkan. 1. Sistem Pembelajaran
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
253
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Dalam penataan sistem pembelajarn, SOM menetapkan masa studi mahasiswa adalah minimal empat tahun. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa lulusan benar-benar telah menguasai ilmu sesuai dengan kompetensinya dan karakternya telah terbentuk sebagai lulusan SOM University Sains Malaysia. Beberapa syarat kelulusan yang ditetapkan SOM, antara lain: (a) Memenuhi persyaratan minimum yang diperlukan selama penelitian. (b) Memenuhi persyaratan kredit untuk inti umum, inti utama, pilihan, minor dan universitas kursus. (c) Mendapatkan CGPA dari 2,00 dan di atas untuk komponen inti. (d) Mendapatkan CGPA dari 2,00 dan di atas untuk program tersebut. (e) Mencapai kelas C minimum atau titik kelas 2,00 untuk Program University untuk Bahasa Malaysia, Bahasa Inggris, Islam dan Peradaban dan Hubungan Etnis Asia. Sistem pembelajaran untuk beberapa mata kuliah tertentu dibuat berbeda dengan yang lain. Misalnya, mata kuliah Hubungan Etnis, mahasiswa wajib mempelajari kehidupan dan etika yang berlaku pada etnis yang lain. Seorang mahasiswa dengan etnis Melayu wajib mempelajari kebudayaan etnia lain yaitu India dan China, demikian juga sebaliknya. Karena tiga etnis tersebut adalah etnis terbesar di Malaysia maka setiap kelas harus terdiri dari mahasiswa yang berasal dari ketiga etnis tersebut. Tidak boleh ada satu kelas yang terdiri dari satu etnis saja. Hal ini dilakukan untuk mengurangi rasa perbedaan etnis dan masalah-masalah sosial terkait dengan etnis. Pembelajaran pada mata kuliah Keterampilan, mahasiswa diberikan kebebasan untuk memilih keterampilan yang akan dipelajarinya sesuai dengan minat dan bakat masing-masing. Pembelajaran pada mata kuliah ini dapat dilakukan di dalam internal SOM, Universitas, dan kursus eksternal di luar Universitas. Hal ini dilakukan untuk membekali mahasiswa dengan keterampilan lain di luar ilmunya tapi sesuai dengan bakat dan minatnya masing-masing. Sedangkan pada mata kuliah Bahasa Ketiga, mahasiswa diwajibkan untuk memilih salah satu bahasa lain selain Bahasa Malaysia dan Bahasa Inggris. Sama seperti sistem pembelajaran pada mata kuliah keterampilan, pada sistem pembelajaran Bahasa ketiga mahasiswa juga diberikan kebebasan untuk memilih sesuai dengan minat dan bakat masing-masing. Hal ini dilakukan untuk membekali mahasiswa dengan berbagai kemampuan bahasa asing sehingga mereka mampu berdaya saing global. Kegiatan magang atau internship dilakukan selama 6 bulan bagi mahasiswa semester enam. Mahasiswa diberikan kebebasan untuk memilih tempat magang sesuai dengan kualifikasi masing-masing yang biasanya dilakukan pada perusahaan multinasional yang ada di sekitar kampus dan kota-kota lain. Selain itu, bagi mahasiswa yang tidak mampu mencari tempat magang sendiri maka pihak SOM akan mencarikan melaui koneksi yang ada pihak eksternal dan juga internal SOM atau Universitas. Tugas akhir atau skripsi merupakan pilihan sehingga mahasiswa dapat menyelesaikan kuliah tanpa melalui proses skripsi. Setiap semester dilakukan pertemuan semua mahasiswa untuk dilakukan briefing akademik dan character building. 2. Kurikulum Kurikulum terdiri dari 136 SKS yang dapat diselesaikan dalam jangka waktu minimal empat tahun dan tidak boleh kurang dari empat tahun. Kurikulum terdiri dari mata kuliah wajib universitas sebanyak 21 SKS yang berlaku untuk semua mahasiswa baik untuk mahasiswa Malaysia maupun asing, mata kuliah inti umum yang dipelajari oleh semua konsentrasi, dan mata kuliah konsentrasi. Mata kuliah wajib universitas ini terdiri dari Bahasa Malaysia, Bahasa Inggris, Kebudayaan Islam dan Asia, Hubungan Etnis, Kursus Ko-kurikulum, Kursus 254
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Keterampilan, Kursus Bahasa yang Ketiga. Mata kuliah inti umum terdiri dari 59 SKS 17 mata kuliah. Mata kuliah inti utama terdiri dari 20 SKS dan 16 SKS mata kuliah pilihan sesuai dengan jurusan atau konsentrasi masing-masing. Penyusunan kurikulum dilakukan dengan memperhatikan peraturan pemerintah (presentasi pada kementerian pendidikan), masukan dari stakeholders, dan lain-lain. Sedangkan kegiatan peninjauan kurikulum dilakukan setiap 5 tahun sekali. 3. Kegiatan Pendukung Untuk mendukung proses atau sistem pembelajaran dan kurikulum menuju pencapaian visi, misi, dan tujuan SOM juga melakukan beberapa kegiatan pendukung seperti yang talah dijelaskan di atas, yang terdiri dari: (a) Community Outreach, (b) Industry and Community Advisor Panel (ICAP), (c) Unit Keusahawanan dan Kepimpinan Lestari (UKKL), (c) Internship, dan (d) Entrepreneurship and Innovation Unit (EIU). Hasil penelitian menunjukkan bahwa SOM mempunyai misi, tujuan, dan motto untuk memberikan lulusan yang tidak hanya kompeten dalam pengetahuan bisnis dan keterampilan, tetapi juga sangat dipandu oleh keyakinan spiritual mereka dan termotivasi oleh altruisme mereka. Hal ini menjadi latar belakang SOM untuk melakukan berbagai kegiatan dalam rangka pencapaian misi, tujuan, dan mottonya tersebut. Kegiatan-kegiatan tersebut terdiri dari sistem pembelajaran, kurikulum, dan kegiatan pendukung yang semuanya mengarah kepada pembentukan karakter mahasiswa dan lulusan sesuai dengan kompetensi lulusan yang telah ditetapkan. Pada sistem pembelajaran pihak SOM menentukan jangka waktu kelulusan adalah minimal empat tahun untuk memastikan bahwa lulusan telah memiliki kemampuan dan karakter seperti yang diinginkan. Karakter yang dinginkan adalah lulusan yang tidak hanya kompeten dalam pengetahuan bisnis dan keterampilan, tetapi juga sangat dipandu oleh keyakinan spiritual mereka dan termotivasi oleh altruisme mereka. Setiap awal semester dilakukan briefing akademik kepada seluruh mahasiswa baik mahasiswa baru maupun lama sehingga dapat menyegarkan menguatkan kembali misi, tujuan, dan motto SOM. Mahasiswa selalu di-charge rohaninya dengan mengingatkan bahwa mereka adalah civitas akademika SOM yang harus berkarakter tertentu. Selain itu, mahasiswa dibekali dengan keterampilan sesuai dengan minat dan bakat masing-masing. Mahasiswa diwajibkan untuk memilih mata kuliah keterampilan tertentu untuk menunjang kemampuan mereka dalam bidang akademik. Kemudian terdapat mata kuliah-mata kuliah tertentu yang pelaksanaan metode pembelajarannya berbeda dengan mata kuliah yang lain. Jika proses belajar mengajar pada umumnya dilakukan di kelas dengan sistem tutorial, maka untuk mata kuliah tertentu dilaksanakan secara lebih fleksibel. Dalam proses ini, mahasiswa diberi kesempatan dan kebebasan untuk memilih jenis pembelajaran yang dinginkan yaitu dapat dengan mengikuti kursus yang telah disediakan oleh pihak kampus atau mengikuti kursus yang dilaksakna oleh pihak eksternal kampus. Proses pembelajaran internal maupun eksternal ini, dua-duanya diakui sebagai mata kuliah dan dengan bobot yang sama. Dalam menciptakan daya saing global pada lulusan, SOM tidak hanya menekankan pentingnya penguasaan Bahasa Inggris tetapi juga bahasa ketiga sehingga mereka memasukkan bahasa ketiga sebagai salah satu mata kuliah dengan bobot yang cukup besar. Bahasa ketiga ini dapat di pilih bahasa lain selain Bahasa Malaysia dan Bahasa Inggris. Pihak SOM telah memfasilitasi hal ini dengan menyediakan beragam pilihan bahasa. Hal ini dilakukan karena Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
255
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
penguasaan bahasa asing adalah mutlak bagi para lulusan agar mereka mampu bersaing dengan lebih baik. Pada sisi yang lain, SOM juga berusaha memberikan bekal yang baik kepada mahasiswa tentang toleransi dalam ras, etnis, dan suku bangsa. Hal ini dilakukan dengan membuat kelas terdiri dari beragam etnis dan memasukkan mata kuliah ethnic relations pada kelompok mata kuliah inti umum yang wajib diikuti oleh seluruh mahasiswa. Sistem pembelajaran pada mata kuliah ini dilakukan dengan saling mempelajari kebudayaan dan kehidupan etnis lain. Pelaksanaan magang juga dilakukan cukup lama yaitu selama 6 bulan untuk membekali mahasiswa dengan ilmu praktis secara langsung di tempat kerja. Dengan jangka waktu yang panjang tersebut, mahasiswa akan benar-benar tahu bagaimana kondisi di tempat kerja dan kemampuan apa saja yang menjadi tuntutan dunia kerja. Proses ini akan membuat mereka lebih siap untuk masuk ke dunia kerja pada saat lulus dan mengurangi kecanggungan serta ketidakpercayaan diri mereka. Selain itu, beragai kegiatan pendukung yang dilakukan seperti Community Outreach, Industry and Community Advisor Panel (ICAP), Unit Keusahawanan dan Kepimpinan Lestari (UKKL), Internship, dan Entrepreneurship and Innovation Unit (EIU) mampu untuk mendukung pembentukan karakter mahasiswa. Misalnya pada kegiatan UKKL berfungsi sebagai katalis dalam mempromosikan dan mengembangkan peran kepemimpinan yang berkelanjutan di bidang pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat yang mencakup berbagai disiplin ilmu dan organisasi yang akan disampaikan melalui program pengembangan profesional. UKKL juga akan berfungsi sebagai inkubator untuk mengumpulkan ide-ide dan praktek-praktek yang akan disebarkan melalui berbagai program yang diselenggarakan oleh UKKL inovatif. Sedangkan pada kegiatan EIU, menanamkan pola pikir kewirausahaan yang menggabungkan kreativitas, inovasi dan kemampuan analitis kalangan mahasiswa sambil membantu USM dalam merampingkan pengembangan produk baru yang layak secara komersial. EIU mempromosikan kegiatan lintas disiplin dengan menyatukan ide-ide dan inovasi untuk menciptakan peluang dan pertumbuhan baru bagi siswa dan masyarakat. Beragam usaha dan program tersebut di atas yang dilakukan pada dasarnya untuk mencapai misi, tujuan, dan motto SOM. Demikian juga dengan Prodi Perbankan Syariah (S1) Fakultas Ekonomi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang pada dasarnya telah melakukan banyak cara dan program untuk mencapai visi, misis, dan tujuannya. Namun demikian, Prodi Perbankan Syariah (S1) dapat mereplikasi beragam kegiatan yang telah dilakukan di SOM tetapi belum dilakukan di prodi ini. Misalnya untuk kegiatan magang yang terstruktur (PKL), ada baiknya Prodi Perbankan Syariah (S1) meniru pelaksanaan magang di SOM yaitu dengan memperpanjang jangka waktu magang. Saat ini direncanakan bahwa kegiatan magang dilakukan selama 40 hari, mengingat bahwa Prodi Perbankan Syariah (S1) merupakan prodi yang special di mana lulusannya harus mempunyai keterampilan praktek perbankan selain keilmuan perbankan maka tidak ada salahnya jika kegiatan magang (PKL) dilakukan dengan jangka waktu yang lebih lama. Hal ini untuk memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk mempelajari atau mempraktekkan ilmunya secara langsung sehingga mereka menjadi lebih siap untuk bersaing di dunia kerja. Penguasaan bahasa juga harus menjadi perhatian khusus. Prodi Perbankan Syariah (S1) telah melakukan program intensif Bahasa Inggris dan Bahasa Arab sesuai dengan kebijakan universitas. Namun demikian tetap perlu adanya penekanan akan kemampuan berbahasa asing
256
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
karena ini merupakan bekal utama agar mahasiswa dan lulusan mampu berdaya saing global atau menambahkan kemampuan bahasa asing lain selain Bahasa Inggris dan Bahasa Arab. Pembentukan karakter yang dilakukan oleh pihak Prodi Perbankan Syariah (S1) juga sudah cukup baik, di mana mahasiswa baru diwajibkan untuk mengikuti program ma’had selama dua semester dan mendapatkan pola pendidikan ala pesantren. Sehingga mahasiswa tidak hanya mahir secara keilmuan tetapi juga mempunyai kepribadian yang ulul albab.
Krisis Membawa Perubahan Perilaku Singapura merupakan negara kota, karena wilayahnya kecil, dikelilingi oleh negara-negara yang besar seperti Indonesia dan Malaysia. Oleh karena itu, mereka merasa terancam. Berkenaan dengan ini, para siswa di sekolah dididik untuk mampu bersainga, istimewa dan meraka tidak boleh gagal. Singapura menyadari tidak memiliki sumberdaya alam yang melimpah. Sumberdayanya adalah manusia. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh atase pendidikan Indonesia di Singapura, Bapak Dr. Ismunandar, sebagaimana berikut; Jadi psikologis mereka, orang Singpura, merasa terancam. Meraka sadar, negaranya kecil, tidak punya sumberdaya alam. Jadi mereka seringkali merendah, tapi kesannya sombong juga. Mereka mengatakan, “kami ini tidak punya sumberdaya alam apa-apa. Sumberdaya alamnya ya manusia-manusianya.” Tingkat stress di tingkat pendidikan juga nampak. Mereka sudah dikelompokkan berdasarkan kemampuan dan keahliannya. Mereka yang nilainya bagus dapat melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi. Sedangkan, mereka yang nilai minim diarahkan ke jenjang kejuruan. Jenjang sekolah meliputi, setingkat SD selama 6 tahun, setingkat SMP selama 4 tahun. Setelah tingkat SMP, bagi yang nilainya bagus dapat langsung melanjutkan ke politeknik atau ke jenjang SMA untuk melanjutkan perguruan tinggi. Bagi mereka yang nilainya kurang masuk ke tingkat SMK. Namun untuk praktek, pemerintah menyediakan sarana praktek yang sangat memadai. Bahkan untuk jurusan mesin, pemerintah menyediakan praktek mengotak-atik pesawat terbang. Menurut Mr. Goh (Chairman Temasek Foundation) menyatakan bahwa Singapura adalah negara kota yang tidak punya sumberdaya alam apa-apa, tapi justru dengan ketiadaan SDA di Singapura itu membuat kami merasa selalu dalam kondisi krisis, risau, dan karena itu menimbulkan sikap waspada dan selalu siaga masa depan (Huda, 2012: 194).
Negara Denda Menuju Keteraturan Singapura dikenal dengan negara denda. Memang kalau kita cermati, kehidupan dan perilaku masyarakat Singapura terkesan teratur dan tertata sangat rapi. Mulai masuk bandara internasionalnya, Changi, nampak bersih dan teratur. Sangat sulit menemui sampah berserakan. Walaupun tidak nampak petugas bandara yang nampak bersih-bersih, namun kebersihan terjaga dengan baik. Keluar dari bandara, nampak jalan raya yang asri ditumbuhi pohon-pohon terawat di sepanjang jalan tol. Berdasarkan penjelasan salah seorang guide yang memandu rombongan riset jurusan ini, jumlah pohon di Singapura lebih banyak daripada jumlah penduduk Singapura sendiri. Diperkirakan setiap orang Singapura memiliki 6 pohon. Hal inilah yang menjadikan udara di Kota Singapura berkisar kurang lebih 330c. Pohon-pohon tersebut terawat dengan rapi, dan bahkan setiap pohon dilengkapi dengan chip yang diprogram dalam rangka perawatan. Kapan saatnya disiram, dan waktunya dipupuk. Perawatan tersebut demikian tertata. Dan tidak ada
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
257
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
satu orangpun yang berani merusak tanaman di pinggir jalan, karena takut terkena denda. Harga dendanya per daun yang diambil atau dirusak.
Simpulan Penelitian memiliki fokus tentang bagaimana rekonstruksi perilaku melalui proses pembelajaran guna mewujudkan sumber daya insani yang kompetitif. Hasil penelitian berdasarkan pelacakan pada perguruan tinggi di luar negeri (SIM di Singapura dan USM di Penang-Malaysia) menunjukkan bahwa perilaku dapat dibentuk dengan pendekatan sistem, baik Negara maupun institusi, dan pendekatan penguatan perilaku melalui bentuk penghargaan dan paksaan. Bentuk penghargaan dapat berupa proses pembelajaran yang memberdayakan kemampuan para mahasiswa dengan memberikan tantangan (chalange). Sedangkan bentuk penguatan perilaku melalui paksaan berupa denda maupun hukuman guna mendorong perilaku disiplin dan kerja keras. Sistem pemerintah sangat berperan penting dalam proses pembentukan perilaku dan budaya pada tingkat yang lebih mikro.
Saran Penelitian bersifat eksplorasi bagaimana proses pembentukan perilaku di Negara lain guna menyiapkan sumberdaya manusia yang kompetitif dalam persaingan global. Penelitian ini perlu diperluas penerapannya berdasarkan budaya atau culture pendidikan di Indonesia yang memiliki sistem dan pendekatan yang berbeda. Disamping itu, memasukkan kearifan lokal pendidikan di UIN Maliki Malang berdasarkan konsep ulul albab menjadi tantangan tersendiri. Oleh karena itu, untuk penelitian selanjutnya diharapkan mengembangkan hasil temuan ini pada tataran action research berupa pengembangan pembelajaran guna menyongsong era global, terutama dalam menghadapi masyarakat ekonomi ASEAN pada masa mendatang.
Daftar Pustaka Ajzen, I (2005). Attitude, Personality, and Behavior (second editon). England: Open University Press Alamsyah, H (2012). Perkembangan dan Prospek Perbankan Syariah Indonesia: Tantangan Dalam Menyongsong MEA 2015. Milad ke-8 IAEI, 13 April 2012. Ascarya dan Yusmanita D (2008). Comparing The Efficiency Islamic Banks in Malaysia and Indonesia. Buletin Ekonomi & Moneter Bank Indonesia, Vol. 11 No. 2. 2008 Cooper R.K, Sawaf A, (2002). Executive EQ: Kecerdasan Emosional dalam Kepemimpinan dan Organisasi. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. DIKTI (2008). Buku Panduan Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi Pendidikan Tinggi. Jakarta: Sub Direktorat KPS. Gibson, Ivancevich dan Donnelly. (1996). Organisasi. Jakarta: Binarupa Aksara Goleman D. (2003). Emotional Intelligence. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama Huda, M. (2012). Dari Langit Turun ke Bumi: Best Practice for Spiritual Leadership. Surabaya: Pena Semesta Kelompok Penerbit JP Books Kelemen, K and Rumens, N (2008). An Introduction to Critical Management Research. LA: Sage Publication McShane S.L and Von Glinow M.A (2003). Organizational Behavior: Emerging Realities for the Workplace Revolution (second edition). America: McGraw-Hill Robbins, Stephen P. Judge, Timothy A. (2008). Perilaku Organisasi Jilid I. Jakarta: Penerbit Salemba Empat Robbins, Stephen P. (2003). Perilaku Organisasi. Jakarta: PT. Indeks
258
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Robbins, Stephen P. (2006). Perilaku Organisasi Edisi Kesepuluh. Jakarta: PT. Indeks Kelompok Gramedia Robbins, Stephen P. (1994). Teori Organisasi: Struktur, Desain & Aplikasi. Jakarta: Arcan Siswanto (2011). Creating the Superior Islamic Banking trough Improving Quality of Human Resources, Pak.J.Commer.Soc.Sci., Vol. 5 (2), 2011, pp. 216-232. Siswanto (2013). Pengembangan Kualitas SDM Perbankan Syariah Integratif Melalui Implementasi Workplace Spirituality, Finalis Forum Riset Ekonomi dan Keuangan Syariah ke-2, 13-14 November 2013. Siswanto, Yayuk Sri Rahayu, Anas Budiharjo, Nihayatu Aslamatis Sholekah, Ahmad Sidi Pratomo, Eko Fajar Cahyono, Esy Nur Aisyah, Putri Kurnia Widiati (2013). Mewujudkan SDM Perbankan Syariah Yang Unggul Melalui Gagasan Kurikulum Berbasis Karakter Ulul Albab, Riset Kompetitif Fakultas Belum dipublikasikan, Malang 2013. Siswanto (2014). Improving Competitiveness of Islamic Banking Human Resources through Implementation of Quran-Based HRM Practices, European Journal of Business and Social Sciences, Vol 3, No. 3, June 2014, pp. 1-13 Winardi. (2003). Teori Organisasi dan Pengorganisasian. Jakarta: RajaGrafindo Persada Wursanto, Ig. (2003). Dasar-Dasar Ilmu Organisasi. Yogyakarta: Penerbit Andi Offset
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
259
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Manajemen Sarana Prasarana Dalam Meningkatkan Proses Pembelajaran Di STKIP PGRI Pasuruan Suchaina 21 ([emailprotected]) Abstract This research was conducted with the aim to describe the management of infrastructure to improve the learning process in STKIP PGRI Pasuruan. This study used a qualitative descriptive research design case study. The research data on the management of infrastructure were in the form of descriptive to improve the learning process. Data collected by interview, documentation and observation. Instruments used to collect data were in the form of human resource, which was the researcher herself. In order to maintain the validity of the data, it was needed to do performed data triangulation activity. The data analysis activities ranging from stage data reduction, data display, drawing conclusions, and verification of data. Based on the results of the data analysis, four conclusions obtained the following results; First, the state of completeness existing infrastructure in STKIP PGRI Pasuruan in improving the learning process is in good condition, adequate, and has been in a state of high school standards although still much damage and continue to be pursued reform. Second, the problem of management of existing infrastructure in Pasuruan PGRI STKIP concerns in several processes, namely procurement, inventory, use, maintenance, and removal. Third, the problems of infrastructure management efforts undertaken by STKIP PGRI Pasuruan in improving the learning process, namely: (1) compliance standards, (2) review and compliance infrastructure completeness. Fourth, the problem of enabling and inhibiting factors management infrastructure to improve the learning process in STKIP PGRI Pasuruan, namely supporting factors: (1) there is a reliable administrative personnel, (2) the administration team work and good funding, inhibiting factors: (1) lack of administration experts, (2) the user infrastructure that does not fit the technical specifications, (3) the fulfillment of standards towards the University, (4) the layout of the establishment of the building. Keywords: Infrastructure management, learning process Abstrak Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mendeskripsikan tentang manajemen sarana prasarana dalam meningkatkan proses pembelajaran di STKIP PGRI Pasuruan. Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian deskriptif kualitatif jenis studi kasus. Data penelitian berupa paparan tentang manajemen sarana prasarana dalam meningkatkan proses pembelajaran. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik interview, dokumentasi, dan observasi. Instrument yang digunakan berupa manusia, yaitu peneliti itu sendiri. Untuk menjaga keabsahan data, dilakukan kegiatan trianggulasi data. Kegiatan analisis data di mulai dari tahap reduksi data, display data, penarikan kesimpulan, dan verifikasi data. Berdasarkan hasil analisis data tersebut, diperoleh empat kesimpulan hasil penelitian sebagai berikut; Pertama, keadaan kelengkapan sarana prasarana yang ada di STKIP PGRI Pasuruan dalam meningkatkan proses pembelajaran dalam keadaan baik, memadai, dan sudah dalam keadaan standart sekolah tinggi meskipun masih banyak terjadi kerusakan dan terus diupayakan pembenahan. Kedua, masalah manajemen sarana prasarana yang ada di STKIP PGRI Pasuruan menyangkut dalam beberapa proses, yakni pengadaan, inventarisasi, penggunaan, pemeliharaan, dan penghapusan. Ketiga, masalah upaya manajemen sarana prasarana yang dilakukan STKIP PGRI Pasuruan dalam meningkatkan proses pembelajaran, yakni: (1) pemenuhan standart, (2) peninjauan ulang dan pemenuhan kelengkapan sarana prasarana. Keempat, masalah faktor pendukung dan penghambat manajemen sarana prasarana dalam meningkatkan proses pembelajaran di STKIP PGRI Pasuruan, yakni faktor pendukung: (1) terdapat tenaga administrasi yang handal, (2) kerjasama tim administrasi dan pendanaan yang baik, faktor penghambat: (1) kurangnya tenaga ahli administrasi, (2) pemakai sarana prasarana yang tidak sesuai spesifikasi teknis, (3) pemenuhan standart menuju Universitas, (4) tata letak pendirian gedung. Kata Kunci: manajemen sarana prasarana, proses pembelajaran 2118
Dosen STKIP PGRI Pasuruan
260
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Pendahuluan Pada era globalisasi seperti sekarang, kita dituntut kesiapan yang lebih matang dalam segala hal. Bidang pendidikan merupakan salah satu andalan untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang dibutuhkan dalam menghadapi tantangan zaman. Persiapan sumber daya manusia dalam bidang pendidikan dilakukan sejak dari masa pendidikan dasar, menengah, dan tinggi. Lembaga pendidikan pun juga ikut berbenah diri secara terus-menerus dalam mencapai tujuan pendidikan tersebut dengan meningkatkan mutu pendidikan menjadi lebih baik. Supaya peningkatan mutu pendidikan bisa tercapai, maka dalam kegiatan tersebut perlu di tunjang oleh layanan manajemen/pengelolaan yang terencana. Pembelajaran akan berhasil bila didukung adanya pendayagunaan semua sarana dan prasarana pendidikan yang ada secara efektif dan efisien. Sarana dan prasarana yang ada perlu didayagunakan dan dikelola demi kepentingan proses pembelajaran. Pengelolaan itu dimaksudkan agar dalam menggunakan sarana dan prasarana bisa berjalan dengan efektif dan efisien. Pengelolaan sarana dan prasarana merupakan kegiatan yang amat penting, karena keberadaannya akan sangat mendukung terhadap suksesnya proses pembelajaran Dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang sisdiknas pasal 45 ayat 1 disebutkan bahwa: "Setiap satuan pendidikan formal dan nonformal menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan peserta didik". Satu sisi harapan yang dibebankan pada dunia pendidikan sangat banyak, tetapi di sisi lain dunia pendidikan mempunyai banyak masalah yang menghambat dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar di sekolah. (Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tenatng Sisdiknas Pasal 45 Ayat 1). Salah satu masalah yang dihadapi oleh Perguruan Tinggi Swasta adalah masalah sarana pendidikan. Sarana belajar yang lengkap akan menunjang konsentrasi belajar mahasiswa. Seseorang yang belajar dibutuhkan konsentrasi, perhatian, dan pemusatan terhadap suatu hal dengan mengesampingkan semua hal lainnya yang tidak berhubungan. Konsentrasi ini tidak akan berjalan dengan baik apabila tempat atau alat yang digunakan tidak memadai. Masalah sarana pendidikan yang sering dihadapi setiap Perguruan Tinggi Swasta antara lain, sarana penunjang yang kurang memadai dan pengelolaan sarana prasarana kurang optimal. Dalam pengelolaannya, pemeliharaan, atau perawatan yang sering menjadi kendala utama. Mengingat belum ada tenaga profesional yang khusus menangani manajemen sarana prasarana. STKIP PGRI Pasuruan merupakan salah satu Perguruan Tinggi swasta yang menjalankan peranannya di dalam dunia pendidikan yang memiliki visi dan misi yakni: “Perguruan tinggi unggulan dalam bidang kependidikan”. Sedang salah satu misinya adalah: “Menyelenggarakan pendidikan tinggi dengan mengedepankan aspek relevansi, daya saing, serta perluasan akses bagi masyarakat”. Untuk mencapai visi dan misinya, STKIP tentu memilki sejumlah aset dalam bentuk sarana dan prasarana dalam menunjang proses perkuliahan agar berjalan efektif dan efisien. Oleh karena itu, STKIP perlu mengelola sarana dan prasarana yang dimilikinya. Sarana prasarana penunjang yang ada di STKIP sudah cukup baik, akan tetapi masih banyak kekurangan, misalnya pada saat penelitian ini dilakukan tempat parkir yang tersedia tidak teratur, media pembelajaran berupa proyektor dengan jumlah yang terbatas, tidak terdapat kantin, tidak banyak terdapat penghijauan kampus, tidak ada lapangan olah raga, cat tembok hampir memudar, dan perpustakaan yang tidak tertata rapi Akan tetapi, demi menuju Universitas STKIP melakukan banyak perubahan dalam Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
261
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
pengelolaan sarana dan prasarana. Perguruan Tinggi Swasta ini mencanangkan menuju Universitas, sehingga Perguruan Tinggi ini sedang merencanakan beberapa program pengembangan dan peningkatan sarana dan prasarana menuju Universitas mulai dari pengadaan sarana dan prasarana, perbaikan sarana dan prasarana, dan pembenahan manajemen sarana dan prasarana. Upaya tersebut dilakukan untuk lebih meningkatkan mutu Perguruan Tinggi. Dalam hal fasilitas STKIP PGRI Pasuruan melakukan banyak pembenahan, diantaranya pada saat penelitian ini dilakukan terdapat penyediaan media pembelajaran LCD, pengecatan gedung, penataan tempat parkir terpusat, pengadaan food corner dan business center, kampus hijau, serta penataan perpustakaan dengan buku-buku yang cukup lengkap. Akan tetapi, sarana prasarana juga ada yang belum memadai. Ada beberapa sarana prasarana yang sudah memenuhi standarisasi sarana prasarana akan tetapi belum merata serta belum maksimal dalam pengelolaannya. Misalnya pada saat penelitian ini dilakukan terdapat ruang perkuliahan dan laboratorium bahasa yang belum terpenuhi kelengkapannya. Karena itu penulis berkeinginan untuk melakukan penelitian di STKIP PGRI PASURUAN. Rumusan/fokus penelitian ini adalah; 1) Keadaan kelengkapan sarana dan prasarana dalam meningkatkan proses pembelajaran di STKIP PGRI Pasuruan. 2) Manajemen sarana prasarana di STKIP PGRI Pasuruan. 3) Upaya manajemen sarana dan prasarana yang dilakukan STKIP PGRI Pasuruan dalam meningkatkan proses pembelajaran. 4) faktor pendukung dan penghambat manajemen sarana prasarana dalam meningkatkan proses pembelajaran di STKIP PGRI Pasuruan.
Kajian Pustaka Manajemen sarana dan prasarana Pengertian manajemen sarana prasarana pendidikan Manajemen sarana dan prasarana dapat didefinisikan sebagai seluruh proses kegiatan yang direncanakan dan diusahakan secara sengaja dan bersungguh-sungguh serta pembinaan secara kontinu terhadap benda-benda pendidikan, agar senantiasa siap pakai dalam proses belajar mengajar. Manajemen ini dilaksanakan demi tujuan pendidikan yang tealah ditetapkan dapat tercapai secara efektif dan efisien (Mulyono, 2009:184)
Proses manajemen sarana prasarana pendidikan Manajemen sarana dan prasarana pendidikan meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasaan, dan evaluasi kegiatan pengadaan barang, pembagian dan penggunaan barang (inventaris), perbaikan barang, dan tukar tambah maupun penghapusan barang. (Mulyono, 2010: 157) Proses yang dilakukan dalam manajemen sarana dan prasarana pendidikan memiliki beberapa tahap, yaitu sebagai berikut, 1)Perencanaan sarana dan prasarana pendidikan, 2) Pengadaan Sarana dan Prasarana, 3) Pemeliharaan dan Penyimpanan Sarana dan Prasarana, 4) Penggunaan Sarana dan Prasarana, 5) Penghapusan Sarana dan Prasarana.
Ruang lingkup manajemen sarana prasarana pendidikan Ruang lingkup sarana prasarana mencakup fasilitas-fasilitas yang disediakan untuk para civitas akademika. Fasilitas-fasilitas tersebut juga didasarkan pada standar minimum seperti ruang belajar, ruang laboratorium, lapangan olahraga serta pengadaan teknologi yang menunjang pembelajaran siswa. Standar-standar tersebut telah dimuat dalam PP No. 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
262
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Tinjauan Tentang Proses Pembelajaran Pengertian proses pembelajaran Secara umum, proses dapat diartikan sebagai rentetan perubahan yang terjadi dalam perkembangan sesuatu. Proses bisa juga berarti cara terjadinya perubahan dalam diri siswa atau respon yang ditimbulkan (Muhibbinsyah, 2010:47). Menurut Sadiman (1986), pembelajaran (instruction) adalah suatu usaha untuk membuat peserta didik belajar atau suatu kegiatan untuk membelajarkan peserta didik. Dengan kata lain, pembelajaran merupakan upaya menciptakan kondisi agar terjadi kegiatan belajar. Dengan pengertian lain, pembelajaran adalah usaha-usaha yang terencana dalam memanipulasi sumber-sumber belajar agar terjadi proses belajar dalam diri peserta didik. Proses belajar mengajar/pembelajaran pada hakikatnya adalah proses komunikasi yaitu proses penyampaian pesan dari sumber pesan melalui saluran/media tertentu ke penerima pesan (Arief S, 2009).
Kerangka Konsep Penelitian Kerangka konsep penelitian ini adalah kajian tentang pengelolaan manajemen sarana prasarana dalam meningkatkan proses pembelajaran di STKIP PGRI Pasuruan. Kerangka konsep penelitian menggambarkan paradigma hubungan manajemen sarana prasarana di STKIP PGRI Pasuruan dan proses pembelajaran. Maka dari itu peneliti akan mencari informasi tentang pengaruh (1) keadaan kelengkapan manajemen sarana prasarana dalam meningkatkan proses pembelajaran di STKIP PGRI Pasuruan, (2) manajemen sarana prasarana di STKIP PGRI Pasuruan yang terdiri dari pengadaan, inventarisasi, penggunaan, pemeliharaan, dan penghapusan, (2) upaya manajemen sarana prasarana yang dilakukan STKIP PGRI Pasuruan dalam meningkatkan proses pembelajaran, (4) faktor pendorong dan penghambat manajemen sarana prasarana dalam meningkatkan proses pembelajaran di STKIP PGRI Pasuruan terhadap manajemen sarana prasarana dalam meningkatkan proses pembelajaran di STKIP PGRI Pasuruan. Untuk lebih jelasnya, kerangka konsep penelitian ini dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
Metode Penelitian Metode penelitian ini adalah deskriptif kualitatif studi kasus yang bertujuan untuk menggambarkan, meringkaskan berbagai macam kondisi, berbagai situasi atau berbagai fenomena realitas sosial yang ada di masyarakat yang menjadi objek penelitian, dan berupaya Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
263
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
menarik realitas itu kepermukaan sebagai suatu ciri, karakter, sifat, model, tanda, atau gambaran tentang kondisi, situasi, ataupun fenomena tertentu.
Kehadiran Peneliti Peneliti dalam melakukan penelitian bertindak sebagai instrument dan pengumpul data. Peneliti berpartisipasi penuh dengan melakukan penelitian langsung ke lapangan. Hal ini dilakukan agar peneliti mendapatkan data yang valid dan orisinil. Adapun kehadiran peneliti diketahui statusnya sebagai peneliti oleh subjek atau informan.
Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan di STKIP PGRI Pasuruan yang terletak di Jl. Ki Hajar Dewantara No. 27-29 Kelurahan Tembokrejo Kecamatan Purworejo Kota Pasuruan.
Sumber Data Data yaitu kata-kata atau tindakan dan selebihnya itu adalah suatu tambahan seperti dokumen dan lain-lain. (Lexy J. Moleong. 2005:157). Sumber data penelitian yang diambil adalah: 1) Sumber Data Literatur. Yaitu sumber data yang diperoleh peneliti dari buku karangan para ahli yang sesuai dengan masalah yang diteliti, termasuk dalam hal ini karya ilmiah, makalah serta terbitan-terbitan yang berkaitan dengan Manejemen Sarana Prasarana. Termasuk dalam hal ini adalah dokumen-dokumen tentang keadaan lembaga pendidikan dan catatan lain yang mendukung dalam manejemen. 2) Sumber Data Lapangan. Yaitu sumber data yang diproses dari lapangan penelitian, yaitu sumber data manusia, yang terdiri dari Ketua, Pembantu Ketua 1,2, dan 3, kepala BAAK, kepala BAU, satpam, penjual di food corner, pustakawan, laboran, dosen dan mahasiswa STKIP PGRI Pasuruan. Subjek penelitian adalah sumber utama penelitian yang memiliki data penelitian. Dalam penelitian kualitatif, teknik sampling yang sering digunakan adalah purposive sampling dan snowball sampling. Adapun subjek penelitian yang akan penulis ambil sebagai sampel adalah orang yang mengetahui, memahami, dan mengalami permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini. Subjek yang dimaksud adalah: 1) Dr. Hj. Dies Nurhayati, M.Pd selaku ketua STKIP PGRI Pasuruan 2) Drs. Supriyo, M.Pd selaku pembantu ketua 2 bidang administrasi umum dan keuangan STKIP PGRI Pasuruan 3) Dra. Irfah Rasyida, MM selaku pustakawan, Diah Anita, M.Pd selaku laboran, Sugianti, S.Pd selaku kepala BAU STKIP PGRI Pasuruan 4) Drs. Nurus Sobakh, SE,MM selaku dosen ekonomi, M. Yudi H R, SS, M.Pd selaku dosen bahasa inggris, M. Zaini, M.Pd selaku dosen bahasa indonesia di STKIP PGRI Pasuruan 5) Adi selaku kepala keamanan STKIP PGRI Pasuruan 6) Narko selaku penjual di food corner STKIP PGRI Pasuruan 7) Mirna fidatusyaida (prodi matematika), Septian Indra Pratama (prodi bahasa dan sastra Indonesia), Agus Wijayanto (prodi ekonomi), Hirin Muzaki (prodi bahasa inggris), Vina (prodi PKN) sebagai mahasiswa STKIP PGRI Pasuruan
Prosedur Pengumpulan data Untuk mendapatkan data-data yang akurat dalam penelitian maka dalam hal ini digunakan beberapa teknik pengumpulan data sebagai berikut:
In-depth interview (Wawancara mendalam). Wawancara mendalam dilakukan secara berkali-kali dan membutuhkan waktu yang lama bersama informan di lokasi penelitian (bungin, 2012; 111). Informan dalam penelitian ini adalah
264
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
beberapa anggota personil STKIP PGRI Pasuruan sebagaimana sudah tertera di subjek penelitian. Wawancara yang dilakukan untuk mendapatkan data tentang pengelolaan sarana dan prasarana, upaya manajemen sarana dan prasarana, dan factor pendukung dan penghambat manajemen sarana dan prasarana dalam peningkatan proses pembelajaran.
Metode observasi Metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan pengindraan (Bungin, 2012; 118) Penulis melakukan observasi ini untuk mendapatkan data tentang keadaan kelengkapan sarana dan prasarana dalam meningkatkan proses pembelajaran di STKIP PGRI.
Metode Dokumentasi. Metode yang digunakan untuk menelusuri data historis (Bungin, 2012; 124), dimana penulis menggunakan metode ini untuk mendapatkan sumber data yang berkaitan dengan penelitian, profil perguruan tinggi, struktur organisasi, visi dan misi, keadaan dosen, mahasiswa, karyawan, sarana prasarana dalam meningkatkan proses pembelajaran serta dokumen lain yang berkaitan dengan permasalahan penelitian.
Analisis Data. Menurut Robert C. Bogdan (2007) Analisis data kulitatif adalah proses secara sistematis mencari dan mengola berbagai data yang bersumber dari wawancara, pengamatan lapangan, dan kajian dokumen (pustaka) untuk menghasilkan suatu laporan temuan penelitian.
Pengecekan Keabsahan Temuan Menurut Moleong (dalam Bungin, 2012;262) pengujian keabsahan temuan meliputi: 1) Perpanjangan keikutsertaan, 2) Ketekunan pengamatan, 3) Triangulasi, 4) Pengecekan sejawat, 5) Kecukupan referensional, 6) Kajian kasus negatif, 7) Pengecekan anggota. Peneliti melakukan pengecekan data dengan sumber yang sama tetapi dengan metode yang berbeda. Dari hasil wawancara, penulis cocokan dengan observasi dan dokumentasi. Hasil yang didapat yaitu kecocokan data yang disampaikan dengan apa yang peneliti lihat dan dapatkan berupa dokumentasi.
Tahap-tahap penelitian a. b.
c. d.
Proses pelaksanaan penelitian melaui tahapan-tahapan sebagai berikut: Penelitian pendahuluan, dengan menentukan masalah penelitian. Pengembangan desain, dengan pengumpulan data dengan istrumen yang telah dipersiapkan sebelumnya. Pada tahap ini peneliti mulai terjun ke lapangan untuk menggali informasi tentang sarana prasarana serta proses pembelajaran di STKIP PGRI Pasuruan dengan menggunakan metode yang telah ditetapkan. Penelitian sebenarnya, dengan analisis dan penyajian data yaitu menganalisa data dan akhirnya ditarik suatu kesimpulan Tahap pelaporan, peneliti membuat laporan.
Hasil Penelitian Keadaan kelengkapan sarana dan prasarana dalam meningkatkan proses pembelajaran di STKIP PGRI Pasuruan Sarana prasarana merupakan hal yang penting dalam dunia pendidikan. Keberadaannya selalu ditinjau kelengkapannya untuk meningkatkan mutu suatu lembaga pendidikan. STKIP PGRI Pasuruan termasuk salah satu Sekolah Tinggi yang menuju Universitas yang sudah
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
265
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
memenuhi kelengkapan sarana prasarana dan terus melakukan pembenahan dalam meningkatkan proses pembelajaran.
Manajemen Sarana Prasarana Di STKIP PGRI Pasuruan a. Pengadaan dan Inventarisasi STKIP PGRI Pasuruan merupakan Perguruan Tinggi Swasta yang sedang menuju Universitas, dalam hal ini STKIP PGRI Pasuruan sedang melaksanakan program peningkatan mutu STKIP PGRI Pasuruan ke arah Universitas melalui pelaksanaan manajemen sarana prasarana yang baik yakni proses pengadaan, penggunaan, pemeliharaan, inventarisasi, dan pengahapusan sarana prasarana oleh pihak BAU (Bidang Administrasi Umum) dan Pembantu Ketua II. b. Penggunaan Selain perencanaan dan pengadaan sarana prasarana, ada juga proses penggunaan, pemeliharaan, inventarisasi, dan penghapusan. Dalam penggunaan sarana prasarana dalam proses pembelajaran sangat bervariatif, semua sarana prasarana dapat dijadikan sebagai alat atau media pembelajaran tergantung dari strategi atau metode yang digunakan oleh dosen dalam mengajar, selain itu faktor materi ajar juga berpengaruh dalam menentukan penggunaan sarana prasarana. Dalam hal ini pemilihan dalam penggunaan sarana prasarana sangat menentukan keberhasilan proses pembelajaran, disini dosen mempunyai peranan yang penting, dibutuhkan kreativitas dosen dalam pembelajaran, sehingga tujuan pembelajaran yang selama ini diinginkan dapat terwujud dengan baik. c. Pemeliharaan dan penghapusan Semua sarana prasarana yang telah dimiliki hendaknya dirawat dan dijaga dengan baik supaya tidak cepat rusak dan tahan lama. Dengan pemeliharaan yang baik terhadap sarana dan prasarana yang dimiliki maka sarana prasarana pendidikan yang dimiliki akan selalu dalam keadaan siap pakai sehingga dapat dipakai kapan saja saat dibutuhkan. Dengan sarana prasarana yang selalu dalam kondisi siap pakai itu semua civitas akademika dapat dengan lancar menjalankan tugasnya masing-masing. Dalam rangka itu, tentunya semua perlengkapan bukan saja ditata sedemikian rupa melainkan juga dipelihara dengan sebaik-baiknya. Dalam proses pemeliharaan barang di STKIP PGRI Pasuruan diserahkan kepada pihak-pihak yang bertanggung jawab pada masing-masing sarana. Proses ini menyangkut pendistribusian, penggunaan dan peminjaman sarana dan prasarana oleh civitas akademika yang membutuhkannya, peletakan sarana prasarana sesuai dengan tempatnya, serta perawatan sarana prasarana agar dapat berhasil guna dengan baik.
Upaya manajemen sarana prasarana yang dilakukan STKIP PGRI Pasuruan dalam meningkatkan proses pembelajaran. a. Pemenuhan standar Dalam melaksanakan manajemen sarana prasarana yang baik, berbagai upaya dalam perbaikan sarana prasarana terus dilakukan oleh STKIP PGRI Pasuruan demi meningkatkan proses pembelajaran maupun peningkatan mutu STKIP PGRI Pasuruan. Menyangkut upaya yang dilakukan oleh STKIP PGRI Pasuruan dalam manajemen sarana prasarana adalah berupaya untuk memenuhi standar Sekolah Tinggi yang telah di tentukan oleh Pemerintah. b. Peninjauan Ulang Dan Pemenuhan Kelengkapan Sarana Prasarana Upaya terbaik dilakukan oleh STKIP PGRI Pasuruan untuk memberikan pelayanan terbaik tarhadap sarana prasarana yang ada, karena tidak dapat di pandang sebelah mata bahwa
266
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
manajemen sarana prasarana mempunyai peranan penting dalam peningkatan proses pembelajaran maupun mutu dari STKIP PGRI Pasuruan
Faktor Pendukung dan Penghambat Manajemen Sarana Prasarana dalam Meningkatkan Proses Pembelajaran di STKIP PGRI Pasuruan. Suatu program yang telah direncanakan tidak akan bisa berjalan/berhasil secara maksimal jika tersedia faktor pendukung, sedangkan faktor pendukung bisa berasal dari internal maupun eksternal, antara lain: a. Tenaga ahli yang handal Faktor pendukung manajemen sarana dan prasarana pendidikan dalam meningkatkan proses pembelajaran tidak hanya berupa dana saja, akan tetapi partisipasi dan kerjasama seluruh stakeholders dalam hal apapun juga sangat dibutuhkan. Adapun faktor pendukung manajemen sarana dan prasarana pendidikan dalam meningkatkan proses pembelajaran di STKIP PGRI Pasuruan adalah pelaksanaan manajemen sarana dan prasarana pendidikan ditangani oleh tenaga-tenaga administrasi yang ahli dalam bidangnya yang bekerjasama dalam proses pengadaan, pemeliharaan, serta penghapusan barang demi terealisasinya program Sekolah Tinggi. b. Kerjasama tim dan pendanaan Dalam melaksanakan suatu manajemen kerjasama pihak-pihak yang terkait dalam manajemen tersebut merupakan tolak ukur keberhasilan suatu program, di STKIP PGRI Pasuruan kerjasama tim dalam manajemen sarana prasarana merupakan salah satu faktor pendukung keberhasilan manajemen sarana prasarana dalam memenuhi kebutuhan sarana prasarana. Selain faktor-faktor yang dapat mendorong pelaksanaan manajemen sarana prasarana, terdapat pula beberapa faktor penghambat dalam pelaksanaan manajemen sarana prasarana, antara lain: a. Kurangnya Tenaga Ahli dan Pemakai Yang Tidak Sesuai Dengan Spesifikasi Teknis Dalam pemakaian sarana yang berbasis IT, pemakai yang tidak sesuai dengan spesifikasi teknis atau kurangnya pengetahuan mengakibatkan banyak barang yang disediakan cepat mengalami kerusakan. Selain itu, tenaga administrasi manajemen sarana prasarana yang kurang memadai dan kurangnya perhatian dan rasa memilki dari civitas akademik dapat menghambat pelaksanaan manajemen sarana prasarana. b. Pemenuhan Standar Menuju Universitas Untuk menuju Universitas, STKIP PGRI Pasuruan harus melakukan tata ulang manajemen sarana prasarana sesuai dengan standar Universitas, hal ini merupakan salah satu kendala yang menjadi faktor penghambat dalam pelaksanaan manajemen sarana prasarana. c. Tata Letak Gedung Dalam pembangunan sarana prasarana gedung tata letak akan mempengaruhi kenyamanan para pemakai fasilitas. Di STKIP PGRI Pasuruan tata letak gedung perkuliahan yang dekat dengan food corner berakibat pada kendala dalam proses pembelajaran.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
267
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Dalam kondisi baik dan terus melakukan pembenahan Keadaan kelengkap an sarana prasarana dalam meningkat kan proses pembelaja ran di STKIP PGRI Upaya Pasuruan. manajemen
Disesuaikan inventarisasi tahun lalu, pendanaan, pembuatan proposal, dan pembagian jobdiscription
Pendataan dan pencatatan buku keluar masuk barang
Penga daan
Manajemen Sarana Prasarana Dalam Meningkatkan Proses Pembelajaran Di STKIP PGRI Pasuruan
(penjelasan terlampir di halaman berikutnya) faktor
2.
3. 4.
268
Perencanaan pengadaan sarpras mengacu pada inventarisasi pada tahuntahun sebelumnya mengenai penambahan, dan penggantian serta analisis kebutuhan sarpras melalui pengamatan dan permintaan tiap kepala unit. Pengadaan disesuaikan pendanaan yang akan dikeluarkan Membuat proposal pengadaan Apabila pengadaan disetujui maka diadakan pembagian jobdiscription melalui rapat yaitu menyangkut penenggung jawab pembelian yang bertugas mendaftar dan memelihara, penerima barang yang bertugas inventarisasi barang yang dimiliki, dan pendistribusian barang ke masing-masing kepala unit, dan kepala unit bertugas dalam pemeliharaan barang
Pendistribusi an, pemeliharaan berkala, dan pengecekan Wewenang pihak PPLPPT dalam mengelola
Pemeli haraan Pengh apusa n
Manajem en sarana prasarana di STKIP PGRI Pasuruan.
pendu kung
Tenaga ahli administra si handal Kerjasam a tim administra si dan pendanaa n baik
pendukung dan penghambat manajemen pengh sarana ambat prasarana dalam meningkatka Kurangnyn proses Pemakai Pemen a tenaga uhan pembelajara sarpras ahli n di STKIP yang standar tidak administr PGRI menuju sesuai asi Pasuruan univers spesifika itas si teknis
prasarana
1.
Peng gunaa n
invent arisasi
sarana dan prasarana yang dilakukan STKIP PGRI Pasuruan dalam Pemenu meningkatkan Peninjauan han proses ulang dan standar pembelajaran pemenuha menuju n universit kelengkapa as n sarana
PENGADAAN
Sesuai kebutuhan/mat eri ajar dan prosedur peminjaman
INVENTARIS ASI 1. Sarpras yang sudah dibeli atau yang disediaka n didata dan dimasukk an kedalam file computer. 2. Inventaris asi peminjam an atau pengguna an barang dicatat di buku keluar masuk barang
MANAJEMEN SARANA PRASARANA PENGGUNAAN 1.
2.
3.
Penggunaan sarpras disesuaikan kebutuhan agar diperoleh manfaat. Penggunaan sarpras dalam proses pembelajaran disesuaikan dengan materi pelajaran yang dipelajari. Peminjaman dan penggunaan harus memenuhi prosedur dengan menghubungi petugas yang bertangggung jawab mencatat di buku keluar masuk barang.
PEMELIHARAAN
1.
2.
3.
Pendistribusian barang pada pihak yang bertanggung jawab dengan perintah Pembantu Ketua II dan izin Ketua STKIP PGRI Pasuruan. Pemeliharaan dilaksanakan tiap hari dan secara berkala yang meliputi pengawasan, pengecekan keluar masuk barang, pencegahan kerusakan, dan pembersihan barang. Pembantu ketua II melakukan pengecekan dengan berkeliling dan atas laporan tim sarpras serta civitas akademika.
Tata letak gedung
PENGHAPUSAN
1. Apabila terjadi kerusakan sarpras maka menjadi wewenang pihak PPLPPT untuk pengelolaan meliputi diperbaiki atau diganti
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Simpulan Keadaan kelengkapan sarana prasarana yang ada di STKIP PGRI Pasuruan dalam meningkatkan proses pembelajaran dalam keadaan baik, memadai, dan sudah dalam keadaan standar Sekolah Tinggi meskipun masih banyak terjadi kerusakan dan terus diupayakan pembenahan. Manajemen sarana prasarana dalam meningkatkan proses pembelajaran di STKIP PGRI Pasuruan, meliputi pengadaan sarana dan prasarana dilakukan dengan cara perencanaan pengadaan barang dengan analisis kebutuhan akan sarana dan prasarana menampung aspirasi tiap Kepala Unit/melalui observasi langsung oleh staf BAU dan Pembantu Ketua II tentang sarana prasarana yang dibutuhkan, sarana dan prasarana diperoleh dengan cara pembelian, pendayagunaan sarana dan prasarana bervariasi dan pemakaiannya sesuai dengan kebutuhan dan penggunaan sarana dan prasarana dalam pembelajaran disesuaikan dengan materi yang akan dipelajari. Dalam peminjaman barang semua civitas akademik terlebih dahulu menghubungi petugas dan mengisi buku daftar peminjaman. Pemeliharaan sarana dan prasarana dilaksanakan setiap hari dan secara berkala. Pemeliharaan sehari-hari meliputi pengecekan dan pembersihan sarana dan prasarana sedangkan pemeliharaan secara berkala meliputi pengawasan, pemeliharaan yang bersifat pencegahan serta perbaikan sarana dan prasarana. Pemeliharaan dilakukan secara teratur agar selalu dalam keadaan siap pakai ketika dibutuhkan, penghapusan sarana prasarana dilakukan oleh pihak PPLP-PT sehingga barang yang rusak tidak bisa segera dibenahi tanpa keputusan pihak PPLP-PT, dengan demikian banyak barang-barang yang rusak didiamkan tanpa pembenahan secara cepat. Upaya manajemen sarana prasarana dalam meningkatkan proses pembelajaran di STKIP PGRI Pasuruan adalah dengan pemenuhan standar dari standar Sekolah Tinggi menjadi standar Universitas dan juga memenuhi kelengkapan sarana prasarana yang kurang ataupun yang belum dimiliki dengan melakukan pembangunan dan pembelian. Faktor pendorong manajemen sarana prasarana dalam meningkatkan proses pembelajaran di STKIP PGRI Pasuruan antara lain tenaga ahli yang handal yang dimiliki STKIP PGRI Pasuruan untuk menangani pengelolaan sarana prasarana, kerjasama tim, dan dukungan pendaan dalam penyediaan sarana prasarana. Sedangkan faktor penghambat manajemen sarana prasarana adalah kurangnya tenaga ahli dan pemakai yang tidak sesuai
dengan spesifikasi teknis serta tata letak gedung. Daftar Pustaka Alex Aldha Yudi.2012.Pengembangan Mutu Pendidikan Ditinjau Dari Segi Sarana Dan Prasarana.Jurnal Sarana Dan Prasarana,(online), 9 (1): 3-4, (www.ppmunpak.web.id)), diakses 4 Pebruari 2014 Arief S.2009. Media Pendidikan.Jakarta: Rajawali Pers Arikunto, Suharsimi & Lia Yuliana. 2008. Manajemen Pendidikan.Yogyakarta: Aditya Media. Barnawi & Arifin, M.2012.Manajemen Sarana Prasarana Sekolah.Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Bungin, Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana Hariyanto. 2011. Analisis dan Intepretasi Data Kualitatif serta pemeriksaan. (online),(http://www.academika.edu/1422518/analisis_dan_intepretasi_dat a_kualitatif_sertapemeriksaan keabsahan data), diakses 11 Maret 2014 Lexy J Moleong. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosda Karya. Minarti, Sri.2011. Manajemen Sekolah Mengelola Lembaga Pendidikan Secara Mandiri.Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
269
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Muhibbin. 2010. Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru.Bandung: Rosda Karya. Mulyasa, E. 2009. Manajemen Berbasis Sekolah.Bandung: Rosda Karya Mulyono. 2010. Manajemen Administrasi Dan Organisasi Pendidikan.Solo: Ar-Ruzz Media. Salinan Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia. Standar Nasional Pendidikan Tinggi.(online),(www.dikti.go.id), diakses 4 Pebruari 2014 Sugiono. 2009. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Sarana Prasarana.Bandung: Citra Umbara Warsita, Bambang. 2008. Tekonologi Pembelajaran, Landasan dan Aplikasinya. Jakarta: Rineka Cipta Yusuf, Ahmad. 2012. Metodologi Penelitian Kualitatif, (online), (web.Unair.ac.id), diakses 11 Maret 2014 Zain.2013.SaranadanPrasarana.(online),(http://gadogadozaman.blogspot.com/2013/06/manaje men-sarana-dan prasarana.html), diakses 20 pebruari 2014.
270
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Pengaruh Gaya Kepemimpinan Demokratis Terhadap Kinerja Pengurus Koperasi Karpindo PPLP PT PGRI Jombang Munawaroh 22 ([emailprotected]) Abstract The purpose of this study is to explain the existence of a democratic leadership style influence on the performance of the board Cooperative Karpindo PPLP PT PGRI Jombang. Method used by the researchers is Simple Linear Regression analysis with SPSS 16.0 for Windows. The population in this study were all cooperative management Karpindo which amounted to 7 people. While the data collection technique using observation, interview and questionnaire. The results of data analysis showed that the correlation of X and Y is equal to 0.074 means that the influence of these two variables is weak. Democratic leadership style does not have a significant effect on the performance of the board Cooperative Karpindo PPLP PT PGRI Jombang by 6% and 94% are influenced by other factors such as the individual's ability, motivation, solidarity among administrators, and educational level. Keywords: Democratic Leadership Style, Performance Board Abstrak Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan ada tidaknya pengaruh gaya kepemimpinan demokratis terhadap kinerja pengurus Koperasi Karpindo PPLP PT PGRI Jombang. Metode penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah analisis Uji Regresi Linier Sederhana dengan bantuan software SPSS 16.0 for windows. Populasi dalam penelitian ini adalah semua pengurus koperasi Karpindo yang berjumlah 7 orang. Sedangkan teknik pengumpulan datanya dengan menggunakan observasi, wawancara dan penyebaran angket. Hasil analisis data diperoleh bahwa nilai korelasi X dan Y adalah sebesar 0,074 artinya pengaruh kedua variabel tersebut lemah. Gaya kepemimpinan demokratis tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja pengurus Koperasi Karpindo PPLP PT PGRI Jombang sebesar 6% dan 94% dipengaruhi oleh faktor lain seperti kemampuan individu, motivasi, solidaritas antar pengurus, dan tingkat pendidikan. Kata Kunci: Gaya Kepemimpinan Demokratis, Kinerja Pengurus
Pendahuluan Koperasi merupakan lembaga dimana orang-orang yang memiliki kepentingan relatif homogen berhimpun untuk meningkatkan kesejahteraan. Konsepsi demikian mendudukkan koperasi sebagai badan usaha yang cukup strategis bagi anggota dalam mencapai tujuan ekonomis yang pada gilirannya berdampak kepada masyarakat secara luas. Akan tetapi dari tahun ke tahun jumlah koperasi yang ada di tanah air berkurang bahkan gulung tikar. Penyebab koperasi gulung vakum adalah salah urus, dibentuk hanya untuk mendapatkan program kredit dan yang paling dominan koperasi dililit utang akibat salah urus manajemen, menurut Sesmen Koperasi dan UKM. Guru Besar Ikopin Bandung, Prof Dr Yuyun Wirasasmita menyebutkan, kelemahan koperasi bukan kelemahan kaidah namun dikarenakan adanya penyimpangan dari kaidah koperasi sehingga membuat badan usaha itu tidak efektif. Menurut teori keberhasilan koperasi salah satunya adalah kinerja pengurus. Pengurus dalam koperasi mempunyai kedudukan yang sangat menentukan bagi keberhasilan koperasi sebagai organisasi ekonomi yang berwatak sosial. Pengurus koperasi dipilih dari dan oleh 22
Dosen Prodi. Pendidikan Ekonomi STKIP PGRI Jombang
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
271
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
anggota koperasi dalam rapat anggota. Oleh karena itu kinerja pengurus mempunyai kedudukan yang menentukan keberhasilan koperasi. Dengan pengurus yang memiliki kompetensi baik akan dapat membuat koperasi berkembang menjadi lebih baik. Tidak hanya itu hubungan antara pimpinan dan karyawan/pengurus sangat diperlukan untuk menunjang kinerja perusahaan dan sesuai dengan tujuan. Pemimpin juga berguna sebagai pemantau para karyawannya dan menyelaraskan gaya kepemimpinan demokratis yang dapat meningkatkan kinerja karyawan/pengurus secara maksimal, agar dapat mencapai tujuan koperasi. Gaya kepemimpinan demokratis sudah banyak diterapkan di berbagai perusahaan dan organisasi tidak menutup kemungkinan kegagalan dalam usaha yang didirikan akan dialami oleh perusahaan dan organisasi. Apabila itu terjadi keadaan bagi perusahaan dan organisasi yang menerapkan kepemimpinan demokratis akan mengalami kerugian yang tidak sedikit. Disamping itu gaya kepemimpinan akan mempengaruhi bawahan organisasi ,karena sejatinya pemimpin berpengaruh besar terhadap sukses tidaknya organisasi yang dipimpin. Apabila kepemimpinannya baik bisa mempengaruhi bawahannya akan tugas yang harus dilaksanakan maka bawahan melaksanakan tugas dengan baik pula. Begitu pentingnya disiplin kerja bagi setiap instansi di lingkungan pemerintah maupun swasta, maka pimpinan harus dapat memberikan motivasi kepada pegawai agar dapat menjalankan segala aturan yang diberlakukan. Pemerintah mempunyai peran sangat besar dalam pembuatan program pembentukan karakter kepemimpinan. Tanggung jawab pemerintah tidak sekedar membuat program tersebut tetapi yang lebih penting justru identifikasi apakah program sudah sesuai dengan yang dibutuhkan masyarakat untuk bisa berkreasi dan produktif. Pengukuran kinerja secara periodik sangat perlu dilakukan untuk mengidentifikasi tingkat kesenjangan yang terjadi. Kinerja merupakan konsep yang multidimensional dan banyak dipengaruhi berbagai macam faktor. Ukuran kinerja yang layak bagi organisasi koperasi ini tidak sekedar bersifat finansial (input). Selanjutnya monitoring kinerja perlu dilakukan sebagai alat untuk mengevaluasi apakah pembentukan karakteristik jiwa kepemimpinan sudah sesuai dengan apa yang dibutuhkan masyarakat yang ingin belajar . Monitoring kinerja dapat juga digunakan untuk mengidentifikasi apakah pengaruh yang diberikan pimpinan sudah baik. Dengan dilakukan monitoring kinerja secara berkelanjutan, sebenarnya akan membantu meningkatkan efisiensi dan efektivitas gaya kepemimpinan demokratis itu sendiri. Jiwa kepemimpinan tidak hanya dibutuhkan oleh masyarakat melainkan penting pula untuk pemimpin suatu perusahaan atau organisasi guna meningkatkan efisiensi dan efektivitas tujuan yang ingin dicapai. Tidak hanya itu, karakter seorang pemimpin apabila sudah baik maka kinerja pengurus koperasi juga akan tercermin oleh gaya kepemimpinan yang dipakai yaitu gaya kepemimpinan demokratis karena seyogyanya pemimpin tugasnya adalah mempengaruhi pegawai guna mencapai tujuan yang sudah ditargetkan. Tujuan dari sebuah koperasi salah satunya adalah mensejahterakan anggotanya, apabila kepemimpinan suatu koperasi itu bisa mempengaruhi pengurus/pegawai maka tujuan tersebut akan terwujud, Koperasi Karpindo PPLP PT PGRI Jombang yang anggotanya berasal dari STKIP PGRI Jombang dan STIE Dewantara Jombang yang beranggotakan 133 orang. Koperasi Karpindo PPLP PT PGRI Jombang sementara hanya menangani bidang simpan pinjam. Permodalan pada
272
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
koperasi karpindo mengalami kemajuan yang pesat hingga saat ini mencapai satu milyar lebih dengan pertumbuhan modal sendiri mencapai Rp. 663.430.000. Untuk mengurangi resiko usaha simpan pinjam Koperasi Karpindo menempuh beberapa cara:1) kerjasama dengan Asuransi Bumi Putera yaitu asuransi kumpulan yang dikelola oleh asuransi Bumi Putera, artinya setiap anggota secara otomatis mendapatkan perlindungan berupa penghapusan Pinjaman anggota apabila meninggal sesuai dengan ketentuan yang berlaku 2) Mengatasi kelalaian pinjaman, artinya memberlakukan pinjaman berdasarkan kemampuan anggota untuk mengembalikan dengan cara pemotongan gaji, 3) menganalisa pengajuan pinjaman dengan meminta persetujuan pembantu Ketua II 4) Memotong simpanan apabila tidak membayar pinjaman sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Melihat perkembangan dari koperasi karpindo berkembang cukup pesat dapat dikatakan kinerja pengurus maupun anggota koperasisudah baik. Tidak hanya itu, kepemimpinan yang diterapkan adalah kepemimpinan demokratis, sehingga gaya kepemimpinan tersebut bisa diterima oleh pengurus koperasi Karpindo karena gaya kepemimpinan demokratis tidak terfokus pada pimpinannya saja yang ikut andil dalam kebijakan koperasi, melainkan pengurus/anggotanya diikut sertakan dalam hal memberi kebijakan ataupun ide untuk memajukan koperasi Karpindo. Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah: adakah pengaruh gaya kepemimpinan demokratis terhadap kinerja pengurus koperasi Karpindo PPLP PT PGRI Jombang. Sedangkan tujuan yang hendak di capai adalah untuk menjelaskan ada tidaknya pengaruh gaya kepemimpinan demokratis terhadap kinerja pengurus koperasi Karpindo PPLP PT PGRI Jombang
Landasan Teori Gaya Kepemimpinan Demokratis Seorang pemimpin yang demokratis menyadari benar–benar bahwa akan timbul kecenderungan di kalangan para pejabat pimpinan yang lebih rendah dan di kalangan para anggota organisasi untuk melihat peranan satuan kerja di mana mereka berada sebagai peranan yang paling penting, paling strategis dan paling menentukan keberhasilan organisasi mencapai berbagai sasaran organisasional (Sondang, 2010: 41). Seorang pemimpin yang demokratis dihormati dan disegani dan bukan ditakuti karena perilakunya dalam kehidupan organisasional. Perilakunya mendorong para bawahannya menumbuhkan dan mengembangkan daya inovasi dan kreativitasnya, dengan sungguh – sungguh pemimpin yang demokratis mendengarkan pendapat, saran dan bahkan kritik orang lain terutama para bawahan. Bahkan pemimpin yang demokratis tidak akan takut membiarkan para bawahan berprakarsa meskipun ada kemungkinan prakarsa itu akan berakibat pada kesalahan. Jika terjadi kesalahan, pimpinan yang demokratis berada di samping bawahan yang berbuat kesalahan itu bukan untuk menindak atau menghukumnya, melainkan meluruskan sedemikian rupa sehingga bawahan tersebut belajar dari kesalahan itu dan dengan demikian menjadi anggota organisasi yang lebih bertanggung jawab. Satu lagi karakteristik penting seorang pemimpin yang demokratis yang sangat positif ialah cepat ia menunjukkan penghargaan kepada bawahan yang berprestasi tinggi. Penghargaan itu dapat mengambil berbagai bentuk seperti kata-kata pujian, tepukan pada bahu bawahan itu, mengeluarkan piagam penghargaan, kenaikan pangkat atau bahkan juga mengkin promosi jabatan jika keadaan memungkinkan. Seorang pemimpin yang demokratis akan sangat bangga
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
273
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
bila para bawahannya menunjukkan kemampuan kerja yang bahkan lebih tinggi dari kemampuannya sendiri (Sondang, 2010: 43-44). Adapun kinerja adalah pelaksanaan suatu pekerjaan dan penyempurnaan pekerjaan tersebut sesuai dengan tanggung jawabnya sehingga dapat mencapai hasil sesuai dengan yang diharapkan (Rivai dan Basri, 2005:14).
Pengertian Kinerja Kinerja adalah tingkatan keberhasilan seseorang atau keseluruhan selama periode tertentu di dalam melaksanakan tugas dibandingkan dengan berbagai kemungkinan, seperti standar hasil kerja, target atau sasaran atau kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu dan telah disepakati bersama (Rivai dan Basri, 2005:14). Kinerja karyawan adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya (Mangkunegara, 2005:67). Kinerja berasal dari kata job performance atau actual performance (prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang dicapai seseorang) yaitu hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya (Mangkunegara, 2005:75). Lebih lanjut Mangkunegara (2005:75) menyatakan bahwa pada umumnya kinerja dibedakan menjadi dua, yaitu kinerja individu dan kinerja organisasi. Kinerja individu adalah hasil kerja karyawan baik dari segi kualitas maupun kuantitas berdasarkan standar kerja yang telah ditentukan, sedangkan kinerja organisasi adalah gabungan dari kinerja individu dengan kinerja kelompok. Kinerja karyawan adalah hasil pekerjaan atau kegiatan seorang pegawai secara kuantitas dan kualitas untuk mencapai tujuan organisasi yang menjadi tugas dan tanggungjawabnya dimana tugas pegawai negeri adalah bersifat pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat (Sondang,2003:3). Agar seseorang dapat mencapai kinerja yang tinggi tergantung pada keuletan, konsistensi, kedisiplinan, mau menerima saran dari orang lain, kepemimpinan, kerjasama antar rekan kerja, pemgetahuan pekerjaan dan ketangguhan.
Pengukuran Kinerja Pengukuran kinerja merupakan suatu alat manajemen yang digunakan untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan akuntabilitas. Pengukuran kinerja juga digunakan untuk menilai pencapaian tujuan dan sasaran. Pengukuran kinerja digunakan untuk penilaian atas keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan kegiatan, program dan kebijakan sesuai dengan sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan dalam rangka mewujudkan misi dan visi organisasi. Karenanya, sudah merupakan suatu hal yang mendesak untuk menciptakan system yang mampu untuk mengukur kinerja dan keberhasilan organisasi. Untuk dapat menjawab pertanyaan tingkat keberhasilan organisasi, maka seluruh aktivitas organisasi tidak semata-mata kepada input dari program organisasi, tetapi lebih ditekankan kepada output, proses, manfaat, dan dampak program orgaisasi (Sedarmayanti, 2007:195). Sistem pengukuran kinerja membantu pimpinan dalam memantau implementasi strategis kegiatan dengan cara membandingkan antara hasil aktual dengan sasaran dan tujuan strategis. Sistem pengukuran kinerja biasanya terdiri dari metode sistematis dalam penetapan sasaran dan tujuan dan pelaporan periodik yang mengindikasikan realisasi atas pencapaian sasaran tujuan.
274
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Pengukuran kinerja merupakan metode menilai kemajuan yang telah dicapai dibandingkan dengan tujuan yang telah ditetapkan. Pengukuran kinerja tidak dimaksudkan berperan sebagai mekanisme untuk memberikan penghargaan atau hukuman, akan tetapi pengukuran kinerja berperan sebagai alat komunikasi dan alat menajemen untuk memperbaiki kinerja organisasi (Sedarmayanti, 2007:196).
Metode Penelitian Rancangan penelitian yang peneliti gunakan adalah jenis penelitian kuantitaif dengan uji regresi linier sederhana yang tujuannya untuk menjelaskan pengaruh gaya kepemimpinan demokratis terhadap kinerja pengurus Koperasi Karpindo PPLP PT PGRI Jombang dengan desain penelitian sebagai berikut:
Gaya Kepemimpinan Demokratis (X)
Kinerja Pengurus (Y)
Gambar 3.1 variabel X mempengaruhi variabel Y
Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah semua pengurus koperasi sekunder Mitra Tani . Populasi yang hendak di teliti terdiri dari 7 orang pengurus koperasi sekunder Mitra Tani. Karena populasi kurang dari 100 maka sampel ditiadakan.
Variabel Penelitian Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Variabel bebas (X) Variabel bebas dalam penelitian ini adalah gaya kepemimpinan demokratis. dengan indikator: tipe kepemimpinan, pengambilan keputusan, fungsi kepemimpinan, bersikap ramah , mudah ditemui, controlling, Komunikasi, kemampuan memotivasi bawahan 2. Variabel terikat (Y) Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kinerja pengurus. dengan indikator: Kesetiaan, prestasi kerja, kedisiplinan, kerjasama, kreatifitas, kecakapan, tanggungjawab, kepribadian
Metode Pengumpulan Data Metode Pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti adalah observasi, wawancara dan angket dengan 5 alternatif jawaban dan di ujivaliditas dan reliabilitas. Dari hasil uji validitas menunjukkan bahwa untuk butir variabel independen dapat diketahui bahwa keseluruhan dari 20 butir pertanyaan yang diuji, ada 12 butir pertanyaan menunjukkan hasil yang valid. Sedangkan yang tidak valid ada 8 butir dihapus karena 12 butir pertanyaan sudah mewakili indikator. Untuk variabel dependen dapat diketahui bahwa 20 butir pertanyaan yang diuji, ada 15 butir pertanyaan yang menunjukkan hasil sedangkan yang tidak valid ada 5 butir pertanyaan dihapus karena 15 butir pertanyaan sudah mewakili indikator. Adapun hasil analisis uji reliabilitas variabel dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel berikut:
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
275
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Tabel 1 Hasil Uji Reliabilitas angket penelitian Variabel Cronbach Alpha Independent (Gaya Kepemimpinan 0,964 Demokratis) Dependent (Kinerja Pengurus)
0,986
Keterangan Reliabel Reliabel
Sumber: hasil penelitian yang sudah diolah dari program SPSS tahun 2014 Teknik Analisis Data Teknik Analisis data yang peneliti gunakan adalah dengan menggunakan uji regresi linier sederhana dengan rumus sebagai berikut:
Y = a+b.X+e Keterangan: Y = variable terikat (kinerja organisasi) X = variable bebas (gaya kepemimpinan demokratis) a = konstanta b = koefisien regresi e = standard estimation of error (kesalahan prediksi) Peneliti menggunakan software SPSS 16 for windows untuk membantu mengetahui variabel X (variabel bebas) yaitu Gaya Kepemimpinan Demokratis dengan variabel Y (variabel terikat) yaitu kinerja organisasi.
Hasil Penelitian Jumlah responden yang peneliti gunakan adalah 7 responden dari seluruh karyawan Koperasi Karpindo yang ditemui selama 3 hari dan seluruh kuesioner kembali dan layak untuk dianalisis. Pada variabel gaya kepemimpinan demokratis indikator tipe kepemimpinan demokratis mendapat responden paling dominan. Dilihat dari angka yang diperoleh dari tabulasi hasil angket dengan nilai sebesar 71,4% yang menyatakan bahwa pimpinan Koperasi Karpindo senang menerima saran dari bawahan. Pernyataan ketidaksetujuan pada variabel gaya kepemimpinan demokratis yang paling dominan terdapat pada indikator fungsi kepemimpinan yang menyatakan bahwa pimpinan koperasi Karpindo sulit untuk ditemui. Dengan nilai sebesar 28,5% dari nilai tabulasi data angket. Pada variabel kinerja pengurus indikator kesetiaan mendapat responden yang paling dominan. Dilihat dari angka yang diperoleh dari tabulasi hasil angket dengan nilai sebesar 71,4% yang menyatakan bahwa pengurus dapat menjaga nama baik instansi. Pernyataan ketidaksetujuan pada variabel kinerja pengurus terdapat pada indikator kerjasama yang menyatakan bahwa petugas bertanggung jawab dalam melayani anggota. Dengan nilai sebesar 42,8% dari nilai tabulasi data angket.
276
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Tabel 2. Data Hasil Penelitian Angket No. Responden Variabel X Variabel Y 1 Res 1 60 47 2 Res 2 36 58 3 Res 3 46 51 4 Res 4 54 75 5 Res 5 52 75 6 Res 6 57 63 7 Res 7 53 62 Sumber: data yang diolah peneliti dari hasil kuesioner tahun 2014
Analisa Regresi Linier Sederhana Pengujian hipotesis menggunakan analisa regresi linier sederhana digunakan untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh gaya kepemimpinan demokratis terhadap kinerja pengurus yang dapat diinterprestasikan sebagai berikut: Tabel 3. Hasil Uji Regresi Linier Sederhana (deskripsi statistik) Descriptive Statistics Mean
Std. Deviation
N
Kinerja pengurus
61.5714
10.79903
7
Gaya kepemimpinan demokratis
51.1429
7.96719
7
Hasil analisis descriptive diketahui rerata kinerja pengurus sebesar 61,57 atau dalam kategori tinggi berdasarkan interval 1 sampai dengan 100. Rerata gaya kepemimpinan demokratis berada pada nilai 51,14 yang mempunyai arti gaya kepemimpinan demokratis Koperasi Karpindo dapat dikategorikan tinggi berdasarkan interval 1 sampai dengan 100. Tabel 4. Hasil Uji Regresi Linier Sederhana (korelasi) Correlations Gaya kepemimpina n demokratis
Kinerja pengurus Pearson Correlation
Kinerja pengurus
Sig. (1-tailed)
Gaya kepemimpinan demokratis Kinerja pengurus
N
Gaya kepemimpinan demokratis Kinerja pengurus Gaya kepemimpinan demokratis
1.000
.074
.074
1.000
.
.437
.437
.
7
7
7
7
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
277
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Hasil pengujian dapat diketahui nilai korelasi X dan Y adalah sebesar 0,074 artinya hubungan kedua variabel tersebut rendah. Korelasi positif menunjukkan bahwa hubungan antara Gaya Kepemimpinan Demokratis dengan Kinerja Pengurus searah. Untuk melihat hubungan antara variabel antara Gaya Kepemimpinan Demokratis dengan Kinerja Pengurus signifikan atau tidak dapat dilihat dari angka probabilitas (sign). Jika angka probabilitas < 0,05, maka ada hubungan yang signifikan antara kedua variabel, tapi jika angka probabilitas > 0,05, maka hubungan kedua variabel tidak signifikan. Pada perhitungan diatas menunjukkan nilai p value (sign) sebesar 0,437, dengan demikian dapat dikatakan bahwa Gaya Kepemimpinan Demokratis tidak berpengaruh signifikan terhadap Kinerja Pengurus (karena p value > 0,05). Tabel 5. Hasil Uji Regresi Linier Sederhana (variabel entered/removed) Variables Entered/Removedb Model 1
Variables Entered
Variables Removed
Gaya kepemimpinan demokratisa
Method
. Enter
a. All requested variables entered. b. Dependent Variable: Kinerja pengurus Keterangan: Dari tabel diatas, menunjukkan variabel yang dimasukkan adalah variabel Gaya Kepemimpinan Demokratis, sedangkan variabel yang dikeluarkan tidak ada (variabel remove-nya tidak ada).
Analisa Koefisien Determinasi (R2) Adapun koefisien determinasi (R2) digunakan untuk mengetahui seberapa besar kemampuan variabel Gaya Kepemimpinan Demokratis menjelaskan atau mempengaruhi variabel Kinerja Pengurus (Y). Tabel 6. Hasil Uji Regresi Linier Sederhana (model summary) Model Summaryb
Model 1
R .074a
R Square
Adjusted R Square
.060
-.193
Std. Error of the Estimate 11.79692
a. Predictors: (Constant), Gaya kepemimpinan demokratis b. Dependent Variable: Kinerja pengurus Hasil analisis diketahui nilai R koefisien korelasi (R) sebesar 0,074 atau sebesar 7,4% menunjukkan hubungan yang tidak seberapa signifikan antara variabel bebas dengan variabel terikat. Sedangkan koefisien determinasi (R Square) sebesar 0,060 atau sama dengan 6% yang artinya sebesar 6% variabel Gaya Kepemimpinan Demokratis dijelaskan atau dipengaruhi oleh variabel Kinerja Pengurus, sedangkan 94% dijelaskan atau dipengaruhi oleh variabel lain yang mana variabel tersebut tidak diteliti oleh peneliti.
278
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Tabel 7 Hasil Uji Regresi Linier Sederhana (anova) ANOVAb Model 1
Sum of Squares Regression Residual
Df
Mean Square
3.877
1
3.877
695.837
5
139.167
F
Sig. .028
.874a
Total 699.714 6 a. Predictors: (Constant), Gaya kepemimpinan demokratis b. Dependent Variable: Kinerja pengurus Berdasarkan uji anova atau F test, diperoleh F hitung 0,028 dengan tingkat signifikan 0,874 oleh karena probabilitas 0,874 jauh lebih besar dari 0,05 maka model regresi tidak dapat dipakai untuk memprediksi kinerja pengurus. Atau dapat dikatakan gaya kepemimpinan demokratis tidak mempunyai pengaruh dengan kinerja pengurus. Tabel 8. Hasil Uji Regresi Linier Sederhana (Coefisien) Coefficientsa Unstandardized Coefficients Model 1
B (Constant)
56.411
Gaya kepemimpinan .101 demokratis a. Dependent Variable: Kinerja pengurus
Std. Error
Standardized Coefficients Beta
T
31.235 .604
.074
Sig.
1.806
.131
.167
.874
Berdasarkan hasil pengujian diatas maka dapat dibuat persamaan regresi sebagai berikut: Y = 56,411 + 0,101 X. Dimana nilai konstanta sebesar 56,411 artinya jika gaya kepemimpinan demokratis (X) nilainya adalah 0, maka kinerja pengurus (Y) nilainya positif yaitu sebesar 56,411. Pada nilai koefisien regresi sebesar 0,101, ini menunjukkan bahwa jika ada kenaikan variabel kinerja pengurus sebesar 1% maka dapat meningkatkan kinerja pengurus sebesar 10,1%.
Analisa Uji t Penguji Hipotesis (t-Tes) digunakan untuk mengetahui tingkat signifikan antar variabel Gaya Kepemimpinan Demokratis (X) dengan variabel Kinerja Pengurus (Y). Uji signifikan untuk memeriksa benar atau tidak suatu hipotesis nol (Ho). Keputusan menolak atau menerima Ho dibuat dasar nilai statistik (Uji t) yang diperoleh dari hasil perhitungan dan dibandingkan dengan nilai tabel pada derajat bebas tertentu.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
279
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Tabel 9. Hasil Uji Regresi Linier Sederhana Coefficientsa Unstandardized Coefficients Model 1
B (Constant) Gaya kepemimpinan demokratis
Std. Error
56.411
31.235
.101
.604
Standardized Coefficients Beta
T
.074
Sig.
1.806
.131
.167
.874
a. Dependent Variable: Kinerja pengurus Hasil penelitian dapat dilihat dari nilai t hitung sebesar 0,167 dan signifikan 0,874 pada derajat kebebasan (df) = n-k-l (n adalah jumlah responden dan k adalah jumlah variabel independent ) maka df = 7-1-1=5, nilai t tabel 2,571 diperoleh dengan taraf signifikan 0,05. Dengan membandingkan t hitung dengan t tabel dapat di ketahui bahwa: - Apabila t hitung < t tabel, dengan p > α maka Ho diterima dan Ha ditolak, dengan diketahui hasil sesuai ketentuan tersebut artinya secara nyata variabel independen tidak ada pengaruh terhadap variabel dependen. - Demikian pula apabila t hitung > t tabel, dengan p < α maka Ho ditolak maka Ha diterima, dapat diartikan bahwa koefisien tersebut mempunyai pengaruh yang nyata atau variabel independen tersebut secara nyata berpengaruh tehadap variabel dependen. Karena t hitung diketahui sebesar 0,167 < dari t tabel yaitu 2,571 dengan angka probabilitas yaitu sebesar p = 0,874 dengan taraf kesalahan α = 0,05, menunjukkan berarti p > α maka artinya Ho diterima dan Ha ditolak. Jadi dapat disimpulkan bahwa tidak ada pengaruh secara signifikan antara variabel independen (gaya kepemimpina demokratis) terhadap variabel dependen (kinerja pengurus). Setelah data penelitian dianalisis dan memperoleh kesimpulan langkah selanjutnya melakukan interprestasi. Interprestasi merupakan langkah terakhir untuk mendeskripsikan atau menyajikan hasil analisis data. Dari berbagai langkah penelitian yang disajikan sebelumnya dapat di interprestasikan sebagai berikut: a) berdasarkan hasil analisis data diatas, dapat diinterprestasikan hasilnya, bahwa dari uji regresi linier sederhana diperoleh hasil pengujian dapat diketahui nilai korelasi X dan Y adalah sebesar 0,074 artinya hubungan kedua variabel tersebut rendah. Korelasi positif menunjukkan bahwa hubungan antara gaya kepemimpinan demokratis dengan kinerja pengurus; b) pada perhitungan diatas menunjukkan nilai p value (sig) 0,437, dengan demikian dapat dikatakan bahwa gaya kepemimpinan demokratis tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja pengurus (karena p value > 0,05); c) perhitungan koefisien determinasi (R square) diketahui sebesar 0,060 atau sama dengan 6% yang artinya sebesar variabel 6% gaya kepemimpinan demokratis dijelaskan atau dipengaruhi oleh variabel Kinerja Pengurus, sedangkan sisanya sebesar 94% dijelaskan atau dipengaruhi oleh variabel lain; d) pada Uji T, t hitung diketahui sebesar 0,167 < dari t table yaitu 2,571, artinya Ho ditolak dan Ha diterima. Jadi dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh positif atau secara signifikan antara 280
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
variabel independent (gaya kepemimpinan demokratis) terhadap variabel dependent (kinerja pengurus). Berdasarkan hasil analisis data yang peneliti lakukan, berhasil membuktikan bahwa gaya kepemimpinan demokratis berpengaruh terhadap kinerja pengurus. hal ini di buktikan dengan pengujian koefisien korelasi x dan y adalah sebesar 0,074 artinya pengaruh kedua variabel tersebut rendah. korelasi positif menunjukkan bahwa pengaruh antara gaya kepemimpinan demokratis dengan kinerja pengurus searah. Jadi gaya kepemimpinan demokratis berpengaruh sebesar 6% terhadap kinerja pengurus Koperasi Karpindo karena kepemimpinan demokratis tidak seberapa diperlukan dalam kinerja pengurus instansi sebuah koperasi. Karena kinerja koperasi dapat baik dikarenakan dengan adanya kerja sama dan gotong royong antar pengurus maupun anggota koperasi. Hasil signifikannya rendah dikarenakan jumlah responden yang diteliti hanya tujuh orang. Hanya sedikit karena objek yang diteliti adalah pengurus koperasi. Hal ini juga di dukung oleh adanya pengertian umum koperasi di Indonesia menurut UU nomor 17 tahun 2012, didefinisikan sebagai badan hukum yag didirikan oleh orang perseorangan atau badan hukum koperasi, dengan pemisahan kekayaan para anggotanya sebagai modal untuk menjalankan usaha, yang memenuhi aspirasi dan kebutuhan bersama di bidang ekonomi, sosial, dan budaya sesuai dengan nilai dan prinsip koperasi. Jadi kinerja operasional di koperasi semuanya adalah sama kinerjanya berdasarkan kekeluargaan. Pengertian umum menurut UU nomor 25 tahun 1992 bahwa koperasi baik sebagai gerakan ekonomi rakyat maupun sebagai badan usaha berperan serta untuk mewujudkan masyarakat yang maju, adil dan makmur berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam tata perekonomian nasional yang disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi. Suatu koperasi dalam pencapaian tujuan ditetapkan harus melalui sarana organisasi yang terdiri dari sumber daya manusia yang berperan aktif dalam mencapai tujuan organisasi atau instansi yang bersangkutan. Kinerja perorangan mempunyai hubungan yang erat dengan kinerja lembaga. Tidak hanya itu untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan koperasi atau lembaga tertentu harus bercermin pada visi, misi dan asas yang telah ditetapkan. Hasil penelitian juga didukung oleh penelitian Titin Nur Cahyati (2013) meneliti tentang “Pengaruh Kinerja Pegawai Terhadap Kepuasan Pelayanan Pada Kantor Kecamatan Sumobito Kabupaten Jombang” . Hasil penelitian menunjukkan bahwa kinerja pegawai berpengaruh signifikan terhadap kepuasan pelayanan pada kantor Kecamatan Sumobito Kabupaten Jombang sebesar 51,90% dan 48,10% dipengaruhi oleh faktor lain. Sedangkan hasil penelitian kami menunjukkan bahwa di koperasi Karpindo tentang pengaruh gaya kepemimpinan demokratis terhadap kinerja pengurus, mempunyai taraf rendah. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kinerja pengurus dapat dikatakan kurang baik apabila gaya kepemimipinan demokratis tidak bisa diterapkan dengan baik. Hal ini juga didukung dengan hasil uji regresi linier sederhana menunjukkan adanya korelasi yang positif dan bergantung rendah, dan signifikan antara gaya kepemimpinan demokratis dengan kinerja pengurus sebesar 6% sedangkan sisanya dijelaskan atau dipengaruhi oleh variabel lain yaitu kemampuan individu, motivasi, solidaritas antar pengurus, dan tingkat pendidikan. Melihat dari analisa peneliti menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan demokratis tidak cukup berhasil untuk membuat kinerja pengurus koperasi Karpindo dalam kegiatan operasional.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
281
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor lain, faktor pertama yaitu motivasi, yang dimiliki oleh pengurus adalah motivasi intern yaitu motivasi yang timbul dari dalam diri sendiri. Dimana semua para pengurus timbul minat untuk bekerja dengan baik dan tepat sesuai dengan pekerjaan yang telah diterima. Faktor yang kedua yaitu amanah, para pengurus juga selalu amanah dalam mengerjakan tugas yang telah diberikan oleh pimpinan sehingga pekerjaan telah selesai dikerjakan sesuai dengan deadline (batas waktu yang telah ditentukan). Faktor yang ketiga yaitu solidaritas antar pengurus, para pengurus sebenarnya sudah mempunyai tugas masing-masing, akan tetapi apabila ada salah satu misalnya dari bagian kesekretariatan yang tugasnya belum selesai, maka pengurus yang lain ikut membantu tentunya dari bagian yang lain (bendahara). Pengurus tidak membeda-bedakan dalam segi bagian pekerjaan. Mereka mempunyai tujuan yang sama, maka mereka saling membantu, bekerja sama apabila ada pekerjaan yang belum selesai sehingga pekerjaan mereka selesai tepat waktu sehingga kinerja mereka baik. Faktor keempat yaitu kemampuan, kemampuan pengurus juga menjadikan alasan kenapa gaya kepemimpinan demokratis tidak mempengaruhi kinerja pengurus. Kemampuan mereka dapat dikatakan baik, karena sebelum menjadi pengurus di koperasi Karpindo calon pengurus di training terlebih dahulu dengan baik sehingga mendapatkan hasil yang maksimal dilihat dari kinerjanya yang baik selama menyelesaikan pekerjaan. Selain di training untuk mendapatkan mutu kinerja yang baik, pihak koperasi Karpindo diikutkan dalam seminar apabila ada acara seminar tentang koperasi di daerah sekitar. Faktor yang kelima yaitu pelayanan, koperasi Karpindo bergerak dibidang Simpan pinjam yang sistem pembayarannya lewat pemotongan gaji.. Apabila ada anggota yang ingin pinjam mereka dilayani oleh pengurus dengan baik. Faktor keenam yakni koreksi, pihak koperasi Karpindo tiap minggu dan tiap akhir bulan mengadakan koreksi dari setiap pembagian kerja yang telah diberikan kepada pengurus. Apakah sudah sesuai dengan tugas yang telah diberikan. Suatu contoh setiap satu tahun sekali bendahara di koreksi oleh pimpinan, apakah pembukuan sudah balance (seimbang) antara pengeluaran sama pemasukan. Agar bendahara tidak menyalahgunakan wewenang yang telah diberikan oleh atasan. Beberapa faktor diatas yang peneliti peroleh dari data observasi dan wawancara bisa dikatakan hasil penelitian tidak sesuai dengan teori yang ada. Bahwa teori gaya kepemimpinan demokratis perilakunya mendorong para bawahan menumbuhkan dan mengembangkan daya inovasi dan kreativitas. Teori yang ada tidak berlaku untuk kinerja pengurus koperasi Karpindo karena dapat dilihat dari penjelasan beberapa faktor diatas bahwa kinerja pengurus tergolong mandiri dalam menyelesaikan pekerjaan yang telah menjadi tanggung jawabnya sehingga gaya kepemimpinan demokratis tidak mempengaruhi kinerja pengurus koperasi Karpindo.
Simpulan Berdasarkan hasil analisis data serta pengujian yang telah dilakukan maka peneliti dapat menarik kesimpulan bahwa dari uji regresi linier sederhana diperoleh hasil pengujian dapat diketahui nilai korelasi X dan Y adalah sebesar 0,074 artinya pengaruh kedua variabel tersebut lemah. Korelasi positif menunjukkan bahwa pengaruh antara gaya kepemimpinan demokratis dengan Kinerja Pengurus “searah”. Pada tabel koefisien menunjukkan nilai p value (sig) sebesar 0,874, dengan demikian dapat dikatakan bahwa gaya kepemimpinan demokratis tidak berpengaruh secara signifikan terhadap Kinerja Pengurus (karena p value > 0,05) dikarenakan jumlah respondennya kecil yakni sebesar tujuh responden. 282
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Saran Beberapa saran peneliti yang dapat dikemukakan sebagai pertimbangan antara lain: 1. gaya kepemimpinan demokratis rendah sehingga tidak dapat meningkatkan kinerja pengurus koperasi. Diharapkan kedepannya pemimpin dapat lebih meningkatkan gaya kepemimpinan demokratis yang baik sehingga dapat meningkatkan kinerja pegurus koperasi Karpindo 2. gaya kepemimpinan demokratis seharusnya dapat memberikan pengaruh yang baik bagi kinerja pengurus koperasi, karena pada dasarnya gaya kepemimpinan demokratis merupakan gaya kepemiminan yang sangat positif bagi bawahan. 3. untuk peneliti selanjutnya, diharapkan untuk menambah variabel lain yang dapat dijadikan indikator dalam penelitian lanjutan. Hal ini karena masih adanya variabel yang belum ditemukan peneliti yang masih memiliki hubungan yang berkaitan dengan gaya kepemimpinan demokratis dan kinerja pengurus. 4. untuk peneliti selanjutnya, disarankan untuk menambah jumlah responden dengan sampel yang besar minimal 30 respoden dan cukup representative (mewakili).
Daftar Pustaka Alfahrisy, Salim.( 2012). Definisi Angket (online) http://mediainformasill .blogspot. com/2012/04/pengertian-definisi angket.html [19 September 2013 Ammelia, Ima. (2013). Survey Kepuasan Pelanggan Program Study Magister Manajemen Universitas Sriwijaya. Palembang: Universitas Sriwijaya Bungin, Burhan. 2005. Edisi 2. Metodologi Penelitian Kuantitatif. Jakarta : Kencana. Burhani, Rusian. (2012). Kepemimpinan Indonesia di APEC Harus di Manfaatkan Secara Optimal(online)http://www.Antaranews.com/berita/333273/kepemimpinan- indonesia di-apec-harus-dimanfaatkan-optimal[15 September 2013] Cahyati, Titin Nur. (2013.) Pengaruh Kinerja Pegawai Terhadap Kepuasan Pelayanan Pada Kantor Kecamatan Sumobito Kabupaten Jombang. Jombang: STKIP PGRI Jombang. Davina.( 2012). Krisis Kepemimpinan di Indonesia (online) http://www. Davina news.com/2012/06/krisis-kepemimpinan-di-indonesia.html[18 September 2013] Deva. (2008). Kepemimpinan. (online) http:// emperordeva. wordpress. com/ about/makalahtentang-kepemimpinan/ [24 September 2013] Elqorni, Ahmad Kurnia.( 2012). Kinerja Organisasi (online) http:// reconia 4training.wordpress.com/2012/08/23/kinerja-organisasi/ [23 Agustus 2013] Futriana, Merlita. 2013. Metodologi Penelitian (online) http:// merlita futriana0. blogspot.com/p/wawancara.html [19 September 2013] Handoko, T. Hani. (2003). Edisi ke 2. Manajemen. Yogyakarta:BPFE Ilahisa, Maya. (2010). Pengaruh Gaya Kepemimpinan Demokratis Terhadap Produktivitas Kinerja Karyawan Bagian Produksi Di UD. Logam Jaya Ds. Tambar Kec. Jogoroto Kab. Jombang. Jombang: STKIP PGRI Jombang. Mangkunegara, A.A. Anwar Prabu. (2005). Penilaian Kinerja Karyawan. Bandung: Remaja Rosdakarya. Misbah, Daqoiqul. (2013). Tipe atau Macam Kepemimpinan (online) http:// daqoiqul.blogspot.com/2012/05/tipe-atau-macam-kepemimpinan.html [21 Agustus 2013] Mondy, R. Wayne. (2008). Edisi ke 10 jilid 1. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Erlangga. Munawaroh. 2012. Panduan Memahami Metodologi Penelitian. Malang: Intimedia. Pratiwi, Riska.( 2012). Pegaruh Budaya Organisasi Terhadap kinerja Pegawai pada Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Makasar. Skripsi UNIP. Makasar. Priyatno, Duwi. (2008). Mandiri Belajar SPSS. Yogyakarta: Mediakom
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
283
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Sedarmayanti. (2007). Manajemen Sumber Daya Manusia Reformasi Birokrasi dan Manajemen Pegawai Negeri Sipil. Bandung: Refika Aditama. Siagian, Sondang P.( 2010). Teori dan Praktek Kepemimpinan. Jakarta: Rineka Cipta. Sugi. (2012). Pengertian Populasi dan Sampel Dalam Penelitian (online) http:// sugithewae.wordpress.com/2012/11/13/pengertian-populasi-dansampel-dalam-penelitian Sugiyono. (2011). Cetakan ke 18. Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta. Sugiyono. (2011). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. Suharsimi, Arikunto. (2010). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta Thoha, Miftah.( 2010). Edisi 1. Kepemimpinan Dalam Manajemen. Jakarta : Rajawali Pers. Tommy. (2008). Pengaruh Faktor Budaya Organisasi, Gaya Kepemimpinan, dan Kualitas Sumber Daya Manusia Terhadap Kinerja Dinas Pendidikan dan Pengajaran Provinsi Papua (online) http:// www.skripsi-tesis.com/07/02/pengaruh-faktor-budaya-organisasigaya-kepemimpinandankualitas-sumber-daya-manusia-terhadap-kinerja-dinaspendidikan-dan-pengajaran-provinsi-papua-pdf-doc.htm [25 Agustus 2013] Undang –Undang No. 17 Tahun 2012 tentang Koperasi. Veithzal Rivai, Ahmad Fawzi Moh. Basri. (2005). Performance Appraisal. Jakarta: Rajawali. Wadi, Edi Susilo. (2013). Pengertian Metode Observasi Defini Menurut Para Ahli Dalam Penelitian (online) http://shilomediaart- toili. blogspot. Com 2013/05/ pengertianmetode-observasi-definisi.html [18 November 2013] Yulk, Gary. (2001). Edisi ke 5. Kepemimpinan Dalam Organisasi. New York: Indeks.
284
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Penduduk, Pendidikan dan Pengangguran Terhadap Kemiskinan Di Kota Surabaya Norida Canda Sakti 23 ([emailprotected]) Abstract As the second largest city in Indonesia, Surabaya not escape from poverty. Many factors affect poverty in Surabaya, including economic growth, unemployment, population growth rate and others. Residents an important factor to consider because, according to the Malthusian theory that population growth is very rapid and the process will be the source of the causes of poverty. In addition, the unemployment rate and educational progress of an area also influence the rise and fall of the poverty level. In accordance with the identification of problems, the proposed objective is to determine the effect of economic growth, population, education and unemployment on poverty in the city of Surabaya. The results of statistical analysis using the program Eviews 4 shows that economic growth, population, education and unemployment together have significant impact on poverty in the city of Surabaya. Economic growth, education and unemployment have a significant impact on poverty in the city of Surabaya in the period 2004-2013. Keywords: Economic Growth, Population, Education, Unemployment, Poverty Abstrak Sebagai kota terbesar kedua di Indonesia, Surabaya tidak luput dari masalah kemiskinan. Banyak faktor yang mempengaruhi kemiskinan di Surabaya, diantaranya pertumbuhan ekonomi, pengangguran, laju pertumbuhan penduduk dan lainnya. Penduduk merupakan faktor penting yang perlu diperhatikan karena menurut teori Malthus bahwa pertumbuhan penduduk yang sangat pesat akan menjadi sumber dan proses penyebab kemiskinan. Selain itu, tingkat pengangguran dan kemajuan pendidikan suatu daerah turut mempengaruhi naik turunnya tingkat kemiskinan. Sesuai dengan identifikasi masalah, maka tujuan yang ingin dicapai adalah untuk mengetahui pengaruh pertumbuhan ekonomi, penduduk, pendidikan dan pengangguran terhadap kemiskinan di Kota Surabaya. Hasil analisis statistik dengan menggunakan program Eviews 4 menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi, penduduk, pendidikan dan pengangguran secara bersama-sama mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kemiskinan di Kota Surabaya. Pertumbuhan ekonomi, pendidikan dan pengangguran mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kemiskinan di Kota Surabaya dalam kurun waktu tahun 2004-2013. Kata Kunci: Pertumbuhan Ekonomi, Penduduk, Pendidikan, Pengangguran, Kemiskinan
Pendahuluan Kemiskinan merupakan masalah yang dihadapi dan menjadi perhatian banyak orang di dunia ini. Kemiskinan dapat menghambat kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan mempunyai keterkaitan yang erat. Terdapat pendapat bahwa pertumbuhan yang cepat berakibat buruk terhadap kaum miskin, karena mereka akan tergilas dan terpinggirkan oleh perubahan struktural pertumbuhan modern. Usaha peningkatan kualitas sumber daya manusia tersebut tidak akan mungkin dapat tercapai bila penduduk masih dibelenggu oleh kemiskinan itu sendiri. Secara ekonomi, kemiskinan dapat diartikan sebagai adanya kekurangan sumber daya yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan sekelompok orang.
23
Universitas Negeri Surabaya
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
285
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Kualitas sumber daya manusia dapat dilihat dari tingkat pendidikannya. Jika dikaitkan dengan kualitas tenaga kerja, semakin tinggi pendidikan seseorang maka akan meningkatkan produktivitas. Peningkatan produktifitas ini akan meningkatkan pendapatan baik pendapatan individu tersebut, maupun pendapatan nasional. Pertumbuhan penduduk yang disertai peningkatan kualitas pendidikan perlu diupayakan dan dikembangkan guna menurunkan tingkat pengangguran. Pemerintah Kota Surabaya dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) menargetkan menurunkan persentase penduduk miskin dari sekitar 15,01% di tahun 2004 menjadi sekitar 13,01% di tahun 2009. Sedangkan dalam RPJMD 2009-2014 pemerintah menargetkan dari 13,01% menjadi 9,01%. Hasil dari upaya penanggulangan kemiskinan di Kota Surabaya memperlihatkan pengaruh yang kurang mencapai dari hasil yang diharapkan. Hal ini terlihat dari tingkat kemiskinan mengalami fluktuasi pada setiap tahun yaitu dalam kurun waktu tahun 2004 sampai 2013. Rendahnya tingkat kehidupan yang sering sebagai alat ukur kemiskinan hanyalah merupakan salah satu mata rantai dari munculnya lingkaran kemiskinan. Banyak tokoh, peneliti, badan resmi pemerintah, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mempunyai pendapat tersendiri dalam memandang masalah kemiskinan ini. Dalam penelitian ini Kota Surabaya merupakan kota metropolitan yang tak luput dari masalah dimensional ini. Surabaya memiliki kepadatan penduduk yang sangat tinggi dibandingkan di daerah lain di Jawa Timur, sehingga dalam kenyataannya masih terbelenggu kemiskinan dilihat dari data Badan Pusat Statistik dan BAPPEKO. Pada tahun 2004 tingkat kemiskinan sebesar 15,23% dan turun menjadi 11,54% di tahun 2005 dimana target penurunan kemiskinan telah tercapai. Pada tahun 2009 target penurunan kemiskinan telah terlampaui, sedikit meningkat menjadi 12,48%. Pada tahun 2010 kemiskinan mencapai 10,57% dan telah melampaui target dan menurun menjadi 11,50%, di tahun 2012 dan kembali meningkat menjadi 12,88% di tahun 2013. Keberhasilan Kota Surabaya dalam menanggulangi kemiskinan belum sepenuhnya berhasil. Ini terlihat dari tingkat kemiskinan yang masih relatif tinggi, yaitu angka diatas hard core atau diatas 10%. Pemerintah bertugas menekan angka kemiskinan agar tidak terus merangkak naik. Kerjasama dengan Dinas-dinas terkait perlu di galakkan seperti Dinas Pendidikan, Dinas Sosial, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan Dinas Kesehatan. Semua dinas tersebut bisa mengikis angka kemiskinan secara signifikan. Pada tahun 2009 terjadi kenaikan jumlah penduduk miskin di Jawa Timur, karena kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang kemudian memacu kenaikan harga-harga barang kebutuhan lainnya. Tahun 2010 jumlah penduduk miskin kembali mengalami penurunan. Kota Surabaya sebagai ibu kota Jawa Timur pun tidak terlepas dari masalah kemiskinan sehingga pemerintah memberikan perhatian lebih terhadap upaya pengentasan kemiskinan. Jumlah pengangguran di Surabaya tiap tahun mengalami peningkatan. BPS menyebutkan tingkat pengangguran di Kota Surabaya tahun 2008 sebesar 7,16 % dan terjadi kenaikan menjadi 9,68 % pada tahun 2010. Tingginya angka pengangguran di Surabaya ini berpengaruh terhadap jumlah kemiskinan.
286
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Kajian Pustaka Kemiskinan. Menurut Suharto (2009:15), kemiskinan berhubungan dengan kekurangan materi, rendahnya penghasilan dan adanya kebutuhan sosial. (1) Kekurangan materi, yaitu kemiskinan menggambarkan adanya kelangkaan materi atau barang-barang yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari, seperti makanan, pakaian dan perumahan. Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi kesulitan yang dihadapi orang dalam memperoleh barang-barang yang bersifat kebutuhan dasar. (2) Kekurangan penghasilan dan kekayaan yang memadai. Makna “memadai” disini sering dikaitkan dengan standar atau garis kemiskinan (proverty line) yang berbeda-beda dari satu negara ke negara lainnya, bahkan dari satu komunitas ke komunitas lainnya dalam satu negara. Contohnya, Bank Dunia menetapkan seorang dianggap miskin jika pendapatannya kurang dari $2 perhari. Sedangkan BPS berdasarkan asupan kalori (2100 kal). (3) Keterkucilan sosial (social exclution), yaitu ketergantungan dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan pelayanan sosial dan rendahnya aksebilitas lembaga-lembaga pelayanan sosial seperti lembaga pendidikan, kesehatan dan informasi. Penduduk miskin menurut BPS (2012:124) adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan. Sedang, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Sudarwati,2009:28) mendefinisi kemiskinan “sebagai kondisi dimana seseorang atau kelompok orang, laki-laki atau perempuan, tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat”. Indikator kemiskinan (BPS, 2012:125) berdasarkan pendekatan kebutuhan dasar, ada 3 indikator yaitu: Head Count Index, Indeks kedalaman kemiskinan, dan Indeks keparahan kemiskinan. Adapun Head Count Index (HCI-P0), merupakan persentase penduduk miskin yang berada dibawah garis kemiskinan.
Pertumbuhan Ekonomi. Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu proses kenaikan output nasional suatu periode tertentu terhadap periode sebelumnya. Faktor – faktor penting yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi adalah tanah dan kekayaan alam lainnya, jumlah dan mutu dari penduduk dan tenaga kerja, barang – barang modal dan tingkat teknologi, sistem sosial dan sikap masyarakat, dan luas pasar sebagai sumber pertumbuhan. Adapun tanah dan kekayaan alam lainnya menyebabkan pertumbuhan ekonomi semakin cepat terjadi apabila negara tersebut mampu mengelola kekayaan alam yang dimilikinya. Pertumbuhan ekonomi hendaknya menyebar di setiap golongan pendapatan, termasuk di golongan penduduk miskin (growth with equity). Secara langsung, hal ini berarti pertumbuhan itu perlu dipastikan terjadi di sektor-sektor dimana penduduk miskin bekerja (pertanian atau sektor yang padat karya). Sedangkan secara tidak langsung, hal ini berarti diperlukan pemerintah yang cukup efektif mendistribusi manfaat pertumbuhan yang boleh jadi didapatkan dari sektor modern seperti jasa dan manufaktur yang padat modal.
Penduduk. Penduduk adalah semua orang yang berdomisili di wilayah geografis RI selama 6 bulan atau lebih dan atau mereka yang berdomisili kurang dari 6 bulan tetapi bertujuan menetap. Jumlah penduduk suatu daerah atau negara pada setiap saat selalu berubah. Perubahan ini karena adanya kelahiran, kematian, migrasi dan emigrasi. Gambaran mengenai perubahan
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
287
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
jumlah penduduk pada umumnya dilukiskan dalam sebuah tabel yang berisi besar pertambahan jumlah dan prosentase pertambahan jumlah penduduk. Pertumbuhan penduduk yang tinggi akan menyebabkan cepatnya pertumbuhan tenaga kerja, sedangkan kemampuan NSB dalam menciptakan kesempatan kerja baru sangat terbatas. Dengan bertambahnya jumlah penduduk, maka jumlah usia produktif pun juga bertambah. Apabila tidak diikuti dengan bertambahnya lapangan pekerjaan dan sumber daya manusia yang memadai, maka dapat dipastikan jumlah pengangguran akan bertambah dan pendapatan menurun.
Pendidikan. Berdasarkan undang-undang nomor 20 tahun 2003, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Pendidikan merupakan salah satu bentuk modal manusia (human capital) yang menunjukkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Pendekatan modal manusia berfokus pada kemampuan tidak langsung untuk meningkatkan utilitas dengan meningkatkan pendapatan. Angka melek huruf memberikan gambaran tentang kemajuan pendidikan suatu bangsa, serta adanya pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan. Semakin besar angka melek huruf orang dewasa, berarti semakin banyak penduduk yang mampu dan mengerti baca tulis yang akan berpengaruh terhadap penerimaan informasi dan ilmu pengetahuan yang lebih banyak. Pendidikan memainkan peran kunci dalam membentuk kemampuan sebuah negara berkembang untuk menyerap teknologi modern dan untuk mengembangkan kapasitas agar tercipta pertumbuhan serta pembangunan yang berkelanjutan (Todaro, 2000). Semakin tinggi pendidikan seseorang maka akan meningkatkan produktivitas. Peningkatan produktifitas ini akan meningkatkan pendapatan baik pendapatan individu tersebut, maupun pendapatan nasional. Peningkatan pendapatan individu akan meningkatkan kemampuan konsumsi mereka, sehingga dapat mengangkat kehidupan mereka dari kemiskinan. Oleh karena itu, investasi pendidikan akan berpengaruh positif terhadap pengentasan kemiskinan sebagaimana yang telah dibuktikan pada penelitian Hermanto Siregar dan Dwi Wahyuniarti (2008).
Pengangguran. Menurut Sadono Sukirno (2008;13) menjelaskan “pengangguran adalah suatu keadaan dimana seseorang tergolong dalam angkatan kerja ingin mendapatkan pekerjaan tapi belum dapat memperolehnya”. Pengangguran bisa diartikan sebagai angkatan kerja yang sedang mencari pekerjaan yang sesuai dengan keterampilan dan pendidikan yang mereka miliki. Sehingga dengan keterbatasan pendidikan dan keterampilan yang dimiliki menjadikan angkatan kerja tersebut sulit untuk mendapatkan pekerjaan. Masyarakat dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan pendapatan yang mereka peroleh dari bekerja. Jika mereka tergolong pengangguran baik pengangguran penuh maupun setengah menganggur maka mereka akan kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya karena pendapatan yang mereka peroleh tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari bahkan untuk mereka yang tergolong pengangguran penuh tidak akan mendapat pendapatan sama sekali
288
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
sehingga memungkinkan adanya tabungan negatif (hutang) untuk dapat bertahan hidup. Dengan kata lain pengangguran dapat meningkatkan kemiskinan di suatu daerah.
Hasil penelitian yang relevan. Penelitian Rizky dan Majidi (2009) hasilnya adalah (1) Besarnya Produk Domestik Bruto (PDB) mempengaruhi angka pertumbuhan ekonomi, (2) Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2005 sampai 2009 mengalami kenaikan, (3) Secara keseluruhan pendapatan perkapita penduduk di kota Surakarta pada tahun 2005 sampai 2009 mengalami kenaikan, dan (4) Terdapat hubungan yang negatif antara pertumbuhan ekonomi dan garis kemiskinan, Sedangkan penelitian yang dilakukan Desmiwati (2005) hasil penelitian menyebutkan (1) Terdapat hubungan yang positif antara jumlah penduduk miskin terhadap kemiskinan, (2) Terdapat hubungan yang negatif antara PDB terhadap kemiskinan, (3) Angka melek huruf di Indonesia mengalami kenaikan secara signifikan, dan (4) Angka melek huruf berpengaruh negatif terhadap kemiskinan. Penelitian lain yang dilakukan oleh Siregar dan Wahyuniarti (2008) hasil dari penelitian tersebut menyebutkan bahwa (1) pertumbuhan ekonomi berpengaruh signifikan terhadap penurunan jumlah penduduk miskin walaupun dengan magnitude yang relatif kecil seperti inflasi, populasi penduduk, share sektor pertanian dan industri, dan pendidikan. (2) Sektor pendididikan berpengaruh relative besar dan signifikan terhadap penurunan jumlah penduduk miskin. Penelitian juga dilakukan oleh Butar-Butar (2008), hasil penelitiannya adalah (1) Metode yang digunakan adalah analisis statistik regresi berganda, (2) Tingkat pendidikan dari keluarga, jenis pekerjaan dan kepemilikan sumber daya ekonomi secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan di pedesaan. Dengan demikian tingkat kemiskinan akan mengalami perubahan apabila jumlah penduduk berubah dari titik keseimbangannya. Angka melek huruf, pertumbuhan ekonomi dan pengangguran pun turut mempengaruhi naik turunnya tingkat kemiskinan dimana variabel lainnya ceteris paribus.
Metode Penelitian Dalam penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan eksplanasi asosiatif. Pendekatan eksplanasi adalah menjelaskan data yang ada dan menginterprestasikannya, kemudian digunakan analisis regresi berganda. Populasi dalam penelitian ini adalah pertumbuhan ekonomi, penduduk, pendidikan dan pengangguran di kota Surabaya. Sedangkan teknik pengambilan sampel yakni sampling purposive. Sampel yang diambil adalah pertumbuhan ekonomi, penduduk, pendidikan dan pengangguran di kota Surabaya selama periode tahun 2004-2013. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah Pertumbuhan Ekonomi (X1), Penduduk (X2), Pendidikan (X3) dan Pengangguran (X4) di kota Surabaya. Sedangkan variabel terikatnya adalah jumlah kemiskinan di Kota Surabaya yang dinyatakan dengan Y. Teknik analisis kuantitatif digunakan untuk mengetahui pengaruh tingkat pertumbuhan ekonomi, laju pertumbuhan penduduk, tingkat pendidikan (angka melek huruf), tingkat pengangguran terbuka dan persentase penduduk miskin di kota Surabaya
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
289
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
pada tahun 2004-2013 menggunakan uji statistik Analisis regresi berganda dan uji asumsi klasik. Hasil Penelitian Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi di Kota Surabaya. Laju pertumbuhan ekonomi suatu daerah mempunyai peranan yang sangat penting karena dapat menjadi ukuran keberhasilan dalam pembangunan dari berbagai sektor ekonomi. Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi suatu negara berarti semakin makmur negara tersebut sebab kebutuhan masyarakatnya bisa lebih banyak terpenuhi. Pertumbuhan ekonomi dapat diukur dengan menggunakan angka PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) atas harga konstan. PDRB didefinisikan sebagai jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu wilayah atau merupakan jumlah seluruh nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi di suatu wilayah. Perkembangan pertumbuhan ekonomi ini mengalami fluktuasi diakibatkan oleh sectorsektor usaha ekonomi sehingga perkembangan pertumbuhan ekonomi rata-rata setiap tahun ini mengalami kenaikan dan penurunan. Pada tahun 2004 pertumbuhan ekonomi sebesar 3,21%, sedangkan pada tahun 2005 mengalami peningkatan dibanding tahun lalu yaitu menjadi sebesar 4,26%, dalam tahun ini rata-rata sektor dalam PDRB mengalami kenaikan. Pada tahun 2006 pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan menjadi sebesar 3,80% karena penurunan peranan sektor pertanian dan investasi. Pada tahun 2007 pertumbuhan ekonomi mengalami peningkatan dibanding tahun lalu yaitu menjadi sebesar 4,22%. Kenaikan ini disebabkan oleh perkembangan sektor perdagangan, hotel, restoran dan kenaikan jumlah investasi yang cukup tinggi dari tahun sebelumnya. Pada tahun 2008 pertumbuhan ekonomi mengalami peningkatan menjadi 5,66%. Pada tahun 2009 pertumbuhan ekonomi mengalami peningkatan menjadi sebesar 6,33% dibanding tahun lalu. Keduanya disebabkan oleh peningkatan sektor yang serupa pada tahun sebelumnya. Pada tahun 2010 pertumbuhan ekonomi mengalami sedikit peningkatan menjadi sebesar 6,35%. Pada tahun 2011 pertumbuhan ekonomi juga mengalami sedikit peningkatan dibanding tahun sebelumnya menjadi 6,38%.
Perkembangan Penduduk di Kota Surabaya. Peningkatan jumlah penduduk di perkotaan terus meningkat setiap tahunnya Surabaya sebagai kota terbesar kedua setelah Jakarta saat ini telah mengalami permasalahan tersebut. Terlihat dengan semakin meningkatnya jumlah lahan yang tersedia dialihfungsikan sebagai tempat perumahan bagi warga kota Surabaya. Peningkatan jumlah penduduk setiap tahunnya ini pada umumnya dikarenakan oleh beberapa faktor diantaranya adalah urbanisasi, fertilisasi (kelahiran) semakin meningkat dan mortalitas (kematian) yang cenderung menurun. Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Jawa Timur selama periode 2004-2013, laju Pertumbuhan Penduduk di Kota Surabaya setiap tahun mengalami peningkatan. Pada tahun 2004 Laju Pertumbuhan Penduduk Kota Surabaya sebesar 1,62% dan pada tahun 2005 Laju Pertumbuhan Penduduk Kota Surabaya mengalami kenaikan sebesar 0,13% dari tahun sebelumnya sehingga menjadi 1,75%. Kenaikan ini disebabkan peningkatan jumlah angka kelahiran. Tahun 2006 Laju Pertumbuhan Penduduk Kota Surabaya mengalami penurunan yang cukup signifkan sebesar 0,23% dari tahun sebelumnya sehingga menjadi sebesar 1,52%, hal ini dipengaruhi oleh program pemerintah kota yaitu penggalakan program Keluarga Berencana
290
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
(KB). Pada tahun 2007 Laju Pertumbuhan Penduduk Kota Surabaya mengalami penurunan sebesar 0,04% sehingga menjadi 1,48%, hal ini disebabkan peningkatan intensifitas kerjasama program pemerintah dengan Dinas Kesehatan. Tahun 2008 Laju Pertumbuhan Penduduk Kota Surabaya turun sebesar 0,11% dari tahun sebelumnya sehingga menjadi sebesar 1,37%. Penurunan angka ini disebabkan adanya penurunan angka kelahiran bayi (fertilitas). Pada tahun 2009 Laju Pertumbuhan Penduduk di Kota Surabaya mengalami kenaikan yaitu sebesar 0,08% dari tahun sebelumnya sehingga menjadi sebesar 1,45%. Kenaikan ini disebabkan peningkatan jumlah urbanisasi. Tahun 2010 Laju Pertumbuhan Penduduk Kota Surabaya mengalami kenaikan sebesar 0,14% dari tahun sebelumnya sehingga menjadi 1,59% hal ini disebabkan adanya peningkatan angka mortalitas. Tahun 2011 dan 2012 kondisi pertumbuhan penduduk Kota Surabaya naik turun yaitu sebesar 1,63% dan 1,56%. Kenaikan ini dipengaruhi oleh adanya fluktuasi angka kelahiran. Kemudian tahun 2013 Laju Pertumbuhan Penduduk Kota Surabaya mengalami penurunan sebesar menjadi 1,66% dan peningkatan sebesar 0,10% dari tahun sebelumnya, hal ini disebabkan oleh adanya peningkatan urbanisasi.
Perkembangan Pendidikan di Kota Surabaya. Pendidikan adalah salah satu indikator yang dapat digunakan utuk melihat perkembangan kota, termasuk tingkat kecerdasan masyarakat. Di Surabaya, pengembangan kegiatan pendidikan beserta penyediaan fasilitasnya, tidak hanya dilakukan oleh pemerintah, namun juga oleh pihak swasta dan organisasi sosial kemasyarakatan. Angka Melek Huruf (AMH) adalah persentase penduduk usia 10 tahun keatas yang bisa membaca dan menulis serta mengerti sebuah kalimat sederhana dalam hidupnya sehari-hari. Tahun 2004 angka melek huruf Kota Surabaya sebesar 95,51% dan pada tahun 2005 mengalami kenaikan sebesar 0,37% dari tahun sebelumnya sehingga menjadi 95,88% . Tahun 2006 angka melek huruf Kota Surabaya mengalami peningkatan sebesar 0,36% dari tahun sebelumnya sehingga menjadi 96,24%, hal ini disebabkan oleh kerjasama Dinas Pendidikan Kota dan Lembaga Pendidikan di Surabaya dalam program pengentasan angka buta huruf. Tahun 2007 angka melek huruf Kota Surabaya mengalami kenaikan 1,16% dari tahun sebelumnya sehingga menjadi 97,40% kenaikan ini salah satunya disebabkan oleh perkembangan dunia pendidikan. Tahun 2008 angka melek huruf Kota Surabaya mengalami peningkatan yakni sebesar 1,56% dari tahun sebelumnya sehingga menjadi 98,96%. Hal ini disebabkan oleh adanya investasi pendidikan dari Pemerintah Kota Surabaya. Pada tahun 2009 angka melek huruf Kota Surabaya juga mengalami kenaikan sebesar 0,30% dari tahun sebelumnya sehingga menjadi 99,26% pada tahun ini banyak program pendidikan digalakkan seperti lomba antar sekolah se-Surabaya. Tahun 2010 angka melek huruf Kota Surabaya mengalami sedikit penurunan sebesar 1,02% dari tahun sebelumnya sehingga menjadi 98,24%, dan pada tahun 2011 angka melek hurufnya naik menjadi 99,26%. Tahun 2012 angka melek huruf Kota Surabaya mengalami kenaikan yaitu sebesar 1,6% dari tahun sebelumnya sehingga menjadi sebesar 99,84% dan pada tahun 2013 pertumbuhan ekonomi Kota Surabaya mengalami penurunan sebesar 0,19% dari tahun sebelumnya sehingga menjadi 99,65%.
Perkembangan Pengangguran di Kota Surabaya. Pengangguran merupakan suatu masalah yang sangat sulit ditangani yang dapat memberikan efek buruk bagi suatu masyarakat dan negara. Secara umum pengangguran dapat didefinisikan sebagai suatu kondisi dimana sesorang atau individu yang sudah tergolong sebagai
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
291
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
angkatan kerja yang belum mendapat pekerjaan meskipun sudah mencari kerja. Apabila tingkat pengangguran tinggi maka pendapatan nasional negara menjadi menurun dan apabila sesorang menganggur maka mereka tidak bisa mencapai kemakmuran. Oleh karenan itu diharapakan setiap kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah harusnya bisa membawa dampak terhadap penyerapan tenaga kerja. Pada tahun 2004 tingkat pengangguran Kota Surabaya sebesar 6,1% dan pada tahun 2005 tingkat pengangguran Kota Surabaya menglami kenaikan sebesar 1,3% dari tahun sebelumnya sehingga menjadi 6,18%. Kenaikan ini disebabkan peningkatan tingkat partisipasi angkatan kerja yang tidak disertai kenaikan tingkat kesempatan kerja. Tahun 2006 tingkat pengangguran Kota Surabaya mengalami kenaikan sebesar 15% dari tahun sebelumnya sehingga menjadi sebesar 7,11%, hal ini dipengaruhi oleh menurunnya tingkat kesempatan kerja dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pada tahun 2007 tingkat pengangguran Kota Surabaya mengalami penurunan sebesar 4,4% sehingga menjadi 6,88%, hal ini disebabkan oleh peningkatan jumlah kesempatan kerja. Tahun 2008 tingkat pengangguran Kota Surabaya mengalami kenaikan sebesar 5,3% dari tahun sebelumnya sehingga menjadi sebesar 7,16%. Kanaikan ini disebabkan adanya peningkatn tingkat partisipasi angkatan keja. Kemudian pada tahun 2009 pengangguran di Kota Surabaya mengalami kenaikan yang cukup tinggi yaitu sebesar 77% dari tahun sebelumnya sehingga menjadi sebesar 12,07%. Kenaikan ini disebabkan penurunan tingkat kesempatan yang yang cukup banyak sedangkan tingkat partisipasi angkatan kerja menglami kenaikan yang cukup tinggi. Tahun 2010 tingkat pengagguran Kota Surabaya mengalami penurunan sebesar 23% dari tahun sebelumnya sehingga menjadi 9,68% hal ini disebabkan adanya peningkatan kesempatan kerja. Tahun 2011 dan 2012 kondisi tingkat pengangguran Kota Surabaya cukup tinggi yaitu sebesar 11,59 dan 11,84 kenaikan ini dipengaruhi oleh adanya kenaikan partisipasi angkatan kerja. Kemudian tahun 2013 tingkat pengangguran Kota Surabaya mengalami penurunan sebesar menjadi 8,63% dari tahun sebelumnya, hal ini disebabkan oleh adanya peningkatan jumlah kesempatan kerja.
Perkembangan Kemiskinan Di Kota Surabaya. Kemiskinan merupakan masalah yang dihadapi kota Surabaya dan kota lainnya. Indikator untuk mengetahui kemiskinan di daerah dapat menggunakan jumlah penduduk miskin dibawah garis kemiskinan maupun persentase penduduk miskin di bawah garis kemiskinan yang disebut dengan tingkat kemiskinan. Persentase jumlah penduduk miskin di kota Surabaya mengalami fluktuatif mulai dari tahun 2004-2013. Hal-hal yang melatarbelakangi naik turunnya angka penduduk miskin, diantaranya yaitu naiknya jumlah pengangguran dan berkembangnya sistem pendidikan yang digalakkan oleh pemerintah Kota Surabaya. Tahun 2004 kemiskinan Kota Surabaya sebesar 15,23% dan pada tahun 2005 mengalami penurunan sebesar 3,69% dari tahun sebelumnya sehingga menjadi 11,54%. Ini merupakan dampak dari kenaikan tingkat pertumbuhan ekonomi Kota Surabaya. Tahun 2006 kemiskinan Kota Surabaya mengalami peningkatan sebesar 5,02% dari tahun sebelumnya sehingga menjadi 16,56%, hal ini disebabkan oleh peningkatan jumlah pengangguran. Tahun 2007 kemiskinan Kota Surabaya mengalami penurunan 0,39% dari tahun sebelumnya sehingga menjadi 16,17%. Tahun 2008 kemiskinan Kota Surabaya mengalami penurunan yakni sebesar 4,25% dari tahun sebelumnya sehingga menjadi 11,92%. Hal ini 292
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
disebabkan oleh kenaikan pertumbuhan ekonomi terutamam pada sektor restoran, hotel dan perdagangan. Pada tahun 2009 kemiskinan Kota Surabaya mengalami kenaikan sebesar 0,56% dari tahun sebelumnya sehingga menjadi 12,48% karena peningkatan jumlah angka pengangguran. Tahun 2010 kemiskinan Kota Surabaya mengalami penurunan yang berarti sebesar 1,91% dari tahun sebelumnya sehingga menjadi 10,57%. Hal ini merupakan dampak dari penurunan angka pengangguran. Pemerintah pun ikut menunjang turunnya angka tersebut dengan penggalakan Job Fair. Pada tahun 2011 kemiskinan naik menjadi 11,40% akibat kenaikan tingkat pengangguran, begitu pula pada tahun selanjutnya. Tahun 2012 kemiskinan Kota Surabaya mengalami kenaikan yaitu sebesar 0,10% dari tahun sebelumnya sehingga menjadi sebesar 11,50%. Meskipun tingkat pengangguran mengalami penurunan namun pertumbuhan ekonomi pun melemah maka pada tahun 2013 kemiskinan Kota Surabaya mengalami kenaikan kembali sebesar 1,38% dari tahun sebelumnya sehingga menjadi 12,88%.
Hasil Analisis Uji Asumsi Klasik. Dari hasil uji normalitas diketahui nilai probabilitas sebesar 0,542766. Jika digunakan tingkat kepercayaan 95% (α 5%), maka nilai α = 0,05 < probabilitas (0,542766) atau probabilitas sebesar 0,542766 > α 0,05 artinya data berdistribusi normal. Untuk mendeteksi gejala adanya multikolinieritas pada penelitian ini digunakan matriks korelasi (correlation matrix) untuk mengetahui korelasi antar variabel independen dalam suatu persamaan. Dari hasil eviews 4 menunjukkan bahwa koefisien korelasi antara X1 dengan X2 adalah sebesar -0.190954, koefisien korelasi antara X1 dengan X3 sebesar 0.697846, koefisien korelasi antara X1 dengan X4 sebesar 0.647546, koefisien korelasi antara X2 dengan X3 sebesar 0.300533, koefisien korelasi antara X2 dengan X4 sebesar -0.136812, koefisien korelasi antara X3 dengan X4 sebesar 0.574524. Karena tidak ada koefisien korelasi antara variabel bebas yang lebih besar dari 0,8 maka dapat dikatakan pada penelitian ini tidak terdapat adanya gejala multikolinieritas. Untuk menguji ada tidak variasi eror yang berpola (heteroskedastisitas) pada penelitian ini digunakan metode Whiteheteroscesdaticity tes yang telah disediakan dalam program eviews. “Jika probabilitas obs*R-squared > 5% menujukkan tidak ada heteroskesdastisitas dan sebaliknya”. (Yuliadi, 2009:44). Dari hasil uji heteroskedastisitas diketahui nilai probabilitas Obs*R-squared sebesar 0.305259. Jika digunakan tingkat kepercayaan 95% (α 5%), maka nilai α = 0,05 < probabilitas (0.305259) atau probabilitas Obs*R-squared sebesar 0.305259 > 0,05 berarti tidak terdapat heterokedastisitas. Berdasarkan hasil uji autokorelasi diketahui bahwa nilai Durbin-Watson sebesar 2.015020. Berdasarkan Tabel Kaidah Durbin Watson maka d terletak pada range dU < d < 4 dU (1.7209 < 2.015020 < 2.2791). Dengan demikian dapat disimpulkan tidak ada autokorelasi karena besarnya Durbin-Watson sebesar 2,0. Uji linieritas atau uji stabilitas pada penelitian ini dapat diketahui dari nilai probabilitas dengan uji RESET tes melalui program eviews. “Jika nilai probabilitasnya > 5% menunjukan bahwa data tersebut memenuhi asumsi linieritas dan sebaliknya” .(Yuliadi, 2009:64)
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
293
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Dari hasil uji linieritas diketahui nilai probabilitas F statistik sebesar 0,214103. Karena nilai probabilitas F statistik sebesar 0,214103 > 0,05 berarti model pada penelitian ini memenuhi asumsi linieritas.
Analisis Regresi. Berdasarkan analisis regresi ganda (multiple regression)maka diperoleh hasil penelitian sebagai berikut : Y = -31.18112773 – 3.109676264*X1 – 6.345333589*X2 – 0.679209604*X3 + 0.41974495*X4 + ei Tanda koefisien regresi tersebut mengandung makna sebagai berikut: a = -31.18112773 b1 = -3.109676264, artinya jika variabel pertumbuhan ekonomi (X1) mengalami kenaikan sebesar 1%, maka variabel persentase penduduk miskin di Kota Surabaya (Y) mengalami penurunan sebesar 3,10%. b2 = -6.345333589, artinya jika variabel laju pertumbuhan penduduk (X2) mengalami kenaikan sebesar 1%, maka variabel persentase penduduk miskin (Y) mengalami peningkatan sebesar 6,34%. b3= -0,679209604, artinya jika variabel pendidikan (X3) mengalami kenaikan sebesar 1%, maka variabel persentase penduduk miskin akan menurun sebesar 0,67%. b4 = 0,41974495 artinya jika variabel tingkat pengangguran terbuka (X4) mengalami kenaikan sebesar 1%, maka variable persentase penduduk miskin mengalami kenaikan sebesar 0,41%.
Pembahasan Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi berpengaruh positif dan signifikan terhadap kemiskinan di Kota Surabaya. Pertumbuhan ekonomi mempunyai nilai signifikansi sebesar 0,0086 < α (0,05), maka Ho ditolak dan Ha diterima. Penelitian menunjukkan bahwa pengaruh antara pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan yaitu negatif atau berbanding terbalik dan signifikan. Hal tersebut sesuai dengan yang diungkapkan oleh Siregar (2008) bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi berpengaruh signifikan terhadap penurunan jumlah penduduk miskin. Adapun syarat kecukupannya ialah bahwa pertumbuhan ekonomi efektif dalam mengurangi kemiskinan. Syarat utama bagi terciptanya penurunan kemiskinan adalah pertumbuhan ekonomi juga sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Desmiwati (2005) bahwa pertumbuhan ekonomi memang sesuatu yang dibutuhkan dalam mengurangi kemiskinan dengan syarat bahwa pertumbuhan tersebut diiringi dengan pemerataan pendapatan. Pertumbuhan ekonomi Kota Surabaya bergerak fluktuatif setiap tahunnya dengan didominasi oleh tiga sektor yaitu perdagangan, hotel dan restoran; industri pengolahan; angkutan dan komunikasi. Berdasarkan fenomena di atas, dapat dipahami bahwa di Surabaya mengalami kenaikan pertumbuhan ekonomi dapat mengurangi kemiskinan. Hal ini terjadi karena sektor pertumbuhan ekonomi yang memberikan kontribusi terbesar yaitu ketiga sektor diatas banyak menyerap tenaga kerja sehingga pendapatan yang diterima oleh masyarakat miskin dapat mengangkat mereka pada posisi kemakmuran. Penelitian ini juga sama dengan hasil penelitian Moch. Alim dalam jurnal ekonomi nasional yang berjudul “Analisis Faktor Penentu kemiskinan Di Indonesia”. Dari penelitiannya tersebut menyimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi mempunyai pengaruh signifikan terhadap kemiskinan
294
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan ini sesuai dengan teori penentang Malthus yaitu Simon dalam bukunya “The Economic of Population Growth” yang berpendapat bahwa pengaruh pertumbuhan penduduk adalah negatif terhadap kemiskinan. Ini berdasarkan bahwa pertumbuhan penduduk akan menstimulasi pembangunan ekonomi. Ide dasarnya adalah dengan penduduk yang banyak akan berakibat pada produktivitas yang tinggi yang pada akhirnya akan mengurangi kemiskinan. Hasil uji t diperoleh kesimpulan bahwa pendidikan mempunyai pengaruh signifikan terhadap kemiskinan di Kota Surabaya. Hasil dari penelitian ini samam dengan hasil studi yang dilakukan oleh Dinar Butar-Butar (2008) tentang “Analisis Sosial Ekonomi Rumah Tangga Kaitannya dengan Kemiskinan di Perdesaan (Studi Kasus di Kabupaten Tapanuli Tengah)”. Hasilnya menunjukkan bahwa tingkat pendidikan berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan. Hasil dari analisis data menjelaskan bahwa nilai t untuk variabel pengangguran, nilai probabilitasnya sebesar 0,0148 dengan tingkat signifikansi 5% (0,05) sehingga Ho ditolak dan Ha diterima. Hal ini membuktikan bahwa pengangguran sangat berpengaruh terhadap kemiskinan. Dari hasil pengolahan data dengan Eviews 4 diperoleh hasil uji F terlihat bahwa nilai signifikansinya adalah sebesar 0,014 < α (0,05), maka Ho ditolak dan H1 diterima. Dengan demikian dapat disimpulkan pengaruh pertumbuhan ekonomi, penduduk, pendidikan dan pengangguran terhadap kemiskinan di Kota Surabaya adalah signifikan.
Simpulan Perkembangan pertumbuhan ekonomi Kota Surabaya selama tahun 2004-2013 rata-rata setiap tahunnya mengalami fluktuatif. Berdasarkan analisis deskriptif pertumbuhan ekonomi sektor yang mempunyai kontribusi terbesar adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran. Perkembangan penduduk di Kota Surabaya selama tahun 2004-2013 mengalami naik turun (fluktuatif) disebabkan oleh kenaikan angka kelahiran, kurang berjalannya program KB, dan tingginya urbanisasi. Perkembangan pendidikan di Kota mengalami peningkatan dan tergolong baik. Perkembangan tingkat pengangguran Kota Surabaya selama tahun 2004-2013 masih tergolong cukup tinggi. Berdasarkan analisis deskriptif tingkat pengangguran di Kota Surabaya dipengaruhi oleh jumlah tingkat partisipasi angkatan kerja dan jumlah kesempatan kerja yang tidak seimbang. Tingkat kemiskinan paling rendah terjadi pada tahun 2010 sebesar 10,57% dengan jumlah penduduk miskin sebanyak 282.492 jiwa. Terdapat pengaruh yang signifikan secara bersamasama antara Pertumbuhan Ekonomi, Penduduk, Pendidikan dan Pengangguran secara besamasama terhadap Kemiskinan di Kota Surabaya. Pendidikan dan pengangguran mempunyai pengaruh yang cukup sedang terhadap kemiskinan sedangkan pertumbuhan ekonomi dan penduduk mempunyai pengaruh cukup besar.
Daftar Pustaka Arikunto, Suharsimi. 2012. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Yogyakarta: Rineka Cipta, Arsyad, Lincolin. 2010. Ekonomi Pembangunan, Yogyakarta: STIM YKPN. Badan Pusat Statistik, 2012. Statistik Indonesia, Jakarta: Badan Pusat Statistik Indonesia.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
295
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Desmiwati. 2009. Pertumbuhan Ekonomi dan Pengentasan Kemiskinan di Indonesia ( http://wongdesmiwati.files.wordpress.com, diakses 12 Desember 2010) Harminto Siregar dan Dwi Wahyuniarti, 2008, Dampak Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Penurunan Jumlah Penduduk Miskin, Available http://deptan.go.id. PDRB Kota Surabaya. 2012. Surabaya: BPS Rizky, Awalil dan Majidi, Nasyith. 2009. Misteri Penurunan Angka Kemiskinan. (http://www.scribd.com/doc/21255142/Misteri-Penurunan-Angka-Kemiskinan, diakses 12 Desember 2010) Sadono Sukirno, Sadono. 2010, Ekonomi Pembangunan, Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Bandung: Alfabeta Suharto, Edi. 2009. Kemiskinan dan Perlindungan Sosial di Indonesia. Bandung: Alfabeta. Sumodiningrat, Gunawan, 2007. Ekonometrika Pengantar. Yogyakarta: BPFE Yogyakarta Suparmoko. 2007. Ekonomi Pembangunan. Yogyakarta: CV Andi Offset T.H. Tambunan, Tulus. 2009, Perekonomian Indonesia: Teori dan Temuan Empiris, Jakarta: Ghalia Indonesia Todaro, Michael P, 2000, Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, Erlangga, Jakarta.
296
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Inflasi Di Indonesia: Pendekatan Error Correction Model (ECM) Lina Susilowati 24 ([emailprotected]) Abstract This research is aimed at analysis some factors that affect inflation rate in Indonesia during period 1970– 2012. Using stationary test, cointegration test and error correction model analysis this research will investigate the relationship between independent variable and dependent variable in both short run and long run. Exchange Rate and Money growth variable have significant influence on inflation rate in the long run and short run. Interest rate variable not significant influence on inflation rate in the short run. Keywords: Inflation rate, exchange rate, interest rate, money growth, cointegration, ECM Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat inflasi di Indonesia selama periode 1970-2012. Dengan menggunakan uji stasioneritas, uji kointegrasi dan analisis error correction model, penelitian ini akan menganalisis pengaruh antara variabel bebas terhadap variabel terikat dalam jangka pendek dan jangka panjang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel nilai tukar dan pertumbuhan jumlah uang beredar secara signifikan berpengaruh terhadap tingkat inflasi baik dalam janggka panjang maupun jangka pendek. Variabel suku bunga tidak signifikan berpengaruh terhadap tingkat inflasi dalam jangka pendek. Kata Kunci: tingkat inflasi, exchange rate, interest rate, jumlah uang beredar, kointegrasi, ECM
Pendahuluan Inflasi merupakan salah satu indikator penting dalam menganalisis perekonomian suatu Negara, terutama berkaitan dengan dampaknya yang luas terhadap variabel makroekonomi agregat, pertumbuhan ekonomi, keseimbangan eksternal, daya saing, tingkat bunga dan bahkan distribusi pendapatan. Inflasi juga sangat berperan dalam mempengaruhi mobilisasi dana lewat lembaga keuangan formal. Tingkat harga merupakan Opportunity cost bagi masyarakat dalam memegang (holding) asset financial. Artinya masyarakat akan merasa beruntung jika memegang asset dalam bentuk riil dibandingkan asset financial luar negeri dimasukkan sebagai salah satu pilihan asset, maka perbedaan tingkat inflasi dalam negeri dan internasional dapat menyebabkan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing menjadi overvalued dan pada gilirannya akan menghilangkan daya saing komoditas Indonesia, (Endri, 2008). Sebelum terjadinya krisis keuangan Asia yang melanda perekonomian Indonesia pada tahun 1998, Bank Indonesia sebagai institusi yang bertanggung jawab terhadap kestabilan tingkat inflasi telah secara dini memformulasikan dan mengimplementasikan kebijakan moneter yang mempertahankan stabilitas nilai tukar . Namun dalam kenyataannya pencapaian tujuan mempertahankan stabiltas nilai tukar lebih mendominasi sasaran kebijakan moneter, sebaliknya pencapaian pertumbuhan besaran moneter dan inflasi menjadi sering terabaikan. Terlebih lagi dengan meningkatnya arus modal masuk pada awal 1990-an, sasaran target berupa money base menjadi kurang dapat dikendalikan. Seiring dengan meningkatnya tekanan terhadap rupiah,
24
Dosen Pendidikan Ekonomi, STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
297
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
maka pada bulan Agustus 1997 Bank Indonesia melepaskan rentang intervensi dan mengambangkan nilai tukar rupiah. Bertumpu pada UU No. 23 Tahun 1999, Bank Indonesia memfokuskan kebijakannya pada pencapaian kestabilan nilai rupiah, dengan menempatkan “inflasi” sebagai landasan dalam kebijakan moneternya. Inflation targeting (IT) secara implisit telah diterapkan di Indonesia sejak Bank Indonesia mengumumkan target inflasi secara transparan kepada public di awal tahun 2000. Penerapan IT di Indonesia didasarkan pada beberapa pertimbangan (Alamsyah, et al., 2001). Pertama, dengan telah ditinggalkannya system nilai tukar sebagai nominal anchor, diperlukan adanya anchor alternatif yang kredibel. Kedua, penerapan inflation targetting merupakan konsekuensi dari independensi Bank Indonesia dalam menjalankan kebijakan moneter yang difokuskan pada pengendalian inflasi. Mulai juli 2005 Bank Indonesia telah mengimplementasikan kerangka kerja kebijakan moneter yang baru konsisten dengan Inflation Targetting Framework, yang mencakup empat elemen mendasar yaitu penggunaan suku bunga BI rate sebagai sasaran operasional, proses perumusan kebijakan moneter yang antisipatif, stategi komunikasi yang lebih transparan dan penguatan koordinasi kebijakan dengan pemerintah. Langkah-langkah dimaksud ditujukan untuk meningkatkan efektivitas dan tata kelola (governance) kebijakan moneter dalam mencapai sasaran akhir kestabilan harga untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat. Studi ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi di Indonesia yang terdiri dari variabel-variabel domestik, maupun variabel eksternal. Variabelvariabel domestik terdiri dari variabel suku bunga (interest rate), pertumbuhan jumlah uang beredar (M2), sementara variabel eksternal adalah nilai tukar (exchange rate)
Landasan Teori Exchange Rate. Di Iindonesia, ada tiga sistem yang digunakan dalam kebijakan nilai tukar rupiah sejak tahun 1971 hingga sekarang. Antara tahun 1971 hingga 1978 menganut sistem nilai tukar tetap (fixed exchange rate) dimana nilai rupiah secara langsung dikaitkan dengan dollar Amerika Serikat (USD). Sejak 15 november 1978 sistem nilai tukar berubah menjadi mengambang terkendali (managed floating exchange rate) dimana nilai rupiah tidak lagi semata-mata dikaitkan dengan USD, maksud dari nilai tukat tersebut adalah bahwa meskipun diarahkan ke sistem nilai tukar mengambang namun tetap menitikberatkan unsur pengendalian. Kemudian terjadi perubahan mendasar dalam kebijakan mengambang terkendali terjadi pada tanggal 14 agustus 1997, dimana jika sebelumnya Bank Indonesia menggunakan band sebagai guidance atas pergerakan nilai tukar maka sejak maka sejak saat itu tidak ada lagi band sebagai acuan nilai tukar. Namun demikian cukup sulit menjawab apakah nilai tukar rupiah sepenuhnya di lepas ke pasar (free floating) atau masih akan dilakukan intervensi oleh Bank Indonesia. Dengan mengamati segala dampak dari sistem free floating serta dikaitkan dengan kondisi/struktur perekonomian Indonesia selama ini nampaknya purely free floating sulit untuk dilakukan. Kemungkinan adalah Bank Indonesia akan tetap mempertahankan managed floating dengan melakukan intervensi secara berkala, selektif dengan melemahnya nilai tukar mata uang Indonesia menandakan lemahnya kondisi untuk melakukan transaksi luar negeri baik itu untuk ekspor-impor maupun hutang luar negeri. Terdepresiasinya mata uang Indonesia menjadi
298
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
menyebabkan perekonomian Indonesia menjadi goyah dan dilanda krisis ekonomi dan krisis kepercayaan terhadap mata uang domestik.
Interest Rate. Pandangan umum yang berlaku saat ini, suku bunga memiliki hubungan negatif dengan inflasi, menaikkan suku bunga berarti menurunkan inflasi. Ketika suku bunga dinaikkan, maka orang akan tertarik untuk menyimpan uang di bank, sehingga akan mengurangi jumlah uang beredar, akibatnya saat itu inflasi turun. Tetapi konsekuensi dari penerapan suku bunga ialah adanya besaran tertentu yang nilainya sudah ditentukan di awal. Nilai itu harus dibayar bank kepada nasabah pada saat bunga tersebut jatuh tempo. Dalam buku pengantar ilmu ekonomi selalu disebutkan ketika pemerintah mencetak uang terlalu banyak, maka yang terjadi adalah inflasi. Tapi seringkali kita lupa, bank juga dapat ‘mencetak’ uang dengan cara menyalurkan kredit dan mengenakan bunga atasnya, money creation by the bank, dan itupun dapat menyebabkan inflasi. Inflasi akan merugikan orang yang berpenghasilan tetap, yakni naiknya nominal harga tidak diikuti naiknya nominal pendapatan kita. Tetapi akan menguntungkan mereka yang memiliki deposito dalam jumlah besar di bank konvensional (Mankiw, 2006). Efek Fisher mampu menjelaskan dengan baik fluktuasi dalam tingkat bunga nominal. Bila inflasi tinggi, tingkat bunga nominal biasanya tinggi, dan ketika inflasi rendah, tingkat bunga nominal biasanya juga rendah. Dukungan serupa untuk efek Fisher datang dari hasil penelitian variasi di berbagai negara pada satu waktu, tingkat inflasi suatu negara dan tingkat bunga nominalnya sangat berkaitan. Negara-negara dengan inflasi yang tinggi cenderung memiliki tingkat bunga nominal yang tinggi dan negara-negara dengan inflasi rendah cenderung memiliki tingkat bunga nominal yang rendah (Mankiw, 2006).
M2 (Jumlah Uang Beredar). Nilai uang ditentukan oleh supply dan demand terhadap uang. Jumlah uang beredar ditentukan oleh bank sentral (selaku otoritas moneter) sedangkan permintaan akan uang, ditentukan oleh; antara lain harga rata – rata dalam perekonomian. Jumlah uang yang diminta oleh masyarakat untuk melakukan transaksi akan tergantung dari tingkat harga barang dan jasa yang tersedia. Semakin mahal tingkat harga barang dan jasa yang ada di masyarakat maka akan semakin tinggi pula jumlah uang yang akan diminta oleh masyarakat. Value of Price Money, 1/p Level, P (High)
1
1
¼
133
½A Equilbrium Value of money
A
((Low)
2 Equilbrium Price level
4
¼ 0
Money demand
(Low)
(High) Quantity fixed By the Fed
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
299
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Grafik di atas, menggambarkan hubungan antara supply dan demand terhadap uang. Sumbu horisontal menggambarkan jumlah uang beredar, sumbu vertikal kiri menggambarkan nilai uang, 1/P, dan sumbu vertikal kanan menggambarkan tingkat harga, P. Sumbu – sumbu vertikal menggambarkan bahwa pada saat nilai uang tinggi maka tingkat harga akan rendah, dan sebaliknya, pada tingkat harga yang tinggi, maka nilai uang akan rendah. Kedua kurva menggambarkan supply dan demand terhadap uang. Kurva supply berbentuk vertikal karena jumlah uang beredar ditentukan sepenuhnya oleh bank sentral. Kurva demand memiliki slope negatif, mengindikasikan bahwa pada saat nilai uang rendah, dan tingkat harga tinggi, maka permintaan akan uang akan tinggi. Pada titik equlibrium A, jumlah uang yang diedarkan akan sama dengan jumlah uang yang diminta. Equilibrium antara supply dan demand akan menentukan terhadap uang menentukan nilai uang dan tingkat harga barang dan jasa. Apabila bank sentral mengambil kebijakan, misalkan saja dengan mencetak lebih banyak uang, maka supply dan demand terhadap uang akan berubah. Perubahan tersebut seperti berikut: Value of Money, 1/p (High) 1 2……decreases The value of Money……..
MS1
Price Level, P (Low)
MS2
1
1 An increase In the money supply
A
¼ ½
133 2
B ( Low )
Money clemend
¼
3….and increases the price level
4 (High)
0 M1
M2
Quantity of money
Bertambahnya jumlah uang beredar akan menggeser kurva MS1 ke MS2,sehingga titik equilibrium akan bergeser dari titik A ke titik B. sebagai akibatnya, nilai uang akan turun dari ½ ke ¼ dan tingkat harga equilibrium akan naik dari 2 ke 4. Dengan kata lain, meningkatnya jumlah uang beredar akan mendorong kenaikan harga yang pada akhirnya akan menurunkan nilai uang. Lebih jelasnya, dapat digambarkan di sini, bahwa penambahan uang beredar merupakan dampak langsung dari kebijakan yang dilakukan oleh otorita moneter tersebut. Sebelum bank sentral melakukan penambahan jumlah uang beredar, perekonomian digambarkan berada di titik equilibrium A, saat jumlah uang beredar meningkat, pada tingkat harga yang sama seperti sebelumnya, masyarakat memegang lebih banyak uang tunai daripada yang mereka inginkan. Naiknya jumlah uang ini akan meningkatkan permintaan terhadap barang dan jasa. Apabila perekonomian tidak bisa memenuhi tambahan permintaan barang dan jasa tersebut, maka akan terjadi peningkatan harga terhadap barang dan jasa secara umum. Peningkatan harga barang dan jasa, akan meningkatkan peningkatan permintaan terhadap uang oleh masyarakat. Pada akhirnya, perekonomian akan kembali pada titik keseimbangan baru yaitu titik B. Penjelasan yang menggambarkan bagaimana tingkat harga ditentukan dan berubah seiring dengan perubahan jumlah uang beredar disebut teori kuantitas uang (quantity theory of money).
300
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Berdasarkan teori ini, jumlah uang yang beredar dalam suatu perekonomian menentukan nilai uang, sementara pertumbuhan jumlah uang beredar merupakan sebab utama terjadinya inflasi. Secara umum, teori kuantitas uang menggambarkan pengaruh jumlah uang beredar terhadap perekonomian, dikaitkan dengan variabel harga dan output. Hubungan antara jumlah uang beredar, output, dan harga dapat ditulis dalam persamaan matematis sebagai berikut: MxV=PxY Dimana: P = tingkat harga (GDP deflator) Y = jumlah output (real GDP) M = jumlah uang beredar, PxY = nominal GDP, dan V = velocity of money (perputaran uang). Velocity of money (perputaran uang) mengukur tingkat dimana uang bersirkulasi dalam perekonomian. Atau dapat dikatakan mengukur kecepatan perpindahan uang dari satu orang ke orang lainnya. Velocity of money dapat dihitung melalui pembagian antara GDP nominal dengan jumlah uang beredar. Secara matematis, dapat ditulis sebagai berikut: V=(PxY)/M Persamaan di atas dapat dianggap sebagai suatu definisi yang menunjukkan perputaran V sebagai rasio GDP nominal, PY, terhadap kuantitas uang M. Persamaan tersebut merupakan suatu identitas. Jika satu atau lebih variabel itu berubah, maka satu atau lebih variabel lainnya juga harus berubah untuk menjaga kesamaan. Misalnya, jika jumlah uang beredar meningkat, maka akibatnya dapat dilihat dari ketiga variabel lainnya: harga harus naik, kuantitas output harus naik, atau kecepatan perputaran uang harus turun. Secara teoretis, hubungan antara tingkat inflasi dan tingkat harga ekuilibrium yang digambarkan dalam quantity theory of money dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Velocity of money relatif stabil dalam jangka panjang. b. Karena velocity relatif stabil, saat Bank Sentral mengubah jumlah uang beredar (M), terjadi perubahan proporsional dalam nilai output nominal (PY). c. Besarnya output barang dan jasa (Y) ditentukan oleh supply faktor produksi dan teknologi produksi. Secara khusus, karena uang adalah netral, uang tidak memengaruhi besaran output. d. Dengan output (Y) ditentukan oleh supply faktor dan teknologi, saat Bank Sentral mengubah jumlah uang beredar (M) dan menyebabkan perubahan proporsional terhadap nilai output nominal (PY), perubahan tersebut akan tercermin dalam tingkat harga (P). Jadi, teori ini menunjukkan bahwa tingkat e. harga adalah proporsional terhadap jumlah uang beredar. f. Karena tingkat inflasi ditunjukkan oleh perubahan persentase dalam tingkat harga, maka meningkatnya jumlah uang beredar akan menyebabkan inflasi. Persamaan kuantitas dapat ditulis dalam bentuk perubahan persentase, sebagai berikut: Perubahan persen M + Perubahan persen V = Perubahan persen P + Perubahan persen Y Persamaan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. (1), perubahan persentase dalam kuantitas uang M berada di bawah pengawasan Bank Sentral (2) perubahan persentase dalam perputaran uang V mencerminkan pergeseran dalam permintaan uang; diasumsikan bahwa perputaran adalah konstan sehingga perubahan persentase dalam perputaran V adalah nol (3) perubahan persentase dalam tingkat harga P adalah tingkat inflasi (4) perubahan persentase Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
301
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
dalam output Y bergantung pada pertumbuhan faktor – faktor produksi dan kemajuan teknologi yang dapat dianggap sebagai baku (given). Analisis ini menyatakan bahwa pertumbuhan jumlah uang beredar menentukan tingkat inflasi.
Review Penelitian Sebelumnya. Beberapa penelitian terdahulu yang menganalis Inflasi di Indonesia dengan menggunakan data-data pada periode sebelum krisis pada umumnya menemukan bahwa pergerakan nilai tukar merupakan suatu determinan yang signifikan terhadap inflasi. Studi yang dilakukan oleh Ahmed dan Kapur (1990) menganalisis efek inflasi dari kebijakan moneter dengan menggunakan metode estimasi OLS. Mereka menemukan bahwa inflasi di Indonesia hanyalah merupakan bagian dari suatu fenomena moneter. Variabel-variabel structural seperti harga impor dan harga beras berpengaruh terhadap inflasi domestik. Kesimpulan yang mereka kemukakan adalah bahwa dengan pertumbuhan uang yang rendah akan dapat mengurangi inflasi, disisi lain transmisi dari inflasi internasional akan mempunyai pengaruh yang besar dan dengan waktu yang segera. Penggunaan teknik kointegrasi untuk menjelaskan pengaruh dari kebijakan pengendalian nilai tukar secara ketat terhadap inflasi dilakukan Siregar (1996). Hipotesis yang dikemukakan adalah bahwa kebijakan devaluasi untuk menstimulasi ekspor akan mempunyai konsekuensi terhadap inflasi, dia juga menunjukkan bahwa perubahan nilai tukar rupiah mempunyai efek terhadap inflasi. Penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi di Indonesia juga dilakukan McLeod (1997), yang mengusulkan base money targetting sebagai pilihan terbaik Bank Indonesia dalam mengendalikan inflasi. Alasannya bahwa kebijakan otorites moneter akan direspon oleh inflasi dalam jangka menengah sampai jangka panjang melalui pengaruh terhadap supply base money. Kesimpulan lainnya adalah bahwa kebijakan yang ditempuh Bank Indonesia sebelum terjadinya krisis keuangan 1997 yang berkaitan dengan menargetkan besaran moneter dalam arti luas seperti M1 dan M2 serta kredit adalah salah sasaran, terutama dalam masa pertengahan liberalisasi sektor keuangan pada akhir 1980 dan cenderung untuk membiarkan masalah inflasi. Selanjutnya, penelitian mengenai inflasi di Indonesia dengan model yang memasukkan variabel sector moneter, sektor tenaga kerja, dan sektor luar negeri dilakukan oleh Ramakrishnan dan Vavakidis (2002). Dengan menggunakan data kuartalan periode 1980-2000, pemakaian teknik kointegrasi tidak dapat menghasilkan determinan-determinan inflasi yang signifikan. Kesimpulan dari penelitian adalah bahwa nilai tukar dan inflasi luar negeri merupakan kontributor utama terhadap inflasi di Indonesia dengan kekuatan prediksi yang benar, sedangkan pertumbuhan money base meskipun secara statistik signifikan namun hanya berpengaruh kecil terhadap inflasi. Sementara itu, Endri ABFI Institutes PERBANAS Jakarta, penelitiannya mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi Inflasi di Indonesia, dengan menggunakan metode Error Correction Model (ECM) temuan penting yang diperoleh adalah selama periode nilai tukar mengambang, dalam jangka panjang instrumen kebijakan moneter (SBI Rate), out put gap dan nilai tukar mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap inflasi Indonesia. Dalam jangka pendek, kecepatan penyesuaian nilai tukar cukup besar dan signifikan untuk kembali ke keseimbangan jangka panjangnya. Dengan menggunakan impulse response dan variance decomposition juga menunjukkan bahwa suku bunga SBI, nilai tukar dan out put gap mempunyai kontribusi yang cukup signifikan dalam mempengaruhi inflasi di Indonesia. 302
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Metode Penelitian Data dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan data tahunan dari periode 1970 sampai 2012, variabelvariabel domestik yang dimasukkan dalam model terdiri dari variabel suku bunga, pertumbuhan M2 (jumlah uang beredar), sedangkan variabel eksternal menggunakan nilai tukar. Data yang digunakan adalah dari Asian Development Bank (ADB), Badan Pusat Statistik.
Spesifikasi Model Spesifikasi model dasar untuk menggambarkan pengaruh Exchange rate, Interest rate dan Jumlah Uang Beredar terhadap Inflasi secara empiris diformulasikan dalam fungsi sistematis sebagai berikut : INF = f ( ER, IR, M2) Sehingga dalam persamaan regresi berganda (OLS) dapat diformulasikan sebagai berikut : Y = 0 + 1 X1 + 2 X2 + 3 X3 + μt Dimana, Y = Inflasi 0, 1, 2, 3 = parameter X1= interest rate X2= exchange rate X3= jumlah uang beredar(M2)
Teknik Analisa Data. Pada umumnya data ekonomi time series seringkali tidak stasioner pada level series, jika hal ini terjadi maka kondisi stasioner dapat terjadi dengan menggunakan diferensiasi satu kali atau lebih apabila data telah stasioner pada level series maka data tersebut dikatakan integrated of order zero atau I(0). Apabila data stasioner pada first difference maka data tersebut adalah integrated of order one atau I(1). Teknik analisis dengan regresi linier biasa (OLS) hanya dapat dipakai jika semua datanya stasioner, baik variabel dependent maupun independent. Namun jika ada data yang tidak stasioner dan apabila estimasi dengan menggunakan teknik OLS dipaksakan, maka dapat terjadi regresi yang palsu (spurious regression).
Uji Unit Root. Sebelum melakukan analisa regresi dengan mengunakan data time series, perlu dilakukan uji stasioneritas terhadap seluruh variabel-variabel baik dependent variable maupun independent variable. Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan pengujian unit root yang bertujuan untuk mengetahui apakah data tersebut mengandung unit root, sehingga data tersebut dikatakan data yang tidak stasioner. Penentuan order integrasi dilakukan dengan uji unit root untuk mengetahui sampai berapa kali diferensiasi harus dilakukan agar series menjadi stasioner, terdapat beberapa metode pengujian unit root, dua diantaranya yang saat ini secara luas dipergunakan adalah (augmented) Dickey Fuller dan Philips-Perron unit root test. Ilustrasi uji unit root dengan menggunakan uji Dickey-Fuller adalah dengan mengikuti proses autokorelasi orde pertama AR(1) sebagai berikut. Yt = a0 + a1Yt-1+ μ...................................(1) Dimana a0 dan a1 adalah parameter dan μ diasumsikan white noise. Yt adalah suatu series yang stasioner jika -1 r tabel.
Uji Reliabilitas Pengujian reliabilitas dalam penelitian ini menggunakan rumus Alpha Cronbach (Arikunto, 2006:196). Reliabilitas menunjuk pada satu pengertian bahwa suatu instrumen cukup dapat dipercaya untuk digunakan sebagai alat pengumpul data karena instrumen tersebut sudah baik. Sedangkan menurut Danang Sunyoto (2011:67), reliabilitas adalah alat untuk mengukur suatu kuesioner yang merupakan indikator dari variabel atau konstruk. Berikut adalah rumus yang digunakan untuk mencari tingkat reliabilitas instrumen:
(Sumber: Suharsimi Arikunto, 2006:196) Keterangan: r : Reliabilitas instrumen k : Banyaknya butir pertanyaan atau banyaknya butir soal
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
457
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Ʃσb2 : Jumlah varians butir σ 12 : Varians total Dalam penelitian ini, uji reliabilitas digunakan untuk mengukur tingkat reliabilitas angket atau kuesioner. Uji reliabilitas dapat dihitung dengan menggunakan rumus Cronbach’s Alpha yang terdapat dalam program SPSS for Windows Versi 17.0.
Analisis Angket Motivasi Belajar Uji Validitas Untuk mengetahui valid atau tidaknya instrumen angket motivasi belajar dalam penelitian ini menggunakan korelasi Pearson Moment. Masrun (1979) dalam sugiyono (2013: 188-189) mengatakan bahwa “Item yang mempunyai korelasi positip dengan kriterium (skor total) serta korelasi yang tinggi, menunjukkan bahwa item tersebut mempunyai validitas yang tinggi pula. Biasanya syarat minimum untuk dianggap memenuhi syarat adalah kalau r = 0,3. Jadi korelasi antara butir dengan skor total kurang dari 0,3 maka butir dalam instrument tersebut dinyatakan tidak valid.” Angka hasil perhitungan rxy kemudian dikonsultasikan dengan tabel korelasi Product Moment pada taraf signifikansi 5%. Butir soal dikatakan valid jika r hitung > r table.
Uji Reliablitas Untuk menguji reliabilitas angket motivasi belajar digunakan rumus Alpha Cronbach dengan rumus: 2 k si ri 1 k 1 st2
Dimana: ri = reliabilitas instrumen k = mean kuadrat antara subyek
S
= mean kuadrat kesalahan
S t2
= varians total
2 i
Rumus untuk varians total dan varians item: 2 t
s
X n
2 t
X t
n
2
2
si2
JKi JKs 2 n n
Dimana: JKi = jumlah kuadrat seluruh skor item JKs = jumlah kuadrat subyek
Uji Prasyarat Uji Normalitas Uji normalitas digunakan untuk menguji data dari variabel independen (X) dan data variabel dependen (Y) pada persamaan regresi yang dihasilkan, apakah berdistribusi normal atau berdistribusi tidak normal dengan menggunakan metode Kolmogorov-Smirnov Z. Metode pengambilan keputusan untuk uji normalitas Kolmogorov-Smirnov Z yaitu jika signifikansi (Asymp.sig) > 0,05 maka data berdistribusi normal dan jika signifikansi (Asymp.sig) < 0,05maka data tidak berdistribusi normal. (Duwi Priyatno, 2010:58)
458
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Uji Homogenitas Uji homogenitas digunakan untuk mengetahui apakah variansi data dari kelompokkelompok yang homogeny dengan menggunakan rumus Barlet dengan langkah-langkah sebagai berikut: a) Menghitung variansi gabungan dari seluruh sel.
ni 1Si S ni 1 2
2
b) Menghitung harga satuan B: B=(log S2 ) ∑(n1-1) c) Memasukkan rumus Chi kuadrat X2=1n 10(B-∑(n1-1)) dimana 1n 10 =2,3026 d) Menarik kesimpulan yaitu dengan membandingkan hasil perhitungan dengan tabel pada taraf signifikansi 5%.
Uji Hipotesis Setelah dilakukan uji asumsi,maka selanjutnya dilakukan pengujian Anova dua jalur. Uji ini digunakan untuk membandingkan dua kelompok data independen atau lebih sebagai variabel pertama dan dua kelompok data non independent atau lebih sebagai variabel kedua (mixed design), Santosa, (2012:82), apakah terdapat interaksi antara dua variabel atau lebih tersebut, uji Anova dengan menggunakan program SPSS for Window Versi 16.0. (1) Hipotesis 1 untuk mengetahui perbedaan hasil belajar siswa yang diajar dengan metode simulasi dan metode drill, diuji dengan T-test sample Independent, (2) Hipotesis 2 untuk mengetahui perbedaan hasil belajar siswa yang memiliki motivasi tinggi dan motivasi rendah, diuji dengan T-test Sample Independent, dan (3) Hipotesis 3 untuk mengetahui interaksi metode Simulasi, Metode drill serta motivasi belajar terhadap hasil blejar siswa diuji dengan Anova dua jalur.
Hasil Penelitian Hasil Analisis Data Uji validitas Uji coba kuesioner variabel motivasi belajar dilakukan pada 20 orang responden dari kelas XI SMK Negeri I Magetan. Dari data scoring setelah dilakukan uji indeks diskriminasi item kuesioner motivasi belajar dengan komputasi Software SPSS 16.0 for windows untuk 21 item pertanyaan, 21 item dinyatakan valid. Sedangkan Uji coba kuesioner variabel hasil belajar dilakukan pada 20 orang responden dari kelas XI SMK Negeri I Magetan. Dari data scoring setelah dilakukan uji indeks diskriminasi item kuesioner hasil belajar dengan komputasi Software SPSS 16.0 for windows untuk 30 item, 30 item dinyatakan valid.
Uji Reliabilitas Penghitungan reliabilitas kuesioner variabel motivasi belajar dilakukan pada 21 item yang valid, dengan nilai reliabilitas Alpha Cornbach 0.774, yang berarti lebih besar (≥) dari r kritis 0.700. Sedangkan Reliabilitas variabel hasil belajar dilakukan pada 30 item yang valid, dengan nilai reliabilitas Alpha Cornbach 0.760, yang berarti lebih besar (≥) dari r kritis 0.700
Uji Normalitas Setelah dilakukan uji Kolmogrov-Smirnov melalui komputasi Software SPSS Version 16.0 for Windows didapat nilai Kolmogrov-Smirnov K-S Z Motivasi Belajar 0.402 dan Phitung 0.545
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
459
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
lebih besar dari Pkritis 0.05 maka dianggap normal, nilai K-S Z Hasil Belajar 0.480 dan Phitung 0.467 lebih besar dari Pkritis 0.05 maka dianggap normal.
Uji Homogenitas Uji homogenitas digunakan untuk mengetahui apakah variansi data dari kelompokkelompok yang homogen. Data dikatakan homogen apabila hasil perhitungan dengan tabel pada taraf signifikansi 5%. Tabel Uji Homogenitas Test of Homogeneity of Variances XRAT Levene Statistic
df1
.443
df2 2
Sig. 36
.646
Uji Hipotesis Tabel .... Uji Anova Dua Jalur Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:YRAT Source
Type III Sum of Squares
df Mean Square
F
Sig.
Corrected Model
3.424a
3
1.141
21.954
.000
Intercept
3.202
1
3.202
61.591
.000
Simulasi
1.241
1
1.241
23.865
.000
Drill
.518
1
.518
9.966
.003
simulasi * drill
.002
1
.002
.038
.047
Error
1.820 35
.052
Total
14.500 39
Corrected Total
5.244 38
a. R Squared = ,653 (Adjusted R Squared = ,623) Berdasarkan pengujian Anova dua jalur diatas maka dapat diketahui bahwa: 1) Nilai signifikansi metode pembelajaran sebesar 0,00 ≤ 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan hasil belajar antara penggunaan metode pembelajaran Simulasi dengan Metode Pembelajaran Drill. 2) Nilai Signifikansi motivasi belajar sebesar 0,003 ≤ 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan hasil belajar antara motivasi belajar kurang dengan motivasi belajar tinggi. 3) Nilai signifikansi metode pembelajaran dengan motivasi belajar sebesar 0,047 ≤ 0,05, hal ini menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara hasil belajar dengan metode pembelajaran Simulasi dan Metode Pembelajaran Drill. Nilai R = 0,653, hal ini menunjukkan bahwa penelitian ini memiliki korelasi kuat Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimanakah pengaruh metode pembelajaran simulasi dan drill serta motivasi belajar terhadap hasil belajar siswa pada kompetensi keahlian
460
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
akuntansi di SMK Negeri I Magetan dan SMK PSM 2 Kawedanan Magetan tahun pelajaran 2013-2013.
Perbedaan Hasil Belajar pada siswa antara yang menggunakan metode Simulasi dan Drill di kompetensi Keahlian Akuntansi Berdasarkan hasil uji Anova dua jalur diketahui bahwa Nilai signifikansi metode pembelajaran sebesar 0,00 ≤ 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan hasil belajar antara penggunaan metode pembelajaran Simulasi dengan Metode Pembelajaran Drill. Dari distribusi frekuensi dari 39 responden yang mendapatkan metode belajar Drill, setengahnya memiliki hasil belajar tuntas, yaitu 22 responden (56,4%). Sedangkan dari 39 responden yang mendapatkan metode pembelajaran simulasi, setengahnya memiliki hasil belajar tidak tuntas, yaitu 23 responden (59,0%). Hasil belajar siswa yang mendapatkan metode pembelajaran drill terbukti lebih baik, karena metode drill mengajarkan siswa untuk melaksanakan kegiatan latihan agar siswa memiliki ketangkasan atau ketrampilan yang lebih tinggi daripada hal-hal yang telah dipelajari. Dengan metode Drill ketegasan dan ketrampilan siswa meningkat atau lebih tinggi daripada halhal yang telah dipelajari dan seorang siswa benar-benar memahami apa yang disampaikan, sehingga hasil belajar mereka pun dapat meningkat.
Perbedaan hasil belajar antara siswa yang memiliki motivasi belajar tinggi dan motivasi belajar rendah di Kompetensi Keahlian Akuntansi Nilai Signifikansi motivasi belajar sebesar 0,003. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan hasil belajar antara siswa yang memiliki motivasi belajar tinggi dan motivasi belajar rendah di Kompetensi Keahlian Akuntansi karena nilai signifikansi lebih besar dari 0,05. Dari hasil distribusi frekuensi diketahui bahwa dari 39 responden yang mendapatkan metode pembelajaran simulasi, setengahnya memiliki motivasi rendah, yaitu 23 responden (59,0%), sedangkan dari 39 responden yang mendapatkan metode pembelajaran Drill, sebagian besar memiliki motivasi tinggi, yaitu 33 responden (84,6%). Peran motivasi menentukan ketekunan dalam pembelajaran, siswa akan belajar seoptimal mungkin untuk belajar dengan tekun. Dengan harapan mendapat hasil yang baik dan lulus. Motivasi dapat melahirkan prestasi seorang siswa, karena pada dasarnya tinggi rendahnya prestasi seseorang siswa selalu dihubungkan dengan tinggi rendahnya motivasi pembelajar seorang siswa tersebut.
Interaksi antara penggunaan metode Simulasi dan Drill serta motivasi belajar terhadap Hasil Belajar siswa di Kompetensi Keahlian Akuntansi Nilai signifikansi metode pembelajaran dengan motivasi belajar sebesar 0,047 ≤ 0,05, hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan hasil belajar antara metode pembelajaran Simulasi dengan Metode Pembelajaran Drill. Hal ini didukung dengan distribusi karakteristik responden yang diketahui dari 78 responden, sebagian besar memiliki orang tua yang bekerja sebagai petani, yaitu 52 responden (66,7%). Kondisi orang tua siswa yang sebagian besar bekerjas sebagai petani, membuat kondisi ekonomi siswa berada pada kondisi menengah kebawah. Hal ini yang menyebabkan siswa mempunyai semangat untuk belajar dengan giat, dengan tujuan untuk meraih prestasi sehingga dapat merubah kondisi ekonomi yang dialami oleh sebagian besar siswa dalam penelitian ini. Selain itu, metode pembelajaran dengan menggunakan metode drill juga cukup mendukung
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
461
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
kemapuan siswa dalam meningkatkan kompetensi bidang akuntansi sehingga hasil belajar siswa dapat meningkat.
Simpulan Simpulan dari penelitian ini adalah: a. Nilai signifikansi metode pembelajaran sebesar 0,00 ≤ 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan hasil belajar antara penggunaan metode pembelajaran Simulasi dengan Metode Pembelajaran Drill. b. Nilai Signifikansi motivasi belajar sebesar 0,003 ≤ 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan hasil belajar antara motivasi belajar kurang dengan motivasi belajar tinggi. c. Nilai signifikansi metode pembelajaran dengan motivasi belajar sebesar 0,047 ≤ 0,05, hal ini menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara hasil belajar dengan metode pembelajaran Simulasi dan Metode Pembelajaran Drill. Nilai R = 0,653, hal ini menunjukkan bahwa penelitian ini memiliki korelasi kuat
Saran Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka disarankan beberapa hal sebagai berikut: a. Guru Diharapkan dapat menerapkan metode pembelajaran yang tepat dan inovatif sehingga dapat meningkatkan motivasi dan hasil belajar siswa b. Peneliti Karena keterbatasan waktu dalam penelitian ini, diharapkan bagi peneliti lain dapat mengembangkan penelitian ini dengan variabel yang lebih banyak dan jumlah responden yang lebih variatif sehingga dapat menghasilkan sumbangsih bagi ilmu pengetahuan yang lebih akurat
Daftar Pustaka Amri, Sofan. 2013. Pengembangan & Model Pembelajaran dalam kurikulum 2013. Jakarta. Prestasi Pustaka. Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Darmadi Hamid. 2013. Metode Penelitian Pendidikan dan Sosial, Konsep Dasar dan Implementasi. Bandung. Alfabet, cv Djamarah, Syaiful Bahri. 2002. Psikologi Belajar. Jakarta: PT Rineka Cipta. Djamarah, Syaiful Bahri, dan Aswan Zain. 2010. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Rineka Cipta. Fathurrohman Pupuh dan M. Sobry Sutikno. 2007. Strategi Belajar Mengajar. Bandung: PT Refika Aditama. Fathurrohman, Pupuh dan Sutikno, M.Sobry. 2010. Strategi Belajar Mengajar- Strategi Mewujudkan Pembelajaran Bermakna Melalui Penanamaan Konsep Umum & Konsep Islami. Bandung: Refika Aditama. Hamalik, Oemar. 2003. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara. Hamalik,Oemar 2004. Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem. Jakarta: Bumi Aksara. Hamalik, Oemar. 2013. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: PT bumi Aksara. Hamdani. 2011. Strategi Belajar Mengajar. Bandung: Pustaka Setia 462
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Hamzah B Uno. 2007. Model Pembelajaran, Menciptakan Proses Belajar Mengajar yang Kreatif dan Efektif. Jakarta: Sinar Grafika offset. Hidayat, Sholeh. 2013. Pengembangan Kurikulum Baru. Bandung: PT Remaja Rusdakarya. Iskandar. 2012. Psikologi Pendidikan Sebuah Orientasi Baru. Jakarta: Referensi Majid, Abdul. 2013. Strategi Pembelajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya. Mulyatiningsih, Endang. 2013. Metode Penelitian Terapan, Bidang Pendidikan. Bandung: Alva Beta,cv. Munadi Yudhi, 2013. Media Pembelajaran. Jakarta: Referensi (GP Press Group) Noor, Juliansyah. 2011. Metodologi Penelitian. Jakarta: Kencana. Priyatno Duwi . 2010. Teknik Mudah dan Cepat Melakukan Analisis Data Penelitian dengan SPSS dan Tanya Jawab Ujian Pendadaran.Yogyakarta: Gava Media. Purwanto. 2013. Evaluasi Hasil Belajar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Rahayu,Sri. 2002. Modul 6 Keuangan (Akuntansi), Mengelola Kartu Utang. Surakarta: CV Pratama Mitra aksara. Rusman. 2013. Model-Model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme guru. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Sanjaya,Wina. 2007. Strategi Pembelajaran berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Prenada Media Group. Sanjaya, Wina. 2008. Pembelajaran Dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta:Kencana. Sanjaya, Wina. 2013. Penelitian Pendidikan Jenis, Metode dan Prosedur. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Santoso, Gempur. 2012. Metodologi Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Jakarta: Prestasi Pustaka. Setyawan Sigit. 2013. Nyalakan Kelasmu (20 Metode Mengajar dan Aplikasinya). Jakarta: Grasindo Slameto. 2010. Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: PT Rineka Cipta. Smaldino, Sharon E.; Lowther, Deborah L.; dan Russell, James D. 2011. Instructional technology & Media For Learning : Teknologi Pemebelajaran dan Media untuk Belajar. Jakarta: Kencana. Sudjana Nana. 2005. Dasar-dasar proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algensindo. Sugiono. 2013. Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: alfa Beta,cv. Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & B. Bandung: Alfabeta. Sukardi. 2003. Metodologi Penelitian Pendidikan, Kompetensi dan Praktiknya. Jakarta: Bumi Aksara. Syukur Fatah . 2008. Teknologi Pendidikan. Semarang: RaSAIL Media Group. Umi Muawanah dan Fahmi Poernawati. 2008. Konsep Dasar Akuntansi dan Pelaporan Keuangan. Klaten: PT Macanan Jaya Cemerlang. Wina Sanjaya. 2004. Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Yaumi, Muhammad. 2013. Prinsip-prinsip Desain Pembelajaran. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
463
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Penerapan Metode Role Playing Terhadap Hasil Belajar Keterampilan Dasar Smash Normal (Open Smash) Dalam Permainan Bolavoli Pada Peserta Didik Kelas X AK 1 SMK PGRI 1 Jombang Olivia Dwi Cahyani 12 ([emailprotected]) Abstract In the process of learning the use of the method has great significance. Due to the vagueness of the learning activities of students on the material provided can be overcome with the right methods and effective learning. Thus students will be more receptive to the material with the use of effective methods. This study was conducted to determine what role the method of use that apply to the learning umbrella smash volleyball?. The purpose of this study was to determine whether the application of the method of paying role to improve learning outcomes with normal smash material (open smash) in the volleyball game in class X students at SMK PGRI AK1 1 Jombang. This research is quantitative research with experimental research designs. The population was students of class X AK SMK PGRI 1 handsome. Large population of 148 students. Samples taken are class X AK 1 SMK PGRI 1 Jombang as much as 49 learners by means of random sampling. The results of this study are as follows: (1) the effectiveness of learning PE by using role playing (2) the effectiveness of PE learning by observation (observation) ,. (3) learning volleyball smash by using role-playing gives increase of the ratio of the number of .2,81%. Different test results mean for different samples indicates that the calculated value t 24.625. So we can conclude that there is a significant comparison between the results of learning smash volleyball learners before and after the application of the use of role playing. Keywords: Methods Role Playing, Learning Outcomes Basic Skills Smash Normal (Open Smash), and volleyball games Abstrak Dalam proses belajar mengajar penggunaan metode mempunyai arti yang sangat penting. Karena dalam kegiatan pembelajaran tersebut ketidak jelasan peserta didik terhadap materi yang diberikan dapat diatasi dengan metode pembelajaran yang benar dan efektif. Dengan demikian peserta didik akan lebih mudah menerima materi dengan penggunaan metode yang efektif. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui seperti apa penggunaan metode role paying yang diterapkan pada pembelajaran smash bolavoli?. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah dengan penerapan metode role paying dapat meningkatkan hasil belajar dengan materi smash normal (open smash ) dalam permainan bolavoli pada peserta didik kelas X Ak1 di SMK PGRI 1 Jombang. Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan desain penelitian eksperimen. Populasi penelitian ini adalah peserta didik kelas X AK SMK PGRI 1 jombang. Besar populasi 148 peserta didik. Sampel yang diambil adalah kelas X AK 1 SMK PGRI 1 Jombang sebanyak 49 peserta didik dengan cara random sampling. Hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) efektivitas pembelajaran penjaskes dengan menggunakan metode role playing, (2) efektivitas pembelajaran penjaskes berdasarkan hasil pengamatan (observasi),. (3) pembelajaran smash bolavoli dengan menggunakan metode role playing memberikan peningkatan sebesar dari perbandingan jumlah sebesar .2,81%. Hasil uji beda rata-rata untuk sampel berbeda menunjukkan bahwa nilai hitung t hitung 24,625. Maka dapat disimpulkan ada perbandingan yang signifikan antara hasil belajar keterampilan dasar smash normal (open smash) bolavoli peserta didik sebelum dan sesudah penerapan penggunaan metode role playing. Kata Kunci: Metode Role Playing, Hasil Belajar Keterampilan Dasar Smash Normal (Open Smash ), dan Permainan Bolavoli 12
Mahasiswa S2 Pendidikan Olahraga, Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia
464
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Pendahuluan Dalam kegiatan belajar mengajar tidak semua anak didik mampu berkonsentrasi dalam waktu yang relatif lama. Daya serap anak didik terhadap bahan yang diberikan juga bermacam – macam ada yang cepat, ada yang sedang, dan ada juga yang lambat, dengan perbedaan daya serap anak didik sebagaimana tersebut di atas memerlukan strategi pengajaran yang tepat, metodelah salah satu jawabannya (Djamarah 2002: 84). Masalah utama dalam proses pembelajaran pendidikan jasmani di Indonesia saat ini adalah rendahnya efektivitas pengajaran di sekolah. Dalam konteks penciptaan kondisi belajar yang efektif, muncul isu tentang bagaimana pengaturan tugas dalam kegiatan belajar mengajar, berapa kali pengulangan tugas agar proses belajar menjadi efektif, dan rendahnya pemanfaatan waktu melakukan latihan juga merupakan indikator tentang rendahnya efektivitas pengajaran. Hal tersebut berkaitan dengan penggunaan metode atau gaya mengajar dan strategi pembelajaran. Gaya mengajar atau metode merupakan kerangka instruksional tentang bagaimana menyampaikan isi pelajaran kepada peserta didik, karena itu haruslah dirancang sedemikian rupa agar setiap individu memperoleh kesempatan yang sama dan maksimal untuk belajar. Waktu belajar yang tersedia dapat dihabiskan atau dimanfaatkan oleh peserta didik untuk aktif belajar sehingga tidak akan terlihat lagi kegiatan peserta didik yang duduk-duduk saja, mengobrolsaat guru menjelaskan, mengganggu temannya, dan tidak peduli dengan penjelasan yang diberikan guru. Dalam pembelajaran bolavoli di sekolah khususnya untuk tingkat sekolah atas, yang lebih ditekankan adalah bagaimana mempraktikan teknik dasar dari suatu permainan dan olaharaga, khususnya bolavoli yaitu teknik passing, service, dan smash. Permainan bolavoli merupakan salah satu cabang olahraga yang sudah terkenal dimana-mana. Menurut para ahli saat ini tercatat sebagai olahraga yang menempati urutan kedua yang paling digemari di dunia (Yunus 1992:1). Permainan ini cepat menarik perhatian karena sangat menyenangkan, hanya membutuhkan sedikit keterampilan dasar, mudah dikuasai dalam jangka waktu latihan yang singkat, dan dapat dilakukan oleh pemain dengan berbagai tingkat kebugaran. Dalam permainan bolavoli yang terpenting adalah kekompakan antar pemain dalam sebuah tim dalam mencetak angka. Smash adalah salah satu cara agar sebuah tim dapat mencetak angka. Tapi yang paling sering digunakan adalah smash normal (open smash), smash push dan smash pull (quick). Karena dengan smash itulah tim lawan akan kesulitan dalam menahan serangan dengan cara smash. Smash adalah pukulan bola yang keras dari atas ke bawah, jalannya bola menukik (Nuril 2007:31). Sehubungan dengan penjelasan diatas peneliti mencoba menggunakan suatu bentuk metode pembelajaran yaitu salah satu bentuk gaya pembelajaran yang sangat efektif adalah Role Playing ( memainkan peran ) adalah suatu metode yang sangat efektif digunkan untuk mensimulasikan keadaan nyata, metode ini disusun sebuah skenario pembelajaran pada prosedur operasional atau kegiatan tertentu yang akan diajarkan ( Abdurrakhman Ginting : 2008 ). Agar kita dapat mengetahui sejauh mana perkembangan peserta didik dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar khususnya bolavoli. Dengan metode pembelajaran tersebut diharapkan peserta didik akan lebih mudah dalam menerima materi yang diberikan serta melaksanakan tugas gerak yang diberikan oleh guru tersebut. Sehingga tujuan dari proses belajar mengajar itu sendiri dapat tercapai dengan baik dan dapat digunakan sebagai acuan pada pembelajaran mata pelajaran lainnya.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
465
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Landasan Teori Role Playing (Metode Memainkan Peran) Metode Role Playing adalah suatu metode belajar dengan cara penguasaan tugas gerak pembelajaran melalui penghayatan peserta didik. Pengembangan imajinasi dan penghayatan dilakukan peserta didik dengan memerankannya sebagai pelaku utama tugas gerak yang dilakukan secara sadar dan mendiskusikannya tentang peran dalam kelompok tersebut (Djamarah, 2006: 88). Dalam pembelajaran dengan model role playing mempunyai langkahlangkah pelaksanaan, kelebihan-kelebihan, kelemahan-kelemahan, dan saran untuk metode ini, yaitu sebagai berikut: 1. Langkah-langkah yang ditempuh Menurut Ginting (2011: 59) dalam pelaksanaan metode ini terdapat urutan kegiatan sebagai berikut: a. Guru berperan sebagai sutradara yang mengendalikan kegiatan agar simulasi berjalan sesuai dengan skenario dan di laksanakan dengan serius. b. Ingatkan peserta didik yang kurang serius agar memfokuskan diri pada kegiatan supaya memberikan makna bagi dirinya dan kelas. c. Guru membuat catatan-catatan tentang hal-hal yang perlu di diskusikan pada akhir pembelajaran yang meliputi hal-hal yang perlu mendapat pujian dan hal-hal yang perlu di perbaiki. d. Jika waktu masih tersedia, ulangi melakukan langkah demi langkah dengan terlebih dahulu mendiskusikan hal-hal yang perlu di perbaiki. Jika perlu buat rotasi peran di antara sesama peserta didik untuk meningkatkan keluasan penguasaan kompetensi dan juga meningkatkan semangat belajar mereka. e. Meminta peserta didik menyebutkan urutan langkah demi langkah dengan kecepatan sub normal dan guru melakukan langkah sesuai dengan urutan yang di sebutkan oleh peserta didik. 2. Kebaikan Metode Bermain Peran Menurut Djamarah (2006: 89) dalam pelaksanaan metode ini terdapat kebaikan sebagai berikut: a. Peserta didik melatih dirinya untuk melatih, memahami, dan mengingat isi bahan yang akan didramakan. Sebagai pemain harus memahami, menghayati isi cerita secara keseluruhan, terutama untuk materi yang harus diperankannya. Dengan demikian daya ingatan peserta didik harus tajam dan tahan lama. b. Peserta didik akan terlatih untuk berinisiatif dan berkreatif. Pada waktu bermain drama para pemain dituntut untuk mengemukakan pendapatnya sesuai dengan waktu yang tersedia. c. Bakat yang terdapat pada peserta didik dapat dipupuk sehingga dimungkinkan akan muncul atau tumbuh bibit seni drama dari sekolah. Jika seni drama mereka dibina dengan baik kemungkinan besar mereka akan menjadi pemain yang baik kelak. d. Kerjasama antar pemain dapat ditumbuhkan dan dibina dengan sebaik-baiknya. e. Peserta didik memperoleh kebiasaan untuk menerima dan membagi tanggung jawab dengan sesamanya. f. Bahasa lisan peserta didik dapat dibina menjadi bahasa yang baik agar mudah dipahami orang lain.
466
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Hasil belajar Menurut Dimyati dan Mudjiono ( 2006:3) Hasil belajar adalah berakhirnya suatu proses belajar. Hasil belajar merupakan hasil dari suatu interaksi tindak belajar dan tindak mengajar.Dan menurut Hamalik (2010:159) menyatakan hasil belajar adalah sesuatu yang telah dicapai oleh peserta didik setelah melakukan kegiatan belajar dalam upaya mencapai dalam tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Oleh karena itu dapat disimpulkan hasil belajar adalah suatu hasil dari proses belajar. Tipe-tipe hasil belajar penting diketahui oleh guru ,dalam rangka menyusun perencanaan pengajaran. Gagne dalam Sudjana( 2010 : 55 ) mengemukakan ada 5 tipe hasil belajar, yakni: 1. Kemahitan intelektual (kognitif). 2. informasi verbal. 3. Mengatur kegiatan intelektual (strategikognitif). 4. Sikap. 5. Ketrampilan motorik.
Hakikat Bolavoli Dalam kajian bolavoli ini akan dijelaskan tentang permainan bolavoli dan teknik bermain bolavoli. 1. Permainan Bolavoli Bolavoli adalah olahraga permainan dengan tujuan memasukkan bola ke daerah lawan melewati suatu rintangan berupa tali atau net dan berusaha memenangkan permainan dengan mematikan bola itu di daerah lapangan lawan (Yunus, 1992: 1). Permainan ini merupakan permainan yang kompleks sebab dalam permainan bolavoli dibutuhkan koordinasi gerak yang benar-benar bisa diandalkan untuk melakukan semua gerakan yang ada dalam permainan bolavoli (Ahmadi, 2007: 20). Ukuran lapangan bolavoli yang umum adalah 9 m x 18 m. Ukuran tinggi net putra 2,43 m dan untuk net putri 2,24 m. Garis batas serang untuk pemain belakang berjarak 3 m dari garis tengah (sejajar dengan net). Garis tepi lapangan adalah 5 cm (Yunus, 1992: 16). 2. Teknik Bolavoli. Dalam bermain bolavoli terdapat macam-macam teknik dalam permainan bolavoli antara lain: servis, passing, smash dan block. a. Servis (Service) Servis merupakan pukulan pembukaan untuk memulai suatu permainan (Yunus, 1992: 69). Servis ada beberapa macam, yaitu servis atas dan servis bawah. Servis atas adalah servis dengan awalan melemparkan bola ke atas seperlunya kemudian server melompat untuk memukul bola dengan ayunan tangan dari atas. Sedangkan servis bawah adalah servis dengan awalan bola berada di tangan yang tidak memukul bola, tangan yang memukul bola bersiap dari belakang badan untuk memukul bola dengan ayunan tangan dari bawah. Yang perlu diperhatikan dalam servis antara lain: sikap badan dan pandangan, lambung keatas harus sesuai dengan kebutuhan, dan saat kapan harus memukul bola. Menurut Yunus (1992: 69) servis atas ada beberapa macam, antara lain: 1) Servis Mengapung (Float Service). 2) Overhand Change-Up Service (Slider Floating Overhand). 3) Overhand Round-Hause Service (Hook Service). 4) Servis Lompat (Jumping Service).
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
467
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
b. Passing Menurut Ahmadi (2007: 22) “Passing adalah upaya seorang pemain dengan menggunakan suatu teknik tertentu untuk mengoperkan bola yang dimainkannya kepada teman seregunya untuk dimainkan di lapangan sendiri. Menurut Ahmadi (2007: 23) Passing terdiri dari dua macam, yaitu: 1) Passing Bawah (Pukulan/pengambilan tangan dari bawah) 2) Passing Atas (Pukulan/pengambilan tangan keatas) c. Mengumpan (Set-Up) Yunus (1992: 101) menyimpulkan “umpan adalah menyajikan bola kepada teman dalam satu regu, yang kemudian diharapkan bola tersebut dapat diserangkan ke daerah lawan dalam bentuk smash”. d. Smash Smash adalah bentuk pukulan yang utama dan paling banyak digunakan untuk menyerang dalam upaya memperoleh nilai atau usaha mencapai kemenangan pada suatu tim dalam permainan bolavoli. Proses melakukan smash dapat dibagi menjadi: awalan, tolakan, meloncat, memukul bola, dan mendarat(Yunus, 1992: 108). e. Membendung (Blocking) Yunus (1992: 119) menyimpulkan ”block merupakan benteng pertahanan yang utama untuk menangkis serangan lawan”. Sedangkan menurut Ahmadi (2007: 30) ”block dapat dilakukan dengan pergerakan tangan aktif (saat melakukan block tangan digerakkan ke kanan maupun ke kiri) atau juga pasif (tangan pemain hanya dijulurkan ke atas tanpa digerakkan)” Smash Yunus (1992: 108) menyimpulkan ”smash adalah pukulan yang utama dalam penyerangan dalam usaha mencapai kemenangan”. Proses melakukan smash dapat dibagi menjadi: awalan, tolakan, meloncat, memukul bola, dan mendarat.Menurut Yunus (1992: 108) proses gerakan keseluruhan dalam smash dapat diuraikan sebagai berikut (dengan anggapan pemukul menggunakan tangan kanan dan smash dari daerah posisi empat).
Gambar: Rangkaian gerakan saat melakukan awalan, meloncat, memukul bola, dan mendarat (Yunus, 1992: 113) 1. Awalan Berdiri dengan salah satu kaki dibelakang sesuai dengan kebiasaan individu (tergantung smasher normal atau smasher kidal). Berdiri serong lebih kurang 45 derajat dengan jarak 3 sampai 4 meter dari net. Langkahkan kaki satu langkah kedepan (pemain yang baik, dapat mengambil ancang-ancang sebanyak 2 sampai 4 langkah), kedua lengan mulai bergerak
468
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
kebelakang, berat badan berangsur-angsur merendah untuk membantu tolakan (Yunus, 1992: 108). 2. Tolakan Langkahkan kaki selanjutnya, hingga kedua telapak kaki hampir sejajar dan salah satu kaki agak kedepan sedikit untuk mengerem gerak kedepan dan sebagai persiapan meloncat kearah vertikal. Ayunkan kedua lengan kebelakang atas sebatas kemampuan, kaki ditekuk, dan badan siap untuk meloncat dengan berat badan lebih banyak bertumpu pada kaki yang didepan (Yunus, 1992: 108). 3. Meloncat Mulailah meloncat dengan tumit & jari kaki menghentak lantai sambil mengayunkan kedua lengan berada di belakang badan, segera pemukul melakukan tolakan sambil mengayunkan lengan ke depan atas (Yunus, 1992: 108). 4. Memukul Bola Pada saat loncatan tertinggi, lecutkan lengan kebelakang kepala dan dengan cepat lecutkan kedepan sejangkauan lengan terpanjang dan tertinggi terhadap bola. Kemudian segera meraih dan memukul bola secepat dan setinggi mungkin, perkenaan bola dengan telapak tangan tepat diatas tengah bola bagian atas(Yunus, 1992: 108). 5. Mendarat Saat mendarat tetap jaga keseimbangan badan agar tidak menyentuh dan menabrak net dan mendarat lagi dengan menumpu pada dua kaki sambil mengeper dan mengambil sikap siap normal (Yunus, 1992: 108).
Metode Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Penelitian Kuantitatif. Yatim (2007: 120) menjelaskan penelitian eksperimen adalah penelitian yang sistematis logis dan teliti di dalam melakukan kontrol terhadap kondisi. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan desain penelitian one group pretest posttest design. Populasi dalam penelitian ini adalah peserta didik kelas X AK SMK PGRI 1 Jombang. Sampel dalam penelitian ini diambil dengan cara Random Sampling. Random Sampling adalah sebuah teknik sampling yang memberikan peluang yang sama bagi individu yang menjadi anggota populasi untuk dipilih menjadi anggota sampel (Maksum, 2009:41). Jadi dalam penelitian ini sampel yang akan diambil adalah kelas X AK 1 SMK PGRI 1 Jombang berjumlah 49 peserta didik. Tes yang diberikan pada penelitian ini adalah tes prestasi yaitu tes yang digunakan untuk mengukur pencapaian seseorang setelah mempelajari sesuatu (Arikunto, 2002:128), yaitu tes smash.
Hasil Penelitian Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan hasil belajar smash bolavoli pada peserta didik kelas X AK 1 SMK PGRI 1 Jombang. Hal ini didapat dari hasil uji-t yang dilakukan terhadap data pretest dan posttest seperti tampak pada tabel 1. Tabel 1. Hasil Uji-T N X Mean Std. Deviasi D D2 Pretest 49 100 2,041 1,67 281 1739 Posttest 49 381 7,775 2,12
Uji T 24,625
Simpulan Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
469
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Berdasarkan hasil penelitian dengan menggunakan metode role playing, maka dapat disimpulkan bahwa mengalami peningkatan hasil belajar peserta didik kelas X AK 1 SMK PGRI 1 Jombang melalui gerakan smash bolavoli. Hal ini dapat dilihat dari perbandingan hasil pre-test dan posttest. Terdapat perubahan dari jumlah yang mengalami peningkatan sebesar 2,81%.
Daftar Pustaka Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek Jakarta: Rineka Cipta. Ahmadi, Nuril. 2007. Panduan Olahraga Bola voli. Surakarta: Era Pustaka Utama. Djamarah, Syaiful Bahri dan Zain, Aswan 2002. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Rineka Cipta. Djamarah, Syaiful Bahri dan Zain, Aswan 2010. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Rineka Cipta. Gintings, Abdorrakhman. Esensi Praktis Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Humaniora. Hamalik, Oemar. 2010. Kurikulum Dan Pembelajaran. Jakarta : Bumi Aksara. Muhajir, 2006. Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan. Jakarta: Erlangga. Mudjiono, Dimyati. 2006. Belajar dan Pembelajaran, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Maksum, Ali. 2009. Metode Penelitian Dalam Olahraga Surabaya: Fakultas Ilmu Keolahragaan – UNESA. Arifin, Zaenal. 2008. Metodologi Penelitian Pendidikan Filosofi, Teori & Aplikasinya. Maksum, Ali. 2007. Statistik Dalam Olahraga Surabaya: Fakultas Ilmu Keolahragaan – UNESA. Sudjana, Nana. 2010. Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosdakarya. Yunus, M. 1992. Olahraga Pilihan Bolavoli. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Tim penyusun.2009. Buku Pedoman Usulan Penelitian Dan Penulisan Skripsi, Jombang: STKIP PGRI JOMBANG
470
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Pengaruh Media Presentasi Program Adobe Flash, Powerpoint dan Motivasi Terhadap Hasil Belajar Kompetensi Mengelola Kas Bank pada Siswa Kelas XI Akuntansi di SMK 1 Magetan Dan SMK PSM 2 Kawedanan Tahun Pelajaran 2013/2014 Sri Winarningsih 13 ([emailprotected]) Abstract According to the experience to Mengelola Administrasi Kas Bank, oftenly learning result does not appropriate with the teacher’s wish. It is because of the learning system does not interesting so the students get bored and do not have learning motivation. Finally it makes the learning performance decrease, which makes students can not reach the minimum standart grade. The research method used is a experiment design. This study conducted on 17 - 22 February 2014. Population of this study are 33 students of 11th grade accounting students of SMKN 1 Magetan and 33 students of 11th grade accounting students of SMK PSM 2 Kawedanan. The sample of this research are 33 students of 11th grade accounting students of SMKN 1 Magetan and 33 students of 11th grade accounting students of SMK PSM 2 Kawedanan. Sampling technique in this study is random sampling and using independet t test and Two Way Anova. The independent variable are PowerPoint Program, Adobe Flash Program, and Motivation. The dependent variable is learning performance. The result of this research are: 1) there is a difference in learning result between the students who get powerpoint learning media and adobe flash learning media, 2) there is a difference in learning result between the students who has good motivation and less, 3) there is an interaction between learning media and motivation to learning result. Keywords: Adobe Flash program, Powerpoint Program, Motivation, and Learning Result Abstrak Menurut pengalaman untuk Mengelola Administrasi Kas Bank, hasil oftenly belajar tidak yang sesuai dengan keinginan guru. Hal ini karena sistem pembelajaran tidak menarik sehingga siswa bosan dan tidak memiliki motivasi belajar. Akhirnya membuat penurunan kinerja belajar, yang membuat siswa tidak dapat mencapai standart nilai minimum. Metode penelitian yang digunakan adalah desain eksperimen. Penelitian ini dilakukan pada 1722 Februari 2014. Populasi dari penelitian ini adalah 33 siswa dari mahasiswa akuntansi kelas 11 SMKN 1 Magetan dan 33 siswa dari mahasiswa akuntansi kelas 11 SMK PSM 2 Kawedanan. Sampel penelitian ini adalah 33 siswa dari mahasiswa akuntansi kelas 11 SMKN 1 Magetan dan 33 siswa dari mahasiswa akuntansi kelas 11 SMK PSM 2 Kawedanan. Sampling teknik dalam penelitian ini adalah random sampling dan menggunakan uji t independen dan Two Way Anova. Variabel bebas adalah PowerPoint Program, Adobe Program Flash, dan Motivasi. Variabel dependen adalah kinerja belajar. Hasil dari penelitian ini adalah: 1) ada perbedaan dalam hasil antara siswa yang mendapatkan media pembelajaran yang powerpoint dan adobe flash pembelajaran media pembelajaran, 2) ada perbedaan dalam hasil belajar antara siswa yang memiliki motivasi yang baik dan kurang, 3 ) ada interaksi antara media pembelajaran dan motivasi untuk hasil belajar. Kata Kunci: Program Adobe Flash, Program Powerpoint, Motivasi, dan Hasil Belajar
Pendahuluan Berdasar pengalaman mengajarkan Mengelola Administrasi Kas Bank selama ini, setelah kegiatan pembelajaran nilai hasil ulangan/evaluasi seringkali tidak sesuai dengan yang 13
Guru SMK Negeri 1 Magetan
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
471
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
diharapkan oleh guru. Berdasarkan penellitian pendahuluan oleh peneliti pada siswa kelas XI Akuntansi 1 bulan Nopember 2013, diketahui bahwa dari 40 siswa terdapat 17 siswa (47,2%) mendapatkan nilai dibawah KKM. Hal ini disebabkan banyak siswa yang kurang memahami permasalahan dan merasa kesulitan belajar mengelola administrasi kas bank sehingga mendapatkan nilai dibawah KKM. Dan tidak hanya nilai yang kurang memuaskan, berdasarkan pengamatan dalam proses pembelajaran di kelas banyak siswa yang kurang memperhatikan penjelasan guru, mengantuk atau berbicara dengan temannya. Hal tersebut memperlihatkan sikap siswa yang kurang semangat, kurang antusias dan kurang termotivasi untuk mengikuti pembelajaran yang disampaikan oleh guru. Menurut Musfiqon (2012:8), hasil belajar siswa dipengaruhi oleh dua faktor utama, yakni faktor dari dalam diri siswa (internal factor) dan faktor yang datang dari luar diri siswa atau faktor lingkungan (external factor). Salah satu faktor lingkungan (external factor) yang paling dominan mempengaruhi hasil belajar adalah kualitas pengajaran. Berbicara kualitas pembelajaran tentu akan berkaitan dengan kualitas/kompetensi guru. Guru merupakan salah satu komponen situasi belajar. Keadaan guru dapat mempengaruhi hasil belajar (Sumiati dan Asra, 2011:61). Kemungkinan yang lain adalah iklim ruang kelas yang negatif. Iklim ruang kelas merujuk pada lingkungan fisik ruangan, hingga tingkatan di mana ruangan itu aman dan tertib dan atmosfer emosionalnya. Iklim ruang kelas positif sangat penting bagi pembelajaran. Tidak ada strategi mengajar atau model mengajar yang akan efektif jika iklim ruang kelasnya negatif, dan masalah manajemen ruang kelas kemungkinan besar terjadi dalam iklim negatif (Weinstein, 2002 dalam Paul Eggen dan Kauchak 2012:43). Selain hal itu, di dalam proses pembelajaran guru hanya menggunakan metode ceramah tidak menggunakan media pembelajaran karena media yang tersedia terbatas. Keterbatasan media pembelajaran di satu pihak dan lemahnya kemampuan guru menciptakan media tersebut di pihak lain membuat penerapan metode ceramah makin menjamur. Kondisi ini jauh dari menguntungkan. Terbatasnya alat-alat teknologi pembelajaran yang dipakai di kelas diduga merupakan salah satu sebab lemahnya mutu pendidikan pada umumnya (Yudhi Munadi, 2013:2). Banyak guru atau pelatih menggunakan media tidak mendasarkan pilihan medianya pada pemikiran logis dan ilmiah, melainkan lebih karena mengikuti perkembangan majunya teknologi atau karena mengikuti kebiasaan yang berkembang di lingkungan sekolah. Selain metode pembelajaran yang tidak sesuai dan kurangnya penggunaan media, faktor motivasi dalam pembelajaran juga sangat berpengaruh terhadap proses belajar siswa. Menurut Santrock (2011:510) motivasi adalah proses yang memberi semangat, arah dan kegigihan perilaku. Artinya perilaku yang termotivasi adalah perilaku yang penuh energi, terarah dan bertahan lama. Dan masih menurut Santrock (2011:509), murid yang tidak punya motivasi tidak akan berusaha keras untuk belajar. Tanpa adanya motivasi, tidak mungkin mereka memiliki kemauan untuk belajar (Hamruni, 2012:25). Begitu pula menurut Sumiati dan Asra (2011:59), tanpa motivasi belajar siswa tidak dapat belajar. Jika kelas tidak kondusif dibiarkan sampai berlarut-larut maka guru tidak akan pernah tahu apakah siswanya sudah paham atau belum materi yang diberikan. Akibatnya tentu akan berimbas pada diri peserta didik dan pada akhirnya hasil belajar siswa pun akan sulit mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Pemanfaatan teknologi mengajar dalam pemecahan masalah pembelajaran dapat menjadi solusi dalam meningkatkan hasil belajar siswa. Hal ini sesuai dengan pendapat Yusufhadi Miarso, (2011:78) digunakannya teknologi sebagai proses dan produk untuk membantu memecahkan masalah belajar. Penggunaan media diharapkan dapat mempermudah guru dalam 472
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
menyampaikan materi pelajaran dan bagi siswa dengan menggunakan media dapat memudahkan dalam menerima informasi dari guru sehingga siswa akan mudah mencerna dan memahami materi pelajaran. Sebagaimana dijelaskan dalam Smaldino, Lowther dan Russell (2011:14) teknologi dan media bisa berperan banyak untuk belajar, jika pengajarannya berpusat pada guru, teknologi dan media digunakan untuk mendukung penyajian pengajaran. Apabila pengajaran berpusat pada siswa, para siswa merupakan pengguna utama teknologi dan media. Dalam mengatasi permasalahan diatas, peneliti memiliki pemikiran bahwa penggunaan teknologi pembelajaran melalui penggunaan media pembelajaran yang menarik sepertinya menjadi solusi yang terbaik dalam mengatasi kejenuhan pembelajaran di kelas. Sependapat dengan Sivin-Kachala & Bial, 1994 (Paul Eggen dan Kauchak 2012:76) sejarah penelitian yang kini sudah lebih dari dua puluh tahun menunjukkan bahwa teknologi bisa secara signifikan meningkatkan motivasi murid. Dan Yusufhadi Miarso, (2011:459) mengemukakan bahwa kegunaan media pembelajaran adalah: (1) media membangkitkan keinginan dan minat baru (2) media membangkitkan motivasi dan merangsang untuk belajar. Dari beberapa pendapat di atas tampak jelas bahwa penggunaan media pembelajaran dapat memberikan rangsangan kepada siswa dalam proses belajar, sehingga dapat mempertinggi kualitas belajar mengajar dan dapat mempertinggi hasil belajar siswa. Media pembelajaran yang hendak digunakan pada penelitian ini adalah program komputer berbasis Microsoft Office Power Point dan Adobe Flash CS3. Menurut Riyana (2008:102) bahwa program Microsoft Office Power Point adalah salah satu software yang dirancang khusus untuk mampu menampilkan program multimedia dengan menarik, mudah dalam pembuatan, mudah dalam penggunaan dan relatif murah karena tidak membutuhkan bahan baku selain alat untuk menyimpan data. Sedangkan Adobe Flash CS3 merupakan software yang mampu menghasilkan presentasi, game, film, CD interaktif, maupun CD pembelajaran, serta untuk membuat situs web yang interaktif, menarik, dan dinamis. Keduanya mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Namun baik Microsoft Office Power Point maupun Adobe Flash CS3, masing-masing dapat memberikan sentuhan yang menarik pada media pembelajaran dikelas sehingga diharapkan dapat menimbulkan motivasi belajar siswa dan hasil belajar pun meningkat. Berdasarkan latar belakang diatas dapat ditarik permasalahan sebagai berikut: (1)Apakah terdapat perbedaan antara siswa yang memperoleh pembelajaran dengan Media Presentasi Program Adobe Flash dan Media Presentasi Power Point terhadap hasil belajar kompetensi mengelola administrasi kas bank. (2) Apakah terdapat perbedaan antara siswa yang memiliki motivasi belajar tinggi dan motivasi belajar rendah terhadap hasil belajar kompetensi mengelola administrasi kas bank. (3) Apakah terdapat interaksi antara penggunaan media pembelajaran dan motivasi belajar terhadap hasil belajar kompetensi mengelola administrasi kas bank. Sesuai dengan rumusan masalah yang telah ditentukan, tujuan penelitian ini adalah: (1)Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan siswa yang memperoleh pembelajaran dengan Media Presentasi Program Adobe Flash dan Media Presentasi Power Point terhadap hasil belajar kompetensi mengelola administrasi kas bank. (2) Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan antara siswa yang memiliki motivasi belajar tinggi dan motivasi belajar rendah terhadap hasil belajar kompetensi mengelola administrasi kas bank. (3) Untuk mengetahui apakah terdapat interaksi antara penggunaan media pembelajaran dan motivasi belajar terhadap hasil belajar kompetensi mengelola administrasi kas bank.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
473
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Landasan Teori Media Pembelajaran Pengertian Media Pembelajaran Media merupakan salah satu komponen sistem pembelajaran. Dalam Smaldino, Lowfher dan Russell (2011:7) media, bentuk jamak dari perantara (medium), merupakan sarana komunikasi. Berasal dari bahasa Latin medium (“antara”), istilah ini merujuk pada apa saja yang membawa informasi antara sebuah sumber dan sebuah penerima. Media merupakan salah satu komponen sistem pembelajaran. Menurut Daryanto (2011:4) kata media merupakan bentuk jamak dari kata medium yang berarti perantara atau pengantar terjadinya komunikasi dari pengirim menuju penerima. Media merupakan salah satu komponen komunikasi yaitu sebagai pembawa pesan dari komunikator menuju komunikan. Arsyad (2011:3) mengatakan media berasal dari bahasa latin medius yang secara harfiah berarti tengah, perantara atau pengantar. Dalam bahasa arab media berasal dari kata wasaail yang berarti pengantar pesan dari pengirim kepada penerima pesa. Media apabila dipahami secara garis besar adalah manusia, materi atau kejadian yang membangun kondisi yang membuat siswa mampu memperoleh pengetahuan, keterampilan maupun sikap. Dalam pengertian ini guru, buku teks serta lingkungan sekolah merupakan media belajar. Secara lebih khusus Arsyad (2011:3) mengatakan media dalam proses belajar mengajar cenderung diartikan sebagai alat-alat grafis, photografis atau elektronis untuk menangkap, memproses, dan menyusun kembali informasi visual atau verbal. Media pembelajaran merupakan pengatur hubungan yang efektif antara dua pihak utama dalam proses belajar yaitu siswa dan isi pelajaran. Menurut Gerlach (Sanjaya, 2012:60) media pembelajaran itu meliputi orang, bahan, peralatan atau kegiatan yang menciptakan kondisi yang memungkinkan siswa memperoleh pengetaguan, ketrampilan dan sikap. Jadi dalam pengertian ini media pembelajaran bukan hanya alat-alat perantara seperti TV, radio, slide, bahan cetakan tetapi juga meliputi orang atau manusia sebagai sumber belajar atau juga berupa kegiatan semacam diskusi, seminar, karya wisata, simulasi dan sebagainya yang dapat menciptakan kondisi yang memungkinkan siswa memperoleh pengetahuan, wawasan mengubah sikap sarta untuk menambah kterampilan. Menurut Yusufhadi Miarso (2011:458), Media pembelajaran adalah segala sesuatu yang digunakan untuk menyalurkan pesan serta dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan kemauan si belajar sehingga dapat mendorong terjadinya proses belajar yang disengaja, bertujuan dan terkendali. Media merupakan alat bantu yang digunakan guru dengan desain yang disesuaikan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Dan definisi media pembelajaran sebagai alat bantu berupa fisik maupun non fisik yang sengaja digunakan sebagai perantara antara guru dan siswa dalam memahami materi pembelajaran agar lebih efektif dan efisien (Musfiqon, 2012:28). Media pembelajaran dapat dipahami sebagai segala sesuatu yang dapat menyampaikan dan menyalurkan pesan dari sumber secara terencana sehingga tercipta lingkungan belajar yang kondusif di mana penerimaannya dapat melakukan proses belajar secara efisien dan efektif (Yudhi Munadi, 2013:7-8).
Manfaat Media Pembelajaran. Yusufhadi Miarso (2011:458) kegunaan media dalam pembelajaran adalah: (1) media mampu memberikan rangsangan yang bervariasi kepada otak kita, sehingga otak kita dapat
474
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
berfungsi secara optimal, (2) media dapat mengatasi keterbatasan pengalaman yang dimiliki oleh para siswa, (3) media dapat melampaui batas ruang kelas, (4) media memungkinkan adanya interaksi langsung antara siswa dan lingkungannya, (5) media menghasilkan keseragaman pengamatan, (6) media membangkitkan keinginan dan minat baru, (7) media membangkitkan motivasi dan merangsang untuk belajar, (8) media memberikan pengalaman yang integral/menyeluruh dari suatu yang konkrit maupun abstrak, (9) media memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar mandiri, pada tempat dan waktu serta kecepatan yang ditentukan sendiri, (10) media meningkatkan kemampuan keterbacaan baru (new literacy), yaitu kemampuan untuk membedakaan dan menafsirkan objek, tindakan, dan lambang yang tampak, baik yang dialami maupun buatan manusia yang terdapat dalam lingkungan, (11) media mampu meningkatkan efek sosialisasi, yaitu dengan meningkatnya kesadaran akan dunia sekitar, (12) media dapat meningkatkan kemampuan ekspresi diri guru maupun siswa. Djamarah (2010:121) mengklasifikasikan manfaat media pembelajaran menjadi dua yaitu (1) media sebagai alat bantu (2) media sebagai sumber belajar.
Jenis-jenis media pembelajaran Usaha-usaha ke arah taksonomi media tersebut telah dilakukan oleh beberapa ahli. Rudy Bretz (dalam Sumiati dan Asra, 2011:162) mengklasifikasikan media pembelajaran berdasarkan adanya tiga ciri yaitu suara (audio), bentuk (visual) dan gerak (motion). Atas dasar ini Bretz membuat delapan kelompok media pembelajaran, yaitu: (1) media audio motion visual, (2) media audio still visual, (3) media audio semi motion, (4) media motion visual, (5) media still visual, (6) media semi motion (semi gerak), (7) media audio, (8) media cetakan. Pengelompokan menurut tingkat kerumitan perangkat media, khususnya media audiovisual, dilakukan oleh C.J Duncan, dengan menyusun suatu hirarki. Dari hirarki Duncan, Sumiati (2008:131) mengatakan semakin tinggi tingkat hirarki suatu media, semakin rendah satuan biaya serta semakin khusus sifat penggunaannya. Namun demikian, kemudahan serta keluwesan penggunaannya semakin bertambah. Begitu juga sebaliknya, jika suatu media berada pada hirarki paling rendah. Schramm (dalam Sadiman, 2008:62) mengatakan ada dua kelompok media yaitu big media atau media rumit dan little media yaitu media sederhana serta murah. Lebih jauh lagi ahli ini menyebutkan ada media massal, media kelompok, media individu, didasarkan atas daya liput media. Sejalan dengan perkembangan teknologi, maka media pembelajaran pun mengalami perkembangan melalui pemanfaatan teknologi itu sendiri. Berdasarkan perkembangan teknologi tersebut, Arsyad (2011:19) mengklasifikasikan media atas empat kelompok yaitu media hasil teknologi cetak, media hasil teknologi audio-visual, media hasil teknologi berbasis computer, dan media hasil gabungan teknologi cetak serta komputer. Seels dan Glasgow (dalam Arsyad, 2011:19) membagi media ke dalam dua kelompok besar, yaitu media tradisional serta media teknologi mutakhir. Lebih lanjut Arsyad, (2011:21) menjelaskan sebagai berikut: pilihan media tradisional berupa media visual diam tidak diproyeksikan dan yang diproyeksikan, audio, penyajian multimedia, visual dinamis yang diproyeksikan, media cetak, permainan, dan media realia. Sedangkan pilihan media teknologi mutakhir berupa media berbasis telekomunikasi seperti teleconference dan media berbasis mikroprosesor seperti permainan komputer dan hypermedia. Wina Sanjaya, (2012:118) mengklasifikasikan media pembelajaran dari berbagai sudut pandang, yaitu: (1) dilihat dari sifatnya, media terdiri dari: media auditif, media visual dan Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
475
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
media audio visual. (2) dilihat dari kemampuan jangkauannya, media terdiri dari: media yang memiliki daya liput yang luas dan serentak misal radio, televisi, media yang mempunyai daya liput terbatas misal film slide, film dan video. (3) dilihat dari cara atau teknik pemakaiannya, media terdiri dari: media yang diproyeksikan dan media yang tidak diproyeksikan. (4) media dikelompokkan berdasarkan bentuk dan cara penyajiannya,
Media pembelajaran berbasis computer Pada penelitian ini, penulis akan memfokuskan penggunaan media pembelajaran berbasis komputer dengan menggunakan program Microsoft Office Power Point dan Adobe Flash CS3 Program Microsoft Office Power Point Pada umumnya Microsoft Office Power Point digunakan untuk presentasi dalam classical learning, karena Microsoft Office Power Point merupakan program aplikasi yang digunakan untuk kepentingan presentasi. Berdasarkan pola penyajian yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa Microsoft Office Power Point yang digunakan untuk presentasi dalam classical learning disebut personal presentation. Microsoft Office Power Point pada pola penyajian ini digunakan sebagai alat bantu bagi guru untuk menyampaikan materi dan kontrol pembelajaran terletak pada guru.
Program Adobe Flash CS3 Flash tidak hanya menggabungkan elemen multimedia dengan Action Script, flash juga mempunyai kemampuan dalam membuat interaktif scripting. Adobe Flash CS3 mempunyai kelebihan dibanding program lainnya yaitu pengguna adobe flash CS3 dapat dengan mudah dan bebas dalam berkreasi membuat animasi dengan gerakan bebas sesuai dengan adegan animasi yang dikehendaki, adobe flash CS3 menghasilkan file yang berukuran kecil, mampu menghasilkan file bertipe (ekstensi) FLA yang bersifat fleksible, karena dapat dikonversi menjadi file bertipe swf, html, jpg, png, exe, mov.
Motivasi Belajar Hakikat motivasi Menurut Sardiman (2007:73), motif diartikan sebagai daya upaya yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Motif dapat dikatakan sebagai daya penggerak dari dalam subjek untuk melakukan aktivitas tertentu untuk mencapai tujuan. Berawal dari kata “motif” itu, maka motivasi dapat diartikan sebagai daya penggerak yang telah menjadi aktif. Menurut Slameto (2010:170) menyatakan bahwa motivasi adalah suatu proses yang menentukan tingkah kegiatan, intensitas, konsistensi,serta arah umum dari tingkah laku manusia. Menurut Atkinson (Purwa Atmaja Prawira, 2012:319) motivasi sebagai suatu tendensi seseorang untuk berbuat yang meningkat guna menghasilkan satu hasil atau lebih pengaruh. Teori tentang motivasi Menurut Sardiman (2007:82-83) ada beberapa teori tentang motivasi, yakni : (1) Teori Insting (2) Teori Fisiologis (3) Teori Psikoanalitik. Menurut Ngalim Purwanto (2007:74-80) ada beberpa teori motivasi, yakni: (1) Teori Hedonisme (2)Teori Naluri (3) Teori Reaksi yang Dipelajari (4) Teori Kebutuhan.
Macam-macam motivasi Menurut Singgih D. Gunarsa (2004:50-51) yaitu: 1) Motivasi intrinsik merupakan dorongan atau kehendak yang kuat yang berasal dari dalam diri seseorang.
476
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
2) Motivasi Ekstrinsik adalah dorongan segala sesuatu yang diperoleh melalui pengamatan sendiri, ataupun melalui saran, anjuran, atau dorongan dari orang lain. Menurut Sardiman (2007:89-91) motivasi dibagi menjadi motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik : 1) Motivasi intrinsik adalah motif-motif yang menjadi aktif atau berfungsinya tidak perlu dirangsang dari luar, karena dalam diri individu sudah ada dorongan untuk melakukan sesuatu. 2) Motivasi ekstrinsik adalah motif-motif yang aktif dan berfungsinya karena adanya perangsang dari luar.
Tujuan motivasi Menurut Ngalim Purwanto (2007:73), tujuan motivasi adalah untuk menggerakan atau menggugah seseorang agar timbul keinginan dan kemauannya untuk melakukan sesuatu sehingga dapat memperolah hasil atau tujuan tertentu. Karena itu seorang guru harus dapat menggerakan atau memacu para siswanya agar timbul keinginan dan kemauannya untuk meningkatkan prestasi belajarnya sehingga tercapai tujuan pendidikan sesuai dengan yang diharapkan dan diterapkan dalam kurikulum sekolah.
Fungsi Motivasi Dalam Belajar Fungsi motivasi menurut Fudyartanto (Purwa Atmaja Prawira, 2012:320) sebagai berikut: (1) motivasi bersifat mengarahkan dan mengatur tingkah laku individu. (2) motivasi sebagai penyeleksi tingkah laku individu. (3) motivasi memberi energi dan menahan tingkah laku individu.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Motivasi Belajar Menurut Slameto (2010:54-71), faktor-faktor yang mempengaruhi belajar adalah sebagai berikut. 1) Faktor intrinsik. 2) Faktor ekstrinsik
Hasil Belajar Hasil belajar menurut Wina Sanjaya (2008:27) merupakan gambaran kemampuan siswa dalam memenuhi suatu tahapan pencapaian pengalaman belajar dalam satu kompetensi. Dengan demikian penulis berpendapat bahwa hasil belajar merupakan kemampuan siswa dalam mencapai hasil yang diperoleh sebagai akibat dari proses belajar atau mengikuti kegiatan pembelajaran yang dievaluasi dengan berbagai cara, dan hasilnya dinyatakan dengan nilai. Menurut Sudjana (Iskandar, 2012:128) “hasil belajar adalah suatu akibat dari proses belajar dengan menggunakan alat pengukuran, yaitu berupa tes yang disusun secara terencana, baik tes tertulis, tes lisan, maupun tes perbuatan”. Sedangkan menurut Iskandar (2012: 128) “hasil belajar adalah hasil yang diperoleh siswa setelah mengikuti suatu materi tertentu dari data kuantitatif maupun kualitatif”.
Klasifikasi hasil belajar Klasifikasi hasil belajar menurut Sukirman (2012:55-72), secara garis besar membagi menjadi 3 ranah, yakni: 1) Ranah kognitif 2) Ranah afektif 3) Ranah Psikomotorik
Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
477
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Hasil belajar banyak di pengaruhi oleh banyak faktor. Menurut Abu Ahmadi (Saminanto 2010:101) faktor yang mempengaruhi hasil belajar yaitu: 1) Faktor-faktor stimulasi belajar. 2) Faktor-faktor metode belajar 3) Faktor-faktor individual
Kompetensi “Mengelola Administrasi Kas Bank”. Salah satu standar kompetensi yang terdapat pada mata pelajaran produktif Kompetensi Keahlian Akuntansi adalah “Mengelola Administrasi Kas Bank” yang terdiri dari lima kompetensi dasar yaitu (1) Mempersiapkan pengelolaan administrasi kas bank, (2) Menghitung mutasi kas bank, (3) Membukukan mutasi kas bank, (4) Menyusun laporan rekonsiliasi bank, dan (5) Membukukan penyesuaian kas di bank.
Kerangka Konseptual Berdasar pada latar belakang, rumusan masalah dan kajian pustaka yang telah diuraikan di atas, pada penelitian ini akan diungkapkan pengaruh media pembelajaran berbasis Microsoft Office Power Point, media pembelajaran berbasis Adobe Flash CS3 dan Motivasi Belajar terhadap Hasil Belajar Kompetensi Mengelola Kas Bank dengan rincian sebagai berikut: Pengaruh antara Penggunaan Media Presentasi Program Adobe Flash dan Media Presentasi Power Point terhadap hasil belajar siswa. Baik Microsoft Office Power Point memiliki kemampuan untuk menggabungkan berbagai unsur media seperti pengolahan teks, warna, gambar, grafik, serta animasi dan Adobe Flash CS3 merupakan software yang mampu menghasilkan presentasi, game, film, CD interaktif, maupun CD pembelajaran, serta untuk membuat situs web yang interaktif, menarik, dan dinamis, keduanya dapat diakses melalui komputer dimana siswa dapat berinteraksi dengannya. Dari teori yang dikemukakan diatas dapat disimpulkan bahwa penggunaan komputer dalam pembelajaran membantu tercapainya tujuan pengajaran dikarenakan siswa dapat langsung berinteraksi dengan materi yang di ajarkan. Dengan demikian hasil belajar siswa dapat ditingkatkan.
Pengaruh antara motivasi belajar dan hasil belajar siswa Tujuan motivasi adalah untuk menggerakan atau menggugah seseorang agar timbul keinginan dan kemauannya untuk melakukan sesuatu sehingga dapat memperolah hasil atau tujuan tertentu. Seorang siswa yang termotivasi akan menunjukkan berbagai upaya agar kegiatan pembelajaran yang diikutinya berlangsung dengan baik. Karena itu seorang guru harus dapat menggerakan atau memacu para siswanya agar timbul keinginan dan kemauannya untuk meningkatkan hasil belajarnya sehingga tercapai tujuan pendidikan sesuai dengan yang diharapkan dan diterapkan dalam kurikulum sekolah.
Pengaruh antara penggunaan Media Presentasi Program Adobe Flash dan Media Presentasi Power Point serta motovasi belajar terhadap hasil belajar siswa. Media merupakan sarana komunikasi tidak langsung yang digunakan untuk menyampaikan ide, gagasan, maupun informasi dari seseorang kepada orang lain. Dalam pembelajaran media merupakan sarana yang dapat digunakan oleh guru untuk menyampaikan bahan pelajaran kepada seluruh siswa. Penggunaan media pembelajaran Microsoft Office Power Point dan Adobe Flash CS3 yang berbasis audio visual akan dapat menarik perhatian siswa dalam pelaksanaan pembelajaran Kompeteni Mengelola Kas Bank. Bila seorang peserta didik
478
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
merasa tertarik pada kegiatan pembelajaran, maka peserta didik tersebut telah termotivasi untuk belajar dan pada akhirnya dapat meningkatkan hasil belajarnya. Berdasarkan penjelasan di atas, maka pengaruh antara variabel bebas, variabel moderaotor dan variabel terikat digambarkan dalam bentuk pola hubungan di bawah ini Media: - M. P. Adobe Flash
- Ms. PowerPoint Hasil Belajar Motivasi: - Motivasi Rendah
- Motivasi Tinggi Gambar 2.1
Kerangka berfikir penelitian
Metode Penelitian Rancangan penelitian menggunakan rancangan penelitian Experiment Factorial Design, yaitu rancangan penelitian yang digunakan untuk mengetahui efek kombinasi dua atau lebih perlakuan pada unit eksperimen (Santoso, 2012:39). Penelitian ini menggunakan analisa ANOVA dua jalur yaitu rancangan penelitian yang digunakan untuk meneliti pengaruh perlakuan yang berbeda dari dua media pembelajaran yaitu media presentasi program Adobe Flash dan media presentasi Power Point yang dihubungkan dengan motivasi belajar siswa. Kerangka penelitiannya adalah sebagai berikut: Motivasi Belajar (Y) Tinggi (Y1) Rendah (Y2)
Tabel 1 Rancangan Penelitian Media Pembelajaran (X) M. P. Adobe Flash M. P. Power Point(X 2) (X1) Hasil Belajar (X1 Y1)
Hasil Belajar (X2 Y1)
Hasil Belajar (X1 Y2)
Hasil Belajar (X2 Y2)
Keterangan: X : Media Presentasi Program Adobe Flash (X1) dan Media Presentasi Power Point (X2) Y : Motivasi belajar, yaitu Motivasi Belajar Tinggi (Y1) dan Motivasi Belajar Rendah (Y2) X1.Y1: Hasil Belajar dengan Media Presentasi Program Adobe Flash dengan Motivasi Belajar Tinggi. X1.Y2: Hasil Belajar dengan Media Presentasi Program Adobe Flash dengan Motivasi Belajar Rendah. X2.Y1: Hasil Belajar dengan Media Presentasi Power Point dengan Motivasi Belajar Tinggi. X2.Y2: Hasil Belajar dengan Media Presentasi Power Point dengan Motivasi Belajar Rendah. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas XI kompetensi keahlian Akuntansi SMK Negeri 1 Magetan sebanyak tiga kelas dengan jumlah 119 orang dan siswa kelas XI kompetensi
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
479
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
keahlian Akuntansi SMK PSM 2 Kawedanan sebanyak dua kelas dengan jumlah 66 orang. Jadi jumlah seluruh populasi adalah sebanyak 185 orang. Kedua SMK tersebut dipilih sebagai populasi penelitian karena jumlah siswanya cukup sebagai syarat penelitian dan mempunyai kesetaraan dalam status sekolah yng sudah terakreditasi. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini diawali dengan mengadakan tes awal untuk mendapatkan dua kelas yang dijadikan sebagai subyek penelitian berdasarkan kesetaraan nilai hasil belajar. Teknik pengambilan sampel penelitian menggunakan teknik simple random sampling dan besaran sampel yang ditetapkan dalam penelitian sebanyak 66 siswa dengan perincian 33 siswa dari kelas yang diajar dengan media presentasi program adobe dan 33 siswa dari kelas yang diajar dengan media persentasi power point. Metode pengumpulan data penelitian menggunakan metode pemberian tes dan metode kuesioner. Sedangkan instrumennya adalah soal tes dan angket kuesioner. Tes digunakana untuk mengumpulkan data hasil belajar dan angket kuesioner digunkan untuk mengumpulkan data motivasi belajar. Bentuk tes yang digunakan adalah tes obyektif pilihan ganda dengan jumlah option lima pilihan jawaban. Pemberian skor untuk jawaban benar adalah 1 dan skor jawaban salah adalah 0. Angket kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini adalah angket kuesioner berbentuk skala Likert, dengan kriteria jawaban selalu mendapatkan skor 3, jarang mendapatkan skor 2, dan jawaban tidak pernah mendapatkan skor 1. Variabel ini diberi kriteria motivasi belajar tinggi apabila mendapatkan skor lebih dari 50% dan mendapatkan kriteria skor motivasi belajar rendah apabila mendapatkan skor kurang dari 50%. Soal tes dan angket kuesioner sebelum digunakan untuk mengumpulkan data diuji coba terlebih dahulu, untuk mengukur validitas dan rentabilitas. Uji validitas dilakukan dengan analisis faktor konfirmatori. Dengan ketentuan masing-masing indikator besarnya value > 1 signifikansi < 0,05. Adapun rumus yang digunakan adalah:
rxy
n X
n XY X Y
2
X n Y 2 Y 2
2
Keterangan : rxy = Indeks konsistensi internal untuk butir ke-i (daya pembeda) n = banyaknya subyek yang dikenai tes (instrumen). X = skor untuk butir ke-i (dari subyek uji coba). Y = total skor (dari subyek uji coba). ∑XY = jumlah (X)(Y) (Sugiyono, 2012:349) Dan uji reliabilitas diukur dengan rumus sebagai berikut:
2rb ri = 1+ rb ri = reliabilitas internal seluruh instrumen rb = korelasi product moment antara belahan pertama dan kedua. (Sugiyono, 2012:359)
480
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Pengujian hipotsis menggunakan teknik analisa varian (ANOVA) dua jalur. ANOVA dua jalur adalah teknik statistik inferensial parametris yang digunakan untuk menguji hipotesis komparatif lebih dari dua sampel (k sampel) secara serempak bila setiap sampel terdiri dari dua kategori atau lebih (Sugiyono, 2012:183). Ringkasan ANOVA Dua Jalur
(Sugiyono, 2012:187-190). Dan pengujian Hipotesis juga menggunakan uji-t. Uji ini bermaksud untuk mengetahui pengaruh variabel independen secara parsial dengan variabel dependen, dengan membandingkan ttabel dengan thitung. Adapun rumus yang digunakan menurut Sugiyono (2012:238) dalam menguji hipotesis (Uji t) penelitian ini adalah:
Di mana: t = nilai uji t r = koefisien korelasi r2= koefisien determinasi n = banyak sampel yang diobservasi Pengambilan data dilaksanakan Tanggal 17 sampai 22 Februari 2014, dengan memberikan pembelajaran menggunakan media pembelajaran Adobe Flash CS3 pada siswa kelas XI Akuntansi SMK Negari 1 Magetan dan pembelajaran menggunakan Power Point pada siswa kelas XI Akuntansi SMK PSM 2 Kawedanan, serta menggunakan kuesioner motivasi belajar dan hasil belajar siswa. Sebelum dilakukan uji hipotesis penelitian maka dilakukan uji persyaratan dengan menggunakan uji validitas, uji reliabilitas dan uji normalitas.
Hasil Penelitian Dari hasil analisis dan interpretasi data maka dilakukan pembahasan sebagai berikut: 1. Pengaruh penerapan Media Pembelajaran Berbasis Adobe Flash CS3 dan siswa yang memperoleh Media Pembelajaran Power Point terhadap hasil belajar. Berdasarkan hasil uji independent T-Test diketahui bahwa nilai signifikansi sebesar 0,003 pada media pembelajaran. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan hasil belajar antara penggunaan media pembelajaran Microsoft Office Power Point dan Adobe Flash CS3 Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
481
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
karena nilai signifikansi lebih kecil dari 0,05. Dari distribusi frekuensi 33 responden yang mendapatkan media pembelajaran Microsoft Office PowerPoint, sebagian besar memiliki hasil belajar tidak tuntas, yaitu 20 responden (60,6%). Sedangkan 33 siswa yang mendapatkan media pembelajaran Adobe Flash CS3, setengahnya memiliki hasil belajar tuntas, yaitu 18 responden (54,4%). 2. Pengaruh Motivasi Tinggi dan Rendah Terhadap Hasil Belajar. Hasil pengujian Independent T-Test diketahui bahwa nilai signifikansi motivasi belajar sebesar 0,001. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan hasil belajar antara motivasi belajar rendah dengan motivasi belajar tinggi karena nilai signifikansi lebih kecil dari 0,05. Dari hasil distribusi frekuensi diketahui bahwa dari 33 responden yang mendapatkan media pembelajaran Microsoft Office PowerPoint, setengahnya memiliki Motivasi rendah, yaitu 18 responden (54,5%), sedangkan dari 33 responden yang mendapatkan media pembelajaran Adobe Flash CS3, sebagian besar memiliki motivasi tinggi, yaitu 26 responden (78,8%). 3. Interaksi antara Media Pembelajaran dan motivasi belajar terhadap hasil belajar belajar. Berdasarkan dari pengujian Two Ways Anova, didapatkan nilai signifikansi sebesar 0,039, hal ini menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara penggunaan media pembelajaran dan motivasi belajar terhadap hasil belajar kompetensi mengelola administrasi kas bank pada siswa kelas XI Akuntansi di SMKN I Magetan dan SMK PSM 2 Kawedanan tahun pelajaran 2013/2014 karena nilai signifikansi lebih kecil dari 0,05. Hal ini didukung dengan umur responden yang setengahnya berumur 17 tahun, yaitu 37 responden (56,1%).
Simpulan Memperhatikan hasil analisis data dan pembahasan maka simpulan dari penelitian ini adalah: (1) Terdapat perbedaan antara siswa yang memperoleh pembelajaran dengan Media Presentasi Program Adobe Flash dan Media Presentasi Power Point terhadap hasil belajar kompetensi mengelola administrasi kas bank pada siswa kelas XI Akuntansi di SMKN 1 Magetan dan SMK PSM 2 Kawedanan tahun pelajaran 2013/2014. (2) Terdapat perbedaan antara siswa yang memiliki motivasi belajar tinggi dan motivasi belajar rendah terhadap hasil belajar kompetensi mengelola administrasi kas bank pada siswa kelas XI Akuntansi di SMKN I Magetan dan SMK PSM 2 Kawedanan tahun pelajaran 2013/2014. (3) Terdapat interaksi antara penggunaan media pembelajaran dan motivasi belajar terhadap hasil belajar kompetensi mengelola administrasi kas bank pada siswa kelas XI Akuntansi di SMKN I Magetan dan SMK PSM 2 Kawedanan tahun pelajaran 2013/2014.
Saran Saran yang disampaikan adalah sebagai berikut: (1) Bagi sekolah diharapkan dapat memberikan fasilitas yanng memadai kepada guru dalam pembuatan media pembelajaran, melalui pelatihan-pelatihan ataupun memberikan fasilitas dana kepada guru untuk membuat media pembelajaran yang kreatif dan menarik sehingga dapat meningkatkan motivasi belajar dan hasil belajar siswa. (2) Bagi Peneliti lain, karena keterbatasan waktu dalam penelitian ini, diharapkan bagi peneliti lain dapat mengembangkan penelitian ini dengan variabel yang lebih banyak dan jumlah responden yang lebih variatif sehingga dapat menghasilkan sumbangsih ilmu pengetahuan yang lebih akurat.
482
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Daftar Pustaka Arsyad, Azhar. 2011. Media Pembelajaran. Jakarta: Rajawali Press. Daryanto. 2011. Media Pembelajaran. Bandung: Satu Nusa. Depdiknas. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta: Depdiknas. Djamarah, Syaiful Bahri. 2008. Psikologi Belajar. Jakarta: Rineka Cipta. Djamarah, Syaiful Bahri. 2010. Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta. Eggen, Paul; Kauchak, Don. 2012. Strategi dan Model Pembelajaran Mengajarkan Konten dan Ketrampilan Berpikir). Jakarta: Indeks. Gunarsa, Singgih, D. 2004. Psikologi Perkembangan Anak, Remaja dan. Keluarga. Jakarta: PT. Gunung Mulia. Hamruni. 2012. Strategi Pembelajaran. Yogyakarta: Insan Madani. Iskandar. 2012. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Indeks. Miarso, Yusuf. 2011. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta: Kencana. Munadi, Yudhi. 2013. Media Pembelajaran Sebuah Pendekatan Baru. Jakarta: Referensi. Musfiqon. 2012. Pengembangan Media dan Sumber Pembelajaran. Jakarta: Prestasi Pustakaraya. Purwanto, Ngalim. 2007. Psikologi Pendidikan. Bandung. PT. Remaja Rosdakarya. Riyana, Ilyasih. 2008. Pemanfaatan OHP dan Presentasi dalam Pembelajaran. Jakarta: Cipta Agung. Sadiman, Arief S. 2008. Media Pendidikan;Pengertian, Pengembangan, dan Pemanfaatannya. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Saminanto. 2010. Praktek PTK (Penelitian Tindakan Kelas). Semarang: Rasamail Media Group. Sanjaya, Wina. 2010. Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran. Jakarta: Kencana. Sanjaya, Wina. 2012. Media Komunikasi Pembelajaran. Jakarta: Kencana. Santoso, Gempur. 2012. Metodologi Penelitian Kuantitatif Dan Kualitatif. Jakarta: Prestasi Pustaka. Santrock, John W. 2011. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Kencana. Sardiman. 2007. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Slameto. 2010. Belajar dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi. Jakarta: PT.Rineka. Smaldino, Sharon E.; Lowther, Deborah L.; dan Russell, James D. 2011. Instructional technology & Media For Learning : Teknologi Pemebelajaran dan Media untuk Belajar. Jakarta: Kencana Sudjana, Nana. 2005. Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta. Sudjana, Nana dan Riva'i. 2007. Media Pengajaran. Bandung: Sinar Baru. Sugiyono. 2012. Statistik Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta. Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & B. Bandung: Alfabeta Sukirman. 2012. Pengembangan Sistem Evaluasi. Yogyakarta : PT Insan Madani. Sumiati dan Asra. 2011. Metode Pembelajaran. Bandung: Wacana Prima.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
483
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Motivasi Belajar Siswa Terhadap Prestasi Belajar Pada Mata Pelajaran Ekonomi (Studi Pada Siswa Kelas X SMK Matsna Karim Desa Bulurejo Kecamatan Diwek Kabupaten Jombang) Dwi Wahyuni 14 ([emailprotected]) Abstract This study was conducted to analyze the factors that influence students' motivation to learning achievement on economic subjects. This research was conducted in class X SMK Accounting Department Matsna Karim Bulurejo Village District of Diwek Jombang. Based on the analysis researchers do, it is known that students who have problems in the physiological factors were 21 students or 65.625%. In this case the physiological factor is not how an effect on student achievement, it can be shown with the average value of daily repetition of 71.72 while the KKM (minimum completeness criteria) is equal to 65. From the low physiological factors that exist on students, it turns out students can still be motivated to study and obtain satisfactory performance. This is because there are other factors that affect their motivation to learn that psychological factors that exist in themselves, family factors that support and give attention, school environmental factors that provide good facilities and comfort to create a conducive teaching and learning process, community and environmental factors that affect student motivation. Keywords: learning motovation, achievement Abstrak Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menganalisis faktor apa saja yang mempengaruhi motivasi belajar siswa terhadap prestasi belajar pada mata pelajaran ekonomi. Penelitian ini dilakukan pada siswa kelas X jurusan Akuntansi SMK Matsna Karim Desa Bulurejo Kecamatan Diwek Kabupaten Jombang. Berdasarkan analisis yang telah peneliti lakukan, diketahui bahwa siswa yang mempunyai masalah pada faktor fisiologis sebanyak 21 siswa atau 65,625%. Dalam hal ini faktor fisiologis tidak seberapa berpengaruh terhadap prestasi siswa, hal ini dapat ditunjukkan dengan nilai ratarata ulangan hariannya sebesar 71,72 sedangkan pada KKM (kriteria ketuntasan minimal) adalah sebesar 65. Dari rendahnya faktor fisiologis yang ada pada diri siswa, ternyata siswa masih bisa termotivasi dalam belajarnya dan mendapatkan prestasi yang cukup memuaskan. Hal ini dikarenakan masih ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi motivasi belajar mereka yaitu faktor psikologis yang ada pada diri mereka sendiri, faktor keluarga yang mendukung dan memberi perhatian, faktor lingkungan sekolah yang menyediakan fasilitas dan kenyamanan yang baik sehingga terciptanya proses belajar mengajar yang kondusif, dan faktor lingkungan masyarakat yang sangat mempengaruhi motivasi belajar siswa. Kata Kunci: Motivasi Belajar, Prestasi
Pendahuluan Pendidikan adalah usaha sadar untuk menumbuhkembangkan potensi Sumber Daya Manusia (SDM) melalui kegiatan pengajaran. Konsep belajar berakar pada pihak peserta didik dan konsep pembelajaran berakar pada pihak pendidik. Dalam kehidupan masyarakat modern, setiap cabang pendidikan dan pengajaran senantiasa memiliki pedoman umum untuk menentukan tujuan dan hasil akhir. Pedoman itu akan cenderung bersifat filosofis dan juga 14
Dosen Pendidikan Ekonomi, STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia
484
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
politis, karena menurut lazimnya tujuan itu ditetapkan sebagai peraturan atau undang-undang bagi Indonesia yang telah diterapkan dasar, tujuan dan sistem pendidikan nasional-nya. Sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Bab II Pasal 3 yang berbunyi “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat, dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang kuat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Dengan demikian tiap-tiap warga negara mempunyai hak yang sama dalam memperoleh pendidikan yang bermutu. Fenomena ini ditandai dari masih rendahnya mutu lulusan yang dikeluarkan setiap tahunnya oleh sekolah-sekolah. Oleh karena itu, perubahan paradigma baru pendidikan kepada mutu merupakan salah satu strategi untuk mencapai pembinaan keunggulan pribadi anak. Dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan, tantangan yang sering dihadapi oleh pendidik (guru) adalah strategi apa yang tepat untuk diterapkan pada peserta didik (siswa). Untuk menentukan strategi yang tepat bukanlah suatu pekerjaan yang mudah, harus melalui berbagai macam penelitian. Banyak sekali faktor yang mempengaruhi terhadap perolehan hasil belajar pembelajaran. Faktor tersebut berasal dari dalam diri dan luar pembelajar. Faktor yang berasal dari diri pembelajar meliputi faktor-faktor bawaan seperti intelegensi. bakat, minat, aspirasi, harapan, militansi, keuletan, kerajinan, keteguhan, kemandirian serta dorongandorongan dari dalam. Sedangkan faktor yang berasal dari luar seperti kondisi lingkungan belajar, guru sebagai fasilitator, pembimbing belajar. prasarana dan sarana yang tersedia, dukungan dari lingkungan pembelajar (baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosialnya). Keberhasilan belajar yang dilakukan oleh siswa itu akan berhasil jika dilatar belakangi oleh suatu dorongan dalam diri siswa tersebut yang pada umumnya dikatakan sebagai motivasi. Motivasi belajar adalah keseluruhan daya penggerak psikis dalam diri peserta didik (siswa) yang menimbulkan kegiatan belajar, menjamin kelangsungan belajar itu demi mencapai suatu tujuan. Motivasi belajar memegang peranan penting dalam memberikan gairah, semangat dan rasa senang siswa dalam belajar sehingga yang mempunyai motivasi tinggi akan mempunyai energi yang banyak untuk mengikuti kegiatan belajar. Berbagai upaya dalam meningkatkan motivasi belajar tersebut dapat dilakukan dengan cara mengoptimalkan unsurunsur belajar atau pembelajaran, mengoptimalkan penerapan prinsip-prinsip belajar, mengoptimalkan pemanfaatan pengalaman kemampuan yang dimiliki oleh peserta didik (siswa), serta mengembangkan cita-cita dan aspirasi peserta didik (siswa). Saat ini dimana dunia pendidikan terbuka luas bagi siapapun yang ingin belajar, motivasi belajar yang ada malah mengalami penurunan. Dimana idealnya adalah seseorang mengikuti kegiatan belajar dengan tujuan untuk mengerti setiap apa yang dipelajarinya, namun sekarang ini tujuan dalam belajar tersebut bukan lagi untuk mengerti tetapi hanya utnuk bias mendapatkan nilai yang baik. Tidak jarang juga ditemui banyak siswa bahkan orang tua siswa sendiri yang menghalalkan segala cara baik lewat mencontek atau membeli bocoran soal-soal ujian, agar dapat memperoleh nilai yang memuaskan. Banyak kasus yang membuktikan mengenai hal ini seperti adanya bocoran soal-soal ujian nasional, pemalsuan ijazah, dan praktek jual beli gelar. Dari hasil observasi yang dilakukan oleh peneliti, diketahui bahwa peserta didik (siswa) kelas X jurusan Akuntansi di SMK Matsna Karim dalam mengikuti pembelajaran mata Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
485
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
pelajaran ekonomi sangat kurang, padahal mereka masuk di jurusan akuntansi. Hal ini dilihat dari nilai rata-rata ulangan harian siswa yang relatif masih rendah dengan nilai 71,72. Sehubungan dengan hal tersebut maka peneliti bermaksud melakukan penelitian dengan tujuan untuk menganalisis faktor apa saja yang mempengaruhi motivasi belajar siswa terhadap prestasi belajar pada mata pelajaran ekonomi. Penelitian ini dilakukan pada siswa kelas X jurusan Akuntansi SMK Matsna Karim Desa Bulurejo Kecamatan Diwek Kabupaten Jombang.
Landasan Teori Pengertian Pendidikan Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Wina Sanjaya (2006:2) Carter V. Good menuturkan bahwa pendidikan adalah keseluruhan proses dimana seseorang mengembangkan kemampuan, sikap, dan bentuk tingkah laku lainnya yang bernilai di dalam masyarakat dimana dia berada. Dalam bukunya “Dictionary of Education”, Carter membedakan pengertian pendidikan dalam dua hal: (1) Pedagogiy is the art, practice, or profession of teaching (pendidikan adalah seni, praktek, atau profesi pengajaran); (2) Pedagogy is the systematized of teaching and of student control and guidance (pendidikan adalah ilmu yang sistematis atau pengajaran yang berhubungan dengan prinsip dan metode mengajar, pengawasan dan pembimbingan siswa. (M. Noor Syam dkk, dalam Arif Rahman 2009:6).
Motivasi Belajar Teori Motivasi Belajar Motivasi belajar memegang peranan penting dalam memberikan gairah, semangat dan rasa senang dalam belajar sehingga siswa yang mempunyai motivasi tinggi mempunyai energi yang banyak untuk melaksanakan kegiatan belajar. Siswa yang mempunyai motivasi tinggi sangat sedikit yang tertinggal belajarnya dan sangat sedikit pula kesalahan dalam belajarnya. Motivasi dapat dipandang sebagai suatu rantai reaksi yang dimulai dari adanya kebutuhan, kemudian timbul keinginan untuk memuaskannya (mencapai tujuan), sehingga menimbulkan ketegangan psikologis yang akan mengarahkan perilaku kepada tujuan (kepuasan). Barelson dan Steiner dalam Koontz (2001:115) mendefinisikan motivasi sebagai suatu keadaan dalam diri seseorang (innerstate) yang mendorong, mengaktifkan atau menggerakkan, dan yang mengarahkan atau menyalurkan perilaku ke arah tujuan. Berikut ini gambar rantai motivasi.
Kebutuha nn
Keinginan
Keteganga n
Perilak u
Kepuasa n
Gambar 1. Rantai Motivasi (sumber: Barelson & Steiner dalam Koontz, 2001:115) Motivasi ini muncul dan berkembang dalam diri seseorang dengan jalan datang dari dalam individu itu sendiri (intrinsic) dan datang dari lingkungan (ekstrinsic). Faktor lingkungan yang memadai mendukung pencapaian dan perwujudan motivasi sehingga dapat berlangsung tanpa banyak kesulitan. Namun faktor lingkungan yang kurang memadai dapat menghambat
486
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
pencapaian motivasi tersebut (Makmun, 2001:37). Tanpa motivasi hasil belajar siswa tidak akan optimal dan stimulus belajar yang diberikan tidak akan berarti. Dalam hal ini, nilai yang buruk pada suatu mata pelajaran tertentu belum berarti bahwa sang anak bodoh dalam mata pelajaran tersebut. Seringkali terjadi seorang anak malas terhadap suatu pelajaran tertentu namun giat dalam mata pelajaran yang lain.
Bentuk-bentuk Motivasi Belajar Menurut Winkel (1996: 173-174) dalam kegiatan belajar ada dua bentuk motivasi yang dimiliki oleh seseorang, yaitu. a. Motivasi intrinsik Dalam motivasi intrinsik ini kegiatan belajar dimulai dan diteruskan berdasarkan penghayatan suatu kebutuhan atau dorongan yang secara mutlak berkaitan dengan aktivitas belajar itu. Semua keinginan itu berpangkal pada penghayatan kebutuhan dan siswa berdaya upaya melalui kegiatan belajar, untuk memenuhi kebutuhan itu b. Motivasi ekstrinsik Berbeda dengan motivasi intrinsik, pada motivasi ekstrinsik aktivitas belajar dimulai dan diteruskan berdasarkan kebutuhan dan dorongan yang tidak secara mutlak berkaitan dengan aktivitas belajar sendiri. Jadi motivasi ekstrinsik ini merupakan suatu bentuk motivasi yang berasal dari luar siswa, yang berpangkal pada suatu kebutuhan yang dihayati siswa itu sendiri dan hanya dapat dipenuhi melalui belajar atau sebetulnya juga dapat dipenuhi dengan cara lain.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Motivasi Belajar Purwanto (1999: 102) membedakan faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi belajar menjadi dua golongan, yaitu. a. Faktor individual Faktor individual merupakan faktor yang berada pada diri individu itu sendiri. Adapun yang termasuk dalam faktor ini antara lain: a) kematangan atau pertumbuhan, b) kecerdasan, c) latihan, d) motivasi, e) faktor pribadi (keadaan kesehatan fisik seseorang). b. Faktor sosial Merupakan faktor yang berada diluar individu. Adapun yang termasuk dalam faktor ini antara lain: a) faktor keluarga atau keadaan rumah tangga, b) guru dan cara pengajarannya, c) alat-alat yang digunakan dalam belajar mengajar, d) lingkungan dan kesempatan yang tersedia, dan e) motivasi sosial. Menurut Wlodkowski dan Jaynes (Hawadi, 2001) mengatakan ada empat faktor yang mempengaruhi motivasi belajar, yaitu: a) kebudayaan, b) lingkungan keluarga, c) lingkungan sekolah, dan d) keinginan siswa itu sendiri untuk belajar. Fungsi Motivasi Dalam Belajar Motivasi sangat berperan dalam belajar, hasil belajar siswa akan menjadi optimal jika ada motivasi yang kuat dan jelas. Makin tepat motivasi yang diberikan, akan makin berhasil pula pelajaran itu. Sardiman A.M dalam bukunya Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar (2011:85) mengemukakan bahwa fungsi motivasi ada tiga, yaitu: a) mendorong manusia untuk berbuat, jadi sebagai penggerak atau motor yang melepaskan energy, b) menentukan arah perbuatan, yakni ke arah tujuan yang hendak dicapai, c) menyeleksi perbuatan, yakni menentukan perbuatan-perbuatan apa yang harus dikerjakan yang serasi guna mencapai tujuan dengan menyisihkan perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan tersebut.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
487
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Indikator Motivasi Belajar Motivasi dapat diamati secara langsung maupun dengan mengambil kesimpulan dari perilaku atau sikap yang ditunjukkan. Berdasarkan aspek-aspek motivasi yang ada, dapat disimpulkan bahwa indikator yang dapat dijadikan tolok ukur motivasi seseorang adalah: a) ketekunan, b) keaktifan, c) semangat dalam belajar, d) kehadiran, e) keuletan dalam menghadapi dan memecahkan masalah yang ada.
Bentuk-bentuk Motivasi di Lingkungan Sekolah Dalam kegiatan belajar mengajar peranan motivasi, baik intrinsik maupun ekstrinsik sangat diperlukan dengan motivasi. Pelajar dapat mengembangkan aktivitas dan inisiatif, dapat mengarahkan dan memelihara ketekunan dalam melakukan kegiatan belajar. Dalam hal ini seorang guru harus hati-hati dalam menumbuhkan dan memberikan motivasi bagi kegiatan belajar peserta didik, jangan sampai hal ini dimaksudkan untuk memberikan motivasi tetapi justru tidak menguntungkan bagi perkembangan belajar siswa. Menurut Oemar Hamalik (2005:166-168) ada beberapa cara yang dapat dilakukan guru untuk menumbuhkan atau membangkitkan motivasi siswa dalam kegiatan belajar di sekolah, yaitu: a) memberi angka, b) hadiah, c) persaingan atau kompetisi, d) kerja kelompok, e) memberikan ulangan, f) mengetahui hasil (penilaian), g) pujian, h) hukuman, i) hasrat untuk belajar, j) minat, dan k) tujuan yang diakui.
Prestasi Belajar Pengertian Prestasi Belajar Menurut Suryabrata (1984:26) prestasi belajar adalah hasil yang telah dicapai seseorang dalam belajar. Hasil tersebut dinyatakan dalam nilai rapor dan indeks prestasi yang diperoleh berdasarkan hasil pengukuran proses belajar. Ketika belajar, seseorang selalu mempunyai keinginan atau harapan untuk mencapai hasil yang optimal demi tercapainya prestasi belajar yang tinggi. karena itu prestasi belajar sering diartikan sebagai hasil dari perbuatan belajar yang melukiskan taraf kemampuan seseorang setelah belajar dan berlatih dengan sengaja, sehingga menimbulkan perubahan tingkah laku kea rah yang lebih maju. Hasil dari proses belajar tersebut dapat juga merupakan penyempurnaan dan pengembangan dari suatu kemampuan yang dimiliki (Winkel dalam Rivka, 2009:31). Menurut Syaifudin dalam Rivka (2000:58) nilai prestasi yang diberikan sebagai hasil tes, pekerjaan rumah ataupun tugas memiliki nilai motivasi yang tinggi. hal ini disebabkan karena nilai sendiri merupakan sesuatu yang menyebabkan hal itu pantas dikejar oleh manusia. Nilai sendiri bisa dipakai sebagai pandangan mengenai baik buruknya prestasi siswa (Winkel, 1996), sehingga menjadi suatu ukuran menilai performance akademik seseorang.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar Untuk mencapai prestasi belajar sebagaimana yang diharapkan, maka perlu diperhatikan beberapa faktor yang mempengaruhi prestasi belajar antara lain. 1. Faktor yang terdapat dalam diri siswa (faktor intern). Faktor intern adalah faktor yang timbul dari dalam diri individu itu sendiri. Adapun yang dapat digolongkan ke dalam faktor intern yaitu kecerdasan/inteligensi, bakat, minat dan motivasi. 2. Faktor yang terdiri dari luar siswa (faktor ekstern). Faktor ekstern adalah faktor yang dapat mempengaruhi prestasi belajar yang sifatnya diluar diri siswa, meliputi beberapa pengalaman-pengalaman, keadaan keluarga, keadaan
488
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
sekolah, lingkungan sekitar.
Metode Penelitian Dalam kegiatan penelitian ini, suatu kegiatan penulisan ilmiah yang didalamnya mengandung rumusan masalah yang memerlukan pemecahan dinyatakan dalam dugaan sementara dan memerlukan pengujian dan kajian secara ilmiah dengan menggunakan teknik penelitian yang sesuai dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Rancangan penelitian yang peneliti gunakan adalah penelitian kuantitatif dengan pendekatan deskriptif eksploratif. Dalam penelitian ini peneliti tidak menggunakan angka dalam mengumpulkan data dan dalam memberikan penafsiran terhadap hasilnya. Namun demikian tidak berarti bahwa dalam penelitian deskriptif ini, peneliti sama sekali tidak diperbolehkan menggunakan angka. Dalam hal-hal tertentu diperbolehkan menggunakan angka untuk memperkuat data penelitian (Arikunto, 2006:12). Penelitian ini dilakukan pada siswa kelas X jurusan Akuntansi SMK Matsna Karim Desa Bulurejo Kecamatan Diwek Kabupaten Jombang. Dalam penelitian ini responden yang dipakai adalah seluruh siswa kelas X jurusan Akuntansi sebanyak 32 siswa. Dikarenakan kelas X jurusan Akuntansi hanya terdiri dari 1 (satu) kelas saja maka peneliti akan menggunakan sampel semuanya sebanyak 32 siswa. Dalam mengumpulkan data, peneliti menggunakan teknik pengumpulan data melalui: (1) wawancara, (2) observasi, (3) angket, (4) dokumentasi, (5) literatur. Untuk memudahkan proses pengumpulan dan analisis data, peneliti menggunakan instrumen penunjang yang terdiri atas: (1) pedoman observasi yang digunakan untuk melakukan pengamatan secara langsung dan digunakan untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi motivasi belajar siswa pada saat guru menjelaskan mata pelajaran akuntansi, (2) pedoman wawancara yang digunakan untuk menjaring data yang berupa jawaban dari siswa tentang faktor yang mempengaruhi motivasi belajar siswa pada saat guru menjelaskan mata pelajaran akuntansi, (3) angket atau kuisioner digunakan untuk mengumpulkan data dari siswa yang menjadi sampel yaitu kelas X jurusan Akuntansi tentang faktor yang mempengaruhi motivasi belajar pada saat guru menjelaskan mata pelajaran akuntansi. Data yang diperoleh dianalisis melalui pendekatan deskriptif eksploratif, karena tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi belajar siswa terhadap prestasi belajar pada mata pelajaran akuntansi. Peneliti melakukan analisis data dimulai pada saat pertama kali mengumpulkan data sampai dengan akhir pengumpulan data selesai. Hal ini dilakukan agar fenomena yang diteliti dapat dideskripsikan secara utuh, objektif, dan sistematis. Langkah-langkah yang ditempuh peneliti dalam menganalisis data meliputi: (1) date collection, (2) date reduction, (3) date display, (4) conclution.
Hasil Penelitian Analisis Data Dari 32 jumlah responden, peneliti menyebarkan angket untuk diisi oleh siswa yang menjadi responden tersebut. Angket yang peneliti sebarkan terdiri dari 30 pertanyaan. Dari hasil observasi, wawancara dan penyebaran angket, peneliti dapat mengetahui bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi belajar siswa terhadap prestasi belajar pada mata pelajaran akuntansi diantaranya:
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
489
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
1. Faktor intrinsik motivasi, terdiri atas faktor psikologis dan fisiologis. Melalui angket yang disebarkan pada siswa, diketahui bahwa 24 siswa atau 75% responden menyatakan bahwa faktor psikologis yang berupa cita-cita sangat mempengaruhi motivasi belajar. Sedangkan 8 siswa atau 25% responden menyatakan bahwa cita-cita tidak mempengaruhi motivasi mereka dalam belajar. Melalui angket yang disebarkan pada siswa, diketahui sebanyak 23 siswa atau 71,875% responden menyatakan bahwa faktor fisiologis yang berupa kelelahan sangat mempengaruhi motivasi belajar. Dalam hal ini faktor kelelahan mempunyai pengaruh yang paling besar terhadap motivasi belajar, sedangkan 9 siswa atau 28,125% responden menyatakan bahwa faktor fisiologis yang berupa kelelahan tidak mempengaruhi motivasi belajar mereka. 2. Faktor ekstrinsik motivasi, terdiri atas lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Dari hasil wawancara dengan siswa yang menjadi sampel dalam penelitian, dapat dijelaskan bahwa ketika seorang siswa merasakan kondisi dalam keluarga yang menyenangkan, hal tersebut dapat membuat siswa akan menjadi nyaman dirumah dan ketika orang tua juga memberikan perhatian terhadap belajarnya misalnya saja dengan menanyakan pelajaran, menyediakan tempat belajar yang layak, memenuhi buku yang dibutuhkan menjadi sebuah dorongan atau motivasi terhadap anaknya. Jika faktor-faktor tersebut ada pada lingkungan keluarga, maka siswa akan merasa senang untuk belajar ketika berada di rumah. Melalui angket yang disebarkan pada siswa, diketahui sebanyak 21 siswa atau 65,625% responden menyatakan bahwa faktor keluarga yang berupa perhatian dalam bentuk pemberian fasilitas belajar oleh keluarga sangat mempengaruhi motivasi belajar, sedangkan 11 siswa atau 34,375% responden menyatakan bahwa faktor keluarga yang berupa perhatian dalam bentuk pemberian fasilitas belajar tidak berpengaruh pada motivasi belajar. Lingkungan sekolah yang mendukung terjadinya proses belajar mengajar yang baik akan menumbuhkan rasa nyaman pada saat belajar di sekolah. Hal-hal yang termasuk dalam lingkungan sekolah adalah guru, metode mengajar, disiplin sekolah, teman sekelas, keadaan sekolah dan kelas (keadaan udara, kondisi kelas, dan fasilitas yang terpenuhi). Melalui angket yang disebarkan pada siswa, diketahui sebanyak 23 siswa atau 71,875% responden menyatakan bahwa pada lingkungan sekolah, fasilitas yang diberikan sekolah sangat mempengaruhi motivasi belajar, sedangkan 9 siswa atau 28,125% responden menyatakan bahwa pada lingkungan sekolah fasilitas yang diberikan sekolah tidak mempengaruhi motivasi belajar mereka. Lingkungan masyarakat yang terdiri dari teman bergaul, lingkungan tetangga, aktivitas dalam masyarakat, dan adanya media massa seperti internet, televisi, koran, surat kabar, majalah, buku komik yang berada di lingkungan sekitar, dapat mempengaruhi motivasi belajar siswa. Lingkungan sekitar yang mendukung akan membuat siswa senang untuk belajar. Melalui angket yang disebarkan pada siswa diketahui, sebanyak 19 siswa atau 59,375% responden menyatakan bahwa pada lingkungan masyarakat, kondisi perekonomian masyarakat dan pemberitaan tentang perekonomian di televisi paling besar pengaruhnya terhadap motivasi belajar, sedangkan 13 siswa atau 40,625% responden menyatakan pada lingkungan masyarakat, kondisi perekonomian masyarakat dan pemberitaan tentang perekonomian di televisi tidak mempengaruhi terhadap adanya motivasi belajar. Dari hasil angket yang disebarkan pada 32 siswa, diketahui sebanyak 21 siswa atau 65,625% responden menyatakan bahwa faktor fisiologis mempengaruhi motivasi siswa pada saat belajar dan menjadi maslah, sedangkan 11 siswa atau 34,375% responden menyatakan 490
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
faktor fisiologis tidak mempengaruhi motivasi siswa pada saat belajar sehingga tidak menjadi masalah. Pada faktor psikologis, diketahui sebanyak 24 siswa atau 75% responden menyatakan bahwa faktor psikologis mempengaruhi motivasi siswa dalam belajar akuntansi, sedangkan 8 siswa atau 25% responden menyatakan bahwa faktor psikologis tidak mempengaruhi motivasi siswa dalam belajar akuntansi. Analisis pada faktor keluarga, diketahui sebanyak 21 siswa atau 65,625% responden menyatakan bahwa faktor keluarga mempengaruhi motivasi siswa dalam belajar akuntansi, sedangkan 11 siswa atau 34,375% menyatakan bahwa faktor keluarga tidak mempengaruhi motivasi siswa dalam belajar akuntansi. Dari faktor lingkungan sekolah, diketahui sebanyak 23 siswa atau 71,875% responden menyatakan bahwa lingkungan sekolah mempengaruhi motivasi siswa dalam belajar akuntansi, sedangkan 9 siswa atau 28,125% menyatakan bahwa lingkungan sekolah tidak mempengaruhi motivasi siswa dalam belajar akuntansi. Dari faktor lingkungan masyarakat, diketahui sebanyak 19 siswa atau 59,375% responden menyatakan bahwa lingkungan masyarakat mempengaruhi motivasi siswa dalam belajar akuntansi, sedangkan 13 siswa atau 40,625% menyatakan lingkungan masyarakat tidak mempengaruhi motivasi siswa dalam belajar akuntansi.
Interpretasi Data Dari data-data yang sudah dianalisis tersebut, kemudian peneliti menganalisis data dengan pembahasan deskriptif kualitatif sebagai berikut. Dari hasil angket yang disebar kepada 32 responden, sebanyak 21 siswa atau 65,625% responden menyatakan bahwa siswa mempunyai masalah faktor fisiologis yang mempengaruhi motivasi belajar mereka pada saat mempelajari akuntansi, sedangkan 11 siswa atau 34,375% responden menyatakan tidak mempunyai masalah faktor fisiologis yang mempengaruhi motivasi belajar mereka pada saat mempelajari akuntansi. Masalah ini disebabkan karena adanya gangguan pada siswa yang kelelahan setelah mengikuti pelajaran olah raga, hal ini mengakibatkan siswa kurang konsentrasi karena capek sehingga motivasi dalam belajarnya menurun. Analisis faktor psikologis, sebanyak 24 siswa atau 75% responden menyatakan bahwa faktor psikologis mempengaruhi motivasi belajar siswa mereka mempelajari akuntansi, sedangkan 8 siswa atau 25% responden menyatakan bahwa faktor psikologis tidak mempengaruhi motivasi belajar mereka dalam mempelajari akuntansi. Hal ini disebabkan karena dorongan merupakan salah satu faktor yang berasal dari dalam diri siswa itu sendiri untuk dapat memaksimalkan hasil belajarnya. Analisis faktor keluarga, sebanyak 21 siswa atau 65,625% responden menyatakan bahwa faktor keluarga dapat mempengaruhi motivasi belajar mereka dalam mempelajari akuntansi, sedangkan 11 siswa atau 34,375% responden menyatakan bahwa faktor keluarga tidak mempengaruhi motivasi belajar mereka dalam mempelajari akuntansi. Dalam hal ini peranan orang tua dan kondisi keluarga dirasa sangat penting dalam memotivasi siswa untuk belajar ketika mereka berada di rumah. Peran orang tua sendiri dapat dilakukan dengan memberikan perhatiannya seperti menanyakan pelajaran di sekolah, menyediakan tempat belajar yang nyaman, dan memenuhi buku yang dibutuhkan dalam belajarnya. Analisis faktor lingkungan sekolah, sebanyak 23 siswa atau 71,875% responden menyatakan bahwa lingkungan sekolah mempengaruhi motivasi belajar mereka dalam mempelajari akuntansi, sedangkan 9 siswa atau 28,125% responden menyatakan bahwa lingkungan sekolah tidak mempengaruhi motivasi belajar mereka dalam mempelajari akuntansi. Hal tersebut dikarenakan lingkungan sekolah mendukung terjadinya proses belajar mengajar Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
491
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
yang baik, dimana guru dituntut untuk lebih kreatif dan inovatif ketika menjelaskan materi pelajaran dan selain itu didukung dengan adanya fasilitas belajar dan kondisi sekolah yang bersih, kelas yang nyaman sehingga membuat siswa betah untuk belajar di sekolah. Analisis faktor lingkungan masyarakat, 19 siswa atau 59,375 % responden menyatakan bahwa lingkungan masyarakat mempengaruhi motivasi belajar mereka dalam mempelajari akuntansi, sedangkan 13 siswa atau 40,625% responden menyatakan faktor lingkungan masyarakat tidak mempengaruhi motivasi belajar mereka dalam mempelajari akuntansi. Hal ini dikarenakan lingkungan sekitar yang mendukung akan membuat siswa senang untuk belajar. Pada saat siswa merasakan kondisi perekonomian negara yang tidak stabil maka hal ini akan menuntut seorang siswa mencari tahu tentang fenomena yang terjadi pada perekonomian negara dengan cara mempelajari pelajaran akuntansi. Hal-hal yang tidak didapat dalam buku paket, siswa akan aktif bertanya pada guru. Dari hasil penelitian yang telah dianalisis dengan menggunakan teknik deskriptif kualitatif dan dengan mengambil sampel jumlah responden yang diteliti sebanyak 32 responden, dapat dikatakan bahw faktor internal yang berupa faktor fisiologis dan faktor psikologis, serta faktor eksternal yang berupa faktor lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat sangat mempengaruhi motivasi belajar siswa terhadap prestasi yang didapatnya. Semakin tinggi motivasi belajar yang dimiliki siswa, maka semakin tinggi pula usaha belajar siswa tersebut sehingga akan mencapai prestasi yang tinggi pula. Hal ini dikarenakan siswa yang mempunyai motivasi tinggi akan selalu berusaha keras untuk menangani setiap kesulitan yang dihadapinya dalam kegiatan belajarnya. Berdasarkan nilai ulangan harian, nilai rata-rata yang diperoleh dari 32 responden yang mendapatkan nilai tertinggi berjumlah 3 orang siswa dengan nilai 80. Sedangkan responden yang mempunyai nilai terendah sebanyak 10 siswa dengan nilai 65, dengan demikian diperoleh rata-rata nilai 32 responden adalah sebesar 71,72. Berdasarkan analisis yang telah peneliti lakukan, diketahui bahwa siswa yang mempunyai masalah pada faktor fisiologis sebanyak 21 siswa atau 65,625%. Dalam hal ini faktor fisiologis tidak seberapa berpengaruh terhadap prestasi siswa, hal ini dapat ditunjukkan dengan nilai ratarata ulangan hariannya sebesar 71,72 sedangkan pada KKM (kriteria ketuntasan minimal) adalah sebesar 65. Dari rendahnya faktor fisiologis yang ada pada diri siswa, ternyata siswa masih bisa termotivasi dalam belajarnya dan mendapatkan prestasi yang cukup memuaskan. Hal ini dikarenakan masih ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi motivasi belajar mereka yaitu faktor psikologis yang ada pada diri mereka sendiri, faktor keluarga yang mendukung dan memberi perhatian, faktor lingkungan sekolah yang menyediakan fasilitas dan kenyamanan yang baik sehingga terciptanya proses belajar mengajar yang kondusif, dan faktor lingkungan masyarakat yang sangat mempengaruhi motivasi belajar siswa.
Daftar Pustaka Arikunto, Suharsimi.2006. Prosedur Penelitian. Jakarta: PT. Rineka Cipta Dimyati dan Mudjiono. 2004. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: PT. Rineka Cipta Dimyati dan Mudjiono. 2006. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: PT. Rineka Cipta Djamarah, Syaiful Bahri dan Zain,Aswan.2006. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: PT. Rineka Cipta Gibson, James L., John M. Ivancevich dan James H. Donnely, Jr. 2002. Organisasi dan Manajemen: Perilaku, Struktur, Proses. Jakarta: Penerbit Erlangga
492
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Hamalik, Oemar. 2008. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara Hamalik, Oemar. 2008. Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem. Jakarta:Bumi Aksara Hamzah B. Uno. 2008. Teori Motivasi dan Pengukurannya. Jakarta: Bumi Aksara Koontz, Harold, Cyril O’Donell dan Heinz Weihrich. 2001. Manajemen. Jakarta: Penerbit Erlangga Rahman, Arif. 2009. Memahami Pendidikan dan Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: Laksbang Mediatama Sanjaya, Wina. 2008. Strategi Pembelajaran berorientasi Standart Proses pendidikan. Jakarta: Kencana Sardiman A.M. 2008. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Raja Grafindo Persada Sunarto, H dan B.A Hartono. 1999. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: PT. Rineka Cipta
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
493
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Pengaruh Bahan Ajar Berbasis Media Audio Visual Terhadap Hasil Belajar Siswa Kelas X pada Mata Pelajaran Ekonomi SMA Negeri 2 Bondowoso Dedy Wijaya Kusuma 15 ([emailprotected]) Abstract This research was aimed at finding out how the effect of audio visual media in students learning achievement. This study was sort of quantitative experiment. The sample was all the populasion the tenth grade of SMA Negeri 2 Bondowoso. The data were collected using test, and were analyzed through correlation and hypothesis testing. Based on the result, it was gained that the students post-test was better thet the pre-test. It showed that using audio visual method gave the positive effect in economics lesson. Besides, the t-test calculation showed that tcount=2.210>ttable=2.060, indicated thet there was significant differenc of pre-test and post-test hence, there was positive effect of using audio visual media in stedents' economics learning achievement at the tenth grade of SMA Negeri 2 Bondowoso. Keywords: audio visual media, learning achievement Abstrak Pengaruh bahan ajar berbasis Media audio visual adalah suatu proses pembelajaran yang menggunakan media atau alat bantu untuk membantu membangkitkan semangat dan minat siswa di dalam proses pembelajaran. Bertujuan untuk mengetahui berapa besar pengaruh media audio visual terhadap hasil belajar siswa kelas X SMA Negeri 2 Bondowoso. Metode penelitian ini adalah jenis eksperimen dengan menggunakan pendekatan kuantitatif. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas X SMA Negeri 2 Bondowoso yang berjumlah 54 orang. Sampel dalam penelitian ini adalah siswa kelas X SMA Negeri 2 Bondowoso, kelas eksperimen 26 orang dan kelas kontrol 28 orang. Hasil penelitian dari uji korelasi tersebut Ttabel = 2,060 karena Thitung > T tabel maka Ha di terima sedangkan Ho ditolak. Berdasarkan dari perhitungan yang di peroleh dari hasil Thitung 2,210 selanjutnya dengan Ttabel pada taraf signifikan 5% dengan db = 25 yaitu sebesar 2,060 maka Thitung 2,210 >Ttabel 2,060 dapat di buktikan ada perbedaan yang signifikan antara hasil belajar siswa sebelum penelitian dengan hasil postest siswa pada taraf signifikan 5%. Dari hasil tersebut dapat di tarik kesimpulan bahwa media audio visual memberikan dampak yang positif terhadap hasil belajar siswa kelas X pada mata pelajaran ekonomi SMA Negeri 2 Bondowoso. Kata kunci : media audio visual dan hasil belajar.
Pendahuluan Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk waktu serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa (UU RI No. 20, Tahun 2003). Berdasarkan fungsi pendidikan nasional ini, peran guru menjadi kunci keberhasilan pendidikan dan pembelajaran di sekolah. Selain Guru bertanggung jawab untuk mengatur, mengarahkan dan menciptakan suasana kondusif yang mendorong siswa untuk melaksanakan kegiatan di kelas, salah satu faktor yang ikut mendukung peroses belajar mengajar adalah media. Karena pendidikan pada saat sekarang ini telah menunjukkan suatu kemajuan dan perkembangan yang sangat pesat. Hal ini ditandai dengan kemajuan yang sudah modern, dimana peranan teknologi sudah sedemikian menonjol, terutama pada masyarakat di negara-negara berkembang. 15
Dosen Program Dosen Universitas Kanjuruhan Malang, Jawa Timur, Indonesia
494
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Sejalan dengan kemajuan bidang ilmu dan teknologi, maka dewasa ini bidang pembelajaran secara umum sedikit banyaknya terpengaruh oleh adanya perkembangan dan penemuan-penemuan dalam bidang keterampilan, ilmu, dan teknologi. Pengaruh perkembangan tersebut tampak jelas dalam upaya-upaya pembaharuan sistem pendidikan dan pembelajaran. Upaya pembaruan itu menyentuh bukan hanya secara fisik/fasilitas pendidikan, tetapi juga sarana non fisik seperti pengembangan kualitas tenaga-tenaga kependidikan yang memiliki pengetahuan, kemempuan, dan keterampilan memamfaatkan fasilitas yang tersedia, cara kerja yang inovatif, serta sikap yang positif serta tugas-tugas kependidikan yang di embannyan. Salah satu bagian integral dari upaya pembaruan itu adalah pengembangan- pengembangan dalam dunia media pembelajaran. Oleh karena itu media pembelajaran menjadi suatu bidang yang seyogianya di kuasai oleh guru profesional. Media pembelajaran merupakan perangkat alat bantu atau pelengkap yang di gunakan oleh guru atau pendidik dalam rangka berkomonikasi dengan peserta didik. Berdasarkan fenomena sekarang, semanat awal belajar siswa sangatlah rendah hal ini akan berdampak kepada kurangnya hasil belajar yang akan dicapai oleh siswa. Dengan demikian, media audio visual sebagai alat bantu pembelajaran sangat diharapkan dapat meningkatkan semangat dalam merangsang siswa untuk lebih aktif dan bersemangat dalam peroses belajar mengajar sehingga menghasilkan hasil yang maksimal. Karena siswa dalam menyerap atau memahami suatu bahan yang telah diajarkan dapat diketahu berdasarkan penilaian yang dilakukan oleh guru. Salah satu cara untuk mengukur hasil belajar siswa dilihat dari hasil belajar siswa itu sendiri. Selain membangkitkan semangat, media dapat meningkatkan hasil belajar siswa dengan baik dan dapat juga membantu meningkatkan pemahaman, menyajikan materi dengan menarik, terpercaya dan siswa mudah mendapatkan informasi. Oleh karena itu meningkatkan hasil belajar siswa agar mendapatkan nilai yang memuaskan, merupakan tugas guru yang mana guru harus benar-benar bisa menguasai semua keterampilan yang menyangkut pembelajaran, terutama keterampilan dalam penggunaan barbagai macam media. Keterampilan ini sangat mempengaruhi semangat di dalam proses pembelajaran dan hasil belajar siswa. Jika seorang guru tidak memiliki keterampilan tersebut, siswa akan cepat bosan dan jenuh terhadap materi yang di ajarkan. Untuk mengatasi hal-hal di atas guru hendaknya menggunakan media dalam peroses belajar mengajar, agar minat siswa dalam belajar menjadi meningkat, jika sudah begitu maka hasil belajarpun akan memuaskan dan tujuan pembelajaran juga tercapai sesuai dengan harapan. Adapun hasil penelitian terdahulu yang terkait dengan penelitian peneliti yaitu: 1). Muliyani, (2009) dalam penelitiannya menyimpulkan yang Pertama, teknik penggunaan audio visual (CD) dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam di MTs Negeri Model Selong, melalui beberapa tahap yaitu, menyusun materi, menyiapkan buku-buku pendukung yaitu buku paket Pendidikan Agama Islam (Fiqih), menyiapkan ruangan dan perlengkapan, menggunakan alat-alat, serta mengadakan evaluasi. Yang kedua, Peranan penggunaan media audio visual (CD) pada mata pelajaran pendidikan agama Islam (Fiqih) di MTs Negeri Model Selong sangat penting, karena dengan adanya media tersebut, materi/bahan pelajaran akan lebih mudah dipelajari, dipahami, dan ditransfer oleh siswa serta memudahkan guru dalam menyampaikan materi pelajaran. Yang ketiga, hambatan-hambatan yang di temukan dalam penggunaan media audio visual (CD) dalam meningkatkan motivasi belajar siswa pada mata pelajaran PAI (Fiqih) yaitu, terkait dengan listrik, ketersediaan alat- alat medianya terbatas, serta kemampuan guru dalam menerapkan atau mengoperasikan media masih kurang; 2) Mansur, (2010) menyimpulkan dari hasil penelitiannya adalah sebagai berikut: yang pertama, nilai rata-rata Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
495
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
yang menggunakan audio visual lebih besar yakni 84 bila dibandingkan dengan metode ceramah sebesar 72 sehingga dapat dikatakan bahwa penerapan penggunaan media audio visual memiliki perbedaan yang signifikan terhadap prestasi belajar siswa kelas XI IPS SMA Negeri 1 Sumbawa Besar Tahun Ajaran 2009/2010. Yang kedua, Bahwa penggunaan media Pembelajaran Ekonomi pada kelas XI IPS SMAN 1 Sumbwa Besar Tahun Pelajaran 2009/2010 termasuk kategori tinggi pada iterprestasi 84-100; 3). Asmaluddin (2012) dengan judul skripsi "penggunaan media audio visual dalam upaya meningkatkan minat dan hasil belajar siswa kelas VIII pada mata pelajaran IPS terpadu ekonomi di smp negeri 1 janapria tahun pelajaran 2011/2012". Di dalam penelitian ini menyimpulkan bahwa penggunaan media audio visual dapat meningkatkan minat dan hasil belajar siswa kelas VIII pada mata pelajaran IPS Terpadu Ekonomi tahun pelajaran 2011/2012. Hal ini terlihat pada data kualitatif yaitu lembar observasi minat belajar siswa sudah mencapai nilai rata-rata dari siklus I sebesar 3,3 menjadi 4,0 pada siklus II, yang berarti minat belajar siswa berkategori tinggi. Sedangkan secara kuantitatif berupa angka-angka yang diperoleh dari perhitungan hasil evalusi belajar siswa dapat diketahui, bahwa penggunan media audio visual dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan persentase pada siklus I sebesar 71,79% menjadi 89,79% pada siklus II yang berati sudah tuntas secara klasikal dan sudah memenuhi target atau KKM. Berdasarkan latar belakang masalah diatas, dapat diidentifikasi beberapa masalah dalam penelitian ini yaitu : 1) Masih rendahnya hasil belajar siswa terutama dalam mata pelajaran Ekonomi; 2). Siswa merasa bosan dengan metode ceramah yang dilakukan oleh guru; 3). Kurangnya penggunaan media audio visual dalam peroses belajar mengajar terutama pada mata pelajaran ekonomi; 4). Belum diketahui pengaruh penggunaan media audio visual dalam peroses kegiatan belajar mengajar terhadap hasil belajar. Adapun tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh media audio visual terhadap hasil balajar siswa kelas X pada mata pelajaran ekonomi di SMA Negeri 2 Bondowoso.
Metode Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian eksperimen Metode penelitian eksperimen merupakan metode penelitian yang digunakan untuk mencari pengaruh treatment (perlakuan) tertentu. Penelitian eksperimen dapat diartikan sebagai metode penelitian yang digunakan untuk mencari pengaruh perlakuan tertentu terhadap yang lain dalam kondisi yang terkendalikan (Sugiyono, 2011). Adapun bentuk desain eksperimen yang digunakan peneliti dalam penelitian ini yaitu posttest control group design. Di dalam rancangan ini hanya di berikan posttest saja tanpa di berikan pretest. Adapun bentuk dari disain tersebut yaitu: Subjek E K
Perlakuan X -
Post-test O1 O2
Dalam desain ini terdapat dua kelompok, ada kelompok kontrol dan eksperimen, di dalam desain ini kedua kelompok tersebut di berikan tindakan, tidak menggunakan pretest, dan di dalam memberikan tindakan, kelas eksperiman di berikan tindakan menggunakan media audiovisual.
496
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Dalam teknik pengambilan sampel, apabila subjeknya kurang dari 100 orang, lebih baik diambil semuanya, sehingga penelitiannya merupakan penelitian populasi. Selanjutnya jika jumlah subjeknya besar atau lebih dari 100 orang dapat diambil diantara 10-15% atau 20-25% atau lebih, tergantung dari kemampuan peneliti dilihat dari segi waktu, tenaga dan dana yang dimiliki peneliti. Mengacu pada pendapat diatas, maka untuk menetapkan besarnya jumlah sampel peneliti mengambil 100% dari keseluruhan populasi yaitu semua siswa kelas X SMA Negeri 2 Bondowoso karena jumlah siswa kurang dari 100 yaitu 54 siswa, maka peneliti menjadikan seluruh siswa kelas X sebagai sampel dalam penelitian ini. Dengan kata lain, penelitian ini termasuk ke dalam penelitian populasi. Dalam hal ini teknik pengambilan sampel yang di gunakan adalah purposive sampling yaitu tehnik sampling yang di gunakan jika peneliti mempunyai pertimbangan-pertimbangan tertentu di dalam pengambilan sampel. Mengingat jumlah kelas X SMA Negeri 2 Bondowoso ada 2 kelas dengan jumlah 54, maka penelitian ini menggunakan penelitian populasi, dimana populasi dimaksud sekaligus menjadi sampel adalah kelas X-a, yang berjumlah 28 dan kelas Xb yang berjumlah 26. Teknik pengumpulan data yang digunakan disini antara lain: dokumentasi dan tes sedangkan instrumen penelitiannya menggunakan tes. Dimana tes yang dimaksud adalah tes objektf yaitu essay yang berjumlah 5 butir soal dengan materi pembahasan koperasi sekolah.. Uji coba instrumen penelitian disini terdapat antara lain: uji validitas, uji reabilitas, uji tingkat kesukaran dan uji daya beda. Dari 10 butir soal yang diuji coba terdapat 5 soal yang valid dan terdapat 5 soal yang drof dengan Metode yang digunakan dalam uji validitas soal adalah Pearson Product Moment. Dalam uji reabilitas hasil nilai yang diperoleh koefisien reliabilitas sebesar 0,692, dan nilai rtabel adalah 0,361. Dengan demikian nilai hitung alpha lebih besar dari rtabel ini artinya data diatas menunjukkan bahwa data tersebut masuk dalam kriteria tinggi yaitu 0,692 dan instrumen tes dapat dinyatakan reliabel. Pada taraf kesukaran tiap butir soal diperoleh 7 butir soal bertaraf kesukaran mudah, 3 butir soal bertaraf kesukaran sedang. Pada tingkat daya beda soal mengetahui daya pembeda tiap butir soal diperoleh 5 butir soal berdaya beda baik sekali, 3 butir soal berdaya beda baik, dan 2 butir soal berdaya beda jelek. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa item soal memenuhi kriteria, sehingga instrumen tes tersebut dapat digunakan untuk pengukuran dalam rangka analisis lebih lanjut. Teknik analisis data terdapat di antaranya uji persyaratan dan uji hipotesis. Sebelum Sebelum dilakukan pengujian hipotesis, ada dua persyaratan yang harus dipenuhi, kedua persyaratan tersebut adalah Uji Normalitas, dan Uji Homogenitas Varians. Uji normalitas di gunakan untuk mengetahui kenormalan sebaran data yang di gunakan, yaitu data perestasi belajar siswa. Data tersebut di olah dengan menggunakan Chi-kuadrat. Data distribusi normal jika X hitung < X table dan sebaliknya data tidak berdistribusi normal jika X hitung > X table pada taraf signifikan5%. Uji homogenitas ( uji- F) Langkah awal yang di lakukan adalah menentukan homogeny atau tidaknya varians data yang di peroleh. Data yang di gunakan untuk uji homogenitas varians data adalah data posttest yang di lakukan pada masing-masing kelas. Uji homogenitas varians di cari dengan menggunakan rumus uji-f. Hipotesis merupakan jawaban sementara yang kebenarannya membutuhkan pembuktian. hipotesis yang di ajukan dalam penelitian ini adalah : adanya pengaruh bahan ajar berbasis media audio visual terhadap hasil belajar kelas X pada mata pelajaran ekonomi SMA Negeri 2 Bondowoso. Dan uji hipotesis yang di gunakan di dalam penelitian ini adalah Uji-t yaitu dengan cara mengolah data hasil belajar siswa dengan menggunakan rumus uji-t pada dua Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
497
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
pihak dengan taraf signifikan 5%. Pada penelitian ini karena jumlah n1^n2 maka rumus uji-t yang digunakan adalah polled varians. Maka keriteria pengujian terhadap hipotesis yaitu pada taraf signifikan 5%. Jika Thitung < T tabel maka Ho di terima ( Ha di tolak) sedangkan jika T hitumg > T tabel maka Ho di tolak ( Ha di terima).
Hasil Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada pelajaran ekonomi yang subjeknya adalah kelas X di SMA Negeri 2 Bondowoso berjumlah 54 siswa, yang terdiri dari dua kelas yaitu X-a berjumlah 28 siswa sebagai kelas kontrol sedangkan kelas X-b berjumlah 26 siswa sebagai kelas eksperiment dan pelajaran ekonomi pembahasan koperasi sekolah dilakukan dengan menggunakan media pembelajaran yaitu media audio visual. Paparan deskripsi hasil data dari kelas eksperimen dan kontrol terdapat hasil belajar posttest siswa dibawah ini. Kelas Kelas Eksperimen Kelas kontrol
Jumlah siswa
Nilai tertinggi
Nilai terendah
Mean (x)
Standar Deviasi (SD)
Modus
26
90
60
75,691
7,876
80
28
90
60
75,535
7,371
80
Deskripsi hasil belajar siswa diatas, terdapat nilai maksimum, minimum, rata-rata, dan standar deviasi, dimana nilai tersebut hasil dari perhitungan menggunakan Microsoft ecxel. yaitu hasil belajar siswa dengan jumlah siswa 54. Hasil untuk nilai posttest disini terdapat hasil yaitu nilai maksimum 90, nilai minimum 60, nilai rata- rata untuk kelas eksperimen 75,691 dan nilai rata-rata kelas control 75,535 dan standar deviasi untuk kelas eksperimen 7,876 dan untuk kelas kontrolnya 7,371. Disini berarti sudah benar-benar tuntas untuk diberikannya perlakuan khusus pada siswa tersebut. Besarnya perbedaan antara data hasil nilai hasil belajar siswa dan hasil tes akhir (post test) tersebut jika dikonversi dalam bentuk histogram, maka hasilnya akan terlihat sebagai berikut:
Gambar 4.2 Histogram Hasil belajar siswa dan Data Tes Akhir (Posttest) Hasil Belajar Siswa (kelas kontrol ) 498
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Berdasarkan diagram di atas warna merah memberikan gambaran hasil belajar sebelum penelitian, dan warna biru melambangkan hasil belajar siswa setelah di berikan tindakan. Diagram di atas sudah menunjukkan bahwa adanya peningkatan hasil belajar siswa setelah di berikan perlakuan dengan memberikan pembelajaran media audio visual. Uji prasyarat yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji normalitas dan uji homogenitas. berdasarkan perhitungan bahwa Uji normalitas data dilakukan untuk menguji apakah data dari variabel-variabel yang diteliti mendekati distribusi normal atau tidak. Berdasarkan uji normalitas untuk kelas kontrol (konvensional) yaitu kelas Xa, diperoleh F(z) - S(z) terbesar adalah 0,167 ini berarti dari kelas kontrol didapat Lt = 0,167. dengan N = 28 dan a = 5% didapat Lv = 0,130 yang diambil dari nilai kritis L untuk uji litifors. Karena dari perhitungan didapat Lv < Lt yaitu 0,130T tabel maka Ha diterima sedangkan Ho ditolak. Berdasarkan dari perhitungan yang diperoleh dari hasil thitung = 2,210 Selanjutnya dengan ttabel pada taraf signifikan 5% dengan db = 25 yaitu sebesar 2,060, maka thitung 2,210 > ttabel 2,060, dapat dibuktikan ada perbedaan yang signifikan antarafretest dengan posttest. Dengan demikian ada pengaruh penggunaan media audio visual terhadap hasil belajar pendidikan ekonomi siswa kelas X SMA Negeri 2 Bondowoso dengan taraf signifikan 5%. Berdasarkan hasil perhitungan tersebut dapat disimpulkan bahwa Ada pengaruh yang signifikan penggunan media Audio Visual terhadap hasil belajar siswa pada mata pelajaran ekonomi kelas X SMA Negeri 2 Bondowoso. Media audio visual adalah media pembelajaran yang pemanfaatannya untuk dilihat dan didengar dan mempunyai unsur suara dan unsur gambar. Siswa dapat memahami meteri pembelajaran dengan indera pendengaran dan penglihatan sekaligus. Oleh karena itu, dengan media ini guru dapat menyuguhkan pengalaman- pengalaman yang konkrit kepada siswa yang sulit jika materi tersebut diceritakan. Dengan guru menggunakan metode ceramah juga di imbangi dengan pembelajaran menggunakan media pembelajaran, maka siswa bisa memahami banyak hal dengan cara penyampaian guru yang menggunakan media pembelajaran berupa media audio visual karena siswa lebih tertarik dengan materinya dan cara penyampaianya mudah dipahami oleh siswa. Hasil belajar tidak hanya menghasilkan peningkatan pengetahuan Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
499
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
tetapi juga meningkatkan keterampilan berpikir. Kemampuan siswa untuk mengerjakan soalsoal sejenis uraian perlu dilatih, agar penerapan penggunaan media audio visual dapat optimal. Dengan penerapan media audio visual dapat melatih siswa belajar kreatif, disiplin, dan meningkatkan keterampilan berpikir siswa. Pada data penelitian yang diperoleh peneliti mengenai penggunaan media audio visual yang digunakan pada pembelajaran pendidikan ekonomi, terdapat perbedaan dan pengaruh yang signifikan antara sebelum dan sesudah diberikan pembelajaran dengan menggunakan media audio visual. Data penelitian menunjukkan bahwa skor nilai hasil belajar pendidikan ekonomi siswa sebelum mendapatkan perlakuan yaitu 1584 dengan rata-rata 60,923 terdiri yang telah tuntas 25% dan yang belum tuntas 75% dan setelah mendapatkan perlakuan berupa penggunaan media audio visual yaitu 1975 dengan rata-rata 75.961 terdiri dari 98% yang tuntas dan yang belum tuntas 2%. Berdasarkan data tersebut kemudian diperkuat dengan hasil uji t dengan hasil thitung (2,210) > ttabel (2,060) dengan taraf signifikan 5% sehingga dapat dibuktikan bahwa ada pengaruh penggunaan media audio visual terhadap hasil belajar pendidikan ekonomi kelas X SMA Negeri 2 Bondowoso. Selain itu juga hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang relevan atau penelitian terdahulu yang dilakukan oleh: 1). Muliyani, (2009) dalam penelitiannya menyimpulkan yang Pertama, teknik penggunaan audio visual (CD) dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam di MTs Negeri Model Selong, melalui beberapa tahap yaitu, menyusun materi, menyiapkan buku-buku pendukung yaitu buku paket Pendidikan Agama Islam (Fiqih), menyiapkan ruangan dan perlengkapan, menggunakan alat-alat, serta mengadakan evaluasi. Yang kedua, Peranan penggunaan media audio visual (CD) pada mata pelajaran pendidikan agama Islam (Fiqih) di MTs Negeri Model Selong sangat penting, karena dengan adanya media tersebut, materi/bahan pelajaran akan lebih mudah dipelajari, dipahami, dan ditransfer oleh siswa serta memudahkan guru dalam menyampaikan materi pelajaran. Yang ketiga, hambatan-hambatan yang di temukan dalam penggunaan media audio visual (CD) dalam meningkatkan motivasi belajar siswa pada mata pelajaran PAI (Fiqih) yaitu, terkait dengan listrik, ketersediaan alat-alat medianya terbatas, serta kemampuan guru dalam menerapkan atau mengoperasikan media masih kurang; 2). Mansur, (2010) menyimpulkan dari hasil penelitiannya adalah sebagai berikut : yang pertama, nilai rata-rata yang menggunakan audio visual lebih besar yakni 84 bila dibandingkan dengan metode ceramah sebesar 72 sehingga dapat dikatakan bahwa penerapan penggunaan media audio visual memiliki perbedaan yang signifikan terhadap prestasi belajar siswa kelas XI IPS SMA Negeri 1 Sumbawa Besar Tahun Ajaran 2009/2010. Yang kedua, Bahwa penggunaan media Pembelajaran Ekonomi pada kelas XI IPS SMAN 1 Sumbwa Besar Tahun Pelajaran 2009/2010 termasuk kategori tinggi pada iterprestasi 84-100; 3). Asmaluddin (2012) dengan judul skripsi "Penggunaan Media Audio Visual Dalam Upaya Meningkatkan Minat dan Hasil Belajar Siswa Kelas VIII pada Mata Pelajaran IPS Terpadu Ekonomi di SMP Negeri 1 Janapria Tahun Pelajaran 2011/2012". Di dalam penelitian ini menyimpulkan bahwa penggunaan media audio visual dapat meningkatkan minat dan hasil belajar siswa kelas VIII pada mata pelajaran IPS Terpadu Ekonomi tahun pelajaran 2011/2012. Hal ini terlihat pada data kualitatif yaitu lembar observasi minat belajar siswa sudah mencapai nilai rata-rata dari siklus I sebesar 3,3 menjadi 4,0 pada siklus II, yang berarti minat belajar siswa berkategori tinggi. Sedangkan secara kuantitatif berupa angka-angka yang diperoleh dari perhitungan hasil evalusi belajar siswa dapat diketahui, bahwa penggunan media audio visual dapat 500
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
meningkatkan hasil belajar siswa. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan persentase pada siklus I sebesar 71,79% menjadi 89,79% pada siklus II yang berati sudah tuntas secara klasikal dan sudah memenuhi target atau KKM. Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan diatas, maka dapat disimpulkan, bahwa penggunaan media audio visual dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas X pada mata pelajaran Ekonomi. Hal ini dapat terlihat dari hasil uji t dengan thitung (2,210) > ttabel (2,060) dengan taraf signifikan 5%. Dari data penelitian menunjukkan bahwa skor nilai hasil belajar pendidikan ekonomi siswa sebelum mendapatkan perlakuan yaitu 1584 dengan rata-rata 60.923 terdiri yang telah tuntas 25% dan yang belum tuntas 75% dan setelah mendapatkan perlakuan berupa penggunaan media audio visual yaitu 1975 dengan rata-rata 75.961 terdiri dari 98% yang tuntas dan yang belum tuntas 2%.
Rekomendasi Adapun saran-saran/rekomendasi yang diajukan oleh peneliti berdasarkan kesimpulan diatas adalah sebagai berikut: 1. Bagi sekolah, perlu memberikan sarana dan prasarana yang baik dalam upaya memberikan pelayanan belajar di sekolah dengan baik ditinjau dari segala aspeknya dan lebih meningkatkan komunikasi dengan baik antara pihak sekolah dengan pihak orangtua siswa agar mengawasi belajar siswa. 2. Bagi guru hendaknya dapat memberikan pembelajaran dengan menggunakan media pembelajaran atau model pembelajaran yang tepat dalam mengajarkan pendidikan ekonomi kepada siswanya. 3. Bagi siswa, hendaknya siswa belajar lebih giat agar mendapatkan hasil belajar yang lebih baik. Siswa harus memperhatikan dan tertib ketika pelaksanaan pembelajaran berlangsung dan hendaknya siswa lebih sering berlatih sendiri, melibatkan diri, lebih sering bertanya tentang hal-hal yang belum di mengerti.
Daftar Pustaka Anitah sari 2010. Media pembelajaran : yuma pustaka Arsyad,azhar.2013. media pembelajaran Jakarta: PT Raja Grafindo persada Asmaluddin. 2012. penggunaan media audio visual dalam meningkatkan minat dan hasil belajar siswa kelas VII pada mata pelajaran IPS terpadu ekonomi di smp Negeri 1 Janaperia tahun pelajaran 2011/2012 SKRIPSI STKIP HAMZANWADI SELONG. Jaririndu. Brogsport.com/2011/09/definisi bahan ajar.html Kuri,mas 2011 pengaruh penggunaan media audio visual dan metode problem solving terhadap aktifitas dan hasil belajar siswa temtang energy alternative siswa kelas IV sekolah dasar negeri culug kecaerhadap prestmatan tegowanu kabupaten grobogan Semarang Ilmu Pendidikan Universitas Terbuka Miranda mufti. 2012. penggunaan media audio visual dalam meningkatkan prestasi belajar ilmu pengetahuan alam kelas III B MI sananul Ula puyungan bantul SKRIPSI, Fakultas Tarbiah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Mulyadi, ending. 2013 ekonomi kelas X SMA. perpustakaan nasional kataloh dalam terbutan (KDT).
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
501
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
NILA ARISTA 2013. Pengaruh penggunaan media audio visual terhadap hasil belajar pendidikan kewarga negaraan pada siswa kelas V SDN tlogosari kulon 02 semarang, SKRIPSI, Fakultas Ilmu pendidikan IKIP PGRI Semarang. Sugiono 2011. Metode penelitian kuantitatif kualitatif dan R & D. Bandung alfabeta Sugiono. 2012. metode penelitian pendidikan. bandung : alfabeta Sundana nana. 2011 media pembelajaran bandung : sinai batu algensindo Surapranata, sumarna, Dr. 2009 analisis, validitas, riliabilitas, dan intrerpretasi hasil tes, implementasi kuriklum 2014. Bandung. PT Remaja rosdakarya.
502
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Peran MGMP Dalam Meningkatkan Profesionalisme Guru Ekonomi Tingkat SMA Di Kabupaten Jombang Diah Dinaloni 16 ([emailprotected]) Abstract The study aims to determine the effectiveness of MGMP in an effort to improve the professionalism of teachers at the high school level economics Jombang and to know what the problems faced MGMP in improving the professionalism of teachers at the high school level economics Jombang. The research is a field research with a qualitative approach. Data collection was done by conducting observations, interviews and documentation. Data analysis was performed by giving meaning to the data collected and the conclusions drawn from it meaning. The results showed that as container MGMP professional development of teacher at the high school economics Jombang not run optimally. MGMP economic problems faced in Jombang, namely: (a) the level economic activity MGMP high school in Jombang still unclear, many are gathered, but merely a means of gathering/chat; (b) regular agenda MGMP often just a matter of collecting and making BKS which is the instruction of thr Ministry of Education; (c) the school’s policy on teacher sent follow MGMP different activities, ever sending teacher interchangeably /rotation; (d) MGMP has been followed by some members just because there are members who feel MGMP not directly perceived benefits. Keywords: MGMP role, professionalism economics teacher high school level Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas MGMP dalam upaya meningkatkan profesionalisme guru ekonomi tingkat SMA di Kabupaten Jombang dan untuk mengetahui persoalan apa saja yang dihadapi MGMP dalam peningkatan profesionalisme guru ekonomi tingkat SMA di Kabupaten Jombang. Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research) dengan pendekatan kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan mengadakan pengamatan, wawancara dan dokumentasi. Analisis data dilakukan dengan memberikan makna terhadap data yang berhasil dikumpulkan dan dari makna itu ditarik kesimpulan. Hasil penelitian menunjukan bahwa MGMP sebagai wadah pengembangan profesionalisme guru ekonomi tingkat SMA di Kabupaten Jombang belum berjalan secara optimal. Persoalan yang dihadapi MGMP ekonomi di Kabupaten Jombang, yaitu: (1) kegiatan MGMP ekonomi tingkat SMA di Kabupaten Jombang masih tidak jelas, banyak yang berkumpul, tetapi hanya sekedar ajang silaturahmi/’ngobrol’; (b) seringkali agenda rutin MGMP hanyalah mengumpulkan soal dan membuat Buku Kerja Siswa/BKS yang merupakan instruksi dari Diknas; (c) kebijakan sekolah tentang guru yang dikirim mengikuti kegiatan MGMP berbeda-beda, bahkan ada yang mengirim guru secara bergantian/bergilir; (d) kegiatan MGMP selama ini diikuti oleh sebagian anggota saja dikarenakan ada anggota yang merasa kegiatan MGMP tidak secara langsung dapat dirasakan manfaatnya. Kata Kunci: peran MGMP, profesionalisme guru ekonomi tingkat SMA
Pendahuluan Kegiatan pendidikan sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia seyogyanya diarahkan pada upaya membentuk sumberdaya manusia dengan perilaku ekonomi yang rasional dan bermoral, baik dalam kegiatan produktif maupun komsumtif. Kompleksitas perilaku ekonomi manusia dalam wacana kepentingan peningkatan kualitas sumberdaya 16
Dosen Pendidikan Ekonomi, STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
503
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
manusia menuntut pengembangan program pendidikan ekonomi yang berkarakteristik khusus yang mampu menjadikan sumberdaya manusia berperilaku rasional secara ekonomi dan mempertimbangkan etika moral tindakannya serta berkemampuan mengelola reaksi psikologis dalam berekonomi. Peran pendidikan ekonomi dalam membentuk sikap serta perilaku efektif dan efisien secara ekonomi yang dilandasi oleh etika moral yang benar dan kemampuan untuk mengelola reaksi psikologis dalam berekonomi, menjadikan seorang guru ekonomi harus memiliki pengetahuan yang diajarkan secara luas dan mendalam serta mempunyai komitmen untuk terus belajar sepanjang hayat. Komitmen guru untuk belajar dalam konteks ini mencakup belajar bidang ilmu yang diajarkan, belajar memaklumi siswanya, serta belajar metode atau cara mengajarkan ilmu/ bidang studinya sendiri, sehingga berhasilnya proses pembelajaran dapat dilihat dari keberhasilan guru dalam mengaktualisasikan pengetahuannya terhadap siswa. Mengingat pentingnya peranan guru dalam proses pembelajaran, maka profesionalisme menjadi tuntutan seorang guru. “Profesionalisme” adalah sebutan yang mengacu kepada sikap mental dalam bentuk komitmen anggota suatu profesi untuk senantiasa mewujudkan dan meningkatkan kualitas profesionalnya. Undang-Undang No.14 Tahun 2005 pasal 7 tentang Guru dan Dosen (UUGD) menunjukkan bahwa profesi guru dan dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip profesionalisme, sebagai berikut: (1) memiliki bakat, minat, panggilan jiwa dan idealisme; (2) mempunyai komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia; (3) memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan yang sesuai dengan bidang tugasnya; (4) memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai bidang tugasnya; (5) memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan; (6) memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja; (7) memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat. Seorang guru yang memiliki profesionalisme tinggi akan tercermin dalam sikap mental serta komitmennya terhadap perwujudan dan peningkatan kualitas profesional melalui berbagai cara dan strategi, ia akan selalu mengembangkan dirinya sesuai dengan tuntutan perkembangan jaman sehingga keberadaannya akan senantiasa memberikan makna profesional. Karena guru merupakan titik sentral peningkatan kualitas pendidikan yang bertumpu pada kualitas proses belajar mengajar maka peningkatan profesionalisme guru ekonomi merupakan suatu keharusan, akan tetapi beberapa fenomena membuktikan bahwa: (1) masih belum efektifnya pelaksanaan program pendidikan ekonomi di Indonesia, sehingga kompetensi yang hendak digarap dan ditanamkan pada peserta didik hanya sebatas pada tataran kognitif dengan pemahaman yang dangkal, sehingga sulit mengharap pengetahuan ekonomi yang tertanam akan secara efektif mempengaruhi sikap dan perilaku peserta didik; (2) pelaksanaan pendidikan ekonomi di jenjang pendidikan dasar hingga menengah diperparah pula oleh praktik pembelajaran ekonomi yang kurang berkualitas, kompetensi tenaga pendidik yang kurang memadai disertai dengan kekurangpahaman dan kesadaran tentang tujuan yang seharusnya dicapai dalam mata pelajaran ekonomi, menjadikan pembelajaran ekonomi dibangku-bangku kelas berlangsung tanpa “greget” dan hanya sebatas memahami dan membaca bersama buku paket yang kualitasnya belum dikaji secara mendalam, padahal pembelajaran ekonomi membutuhkan sumber-sumber belajar yang kaya dan bervariasi. Beberapa studi juga menunjukkan bahwa guru tampaknya belum terbiasa melakukan pengembangan profesional bagi dirinya. Dahlan M Noer, Kepala Subag I pada Direktorat 504
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Profesi Pendidik, Dirjen PMPTK Kemdiknas (2010) menyatakan bahwa ketertinggalan kualitas pendidikan jika ditinjau dari perpektif guru adalah: (1) masih banyak guru yang belum memiliki kualifikasi dan kompetensi; (2) sebagian guru merasa puas dengan kondisi dan kemampuan yang telah dimiliki; (3) ikhtiar guru untuk meningkatkan kompetensi diri sangat terbatas; (4) banyak waktu dihabiskan di ruang kelas sekedar untuk mengejar target kurikulum; (5) di luar kelas waktu guru banyak dihabiskan untuk kepentingan non akademik; (6) kontak akademik antar guru sangat terbatas; (7) kontak antar guru lebih banyak bersifat non akademik; (8) banyak guru kurang memberikan perhatian serius kepada peserta didik; (9) rendahnya frekuensi diklat fungsional bagi guru dalam upaya peningkatan kompetensi dan profesinya. Selama ini forum pembinaan profesionalisme guru yang sudah terbentuk adalah Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP). MGMP merupakan suatu organisasi guru yang dibentuk untuk menjadi forum komunikasi yang bertujuan untuk memecahkan masalah yang dihadapi guru dalam pelaksanaan tugasnya sehari-hari di lapangan. Guru ekonomi sangat membutuhkan forum MGMP dikarenakan materi ekonomi sangat dinamis. Kontak dengan sesama guru ekonomi yang berkelanjutan sangat tepat untuk meng up-date penguasaan materi ekonomi. MGMP ekonomi tingkat SMA di Kabupaten Jombang merupakan wadah kegiatan profesional guru ekonomi tingkat SMA dalam meningkatkan pengetahuan, kemampuan dan keterampilan. Dalam kegiatan ini dapat dilakukan diskusi, tukar pikiran antar pengurus dan anggota MGMP untuk mengatasi permasalahan yang ada dan berkembang di sekolah. Kenyataan yang ditemui di lapangan para guru masih mendapatkan kesulitan dalam menjalankan fungsi dan tugasnya sebagai tenaga pendidik yang profesional. Kesulitan yang dihadapi diantaranya adalah kesulitan dalam mengembangkan silabus, menyusun perencanaan pembelajaran dan evaluasi belajar. Hal ini tentu kontra produktif dengan keberadaan MGMP sebagai wadah peningkatan profesionalisme guru. Maka patut dipertanyakan bagaimana sebenarnya peran MGMP bagi guru ekonomi tingkat SMA di Kabupaten Jombang. Hal ini menjadi penting, karena tidak optimalnya peran MGMP tentu saja akan berpengaruh pada upaya peningkatan profesionalisme guru, karena MGMP memiliki peran dan fungsi strategis dalam peningkatan profesionalisme guru ekonomi. Berdasarkan hal tersebut, peneliti ingin melakukan penelitian mengenai bagaimana efektivitas MGMP dalam upaya meningkatkan profesionalisme guru ekonomi tingkat SMA di Kabupaten Jombang dan persoalan apa saja yang dihadapi MGMP dalam peningkatan profesionalisme guru ekonomi tingkat SMA di Kabupaten Jombang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas MGMP dalam upaya meningkatkan profesionalisme guru ekonomi tingkat SMA di Kabupaten Jombang dan untuk mengetahui persoalan apa saja yang dihadapi MGMP dalam peningkatan profesionalisme guru ekonomi tingkat SMA di Kabupaten Jombang.
Landasan Teori Profesionalisme Guru Guru memiliki peran yang strategis dalam bidang pendidikan, bahkan sumber daya pendidikan lain yang memadai seringkali kurang berarti apabila tidak disertai dengan kualitas guru yang memadai, oleh karenanya peran sentral guru dalam meningkatkan kualitas pendidikan sangat urgent untuk dilakukan.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
505
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Undang-Undang No.14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, pasal (1) ayat (1) menyatakan, “Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi siswa pada jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Syarat guru profesional merupakan hal yang harus dimiliki oleh setiap guru, karena profesionalnya guru datang dari guru sendiri. Hal ini akan tercermin dalam penampilan pelaksanaan pengabdian tugas-tugas yang ditandai dengan keahlian baik dalam materi maupun metode. Siapa saja bisa terampil dalam mengajar kepada orang lain, tetapi hanya mereka yang berbekal pendidikan profesional keguruan yang bisa menegaskan dirinya memiliki pemahaman teoritik dan praktik bidang keahlian kependidikan. Kualifikasi pendidikan ini hanya bisa diperoleh melalui pendidikan formal bidang dan jenjang tertentu. Guru selain merupakan sosok profesional yang mampu memikul dan melaksanakan tanggung jawab seluruh pengabdian, guru juga diharapkan memiliki jiwa profesionalisme. Jiwa profesionalisme merupakan sikap mental yang senantiasa mendorong dirinya untuk mewujudkan dirinya sebagai petugas profesional. Pada dasarnya, profesionalisme merupakan motivasi intrinsik pada diri guru sebagai pendorong untuk mengembangkan dirinya kearah perwujudan profesional. Prinsip-prinsip profesionalisme menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 pasal 7 (1) antara lain: (1) memiliki bakat, minat, panggilan jiwa dan idealisme; (b) memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia; (c) memiliki kualitas latar belakang pendidikan yang sesuai dengan bidang tugas; (d) memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas; (e) memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas profesionalitas; (f) memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja; (g) memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat; (h) memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan; dan (i) memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru. Guru yang profesional seharusnya juga memiliki empat kompetensi sebagaimana yang tercantum dalam UU no.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dalam pasal (8). Pertama, kompetensi pedagogik yaitu kemampuan mengelola pembelajaran yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan, pelaksanaan pembelajaran, evaluasi pembelajaran dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Kedua, kompetensi kepribadian yaitu merupakan kemampuan yang melekat dengan diri. Oleh karena itu pribadi guru sering dianggap sebagai model atau panutan. Sebagai seorang model guru harus memiliki kompetensi yang berhubungan dengan pengembangan kepribadian (personal competencies). Ketiga, kompetensi profesional yaitu kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkan untuk membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi. Kompetensi profesional adalah kompetensi atau kemampuan yang berhubungan dengan penyesuaian tugas-tugas keguruan. Kompetensi ini merupakan kompetensi yang sangat penting karena langsung berhubungan dengan kinerja yang ditampilkan. Keempat, kompetensi sosial yaitu kemampuan berkomunikasi secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik dan masyarakat sekitar. Untuk menghadapi tantangan dunia pendidikan yang semakin berat, maka guru harus segera menyesuaikan diri dengan laju perkembangan ilmu pengetahuan tersebut. Guru harus membuka diri akan perubahan jaman yang terjadi. Dengan membuka diri untuk terus 506
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
berkembang, guru akan menjadi orang yang kompeten dalam profesinya. Guru harus menyadari bahwa manusia adalah sosok yang mudah menerima perubahan. Menyadari akan profesi merupakan wujud eksistensi guru sebagai komponen yang bertanggung jawab dalam keberhasilan pendidikan, maka menjadi satu tuntutan bahwa guru harus sadar akan peran dan fungsinya sebagai pendidik. Hal ini dipertegas Pidarta (1999) bahwa kesadaran diri merupakan inti dari dinamika gerak laju perkembangan profesi seseorang, merupakan sumber dari kebutuhan mengaktualisasi diri. Makin tinggi kesadaran seseorang makin kuat keinginannya untuk meningkatkan profesi. Semakin sering profesi guru dikembangkan melalui berbagai kegiatan, maka semakin mendekatkan guru pada pencapaian predikat guru yang profesional dalam menjalankan tugasnya sehingga harapan kinerja guru yang lebih baik akan tercapai. Guru yang profesional selalu belajar dan belajar untuk mengembangkan profesinya. Dengan anggapan semacam itu, maka keberadaan guru yang profesional semakin penting, dan peranan siswa dalam belajar merupakan tumpuan upaya peningkatan kualitas pendidikan sesuai standar nasional pendidikan. Pendek kata, di pundak guru ada beban tanggung jawab yang sangat besar dan berat. Beban itu semakin berat dengan besarnya tantangan global yang menantang dan memberikan ancaman terhadap eksistensi guru. Sehingga tidak ada kata lain bagi guru, selain harus berbenah menyiapkan diri menghadapi semua kemungkinan yang terjadi sejalan dengan semakin beratnya tantangan guru di masa kini dan masa depan. Para guru harus berani merefleksi, instropeksi serta melakukan koreksi terhadap segala kelemahan dan kekurangan guru selama ini dalam menjalankan tugas profesinya sebagai guru.
Peran Guru Guru itu untuk peserta didik, bukan untuk diri sendiri. Hal inilah yang menjadikan perkembangan dunia pendidikan saat ini menuntut para guru untuk lebih kreatif dan produktif. Walaupun tidak dapat disangkal, saat ini masih banyak guru yang sebatas mengajar saja. Hal ini akan berdampak pada peserta didik sering menerima stimulus yang kurang menyenangkan dari guru, tindakan guru membuat peserta didik stres, jenuh, bosan dan tidak nyaman dalam pembelajaran. Beberapa indikasi ketidaksenangan belajar itu tampak dari gelagat yang ditunjukkan peserta didik di dalam kelas, misalnya munculnya “kebahagiaan” peserta didik jika gurunya berhalangan hadir. Bahkan ada kecenderungan di banyak sekolah di Indonesia, tidak belajar bagi sebagian peserta didik adalah suatu ”keberuntungan”, karena terbebas dari sebuah kungkungan yang “memenjarakan” mereka. Meskipun terciptanya pembelajaran menyenangkan itu ditentukan banyak faktor, tetapi guru tetap paling berperan. Olah karena itu, guru harus senantiasa berupaya meningkatkan kualitas pembelajarannya dengan menggunakan strategi dan cara yang baik, agar peserta didik dapat menikmati pembelajaran secara menyenangkan. Dalam pelaksanaan pembelajaran yang menyenangkan, inovasi sangat diperlukan. Tidak akan mungkin sistem pembelajaran dari tahun ke tahun hanya seperti itu saja tidak mengalami pembaharuan. Jika seperti itu, maka pendidikan akan tertinggal jauh dari perkembangan jaman. Inovasi pembelajaran merupakan upaya penemuan atau pembaharuan dalam sistem pembelajaran yang dilakukan dengan tujuan mendapatkan kualitas pendidikan yang lebih baik agar lebih efektif dan efisien, karena guru yang memiliki kemauan dalam menggali metode dalam pembelajaran akan menciptakan model-model pembelajaran sehingga peserta didik tidak mengalami kebosanan serta dapat menggali pengetahuan dan pengalaman secara maksimal. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
507
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Selain itu cara yang baik dalam menyampaikan materi berkaitan dengan kreativitas guru dalam mengatur dan mengorganisasi ruang kelas dengan baik. Kreativitas guru adalah guru berusaha menemukan cara-cara baru untuk menemukan potensi unik siswa. Baginya, setiap tahun harus ada kreativitas yang dikembangkan dalam dirinya. Sehingga materi yang disampaikannya tidak merupakan materi hafalan dari tahun ke tahun. Kreativitas ini akan membuat guru mampu menemukan cara mengajar yang baik, cara membuka kelas yang elegan, cara membuat dan melakukan assesmen yang praktis, cara memberikan tugas yang cantik namun tidak memberatkan, cara memimpin diskusi di kelas dan membuat peserta didik aktif menyampaikan ide mereka, cara memberikan reinforcemen pada peserta didik dan banyak lagi. Menurut para ahli, seseorang yang kreatif bukanlah selalu menemukan hal baru, namun ia selalu melihat segala sesuatu dengan cara berbeda dan baru yang biasanya tidak dilihat oleh orang lain. Orang yang kreatif, pada umumnya mengetahui permasalahan dengan sangat baik dan disiplin, biasanya dapat melakukan sesuatu yang berbeda dari cara-cara yang biasa. Proses kreativitas melibatkan adanya ide-ide baru dan bermanfaat. Kreativitas yang dimiliki seorang guru akan membuat dia menjadi terlihat beda diantara guru yang lain, dan inilah yang akan membuat peserta didik selalu rindu untuk berjumpa dengan mata pelajarannya. Begitu pentingnya peranan guru dalam pembelajaran, maka guru harus senantiasa membangun keunggulan diri dan memotivasi dirinya. Keunggulan diri tidak akan pernah didapatkan tanpa membangun landasan dari hari ke hari melalui ilmu pengetahuan dan manajemen diri yang unggul. Sangat sulit untuk bisa langsung meraih sukses hanya dengan mimpi, harus ada strategi, rencana kerja, kerja keras dan kemampuan mengatur diri untuk meraih sukses. Sedangkan memotivasi diri adalah hal sangat penting, karena ketika anda gagal atau menghadapi tantangan, yang bisa diandalkan adalah diri sendiri bukan orang lain. Dengan membangun keunggulan diri dan memotivasi diri, maka seorang guru akan bisa mencapai tujuan yang dia buat sendiri dan fokus untuk menjangkau semua cita-cita untuk mencapai kesuksesan dan keberhasilan, karena guru yang baik adalah guru yang bisa menginspirasi.
Pembelajaran Ekonomi di SMA Mata pelajaran ekonomi di SMA sebagai core program IPS, merupakan mata pelajaran yang penting yang patut untuk dikaji lebih dalam karena melalui pelajaran tersebut ditanamkan pada siswa tentang economic behavior dan berbagai konsep-konsep ekonomi yang mendasari semua kegiatan manusia dalam melakukan aktivitas ekonomi. Mata pelajaran ekonomi bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut: a. memahami sejumlah konsep ekonomi untuk mengkaitkan peristiwa dan masalah ekonomi dengan kehidupan sehari-hari, terutama yang telah terjadi di lingkungan individu, rumahtangga, masyarakat dan negara, b. menampilkan sikap ingin tahu terhadap sejumlah konsep ekonomi yang diperlukan untuk mendalami ilmu ekonomi, c. membentuk sikap bijak, rasional,dan bertanggung jawab dengan memiliki pengetahuan dan keterampilan ilmu ekonomi, manajemen dan akuntansi yang bermanfaat bagi diri sendiri, rumah tangga, masyarakat dan negara, d. membuat keputusan yang bertanggung jawab mengenai nilai-nilai sosial ekonomi dalam masyarakat yang majemuk, baik dalm skala nasional maupun internasional.
508
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Bagi beberapa siswa, mata pelajaran ekonomi merupakan mata pelajaran yang membosankan, dikarenakan dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas cenderung mengandalkan keaktifan guru di kelas dan materi yang disampaikan tidak membumi sehingga pembelajaran sering diidentikkan dengan hafalan teori, padahal pendidikan ekonomi berperan dalam membentuk sikap serta perilaku efektif dan efisien secara ekonomi yang dilandasi oleh etika moral yang benar dan kemampuan untuk mengelola reaksi psikologis dalam berekonomi. Karena pembelajaran ekonomi masih memfokuskan pada aspek kognitif saja, sehingga berdampak pada belum efektifnya pembelajaran ekonomi di Indonesia, antara lain: 1. produktivitas sumberdaya manusia relatif masih rendah, 2. minat, semangat menabung dan berinvestasi di kalangan pelaku ekonomi masih memprihatinkan, tidak sebanding dengan semangat dan minat untuk berkonsumsi melalui kredit, 3. masih banyak pelaku ekonomi yang mengambil keputusan tanpa mempertimbangkan prinsip-prinsip rasionalitas ekonomi (trade off, opportunity cost, marginalism, dan incentive), yang mengakibatkan tidak efektifnya kegiatan produktif dan tidak efisiennya aktivitas konsumtif pelaku ekonomi, 4. jebakan emosi berkonsumsi dari produsen dan agen-agen distributornya, yang memerangkap pelaku ekonomi untuk berkonsumsi tanpa mempertimbangkan batas kemampuan, tingkat intensitas kebutuhan dan pentingnya mengelola keinginan, 5. berbagai penelitian yang dilakukan terhadap siswa jenjang pendidikan menengah, mahasiswa dan bahkan guru ekonomi, membuktikan bahwa literasi ekonomi (pemahaman dasar tentang bagaimana perekonomian bekerja) dan literasi keuangan (pemahaman dasar tentang pemanfaatan uang secara efektif dan efisien), mereka masih rendah, 6. kurang bahkan dapat dikatakan tidak adanya respon atas praktik kegiatan ekonomi di sekitarnya yang menumbuhkan ketimpangan, ketidakadilan, kerusakan lingkungan dan praktek kegiatan ekonomi negatif lainnya. Senyampang tidak bersentuhan dengan kepentingan pribadinya, pelaku ekonomi tidak bereaksi terhadap kegiatan ekonomi satu pihak yang merugikan pihak lainnya, 7. masih marak praktik kriminal dalam kegiatan ekonomi, mulai dari pemalsuan produk, penipuan berkedok hadiah, investasi bodong, penyelundupan, tidak memenuhi kewajiban dalam hutang-piutang maupun pembayaran pajak, perdagangan narkoba, hingga yang paling cetar membahana yaitu korupsi. Tidak dapat diingkari berbagai kelemahan dalam perilaku ekonomi sumberdaya manusia dan masyarakat, berpengaruh pada upaya mencapai pertumbuhan ekonomi sebagai bagian dari proses pembangunan ekonomi. Produktivitas sumberdaya manusia, inovasi dalam kegiatan usaha, etos kerja, motivasi untuk meraih kesejahteraan, dorongan menabung dan berinvestasi, cerdik dan cermat dalam berkonsumsi, dan respon positif dan kritis atas kebijakan-kebijakan ekonomi yang digulirkan oleh pemerintah, hanya akan dapat tumbuh dan berkembang di kalangan masyarakat, bila mereka memiliki landasan perilaku ekonomi yang baik. Sementara landasan perilaku ekonomi yang baik hanya akan dapat dicapai melalui pengembangan dan pelaksanaan program pendidikan ekonomi yang baik dan berkualitas. Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) merupakan suatu organisasi guru yang dibentuk untuk menjadi forum komunikasi yang bertujuan sebagai wahana untuk saling bertukar pengalaman guna meningkatkan kemampuan guru dan memperbaiki kualitas pembelajaran. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
509
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Ruang lingkupnya meliputi guru mata pelajaran pada tingkat SMP, SMA,dan SMK negeri dan swasta, baik yang berstatus PNS maupun swasta. Prinsip kerjanya adalah cerminan kegiatan “dari, oleh dan untuk guru” dari semua sekolah. Atas dasar ini, maka MGMP merupakan organisasi nonstruktural yang bersifat mandiri, berasaskan kekeluargaan dan tidak mempunyai hubungan hierarkis dengan lembaga lain. Tujuan diselenggarakanya MGMP yaitu: 1. untuk memotivasi guru guna meningkatkan kemampuan dan keterampilan dalam merencanakan, melaksanakan dan membuat evaluasi program pembelajaran dalam rangka meningkatkan keyakinan diri sebagai guru profesional, 2. untuk meningkatkan kemampuan dan kemahiran guru dalam melaksanakan pembelajaran sehingga dapat menunjang usaha peningkatan dan pemerataan mutu pendidikan, 3. untuk mendiskusikan permasalahan yang dihadapi dan dialami oleh guru dalam melaksanakan tugas sehari-hari dan mencari solusi alternatif pemecahannya sesuai dengan karakteristik mata pelajaran masing-masing guru,kondisi sekolah dan lingkunganya, 4. untuk membantu guru memperoleh informasi teknis edukatif yang berkaitan dengan kegiatan ilmu pengetahuan dan teknologi, kegiatan kurikulum, metodologi ,dan sistem pengujian yang sesuai dengan mata pelajaran yang bersangkutan; 5. untuk saling berbagi informasi dan pengalaman dari hasil lokakarya, simposium, seminar, diklat, classroom action research, referensi dan lain-lain kegiatan profesional yang di bahas bersama-sama. Selain itu pula MGMP juga dituntut untuk berperan sebagai : 1. reformator dalam classroom reform terutama dalam reorientasi pembelajaran efektif, 2. mediator dalam pengembangan dan peningkatan kompetensi guru terutama dalam pengembangan kurikulum dan sistem pengujian, 3. supporting agency dalam inovasi manajemen kelas dan manajemen sekolah, 4. collaborator terhadap unit terkait dan organisasi profesi yang relevan, 5. evaluator dan developer school reform dalam konteks MPMBS, 6. clinical dan academic supervisor, dengan pendekatan penilaian appraisal. Berdasarkan tujuan dan peran di atas, maka berikut ini adalah beberapa fungsi yang diemban MGMP, yaitu: 1. menyusun program jangka panjang, jangka menengah, dan jangka pendek serta mengatur jadwal dan tempat kegiatan secara rutin; 2. memotivasi para guru untuk mengikuti kegiatan MGMP secara rutin, baik di tingkat sekolah, wilayah, maupun kota; 3. meningkatkan mutu kompetensi profesionalisme guru dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengujian/evaluasi pembelajaran di kelas, sehingga mampu mengupayakan peningkatan dan pemerataan mutu pendidikan di sekolah; 4. mengembangkan program layanan supervisi akademik klinis yang berkaitan dengan pembelajaran yang efektif; 5. mengembangkan silabus dan melakukan Analisis Materi Pelajaran (AMP), Program Tahunan (Prota), Program Semester (Prosem), Rencana Pelajaran (RPP), dan KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal), (Modifikasi RPP dengan memasukan pendidikan karakter bangsa, kewirausahaan, budaya lingkungan , anti korupsi , dan sebagainya)
510
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
6. mengupayakan lokakarya, simposium dan sejenisnya atas dasar inovasi manajemen kelas, manajemen pembelajaran efektif (seperti : PAKEM-Pendekatan Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan-, joyful and quantum learning, hasil classroom action research, hasil studi komparasi atau berbagai studi informasi dari berbagai nara sumber, dan lain-lain.); 7. merumuskan model pembelajaran yang variatif dan alat-alat peraga praktik pembelajaran program Life Skill, Lesson study dan PTK 8. berpartisipasi aktif dalam kegiatan MGMP Propinsi dan MGMP nasional serta berkolaborasi dengan MKKS dan sejenisnya secara kooperatif; 9. melaporkan hasi kegiatan MGMP secara rutin setiap tahun pelajaran kepada Dinas Pendidikan. 10. berpartisipasi membatu Dinas Pendidikan membuat pemetaan guru, SDM , kebutuhan guru dalam mengembangkan profesionalismenya dan berada di garda terdepan dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Berdasarkan peran, tujuan dan fungsi MGMP diatas, maka MGMP adalah suatu wadah yang strategis untuk meningkatkan kompetensi guru dan siswa dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan secara umum, sehingga diharapkan permasalahan pembelajaran yang dihadapi guru di kelas dapat terpecahkan dan proses pembelajaran lebih efektif, bermutu dan dapat meningkatkan mutu pendidikan nasional.
Metode Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research) dengan pendekatan kualitatif, sehingga diupayakan memunculkan data-data lapangan yang sebenarnya sesuai kondisi sesungguhnya. Subyek penelitian pada penelitian ini adalah orang yang berkaitan dengan MGMP, yang terdiri dari key informan dan informan. Key informan adalah ketua MGMP ekonomi di Kabupaten Jombang, sedangkan informan adalah guru ekonomi yang menjadi anggota MGMP ekonomi tingkat SMA di Kabupaten Jombang. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah observasi dengan cara mengamati secara langsung, tanpa alat atau instrument lain. Wawancara dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara yang sudah disusun dan ditentukan sebelumnya, sedangkan dokumentasi dilakukan untuk mengumpulkan data melalui tulisan, arsip, dokumen, tempat atau orang yang berkaitan dengan penelitian. Metode analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskripstif kualitatif, yaitu dengan cara menghimpun informasi secara mendalam mengenai keadaan dan kondisi yang sebenarnya pada MGMP, kemudian informasi dan data yang diperoleh tersebut disinkronkan dengan standar atau peraturan seperti standar pengelolaan dan operasional MGMP untuk dapat merumuskan permasalahan serta solusi yang dibutuhkan.
Hasil Penelitian Dilihat dari segi pengelolaan, MGMP ekonomi tingkat SMA di Kabupaten Jombang belum mempunyai kerangka acuan kerja dan evaluasi secara menyeluruh serta tindak lanjut yang jelas dari tiap-tiap kegiatan dan dari standar organisasi ternyata masih belum terpenuhinya landasan kerja dan administrasi.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
511
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Berdasarkan belum terpenuhinya standar tersebut diatas, maka keefektifan MGMP ekonomi tingkat SMA di kabupaten Jombang dikatakan masih belum optimal, karena standar yang telah ditetapkan tersebut dibuat untuk menjadi landasan MGMP agar tujuan MGMP sebagai wadah profesionalisme guru dapat tercapai. Persoalan yang dihadapi MGMP dalam peningkatan profesionalisme guru ekonomi tingkat SMA di kabupaten Jombang adalah: (a) kegiatan MGMP ekonomi tingkat SMA di kabupaten Jombang masih tidak jelas, banyak yang berkumpul, tetapi hanya sekedar ajang silaturahmi/’ngobrol’; (b) seringkali agenda rutin MGMP hanyalah mengumpulkan soal dan membuat Buku Kerja Siswa/BKS yang merupakan instruksi dari Diknas (c) kebijakan sekolah tentang guru yang dikirim mengikuti kegiatan MGMP berbeda-beda, bahkan ada yang mengirim guru secara bergantian/bergilir. Kondisi ini membuat semakin tidak jelas fungsi MGMP bagi anggota. Sasaran guru yang diproses melalui kegiatan MGMP ini, seharusnya untuk semua guru dan secara berkelanjutan; dan (d) kegiatan MGMP selama ini diikuti oleh sebagian anggota saja dikarenakan ada anggota yang merasa kegiatan MGMP tidak secara langsung dapat dirasakan manfaatnya padahal MGMP adalah merupakan forum komunikasi yang bertujuan sebagai wahana untuk saling bertukar pengalaman guna meningkatkan kemampuan guru dan memperbaiki kualitas pembelajaran. Peran MGMP dalam meningkatkan profesionalisme guru ekonomi tingkat SMA di Kabupaten Jombang ternyata masih belum optimal. Hal ini bisa dilihat dari segi pengelolaan ternyata MGMP ekonomi tingkat SMA di Kabupaten Jombang belum memenuhi kerangka acuan kerja dan evaluasi secara menyeluruh dan tindak lanjut yang jelas dari tiap-tiap kegiatan dan dari standar organisasi ternyata masih belum terpenuhinya landasan kerja dan administrasi, karena standar yang telah ditetapkan tersebut dibuat untuk menjadi landasan MGMP agar tujuan MGMP sebagai wadah profesionalisme guru dapat tercapai. Sedangkan persoalan yang dihadapi MGMP dalam peningkatan profesionalisme guru ekonomi tingkat SMA di Kabupaten Jombang adalah: (a) kegiatan MGMP ekonomi tingkat SMA di Kabupaten Jombang masih tidak jelas, banyak yang berkumpul, tetapi hanya sekedar ajang silaturahmi/’ngobrol’; (b) seringkali agenda rutin MGMP hanyalah mengumpulkan soal dan membuat Buku Kerja Siswa/BKS yang merupakan instruksi dari Diknas (c) kebijakan sekolah tentang guru yang dikirim mengikuti kegiatan MGMP berbeda-beda, bahkan ada yang mengirim guru secara bergantian/bergilir. Kondisi ini membuat semakin tidak jelas fungsi MGMP bagi anggota. Sasaran guru yang diproses melalui kegiatan MGMP ini, seharusnya untuk semua guru dan secara berkelanjutan; dan (d) kegiatan MGMP selama ini diikuti oleh sebagian anggota saja dikarenakan ada anggota yang merasa kegiatan MGMP tidak secara langsung dapat dirasakan manfaatnya padahal MGMP adalah merupakan forum komunikasi yang bertujuan sebagai wahana untuk saling bertukar pengalaman guna meningkatkan kemampuan guru dan memperbaiki kualitas pembelajaran.
Rekomendasi Saran peneliti tentang peran MGMP dalam meningkatkan profesionalisme guru ekonomi tingkat SMA di Kabupaten Jombang adalah: (a) pengurus MGMP lebih mampu berinovasi sehubungan dengan kegiatan yang akan meningkatkan keprofesionalan anggota, sehingga anggota lebih merasa membutuhkan MGMP, karena dikelola dengan dasar kebutuhan bersama/muncul ketergantungan anggota; (b) pengurus bersedia merubah kegiatan yang selama ini statis, dengan cara berusaha memecahkan masalah-masalah anggota dan berusaha 512
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
berkomunikasi dengan pihak lain yang terkait; (c) menambah sumber dana yang lebih rutin, yaitu iuran anggota, dampak penambahan iuran ini adalah pengurus dan anggota MGMP termotivasi untuk bekerjasama merancang kegiatan MGMP yang lebih inovatif dan yang sesuai dengan kebutuhan anggota.
Daftar Pustaka Bungin, B. 2008. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik dan Sosial lainnya. Jakarta: Kencana Perdana Media Group. Creswel, W.John. 2010. Research Design,Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan Mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Dirjen PMPTK. 2008. Buku Standar Pengembangan KKG dan MGMP. Dirjen PMPTK. 2009. Rambu-rambu Pengembangan dan Penyelenggaraan KKG /MGMP. Diaz M.G. 2004. Teacher-Centered Professional Development. Alexandria, VA: Association for Supervision and Curriculum Development. Fanani, El. 2013. Guru Sejati Guru Idola. Yogyakarta: Araska. Suyanto, Jihad, A. 2013. Menjadi Guru Profesional. Jakarta: Penerbit Erlangga. Shoimin, Aris. 2013. Excellent Teacher. Semarang: Dahara Prize. Schug Mark C., Wood William C. (Editor), 2011. Teaching Economics in Troubled TimesTheory and Practice for Secondary Social Studies. New York: Routledge. Usman, Uzer. 2000. Menjadi Guru Profesional. Bandung: Remaja Rosdakaya Undang-Undang Republik Indonesia No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. 2006. Jakarta: Eka Jaya. Wahyudi Imam. 2012. Mengejar Profesionalisme Guru. Jakarta: Prestasi Pustakarya.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
513
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Pengaruh Pembelajaran Variasi dan Kombinasi Aktivitas Bermain Bolavoli Terhadap Kemampuan Melakukan Passing Atas, Bawah dan Servis Atas Bolavoli Pada Siswa Kelas X Madrasah Aliyah Negeri 5 Jombang Mohammad Zaim Zen 17 & Achmed Zoki 17 Abstract The purpose of this study was to determine the effect of variations and combinations of activity learning to play volleyball on the ability to passing the top, bottom and top service volleyball. The method used is to design experimental method used is the one-group pretest-posttest design. The population in this study were all students of class X as many as 70 students, collecting data through tests the ability to passing the top, bottom and top service volleyball and observations on a variable capacity for passing top, bottom and top service volleyball, then analyzed using statistical test t paried with significant standard test (α = 0.05). Results of the study showed the ability to passing the top, bottom and top service learning volleyball volleyball passing over before granting learning to play volleyball activity obtained a mean value (59.21), while after administration of learning activities play volleyball obtain mean value (76.29). Based on the statistical test t-test paried obtained tcount (11.697) is greater than t table (2.032) then H0 is rejected, which means there is a learning effect of variations and combinations of activities to play volleyball on the ability to passing the top, bottom and top service volleyball in class X Madrasah Aliyah 5 Jombang, then you should study variations and combinations of activities play volleyball can be applied, so that ability can be obtained optimally. Keywords: Learning variations and combinations of activity, passing the top, bottom and top service volleyball Abstrak Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pembelajaran variasi dan kombinasi aktivitas bermain bolavoli terhadap kemampuan melakukan passing atas, bawah dan servis atas bolavoli. Metode yang digunakan adalah metode eksperimen dengan rancangan yang digunakan adalah one group pretest-postest design. Populasi dalam penelitian ini adalah semua siswa kelas X sebanyak 70 siswa, pengumpulan data melalui tes kemampuan melakukan passing atas, bawah dan servis atas bolavoli dan observasi pada variabel kemampuan melakukan passing atas, bawah dan servis atas bolavoli, kemudian dianalisis dengan menggunakan uji statistik t-test paried dengan standart signifikan (α = 0,05). Hasil penelitian didapatkan hasil kemampuan melakukan passing atas, bawah dan servis atas bolavoli belajar passing atas bolavoli sebelum pemberian pembelajaran aktivitas bermain bolavoli didapatkan nilai mean (59,21), sedangkan sesudah pemberian pembelajaran aktivitas bermain bolavoli didapatkan nilai mean (76,29). Berdasarkan dari uji statistik t-test paried diperoleh nilai thitung (11,697) lebih besar dari ttabel (2,032) maka H0 ditolak yang berarti ada pengaruh pembelajaran variasi dan kombinasi aktivitas bermain bolavoli terhadap kemampuan melakukan passing atas, bawah dan servis atas bolavoli pada siswa kelas X Madrasah Aliyah Negeri 5 Jombang, maka sebaiknya pembelajaran variasi dan kombinasi aktivitas bermain bolavoli dapat diterapkan, sehingga kemampuannya dapat diperoleh secara optimal. Kata Kunci: Pembelajaran variasi dan kombinasi aktivitas, passing atas, bawah dan servis atas bolavoli
Pendahuluan Pembelajaran merupakan suatu proses yang kompleks, karena dalam kegiatan pembelajaran senantiasa mengintegrasikan berbagai komponen dan kegiatan, yaitu siswa dalam 17,2
Program Studi Pendidikan Jasmani dan Kesehatan STKIP PGRI Jombang
514
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
lingkungan belajar untuk diperolehnya per-ubahan perilaku sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Menurut Mohammad Surya (2005) menjelaskan bahwa pembelajaran merupakan suatu proses yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan perilaku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil dari pengalaman individu sendiri dalam interaksi dengan lingkungan. Setiap individu/siswa yang dihadapi oleh guru sangat kompleks, karena menyangkut segi fisik dan psikis. Perilaku yang ingin dihasilkan dari pembelajaran juga kompleks, karena men-yangkut berbagai kemampuan seperti unsur kognitif, afektif, dan psikomotorik1. Pendidikan jasmani merupakan media untuk mendorong perkembangan keterampilan motorik, kemampuan fisik, pengetahuan, penalaran, penghayatan nilai (sikap, mental, emosional, spiritual, sosial), dan pembiasaan pola hidup sehat yang bermuara untuk merangsang pertumbuhan serta perkembangan yang seimbang. Dengan pendidikan jasmani siswa akan memperoleh berbagai ungkapan yang erat kaitannya dengan kesan pribadi yang men-yenangkan serta berbagai ungkapan yang kreatif, inovatif, terampil, memiliki kebugaran jasmani, kebiasaan hidup sehat dan memiliki pengetahuan serta pemahaman terhadap gerak manusia. Di dalam intensifikasi penyelenggaraan pendidikan sebagai suatu proses pembinaan manusia yang berlangsung seumur hidup, peranan pendidikan jasmani adalah sangat penting, yang mem-berikan kesempatan kepada siswa untuk terlibat langsung dalam aneka pengalaman belajar melalui aktivitas jasmani, bermain dan olahraga yang dilakukan secara sistematis. Melalui kegiatan bermain yang dikemas dalam program pendidikan jasmani hendaknya dapat mendorong siswa untuk memunculkan kegiatan belajar yang sesungguhnya. Menurut Lutan (1988) menyatakan modifikasi dalam mata pelajaran pendidikan jasmani diperlukan, dengan tujuan agar : siswa memperoleh kepuasan dalam mengikuti pelajaran, meningkatkan kemungkinan keberhasilan dalam berpartisipasi, dan siswa dapat melakukan pola gerak secara benar. Pendekatan modifikasi ini dimaksudkan agar materi yang ada di dalam kurikulum dapat disajikan sesuai dengan tahap-tahap per-kembangan kognitif, efektif, dan psikomotor siswa, sehingga pembelajaran pendidikan jasmani di sekolah dapat dilakukan secara intensif2. Setiap cabang olahraga memiliki taktik dan teknik tersendiri, demikian pula cabang olahraga bolavoli. Salah satu teknik dasar permainan bolavoli itu adalah passing dan servis. Teknik passing merupakan teknik yang paling dasar dari sekian teknik dasar yang ada, oleh karena itu sangat penting diberikan sebab merupakan salah satu faktor penentu keber-hasilan permainan bolavoli. Servis merupakan salah satu teknik dalam permainan bolavoli. Pada mulanya servis hanya merupakan pukulan awal untuk dimulainya suatu permainan, tetapi jika ditinjau dari sudut taktik sudah merupakan suatu serangan awal untuk diperoleh nilai agar suatu regu berhasil diraih kemenangan.3 Servis harus dilakukan dengan baik dan sempurna oleh semua pemain, karena kesalahan pemain mengakibatkan pertam-bahan angka dari lawan dan uniknya lagi setiap pemain harus melakukan servis ini. Demikian pentingnya kedudukan servis dalam permainan bolavoli, maka teknik dasar servis harus dikuasai dengan baik. Oleh karena itu servis harus keras dan terarah dengan tujuan agar tidak mudah diterima oleh lawan yang berarti pihak pemegang servis mendapatkan angka. Servis ada bermacan-macam, di mana masing-masing memiliki nama, sifat dan teknik sendiri-sendiri. Ada dua macam pukulan servis yang dikenal dan sering dimainkan yaitu servis tangan bawah dan servis tangan atas. Dalam melakukan servis atas (hook service) pemain harus pandai meng-kombinasikan kekuatan dan gerakan. Servis ini sangat kompleks, kalau tidak dikerjakan dengan sempurna dan latihan secara kontinyu, servis ini akan gagal dan hasilnya jauh dari memuaskan.4 Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
515
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Teknik passing ada dua yaitu : passing atas dan passing bawah. Keduanya memiliki tingkat kesulitan yang tidak sama. Penguasaan tehnik dasar permainan bolavoli secara sempurna dapat dicapai dengan melakukan latihan secara kontinyu dan menggunakan metode latihan yang baik. Penguasaan teknik dasar sebagai salah satu penunjang keberhasilan permainan bolavoli sangat dipengaruhi oleh unsur lain yaitu unsur kondisi fisik. Komponen fisik adalah kekuatan, kecepatan, daya tahan, keseimbangan kelincahan, dan koordinasi5. Komponen-komponen fisik tersebut masing-masing memiliki peranan yang berbeda, sesuai karakteristik yang dimiliki. Komponen fisik yang dirasa sangat penting berkaitan dalam permainan bolavoli adalah unsur daya tahan. Daya tahan merupakan salah satu unsur kondisi fisik yang di perlukan dalam setiap pertandingan atau permainan bolavoli, unsur ini akan ikut menentukan kemenangan suatu team dalam pertandingan. Salah satu tugas guru sebelum melak-sanakan proses pembelajaran, guru harus membuat program pembelajaran. Perencanaan atau program pembelajaran tersebut perlu dibuat, sebab dengan persiapan dan rencana yang matang akan meminimalisir terjadinya penyimpangan dalam pelaksanaan pembela-jaran. Dengan perencanaan akan mempermudah proses belajar mengajar sehingga lebih bermakna. Akan tetapi kurangnya perhatian dan bimbingan guru akan mengakibatkan pola gerakan yang salah dan teknik servis dan passing tidak dikuasai dengan baik. Sering dijumpai para guru enggan melakukan pem-belajaran pendidikan jasmani dan olahraga khusus cabang olahraga bolavoli dengan teknik dasar gerakan bolavoli servis dan passing dengan metode yang tepat. Pada waktu pelaksanaan pengajaran pendidikan jasmani, biasanya anak disuruh langsung bermain bolavoli. Anak-anak dibiarkan bermain dengan sendirinya tanpa memperhatikan teknik-teknik bermain bolavoli yang benar. Sedangkan guru santai berteduh di bawah pohon memperhatikan mereka. Keadaan semacam ini akan mengakibatkan tujuan belajar tidak akan tercapai. Kenyataan yang sering dijumpai di lapangan, pada umumnya siswa diinstruksikan langsung melakukan permainan bolavoli. Secara psikologis proses belajar mengajar ini juga mempunyai manfaat terhadap kondisi anak yaitu, hasrat gerak dan kemauan siswa dapat terpenuhi. Namun dilihat dari faktor teknik yang belum memadai mengakibatkan kualitas permainan jauh dengan apa yang diharapkan, sehingga tidak jarang dari mereka saat melakukan servis dan passing sering kali bolanya melenceng jauh dari teman bermainnya. Berdasarkan permasalahan di atas, me-nuntut guru untuk berkreativitas menerapkan pembelajaran yang tepat dalam menyampaikan materi pembelajaran, misalnya dengan mengkombinasikan beberapa metode, yaitu variasi dan kombinasi aktivitas bermain bolavoli, maka peneliti tertarik melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Pembelajaran Variasi dan Kombinasi Aktivitas Bermain Bolavoli Terhadap Kemampuan Melakukan Passing Atas, Bawah dan Servis Atas Bolavoli Pada Siswa Kelas X Madrasah Aliyah Negeri 5 Jombang.
Landasan Teori Pengertian Pendidikan Jasmani Pendidikan jasmani adalah kegiatan jasmani yang diselenggarakan untuk menjadi wahana bagi kegiatan pendidikan. Sebagaimana halnya olahraga adalah kegiatan yang bertitik berat pada aspek jasmani atau olah-jasmani, maka kegiatan pendidikan adalah kegiatan yang bertitik berat pada aspek rohani atau olah-rohani yang meliputi : intelektual, moral, dan spiritual. Pembelajaran olahraga (pem-belajaran motorik) adalah kegiatan jasmani untuk memberi
516
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
pengalaman, memperkaya dan meningkatkan kemampuan dan kete-rampilan koordinasi gerak dasar dalam rangka pembekalan bagi siswa agar mudah mempelajari/menguasai keterampilan gerak berbagai cabang olahraga.6
Tujuan Pendidikan Jasmani Tujuan pendidikan jasmani2, diantaranya : a. Meletakkan landasan karakter yang kuat melalu internalisasi nilai dalam pen-didikan jasmani. b. Membangun landasan kepribadian yang kuat, sikap cinta damai, sikap sosial dan toleransi dalam konteks kemajemukan budaya, etnis dan agama. c. Menumbuhkan kemampuan berfikir kritis melalui tugas-tugas pembelajaran pendidikan jasmani. d. Mengembangkan sikap sportif, jujur, disiplin, bertanggung jawab, kerjasama, percaya diri, dan demokratis melalui aktivitas jasmani. e. Mengembangkan keterampilan gerak dan keterampilan teknik serta strategi berbagai permainan dan olahraga, aktivitas pengembangan, senam, aktivitas ritmik, akuatik (aktivitas air) dan pendidikan luar kelas (outdoor education). f. Mengembangkan keterampilan pengelo-laan diri dalam upaya pengembangkan dan pemeliharaan kebugaran jasmanin serta pola hidup sehat melalui berbagai aktivitas jasmani. g. Mengembangkan keterampilan untuk menjaga keselamatan diri sendiri dan orang lain. h. Mengetahui dan memahami konsep aktivitas jasmani sebagai informasi untuk mencapai kesehatan, kebugaran dan pola hidup sehat. i. Mampu mengisi waktu luang dengan aktivitas jasmani yang bersifat rekreatif.
Pembelajaran Pendidikan Jasmani Pengertian Pembelajaran Pendidikan Jasmani Pembelajaran Pendidikan jasmani adalah kegiatan jasmani untuk memberi penga-laman, memperkaya dan meningkatkan kemampuan dan keterampilan koordinasi gerak dasar dalam rangka pembekalan bagi siswa agar mudah mempelajari atau menguasai keterampilan gerak berbagai cabang olahraga.6
Modifikasi Permainan Dalam Pembelajaran Dengan melakukan modifikasi, guru Pen-jaskes akan menyajikan materi pelajaran yang sulit menjadi lebih mudah dan di-sederhanakan tanpa harus takut kehilangan makna dan apa yang akan diberikan. Anak akan lebih leluasa bergerak dalam berbagai situasi dan kondisi yang dimodifikasi. Berkaitan dengan modifikasi lingkungan pembelajaran tersebut komponen-komponen penting yang dapat dimodifikasi menurut Aussie (1996), meliputi : a. Ukuran, berat atau bentuk peralatan yang digunakan b. Lapangan permainan c. Waktu bermain atau lamanya permainan d. Peraturan permainan, dan e. Jumlah pemain.2 Sedangkan secara operasional Ateng (1992) mengemukakan modifikasi permainan sebagai berikut : a. Kurangi jumlah pemain dalam setiap regu. b. Ukuran lapangan diperkecil. c. Waktu bermain diperpendek.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
517
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
d. Sesuaikan tingkat kesulitan dengan karakteristik anak. e. Sederhanakan alat yang digunakan, dan f. Ubahlah peraturan menjadi sederhana, sesuai dengan kebutuhan agar permainan dapat berjalan dengan lancar.2 Berdasarkan uraian tersebut dapat disim-pulkan bahwa sarana dan prasarana sangat diperlukan untuk menunjang keberhasilan pendidikan jasmani di sekolah. Sarana yang memenuhi syarat untuk cabang olahraga tertentu, belum tentu memenuhi syarat untuk digunakan oleh siswa. modifikasi sarana yagn sudah ada atau menciptakan yang baru merupakan salah satu alternatif yang dapat dikembangkan guru sebagai upaya untuk menyesuaikan dengan karakteristik dan perkembangan siswa. 1. Variasi dan Kombinasi Aktivitas Bermain Bolavoli Variasi dan kombinasi dalam aktivitas per-mainan bolavoli adalah gabungan beberapa beberapa bentuk gerakan prinsip dasar dengan berbagai cara, seperti : melakukan prinsip dasar passing atas, bawah, dan servis atas di tempat, bergerak maju-mundur, dan bergerak menyamping, zig-zag, baik secara perorangan, berpasangan maupun kelompok. Akhir dari pembelajaran kombinasi prinsip dasar ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan koordinasi gerakan, serta penanaman nilai disiplin, menghargai perbedan, tanggungjawab, dan kerja sama dengan pembelajaran7, sebagai berikut : a. Aktivitas bermain passing atas bawah 1) Persiapan Bentuk tiga kelompok dalam formasi segitiga, kelompok satu melakukan passing atas, kelompok dua dan tiga melakukan passing bawah. 2) Pelaksanaan Dimulai dari kelompok pertama melakuka passing atas ke arah kelompok dua atau tiga, dan bola dikembalikan dengan passing bawah ke kelompok satu, setelah melakukan gerakan passing atas dan bawah bergerak pindah posisi. b. Aktivitas bermain servis atas dan passing bawah 1) Persiapan Bentuk tiga kelompok dalam formasi segitiga, kelompok servis atas, ke-lompok dua dan tiga melakukan passing bawah. 2) Pelaksanaan Kelompok pertama melakukan servis atas diawali melambungkan bola ke atas dan dilanjutkan memukul bola ke arah kelompok dua atau tiga, dan bola dikembalikan dengan passing bawah ke kelompok satu dan bola ditangkap teman yang ada di belakannya (no.2), setelah mela-kukan gerakan servis atas dan bawah bergerak pindah posisi. Catatan : Bahwa setiap akan melakukan aktivitas ber-main selalu diawali dengan kegiatan meng-amati, menanya, mengumpulkan informasi, dan mengasosiasi sebelum dikomunikasikan dalam permainan bolavoli.
Teknik Dasar Bolavoli Untuk dapat melakukan permainan bola-voli, Anda terlebih dahulu harus menguasai beberapa teknik dasar. Teknik dasar permainan bolavoli, sebagai berikut : Servis
518
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Servis adalah awalan pukulan untuk memasukkan bola ke daerah lawan. Selain itu, servis juga merupakan pukulan untuk memulai permainan. Beberapa cara melaku-kan servis8, sebagai berikut.
Servis bawah 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7)
Cara melakukan servis dengan ayunan tangan dari bawah sebagai berikut : Pemain berdiri menghadap net, salah satu kaki di depan. Lengan kiri dijulurkan ke depan dan memegang bola. Bola dilambungkan rendah ke atas, berat badan bertumpu pada kaki belakang. Lengan yang bebas digerakkan ke belakang dan diayunkan ke depan untuk memukul bola. Saat memukul bola, berat badan dipindahkan ke kaki depan. Bola dipukul dengan tangan mengepal, pergelangan tangan kaku, dan kuat. Kemudian, pindahkan kaki belakang ke depan sebagai gerak lanjutan.
Servis atas 1) 2) 3)
4)
5)
Cara melakukan servis dengan ayunan tangan dari atas10, sebagai berikut : Pemain berdiri dengan salah satu kaki di depan, kedua lutut agak ditekuk. Kedua tangan memegang bola. Bola dilambung dengan tangan kiri ke atas sampai ketinggian ± 1 m di atas kepala di depan bahu, dan telapak tangan kanan segera ditarik ke belakang atas kepala dengan telapak menghadap ke depan. Badan dilentingkan ke belakang. Setelah tangan berada di belakang atas kepala, bola segera dipukul dengan telapak tangan, dengan posisi lengan tetap lurus dan seluruh tubuh ikut bergerak. Pada saat bola dipukul, berat badan dipindahkan ke depan.
Passing Passing ialah mengoper bola. Passing bola voli dibagi ke dalam dua bagian, yaitu : Passing atas Passing atas (set up) adalah cara mengoper atau menerima bola dengan dua tangan di atas depan kepala secara bersamaan. Cara melakukannya passing atas8, sebagai berikut. 1) Sikap badan berdiri, kedua kaki dibuka selebar bahu, kedua lutut agak ditekuk, dan kedua tangan berada di atas depan dahi. 2) Badan agak condong ke depan, pandangan ke arah datangnya bola. 3) Jari-jari kedua tangan direng-gangkan. 4) Perkenaan bola pada ujung jari tangan. 5) Saat perkenaan, ikuti gerakan bola, kemudian dorong hingga bola melambung. 6) Gerakan tangan disesuaikan dengan keras atau lemahnya bola.
Passing bawah Passing bawah adalah cara mengoper atau menerima bola dengan dua tangan secara bersamaan di depan badan. Cara melakukan passing bawah8, sebagai berikut : 1) Sikap badan berdiri, kedua kaki dibuka selebar bahu, dan kedua lutut agak ditekuk. 2) Badan agak condong ke depan, pandangan ke arah datangnya bola. 3) Kedua tangan dirapatkan dan diluruskan di depan badan. 4) Perkenaan bola pada bidang datar lengan bawah dekat pergelangan tangan. 5) Saat perkenaan, gerakkan kedua lengan ke atas dengan sumber gerakan dari pangkal bahu, kemudian luruskan kedua tangan.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
519
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
6) Gerakan tangan disesuaikan dengan keras atau lemahnya kecepatan bola yang datang.
520
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam pene-litian ini adalah metode eksperimen, yaitu suatu penelitian yang dilakukan secara ketat untuk mengetahui hubungan sebab akibat diantara variabelvariabel, salah satu ciri pokok dari penelitian eksperimen adalah adanya perlakuan (treatment) yang diberikan kepada subjek penelitian.9 Rancangan yang digunakan adalah one group pretest-postest design.
Pretest
Treatme nt
Posttest
T1
X
T2
Keterangan : T1 = Tes awal passing atas, bawah dan servis atas bolavoli. T2 = Tes akhir passing atas, bawah dan servis atas bolavoli. X = Pembelajaran dengan menggunakan variasi permainan.10 Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek yang mempunyai kua-litas dan karakteristik tertentu yang dite-tapkan.11 Populasi penelitian ini adalah seluruh jumlah siswa Madrasah Aliyah Negeri 5 Jombang dengan menggunakan teknik sampling menggunakan sampling purposive adalah teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu.12 Sampel yang digunakan adalah kelas X Madrasah Aliyah Negeri 5 Jombang. Variabel dependent adalah pembelajaran variasi dan kombinasi aktivitas bermain bolavoli dan variabel terkait dalam penelitian ini adalah kemampuan mela-kukan passing atas, bawah dan servis atas bolavoli. Instrumen dalam penelitian ini adalah tes kemampuan melakukan passing atas, bawah dan servis atas bolavoli dan observasi pada variabel kemampuan melakukan passing atas, bawah dan servis atas bolavoli. Prosedur penelitian berisi langkah-langkah atau tahapan yang dilakukan peneliti dalam kegiatan penelitiannya, baik pengum-pulan data ataupun teknik menganalisis data.
Penelitian Pertama Pelaksanaan Penelitian 1) Membuat daftar nama keseluruhan peserta didik yang akan dijadikan sampel. 2) Memberikan pengarahan tentang pelaksanaan tes dengan materi teknik dasar gerakan bolavoli passing atas, bawah dan servis atas serta maksud dan tujuan penelitian. 3) Pelaksanaan tes awal kemampuan melakukan passing atas, bawah dan servis dengan peraturan yang dimodifikasi. Tujuan: Mengukur kemampuan siswa dalam melakukan gerakan dasar passing atas, bawah dan servis atas. Perlengkapan: Bolavoli, lapangan bolavoli, net, peluit, stopwatch, blangko dan alat tulis Pelaksanaan tes: Passing atas (1) Testi berdiri bebas pada tempat yang sudah ditentukan. (2) Dua testi dapat melakukan tes secara bersama-sama baik di sebelah kanan maupun sebelah kiri. (3) Testi siap menerima bola yang di lempar oleh pelempar, dan selanjutnya melakukan passing atas melewati tali yang tingginya sudah ditentukan.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
521
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
(4) Jika bola yang di lempar oleh pelempar tidak tepat pada posisi testi, maka lemparan di ulang. (5) Testi melakukan tes sebanyak 10 kali ulangan untuk masing-masing tempat sebe-lah kanan 10 kali dan sebelah kiri 10 kali. Dengan sasaran yang ditentukan. Penilaian : (1) Testi yang melakukan passing atas dengan cara yang sah akan memperoleh skor satu apabila bola lewat diatas tali dan tidak menyentuh net, serta jatuh pada bidang sasaran. (2) Jumlah bola yang benar dan syah selama testi melakukan 20 kali percobaan, merupakan hasil tes untuk testi tertentu. Tes awal yang dilakukan untuk mengetahui kemampuan siswa melakukan passing atas. Pelaksanaan tes: Passing bawah (1) Peserta tes berdiri di dalam area dan melakukan passing bawah selama 1 menit. (2) Peserta tes dianjurkan untuk passing bawah sebanyak-banyaknya selama 1 menit. Penilaian : (1) Nilai diberikan pada pelaksanaan passing bawah yang benar. (2) Besarnya nilai sesuai dengan banyaknya passing bawah yang dilakukan dalam 1 menit. (3) Bila bola jatuh tidak dihitung. Cara menghitung : x 100 % = Pelaksanaan tes: Servis atas (1) Peserta tes berdiri di daerah servis dan melakukan servis bawah sebanyak 3 kali. (2) Peserta tes dianjurkan untuk mengarahkan bola pada area sasaran nilai tertinggi. Penilaian : Dalam penilaian servis bawah bolavoli peneliti melakukan pemodifikasian area penelitian yang bertujuan untuk menilai kemampuan peserta didik dalam melakukan servis bawah bolavoli dengan ketentuan sebagai berikut : (1) Nilai diberikan pada pelaksanaan servis bawah yang benar. (2) Besarnya nilai sesuai dengan jauhnya bola pada sasaran angka 1, 2, 3, 4 dan 5. (3) Bila bola jatuh di garis batas akan diberikan nilai pada sasaran yang lebih tinggi, misalnya angka 2 dan 3, maka dihitung dengan nilai 3.
Gambar 1. Area modifikasi tes servis bawah bolavoli13 Penelitian Kedua Pelaksanaan Penelitian
522
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
1) Membuat daftar nama kese-luruhan peserta didik yang akan dijadikan sampel. 2) Menjelaskan materi teknik dasar gerakan bolavoli passing atas, bawah dan servis atas serta maksud dan tujuan penelitian dengan membentuk kelompok-kelompok kecil. Selanjutnya peneliti mempraktekkan bagai-mana melakukan passing atas, bawah dan servis atas bolavoli. Setiap kelompok dipersilahkan untuk mencoba sendiri. 3) Pemberian pembelajaran variasi dan kombinasi aktivitas bermain bolavoli.
Pelaksanaan tes Pelaksanaan tes akhir passing atas, bawah dan servis atas sama dengan pelaksanaan tes awal. Data yang diperoleh dari hasil penelitian tentang pengaruh gaya mengajar terhadap kepribadian siswa dianalisis dengan cara sebagai berikut: Untuk menguji hipotesis penelitian, digunakan teknik statistik uji T-Test Paried, uji ini digunakan untuk menguji perbedaan rata-rata antara dua sampel berpasangan. Uji ini biasanya melibatkan pengukuran pada suatu Variabel atas pengaruh atau perlakuan tertentu, yaitu pada pretest-posttest pada dua kelompok, yaitu kemampuan melakukan passing atas, bawah dan servis atas bolavoli pada siswa sebelum dan sesudah pemberian kombinasi aktivitas bermain bolavoli.
Hasil Penelitian Analisa pengaruh pembelajaran variasi dan kombinasi aktivitas bermain bolavoli terhadap kemampuan melakukan passing atas, bawah dan servis atas bolavoli pada siswa kelas X Madrasah Aliyah Negeri 5 Jombang. Kelompok N Mean Pre post Post post
Selisih t hitung
t tabel
Peningkatan
35 59,71 16,5714 11,697 2,032 27,75% 35 76,29
Dari tabel di atas menunjukkan bahwa : 1. Hasil kemampuan melakukan passing atas, bawah dan servis atas bolavoli mengalami peningkatan yang baik, dimana ditunjukkan dengan nilai mean sebesar pre-post (59,71) meningkat post-test (76,29). 2. Peningkatan terhadap kemampuan siswa melakukan passing atas, bawah dan servis atas bolavoli sebesar 16,5714 atau 27,75%. 3. Ada pengaruh pembelajaran variasi dan kombinasi aktivitas bermain bolavoli terhadap kemampuan melakukan passing atas, bawah dan servis atas bolavoli pada siswa kelas X Madrasah Aliyah Negeri 5 Jombang, dimana ditunjukkan dengan nilai thitung (11,697) lebih besar dari ttabel (2,032) maka H0 ditolak. Pemberian pembelajaran variasi dan kombinasi aktivitas bermain bolavoli ber-pengaruh terhadap kemampuan melakukan passing atas, bawah dan servis atas bolavoli, dimana pembelajaran variasi dan kombinasi aktivitas bermain bolavoli yang diberikan selama pembelajaran mempengaruhi, semangat, motivasi, kreatifitas yang berbeda dari pelaku, sehingga dapat memberikan efek atau pengaruh yang berbeda. Dari hasil penelitian yang mana nilai mean (59,71) hasil kemampuan siswa dalam melakukan passing atas, bawah dan servis atas bolavoli sebelum pemberian pembelajaran variasi dan kombinasi aktivitas bermain bolavoli mengalami perubahan atau peningkatan setelah pemberian pembelajaran variasi dan kombinasi aktivitas
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
523
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
bermain (76,29). Permainan bolavoli merupakan kegiatan yang menarik dan menyenangkan, sehingga dapat meningkatkan gairah dan motivasi untuk menguasai teknik yang diajarkan. Melalui pembelajaran ini juga tercipta semangat kompetitif sehingga pelaksanaannya lebih bergairah. selama pembelajaran variasi dan kombinasi aktivitas bermain bolavoli, siswa lebih semangat dan aktif melakukan gerakan yang diajarkan, hal ini dibuktikan dari hasil penelitian didapatkan nilai thitung (11,697) lebih besar dari ttabel (2,032) maka H0 ditolak yang artinya ada pengaruh pembelajaran variasi dan kombinasi aktivitas bermain bolavoli terhadap kemampuan melakukan passing atas, bawah dan servis atas bolavoli pada siswa kelas X Madrasah Aliyah Negeri 5 Jombang.
Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka penliti dapat menarik simpulan dan mengemukakan saran sebagai berikut : 1. Hasil kemampuan melakukan passing atas, bawah dan servis atas bolavoli belajar passing atas bolavoli sebelum pemberian pembelajaran aktivitas bermain bolavoli didapatkan nilai mean (59,21). 2. Hasil kemampuan melakukan passing atas, bawah dan servis atas bolavoli belajar passing atas bolavoli sesudah pemberian pembelajaran aktivitas bermain bolavoli didapatkan nilai mean (76,29) 3. Pengaruh pembelajaran variasi dan kombinasi aktivitas bermain bolavoli terhadap kemampuan melakukan passing atas, bawah dan servis atas bolavoli pada siswa kelas X Madrasah Aliyah Negeri 5 Jombang, dimana ditunjukkan dengan nilai thitung (11,697) lebih besar dari ttabel (2,032) maka H0 ditolak.
Saran Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pengaruh pembelajaran variasi dan kombinasi aktivitas bermain bolavoli terhadap kemampuan melakukan passing atas, bawah dan servis atas bolavoli pada siswa kelas X Madrasah Aliyah Negeri 5 Jombang. 1. Bagi Guru Dengan melihat besarnya pengaruh pem-belajaran variasi dan kombinasi aktivitas bermain bolavoli terhadap kemampuan siswa melakukan passing atas, bawah dan servis atas menuntut seorang guru mampu menerapkan metode pembelajaran yang efektif dengan merancang bentuk pembelajaran yang baik agar diperoleh hasil belajar yang optimal. 2. Bagi Siswa Dengan adanya pembelajaran variasi dan kombinasi aktivitas bermain bolavoli ini siswa dapat menerapkan teknik-teknik dasar passing atas, bawah dan servis atas telah diberikan oleh guru pengajaran pendidikan jasmani dan kesehatan, sehingga kemampuannya dapat diperoleh secara optimal. 3. Bagi Sekolah Pendekatan pembelajaran variasi dan kombinasi aktivitas bermain bolavoli memiliki pengaruh yang lebih baik dalam meningkatkan kemampuan siswa dalam melakukan teknik passing atas, bawah dan servis atas bolavoli, maka sebaiknya pembelajaran variasi dan kombinasi aktivitas bermain bolavoli dapat diterapkan dalam peningkatan kemampuan
524
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
siswa tentang teknik gerakan bolavoli, sehingga kemampuannya dapat diperoleh secara optimal.
Daftar Pustaka Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1977. Tes Keterampilan Bermain Bola Volley. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Gabbard, C., Le Blanc, E. Lowy S, 1987. Physical Education for Children Building The Fondation, New Yersey : Printice Hall Inc Englewood Cliffs. Giriwijoyo. S., dan Sidik. DZ. 2012. Ilmu Faal Olahraga (Fisiologi Olahraga). Bandung : Rosdakarya. Hidayat. 2010. Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan /Yusuf Hidayat, Sindhu Cindar Bumi, Rizal Alamsyah; ilustrator, Tim Redaksi.—Jakarta: Pusat Perbukuan, Kementerian Pendidikan Nasional, 2010. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2014. Buku Guru Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan. Jakarta : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Mahmud. 2011. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung : Pustaka Setia. Rahayu. 2013. Strategi Pembelajaran Pendidikan Jasamani. Bandung : Alfabeta. Rusman. 2012. Model-model Pembelajaran Mengembangkan Profesional Guru. Edisi Kedua. Jakarta : Raja Grafindo Persada. Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitaif, Kualitatif dan R & D. Bandung : Alfabeta. Sugiyono. 2011. Statistika Untuk Penelitian. Bandung : Alfabeta. Suharno, HP. 1979. Dasar-dasar Permainan BolaVoli. Yogyakarta : Departemen pendidikan dan Kebudayaan. Suryabrata. 2010. Psikologi Kepribadian. Jakarta : Rajawali Pers. Yunus, M. 1992. Olahraga Pilihan Bolavoli. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
525
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Kinerja Guru Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan SMAN, dan SMKN Se-Kabupaten Mojokerto Berdasarkan Latar Belakang Pendidikan Tahun 2014 Puguh Satya Hasmara18, Arsika Yunarta18, & Dian Wahyudin18 Abstract This study aimed to describe the performance of PESH State Public High School, and State Vocational High School in the district Mojokerto, and also to describe the differences in teacher performance PESH value based on educational background. This research uses quantitative research with descriptive comparative approach. Subjects in this study were all PESH Teachers in State Public High School, and State Vocational High School in Mojokerto regency with the total number is 49 Teachers. The instrument used is the observation sheet (questionnaire), and data analysis using descriptive statistic. Based on the results of data analysis, it was found that the general average results Teacher Performance Assessment PESHState Public High School, and State Vocational High School as district Mojokerto is 47 with the highest Teacher Performance Assessment results is 84 (good) with the results of Teacher Performance Assessment highest was 95 (very good) and the lowest value was 63 (enough). For comparison of the results of Teacher Performance Assessment concluded that teachers of PESHlinear graduate study program with PESHof the State Institute of Teachers and Education Personnel obtain results Teacher Performance Assessment the most good with a total value 88 (good), then PESHgraduate teacher program linear studies with PESHof the Institute of Teachers and Education Personnel private scored a total 77 (good), and teachers PESH graduate courses that are not linear with PESH obtain the lowest total score is 75 (enough). Keywords: Performance;Physical Education, Sports, and Health (PESH) Teachers; Background Education Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kinerja Guru Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan SMAN, dan SMKN di Kab. Mojokerto, dan juga untuk mendeskripsikan perbedaan nilai kinerja Guru Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan berdasarkan latar belakang pendidikan. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kuantitatif dengan pendekatan komparatif deskriptif. Subjek dalam penelitian ini adalah seluruh Guru Penjasorkes di SMAN, dan SMKN di Kabupaten Mojokerto dengan jumlah total adalah 49 Guru. Instrumen yang digunakan adalah lembar observasi (angket), dan dianalisis menggunakan statistic deskriptif. Berdasarkan hasil analisis data, didapatkan bahwa Secara umum rata-rata hasil PKG guru Penjasorkes SMAN, dan SMKN se-Kab. Mojokerto adalah 84 (kategori baik) dengan hasil PKG tertinggi adalah 95 (kategori amat baik) dan nalai terendah adalah 63 (kategori cukup). Untuk perbandingan hasil PKG dapat disimpulkan bahwa guru Penjasorkes lulusan program studi yang linier dengan Penjasorkes dari LPTK negeri memperoleh hasil PKG yang paling baik dengan total nilai 88 (Baik), kemudian guru Penjasorkes lulusan program studi yang linier dengan Penjasorkes dari LPTK swasta memperoleh nilai total 77 (Baik) dalam, dan guru Penjasorkes lulusan program studi yang tidak linier dengan Penjasorkes memperoleh nilai total terendah yaitu 75 (Cukup). Kata Kunci: Kinerja, Guru Penjasorkes, Latar Belakang Pendidikan
18
Program Studi Pendidikan Jasmani dan Kesehatan STKIP PGRI Jombang
526
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Pendahuluan Beranjak dari pengertian pendidikan nasional, dari pendidikan itu sendiri melibatkan berbagai komponen yang berperan aktif terhadap kesuksesan pendidikan. Pendidikan yang di maksud mengandung fungsi yang sebagai mana diterangkan oleh UU No 20 tahun 2003 bahwa Pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dalam memenuhi pendidikan formal, tentunya tidak dapat dilepaskan dari peran guru atau pendidik. Menurut UUnomor 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen, guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini melalui jalur formal pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Guru adalah pendidik profesional yang memiliki tugas, fungsi, dan peran penting dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan negara. Guru yang profesional diharapkan mampu berparisipasi dalam pembangunan nasional untuk mewujudkan manusia Indonesia yamh bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, unggul dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki jiwa estetis, etis, berbudi pekerti luhur, dan berkepribadian (Pedoman Pelaksanaan PK Guru, 2010 : 1). Tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa masa depan masyarakat Indonesia sebagian ditentukan oleh Guru. Oleh sebab itu profesi Guru perlu dikembangkan secara terus menerus dan proporsional menurut jabatan fungsional Guru. Selain itu agar fungsi dan tugas yang melekat pada jabatan fungsional Guru dilaksanakan sesuai dengan aturan yang berlaku, maka dari itu diperlukan adanya Penilaian Kinerja Guru (PKG) yang menjamin terjadinya proses pembelajaran yang berkualitas pada semua jenjang pendidikan.Pelaksanaan PKG dimaksudkan bukan untuk menyulitkan Guru, tetapi sebaliknya PKG dilaksanakan untuk mewujudkan Guru yang profesional, karena harkat dan martabat suatu profesi ditentukan oleh kualitas layanan profesi yang bermutu (Pedoman Pelaksanaan PK Guru, 2010 : 1). Oleh sebab itu untuk meyakinkan bahwa setiap Guru adalah orang yang profesional di bidangnya dan sebagai penghargaan atas prestasi kerjanya, maka PKG harus dilakukan kepada semua Guru di setiap satuan pendidikan formal yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Berdasarkan uraian diatas guru dituntut memenuhi standar beban kerja guru yang mengacu pada UU Nomor 14 Tahun 2005 Pasal 35 yang menyebutkan bahwa beban kerja guru yang mencakup kegiatan pokok, yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajara, menilai hasil pembelajaran, membimbing dan melatih peserta didik, serta melaksanakan tugas tambahan.Mengacu pada UU Nomor 14 Tahun 2005 diatas guru Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan di tuntut juga menjadi guru yang profesional dimana Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan (Penjasorkes) dianggap penting dan perlu diajarkan.. Guru Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan mempunyai peran penting terhadap pembentukan watak, serta tumbuh dan berkembangnya peserta didik. Dalam penekannanya guru Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan harus memperhatikan 3 (tiga) aspek yaitu: Psikomotor, Kognitif, Afektif, dan di lengkapi dengan 1 (satu) aspek yaitu spiritual. Sesuai yang tercantum pada UU Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 37 Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan di tempatkan sebagai mata pelajaran wajib diajarkan di setiap satuan pendidikan, Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas. Oleh karena itu guru Pendidikan Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
527
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan harus memperhatikan kinerja dan cara menyampaikan pembelajaran sesuai dengan kompetensi yang dimiliki. Pada era sekarang ini kesadaran tentang pentingnya manusia yang berkualitas tampaknya memang belum mampu diwujudkan sepenuhnya oleh dunia pendidikan di Indonesia. Berbagai persoalan menjadikan dunia pendidikan indonesia sulit berkembang sebagaimana yang diharapkan. Dengan demikian, bukan hal yang berlebihan jika ada yang menilai bahwa kondisi pendidikan di Indonesia sedang mengalami kemerosotan secara mutu. Berdasarkan fakta yang ada pemerintah selalu memberikan syarat yang sama dalam perekrutan CPNS khususnya untuk formasi guru. Contohnya adalah pada rekruitmen CPNS Kota Malang Tahun 2013, tidak adanya syarat minimal Indeks Prestasi Komulatif (IPK) maupun nilai akreditasi institusi bagi lulusan LPTK negeri maupun LPTK swasta. Hal ini tentu saja mengindikasikan bahwa pemerintah beranggapan tidak adanya perbedaan kualitas pendidikan di LPTK negeri dan swasta. Untuk itu perlu dicermati implementasi di lapangan, apakah memang tidak ada perbedaan kinerja guru lulusan LPTK negeri dengan swasta. Diharapkan kinerja guru berbanding lurus dengan kualitas pembelajaran. Dengan kata lain jika kinerja guru itu baik, maka kualitas pembelajaran yang dihasilkan juga baik. Dengan adanya penilaian kinerja guru, maka guru lebih termotivasi untuk meningkatkan kinerjanya, karena mereka tidak mau mendapatkan nilai kinerja yang jelek sehingga bisa berdampak pada angka kredit yang didapatkan.
Landasan Teori Bernardin dan Russel (dalam Ruky, 2006:15) mengemukakan bahwa “performance is defined as the record of outcomes produced on specified job function or activity during a specified period.” Jika diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia berarti kinerja adalah catatan tentang hasil-hasil yang diperleh dari fungsi-fungsi pekerjaan atau kegiatan tertentu dengan periode waktu tertentu. Kinerja seseorang akan nampak pada situasi dan kondisi kerja sehari-hari. Aktivitasaktivitas yang dilakukan oleh seseorang dalam melaksanakan pekerjaannya menggambarkan bagaimana ia berusaha mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Menurut A. Dale Timpe dalam bukunya sebagaimana dikutip oleh Suprapto (1999) dikemukakan bahwa kinerja adalah akumulasi dari tiga elemen yang saling berkaitan yaitu keterampilan, upaya, dan sifat-sifat keadaan eksternal. Keterampilan dasar yang dibawa seseorang ke tempat pekerjaan dapat berupa pengetahuan, kemampuan, kecakapan interpersonal dan kecakapan teknis. Peraturan Pemerintah RI Nomor19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 28 disebutkan bahwa guru adalah agen pembelajaran yang harus memiliki 4 (empat) jenis kompetensi, yakni; (1) kompetensi pedagogik, (2) kompetensi kepribadian, (3) kompetensi profesional, dan (4) kompetensi sosial. Apabila dilihat dari komponen-komponen kompetensi guru yang merupakan kemampuan dasar yang harus dimiliki guru sebagaimana dikemukakan oleh para ahli sebagaimana dijabarkan di atas lalu dihubungkan dengan keempat kompetensi guru yang dijabarkan dalam UU tentang guru dan dosen, maka komponen-komponen kompetensi yang diuraikannya lebih mengarah kepada kompetensi pedagogik. Namun isi rincian kompetensi pedagogik yang diuraikan oleh Depdiknas, sudah teramu dalam kompetensi profesional. Sehingga dapat
528
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
dikatakan bahwa kompetensi pedagogik merupakan competency based guru dalam melaksanakan tugas profesionalnya, karena kompetensi ini merupakan ciri khas seorang guru. Sangat mungkin tiga kompetensi yang lain, yaitu kepribadian, profesional, dan sosial juga merupakan syarat bagi profesi lain, namun tidak demikian halnya kompetensi pedagogik.Kompetensi pedagogik hanya dituntut pada profesi guru. Ujung akhir dari kompetensi pedagogik adalah kemampuan dalam mengelola pembelajaran yang mendidik, namun untuk mencapai kemampuan itu seseorang harus memahami karakteristik peserta didik, karakteristik materi yang diajarkan, dan juga arah (filosofi) pendidikan yang sedang dilaksanakan (Muchlas Samani dkk, 2006). Menurut peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 16 tahun 2009, PK Guru adalah penilaian dari tiap butir kegiatan tugas utama guru dalam rangka pembinaan karir, kepangkatan, dan jabatanya pelaksanaan guru tidak dapat dipisahkan dari kemampuan seorang guru dalam penguasaan pengetahuan, penerapan pengetahuan dan keterampilan, sebagai kompetensi yang dibutuhkan sesuai amanat Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi guru. Ada dua fungsi utama Penilaian Kinerja Guru bagi dunia pendidikan, diantaranya adalah (Pedoman Pelaksanaan PK Guru, 2010), a) Untuk menilai kemampuan guru dalam menerapkan semua kompetensi dan keterampilan yang diperlukan pada proses pembelajaran, pembimbingan, atau pelaksanaan tugas tambahan yang relevan dengan fungsi sekolah/madarasah. Dengan demikian, profil kinerja guru sebagai gambaran kekuatan dan kelemahan guru akan teridentifikasi dan dimaknai sebagai analisis kebutuahan atau audit keterampilan untuk setiap guru, yang dapat digunakan sebagai basis untuk merencanakan PKB. b) Untuk menghitung angka kredit yang diperoleh guru atas kinerja pembelajaran, pembimbingan, atau pelaksanaan tugas tambahan yang relevan dengan fungsi sekolah/madrasah yang dilakukannya pada tahun tersebut. Hasil PK Guru diharapkan dapat bermanfaat untuk menentukan berbagai kebijakan yang terkait dengan peningkatan mutu dan kinerja guru sebagai ujung tombak pelaksanaan proses pendidikan dalam menciptakan insan yang cerdas, komprehensif, dan kompetitif. Penilaian kinerja yang terkait dengan pelaksanaan proses pembelajaaran bagi guru mata pelajaaran atau guru kelas, meliputi kegiatan merencanakan dan melaksanakan pembelajaran, mengevaluasi dan menilai, menganalisis hasil penilaian, dan melaksanakan tindak lanjut hasil penilaian dalam menerapkan 4 (empat) domain kompetensi yang harus dimiliki oleh guru sesuai dengan peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 tahun 2007 tentang standar kualifikasi akademik dan kompetensi guru. Pengelolaan pembelajaran tersebut mensyaratkan guru menguasai 24 (dua puluh empat) kompetensi yang dikelompokan ke dalam kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan professional, dirangkum menjadi 14 (empat belas) kompetensi, seperti pada tabel di bawah ini.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
529
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
No 1 2 3 4
Tabel Kompetensi guru kelas/ guru mata pelajaran Jumlah Ranah Kompetensi Kompetensi Indikator Pedagogik 7 45 Kepribadian 3 18 Sosial 2 6 Profesional 2 9 Total 14 78
Empat belas kompetensi itu diantaranya, a) Menguasai karakteristik peserta didik; b) Menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran mendidik; c) Pengembangan kurikulun; d) Kegiatan pembelajaran yang mendidik; e) Pengembangan potensi peserta didik; f) Komunikasi dengan peserta didik; g) Penilaian dan Evaluasi; h) Bertindak sesuai dengan norma agama, hukum, sosial, dan kebudayaan nasional; i) Menunjukkan pribadi yang dewasa dan teladan; j) Etos kerja, tanggung jawab yang tinggi, rasa bangga menjadi guru; k) Bersikap inklusif, bertindak obyektif, serta tidak diskriminatif; l) Komunikasi dengan sesama guru, tenaga kependidikan, orang tua, peserta didik, dan masyarakat; m) Penguasaan materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran yang diampu; n) Mengembangkan keprofesionalan melalui tindakan yang reflektif.
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kuantitatif dengan metode komparatif deskriptif. Penelitian ini akan mendeskripsikan (memaparkan) bagaimana kinerja Guru Pendidikan Jasmani SMAN, dan SMKN se-Kabupaten Mojokerto. Penilitian ini adalah penelitian populasi karena yang diteliti adalah seluruh Guru Penjasorkes SMAN, dan SMKN di Kabupaten Mojokerto yang berjumlah 49 orang. Untuk sebaran guru Penjasorkes dapat dilihat pada tabel ini. Tabel 1. Daftar Sebaran Jumlah Guru Penjasorkes No Nama Sekolah Jumlah Guru 1 SMAN 1 Trawas 2 Orang 2 SMAN 1 Pacet 3 Orang 3 SMAN 1 Gondang 2 Orang 4 SMAN 1 Kutorejo 2 Orang 5 SMAN 1 Ngoro 2 Orang 6 SMAN 1 Mojosari 3 Orang 7 SMAN 1 Bangsal 3 Orang 8 SMAN 1 Puri 2 Orang 9 SMAN 1 Sooko 3 Orang 10 SMAN 1 Gedeg 3 Orang 11 SMAN 1 Dawarblandong 3 Orang 12 SMKN 1 Jatirejo 3 Orang 13 SMKN 1 Dlanggu 3 Orang 14 SMKN 1 Pungging 3 Orang 15 SMKN 1 Mojoanyar 2 Orang 16 SMKN 1 Sooko 3 Orang 17 SMKN 1 Trowulan 2 Orang 18 SMKN 1 Jetis 3 Orang 19 SMKN 1 Kemlagi 2 Orang Jumlah Total 49 Orang
530
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Berdasarkan tujuan penelitian yang telah ditetapkan, jenis data dalam penelitian ini adalah data kuantitatif berbentuk nominal atau data berupa angka-angka dalam angket (instrumen penelitian yang akan digunakan) dimana nantinya angka-angka tersebut akan di narasikan dalam bentuk kata kata ataupun kalimat. Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dalam penelitian lapangan. Data tersebut diperoleh dengan berinteraksi secara langsung dengan subjek penelitian.Jadi data primer menjadi data utama dalam penelitian. Data tersebut diperoleh melalui hasil observasi dan wawancara secara mendalam. Dalam pengumpulan data primer ini yang menjadi sumber data adalah guru Penjasorkes di SMAN, dan SMKN se- Kabupaten Mojokerto. Data sekunder adalah data yang berfungsi untuk melengkapi data primer. Data sekunder berguna sebagai bahan perbandingan dan sebagai bahan untuk memperkaya data primer. Data sekunder diperoleh dari studi literatur yaitu dari buku, artikel, koran, majalah, internet dan dokumen-dokumen serta teman sejawat. Sesuai dengan penelitian yang akan dilaksanakan (penelitian deskriptif), maka peneliti menggunakan teknik observasi. Teknik observasi dilaksanakan dengan alat bantu (instrumen) berupa angket. Selain menggunakan angket, peneliti juga menggunakan teknik wawancara secara terbuka, yaitu wawancara yang dilakukan tanpa ada lembar/pedoman wawancara. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik observasi secara langsung terhadap responden penelitian dan dilakukan oleh peneliti sendiri. Data penilaian kinerja guru dikumpulkam melalui lembar observasi (angket) yang sesuai dengan pedoman penilaian kinerja guru yang sudah di terbitkan oleh Kementrian Pendidikan Nasional Dan Direktorat Jendral Peingkatan Mutu Pendidik Dan Tenaga Kependidikan tahun 2010 (PKG, 2010:43). Angket tersebut akan di isi langsung oleh kepala sekolah, guru senior, teman sejawat, dan juga siswa yang ditunjuk oleh kepala sekolah. Contoh Angket Penilaian untuk indikator 1: Mengenal karateristik peserta didik Indikator 1. Guru dapat mengidentifikasi karateristik belajar setiap peserta didik di kelasnya. 2. Guru memastikan bahwa semua peserta didik mendapatkan kesempatan yang sama untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan pembelajaran. 3. Guru dapat mengatur kelas untuk memberikan kesempatan belajar yang sama pada semua peserta didik dengan kelainan fisik dan kemampuan yang berbeda. 4. Guru mencoba mengetahui penyebab penyimpangan prilaku peserta didik untuk mencegah agar prilaku tersebut tidak merugikan peserta didik lainya. 5. Guru membantu mengembangkan potensi dan mengatasi kekurangan peserta didik 6. Guru memperhatikan peserta didik dengan kelemahan fisik tertentu agar dapat mengikuti aktivitas pembelajaran, sehingga peserta didik tersebut tidak termarginalkan atau tersisihkan.
Tidak terpenuhi
Skor Terpenuhi sebagian
Terpenuhi semuanya
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
531
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Total sekor untuk kompetensi 1 Skor maksimum kompetensi 1 = jumlah indikator x 2 Persentase = (total skor/12) x 100% Nilai untuk kompetensi 1 (0% < x ≤ 25% = 1; 25% < x ≤ 50% =2; 50% < x ≤ 75% = 3; 75% < x ≤ 100% = 4
Pada tahap pemberian nilai untuk setiap kompetensi adalah skala nilai 1 sampai 4. Tapi sebelum pemberian nilai tersebut, terlebih dahulu memberikan nilai 0, 1, atau 2 pada masing-masing indikator untuk setiap kompetensi. Pemberian nilai ini harus didasarkan pada fakta-fakta yang ada tanpa harus mengurangi ataupun melebihkan. Skor 0 menyatakan indikator tidak dilaksanakan, skor 1 indikator dilaksanakan sebagian, skor 2 indikator dilaksanakan sepenuhnya. Perolehan skor untuk setiap kompetensi itu selanjutnya dijumlahkan dan dihitung prosentasenya dengan cara membagi total skor yang diperoleh dengan total skor maksimum kompetensi kemudian dikalikan dengan seratus persen. Perolehan prosentase skor pada setiap kompetensi ini kemudian dikonversikan ke skala nilai 1, 2, 3, atau 4. Konversi skor 0, 1, atau 2 dalam nilai kompetensi dilakukan sesuai dengan tabel dibawah ini. Tabel 2. Konversi Skor ke Nilai Kompetensi (Pedoman Pelaksanaan PK Guru 2010) Rentang Total Skor Nilai Kompetensi 0% 0,05, variabel kerjasama dengan dudi sebesar 0,519 > 0,05, variabel peraturan pendukung sebesar 0,743 > 0,05, variabel nila tambah sebesar 0,515 > 0,05, variabel insentif sebesar 0,259> 0,05, variabel kelembagaan sebesar 0,563, dan variabel PSG sebesar 0,647 kemandirian belajar sebesar 0,691 > 0,05 . Dari hasil uji normalitas kedelapan variabel diatas dapat disimpulkan berdisteribusi normal.
Uji Linieritas Dari hasil analisa dapat diketahui untuk variabel profesi bahwa harga Fhitung sebesar 1,348, standar pendidikan dan pelatihan sebesar 0,744 , pengujian dan sertifikasi sebesar 1,304, kerjasama dengan dudi sebesar 3,062 peraturan pendukungsebesar 3,082 nilai tambahsebesar 1,405, insentifsebesar 2,938 dan kelembagaan sebesar 2,419 dengan ketentuan Ftabel (n-k-1) yaitu 52-2-1=49 Ftabel= 3,187. Oleh karena itu nilai Fhitung lebih kecil dari Ftabel , maka dapat disimpulkan antara variabel standar propesi, standar pendidikan dan pelatihan, pengujian dan
544
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
sertifikasi, kerjasama dengan dudi, peraturan pendukung, nila tambah, insentif, dan variabel kelembagaan terdapat hubungan yang linear.
Uji Multikololiearitas Diketahui bahwa nilai Tolerance dari semua variabel bebas mempunyai tolerance lebih besar dari 0,10 semua variabel telah memenuhi persyaratan ambang toleransi. Sedangkan nilai VIF (Variance Infation Factor) tidak ada yang lebih besar dari 10,0. dengan demikian persamaan model regresi tidak mengandung masalah multikolinieritas, artinya tidak ada multikolinieritas diantara variabel-variabel bebas . Uji Heteroskedastisitas
Gambar 01. Uji Heteroskedastisitas
Hasil Penelitian Berdasarkan analisis data hasil penelitian diperoleh hasil:
Uji F (Simultan) Apabila probabilitas tingkat kesalahan Fhitung variabel bebas lebih kecil dari tingkat signifikan yang telah ditentukan (0,05) maka model yang diuji atau yang diajukan adalah signifikan dalam menentukan proababilitas PSG sebagai variabel terikatnya dan begitu juga sebaliknya, apabila probabilitas tingkat kesalahan Fhitung variabel bebas lebih besar dari tingkat signifikansi (0,05), maka model yang diuji tidak signifikan. Hasil ringkasan uji kebersamaan dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut: Tabel 02 Ringkasan Hasil Uji F Variabel Profesi, SPP, sertifikasi, krjasma DUDI, peraturan pendukung, nilai tambah, insentif, kelembagaan dengan pendidikan sistem ganda.
Fhitung
Sig
Ftabel
5,940
,000a
3,187
(Sumber : Hasil Olahan SPSS 17.00) Berdasarkan tabel di atas didapat Fhitung sebesar 5,940 dengan probabilitas sebesar 0,000a yang nilainya lebih kecil dari 0,05, yaitu nilai Ftabelsebesar 3,187, ini menunjukkan nilai Fhitunglebih besar dari nilai Ftabel yaitu 5,940 > 3,187, artinya Ha diterima atau dengan kata lain Ho ditolak. Ini menunjukkan bahwa secara simultan variabelstandar profesi, standar pendidikan dan pelatihan, sertifikasi, kerjasama dengan DUDI, peraturan pendukung, nilai tambah, insentif,
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
545
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
dan kelembagaan berpengaruh signifikan terhadap pendidikan sistem ganda di SMKN 2 Selong TP. 2013/2014. Kemudian untuk menunjukkan beberapa persoalan perekonomian masyarakat yang dapat dijelaskan oleh variabel-variabel bebasnya dapat diketahui dengan melihat Model Summary b di bawah ini : Tabel 03 Ringkasan Analisis Summary
Model
R ,725a
1
R Square ,525
Adjusted R Square ,437
Std. Error of the Estimate 1,479
Durbin-Watson 1,944
(Sumber : Hasil Olahan SPSS 17.00) Dari tabel di atas dapat dilihat koefisien korelasi (R) sebesar 0,725a Koefisien Determinasi (R Square) sebesar 0,525 hal ini menunjukkan bahwa variabel dependen dipengaruhi oleh variabel independen sebesar 52,5%. Sedangkan 47,5% dipengaruhi oleh variabel lain diluar variabel yang diteliti. Uji t (secara parsial) Apabila secara probabilitas tingkat kesalahan t-hitung lebih kecil dari tingkat sinifikasi tertentu (0,05), maka terdapat pengaruh signifikasi dari variabel bebas terhadap variabel terikat. Begitu juga sebaliknya, apabila t-hitung lebih besar dari tingkat signifikansi (0,05), maka tidak terdapat pengaruh yang signifikan dari variabel bebas terhadap variabel terikat. Untuk menganalisa model regresi yang diajukan, maka diikhtisarkan pada tabel sepeti berikut: Tabel 04 Ringkasan Hasil Uji t Variabel Constanta Standar Profesi SPP Sertifikasi Kerjasama Dudi Peraturan Pendukung Nilai Tambah Intensif Kelembagaan
Beta ,180 ,392 ,253 ,232 ,319 -,129 ,082 ,400
thitung 6,376 1,700 1,885 1,727 1,934 1,768 -,409 ,340 1,647
Sig ,036 ,034 ,025 ,036 ,022 ,030 ,685 ,735 ,043
ttabel 1,677
(Sumber : Hasil Olahan SPSS 17.00) Berdasarkan olahan data menggunakan SPSS 17.00 diperoleh hasil berikut ini: 1. Hasil pengujian untuk variabel kerjasama dengan dudi diperoleh nilai sig sebesar 0,022. Pada variabel kerjasama dengan dudi terlihat bahwa nilai sig adalah 0,022 lebih kecil dari 0.05 maka Ho ditolak Ha diterima. Hasil pengujian statistik tersebut memberi arti bahwa secara parsial variabel kerjasama dengan dudi mempunyai pengaruh signifikan terhadap pendidikan sistem ganda di SMKN 2 selong. 2. Hasil pengujian untuk variabel standar pendidikan dan pelatihan diperoleh nilai sig sebesar 0,025. Pada variabel standar pendidikan dan pelatihan terlihat bahwa nilai sig adalah 0,025 lebih kecil dari 0.05 maka Ho ditolak Ha diterima. Hasil pengujian statistik tersebut memberi arti bahwa secara parsial variabel standar pendidikan dan pelatihan mempunyai pengaruh signifikan terhadap pendidikan sistem ganda di SMKN 2 selong.
546
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
3. Hasil pengujian untuk variabel peraturan pendukung diperoleh nilai sig sebesar 0,030. Pada variabel peratura pendukung terlihat bahwa nilai sig adalah 0,030 lebih kecil dari 0.05 maka Ho ditolak Ha diterima. Hasil pengujian statistik tersebut memberi arti bahwa secara parsial variabel peraturan pendukung mempunyai pengaruh signifikan terhadap pendidikan sistem ganda di SMKN 2 selong. 4. Hasil pengujian untuk variabel standar profesi diperoleh nilai sig sebesar 0,034. Pada variabel standar profesi terlihat bahwa nilai sig adalah 0,034 lebih kecil dari 0.05 maka Ho ditolak Ha diterima. Hasil pengujian statistik tersebut memberi arti bahwa secara parsial variabel standar profesi mempunyai pengaruh signifikan terhadap pendidikan sistem ganda di SMKN 2 selong. 5. Hasil pengujian untuk variabel pengujian dan sertifikasi diperoleh nilai sig sebesar 0,036. Pada variabel pengujian dan sertifikasi terlihat bahwa nilai sig adalah 0,036 lebih kecil dari 0.05 maka Ho ditolak Ha diterima. Hasil pengujian statistik tersebut memberi arti bahwa secara parsial variabel pengujian dan sertifikasi mempunyai pengaruh signifikan terhadap pendidikan sistem ganda di SMKN 2 selong. 6. Hasil pengujian untuk variabel kelembagaan diperoleh nilai sig sebesar 0,043. Pada variabel kelembagaan terlihat bahwa nilai sig adalah 0,043 lebih kecil dari 0.05 maka Ho ditolak Ha diterima. Hasil pengujian statistik tersebut memberi arti bahwa secara parsial variabel kelembagaan mempunyai pengaruh signifikan terhadap pendidikan sistem ganda di SMKN 2 selong. 7. Hasil pengujian untuk variabel insentif diperoleh nilai sig sebesar 0,735. Pada variabel insentif terlihat bahwa nilai sig adalah 0,735 lebih besar dari 0.05 maka Ho diterima Ha ditolak. Hasil pengujian statistik tersebut memberi arti bahwa secara parsial variabel insentif tidak mempunyai pengaruh signifikan terhadap pendidikan sistem ganda di SMKN 2 selong. 8. Hasil pengujian untuk variabel nilai tambah PSG diperoleh nilai sig sebesar 0,685. Pada variabel nilai tambah PSG terlihat bahwa nilai sig adalah 0,685 lebih besar dari 0.05 maka Ho diterima Ha ditolak. Hasil pengujian statistik tersebut memberi arti bahwa secara parsial variabel nilai tambah PSG mempunyai pengaruh tidak signifikan terhadap PSG di SMKN 2 selong.
Simpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan, maka kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : Secara simultan variabelkerjasama dengan DUDI, standar pendidikan dan pelatihan, peraturan pendukung, standar profesi, pengujian dan sertifikasi, kelembagaan, insentif, dan nilai tambah berpengaruh signifikan terhadap pendidikan sistem ganda di SMKN 2 Selong TP. 2013/2014. Secara parsial variabel kerjasama dengan DUDI yang diikuti oleh variabel standar pendidikan dan pelatihan, peraturan pendukung, standar profesi, pengujian dan sertifikasi, dan kelembagaan mempunyai pengaruh signifikan terhadap pendidikan sistem ganda. Sedangkan variabel insentif dan nilai tambah mempunyai pengaruh yang tidak signifikan terhadap pendidikan sistem ganda di SMKN 2 Selong TP. 2013/2014.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
547
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Saran Adapun saran-saran yang diajukan oleh peneliti berdasarkan kesimpulan di atas sebagai berikut: 1. Bagi sekolah, diharapkan Selalu meningkatkan mutu pendidikan khususnya dalam penyelenggaraan PSG, Meningkatkan hubungan kerjasama dengan DUDI, sehingga bisa mengontrol dan membina siswa saat pelaksanaan PSG sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan. 2. Bagi DUDI, diharapkanbersedia menjadi mitra SMK dalam pelaksanaa PSG sehingga ikut berpartisipasi dalam peningkatan mutu pendidikan khususnya SMK. 3. Bagi siswa, dengan hasil penelitian yang diperoleh setelah melakukan penelitian ini diharapkan Saat melaksanakan magang di institusi PSG, siswa dapat meningkatkan kemampuan dan keterampilannya sehingga siswa memperoleh keahlian profesional yang sesuai dengan bidangnya. Keahlian profesional yang dimiliki akan menumbuhkan rasa percaya diri pada siswa dan siap memasuki dunia kerja.
Daftar Pustaka Agus Widarjono. (2010). Analisis Setatistika Multivariat Terapan. Yogyakarta: UPP STIM YKPN. Anwar. (2006). Pendidikan Kecakapan Hidup ( Life Skills Education ) . Bandung: Alfabeta. Muhiddin, Sambas Ali. (2007). Analisis Korelasi, Regresi dan Jalur dalam Penelitian. Bandung : Pustaka Setia. Ridwan. (2007). Pengukuran Variable Penelitian. Bandung : Alfabeta. _______ (2006). Dasar-Dasar Statistik. Bandung: Alfabeta Riyanto, Yatim. (2007). Metodologi Penelitian Pendidikan Kualitatif Dan Kuantitatif. Surabaya: Unesa Universiti. Sonhadji Ahmad. (2012). Manusia, Teknologi Dan Pendidikan Menuju Pradaban Baru. Malang: Universitas Negeri Malang. Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif. Bandung: Alfabeta. (2009). Statistik Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta. Tony Wijaya. (2012). SPPS 20.Untuk Oleh Dan Interprestasi data. Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka. Undang- Undang RI NO.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
548
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Analisis Metakognisi Siswa Dalam Menyelesaikan Soal-Soal Bangun Datar Berdasarkan Kemampuan Matematika Mochammad Edy Santoso20 ([emailprotected]) OemiNoer Qomariyah21 ([emailprotected]) Abstract The aim of this research was to determine students' metacognition in menyelesaian questions on student flat wake berdsarkan mathematical skills of students. Descriptive study with a qualitative approach. The subjects were students of class X-1 SMA Negeri Ngoro 2014/2015 school year, amounting to 33 people carried out the test, the results of tests taken three students to be interviewed based on the criteria of high ability students, medium and low. Data collection method used is a test method to determine the ability of mathematics and interviews to determine the level of students' metacognition. Data analysis techniques used in this research is to use the triangulation method. S-1 research subjects have metacognition level category Semireflective Use in mathematical problem solving. S-1 also apply problem-solving strategies by Polya (1973). On the subject of S-2, also included in the category Semireflective Use metacognition level in mathematical problem solving. S-2 also apply problem-solving strategies by Polya (1973). In the S-3, including the category Tacit Use and Aware Use. S-3 is not able to apply problem-solving strategies by Polya (1973). Keywords: Metacognition, Problem Resolution, Build Flat, Mathematical Ability
Abstrak Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui metakognisi siswa dalam menyelesaian soal-soal bangun datar pada siswa berdsarkan kemampuan matematika siswa. Jenispenelitiandeskriptifdenganpendekatankualitatif. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas X-1 SMA Negeri Ngoro tahun pelajaran 2014/2015 yang berjumlah 33 orang dilakukan tes, dari hasil tes diambil tiga orang siswa untuk diwawancarai berdasarkan kriteria siswa berkemampuan tinggi, sedang dan rendah.Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode tes untuk mengetahui kemampuan matematika dan wawancara untuk mengetahui tingkat metakognisi siswa. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan triangulasi metode. Subjek penelitian S-1 memiliki tingkat metakognisi kategori Semireflective Use pada pemecahan masalah matematika. S-1 juga menerapkan strategi pemecahan masalah menurut Polya (1973). Pada subjek S-2, juga termasuk dalam tingkat metakognisi kategori Semireflective Use pada pemecahan masalah matematika. S-2 juga menerapkan strategi pemecahan masalah menurut Polya (1973). Pada S-3, termasuk kategori Tacit Use dan Aware Use. S-3 tidak dapat menerapkan strategi pemecahan masalah menurut Polya (1973). Kata Kunci: Metakognisi, Penyelesaian Soal, Bangun Datar, Kemampuan Matematika
Pendahuluan Pada era globalisasi, bangsa Indonesia berhadapan dengan tantangan dan hambatan yang semakin bertambah, sehingga negara Indonesia perlu mempersiapkan penduduk yang berkualitas dan yang mampu bersaing. KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) menjelaskan bahwa salah satu tujuan pembelajaran matematika adalah membekali siswa dengan kemampuan menganalisis dan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari (Riyanto, 2006). Dengan demikian, kemampuan pemecahan masalah menjadi sesuatu yang harus dikuasai oleh siswa dalam pembelajaran matematika. 20 21
Mahasiswa Pendidikan mataematika, STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur Indonesia Dosen Pendidikan Matematika STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
549
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Berkenaan dengan hal tersebut, salah satu komponen proses pembelajaran matematika yang sangat penting adalah pemecahan masalah. Pemecahan masalah merupakan unsur penting dalam pendidikan matematika karena pemecahan masalah merupakan sarana untuk mencapai tiga nilai matematika, yaitu fungsional, logik, dan estetik.Untuk alasan inilah pemecahan masalah dapat dikembangkan sebagai sesuatu yang kemampuan berharga dalam diri siswa. Yeo dalam Laily Agustina Mahromah (2010) menjelaskan untuk memecahkan masalah tergantung pada lima faktor diantaranya keterperincian, keahlian, pengetahuan atau konsep, proses metakognisi, dan perbuatan. Dalam penelitian ini, faktor yang akan menjadi fokus penelitian adalah faktor metakognisi. Menurut Jeanne Ellis Ormrod (2008: 369) menyatakan bahwa metakognisi merupakan pengetahuan dan keyakinan mengenai proses-proses kognitif seseorang, serta usaha-usaha sadarnya untuk terlibat dalam proses berperilaku dan berpikir sehingga menigkatkan proses belajar dan memori. Dalam pembelajaran matematika, metakognisi dapat tergali dan teramati ketika siswa memecahkan masalah. Berdasarkan permasalahan di atas, dengan adanya metakognisi siswa dalam memecahkan masalah matematika diharapkan dapat meningkatkan kualitas peserta didik dalam kegiatan belajar matematika terutama dalam memecahkan masalah matematika pada materi bangun datar Untuk itu, peneliti terinspirasi untuk menulis sebuah karya ilmiah terkait dengan metakognisi siswa dalam memecahkan masalah matematika berupa soal-soal bangun datar dengan judul ”Analisis Metakognisi Siswa Dalam Menyelesaikan Soal-Soal Bangun Datar Berdasarkan Kemampuan Matematika”. Dengan demikian, permasalahan yang dirumuskan dalam penelitian adalah pertama, bagaimana metakognisi siswa dalam menyelesaian soal-soal bangun datar pada siswa berkemampuan matematika tinggi? Kedua, bagaimana metakognisi siswa dalam menyelesaian soal-soal bangun datar pada siswa berkemampuan matematika sedang? Ketiga, bagaimana metakognisi siswa dalam menyelesaian soal-soal bangun datar pada siswa berkemampuan matematika rendah? Dan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui metakognisi siswa dalam menyelesaian soal-soal bangun datar pada siswa berkemampuan matematika siswa.
Metakognisi Siswa dalam Menyelesaikan Masalah Matematika Pada saat soal atau pertanyaan diberikan, guru perlu melihat kemampuan siswa dalam menyusun strategi dan langkah berpikir mereka, sehingga tidak hanya melihat kebenaran akhir jawaban siswa. Pada pemecahan masalah terdapat proses yang lebih penting yang harus diketahui oleh guru, yaitu proses-proses yang dilakukan siswa untuk mendapatkan jawaban dari permasalahan yang diberikan, khususnya proses metakognisi yang digunakan dalam pemecahan masalah tersebut. Jeanne Ellis Ormrod (2009: 369) menjelaskan bahwa metakognisi merupakan pengetahuan dan keyakinan mengenai proses-proses kognitif seseorang, serta usaha-usaha sadarnya untuk terlibat dalam proses berperilaku dan berpikir sehingga menigkatkan proses belajar dan memori. Cohors-Fresenborg dan Kaune (dalam Mustamin Anggo, 2012) merangkum komponen-komponen metakognisi kedalam tiga aktivitas metakognisi yang dilakukan pada pemecahan masalah, terdiri dari: (1) merencanakan (planning), (2) memantau (monitoring), dan (3) refleksi (reflection). Dalam menyelesaikan masalah ada empat tahapan yang harus dilakukan menurut Polya (1973), yaitu understanding the problem(memahami masalah/ soal), devising a plan (merencanakan penyelesaian), carrying out the plan (menyelesaikan soal sesuai rencana), dan looking back (memeriksa kembali hasil yang diperoleh). Keberhasilan siswa dalam 550
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
menyelesaikan masalah sangat tergantung pada kesadaran berpikirnya. Menurut Wilson (2004), kesadaran berpikir seseorang dapat diamati. Sehingga tingkat kesadaran berpikir siswa dapat diamati pada langkah-langkah yang dilakukannya dalam menyelesaikan suatu masalah. Dalam penelitian ini,metakognisi dalam pemecahan masalah matematika berupa penyelesaian soal-soal bangun datar adalah penggunaan kesadaran siswa dalam menyelesaikan pertanyaan atau soal dengan menggunakan pemikirannya untuk merencanakan (planning), memantau (monitoring), dan menilai (reflection) terhadap proses serta strategi kognitif yang dimiliki. Dalam tulisan ini, analisis metakogni siswa dalam pemecahan masalah matematika difokuskan pada penyelesaian soal-soal materi bangun datar berdasarkan kemampuan matematika. Indikator-indikator metakognisiyang digunakan dalam menyelesaikan soal-soal bangun datar berdasarkan teori Laurens (2009) dan diadaptasi dari Laily Agustina Mahromah dan Janet Trineke Manoyberikut ini: Tabel 1. Karakteristik dan Indikator Tingkat Metakognisi Tingkat Metakognisi
Karakteristik
Tacit Use
Pengambilan keputusan tanpa berpikir tentang keputusan tersebut, dalam hal ini siswa menerapkan strategi atau keterampilan tanpa kesadaran khusus atau melalui coba-coba dan asal menjawab dalam memecahkan masalah
Aware Use
Kesadaran siswa mengenai apa dan mengapa siswa melakukan pemikiran tersebut dalam hal ini siswa menyadari bahwa ia harus menggunakan suatu langkah penyelesaian masalah dengan memberikan penjelasan mengapa ia memilih penggunaan langkah tersebut.
Indikator Perencanaan: Siswa tidak dapat menjelaskan apa yang diketahui masalah/ soal bangun datar Siswa tidak dapat menjelaskan apa yang ditanyakan soal bangun datar Siswa tidak dapat menjelaskan masalah/ soal bangun datar dengan jelas Pemantauan: Siswa tidak menunjukkan adanya kesadaran terhadap apa saja yang dipantau mengenai soal bangun datar Siswa tidak menyadari kesalahan pada konsep dan hasil yang diperoleh dalam menyelesaikan soal bagun datar Penilaian: Siswa tidak melakukan evaluasi setelah menyelesaikan soal bangun datar atau jika melakukan evaluasi akan tampak bingung terhadap hasil yang diperoleh Perencanaan: Siswa mengalami kesulitan dan kebingungan karena memikirkan konsep (rumus) bangun datar dan cara menghitung yang akan digunakan Siswa hanya menjelaskan sebagian dari apa yang ditulis tentang menyelesaikan soal bangun datar Siswa memahami masalah/ soal bangun datar karena dapat mengungkapkan dengan jelas Pemantauan: Siswa mengalami kebingungan karena tidak dapat melanjutkan apa yang dikerjakan dari masalah/ soal bangun datar Siswa menyadari kesalahan konsep (rumus) dalam menyelesaikan masalah/ soal bangun datar dan cara mengitung namun tidak dapat diperbaiki Penilaian:
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
551
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Semistrategi c Use
Pengaturan individu dalam proses berpikirnya secara sadar dengan menggunakan strategistrategi khusus yang dapat meningkatkan ketepatan berpikirnya namun masih mengalami keraguan dalam strategi yang digunakan dalam pemecahan masalah. Dalam hal ini, siswa sadar dan mampu menyeleksi strategi atau keterampilan khusus untuk menyelesaikan masalah meskipun tidak maksimal
Strategic Use
Pengaturan individu dalam proses berpikirnya secara sadar dengan menggunakan strategistrategi khusus yang dapat meningkatkan ketepatan berpikirnya. Dalam hal ini, siswa sadar dan mampu menyeleksi strategi atau keterampilan khusus untuk menyelesaikan masalah.
Semireflecti ve Use
Refleksi individu dalam proses berpikirnya sebelum dan
552
Siswa tidak melakukan evaluasi setelah menyelesaikan soal bangun datar atau jika melakukan evaluasi akan tampak bingung atau ketidak jelasan terhadap hasil yang diperoleh Siswa melakukan evaluasi setelah menyelesaikan soal bangun datar namun tidak yakin terhadap hasil yang diperoleh Perencanaan: Siswa memahami masalah/ soal bangun datar karena dapat mengungkapkan dengan jelas Siswa mengalami keraguan terhadap konsep (rumus) dan cara menghitung yang akan digunakan dalam menyelesaikan soal bangun datar Pemantauan: Siswa menyadari kesalahan konsep (rumus) dalam menyelesaikan masalah/ soal bangun datar dan cara mengitung namun tidak dapat diperbaiki Siswa membutuhkan bantuan agar meyakini kebenaran konsep dan hasil yang diperoleh dalam menyelesaikan soal bangun datar Penilaian: Siswa tidak melakukan evaluasi setelah menyelesaikan soal bangun datar atau jika melakukan evaluasi akan tampak bingung atau ketidak jelasan terhadap hasil yang diperoleh Siswa melakukan evaluasi setelah menyelesaikan soal bangun datar namun tidak yakin terhadap hasil yang diperoleh Perencanaan: Siswa memahami masalah/ soal bangun datar karena dapat mengungkapkan dengan jelas Siswa tidak mengalami kesulitan dan kebingungan untuk menemukan rumus bangun datar dan cara menghitung Siswa dapat menjelaskan sebagian besar apa yang dituliskan dalam menyelesaikan soal bangun datar Pemantauan: Siswa menyadari kesalahan konsep dan cara menghitung dalam menyelesaikan soal bangun datar Siswa mampu memberi alasan yang mendukung pemikiran dalam menyelesaikan soal Penilaian: Siswa tidak melakukan evaluasi setelah menyelesaikan soal bangun datar atau jika melakukan evaluasi akan tampak bingung terhadap hasil yang diperoleh Siswa melakukan evaluasi setelah menyelesaikan soal bangun datar namun kurang yakin dengan hasil yang diperoleh Perencanaan: Siswa memahami masalah/ soal bangun datar
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
sesudah atau bahkan selama proses berlangsung dengan mempertimbangkan kelanjutan dan perbaikan hasil pemikirannya. Dalam hal ini, siswa menyadari dan memperbaiki kesalahan yang dilakukan dalam langkahlangkah penyelesaian masalah.
Reflective Use
Refleksi individu dalam proses berpikirnya sebelum dan sesudah atau bahkan selama proses berlangsung dengan mempertimbangkan kelanjutan dan perbaikan hasil pemikirannya. Dalam hal ini, siswa menyadari dan memperbaiki kesalahan yang dilakukan dalam langkahlangkah penyelesaian masalah.
karena dapat mengungkapkan dengan jelas Siswa mampu mengidentifikasi informas dalam masalah/ soal bangun datar Siswa mengetahui cara yang digunakan untuk menyelesaikan masalah/ soal bangun datar Siswa mampu menjelaskan strategi yang digunakan untuk menyelesaikan masalah/ soal bangun datar. Pemantauan: Siswa menyadari kesalahan konsep dan cara menghitung dalam menyelesaikan soal bangun datar Siswa mampu memperbaiki kesalahan pada langkah yang dilakukan dalam menyelesaikan soal bangun datar Siswa mampu mengaplikasikan strategi yang sama pada masalah/ soal yang lain tentang bangun datar Penilaian: Siswa melakukan evaluasi setelaha menyelesiakn soal bangun datar tetapi tidak selalu mengevaluasi setiap langkah yang dilakukan. Perencanaan: Siswa mengetahui cara yang digunakan untuk menyelesaikan masalah/ soal bangun datar Siswa mampu menjelaskan strategi yang digunakan untuk menyelesaikan masalah/ soal bangun datar. Siswa memahami masalah/ soal bangun datar dengan baik karena dapat mengidentifikasi informasi penting dalam masalah Siswa dapat menjelaskan apa yang ditulis pada lembar jawaban terkait penyelesaian masalah bangun datar Pemantauan: Siswa mampu mengaplikasikan strategi yang sama pada masalah/ soal bangun datar yang lain Siswa menyadari kesalahan konsep yang dilakukan dalam menyelesaikan soal bangun datar dan dapat memperbaiki Penilaian: Siswa melakukan evaluasi terhadap setiap langkah yang dibuat dalam menyelesaikan soal bangun datar dan meyakini hasil yang diperoleh
Tabel 2. Indikator Metakognisi untuk Setiap Konstruk Konstruk
Tingkat Metakognisi Tacit Use
Persegi Panjang Aware Use Semistrategic Use
Indikator Penyelesaian masalah berupa penerapan keliling persegi panjang dengan tanpa kesadaran dan pemahaman masalah Penyelesaian masalah berupa penerapan keliling persegi panjang dengan tingkat kesadaran dan pemahaman yang sedang Penyelesaian masalah berupa penerapan keliling
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
553
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Strategic Use
Semireflective Use
Reflective Use Tacit Use
Aware Use
Semistrategic Use
Belah Ketupat
Strategic Use
Semireflective Use
Reflective Use
persegi panjang dengan kesadaran dan pemahaman disertai dengan strategi pemecahan tetapi tidak yakin dengan strategi yang digunakan Penyelesaian masalah berupa penerapan keliling persegi panjang dengan menggunakan pemikiran berupa strategi pemecahan masalah dan yakin dengan strategi yang digunakan Penyelesaian masalah berupa penerapan keliling persegi panjang dengan menggunakan pemikiran berupa strategi pemecahan masalah dan dengan menerapkan sebagian model berpikir reflektif Penyelesaian masalah berupa penerapan keliling persegi panjang dengan menggunakan pemikiran berpikir reflektif Penyelesaian masalah berupa luas bangun belah ketupat dengan tanpa kesadaran dan pemahaman masalah Penyelesaian masalah berupa luas bangun belah ketupat dengan tingkat kesadaran dan pemahaman yang sedang Penyelesaian masalah berupa luas bangun belah ketupat dengan kesadaran dan pemahaman disertai dengan strategi pemecahan tetapi tidak yakin dengan strategi yang digunakan Penyelesaian masalah berupa luas bangun belah ketupat dengan menggunakan pemikiran berupa strategi pemecahan masalah dan yakin dengan strategi yang digunakan Penyelesaian masalah berupa luas bangun belah ketupat dengan menggunakan pemikiran berupa strategi pemecahan masalah dan dengan menerapkan sebagian model berpikir reflektif Penyelesaian masalah berupa luas bangun belah ketupat dengan menggunakan pemikiran berpikir reflektif
Metode Penelitian Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif yang difokuskan untuk mengetahui tingkat metakognisi siswa dalam menyelesaikan masalah matematika fokus soal bangun datar berdasarkan kemampuan matematika. Untuk mengkaji aktivitas tersebut, peneliti menjadi instrumen utama dalam penelitian ini dan didukung dengan indtrumen pendkung yaitu tes kemampuan matematika dan lembar wawancara untuk memperoleh data terkait tingkat metakognisi siswa dalam menyelesaikan masalah matematika. Dalam penelitian ini, terdapat prosedur penelitian yang terdiri dari tiga tahap, yaitu persiapan, pelaksanaan, dan tahap akhir yang disajikan pada gambar 1,2, dan 3 berikut ini.
554
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
TAHAP PERSIAPAN mempersiapkan
menentukan
Instrumen
Lokasi Penelitian
Tes Kemampuan Matematika menguji
dipilih
Lembar Wawancara
SMA Negeri Ngoro
menguji
Validasi
Koordinasi
Perbaikan Hasil
pelaksanaan
Guru Matematika Pelaksanaan Penelitian
Gambar 1. Skema Prosedur Penelitian pada Tahap Persiapan
TAHAP PELAKSANAAN menentukan
Subjek Penelitian di SMA Negeri Ngoro diperoleh
Kelas X-1
diberikan
Tes Kemampuan I didapatkan
Tes Kemampuan II dilaksanakan
Wawancara
diberikan
3 Subjek Penelitian Kategori Tinggi, Sedang, Rendah
pe nil aia n
penilaian penilaian
METAKOGNISI diperoleh
DATA PENELITIAN Gambar 2. Skema Prosedur Penelitian pada Tahap Pelaksanaan Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
555
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
DATA PENELITIAN dari 3 subyek penelitian pelaksanaan
Paparan Data
Validasi Data proses
diperoleh
Kesimpulan Data
Analisis Data
membuat
LAPORAN Gambar 3. Skema Prosedur Penelitian pada Tahap Akhir
Hasil Dan Pembahasan Nilai Hasil Tes Kemampuan Matematika Berikut adalah data nilai hasil tes kemampuan matematika siswa. Tabel 1. Nilai Hasil Tes Kemampuan Matematika Keterangan No Nama Kelas Skor 1 X-1 68 AF 2 X-1 78 RAS 3 X-1 78 MAP 4 X-1 76 ISSD 5 X-1 74 AA 6 X-1 86 YA Subjek Penelitian 2 7 X-1 77 RDA 8 X-1 75 SN 9 X-1 79 MRJ 10 X-1 90 MT 11 X-1 85 MA 12 X-1 70 ECN 13 X-1 69 EFW Subjek Penelitian 1 14 X-1 98 IZ 15 X-1 89 FMSM 16 X-1 75 NK 17 X-1 89 KT 18 X-1 78 IM
556
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
AAWBS DESR I SKS KK EPN AS LKW MAP RMA JAM RBP DAW WN NG
X-1 X-1 X-1 X-1 X-1 X-1 X-1 X-1 X-1 X-1 X-1 X-1 X-1 X-1 X-1
67 47 83 97 84 70 52 85 52 54 52 36 32 59 88
Subjek Penelitian 3
Berdasarkan hasil tes kemampuan matematika di atas yang dipadukan dengan kategori tingkatkemampuan matematika siswa (menurut Suharsimi Arikunto, 2010) maka diperoleh subyek penelitian S-1dengan kategori nilai tertinggi yaitu IZ dengan nilai 98. Subyek penelitian S-2 dengan kategori nilai sedang yaitu RDA dengan nilai 77. Untuk kategori rendah sebagai subyek S-3, terdapat FK dengan nilai 32.
Hasil Tes dan Wawancara a. Hasil Tes dan Wawancara Subjek Penelitian 1 (S-1) Dari hasil analisis data tes dan wawancara terhadap subjek penelitian S-1 sebagai kategori tingkat kemampuan matematika tinggi terkait penyelesaian soal-soal bangun datar pada tes kemampuan matematika, S-1 termasuk dalam tingkat metakognitif kategori Reflective Use. Berdasarkan indikator metakognisi setiap konstruk, penyelesaian masalah berupa penerapan keliling persegi panjang dengan menggunakan pemikiran berpikir reflektif dan penyelesaian masalah berupa luas bangun belah ketupat dengan menggunakan pemikiran berpikir reflektif. Dan hal ini ditandai dengan indikator tingkat metakognisi: 1Perencanaan: S-1 mengetahui cara yang digunakan untuk menyelesaikan masalah/ soal bangun datar, S-1 memahami masalah/ soal bangun datar,S-1 dapat mengungkapkan apa yang menjadi permasalahan dalam soal tersebut dan dapat menjelaskan apa yang ditulis pada lembar jawaban terkait penyelesaian masalah bangun datar; 2Pemantauan: S-1 mampu mengaplikasikan strategi yang sama pada masalah/ soal bangun datar yang lain; 3Penilaian: S-1 melakukan evaluasi setelah selesai mengerjakan soal bangun datarmeskipun tidak selalu mengevaluasi setiap langkah, S-1 yakin dengan hasil yang diperoleh. Dalam menyelesaikan soal-soal bangun datar, S-1 menerapkan strategi penyelesaian soal-soal bangun datar sesuai dengan strategi pemecahan masalah menurut Polya (1973), yaitu understanding the problem, devising a plan, carrying out the plan, dan looking back. b. Hasil Tes dan Wawancara Subjek Penelitian 2 (S-2) Dari hari analisis tes dan wawancara terhadap subjek penelitian S-2 sebagai kategori tingkat kemampuan matematika sedang terkait penyelesaian soal-soal bangun datar pada tes kemampuan matematika, S-2 termasuk dalam tingkat metakognitif kategori Semireflective Use. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
557
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Berdasarkan indikator metakognisi setiap konstruk,penyelesaian masalah berupa penerapan keliling persegi panjang dengan menggunakan pemikiran berupa strategi pemecahan masalah dan dengan menerapkan sebagian model berpikir reflektif dan penyelesaian masalah berupa luas bangun belah ketupat dengan menggunakan pemikiran berupa strategi pemecahan masalah dan dengan menerapkan sebagian model berpikir reflektif. Dan hal ini ditandai dengan indikator tingkat metakognisi: 1Perencanaan: S-2 mengetahui cara yang digunakan untuk menyelesaikan masalah/ soal bangun datar, S-2 memahami masalah/ soal bangun datar karena dapat mengungkapkan apa yang menjadi permasalahan dalam soal tersebut, S-2 tidak mengalami kebingungan untuk menemukan rumus pada penerapan keliling persegi panjang dan luas belah ketupat dan mengetahui cara menghitung, S-2 dapat menjelaskan strategi yang ditulis dalam memecahkan masalah/ soal yang diberikan untuk menyelesaikan masalah; 2Pemantauan: S-2 mampu mengaplikasikan strategi yang sama pada soal bangun datar yang lain; 3Penilaian: S-2 melakukan evaluasi setelah selesai mengerjakan soal secara garis besar. Dalam menyelesaikan tes kemampuan matematika, S-2 menggunakan strategi penyelesaian permasalahan Matematika sesuai dengan strategi pemecahan masalah menurut Polya (1973), yaitu understanding the problem, devising a plan, carrying out the plan, dan looking back. c. Hasil Tes dan Wawancara Subjek Penelitian 3 (S-3) Dari hasil analisis tes dan wawancara terhadap subjek penelitian S-3 sebagai kategori tingkat kemampuan matematika rendah terkait pemecahan masalah tes kemampuan matematika, S-3 termasuk dalam tingkat metakognitif kategori Aware Use (Penggunaan pemikiran dengan kesadaran). Berdasarkan indikator metakognisi setiap konstruk, Penyelesaian masalah berupa penerapan keliling persegi panjang dengan tingkat kesadaran dan pemahaman yang sedang dan Penyelesaian masalah berupa luas bangun belah ketupat dengan tingkat kesadaran dan pemahaman yang sedang. Dan hal ini ditandai dengan indikator tingkat metakognisi: Aware Use:1Perencanaan: S-3 memahami masalah/ soal bangun datar;2Pemantauan: S-3 mengalami kebingungan untuk menemukan rumus pada penerapan keliling persegi panjang dan luas belah ketupat dan cara menghitung, S-3 tidak dapat menjelaskan dengan baik strategi yang telah ditulis untuk memecahkan masalah/ soal bangun datar yang diberikan;3Penilaian: S-3 tidak yakin dengan hasil yang diperoleh. Dalam menyelesaikan tes kemampuan matematika, S-3 tidak menggunakan strategi penyelesaian permasalahan Matematika sesuai dengan strategi pemecahan masalah menurut Polya (1973), hal ini terjadi karena S-3 hanya memahami masalah yang ditanyakan pada soal (understanding the problem), namun tidak membuat perencanaan (devising a plan), tidak menyelesaikan masalah sesuai dengan perencanaan (carrying out the plan), dan dan tidak melakukan evaluasi dari hasil yang diperoleh (looking back). Berdasarkan hasil analisis data, dapat disimpulkan mengenai tingkat metakognisi siswa sekolah menengah atas subjek penelitian S-1, S-2, dan S-3dalam menyelesaikan soal-soal bangun datar berdasarkan kemampuan matematis adalah sebagai berikut: Dari analisis tes dan wawancara terhadap subjek penelitian S-1 terkait pemecahan masalah berupa soal-soal bangun datar pada tes kemampuan matematika, S-1 termasuk dalam tingkat metakognitif kategori Reflective Use yaitu penyelesaian masalah berupa penerapan keliling persegi panjang dengan menggunakan pemikiran berpikir reflektif secara totalitas dan peyelesaian masalah belah ketupat dengan menggunakan berpikir reflektif secara penuh. Dalam menyelesaikan tes kemampuan matematika, S-1 menggunakan strategi penyelesaian
558
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
permasalahan Matematika sesuai dengan strategi pemecahan masalah menurut Polya (1973), yaitu understanding the problem, devising a plan, carrying out the plan, dan looking back. Dari analisis tes dan wawancara terhadap subjek penelitian S-2 terkait penyelesaian soalsoal bangun datar pada tes kemampuan matematika, S-2 termasuk dalam tingkat metakognitif kategori Semireflective Useyaitu penyelesaian masalah berupa penerapan keliling persegi panjang dengan menggunakan pemikiran berupa strategi pemecahan masalah dengan menerapkan sebagian model berpikir reflektif serta penyeleaian masalah belah ketupat dengan menggunakan pemikiran strategi pemecahan masalah dan dengan menerapkan sebagian model berpikir reflektif. Dalam menyelesaikan tes kemampuan matematika, S-2 menggunakan strategi penyelesaian permasalahan Matematika sesuai dengan strategi pemecahan masalah menurut Polya (1973), yaitu understanding the problem, devising a plan, carrying out the plan, dan looking back. Dari analisis tes dan wawancara terhadap subjek penelitian S-3 terkait pemecahan masalah tes kemampuan matematika, S-3 termasuk dalam tingkat metakognitif kategori kombinasi Tacit Use dan Aware Use yaitu penyelesaian masalah penerapan keliling persegi panjang dengan S-3 memahami permasalahan namun tidak menyadari kesalahan pada konsep penyelesaian soal serta mengalami kebingungan dalam penggunaan rumus untuk menyelesaikan masalah belah ketupat. Dalam menyelesaikan tes kemampuan matematika, S-3 tidak menggunakan strategi penyelesaian permasalahan Matematika sesuai dengan strategi pemecahan masalah menurut Polya (1973), hal ini terjadi karena S-3 hanya memahami masalah yang ditanyakan pada soal (understanding the problem), namun tidak membuat perencanaan (devising a plan), tidak menyelesaikan masalah sesuai dengan perencanaan (carrying out the plan), dan tidak melakukan evaluasi dari hasil yang diperoleh (looking back).
Rekomendasi Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh maka peneliti perlu mengemukakan beberapa rekomendasi, yaitu hasil penelitian ini hendaknya dijadikan sebagai bahan pertimbangan oleh guru agar lebih memerhatikan aktivitas metakognisi siswa dalam kegiatan belajar mengajar, terutama dalam pada kegiatan pemecahan masalah matematika yang didasarkan pada strategi pemecahan masalah menurut Polya (1973),penelitian ini merupakan hasil penelitian yang perlu untuk dikembangkan pada penelitian selanjutnya mengenai metakognisi siswa dalam kegiatan belajara, siswa diharapkan memiliki kemauan untuk dapat meningkatkan metakognisi siswa dalam kegiatan belajar mengajar agar dapat memecahkan suatu permasalahan matematika yang dihadapi oleh siswa, dan untuk peneliti lain, penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan acuan untuk melanjutkan penelitian yang relevan.
Daftar Pustaka Agustina, Laily Mahromah dan Janet Trineke Manoy. Identifikasi Tingkat MetakognisiSiswadalam Memecahkan Masalah Matematika Berdasarkan Perbedaan Skor Matematika. Jurnal Online UniversitasNegeri Surabaya.http://www.scribd.com/doc/122887430/IDENTIFIKASITINGKAT-METAKOGNISI-SISWA-DALAM-MEMECAHKAN-MASALAHMATEMATIKA-BERDASARKAN-PERBEDAAN-SKOR-MATEMATIKA#scribd diakses: 15-01-2015 11:57 a.m. Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
559
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Ellis, Jeanne Ormrod. 2009. Psikologi Pendidikan Membantu Siswa Tumbuh dan Berkembang. Jakarta: Erlangga. Laurens, Theresia. 2009. Penjenjangan Metakognisi Siswa. Disertasi Pascasarjana Program Studi Pendidikan Matematika UNESA: Tidak dipublikasikan. Laurens, Prof. Dr. Theresia, M.Pd. 2014. Pengembangan Metakognisi Dalam Peningkatan Kualitas Pendidikan Matematika. Disampaikan Pada Pidato Pengukuhan Guru Besar Pendidikan Matematika Di FKIP Unpatti, 20 November 2014. http://fkip.unpatti.ac.id/wp-content/uploads/2014/ 11/profil_dekan_FKIP.pdf (diakses: 14-01-2015 11:21 p.m.) Moleong, Lexy. 2011. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Mustamin, Anggo. 2012. Metakognisi dan Usaha Mengatasi Kesulitan dalam Memecahkan Masalah Matematika Kontekstual. Jurnal FKIP Universitas Haluoleo. Volume 01 Nomor 01 Maret 2012. (http://jurnal.untad.ac.id/jurnal/index.php/AKSIOMA/article/view/1270/924 diakses: 2712-2014 07:46 pm) O’Neil, H. F., Jr., & Abedi, J. (1996). Reliability and Validity of a State Metacognitive Inventory: Potential for Alternative Assessment. Jurnal of Educational Research, 89. 234 – 245. Polya, G. 1973. How To Solve It. New Jersey: Princeton University Press. (https://notendur.hi.is/.../Polya_HowToSolveIt.pdf) diakses: 12-01-15 10:24 pm Riyanto, Yatim. 2006. Pengembangan Kurikulum dan Seputar Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Surabaya: Unesa University Press. Wilson, Jenidan Clark, David. 2004. Towardthe Modelling of Mathematical Metacognition. Mathematics Education Research Journal,2004, Vol. 16, No. 2, 25-48, University of Melbourne.
560
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Pengaruh Dukungan Organisasi Dan Potensi Kreatif Terhadap Praktek Kerja Kreatif (Studi Terhadap Para Guru Di Kabupaten Jombang) Agus Prianto 22 ([emailprotected]) Abstract This research investigates many dimension of creative potential, organizational support, and creative performance. This research also investigates the relationship between many construction on organizational support with construction of creative potential and creative performance. The objective of this research is to identify many dimension of creative potential, organizational support, and creative performance; and also many factors which influence creative performance of the teacher in Jombang. Besides, this research also identify the relationship between creative potential and organizational support with creative performance. The samples of this study are 110 teachers’ of the state junior and senior high school in Jombang. By using analyzer statistics, that is structural equation modeling (SEM). This research is successful to identify many dimension of creative potential, organizational support, and creative performance. Besides, this research also discovers that organizational support will develop creative potential of the teacher. Finally, creative performance is influenced by creative potential of the teacher and perceived organizational support. Key Words: creative potention, creative performance, percieved organizational support Abstrak Penelitian ini hendak mengkaji berbagai dimensi dari variabel potensi kreatif, variabel dukungan organisasi, dan variabel praktek kerja kreatif. Melalui penelitian ini juga hendak dikaji bagaimana keterkaitan antara konstruk dukungan organisasi dan konstruk potensi kreatif terhadap konstruk praktek kerja kreatif. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui berbagai faktor yang mempengaruhi munculnya praktek kerja kreatif dari para guru di Jombang. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui bagaimana hubungan antara potensi kreatif dan dukungan organisasi terhadap praktek kerja kreatif. Sampel penelitian ini adalah para guru sekolah menengah negeri di Jombang sebanyak 110 guru. Dengan menggunakan analisis persamaan model struktural (SEM. Penelitian ini berhasil mengidentifikasi berbagai dimensi dari potensi kreatif, dukungan organisasi, dan praktek kerja kreatif. Selain itu, penelitian ini juga menemukan bahwa dukungan organisasi yang dirasakan guru juga akan ikut mengembangkan potensi kreatif mereka. Secara keseluruhan, praktek kerja kreatif yang ditampilkan guru dipengaruhi oleh potensi kreatif para guru dan dukungan organisasi yang dirasakan guru. Kata Kunci: potensi kreatif, praktek kerja kreatif, dukungan organisasi yang dirasakan
Pendahuluan Kemampuan mengembangkan kreatifitas dan inovasi merupakan dua kompetensi yang sangat diperlukan organisasi dalam memasuki abad 21 agar terus mampu beradaptasi dalam era yang terus berubah (Amabile,1988; Woodman, Sawyer, dan Griffen,1993). Kreatifitas individu merupakan komponen utama yang akan menentukan organisasi dalam mendorong tumbuhnya inovasi, yang ditunjukkan dengan adanya kemampuan staf untuk menerapkan ide kreatif; dan dalam jangka panjang hal ini akan ikut menentukan kesuksesan dan kelanggengan hidup organisasi (Amabile,et al, 1996; Tushman dan O’Reilley,1997). 22
Dosen Pendidikan Ekonomi, STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
561
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Kreatifitas merupakan sebuah konstruk yang komplek dengan unsur dimensi yang terus berkembang. Oleh karena itu mendefinisikan kreatifitas dengan dimensi konstruk yang tepat selalu sulit untuk dilakukan. Meskipun demikian, ada beberapa definisi yang menunjukkan adanya kesamaan dimensi kreatifitas. DiLiello dan Houghton (2008) yang mengutip pendapat Guilford (1950:452) menyatakan bahwa kreatifitas adalah ditunjukkan oleh kemampuan individu untuk menyampikan ide atau gagasan yang asli, sama sekali baru, tidak umum. Sternberg dan Lubart (1999:3) menyatakan kreatifitas sebagai kemampuan untuk menampilkan cara kerja yang baru (asli, belum pernah terpkirkan sebelumnya) dan tepat guna. Hal senada dikatakan oleh Barron dan Harington (1981:442) yang menyatakan kreatifitas sebagai sessuatu yang asli, baru, jauh dari jangkauan pikiran dan perkiraan orang. Sedangkan Martindale (1989:211) mengemukakan bahwa kreatifitas harus ditunjukkan oleh gagasan yang asli, lebih tepat guna, dan bisa dimanfaatkan untuk berbagai aktifitas. Berdasarkan definisi kreatifitas sebagaimana diungkapkan, maka bila dikaitkan dengan kontek organisasi kreatifitas adalah kemampuan individu untuk menampilkan cara kerja baru yang lebih baik sehingga bisa menciptakan efisiensi, mampu memecahkan persoalan yang komplek, dan secara keseluruhan akan berguna untuk menciptakan efektifitas kinerja organisasi. Sebagai sebuah unjuk kerja, kreatifitas kerja para staf tentu sangat ditentukan oleh sejauh mana lembaga memberikan dukungan yang memadai kepada para stafnya untuk terus berkerja dengan dilandasi oleh sikap kreatif (DiLiello dan Houghton,2008; Amabile,1988). Pimpinan lembaga yang memberikan dukungan memadai kepada para stafnya untuk menampilkan cara kerja baru, akan memungkinkan lembaga untuk menjadikan kreatifitas sebagai budaya kerja baru. Lembaga yang memiliki budaya kerja kreatif cenderung lebih memiliki kesiapan untuk menghadapi perubahan, dan akan tetap eksis dan berkembang dalam era yang terus berubah (Kasali,2005). Salah satu penopang utama keberhasilan pendidikan adalah tergantung pada guru yang berkualitas. Guru yang berkualitas ditandai dengan kemampuannya untuk terus berkreasi dan berinovasi, sehingga kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan berjalan dengan efektif dan menyenangkan para siswa. Seiring dengan berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi, para guru dituntut untuk lebih mampu mengembangkan kreatifitasnya, agar kegiatan pendidikan yang dilaksanakannya menjadi lebih menarik bagi para siswa. Guru yang kreatif akan mampu mengoptimalkan perannya sebagai pendidik dengan terus memperbaharui informasi dan model pembelajaran yang digunakannya sehingga tujuan pembelajaran juga akan menjadi lebih berhasil. Pimpinan sekolah juga dituntut untuk menciptakan kondisi dan memfasilitasi para guru agar mampu mengembangkan kreatifitasnya dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran. Dari studi pendahuluan yang peneliti lakukan pada beberapa sekolah, umumnya pimpinan sekolah selalu mendorong para guru untuk bisa mengoptimalkan penggunaan sarana TIK untuk mendukung kinerja para guru. Umumnya para pimpinan sekolah sangat menyadari bahwa pada era sekarang dibutuhkan keberadaan guru yang tanggap, cekatan, berani membuat terobosan dan inovasi kerja sehingga kinerja sekolah dapat dioptimalkan. Berdasarkan studi pendahuluan ini maka perlu diketahui bagaimana persepsi para guru tentang dukungan organisasi yang dirasakan, bagaimana potensi kreatif para guru, dan bagaimana kemampuan guru untuk menampilkan praktek kerja kreatif. Penelitian ini juga hendak menguji apa saja yang menjadi dimensi potensi kreatif dan praktek kerja kreatif yang mungkin memegang peranan penting dan belum pernah terungkap peranannya dalam menentukan kinerja para guru di Jombang. Akhirnya, penelitian ini hendak 562
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
menjawab pertanyaan tentang bagaimana keterkaitan antara dukungan organisasi yang dirasakan dan potensi kreatif terhadap praktek kerja kreatif para guru. Dengan demikian tujuan utama dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui berbagai variabel manifes dari potensi kreatif, praktek kerja kreatif, dan dukungan organisasi yang dirasakan guru. Tujuan lain dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaruh variabel dukungan organisasi yang dirasakan staf dan variabel potensi kreatif terhadap praktek kerja kreatif. Pada tahap awal penelitian ini akan mengkaji berbagai dimensi kreatifitas untuk dijadikan dasar dalam mengkaji potensi kreatif dan praktek kerja kreatif dari para guru. Validitas kontruk potensi kreatif, praktek kerja kreatif, dan dukungan organisasi yang dirasakan guru didasarkan pada data yang diperoleh melalui angket penelitian yang disebarkan kepada para responden. Kesimpulan penelitian dirumuskan dengan didasarkan pada hasil analisis data, diskusi hasil penelitian, dan implikasi hasil penelitian dirumuskan dan digunakan sebagai dasar untuk menentukan rekomendasi yang ditujukan bagi lembaga persekolahan dan bagi para peneliti selanjutnya.
Landasan Teori Dimensi Kreatifitas Kreatifitas individu telah diukur dengan berbagai cara, mulai dari pengukuran tentang karakteristik dan kepribadian individu sampai dengan pengukuran kreatifitas yang diasarkan atas kemampuan individu untuk menampilkan sebuah prestasi kerja. Dari berbagai kajian yang dilakukan para ahli, misalnya yang dilakukan oleh Amabile (1988) dan Ford (1996); dimensi kreatifitas dapat dilihat dari kemampuan individu untuk berpikir ke segala arah (divergen thinking), dimilikinya kepribadian yang kuat, mandiri, dan dimilikinya motivasi internal yang kuat. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Weisberg (1999) menemukan bahwa dimilikinya pengetahuan yang memadai merupakan faktor prasyarat yang akan mendorong munculnya kreatifitas dari para individu. Dimilikinya informasi dan pengetahuan merupakan faktor yang akan mendukung kratifitas individu (Kijkuit dan van de Ende,2007; Leenders, van Engelen dan Kratzer,2007). Aspek pengetahuan yang akan mendukung kreatifitas individu secara langsung dapat diukur dengan tes intelengensi (Brown,1989), dan secara tidak lansung dipengaruhi oleh tingkat pendidikan individu (Simonton,1992). Sedangkan Hocervar dan Bachelor (1989) memasukkan kemampuan berpikir ke segala arah dan aspek kepribadian sebagai bagian dari dimensi kreatifitas. Dimensi kemandirian yang merupakan bagian dari komponen kreatifitas juga ikut menentukan prestasi kerja individu (Amabile,et.al.,1996; Cummings dan Oldham,1997; Shaley, Gilson dan Blum,2000). Motivasi intrinsik merupakan dimensi pokok lainnya dari sebuah kreatifitas (Bandura,1997; Herzberg, Mausner dan Snyderman,2003). Berbagai hasil penelitian menemukan bahwa motivasi intrinsik berhubungan positip dengan kreatifitas, sedangkan motivasi ekstrinsik berhubungan negatif dengan kreatifitas (Amabile,et.al.,1994). Berbagai faktor utama yang mempengaruhi motivasi intrinsik antara lain adalah kemampuan untuk membuat keputusan sendiri (Deci dan Ryan,1985), sikap mandiri (Cummings dan Oldham,1997; Gilson dan Blum,2000), keberanian menghadapi tantangan (Bandura,1997; Shaley, Gilson dan Blum,2000), derajat keterlibatan individu dalam menjalankan pekerjaan (Csikszentmihalyi,1996), serta minat individu (Bandura,1997). Tierney
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
563
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
dan Farmer (2002:1138) mengemukakan tentang pentingnya rasa percaya pada diri sendiri (self efficacy), yang didefinisikan sebagai keyakinan individu bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk menghasilkan produk kreatif merupakan dimensi lainnya yang mempengaruhi motivasi intrinsik dan kreatifitas individu. Berbagai hasil penelitian juga menunjukkan bahwa evaluasi kinerja yang dilakukan pimpinan terhadap staf juga dapat mempengaruhi kreatifitas individu. Ketika evaluasi kinerja didasarkan atas capaian kinerja individu, konstruktif, dan mengakui tingkat kompetensi individu (Amabile,1996:152); maka kreatifitas individu akan lebih mudah untuk dimunculkan dan ditingkatkan. Sejalan dengan hal ini, hasil penelitian lain menunjukkan bahwa ketika individu yang memiliki motivasi intrinsik kuat akan terdorong untuk bekerja secara mandiri dan lebih mampu menghadapi tantangan kerja; maka individu yang demikian akan lebih mudah untuk terlibat dalam sebuah proses pekerjaan (Bandura,1997) dan memungkinkan mereka untuk menjadi lebih kratif (Amabile,et.al.,1994; Shalley,1995; Cummings dan Oldham,1997). Selain itu, seorang staf akan cenderung untuk bisa menampilkan unjuk kerja kreatif bila mereka mendapatkan dukungan penuh dari pimpinan lembaga untuk menampilkan kreatifitas dalam bekerja dan memecahkan berbagai persoalan kerja secara kreatif (Tierney dan Farmer,2004). Suasana kerja yang dipersepsikan oleh staf juga merupakan faktor penting yang akan mempengaruhi kreatifitas individu (Amabile, Burnside dan Grvskiewicz,1999). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kreatifitas dalam diri individu akan muncul apabila individu memiliki sifat-sifat positip, kecakapan dan kemampuan (Simonton,1992; Tierney dan Farmer,2002), memiliki kemampuan khusus yang dibutuhkan untuk membangun hubungan sosial (Weisberg,1999; Kijkuit dan van de Ende,2007; Leenders, van Engelen dan Kratzer,2007, memiliki motivasi intrinsik yang kuat (Amabile,et.al.,1994); serta tersedianya lingkungan dan suasana kerja yang mendukung kreatifitas (Woodman, Sawyer, dan Griffen,1993; Amabile,1996). Singkatnya, sebagaimana dikemukakan oleh Feldhusendan Goh (1995); kreatifitas memiliki berbagai dimensi yang sangat komplek yang harus ditelaah secara hati-hati untuk bisa menghasilkan dimensi kreatifitas yang benar, tepat, dan akurat.
Potensi Kreatif, Praktek Kerja Kreatif, dan Dukungan Organisasi Sejak empat puluh tahun yang lalu, Hinton (1968) telah merumuskan perbedaan penting antara potensi kreatif dan kreatifitas aktual. Jika produk kerja kreatif yang dihasilkan oleh individu tidak diakui oleh lingkungan dimana ia bekerja, maka potensi kreatifitas individu akan tersumbat (Hinton,1968; George dan Zhou,2001). Meskipun Thierney dan Farmer (2002) sudah meneliti tentang pentingnya rasa percaya diri pada individu yang sangat berguna untuk memunculkan kreatifitas individu, kajian yang dilakukan peneliti atas berbagai hasil penelitian terbaru belum banyak yang mengupas tentang dimensi potensi kreatif dan dimensi praktek kerja kreatif. Potensi kreatif dapat diartikan sebagai potensi kapasitas individu untuk menampilkan tindak kreatif, dimilikinya kecakapan dan kemampuan kerja oleh para individu (Hinton,1968). Sebaliknya, praktek kerja kreatif diartikan tersedianya kesempatan bagi para individu untuk menggunakan ketrampilan dan kecakapan kreatif dalam melaksanakan pekerjaan (Di Liello dan Houghton,2006). Praktek kerja kreatif juga berbeda dengan tampilan kreatif yang diukur dari produk kerja yang dihasilkan individu, atau kemampuan individu yang dapat dinilai dan dilihat (Amabile,1996). Praktek kerja kreatif juga berbeda dengan sebuah konsep organisasional yang mendukung kreatifitas, yang sering diartikan sebagai budaya organisasi yang mengembangkan
564
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
kreatifitas melalui budaya kerja yang fair, dukungan untuk berkembangnya ide, adanya penghargaan dan pengakuan terhadap praktek kerja kreatif, tersedianya mekanisme kerja yang mendukung berkembangnya praktek kerja kreatif, berkembangnya berbagai ide baru yang mendukung kegiatan kerja, dan dikomunikasikannya visi lembaga kepada semua warga organisasi (Amabile, Burnside dan Gryskiewicz,1999). Berbagai kondisi harus tersedia dalam lingkungan kerja untuk mendukung berkembangnya kreatifitas individu (Ford,1996) dan para pekerja yang memiliki potensi kreatif agar menjadi aktual ketika mereka merasa adanya dukungan yang kuat dari lembaga (DiLiello dan Houghton,2006). Ketika individu di tempat kerja merasa dirinya memiliki potensi untuk mengembangkan kreatifitas kerja tetapi merasa tidak mampu untuk mengembangkan potensinya; maka keberadaan berbagai sumber daya organisasi yang mungkin belum pernah dimanfaatkan harus dioptimalkan. Sumber daya pada organisasi yang dimaksud misalnya berkaitan dengan adanya dukungan organisasi. Dukungan organisasi yang dirasakan individu terhadap kemampuan kerja kreatif akan mendorong para individu untuk terus mengembangkan kreatifitas kerja. Dampak dari kondisi yang demikian adalah para individu (staf) akan bisa merasakan adanya kepuasan kerja (Shalley, Gilson dan Blum,2000). Dengan demikian, organisasi juga akan dapat mendapatkan keuntungan dari ide-ide kreatif yang dikembangkan individu, membuat lingkungan tempat kerja kian kondusif bagi para individu untuk mengembangkan kemampuan dalam bekerja.
Metode Penelitian Populasi dan Sampel Penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah para guru sekolah menengah di Jombang.Sampel penelitian ditetapkan dengan menggunakan teknik multistage sampling, dan didapatkan jumlah sampel sebanyak 110 orang guru, yang terdiri dari 50 orang sekolah menengah pertama dan 60 orang guru sekolah menengah atas. Dari sebanyak 110 orang anggota sampel, 46% berjenis kelamin wanita dan 54% pria.
Pengukuran Potensi Kreatif Enam item digunakan untuk mengukur potensi kreatif dari para individu. Potensi kreatif berkaitan dengan perasaan individu tentang kemampuannya untuk mengembangkan kreatifitas kerja, yang oleh Thierney dan Farmer (2002) disebut sebagai rasa percaya untuk bisa mengembangkan kreatifitas kerja. Hal ini akan mencakup perasaan mudah untuk mengembangkan ide baru, percaya pada kemampuannya untuk memecahkan persoalan kerja secara kreatif, tangkas dalam mengadopsi ide yang dikembangkan oleh orang lain, dan kemampuan untuk menemukan berbagai cara kerja baru yang digunakan untuk memecahkan berbagai persoalan. Dengan demikian dimensi potensi kreatif akan diukur dengan menggunakan formula sebagaimana telah dikembangkan oleh Thierney dan Farmer (2002). Dua dimensi lainnya dari potensi kreatif adalah dimilikinya potensi keahlian dari para individu tentang apa yang menjadi bidang pekerjaannya dan dimilikinya potensi keberanian untuk mengambil resiko dengan mencoba-coba cara kerja baru yang dianggap lebih baik (Amabile,et.al.,1999). Pengukuran dilakukan dengan menggunakan skala likert yang menyediakan lima kategori jawaban, mulai dari ”sangat tidak setuju” sampai dengan ”sangat setuju”. Berdasarkan uraian di atas, berikut ini adalah merupakan berbagai indikator yang diduga merupakan dimensi dari konstruk potensi kreatif yang meliputi: (a) kemampuan menampilkan
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
565
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
ide baru, (b) rasa percaya pada kemampuan untuk bisa memecahkan persoalan secara kreatif, (c) ketangkasan untuk mengadopsi dan mengembangkan ide orang lain, (d) kemampuan untuk menemukan cara kerja baru yang digunakan untuk memecahkan masalah, (e) dimilikinya talenta dan keahlian yang dibutuhkan dalam menyelesaikan pekerjaan, dan (f) senang mencoba ide baru.
Pengukuran Praktek Kerja Kreatif Teori tentang kreatifitas individu digunakan untuk mengukur praktek kerja kreatif. Dengan menggunakan formula yang dikembangkan oleh Hinton (1968), penelitian ini mengembangkan lima item untuk menggambarkan bagaimana peluang individu (staf) dalam menggunakan keahliannya dalam bekerja, mengembangkan kecakapan kreatif, dan kemampuan kreatif. Semua item tersebut dikembangkan dengan menggunakan skala Likert yang menyediakan lima kategori jawaban, mulai dari ”sangat tidak setuju” sampai dengan ”sangat setuju”. Berdasarkan uraian di atas, berikut ini adalah merupakan berbagai indikator yang diduga merupakan dimensi dari konstruk potensi kreatif yang meliputi: (a) dimilikinya kesempatan untuk menggunakan ketrampilan dan kemampuan kreatif dalam menyelesaikan pekerjaan, (b) diberikannya kesempatan untuk mengembangkan ide baru di tempat kerja, (c) adanya kesempatan untuk berpartisipasi dalam kerja tim, (d) dimilikinya kebebasan untuk memutuskan cara kerja apa yang harus ditempuh untuk menyelesaikan tugas, (e) potensi kreatif individu dikembangkan di tempat kerja.
Pengukuran Dukungan Organisasi Yang Dirasakan Dukungan organisasi yang dirasakan diukur untuk tujuan analisis validitas diskriminan dari konstruk praktek kerja kreatif. Untuk keperluan ini, item-item yang telah dikembangkan oleh Amabile, Burnside dan Gryskiewicz (1999) tentang dukungan organisasi yang dirasakan diadopsi dan digunakan dalam penelitian ini. Semua item dikembangkan dengan menggunakan skala Likert yang menyediakan lima kategori jawaban, mulai dari ”sangat tidak setuju” sampai dengan ”sangat setuju”. Berdasarkan uraian di atas, berikut ini adalah merupakan berbagai indikator yang diduga merupakan dimensi dari konstruk potensi kreatif yang meliputi: (a) adanya pengakuan terhadap para individu (staf) yang mampu mengembangkan kreatifitas kerja, (b) ide-ide para staf diapresiasi secara adil oleh lembaga, (c) para staf didorong untuk bisa memecahkan persoalan kerja secara kreatif, (d) lembaga memiliki mekanisme kerja yang bagus yang memungkinkan para staf untuk mengembangkan kreatifitas kerja, (e) para staf didorong untuk berani mengambil resiko dalam bekerja, dan (f) adanya penghargaan terhadap para staf yang mampu mengembangkan kreatifitas kerja.
Teknik Analisis Data Teknik analisis data dilakukan dengan analisis statistik deskriptif dan statistik inferensial. Analisis statistik deskriptif digunakan untuk memaparkan berbagai dimensi variabel dari ketiga variabel laten yang digunakan dalam penelitian ini. Sedangkan analisis statistik inferensial dilakukan untuk menguji hipotesis penelitian. Dalam penelitian ini teknik analisis data yang digunakan adalah dengan menggunakan model persamaan struktural (structural equation modelling, SEM) dengan menggunakan perangkat lunak LISREL. Analisis SEM digunakan untuk menguji validitas dan reliabilitas konstruk dari masing-masing variabel laten. Model persamaan struktural ditentukan dengan menetapkan model yang paling fit.
566
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Untuk memastikan bahwa model struktural yang paling fit telah memiliki derajat keutuhan model, maka akan disajikan hasil pengujian validitas konvergen dan reliabilitas komposit. Validitas konvergen dilakukan dengan membandingkan koefisien loading factor (lambda) dengan unmeasured coeficient yang besarnya sama dengan (1–error). Bila nilai lambda lebih besar dibandingkan dengan (1–e), maka dapat dikatakan keberadaan variabel dimensional telah memiliki validitas yang memadai. Sedangkan reliabilitas komposit dihitung dengan menggunakan formula yang dikembangkan oleh Bagozzi (dalam Prianto,2005) dengan formula sebagai berikut: ()2 Fc = -----------------, dimana fc adalah tingkat ()2 + (e) reliabilitas konstruk, adalah loading factor, dan e adalah error.
Hasil Penelitian Penelitian ini menemukan bahwa potensi kreatifitas guru dimanifestasikan oleh: (a) kemampuan guru untuk menampilkan ide baru, (b) rasa percaya diri dari para guru terhadap kemampuannya untuk bisa memecahkan persoalan secara kreatif, (c) ketangkasan para guru untuk mengadopsi dan mengembangkan ide orang lain ke dalam lingkungan kerja, (d) kemampuan guru untuk menemukan cara kerja baru yang digunakan untuk memecahkan masalah, (e) dimilikinya talenta dan keahlian dari guru yang dibutuhkan dalam menyelesaikan pekerjaan, dan (f) guru senang mencoba ide baru. Dengan demikian hasil penelitian ini mengukuhkan formula potensi kreatif sebagaimana yang dikembangkan oleh Thierney dan Farmer (2002) dan Amabile,et.al. (1999). Upaya organisasi untuk bisa didukung oleh keberadaan guru yang memiliki potensi kreatifitas yang tinggi dapat dilakukan dengan melakukan uji/tes potensi kreatifitas. Indikator atau dimensi dari potensi kreatifitas sebagaimana ditemukan dalam penelitian ini dapat dijadikan rujukan oleh para pimpinan organisasi dalam menyeleksi calon staf yang memiliki potensi kreatifitas yang memadai. Penelitian ini juga menemukan bahwa unjuk kerja kreatif dari para guru akan dimanifestasikan oleh: (a) kemauan guru untuk menggunakan ketrampilan dan kemampuan kreatif dalam menyelesaikan pekerjaan, (b) kemauan guru untuk mengembangkan ide baru di tempat kerja, (c) kemauan guru untuk berpartisipasi dalam kerja tim, (d) guru bebas untuk memutuskan cara kerja apa yang harus ditempuh untuk menyelesaikan tugas, dan (e) guru memiliki kesempatan yang besar untuk mengembangkan potensi kreatif yang dimilikinya di tempat kerja. Dengan demikian hasil penelitian ini sejalan dengan formula yang dikembangkan oleh Hanton (1968). Formula Hanton tentang praktek kerja kreatif yang sudah dikembangkan sejak empat dasawarsa yang lampau masih tetap relevan hingga saat ini, sehingga masih bisa digunakan untuk mengevaluasi sejauh mana para staf mampu menampilkan unjuk kerja kreatif. Organisasi yang mengharapkan agar para stafnya mampu menampilkan unjuk kerja kreatif dapat dilakukan dengan memfasilitasi, mendorong, dan memberikan kepercayaan kepada para staf untuk menggunakan cara kerja kreatif, berani menampilkan ide baru, dan berani mengambil resiko kerja. Penelitian ini juga membuktikan bahwa dukungan organisasi yang dirasakan staf dimanifestasikan oleh: (a) adanya pengakuan terhadap para guru yang dinilai mampu
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
567
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
mengembangkan kreatifitas kerja, (b) ide-ide para guru diapresiasi secara adil oleh lembaga, (c) dukungan lembaga kepada para guru untuk bisa memecahkan persoalan kerja secara kreatif, (d) tersedianya mekanisme kerja yang transparan yang memungkinkan para guru untuk mengembangkan kreatifitas kerja, (e) para guru didorong untuk berani mengambil resiko dalam bekerja, dan (f) adanya penghargaan terhadap para guru yang mampu mengembangkan kreatifitas kerja. Dengan demikian hasil penelitian ini juga mengukuhkan pendapat Amabile, Burnside dan Gryskiewicz (1999) tentang dimensi dukungan organisasi yang dirasakan guru. Berdasarkan hasil persamaan model struktural yang paling fit, diketahui bahwa praktek kerja kreatif dimanifestasikan oleh (a) kemauan guru untuk menggunakan ketrampilan dan kemampuan kreatif dalam menyeleaikan pekerjaan, (b) kemauan guru untuk mengembangkan ide baru di tempat kerja, dan (c) guru memiliki kebebasan untuk mengambil cara kerja yang dinilai efisien dalam menyelesaikan pekerjaan. Sedangkan potensi kreatif dimanifestasikan oleh (a) kemampuan guru untuk menampilkan ide baru, (b) ketangkasan guru dalam mengembangkan dan mengadopsi ide dari orang lain ke dalam lingkungan kerja, (c) kemampuan guru untuk menemukan cara kerja baru yang digunakan untuk memecahkan masalah, dan (d) guru senang mencoba ide baru. Praktek kerja kreatif para guru dipengaruhi oleh potensi kreatif para guru, dengan koefisien R2 sebesar 0,78. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan para guru untuk menampilkan praktek kerja kreatif sebagian besar (78%) ditentukan oleh potensi kreatif yang mereka miliki. Dengan memperhatikan variabel manifes dari potensi kreatif dan praktek kerja kreatif, maka dapat dikatakan bahwa (a) kemampuan guru untuk menampilkan ide baru, (b) ketangkasan guru dalam mengembangkan dan mengadopsi ide dari orang lain ke dalam lingkungan kerja, (c) kemampuan guru untuk menemukan cara kerja baru yang digunakan untuk memecahkan masalah, dan (d) kesenangan guru untuk mencoba ide baru berpengaruh terhadap (a) kemauan guru untuk menggunakan ketrampilan dan kemampuan kreatif dalam menyeleaikan pekerjaan, (b) kemauan guru untuk mengembangkan ide baru di tempat kerja, dan (c) kebebasan guru untuk mengambil cara kerja yang dinilai efisien dalam menyelesaikan pekerjaan. Dukungan organisasi yang dirasakan guru dimanifestasikan oleh (a) adanya pengakuan terhadap para guru yang dinilai mampu mengembangkan kreatifitas kerja, (b) dukungan lembaga kepada para guru untuk bisa memecahkan persoalan kerja secara kreatif, (c) para guru didorong untuk berani mengambil resiko dalam bekerja, dan (d) adanya penghargaan terhadap para guru yang mampu mengembangkan kreatifitas kerja. Praktek kerja kreatif dari para guru dipengaruhi oleh dukungan organisasi yang dirasakan staf, dngan koefisien R2 sebesar 0,64. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan para staf untuk menampilkan praktek kerja kreatif sebagian besar (64%) ditentukan oleh dukungan lembaga yang dirasakan staf. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa (a) adanya pengakuan terhadap para guru yang dinilai mampu mengembangkan kreatifitas kerja, (b) dukungan lembaga kepada para guru untuk bisa memecahkan persoalan kerja secara kreatif, (c) para guru didorong untuk berani mengambil resiko dalam bekerja, dan (d) adanya penghargaan terhadap para guru yang mampu mengembangkan kreatifitas kerja berpengaruh terhadap (a) kemauan guru untuk menggunakan ketrampilan dan kemampuan kreatif dalam menyeleaikan pekerjaan, (b) kemauan guru untuk mengembangkan ide baru di tempat kerja, dan (c) kebebasan guru untuk mengambil cara kerja yang dinilai efisien dalam menyelesaikan pekerjaan. Potensi kreatif individu akan menjadi aktual bila mereka mendapatkan dukungan dari lembaga, dengan koefisien R2 = 0,56. Hal ini menunjukkan bahwa apakah potensi kreatif akan 568
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
lebih cepat menjadi kreatifitas yang aktual yang ditunjukkan dengan adanya praktek kerja kreatif, hal itu akan ditentukan oleh kualitas dukungan dari lembaga yang dipersepsikan para individu. Kontribusi dukungan lembaga bagi berkembangnya potensi kreatif menjadi kreatifitas aktual sebesar 56%. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa (a) adanya pengakuan terhadap para guru yang dinilai mampu mengembangkan kreatifitas kerja, (b) dukungan lembaga kepada para guru untuk bisa memecahkan persoalan kerja secara kreatif, (c) para guru didorong untuk berani mengambil resiko dalam bekerja, dan (d) adanya penghargaan terhadap para guru yang mampu mengembangkan kreatifitas kerja berpengaruh terhadap (a) kemampuan guru untuk menampilkan ide baru, (b) ketangkasan guru dalam mengembangkan dan mengadopsi ide dari orang lain ke dalam lingkungan kerja, (c) kemampuan guru untuk menemukan cara kerja baru yang digunakan untuk memecahkan masalah, dan (d) kesenangan guru untuk mencoba ide baru. Sebagaimana telah dijelaskan dimuka bahwa kemampuan mengembangkan kreatifitas dan inovasi merupakan dua kompetensi yang sangat diperlukan sebuah organisasi dalam abad 21 agar terus mampu beradaptasi dalam era yang terus berubah. Kajian terdahulu juga menyatakan bahwa kreatifitas individu merupakan komponen utama yang akan menentukan organisasi dalam mendorong tumbuhnya inovasi, yang ditunjukkan dengan adanya kemampuan guru untuk menerapkan ide kreatif; dan dalam jangka panjang hal ini akan ikut menentukan kesuksesan dan kelanggengan hidup organisasi. Untuk itu dukungan organisasi terhadap para guru untuk menampilkan unjuk kerja kreatif sangat diperlukan. Organisasi yang mendukung para stafnya agar berani menampilkan cara kerja baru, ideide baru, dan berani mengambil resiko dari cara kerja baru yang diterapkan akan memungkinkan para staf lebih mampu mengembangkan kreatifitas kerjanya. Upaya pimpinan organisasi persekolahan untuk terus mendorong para guru dalam mengembangkan potensi kreatif dan cara kerja kreatif akan memungkinkan lebih berkembangnya spirit entrepreneurship dalam organisasi persekolahan. Spirit entrepreneurship inilah yang pada saat ini, dan dalam era-era mendatang; perlu untuk terus dikembangkan agar organisasi persekolahan akan tetap mampu berkembang dan terus bertahan dalam era persaingan yang kian ketat. Bila kreatifitas dan inovasi kerja merupakan variabel yang menentukan kelangsungan hidup organisasi, maka dukungan organisasi kepada para staf yang hendak menampilkan inovasi dan kreatifitas kerja merupakan conditio sine qua non. Pimpinan organisasi persekolahan perlu mengkreasikan suasana kerja yang lebih kondusif yang memungkinkan lembaga persekolahan bisa menjadi tempat persemaian yang subur bagi tumbuhnya sikap inovatif dan kreatif dari para guru. Saat sekarang sangat dibutuhkan keberadaan sosok guru yang didukung oleh kokohnya sikap inovatif dan kreatif. Kelak, para uru melalui dunia persekolahan, para guru diharapkan akan mampu mewariskan spirit untuk mengembangkan inovasi tiada henti dan kreatifitas tanpa batas kepada para siswanya. Bila spirit seperti itu mampu ditransformasikan kepada para generasi muda melalui kegiatan pendidikan, maka kita patut merasa optimis bahwa generasi kita ke depan akan tetap tegar untuk terlibat dalam era persaingan yang kian ketat.
Hasil Penelitian Beberapa tabel berikut ini adalah merupakan ringkasan hasil analisis data dengan menggunakan structural equation modelling (SEM). Tabel 1 sampai dengan tabel 3 menunjukkan hasil validitas konstruk dari masing-masing variabel laten. Tabel 4 menunjukkan Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
569
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
hasil reliabilitas konstruk dari variabel laten. Tabel 5 menunjukkan hasil analisis model persamaan struktural dengan tingkat keselarasan yang paling fit. Ringkasan hasil uji keselarasan model persamaan struktural tampak pada tabel 6. Hasil perhitungan validitas konvergen dan reliabilitas komposit tampak pada tabel 7.
No 1 2 3 4 5 6
Tabel 1 Validitas Konstruk Potensi Kreatif Dimensi Variabel R2 T-Value Ide baru (ide baru) 0,90 0,81 12,12 Pemecahan (pemecahan kreatif) 0,89 0,74 12,02 Adopsi ide (adopsi ide) 0,80 0,624 10,56 Cara kerja (kerja baru) 0,80 0,64 10,56 Keahlian (ahli) 0,89 0,79 12,02 ide baru (coba ide) 0,95 0,90 14,11
Kesimpulan Valid Valid Valid Valid Valid Valid
No 1 2 3 4 5
Tabel 2 Validitas Konstruk Praktek Kerja Kreatif Dimensi Variabel R2 T-Value Trampil- kreatif (trampil) 0,90 0,81 12,12 Pengembangan ide baru (ide baru) 0,88 0,77 12,00 Partisipasi kerja (partisipasi) 0,80 0,64 10,56 Bebas menentukan cara kerja (cara kerja) 0,95 0,90 14,11 Pengembangan potensi (potensi kreatif) 0,90 0,81 12,12
Kesimpulan Valid Valid Valid Valid Valid
No 1 2 3 4 5 6
Tabel 3 Validitas Konstruk Dukungan Organisasi Dimensi Variabel R2 T-Value Pengakuan kemampuan staf (pengakuan) 0,90 0,81 12,12 Penghargaan ide staf (penghargaan) 0,88 0,77 12,00 Dukungan untuk kreatif (dukungan) 0,89 0,79 12,02 Mekanisme kerja staf (mekanisme) 0,90 0,81 12,12 Dukungan staf ambil resiko (resiko) 0,90 0,81 12,12 Penghargaan staf (penghargaan kreatif) 0,95 0,90 14,11
Kesimpulan Valid Valid Valid Valid Valid Valid
No 1 2 3
Tabel 4 Koefisien Reliabilitas Masing-Masing Konstruk Variabel Laten Koefisien Reliabilitas Potensi kreatif (PKr) 0,84 Praktek kerja kreatif (PKjKr) 0,88 Dukungan Organisasi (DO) 0,90
Kesimpulan Reliabel Reliabel Reliabel
Tabel 5 Persamaan Model Struktural No Persamaan Struktural R2 1 PKjKr = 0,63PKr + 0,23 0,78 2 PKjKr = 0,52DO + 0,31 0,64 3 PKr = 0,44DO + 0,45 0,56 Keterangan: PKr = potensi kreatif, DO = dukungan organisasi, PKjKr = praktek kerja kreatif
570
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Tabel 6 Ringkasan Hasil Uji Keselarasan Model Struktural Keselarasan Model Koefisien Kreteria Kesimpulan Chi-square P-Value Df Cmin (2/Df) RMR (Standardized) RMSEA GFI AGFI CFI IFI NNFI
118,27 0,83 109 1,085 0,041 0,00 0,95 0,95 1,00 1,00 1,00
Non sig ( t table is 3.459 < 2:00 and a significance level ( a) of 0.001 or a < 0.05 then Ho is rejected , (2) test test hypothesis II with independent sample t-tests resulted in the value of t count > t table is 4.644 > 2.00 and a significance level ( a) of 0.000 or a < 0.05 then Ho is rejected, and (3) test the hypothesis III by ANOVA two yielding factor calculated F value of 6.948, while the value of F table at a significance level of 5% (0.05) is 3.99 . So F count > F table. Additionally acquired a significance level of 0.011 < 0.05 . Thus Ho is rejected. Based on the analysis and interpretation of data, it can be concluded that (1) there are differences in learning outcomes between students who are taught by STAD with students who are taught by Jigsaw method, (2) there are differences in learning outcomes between students who are highly motivated and students who have low motivation, and (3) there is an interaction between STAD and Jigsaw method and motivation toward learning outcomes of students. Keywords: Cooperative learning, STAD, Jigsaw, learning motivation, learning outcomes Abstrak Tujuan dari penelitian yang dilakukan di SMP 2 Ngariboyo dan SMP 1 Ngariboyo untuk menentukan: (1) perbedaan hasil belajar antara siswa kelas delapan yang diajarkan menggunakan pembelajaran kooperatif tipe STAD dan yang diajarkan dengan menggunakan pembelajaran kooperatif Jigsaw, (2) perbedaan antara hasil belajar siswa yang memiliki motivasi belajar yang tinggi dengan yang memiliki motivasi belajar rendah, dan (3) pelaksanaan interaksi pembelajaran kooperatif STAD dan metode Jigsaw dan motivasi terhadap hasil belajar. Metode pengumpulan data menggunakan tes dan kuesioner. Untuk menguji hipotesis digunakan sampel independen t-test dan ANOVA dua faktor. Hasil analisis data (1) untuk menguji hipotesis saya uji sampel independen t - hasil uji nilai t hitung> t tabel adalah 3,459 2,00 dan tingkat signifikansi (a) sebesar 0,000 atau F tabel. Selain itu diperoleh tingkat signifikansi 0,011 0.05, hal ini memberikan pengertian bahwa data memiliki varians-varians yang homogeny. Berdasarkan hasil uji persyaratan ini maka dikatakan memenuhi syarat untuk uji selanjutnya.
Uji Hipotesis I Dari hasil uji t-tes sampel independen model pembelajaran ditampilkan dalam bentuk table di bawah ini: Tabel 1. Hasil Uji T-tes sampel independen metode pembelajaran Independent Samples Test HASIL_BELAJAR Equal variances Equal variances not assumed assumed Levene's F .003 Test for Sig. Equality of .959 Variances t-test for T 3.459 3.459 Equality of Df 62 61.981 Means Sig. (2-tailed) .001 .001 Mean Difference 7.500 7.500 Std. Error Difference 2.168 2.168 95% Confidence Lower 3.166 3.166 interval of the Upper 11.834 11.834 Difference Dari table di atas diketahui bahwa t hitung sebesar 3,459 sedangkan nilai t tabel dengan df = 62 adalah 2.00. Berdasarkan perhitungan ini maka t hitung lebih besar dari t tabel yaitu 3,459 < 2.00 maka H0 ditolak sehingga memberikan arti bahwa terdapat perbedaan hasil belajar yang
606
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
disebabkan oleh penerapan pembelajaran kooperatif kooperatif tipe STAD.
metode
Jigsaw dan pembelajaran
Uji Hipotesis II Dari hasil uji t-tes sampel independen motivasi belajar ditampilkan dalam bentuk table berikut: Tabel 2. Hasil Uji T-tes Smapel Independen Motivasi Belajar Independent Samples Test
Levene's Test for Equality of Variances t-test for Equality of Means
HASIL_BELAJAR Equal variances Equal variances not assumed assumed 1.764
F Sig.
.189
T Df Sig. (2-tailed) Mean Difference Std. Error Difference 95% Confidence Lower interval of the Upper Difference
4.644 62 .000 9.548 2.056 5.438
4.808 61.966 .000 9.548 1.986 5.578
13.657
13.517
Dari table di atas diketahui bahwa nilai t hitung adalah 4,644 sedangkan nilai t tabel dengan df = 62 adalah 2,00. Berdasarkan perhitungan ini maka t hitung lebih besar dari t tabel yaitu 4,644 > 2,00 maka Ho ditolak sehingga memberikan arti bahwa terdapat perbedaan hasil belajar yang disebabkan oleh perbedaan motivasi belajar yang dimiliki oleh siswa.
Uji Hipotesis III Hasil analisis data untuk menguji hipotesis III menggunakan ANOVA dua factor yaitu: Deskriptif Hasil Uji Analisis Variansi 2 Faktor. Tabel 3. Deskripsi Statistic Dependent Variable:Hasil_Belajar Metode Metode Jigsaw
Metode STAD
Total
Motivasi Motivasi Tinggi Motivasi Rendah Total Motivasi Tinggi Motivasi Rendah Total Motivasi Tinggi Motivasi Rendah Total
Mean 79.05 65.15 73.41 68.00 63.53 65.91 73.83 64.29 69.66
Std. Deviation N 5.201 5.728 8.747 8.944 7.800 8.596 9.044 6.841 9.396
19 13 32 17 15 32 36 28 64
Berdasarkan tabel di atas dapat dijelaskan bahwa pembelajaran kooperatif metode Jigsaw dan pembelajaran kooperatif tipe STAD yang diterapkan dalam penelitian dapat meningkatkan motivasi belajar, dimana pada pembelajaran kooperatif metode Jigsaw jumlah siswa yang
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
607
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
memiliki motivasi tinggi lebih banyak yaitu 19 siswa dengan rerata hasil belajar sebesar 79.05 dibanding jumlah siswa yang memiliki motivasi tinggi pada pembelajaran tipe STAD yaitu 17 siswa dengan rerata nilai hasil belajar siswa adalah 79.05. Sedangkan pada pendekatan pembelajaran kooperatif tipe STAD hanya 17 siswa yang memiliki motivasi tinggi dengan rerata nilai hasil belajar sebesar 68.00. Dengan demikian secara umum siswa yang memiliki motivasi tinggi mendominasi pada kedua pembelajaran tersebut yaitu sebanyak 36 siswa dari 64 siswa sedangkan yang memiliki motivasi rendah sebanyak 28 siswa. Hal ini memberikan penjelasan bahwa secara umum terdapat perbedaan hasil belajar pada model pembelajaran yang diterapkan baik pada siswa yang memiliki motivasi tinggi ataupun siswa yang memiliki motivasi rendah. Tabel 4. Hasil Uji ANOVA 2 Faktor Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Hasil_Belajar Type III Sum of Source Squares df Mean Square F Sig. Corrected 2550.064a 3 850.021 16.931 .000 Model Intercept 298114.009 1 298114.009 5.938E3 .000 Metode 629.727 1 629.727 12.543 .001 Motivasi 1322.473 1 1322.473 26.341 .000 Metode * 348.820 1 348.820 6.948 .011 Motivasi Error 3012.373 60 50.206 Total 316090.000 64 Corrected Total 5562.437 63 a. R Squared = .458 (Adjusted R Squared = .431) Berdasarkan hasil uji ANOVA dua faktor pada tabel di atas dapat dijelaskan terkait dengan metode (pembelajaran kooperatif metode Jigsaw dan pembelajaran kooperatif tipe STAD), motivasi (motivasi tinggi dan rendah), serta metode dan motivasi yang merupakan interaksi antara pembelajaran dan motivasi sebagai berikut: 1) Nilai F hitung untuk Metode sebesar 12,543, nilai signifikansi lebih kecil dari α < 0,05 yaitu 0,001, df1 = 1 dan df2 = 63 didapatkan nilai F tabel = 3.99 sehingga dapat dijelaskan bahwa F hitung > F tabel, artinya ada perbedaan hasil belajar siswa kelas VIII yang diajar menggunakan pembelajaran kooperatif metode Jigsaw dibandingkan dengan siswa yang diajar menggunakan pembelajaran kooperatif tipe STAD 2) Nilai F hitung untuk motivasi = 26.341, nilai signifikansi lebih kecil dari α < 0,05 yaitu 0,000, df1 = 1 dan df2 = 63 didapatkan nilai F tabel = 3.99 sehingga dapat dijelaskan bahwa F hitung > F tabel, artinya ada perbedaan hasil belajar siswa yang memiliki motivasi belajar tinggi dibandingkan dengan siswa yang memiliki motivasi rendah 3) Nilai signifikansi pada interaksi antara metode (pembelajaran kooperatif metode Jigsaw dan pembelajaran kooperatif tipe STAD) dan motivasi (motivasi tinggi dan rendah) didapatkan nilai F hitung sebesar 6,948 atau lebih besar dari F tabel sebesar 3,99 dan tingkat signifikan sebesar 0.011 atau lebih kecil dari = 0.05, sehingga dapat dijelaskan bahwa
608
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
pembelajaran kooperatif metode Jigsaw dan pembelajaran kooperatif tipe STAD serta motivasi (motivasi belajar tinggi dan motivasi belajar rendah) memiliki pengaruh terhadap hasil belajar siswa di SMPN 2 Ngariboyo dan SMPN 1 Ngariboyo. Artinya ada interaksi antara penerapan pembelajaran kooperatif metode Jigsaw dan pembelajaran kooperatif tipe STAD serta motivasi belajar siswa terhadap hasil belajar siswa kelas VIII di SMPN 2 Ngariboyo dan SMPN 1 Ngariboyo. Dari hasil analisis data tersebut di atas maka dilakukan pembahasan sebagai berikut:
Penerapan Pembelajaran kooperatif tipe STAD dan Pembelajaran metode Jigsaw Berdasarkan hasil perhitungan dan hasil tes yang dilakukan pada masing-masing kelas dapat dijelaskan bahwa hasil belajar siswa kelas VIII di SMPN 2 Ngariboyo dan SMPN 1 Ngariboyo yang pada awal pembelajaran memiliki kemampuan yang sama, di mana rata-rata hasil belajarnya sama, setelah dilakukan perlakuan dengan menggunakan pembelajaran kooperatif tipe STAD dan pembelajaran metode Jigsaw mengalami peningkatan hasil belajar yang signifikan. Hal ini ditunjukkan dengan hasil perhitungan deskriptif dari masing-masing model pembelajaran yang diterapkan baik sebelum maupun setelah penerapan model pembelajaran ini, dimana siswa tertarik dan termotivasi untuk mengikuti pembelajaran yang diterapkan di kelas. Peningkatan hasil belajar siswa di dua sekolah tempat penelitian dapat dikatakan signifikan karena dibuktikan dengan uji beda rata-rata dengan nilai signifikansinya di bawah 0.05, sehingga perbedaan hasil belajar yang didapatkan oleh siswa di dua lokasi penelitian adalah berarti (tidak dapat diabaikan perbedaannya). Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan uji t, didapatkan hasil bahwa t hitung lebih besar dari t tabel, ini menunjukkan bahwa hasil belajar dipengaruhi oleh penerapan pembelajaran di kelas, di mana dalam penelitian ini pembelajaran kooperatif metode Jigsaw memiliki hasil belajar yang lebih tinggi dibandingkan siswa yang diajar dengan menggunakan pembelajaran kooperatif tipe STAD.Di samping itu, berdasarkan perhitungan didapatkan F hitung untuk faktor model pembelajaran lebih besar dari F tabel, artinya ada perbedaan hasil belajar siswa kelas VIII yang diajar menggunakan pembelajaran kooperatif tipe STAD dibandingkan dengan siswa yang diajar menggunakan pembelajaran metode Jigsaw di SMPN 2 Ngariboyo dan SMPN 1 Ngariboyo. Kedua hasil perhitungan ini menunjukkan bahwa hipotesis yang diajukan dapat diterima, artinya ada perbedaan hasil belajar siswa kelas VIII antara yang diajar menggunakan Pembelajaran kooperatif tipe STAD dan yang diajar menggunakan Pembelajaran metode Jigsaw di SMPN 2 Ngariboyo dan SMPN 1 Ngariboyo. Selain itu dalam penelitian ini, diketahui bahwa pembelajaran kooperatif metode Jigsaw ternyata lebih memiliki hasil belajar yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan pendekatan pembelajaran kooperatif tipe STAD. Hal ini disebabkan dalam pembelajaran kooperatif metode Jigsaw lebih disukai oleh siswa karena dalam pembelajaran ini siswa belajar dalam kelompok kecil yang terdiri dari 4-6 orang secara heterogen dan bekerja sama saling ketergantungan yang positif dan bertanggungjawab atas ketuntasan bagian materi pelajaran yang harus dipelajari dan menyampaikan materi tersebut kepada anggota kelompok yang lain, sehingga meningkatkan rasa tanggungjawab siswa terhadap pembelajarannya sendiri dan juga pembelajaran orang lain. Siswa tidak hanya mempelajari materi yang diberikan, tetapi mereka juga harus siap memberikan dan mengajarkan materi tersebut pada anggota kelompoknya yang lain. Dengan demikian, siswa saling tergantung satu dengan yang lain dan harus bekerja sama secara kooperatif untuk mempelajari materi yang ditugaskan. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
609
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Berdasarkan uraian di atas dapat dijelaskan bahwa hipotesis pertama dapat diterima, artinya terdapat perbedaan hasil belajar siswa kelas VIII antara yang diajar menggunakan pembelajaran kooperatif tipe Student Teams Achievement Division (STAD) dengan yang diajar menggunakan pembelajaran kooperatif metode Jigsaw di SMPN 2 Ngariboyo dan SMPN 1 Ngariboyo.
Perbedaan Hasil belajar Siswa dengan Motivasi Tinggi dan Motivasi Rendah Motivasi merupakan kondisi yang mendorong atau menjadi sebab seseorang melakukan sesuatu perbuatan atau kegiatan. Maka seseorang apabila akan melakukan aktivitas di dorong oleh suatu kekuatan, kekuatan pendorong inilah yang disebut dengan motivasi, motivasi yang dimaksud adalah motivasi belajar siswa, dimana siswa memiliki motivasi belajar tinggi dan motivasi belajar rendah, peningkatan motivasi ini memiliki dampak positif terhadap prestasi belajar siswa.. Apabila kita telaah, pada dasarnya pendapat ini mencakup tiga hal, yaitu 1) motivasi harus diawali dengan satu perubahan tenaga dalam diri seseorang, 2) ditandai dengan perubahan tingkah laku seseorang, dan 3) motivasi untuk memenuhi kebutuhannya. Jadi motivasi dalam hal ini sebenarnya merupakan respon dari suatu aktifitas. Berkenaan dengan motivasi belajar siswa, dalam penelitian ini didapatkan bahwa terdapat perbedaan hasil belajar siswa kelas VIII yang memiliki motivasi belajar tinggi dibandingkan dengan siswa kelas VIII yang memiliki motivasi rendah di SMPN 2 Ngariboyo dan SMPN 1 Ngariboyo. Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan uji t, didapatkan hasil bahwa t hitung lebih besar t tabel maka diketahui bahwa siswa dengan motivasi tinggi memiliki hasil belajar lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang memiliki motivasi rendah baik pada pembelajaran kooperatif metode Jigsaw maupun pembelajaran kooperatif tipe STAD. Hal ini berarti hasil belajar siswa dipengaruhi oleh motivasi belajarnya, yaitu siswa dengan motivasi belajar tinggi memiliki hasil belajar yang lebih baik daripada siswa yang memiliki motivasi belajar rendah. Berdasarkan uraian di atas dapat dijelaskan bahwa hipotesis kedua dapat diterima, artinya terdapat perbedaan hasil belajar antara siswa yang memiliki motivasi belajar tinggi dengan siswa yang memiliki motivasi belajar rendah di kelas VIII SMPN 2 Ngariboyo dan SMPN 1 Ngariboyo.
Interaksi Pembelajaran Kooperatif Metode Jigsaw, Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD dan Motivasi Belajar terhadap Hasil Belajar Berdasarkan analisis variansi 2 faktor dapat dijelaskan terdapat interaksi antara pembelajaran kooperatif metode Jigsaw dan pembelajaran kooperatif tipe STAD serta motivasi belajar yang dimiliki oleh siswa terhadap hasil belajarnya adalah signifikan atau berati. Hal ini ditunjukkan dengan nilai F hitung > F tabel, dengan tingkat singifikansi kurang dari 0.05 (5%) sehingga dapat dijelaskan bahwa terjadi interaksi antara penerapan pendekatan pembelajaran dan motivasi belajar siswa terhadap hasil belajar siswa kelas VIII di SMPN 2 Ngariboyo dan SMPN 1 Ngariboyo. Siswa dengan motivasi tinggi pada penerapan pembelajaran kooperatif metode Jigsaw akan meningkatkan hasil belajarnya, di mana terjadi interaksi antara model pembelajaran dan motivasi. Artinya siswa melakukan suatu kegiatan melalui model pembelajaran yang diterapkan. Munculnya atau dorongan untuk melakukan kegiatan belajar itulah yang merupakan motivasi bagi siswa. Motivasi yang dimiliki siswa inilah yang digunakan oleh siswa untuk sejalan dengan tujuan dari belajar itu sendiri. Motivasi adalah merupakan segala tenaga yang dapat
610
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
membangkitkan atau mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan. Ini dapat menjelaskan bahwa terdapat upaya atau usaha belajar siswa untuk mencapai tujuan belajar dan melakukan kegiatan belajar. Motivasi belajar yang dimiliki oleh siswa tentu akan sangat mempengaruhi hasil belajarnya, dimana seorang siswa yang memiliki motivasi tinggi akan bersedia untuk melakukan kegiatan dan aktifitas belajar, yang mendorong keinginan dari seorang siswa untuk lebih mengerti dan memahami sesuatu, sehingga terdapat arah tentang arah yang dipelajarinya. Berdasarkan uraian di atas, dapat dijelaskan bahwa hipotesis ketiga diterima yaitu, Ada interaksi antara pembelajaran kooperatif metode Jigsaw dan pembelajaran kooperatif tipe STAD serta motivasi belajar terhadap hasil belajar siswa kelas VIII di SMPN 2 Ngariboyo dan SMPN 1 Ngariboyo.
Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan di atas, maka dapat ditarik beberapa simpulan sebagai berikut. a. Ada perbedaan hasil belajar siswa kelas VIII antara yang diajar menggunakan pembelajaran kooperatif tipe Student Teams Achievement Division (STAD) dengan yang diajar menggunakan pembelajaran kooperatif metode Jigsaw di SMPN 2 Ngariboyo dan SMPN 1 Ngariboyo, dimana pembelajaran kooperatif metode Jigsaw memiliki hasil belajar yang lebih baik jika dibandingkan dengan pembelajaran kooperatif tipe STAD yang ditunjukkan dengan nilai rata-rata hasil belajar siswa, t hitung lebih besar dari t tabel (3,459 > 2,00). b. Ada perbedaan hasil belajar siswa kelas VIII antara yang memiliki motivasi belajar tinggi dengan siswa yang memiliki motivasi belajar rendah di SMPN 2 Ngariboyo dan SMPN 1 Ngariboyo, di mana siswa dengan motivasi tinggi memiliki hasil belajar yang lebih baik dibandingkan dengan siswa yang memiliki motivasi rendah yang ditunjukkan dengan nilai rata-rata hasil belajar siswa serta nilai t hitung > t tabel (4,644 > 2,00). c. Ada interaksi implementasi pembelajaran kooperatif tipe Student Teams Achievement Division (STAD) dan metode Jigsaw serta motivasi belajar terhadap hasil belajar siswa kelas VIII SMPN 2 Ngariboyo dan SMPN 1 Ngariboyo , di mana kelas yang memperoleh penerapan pembelajaran kooperatif metode Jigsaw pada siswa yang memiliki motivasi tinggi memiliki hasil belajar yang lebih baik jika dibandingkan dengan hasil belajar pada siswa dengan pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan motivasi tinggi, dan juga ditunjukkan oleh F hitung lebih besar dari F Tabel, yaitu (6,948 > 3,99). Saran Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas peneliti menyarankan sebagai berikut: a. Bagi Guru, mengacu pada penelitian ini, sebaiknya guru tidak ragu untuk menggunakan pembelajaran kooperatif metode Jigsaw yang terbukti memberikan kontribusi peningkatan hasil belajar siswa. Di samping itu, guru juga diharapkan dapat mendorong motivasi belajar siswa sehingga siswa terlibat aktif dalam kegiatan belajar mengajar.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
611
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
b. Hendaknya guru dapat mengembangkan metode pembelajaran lain yang lebih inovatif sehingga ditemukan model pembelajaran yang disenangi siswa dan mampu meningkatkan hasil belajar siswa. c. Bagi Kepala Sekolah hendaknya mendorong guru untuk melakukan penelitian tindakan kelas, untuk menemukan suatu model pembelajaran yang tepat dan sesuai dengan kondisi siswa di sekolah. Dan perlu pula mendorong penerapan pembelajaran kooperatif metode Jigsaw karena terbukti memberikan kontribusi pada hasil belajar siswa. Daftar Pustaka Amri, Sofan. 2013. Pengembangan & Model Pembelajaran dalam Kurikulum 2013.Jakarta: PT.Prestasi Pustakaraya. Arends, R. I. 2001. Learning to Teach. New York: McGraw Hill Companies Arikunto, Suharsimi.2002, Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Bina Aksara. Darmawan, Didit. 2006. Metodologi Penelitian Sebuah Pengantar, Metromedia Mandiri Pustaka: Surabaya. Ibrahim, M., Fida R., Nur, M. dan Ismono. 2000. Pembelajaran Kooperatif.Surabaya: Unesa Press. Isjoni. 2010. Cooperative Learning, Efektifitas, Pembelajaran Kelompok. Bandung: Alfabeta. Lie-Anita. 2004. Cooperatif Learning. PT. Gramedia Widisarana Indonesia. Jakarta. Mohyi, Achmad. 2005. Teori dan Perilaku Organisasi. UMM Press. Malang Robbins, Stephen P., 2003, Perilaku Organisasi, Edisi Ketujuh, Jilid 1 dan 2, Terjemahan, PT. Prenhallindo, Jakarta Rusman,2012.Model-Model Pembelajaran, Edisi Kedua,Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, Sardiman, A.M. 2000. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Sia, Tjundjing. 2001. Hubungan Antara IQ, EQ, dan QA dengan Prestasi Studi Pada Siswa SMU. Jurnal Anima Vol. 17 no. 1 Slavin, R. 1995. Cooperatif Learning, Allyn and Bacon Publisher Sudikin & Mundir. 2005. Metode Penelitian: Membimbing dan Mengantar Kesuksesan Anda dalam Dunia Penelitian. Insan Cendikia: Surabaya. Supriyono , Agus. 2009. Cooperative Learning, teori dan Aplikasi PAIKEM. Pustaka Pelajara. Yogyakarta Taufik,Imam, 2010, Kamus Praktis Bahasa Indonesia,Ganeca.Jakarta Umar, Husein, 2003, Metode Riset Perilaku Organisasi, PT. Gramedia Pustaka Utama Jakarta. Usman, Uzer, Mohammad. Menjadi Guru Profesional. Remaja Rosdakarya: Bandung. Widayat. 2004. Metode Penelitian Pemasaran, Aplikasi Software SPSS. Edisi Pertama. Penerbit UMM Press. Malang. Winarsunu, Tulus, 2002. Statistik Dalam Penelitian Psikologi dan Pendidikan, Edisi Pertama. Malang: Penerbit UMM Press
612
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Penerapan Metode Polya Dalam Menyelesaikan Soal Cerita Pada Pokok Bahasan Aritmatikasosial Di Kelas VII Putra SMP Yadika Bangil Andika Setyo Budi Lestari2 ([emailprotected]) Abstract Learning mathematics has a goal to have the problem solving capabilities include the ability to understand problems, make models, and interpret the obtained solution. To be able to train and develop students' problem solving skills with word problems. To finish it is done by applying the method Polya. This study aimed to describe the method of application of Polya in solving word problems with subject aritmatikasosial in class VII SMP Yadika Bangil. The study was a qualitative descriptive study a class action by applying Kemmis and Mc. Taggart which consists of four components, namely: 1) Planning, 2) Implementation of action, 3) Observation and 4) Reflection. In this study, data were collected through observation sheets, interviews, written tests, and questionnaires. Application of Polya method to solve the story on the subject in class VII SMP aritmatikasosial Yadika Bangil in the first cycle is of four stages Polya, the fourth stage is the stage of checking the answers obtained by kalasikal achievement percentage is still low at 9%. It shows most of the students are still not able to re-examine the results or answer to the problems that exist, because the students are still not used and has not been able to check the answer. After reflection and improvement in cycle II, steps to resolve the matter of the story according to Polya has been reached with an increase in the ability of the student. Based on a questionnaire completed students, there are four students who are still difficult and there are 2 students who are not yet familiar with the intention of a given problem. However, most students find it easier to completing the matter with Polya.Sedangkan method based on interviews, the students helped finish the story about Polya method. Keywords: Methods Polya, story problems, aritmatikasosial Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dari penerapan metode Polya dalam menyelesaikan soal cerita dengan pokok bahasan aritmatikasosial pada siswa kelas VII SMP YADIKA Bangil. Penelitian yang dilakukan adalah penelitian tindakan kelas diskriptif kualitatif dengan menerapkan Kemmis dan Mc. Taggart yang terdiri dari 4 komponen yaitu: 1) Perencanaan, 2) Pelaksanaan Tindakan, 3) Observasi dan 4) Refleksi. Pada penelitian ini, data dikumpulkan melalui lembar observasi, wawancara, tes tertulis, dan angket. Penerapan metode polya untuk menyelesaikan soal cerita pada pokok bahasan aritmatikasosial di kelas VII SMP YADIKA Bangil pada siklus I adalah dari empat tahapan polya, tahapan keempat yaitu tahap pengecekan jawaban diperoleh prosentase ketercapaian secara kalasikal yang masih rendah sebesar 9% . Hal ini menunjukkan sebagian besar siswa masih belum mampu untuk memeriksa kembali hasil atau jawaban dari permasalahan yang ada, dikarenakan siswa masih belum terbiasa dan belum bisa mengecek jawaban tersebut. Setelah dilakukan refleksi dan perbaikan pada siklus II, langkah-langkah penyelesaian soal cerita menurut polya sudah tercapai disertai adanya peningkatan kemampuan siswa. Berdasarkan angket yang diisi siswa, ada 4 siswa yang merasa masih kesulitan dan ada 2 siswa yang merasa belum paham dengan maksud soal yang diberikan. Namun sebagian besar siswa merasa lebih mudah dalam menyelesakan soal
2
Dosen Program Studi Pendidikan Matematika STKIP PGRI Pasuruan, Jawa Timur, Indonesia
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
613
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
dengan Metode Polya.Sedangkan berdasarkan wawancara, siswa terbantu menyelesaikan soal cerita dengan Metode Polya. Kata Kunci: Metode polya, soal cerita, aritmatikasosial.
Pendahuluan Dari masa ke masa, pembelajaran matematika selalu menjadi sorotan, baik pada tingkat dasar maupun menengah. Berbagai usaha telah dilakukan pemerintah untuk memperbaiki mutu pendidikan Indonesia, diantaranya melalui perbaikan kualitas guru, standarisasi kelulusan ( peningkatan standar kelulusan), perbaikan sarana dan prasarana sekolah, peningkatan kesejahtaraan guru dan dosen, peningkatan anggaran pendidikan, dan pernggantian kurikulum pendidikan dasar, menengah dan perguruan tinggi. Tuntutan dalam dunia pendidikan sudah banyak berubah, kita tidak bisa lagi mempertahankan paradigma lama yaitu teacher centre (guru memberikan pengetahuan kepada siswa yang pasif). Tetapi hal ini nampaknya masih banyak diterapkan di ruang-ruang kelas dengan alasan pembelajaran seperti ini adalah praktis dan tidak menyita waktu (dalam J.DROST, SJ. 2005). Dalam KTSP yang merupakan penyempurnaan dari kurikulum 2004 pada dasarnya mempunyai prinsip yang sama, yaitu bahwa siswa bukan lagi sebagai objek pembelajaran melainkan subjek pembelajaran. Pembelajaran dalam KTSP, mengupayakan proses yang lebih memperdayakan siswa. Siswa dituntut untuk bersikap aktif, kreatif dan inovatif dalam menanggapi setiap pelajaran yang diajarkan. Setiap siswa harus dapat memanfaatkan ilmu yang diperolehnya dalam kehidupan sehari-hari, untuk itu setiap pelajaran selalu dikaitkan dengan lingkungan sekitar serta memberikan motivasi kepada siswa dengan menyampaikan manfaatnya dalam lingkungan sosial masyarakat. Sikap aktif, kreatif, dan inovatif dapat terwujud dengan menempatkan siswa sebagai subyek pendidikan. Guru adalah sebagai fasilitator dan bukan sumber utama pembelajaran, guru bertugas untuk menciptakan sistem lingkungan yang membelajarkan subjek pembelajaran agar tujuan pembelajaran dapat tercapai secara optimal. Tujuan pembelajaran matematika menurut Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) (Depdiknas, 2006:10) bahwa peserta didik dituntut untuk memiliki kemampuan pemecahan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, membuat model, dan menafsirkan solusi yang diperoleh. Salah satu pembelajaran matematika yang dapat melatih dan mengembangkan kemampuan pemecahan masalah siswa adalah pembelajaran soal cerita. Kegiatan dalam kehidupan sehari-hari yang sangat erat hubungannya dengan penerapan matematika adalah pada kegiatan jual beli atau transaksi perdangan. Pada saat istirahat siswa menuju kantin untuk membeli makanan atau setibanya di rumah pergi ke warung untuk membeli sesuatu, mendengar atau menyaksikan orang di lingkungan sekitar melakukan transaksi menjual atau membeli suatu barang. Sebenarnya penerapan atematika sudah dilakukan oleh siswa baik di sekolah maupun di rumah. Kegiatan ini belum disadari oleh siswa bahwa mereka sudah menerapkan matematika dalam kehidupan sehari-hari dan ketika siswa melakukan kegiatan jual atau beli dalam kehidupan sehari mereka tanpa mengalami kesulitan. Namun, ketika di sekolah dihadapkan dengan soal berbentuk cerita yang sbenarnya berkaitan dengan kegiatan sehari-hari, mereka masih mengalami kesulitan dalam menyelesaikannya. Berdasarkan komentar yang didapat peneliti pada saat melakukan observasi di lapangan, meskipun banyak siswa yang gemar dengan matematika tetapi siswa masih mengatakan bahwa matematika merupakan pelajaran yang sulit. Dalam hal ini yaitu kesulitan dalam menyelesaikan
614
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
soal cerita. Siswa sebelum menyelesaikan sebuah soal, harus memahami soal itu secara menyeluruh. Ia harus tahu apa yang diketahui, apa yang dicari, rumus atau teorema yang dapat digunakan dan cara menyelesaikannya. Untuk itu dalam mengerjakan soal-soal matematika diperlukan siasat atau strategi dalam penyelesaiannya. Keberhasilan proses pembelajaran merupakan hal utama yang didambakan dalam melaksanakan pendidikan di sekolah. Dalam proses pembelajaran, komponen utama adalah guru dan siswa. Agar proses pembelajaran berhasil, guru diharapkan mampu menerapkan metode yang tepat dan sesuai dengan pengajaran matematika, guru diharapkan pula mampu menanamkan pengenalan lambang-lambang, konsep, prinsip dan bagaimana menanamkan penggunaan prinsip atau rumus yang ada. Dalam kamus Bahasa Indonesia dari kata soal dan cerita yang mempunyai arti hal atau masalah yang harus dipecahkan dan cerita artinya tuturan yang membentangkan bagaimana terjadinya suatu hal yang dipecahkan. Dalam pengajaran matematika, pemecahan masalah sudah umumnya dalam bentuk soal cerita, biasanya soal cerita disajikan dalam cerita pendek. Cerita yang diungkapkan dapat merupakan masalah kehidupan sehari-hari. Dalam penelitian ini yang dimaksud soal cerita adalah soal matematika yang disajikan dengan kalimat yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari serta memuat masalah yang menuntut pemecahan. Kemampuan siswa yang dibutuhkan untuk menyelesaikan soal cerita tidak hanya kemampuan skill (ketrampilan) dan mungkin algoritma tertentu saja melainkan dibutuhkan juga kemampuan yang lain, yaitu kemampuan dalam menyusun rencana atau strategi yang akan digunakan dalam mengerjakan soal. Soal cerita dapat melatih siswa untuk memecahkan masalah dan menyelesaikan soal cerita, siswa diharapkan mampu mengambil keputusan. Hal ini disebabkan siswa tersebut menjadi terampil tentang bagaimana mengumpulkan informasi yang relefan, menganalisis informasi dan menyadari betapa perlunya meneliti kembali hasil yang diperoleh. Mengingat besarnya peranan matematika pada disiplin ilmu lain, maka kemampuan siswa dalam memecahkan masalah dan penyelesaian soal cerita, perlu sedini mungkin ditingkatkan. Peningkatan tersebut dapat ditempuh dengan cara mengajar matematika dengan penekanan pada eksplorasi serta model berpikir matematika. Dalam mata pelajaran matematika, banyak dijumpai soal-soal yang berbentuk cerita, maka guru harus tepat dalam memberikan metode pengajaran. Metode Polya merupakan metode yang menyatakan teknik pemecahan masalah yang menarik, dalam menyelesaikan soal cerita dengan langkah-langkah yang direncanakan, yang terdiri dari langkah memahami masalah, membuat rencana, melaksanakan rencana, dan memeriksa kembali. Yang dimaksud dalam menerapkan metode polya di sisni adalah menrapkan langkahlangkah penyelesaian soal cerita menurut Polya yaitu : 1. Memahami masalah Dalam langkah ini yang harus dilakukan adalah membaca soal dengan seksama sehingga benar-benar dimengerti arti dari semua kata dalam soal. Buat tanda khusus untuk beberapa istilah yang digunakan kalimat dalam soal. Tentukan apa yang diketahui dan apa yang tidak diketahui. 2. Menyusun rencana Langkah kedua ini merupakan kunci dari empat langkah ini. Dalam menyusun rencana penyelesaian banyak strategi dan teknik yang digunakan dalam menyelesaikan masalah. 3. Pelaksanaan rencana Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
615
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Jika dalam langkah kedua telah berhasil dirinci dengan lengkap, maka dalam pelaksanaan rencana penyusunan soalnya menjadi bentuk yang sederhana dan melakukan prhitungan yang diperlukan. Perancangan yang mantap membuat pelaksanaan rencana lebih baik. 4. Memeriksa kembali Langkah keempat ini penting, walaupun sering dilupakan dalam menyelesaikan masalah. Memeriksa kembali dari penyelesaian masalah yang ditemukan dapat menjadi dasar yang penting untuk penyelesaian masalah yang akan datang. (Dalam Polya, How To Solve It, 1957) Menurut keterangan guru pengajar matematika kelas VII Sebelum dilakukan penerapan metode polya siswa diberikan soal cerita yang sederhana kemudian siswa diminta untuk menyelesaikan ternyata dari hasil pekerjaan siswa hanya ada 4 siswa dari 22 siswa kelas VII putra yang dapat mengerjakan dengan tepat. Berdasarkan uraian di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh deskripsi dari penerapan langkah-langkah Polya dalam menyelesaikan soal cerita dengan pokok bahasan aritmatika sosial pada siswa kelas VII putra SMP YADIKA Bangil.
Metode Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas yang desainnya mengacu pada model Kemmis dan Mc. Taggart (Arikunto, 2009:16), terdiri atas 4 komponen yaitu: (1) perencanaan, (2) pelaksanaan tindakan, (3) observasi dan (4) refleksi. Penelitian ini dilakukan secara deskriptif yang menggunakan pendekatan kualitatif yaitu dengan menggambarkan makna data atau fenomena yang diperoleh peneliti dengan menunjukkan bukti-bukti, dalam hal ini bukti didapat dari hasil tes tertulis dan wawancara. Subjek penelitiannya adalah siswa kelas VII putra sebanyak 22 siswa di SMP Yadika Bangil. Dalam pelaksanaan kegiatan penelitian dibantu oleh guru pengajar matematika kelas VII, karena peneliti bukanlah guru pengajar di kelas VII. Penyampaian konsep aritmatika sosial disampaikan oleh guru matematika kelas VII, pada saat kegiatan di kelas peneliti bertindak sebagai observer. Instrumen yang digunakan berupa lembar kerja untuk siswa yang berisi latihan-latihan soal, isisan angket guna mengetahui pendapat siswa secara tidak langsung serta wawancara yang dilakukan langsung oleh peneliti kepada beberapa siswa guna mengetahui pendapat siswa secara lansung.
Teknik Pengolahan dan Analisis Data Melakukan analisis terhadap penyelesaian soal-soal hasil tes. Analisis atau pengolahan terhadap penyelesaian soal dari hasil tes dimaksudkan untuk mengetahui apakah siswa dapat menyelesaikan setiap tahap pemecahan masalah menurut Polya (tahap tertentu). Pada setiap langkah atau tahap ada skor tertentu sehingga pencapaian siswa dapat diukur dengan menggunakan rumus :
P
A 100% M
Keterangan : P : Persentase hasil belajar siswa A : Skor yang diperoleh M : Skor maksimal
616
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Dari rumus di atas akan didapatkan hasil perhitungan berupa persentase dengan pengelompokan kategori sebagai berikut :
Tabel 2.1 Preentase kemampuan siswa No 1 2 3 4 5
Persentase P 90 80 P < 90 65 P < 80 50 P < 65 P < 50
Kategori Sangat Baik Baik Cukup Baik Kurang Baik Kurang Sekali
Tabel 2.2 Rubrik Penilaian Kemampuan Siswa Aspek yang dinilai
Pemahaman masalah/soal
Perencanaan strategi penyelesaian soal
Pelaksanaan rencana strategi penyelesaian
Pengecekan jawaban
Reaksi terhadap soal atau masalah Tidak memahami soal (tidak ada jawaban) Tidak mengindahkan syarat-syarat soal (cara interpretasi soal kurang tepat) Memahami soal dengan baik Tidak ada rencana strategi penyelesaian Strategi yang dijalankan kurang relevan Menggunakan satu strategi tertentu tetapi tidak dapat dilanjutkan/salah langkah Menggunakan satu strategi tertentu tetapi mengarah pada jawaban yang salah Menggunakan beberapa strategi yang benar dan mengarah pada jawaban yang benar pula Tidak ada penyelesaian sama sekali Ada penyelesaian, tetapi prosedur tidak jelas Menggunakan satu prosedur tertentu yang mengarah kepada jawaban yang benar Menggunakan satu prosedur tertentu yang benar tetapi salah dalam menghitung Menggunakan prosedur tertentu yang benar dan hasil benar Tidak diadakan pengecekan jawaban Pengecekan hanya pada jawaban (perhitungan) Pengecekan hanya pada prosesnya Pengecekan terhadap proses dan jawaban
Skor 0 1 2 0 1 2 3 4 0 1 2 3 4 0 1 2 3
Keempat langkah Polya tersebut akan digunakan sebagai pedoman untuk mengetahui kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal cerita.
Hasil Penelitian Pada tiap siklus, kegiatan inti yang dilakukan adalah menyelesaikan soal cerita dengan metode polya. Pada siklus I lembar kerja siswa sengaja diberikan beberapa pertanyaan. Hal ini
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
617
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
bertujuan untuk mengarahkan siswa siswa pada 4 tahapan metode Polya yaitu: memahami masalah (mengetahui hal apa saja yang diketahui, apa yang perlu dicari solusinya), merencanakan dan menentukan formula(rumus yang tepat), melaksanakan rencana, meneliti atau mengecek kembali. Berdasarkan hasil pekerjaan siswa yang telah peneliti periksa hampir semua siswa mampu menjawab pertanyaan yang ada pada soal. Berikut ini akan peneliti uraikan hasil penerapan metode polya untuk menyelesaikan soal cerita aritmatika sosial pada siswa kelas VII putra di SMP YADIKA Bangil. Berikut ini adalah soal yang diberikan kepada siswa. Masalah “Sepeda Motor”. Pak Karta membeli sebuah sepeda motor merk Vega T dengan harga Rp12.000.000,00. Beberapa bulan kemudian karena kebutuhan yang mendesak, sepeda motor tersebut dijual kembali dengan harga Rp 9.000.000,00. a. Berapa harga beli sepeda motor tersebut? b. Berapa harga jual sepeda motor tersebut? c. Apakah harga beli lebih besar dari harga jual? Atau sebaliknya? d. Untung atau rugikah Pak Karta? e. Berapa besar keuntungan atau kerugian Pak Karta? f. Periksa/cek kembali jawabanmu! Berdasarkan soal di atas untuk pertanyaan nomer 1 seluruh siswa mampu menjawab pertanyaan yang diberikan menanyakan harga beli sepeda motor yaitu Rp12.000.000,00. Begitu pula untuk menjawab pertanyaan yang ke dua tentang harga jual sepeda motor, seluruh siswa mampu menjawab yaitu sebesar Rp9.000.000. Pada pertanyaan ini sesuai dengan langkah polya yang pertama yaitu memahami masalah. Supaya siswa mengetahui data apa saja yang terdapat pada soal, maka diarahkan melalui pertanyan pertama dan kedua. Pertanyaan yang ketiga adalah membandingkan antara harga jual dan harga beli. Pertanyaan ini guna mengarahkan siswa pada langkah penyelesaian soal cerita menggunakan metode polya yaitu menyusun rencana serta mencari keterkaitan dari data yang ada. Pada pertanyaan ini ada dua siswa dari 22 siswa yang belum mampu menjawab dengan tepat, bahwa harga beli sepeda motor lebih mahal daripada harga jual sepeda motor. Berdasarkan analisis peneliti dua siswa tersebut menjawab pertanyaan ini dikarenakan kurang teliti dalam membaca soal sehingga terjadi kesalahan menjawab. Pertanyaan berikutnya adalah “untung atau rugi yang dialami oleh Pak Karta”. Pertanyaan ini masih mengarahkan siswa pada langkah kedua metode Polya yaitu menentukan hubungan dari data yang diketahui pada soal, berkaitan dengan soal nomer sebelumnya untuk dapat menentuan formula atau rumus yang tepat dalam menyelesaikan permasalahan yaitu jika harga beli lebih mahal daripada harga jual maka Pak Karta akan mengalami kerugian. Pertanyaan berikutnya adalah menentukan besar keuntungan atau kerugian yang dialami oleh Pak Karta. Pertnyaan ini mengarahkan siswa pada langkah Metode Polya yang ke tiga yaitu melaksanakan rencana, yang berarti setelah siswa mengetahui bahwa Pak Karta mengalami kerugian maka untuk mencari besarnya kerugian adalah dengan mencari selisih antara harga beli dan harga jual sepeda motor. Sehingga di dapat : Rugi = Rp 12.000.000,00 – Rp 9.000.000,00 = Rp 3.000.000,00.
618
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Peneliti menemukan sesuatu yang berbeda pada saat mengecek jawaban siswa. Ada siswa yang berinisial Rz menjawab Pak Karta mengalami kerugian sudah betul, namun yang dilakukan siswa ini adalah menghitung terlebih dahulu selisih antara harga jual dan harga beli, sehingga memperoleh jawaban –Rp 3.000.000,00. Untuk mengklarifikasi jawaban yang diberikan siswa, peneliti bertanya langsung kepada siswa tentang proses pengerjaan yang telah dilakukan siswa. Berdasarkan penjelasan siswa, tanda – (negatif) dari hasil perhitungan adalah menunjukkan kerugian. Konsep yang diterima siswa ini adalah selalu mengurangkan harga jual dengan harga beli, kalau hasilnya positif maka untung, jika hasilnya negatif maka kerugian yang diderita oleh seorang pedagang. Tahap terakhir adalah meminta siswa untuk mengecek kembali sesuai dengan langkah pada metode Polya yang ke empat. Pada saat pengecekan kembali kebanyakan siswa melewatkan langkah ini, karena siswa masih mengalami kesulitan dan belum faham bagaimana cara mengecek kembali dari hasil yag diperoleh. Pada tahap pengecekan sebenarnya selain mengecek hasil perhitungan juga bisa untuk mengecek apakah jawaban yang didapat sudah sesuai dengan konsep yang ada. Masalah sepeda motor ini yang perlu di cek adalah apakah sudah betul hitungannya jika kerugian ditambah dengan harga jual apakah akan menghasilkan nominal yang sama dengan harga beli sepeda motor tersebut. Pada saat pengecekan siswa diharapkan sudah dapat memberikan jawaban atas permasalahan yang diberikan. Pengerjaan LKS mengenai jual belisepeda motor di atas waktu pengerjaan yang diberikan kepada siswa sekitar 20’ (dua puluh menit), setelah siswa mengerjakan dilakukan pembahasan secara bersama-sama kemudian siswa diberi LKS berikutnya, namun pada LKS ini tidak diberikan pertnyaan secara terbimbing. Pada soal hanya diberikan perintah dalam mengerjakan soal. Berikut ini akan dibahas hasil dari LKS yang telah dikerjakan siswa : 1. Pak Bejo menjual dua buah mobil dengan harga masing-masing Rp46.000.000,-. Tentukan harga beli masing-masing mobil tersebut jika Pak Bejo menderita rugi Rp1.300.000 dari hasil penjualan kedua mobil tersebut! Perintah Soal : Baca soal dengan teliti dan tulislah apa yang diketahui dan yang ditanyakan! Misalkan dengan sesuatu dari apa yang diketahui! Cariah hubungan dari apa yang diketahui dan tentukan rumus yang dapat digunakan! Selesaikan soal dengan rumus yang telah ditentukan! Periksalah kembali dari jawaban yang sudah ditemukan! Pada lembar kerja yang ke dua ini, soal yang diberikan peneliti mirip dengan soal yang diberikan oleh guru pengajar di kelas ini. Mirip dalam artian konteks soal yang diberikan sama yaitu mengenai jual beli mobil. Siswa diminta menyelesaikan soal berdasarkan langkah-langkah pada Penerapan Metode Polya. Dalam menyelesaikan soal ini siswa diminta mengerjakan secara individu, namun siswa masih diperkenankan untuk berdiskusi dengan teman sebangkunya. Berdasarkan hasil pengamatan peneliti selama siswa mengerjakan soal beberapa siswa masih nampak bingung, namun sebagian besar siswa konsentrasi dan asyik mengerjakan soal. Berikut ini aka disajikan tabel hasil pekerjaan siswa menyelesaikan soal cerita menggunakan Metode POLYA :
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
619
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
No
Nama (Inisial)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
AS ARA AW DA Dn HA Ha MA MAR MARh MNP MAv MB MRAd MAM MF MM MR Rz SH Sy Cd
Tahap 1
Tahap 2
Tahap 3
Tahap 4
1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
3 4 4 4 3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4
2 4 4 4 2 2 4 4 4 3 4 2 4 4 4 4 4 3 4 4 4 4
0 1 0 0 0 0 0 1 1 0 1 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0
Prosentase Pencapaian 46% 85% 77% 77% 54% 62% 77% 85% 85% 70% 85% 62% 77% 77% 77% 85% 85% 70% 77% 77% 77% 77%
Berdasarkan tabel di atas, ada satu siswa yang termasuk dalam kategori “Kurang Sekali”, siswa atas nama AS dengan pencapaian prosentase sebesar 46%, ada tiga siswa termasuk kategori “Kurang Baik” dengan pencapaian sebesar 62%. Selebihnya ada 12 siswa yang tergolong kategori “Cukup Baik” dengan pencapaian berkisar antara 65% sampai 80% dan ada enam siswa yang tergolong “Baik” dengan pencapaian sebesar 80% sampai 90%. Prosentase pencapaian dari empat tahap penyelesaian soal cerita dengan menggunakan metode polya pada tahap pertama yaitu pemahan soal sebesar 97 %, pada tahp ke dua yaitu perencanaan strategi penyelesaian soal sebesar 97%, tahapan yang ketiga yaitu pelaksanaan rencana strategi penyelesaian sebesar 88 %, sedangkan pada tahapan yang ke empat yaitu pengecekan jawaban sebesar 9%. Setelah dilakuakan refleksi untuk perbaikan pada pertemuan atau siklus selanjutnya adalah siswa diingatkan agar mengecek atau memeriksa kembali jawabannya. Pada siklus II hari berikutnya peneliti mencoba kembali memberikan lembar kerja kepada siswa soal cerita dengan menerapkan Metode Polya. Berikut ini soal pada hari ke dua 1. Seorang pedagang buah-buahan membeli 350 buah jeruk dengan harga Rp140.000,-. Kemudian 210 jeruk dijual dengan harga Rp600,- per buah, 100 jeruk dijual dengan harga Rp450,- per buah, dan sisanya busuk. Hitnglah keuntungan atau kerugian dari pedagang tersebut! Baca soal dengan teiti dan tulislah apa yang diketahui dan yang ditanyakan Misalkan dengan sesuatu dari apa yang diketahui Cariah hubungan ari apa yang diketahui dan tentukan rumus yang dapat digunakan
620
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Selesaikan soal dengan rumus yang telah ditentukan Periksalah kembali dari jawaban yang sudah ditemukan Berikut ini adalah hasil pencapain siswa mengerjakan soal cerita dengan menggunakan Metode Polya : No Nama Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3 Tahap 4 Prosentase Pencapaian 1 AS 1 3 2 0 46% 2 ARA 2 4 4 3 100% 3 AW 2 4 4 3 100% 4 DA 2 4 4 3 100% 5 Dn 2 3 4 3 92% 6 HA 2 4 4 3 100% 7 Ha 2 4 4 3 100% 8 MA 2 4 4 0 76% 9 MAR 2 4 4 3 100% 10 MARh 2 3 4 3 92% 11 MNP 2 4 3 3 92% 12 Mav 2 4 4 3 100% 13 MB 2 4 3 3 92% 14 MRAd 2 4 3 3 92% 15 MAM 2 4 3 3 92% 16 MF 2 4 4 3 100% 17 MM 2 4 3 3 92% 18 MR 2 4 4 3 100% 19 Rz 2 4 4 3 100% 20 SH 2 4 3 3 100% 21 Sy 2 4 3 3 100% 22 Cd 2 4 4 3 100% Berdasarkan data di atas, hampir seluruh siswa telah mampu menyelesaiakan soal cerita dengan menggunakan metode polya. Pada siklus yang kedua, siswa sudah melakukan empat tahapan dalam menyelesaikan soal cerita. Peneliti selain memperoleh data berdasarkan hasil tes tulis siswa, peneliti juga melakukan wawancara dengan beberapa siswa. Siswa yang diwawancarai oleh peneliti adalah siswa dengan kemampuan yang kurang, cukup dan baik. Wawancara peneliti lakukan pada saat istirahat dengan keadaan santai. Berikut petikan wawancara yang dilakukan peneliti bersama siswa: (* : Peneliti; # : Siswa) Siswa kemampuan kuarang *”Menurut kamu matematika sulit apa mudah?#Ya sulit, saya tidak ada bakat dari dulu sampai sekarang tidak pernah dapat nilai bagus. *Menurut kamu soal cerita aritmatika sulit apa mudah sih? #Sulit, gak ngerti maksudnya apa. *Pernah apa tidak mengerakan model soal seperti tadi?# Pernah *Dulu kalo ngerjakan soal cerita bagaimana?#pokoknya ya dikerjakan, ditulis yang ada angka-angkanya. *Setelah menggunakan metode Polya tadi bagaimana?#lumayan lah, *Lumayan bagaimana?#lumayan ngerti dikit.*Belajar lagi ya!# iya,”
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
621
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Siswa kemampuan sedang *”Menurut kamu matematika sulit apa mudah?#lumayan, kadang suli kadang mudah.*Kalau soal cerita Aritmatika bagaimana? #Kalo aritmatika sebenarnya bisa, tapi kadang kurang teliti. *Pernah apa tidak mengerjakan model soal seperi tadi? #Pernah.*Sebelum menggunakan metode Polya bagaimana dulu mengerjakan soal cerita? #kalo tidak males ya saya tulis diket, ditanya, terus di jawab. *Setelah menggunakan Metode Polya Bagaimana? #Lebih teliti dalam mengerjakan karena runtut, tapi lama. *Terima kasih ya, # Iya.” Siswa kemapuan baik “*menurut kamu matematika mudah apa sulit?#kadang mudah, kadang sulit tergantung babnya. *Kalau bab aritmatika bagaimana?#Sebenarnya mudah, tapi kadang kurang teliti kan soalnya berupa soal cerita gitu kadang pertanyaannya juga menjebak. *Pernah mengerjakan soal *Sebelum menggunakan metode Polya dulu bagaimana mengerjakannya? #Langsung dijawab saja apa yang ditanyakan, biasanya kan ada di kalimat terakhir pertanyaannya. “Setelah menggunakan metode Polya Bagaimana? # Lumayan membantu, karena ngerjakannya lebih teliti dan runtut. model seperti ini sebelumnya ? #Pernah. *Terima kasih ya. # Iya.” Selain wawancara peneliti juga memberikan angket sederhana untuk mengtahui respon siswa terhadap penerapan metode Polya. Pada angket hanya ada tiga pertanyaan dengan disediakan kolom iya dan tidak. Siswa cukup diminta untuk mengisi kolom tersebut sesuai dengan pertanyaan. Berikut Hasil angket dari 22 siswa : No. 1 2 3
PERTANYAAN IYA Apakah soal sudah kalian baca dengan teliti dan seksama? 22 siswa Apakah kalian sudah faham dengan maksud soal ? 20 siswa Apakah dengan metode yang diberikan membuat kalian lebih 18 siswa mudah dalam menyelesaikan soal cerita?
TIDAK 0 2 4 siswa
Berdasarkan angket yang diisi siswa ada 4 siswa yang merasa masih kesulitan dalam menyelesaikan soal cerita meskipun sudah menggunakan metode Polya. Dan ada 2 siswa yang merasa belum faham dengan maksud soal yang diberikan. Namun sebagian besar siswa merasa lebih mudah dalam menyelesakan soal dengan Metode Polya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan: 1. Untuk LKS 1 dengan pertanyaan yang terarah ada 2 siswa yang belum menjawab dengan tepat untuk pertanyaan mengenai laba atau rugi, sebagian besar siswa belum mampu untuk mengecek jawaban. 2. Prosentase ketercapaian penerapan metode polya dalam menyelesaiakan soal cerita pada pokok bahasan aritmatika sosial di kelas VII Putra SMP YADIKA Bangil sebagai berikut: Pertemuan ke-1 Pertemuan ke-2 Tahap Penyelesaian Polya (%) (%) Pemahaman masalah/soal 97 97 Perencanaan strategi penyelesaian soal 97 96 Pelaksanaan rencana strategi penyelesaian 88 89 Pengecekan jawaban 9 90 Pada siklus I tahapan yang masih rendah ketercapaian secara klasikal adalah pada tahapan keempat yaitu dalam memeriksa kembali. Hal ini menunjukkan sebagian besar siswa masih
622
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
belum mampu untuk memeriksa kembali hasil atau jawaban dari permasalahan yang ada, hal ini dikarenakan siswa masih belum terbiasa dan belum bisa bagaimana mengecek jawaban tersebut. Pada siklus II setelah siswa diingatkan untuk memerikssa atau mengecek jawaban maka semua tahapan pada metode polya telah dilakukan. 3. Dari penelitian yang dilakuakan diperoleh prosentase kemampuan siswa sebagai berikut: Kategori Pertemuan ke-1 (%) Pertemuan ke-2 (%) Sangat Baik 1 20 Baik 6 Cukup Baik 12 1 Kurang Baik 3 1 Kurang Sekali 1 Berdasarkan tabel di atas, dengan menerpakan metode polya untuk menyelesaiakan soal cerita pada pokok bahasan aritmatika soaial pada siswa kelalas VII Putra SMP YADIKA Bangil terdapat peningkatan kemampuan. 4. Berdasarkan angket yang diisi siswa ada 4 siswa yang merasa masih kesulitan dalam menyelesaikan soal cerita dan ada 2 siswa yang merasa belum faham dengan maksud soal yang diberikan. Namun sebagian besar siswa merasa lebih mudah dalam menyelesakan soal dengan Metode Polya. 5. Berdasarkan wawancara dengan perwakilan siswa siswa dengan kemampuan kurang menyampaikan sedikit terbantu menyelesaikan soal cerita dengan Metode Polya.
Rekomendasi Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka saran yang peneliti berikan adalah dalam melaksanakan pembelajaran matematika khususnya dalam menyelesaikan soal cerita diharapkan guru dapat menerapkan langkah-langkah polya di sekolah untuk melatih siswa agar sistematis serta untuk selalu mengingatkan dalam egecek kembali jawaban agar memiliki ketelitian dalam mengerjakan soal
Daftar Pustaka Arikunto, 2009. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi Aksara. Depdiknas, 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006 Mata Pelajaran Matematika. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. J.DROST, SJ. 2005. Dari KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) Sampai MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). Jakarta : PT. Kompas Nusantara. M. Dalyono. 1997. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Novia, Windi. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya : Kashiko Nurharini, Dewi. 2008. Matematika Konsep dan Aplikasinya Untuk SMP/MTs kelas VII. Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional. Polya G., 1957. How To Solve It. New Jersey (USA): Princeton University Press. Prastowo, Andi. 2012.Metode Penelitian Kualitaif dalam perspektif rancangan penelitian.Jogjakarata: AR-RUZZ MEDIA. Wagio, A dkk. 2008. Pegangan Belajar matematika 1 Untuk SMP/MTs kelas VII. Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional. Wintarti, Atik dkk. 2008. Contextual Teaching and Learning Matematika Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah kelas VII Edisi 4. Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
623
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
PENGARUH MODEL PROJECT BASED LEARNING PADA PEMBELAJARAN PENJASORKES TERHADAP KREATIVITAS SISWA (Studi pada Siswa Kelas VIII-A SMP Negeri 1 Plosoklaten Kabupaten Kediri) Hasan Saifuddin3 ([emailprotected]) Bayu Budi Prakoso ([emailprotected]) Abstract This researct aims to determine the effect the implementation of the model Project Based Learning (PPA) on Penjasorkes learning to students' creativity. The subjects were 38 students of class VIII SMP Negeri 1-A Plosoklaten Kediri is made up of 22 male students and 16 female students, aged between 13-15 years. By using the one-group pretestposttest design included in the experimental kind of weak. Students' creativity was measured with a questionnaire creativity adopted from Juliantine (2010) which explains that creativity is composed of two sub-variables: cognitive and affective. The research results can be explained that the level of creativity of students each component has increased after getting treatment in the form of the model PPA, namely: (1) Fluidity: 2.76%; (2) flexibility: 2.66%; (3) originality: 2.70%; (4) elaboration: 3.22%; (5) evaluation: 3.11%; (6) curiosity: 12.81%; (7) imaginative: 3.60%; (8) challenged by the plurality: 2.93%; (9) dare to take the risk: 8.48%; and (10) appreciate: 3.62%. The first five-component (1-5) prepare subcognitive variables increased by 2.89%. While the last five (6-10) prepare sub-affective variables increased by 4.97%. From the results of the analysis obtained an increase in the creativity of the students at 3.75%. The mean value of the creativity of the students during the pretest and posttest amounted to 181.21 at 188.00, is tested using t-test p value dependent generate> alpha (0.059> 0.05). Conclusions obtained was no effect on learning Penjasorkes PPA models to students' creativity. However, the provision of treatment in the form of the model PPA can increase the creativity of the students, especially the students' curiosity components Keywords: PBL models, PE, and creativity of students Abstrak Tujuan penelitia ini adalah untuk mengetahui pengaruh implementasi model Project Based Learning (PjBL) pada pembelajaran Penjasorkes terhadap kreativitas siswa. Subjek penelitian adalah 38 siswa kelas VIII-A SMP Negeri 1 Plosoklaten Kabupaten Kediri terdiri atas 22 siswa laki-laki dan 16 siswa perempuan, usia antara 13-15 tahun. Dengan menggunakan the one-group pretest-posttest design termasuk dalam jenis weak experimental. Kreativitas siswa diukur dengan angket kreativitas adopsi dari Juliantine (2010) terdiri dari dua sub-variabel yaitu: kognitif dan afektif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kreativitas siswa tiap komponen mengalami peningkatan setelah mendapatkan treatment berupa model PjBL yaitu: (1) fluiditas: 2,76%; (2) fleksibilitas: 2,66%; (3) orisinilitas: 2,70%; (4) elaborasi: 3,22%; (5) evaluasi: 3,11%; (6) rasa ingin tahu: 12,81%; (7) imajinatif: 3,60%; (8) tertantang oleh kemajemukan: 2,93%; (9) berani mengambil resiko: 8,48%; dan (10) menghargai: 3,62%. Lima komponen pertama (1-5) menyusun sub-variabel kognitif meningkat sebesar 2,89%. Sedangkan lima terakhir (6-10) menyusun sub-variabel afektif meningkat sebesar 4,97%. Dari hasil analisis tersebut didapat peningkatan kreativitas siswa sebesar 3,75%. Rerata nilai kreativitas siswa pada saat pretest sebesar 181,21 dan posttest sebesar 188,00, diuji menggunakan uji-t dependent
3
Mahasiswa S2 Pendidikan Olahraga, Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia
624
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
menghasilkan p value>alpha (0,059 > 0,05). Simpulan yang diperoleh adalah tidak ada pengaruh model PjBL pada pembelajaran Penjasorkes terhadap kreativitas siswa. Tetapi pemberian treatment berupa model PjBL dapat meningkatkan kreativitas siswa terutama pada komponen keingintahuan siswa. Kata Kunci: model PjBL, Penjasorkes, dan kreativitas siswa
Pendahuluan Banyak penafsiran pengertian kreativitas dalam psikologi tergantung dari mana mengambil makna kreatif itu sendiri. Menurut Beetlestone, (2012, hlm.132) kreativitas merupakan bentuk mengekspresikan gagasan-gagasan batin, perasaan dan emosi yang dituangkan anak-anak dalam bermain. Dengan berbagai macam bentuk permainan memberikan ruang lingkup kepada anak untuk mengembangkan keterampilan dan pemahaman. Menurut Supriadi (2001) dalam Mariyana (2008, hlm. 4) bahwa kreativitas merupakan kemampuan seseorang untuk melahirkan sesuatu yang baru, baik berupa gagasan maupun karya nyata, yang relatif berbeda dengan apa yang telah ada sebelumnya. Menurut Davis, (2012, hlm. 259) kreativitas merupakan pemikiran yang unik sebagai kemampuan untuk menciptakan. Menurut Hurlock (1978, hlm. 2-3) dijelaskan bahwa kreativitas dipandang sebagai kreasi sesuatu yang baru dan orisinil secara kebetulan, proses mental yang unik, tetapi kreatif juga mencakup jenis pemikiran spesifik, yang disebut Guilford “pemikiran berbeda” (divergent thinking). Menurut Rachmawati dan Kurniati (2010, hlm. 13) Kreativitas merupakan suatu proses mental individu yang melahirkan gagasan, proses, metode, atau produk baru yang efektif yang bersifat imajinatif, estetis, fleksibel, integrasi, suksesi, diskontinuitas, dan diferensiasi yang berdaya guna dalam berbagai bidang untuk pemecahan masalah. Berdasarkan penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kreativitas memberikan siswa kesenangan dan kepuasan diri yang sangat besar penghargaan yang mempunyai pengaruh, sebagai contoh tidak ada yang dapat memberi anak rasa puas yang lebih besar daripada menciptakan sesuatu sendiri dan tidak ada yang mengurangi harga dirinya daripada kritik atau ejekan terhadap kreasi itu atau pertanyaan apa sesungguhnya bentuk yang dibuatnya itu. Dalam proses belajar mengajar guru Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan (PJOK) di sekolah masih cenderung menggunakan model pembelajaran yang membatasi kebebasan siswa dalam berkreasi dan berativitas fisik. Padahal dalam proses pembelajaran kreatif memberikan siswa kebebasan untuk memilih dan menentukan materi yang dipelajari, termasuk bagaimana cara mempelajarinya, sehingga situasi kebebasan dapat tercipta dan para siswa akan mendapatkan penghargaan atas hasil usahanya dan diharapkan dapat membentuk kreativitas siswa. Sejalan dengan yang diungkapkan Munandar, (2009, hlm. 178-179) bahwa strategi mengajar dan cara mengajar yang dapat dilakukan guru yaitu: (1) memberikan umpan balik yang berarti dari pada evaluasi abstrak dan tidak jelas; (2) melibatkan siswa dalam menilai pekerjaan mereka sendiri dan belajar dari kesalah mereka; (3) Penekanannya hendaknya terhadap “apa yang telah dipelajari?” dan bukan pada “bagaimana kau melakukannya?”. Untuk itu, proses pembelajaran PJOK yang kreatif yaitu memberikan rangsangan belajar yang sesuai bagi siswa dengan kecerdasan yang dimiliki oleh setiap siswa karena hal ini menentukan masa depannya dalam memperoleh pengalaman gerak yang dialaminya. Pendekatan proses pembelajaran yang melibatkan seluruh ranah (sikap, emosi kognisi, dan psikomotor) sehingga muncul pemikiran kreatif. Menurut Mariyana (2008, hlm. 16-17) menjelaskan bahwa dengan menumbuhkan kreativitas siswa dapat meningkatkan perkembangan motorik siswa dengan
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
625
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
melalui gerak dalam bermain. Menurut Rachmawati dan Kurnanti,(2012, hlm. 61) kreativitas dapat dikembangankan melalui metode proyek yang bermanfaat yakni: (a) memberikan pengalaman kepada siswa dalam mengatur dan mendistribusikan kegiatan, (b) belajar bertanggung jawab terhadap pekerjaannya dalam hal pemecahan masalah yang dihadapi, (c) memupuk semangat gotong royong dan kerja sama di antara siswa yang terlibat, (d) memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan sikap dan kebiasaan dalam melakukan pekerjaan dengan cermat, (e) mampu mengeksplorasi bakat, minat dan kemampuan siswa, (f) memberikan peluang pada siswa dalam kemampuan dan keterampilan yang dimiliki yang akhirnya dapat mewujudkan daya kreativitas secara optimal. Betapa pentingnya kreativitas dalam PJOK yang ditekankan pada Permendikbud No. 65 Tahun 2013 tentang Standar Proses bahwa seluruh isi materi (topik dan subtopik) mata pelajaran yang diturunkan dari keterampilan harus mendorong siswa untuk melakukan proses pengamatan hingga penciptaan yang mendorong siswa menghasilkan karya kreatif. Kreativitas sangat penting bagi dunia pendidikan sebagai pemecahan masalah yang dihadapi siswa (Menurut Carson dan Becker, (2004, Vol. 82.1, hlm. 111). Menjadi kreatif memang penting artinya bagi seorang anak menambah bumbu dalam permainannya atau aktivitas geraknya. Dengan adanya kurikulum 2013, diharapkan dalam pembelajaran PJOK menuntut siswa lebih aktif, yang diwujudkan dari menanya, mengobservasi, berdiskusi, mengadakan percobaan atau latihan, menampilkan hasil belajar/ melaporkan/ pemahaman/ keterampilan. Salah satu model pembelajaran yang menunjang siswa lebih aktif dan bernuansa pembelajaran saintifik yaitu Problem Based Learning (PBL), Discovery Learning, Inquiry learning dan Project Based Learning (PjBL) (Kemdikbud, 2013 hlm. 21-33). Sedangkan dalam kurikulum 2013 menyarankan dalam pendekatan pembelajaran yang menghasilkan karya berbasis pemecahan masalah menggunakan project based learning.
Landasan Teori Model Project Based Learning Model pembelajaran berbasis proyek (project based learning) adalah sebuah model pembelajaran yang menggunakan proyek (kegiatan) sebagai inti pembelajaran (Kemdikbud, 2013 hlm.12). Dalam kegiatan ini, siswa melakukan eksplorasi, penilaian, interpretasi, dan sintesis informasi untuk memperoleh berbagai hasil belajar (pengetahuan, keterampilan, dan sikap). pembelajaran PJOK melalui model project based learning ini penilain bukan tertuju hanya dari hasil produk akhir yang di hasilkan siswa saja melainkan hasil dari keseluruhan proses belajar mengajar (PBM) di lapangan yang meliputi ranah psikomotor, kognitif dan afektif. Menurut Blumenfeld et al., (1991) dalam Stefanou, Dkk (2013, hlm 5) mengatakan bahwa terdapat dua komponen penting dalam proyek yaitu: (1) memerlukan pertanyaan atau masalah yang diterima untuk dikelola atau digunakan untuk menentukan kegiatan; (2) hasil kegiatan berupa produk, pada akhirnya produk akhir tersebut bisa sesuai untuk memecahkan masalah. Menurut Gubacs (2004, hlm. 1-6) menjelaskan bahwa proyek yang melibatkan multimedia dalam pembelajaran PJOK adalah media pembelajaran berupa video siswa melakukan aktivitas gerak. Menurut Pusparagen (2014, hlm. 60) bahwa produk yang dihasilkan dalam pelaksanaan model PjBL adalah rangkaian latihan keterampilan lempar tangkap dalam materi bola kecil. Menurut Sinclair (2002, hlm. 1-5) proyek yang melibatkan multimedia dalam
626
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
pembelajaran PJOK adalah media pembelajaran berupa presentasi powerpoint tentang teknik dasar tenis. Thompson dan Beak (2007, hlm. 1-14) menjelaskan bahwa PjBL memiliki potensi yang sangat besar dalam upaya membelajarkan siswa aktif terlibat dan meningkatkan belajar siswa. Untuk itu, dalam pembelajaran PjBL disini menekankan membuat media gambar sebagai proyek yang akan dikembangkan oleh siswa sebagai alat pembelajaran PJOK. Untuk itu, dapat digambarkan konsep pelaksanaan pembelajaran berbasis proyek sebagai berikut:
Gambar 1: Konsep Pelaksanaan Pembelajaran PjBL Berdasarkan gambar 1 di atas, konsep pelaksanaan pembelajaran PjBL diawali dengan memberikan rangsangan berupa masalah kepada siswa berdasarkan hasil belajar siswa yang perlu ditingkatkan sebagai data awal penentuan proyek yang akan diberikan. Proyek yang dimaksudkan adalah membuat media gambar teknik dasar sepakbola. Pembuatan media gambar dilakukan di luar kelas secara berkelompok. Tujuan pembuatan proyek dikerjakan secara berkelompok adalah agar siswa dapat melakukan kerjasama dan saling membantu untuk membuat dan menyelesaikan proyek. Hasil proyek akan dipresentasikan saat pembelajaran berikutnya berlangsung. Dari presentasi tersebut hasil proyek akan dinilai oleh siswa dan guru. Hasil penilaian dijadikan sebagai bahan evaluasi untuk perbaikan proyek selanjutnya. Dalam proses membuat proyek, diwajibkan bagi seluruh kelompok mengambil sumber dari buku atau internet. Hal ini dilakukan untuk memaksa siswa untuk terbiasa melakukan sesuatu atas dasar yang jelas. Selain itu, siswa akan dipaksa untuk membaca sumber informasi selain dari guru. Dengan begitu diharapkan minat baca siswa menjadi meningkat sehingga pengetahuan siswa semakin tinggi.
Konsep Dasar Pengembangan Kreativitas Kreativitas memberikan anak-anak kesenangan dan kepuasan diri yang sangat besar penghargaan yang mempunyai pengaruh, sebagai contoh tidak ada yang dapat memberi anak rasa puas yang lebih besar daripada menciptakan sesuatu sendiri dan tidak ada yang mengurangi harga dirinya daripada kritik atau ejekan terhadap kreasi itu atau pertanyaan apa sesungguhnya bentuk yang dibuatnya itu. Menjadi kreatif memang penting artinya bagi seorang anak menambah bumbu dalam permainannya atau aktivitas geraknya. Dan pada hal ini yang lebih penting adalah sumbangan kepemimpinan. Pada setiap tingkatan usia anak jika hal ini di abaikan maka akan menjadi sumber ego yang besar. Sumbangan sesuatu dari pemimpin pada
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
627
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
kelompok atau bagian dari kelompok yang berupa bentuk usulan bagi kegiatan bermain yang baru dan berbeda (Hurlock,1978, hlm. 6). Terdapat dua indikator berpikir kreatif yaitu dimensi kognitif dan afektif. Menurut Torrance dalam Davis, (2012, hlm. 259) indikator berpikir kreatif dalam dimensi kognitif sebagai berikut yaitu: 1. Fluency (kelancaran) yaitu kemampuan untuk menghasilkan banyak ide dalam memecahkan masalah. 2. Flexibility (keluwesan) yaitu kemampuan untuk menghasilkan berbagai macam ide guna memecahkan suatu masalah di luar kategori yang biasa. 3. Originality (keaslian) yaitu kemampuan memberikan respons yang unik, ketidaksamaan dalam pemikiran dan tindakan. 4. Elaboration (keterperincian) yaitu kemampuan untuk mengembangkan, memperhalus, menyempurnakan, atau bahkan menerapkan ide. 5. Evaluasi (penilaian) yaitu kemampuan penting untuk berpikir kritis, untuk memisahkan hal yang relevan dari yang tidak relevan untuk mengevaluasi kebaikan atau kesesuaian dari suatu ide, produk, atau solusi. Sedangkan indikator berpikir kreatif dalam dimensi afektif menurut Rachmawati dan Kurniati, (2012, 38-45) sebagai berikut: 1. Rasa ingin tahu: anak akan antusias dengan benda-benda atau makhluk yang baru pertama kali dilihatnya. Dengan rasa ingin tahunya anak kadang tidak peduli akan kotor, basah, panas ataupun rasa sakit. Dari rasa ingin tahu inilah banyak informasi didapat oleh anak. 2. Imajinatif: dunia khayal merupakan dunia yang identik dengan anak. Dengan kekayaan khayalan ini segala sesuatu menjadi mungkin bagi seorang anak dan tidak ada yang mustahil. 3. Tertantang dengan fluralitas: anak merasakan berkewajiban karena mendapat tantangan dalam melakukan hal baru yang belum pernah dilakukannya. 4. Mengambil resiko: anak akan berani mengambil keputusan untuk mengetahui dampak keputusan yang telah diambil sebagai penentuan proyek. 5. Menghargai: dengan sifat menghargai hasil karya yang dibuat membuatnya. Sebagai motivasi bagi anak untuk terus mengekspresikan diri dan berkembang dengan optimal. Dengan menerapkan model pembelajaran yang mengembangkan kreativitas maka akan membantu siswa untuk belajar. Meningkatkan hasil belajar dan keaktifan siswa mengikuti pembelajaran.
Metode Penelitian Penelitian ini termasuk dalam jenis weak experimental menggunakan the one-group pretest-posttest design. Kreativitas siswa sebagai variabel terikat diukur pada saat pretest dan posttest. Sedangkan diantara pengukuran variabel terikat tersebut siswa mendapatkan pembelajaran Penjasorkes oleh guru menggunakan model project based learning sebagai variabel bebas atau treatment penelitian. Siswa mendapatkan treatment sebanyak tiga kali tatap muka termasuk pertemuan awal sebagai persiapan membuat proyek. Setiap tatap muka dilakukan sebanyak satu kali seminggu selama 2 x 40 menit. Sehingga lama penelitian yaitu dua minggu dimulai tanggal 24 Februari – 10 Maret 2015. Siswa yang terlibat dalam penelitian ini adalah 38 siswa (22 pa dan 16 pi) kelas VIII-A SMP Negeri 1 Plosoklaten kabupaten Kediri, usia antara 13-15 tahun. Pemilihan sampel dilakukan dengan teknik purposive sampling yaitu pemilihan sampel berdasarkan tujuan
628
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
penelitian (Fraenkel dan Wallen, 2009), yaitu siswa yang menerima pembelajaran menggunakan model PjBL. Pengukuran kreativitas siswa menggunakan angket kreativitas. Angket diadopsi dari Juliantine (2010) yang menjelaskan bahwa kreativitas disusun dari dua sub-variabel yaitu: kognitif dan afektif. Sub-variabel kognitif terdiri atas lima komponen yaitu: fluiditas, fleksibilitas, orisinilitas, elaborasi, dan evaluasi. Sedangkan sub-variabel afektif terdiri atas lima komponen yaitu: rasa ingin tahu, imajinatif, tertantang oleh kemajemukan, berani mengambil resiko, dan menghargai. Untuk menjamin kualitas data maka angket kreativitas diujicobakan agar diketahui validitas dan reliabilitas angket. Ujicoba dilakukan pada 39 siswa (21 pa dan 18 pi) kelas VIII-B SMP Negeri 1 Plosoklaten pada hari selasa, 17 Februari 2015. Hasil analisis ujicoba angket dapat dilihat pada tabel 1 sebagai berikut: Tabel 1: Hasil Ujicoba Angket Kreativitas Alpha Validitas Komponen Jumlah Item Reliabilitas r hitung Cronbach’s Konstruk Reliabel Valid 1 5 0,661 0,568 Reliabel Valid 2 5 0,607 0,528 Reliabel Valid 3 8 0,591 0,636 Reliabel Valid 4 6 0,533 0,357 Reliabel Valid 5 5 0,648 0,636 Reliabel Valid 6 3 0,904 0,627 Reliabel Valid 7 6 0,724 0,795 Reliabel Valid 8 9 0,509 0,671 Reliabel Valid 9 8 0,529 0,633 Reliabel Valid 10 6 0,767 0,553 Keterangan: reliabel jika alpha > 0,50 (Safrit dalam Maksum, 2012); Valid jika r > 0,316 Berdasarkan tabel 1 di atas maka dapat dijelaskan bahwa setiap komponen memiliki validitas dan reliabilitas yang memenuhi syarat. Jumlah seluruh item angket kreativitas adalah 61, dari hasil ujicoba didapat nilai reliabilitas total sebesar 0,983 dinyatakan reliabel. Sehingga angket kreativitas yang digunakan sudah layak untuk digunakan mengumpulkan data penelitian. Tahapan analisis data dimulai dari deskriptif kuantitatif, uji normalitas menggunakan kolmogorov-smirnov Z, dan uji beda rata-rata menggunakan uji-t dependent. Taraf signifikansi yang digunakan sebesar 0,05.
Hasil Penelitian Hasil penelitian berisi tentang deskripsi data kreativitas siswa yang terdiri dari dua subvariabel yaitu: kognitif dan afektif. Sub-variabel kognitif terdiri atas lima komponen yaitu: fluiditas, fleksibilitas, orisinilitas, elaborasi, dan evaluasi. Sedangkan sub-variabel afektif terdiri atas lima komponen yaitu: rasa ingin tahu, imajinatif, tertantang oleh kemajemukan, berani mengambil resiko, dan menghargai. Hasil analisis kreativitas siswa berdasarkan kategori setiap komponen kreativitas dapat dijelaskan pada tabel 2 sebagai berikut:
Tabel 2: Distribusi Frekuensi Berdasarkan Kategori Komponen Kreativitas Siswa SubVariabel
Komponen
Kategori 1
2
3
4
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Jumlah
629
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
SubVariabel
1. Fluiditas (kelancaran)
Pretest Posttest
2. Fleksibilitas (keluwesan)
Pretest Posttest
3. Orisinalitas (keaslian)
Pretest
Kognitif Posttest 4. Elaborasi (kerincian)
Pretest Posttest
5. Evaluasi (penilaian)
Pretest Posttest
6. Rasa ingin tahu
Pretest Posttest
7. Imajinatif Pretest Posttest
Afektif
8. Tertantang oleh kemajemuka n 9. Berani mengambil resiko
Pretest Posttest Pretest Posttest
10. Mengharga i
Pretest Posttest
630
Kategori
Komponen
Jumlah
1
2
3
4
F
23
15
38
%
0,00
0,00
60,53
39,47
100
F
16
22
38
%
0,00
0,00
42,11
57,89
100
F
6
27
5
38
%
0,00
15,79
71,05
13,16
100
F
7
23
8
38
%
0,00
18,42
60,53
21,05
100
F
10
23
5
38
%
0,00
26,32
60,53
13,16
100
F
6
27
5
38
%
0,00
15,79
71,05
13,16
100
F
17
21
38
%
0,00
0,00
44,74
55,26
100
F
12
26
38
%
0,00
0,00
31,58
68,42
100
F
8
28
2
38
%
0,00
21,05
73,68
5,26
100
F
10
25
3
38
%
0,00
26,32
65,79
7,89
100
F
30
7
1
38
%
78,95
18,42
2,63
0,00
100
F
24
12
2
38
%
63,16
31,58
5,26
0,00
100
F
5
29
4
38
%
13,16
76,32
10,53
0,00
100
F
9
21
8
38
%
23,68
55,26
21,05
0,00
100
F
19
19
38
%
0,00
50,00
50,00
0,00
100
F
20
15
3
38
%
0,00
52,63
39,47
7,89
100
F
28
9
1
38
%
73,68
23,68
2,63
0,00
100
F
24
14
38
%
63,16
36,84
0,00
0,00
100
F
21
16
1
38
%
55,26
42,11
2,63
0,00
100
F
19
16
3
38
%
50,00
42,11
7,89
0,00
100
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Keterangan: Kategori 1= Kurang Sekali; 2= Kurang; 3= Baik; 4= Baik Sekali.
Berdasarkan tabel 2 di atas maka dapat dilihat bahwa pada sub-variabel kognitif tidak ada siswa yang masuk kategori kurang sekali saat pretest maupun posttest. Sebaran siswa pada subvariabel kognitif cenderung berada pada kategori baik dan baik sekali. Sayangnya masih ada siswa yang masuk dalam kategori kurang yaitu dalam komponen kedua fleksibilitas saat pretest sebanyak 6 siswa (15,79%) saat posttest naik menjadi 7 siswa (18,42%), komponen ketiga orisinilitas saat pretest sebanyak 10 siswa (26,32%) saat posttest menurun menjadi 6 siswa (15,79%), dan pada komponen kelima evaluasi saat pretest sebanyak 8 siswa (21,05%) saat posttest naik menjadi 10 siswa (26,32%). Berbeda dengan sub-variabel kognitif, pada subvariabel afektif sebaran siswa malah cenderung berada pada kategori kurang dan kurang sekali. Akan tetapi pada komponen kedelapan tertantang oleh kemajemukan dari tidak ada siswa yang masuk kategori baik sekali saat pretest saat posttest terdapat 3 siswa (7,89%) yang masuk dalam kategori baik sekali. Sedangkan pada kategori baik pada komponen keenam rasa ingin tahu saat pretest sebanyak 1 siswa (2,63%) saat posttest naik menjadi 2 siswa (5,26%), komponen ketujuh imajinatif saat pretest sebanyak 4 siswa (10,53%) saat posttest naik menjadi 8 siswa (21,05%), komponen kedelapan tertantang oleh kemajemukan saat pretest sebanyak 19 siswa (50,00%) saat posttest turun menjadi 15 siswa (39,47%), komponen kesembilan berani mengambil resiko saat pretest sebanyak 1 siswa (2,63%) dan 0 siswa saat posttest, dan komponen kesepuluh menghargai saat pretest sebanyak 1 siswa (2,63%) saat posttest sebanyak 3 siswa (7,89%). Tabel 3: Distribusi Frekuensi Berdasarkan Kategori Sub-Variabel dan Variabel Kreativitas Siswa Kategori Variabel Jumlah 1 2 3 4 F 0 0 33 5 38 Pretest % 0,00 0,00 86,84 13,16 100,00 SubKognitif F 0 0 31 7 38 Posttest % 0,00 0,00 81,58 18,42 100,00 F 5 32 1 0 38 Pretest % 13,16 84,21 2,63 0,00 100,00 Sub-Afektif F 6 29 3 0 38 Posttest % 15,79 76,32 7,89 0,00 100,00 F 0 23 15 0 38 Pretest % 0,00 60,53 39,47 0,00 100,00 Variabel: Kreativitas F 0 18 20 0 38 Posttest % 0,00 47,37 52,63 0,00 100,00 Keterangan: Kategori 1= Kurang Sekali; 2= Kurang; 3= Baik; 4= Baik Sekali Berdasarkan tabel 3 di atas maka dapat dijelaskan bahwa pada sub-variabel kognitif tidak ada siswa yang masuk kategori kurang sekali dan kurang. Pada kategori baik saat pretest terdapat sebanyak 33 siswa (86,84%) saat posttest turun menjadi 31 siswa (81,58%), pada kategori baik sekali saat pretest terdapat sebanyak 5 siswa (13,61%) saat posttest naik menjadi 7 siswa (18,42%). Pada sub-variabel afektif sebaran siswa cenderung masuk pada kategori kurang dan kurang sekali. Tidak ada siswa yang masuk dalam kategori baik sekali, pada kategori baik
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
631
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
saat pretest terdapat sebanyak 1 siswa (2,63%) saat posttest naik menjadi 3 siswa (7,89%), pada kategori kurang saat pretest terdapat sebanyak 32 siswa (84,21%) saat posttest turun menjadi 29 siswa (76,32%), pada kategori kurang sekali saat pretest terdapat sebanyak 5 siswa (13,16%) saat posttest naik menjadi 6 siswa (15,79%). Dari dua sub-variabel tersebut maka didapat nilai kreativitas siswa secara keseluruhan. Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak ada siswa yang memiliki kategori kreativitas pada tingkat kurang sekali dan baik sekali. Pada kategori kurang saat pretest terdapat sebanyak 23 siswa (60,53%) saat posttest turun menjadi 18 siswa (47,37%), pada kategori baik terdapat sebanyak 15 siswa (39,47%) saat posttest naik menjadi 20 siswa (52,63%). Setelah mengetahui sebaran siswa berdasarkan kategori komponen, sub-variabel, dan kreativitas keseluruhan di atas maka selanjutnya dihitung peningkatan nilai kreativitas siswa tiap komponen, sub-variabel, dan kreativitas keseluruhan. Penghitungan dilakukan menurut statistik deskriptif dengan rumus mean, standar deviasi, selisih dan peningkatan nilai kreativitas berdasarkan 10 komponen dari data pretest dan posttest. Hasil penghitungan dapat dilihat pada tabel 4 sebagai berikut: Tabel 4: Mean, SD, Selisih, dan Peningkatan Nilai Kreativitas Siswa Saat Pretest dan Posttest Komponen Deskripsi Pretest Posttest Selisih Peningkatan 1.Fluiditas (kelancaran) 2.Fleksibilitas (keluwesan) 3.Orisinalitas (keaslian) 4.Elaborasi (kerincian) 5.Evaluasi (penilaian) Sub-variabel: Kognitif 6.Rasa ingin tahu 7.Imajinatif 8.Tertantang oleh kemajemukan 9.Berani mengambil resiko 10.
Menghargai
Sub-variabel: Afektif Variabel: Kreativitas
632
Mean SD Mean SD Mean SD Mean SD Mean SD Mean SD Mean SD Mean SD Mean SD Mean SD Mean SD Mean SD Mean
20,05 2,09 17,79 2,34 27,32 4,20 24,53 2,42 16,92 2,34 106,61 9,12 5,34 1,96 15,37 3,01 26,97 2,76 14,58 4,08 12,34 2,95 74,61 11,04 181,21
20,61 1,99 18,26 2,54 28,05 3,75 25,32 2,38 17,45 2,65 109,68 8,52 6,03 1,91 15,92 4,04 27,76 4,81 15,82 4,19 12,79 3,66 78,32 13,03 188,00
0,55 -0,10 0,47 0,21 0,74 -0,46 0,79 -0,04 0,53 0,31 3,08 -0,60 0,68 -0,05 0,55 1,03 0,79 2,05 1,24 0,11 0,45 0,71 3,71 1,99 6,79
2,76% 2,66% 2,70% 3,22% 3,11% 2,89% 12,81% 3,60% 2,93% 8,48% 3,62% 4,97% 3,75%
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Komponen
Deskripsi
Pretest
Posttest
Selisih
Peningkatan
SD 11,55 16,13 4,58 Catatan: Mean: Nilai rerata; SD: Standar Deviasi; Selisih: Hasil pengurangan nilai posttest dan pretest; Peningkatan: perbandingan antara nilai rerata deviasi dan pretest dikalikan 100% Tabel 4 di atas menjelaskan keadaan kreativitas siswa dari sebelum siswa mendapatkan treatment model PjBL (pretest) sampai setelah mendapatkan treatment (posttest). Berdasarkan hasil analisis deskriptif di atas dapat dilihat bahwa komponen keenam rasa ingin tahu menjadi komponen yang paling tinggi peningkatannya yaitu sebesar 12,81%. Hal ini membuktikan bahwa dengan menggunakan model PjBL membuat siswa penasaran dengan materi ajar. Dengan kondisi yang seperti ini diharapkan siswa mencari sumber-sumber belajar lain untuk dapat didiskusikan dalam setiap pertemuan. Sehingga pertemuan akan bernuansa saintifik yang banyak diwarnai dengan tanya-jawab antara siswa-guru atau siswa-siswa. Kreativitas disusun oleh dua sub-variabel yaitu kognitif dan afektif. Berdasarkan hasil analisis di atas dapat dilihat bahwa sub-variabel afektif meningkat lebih tinggi dibandingkan dengan sub-variabel kognitif. Sub-variabel kognitif meningkat sebesar 2,89% sedangkan subvariabel afektif meningkat sebesar 4,97%. Dari peningkatan tersebut mengakibatkan kreativitas siswa meningkat sebesar 3,75%. Adanya peningkatan pada setiap komponen yang diikuti oleh sub-variabel dan akhirnya kreativitas siswa diketahui meningkat maka selanjutnya hendak diketahui kebermaknaan peningkatan yang yang terjadi pada tiap komponen, sub-variabel, dan kreativitas. Sesuai dengan jenis datanya maka uji kebermaknaan menggunakan analisis statistik parametrik. Sebelum uji kebermaknaan dilakukan syarat uji parametrik adalah data berdistribusi normal. Untuk itu, dilakukan uji normalitas pada setiap distribusi data menggunakan Kolmogorov-Smirnov Z. Hasil uji dapat dilihat pada tabel 5 sebagai berikut: Tabel 5: Hasil Uji Normalitas Distribusi Data Menggunakan Kolmogorov-Smirnov Z KolmogorovDistribusi Data p value Keterangan Smirnov Z Fluiditas (kelancaran) Pretest 1,187 0,119 Normal Posttest 0,97 0,303 Normal Fleksibilitas (keluwesan) Pretest 0,914 0,373 Normal Posttest 0,903 0,389 Normal Orisinalitas (keaslian) Pretest 1,062 0,21 Normal Posttest 0,614 0,845 Normal Elaborasi (kerincian) Pretest 0,802 0,541 Normal Posttest 0,811 0,527 Normal Evaluasi (penilaian) Pretest 0,841 0,479 Normal Posttest 0,877 0,425 Normal Sub-Variabel-Kognitif Pretest 0,867 0,44 Normal Posttest 0,66 0,776 Normal Rasa ingin tahu Pretest 0,975 0,297 Normal Posttest 1,102 0,176 Normal Imajinatif Pretest 0,835 0,488 Normal Posttest 0,974 0,299 Normal
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
633
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Kolmogorovp value Keterangan Smirnov Z Tertantang oleh kemajemukan Pretest 0,895 0,399 Normal Posttest 1,177 0,125 Normal Berani mengambil resiko Pretest 0,644 0,801 Normal Posttest 1,195 0,115 Normal Menghargai Pretest 0,866 0,441 Normal Posttest 0,629 0,824 Normal Sub-variabel: afektif Pretest 0,598 0,867 Normal Posttest 0,638 0,811 Normal Kreativitas Pretest 0,749 0,629 Normal Posttest 0,588 0,88 Normal Catatan: Distribusi dinyatakan normal apabila nilai p value >alpha, besar alpha= 0,05. Distribusi Data
Berdasarkan uji normalitas yang dilakukan menggunakan Kolmogorov-Smirnov dengan menggunakan IBM SPSS V. 20.0 dapat diketahui bahwa seluruh distribusi data adalah normal. Untuk itu, uji parametrik dapat dilanjutkan. Untuk menguji kebermaknaan peningkatan kreativitas siswa maka digunakan paired samples t-test menggunakan aplikasi IBM SPSS V. 20.0. Kebermaknaan peningkatan akan diuji dengan cara membandingkan nilai mean dari hasil posttest dengan pretest. Hasil uji dapat dilihat pada tabel 6 sebagai berikut: Tabel 6: Hasil Uji Beda Rata-rata Nilai Kreativitas Siswa Saat Pretest dan Posttest Keterangan Paired Samples Test t df p value Pair 1 Post Kelancaran – Pre Kelancaran 1,125 37 0,268 Tidak sig. Pair 2 Post Keluwesan – Pre Keluwesan 0,809 37 0,423 Tidak sig. Pair 3 Post Orisinalitas – Pre Orisinalitas 0,779 37 0,441 Tidak sig. Pair 4 Post Elaborasi – Pre Elaborasi 1,362 37 0,181 Tidak sig. Pair 5 Post Evaluasi – Pre Evaluasi 0,944 37 0,352 Tidak sig. Post Sub-variabel: Kognitif - Pre SubPair 6 1,351 37 0,185 Tidak sig. variabel: Kognitif Pair 7 Post Rasa ingin tahu – Pre Rasa ingin tahu 1,648 37 0,108 Tidak sig. Pair 8 Post Imajinatif – Pre Imajinatif 0,619 37 0,539 Tidak sig. Post Tertantang oleh kemajemukan – Pre Pair 9 0,906 37 0,371 Tidak sig. Tertantang oleh kemajemukan Post Berani mengambil resiko – Pre Pair 10 1,274 37 0,211 Tidak sig. Berani mengambil resiko Pair 11 Post Menghargai – Pre Menghargai 0,643 37 0,524 Tidak sig. Post Sub-variabel: Afektif - Pre SubPair 12 1,309 37 0,199 Tidak sig. variabel: Afektif Post Variabel: Kreativitas - Pre Variabel: Pair 13 1,949 37 0,059 Tidak sig. Kreativitas Catatan: ada beda yang signifikan apabila p value alpha (0,059 > 0,05) sehingga Ha ditolak terima H0. Hal ini diikuti dengan hasil uji signifikansi di seluruh komponen dan sub-variabel.
Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada pengaruh model PjBL pada pembelajaran Penjasorkes terhadap kreativitas siswa. Akan tetapi
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
635
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
pemberian treatment berupa model PjBL dapat meningkatkan seluruh komponen, sub-variabel, dan kreativitas siswa terutama pada komponen keingintahuan siswa sebesar 12,81%. Untuk itu, sesuai dengan rencana pemerintah dalam menyongsong diberlakukanya kembali K-13 guru dapat mulai mencoba menggunakan model PjBL guna membiasakan siswa meningkatkan rasa ingin tahu mereka sehingga siswa senantiasa mencari tahu dari berbagai sumber informasi. Dengan begitu kegiatan belajar mandiri siswa dapat terlaksana. Akhirnya, kemandirian belajar siswa dapat tercapai.
Daftar Pustaka Beetlestone, Florence. (2012). Creative Learning: Strategi Pembelajaran Untuk Melesatkan Kreativitas Siswa. Terjemahkan. Bandung. Nusa Media. Carson, Davis K & Becker, Kent W (2004). When Lightning Strikes: Reexamining Creativity in Psychotherapy. Journal of Counseling and Development : JCD; Winter 2004; 82, 1; ProQuest Nursing & Allied Health Source pg. 111. Tersedia: http://search.proquest.com/ docview/219026951/fulltextPDF/D8153C26372A440CPQ-/13?accountid=38628. [Diakses 15 Januari 2015] Cheng, Chil-Yun; Chou, Chien-Chin; and Huang, Hui-Ching. The Influence of the Intervention of a Children's Movement Skill. ProQuest. Tersedia: http://search.proquest.com/docview/218503828/fulltextPDF/246DCE3EAB8F4C2FPQ/1 ?accountid=38628. Diakses [15 Januari 2015]. Davis, Garry A. (2012).Anak Berbakat Dan Pendidikan Keterbakatan. Terjemahan. Jakarta. PT. Indeks Permata Puri Media. Gubacs, Klara. (2004). Project-Based Learning: A Student-Centered Approach to Integrating Technology into Physical Education Teacher Education. (Jurnal ProQuest online) diunduh dari http://e-resources.pnri.go.id:2056/docview/215758224/fulltextPDF/6FA8F5584318410APQ/16?accountid=25704. Diakses [29 Agustus 2014]. Hurlock, Elizabeth B. (1978). Perkembangan Anak.(Terjemahan). Jakarta. Penerbit ERLANGGA. Dicetak PT. Gelora Aksara Pratama. Juliantine, Tine. (2010). Model Pembelajaran Inkuiri Dalam Pendidikan Jasmani Untuk
Mengembangkan Kreativitas Siswa Sekolah Dasar. Disertasi Pendidikan Olahraga (S3). Universitas Pendidikan Indonesia. Kemdikbud, (2013). Kurikulum 2013: Pedoman Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Kemdikbud, (2013).Kurikulum 2013: Pedoman Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Mariyana, Rita. (2008). Pembelajaran Kreativitas Untuk Anak Usia Dini. Tersedia:https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&cad =rja&uact=8&ved=0CCUQFjAB&url=http%3A%2F%2Ffile.upi.edu%2FDirektori%2FF IP%2FJUR._PGTK%2F197803082001122RITA_MARIYANA%2FMODUL_KREATI VITAS_AUD.pdf&ei=0yK5VInCKtfmuQT_p4GACQ&usg=AFQjCNE5DwbFAArpZ_ A9NAWKx2jp9rCePQ&sig2=YiSd0wyFSKtKTLU5iUjL9A. [Diakses 15 Januari 2015]. Munandar, Utami. (2009). Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta. Rineka Cipta. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor.65 tahun 2013 tentang Standar Proses. Pusparagen, Yusnita. (2014). Skenario Pembelajaran Berbasis Proyek Pendidikan Jasmani. Best Practices Implementasi Model Pendekatan Scientific dalam Pembelajaran Penjas Jumat – Sabtu, 19-20 September 2014 Auditorium SPs UPI dan Sport Hall UPI. Rachmawati,Yeni dan Kurnanti,Euis. (2012). Strategi Pengembangan Kreativitas pada Anak Usia Taman Kanak-Kanak.Jakarta. Kencana Predana Media Group. Sinclair, Christina. (2002). A Technology Project in Physical Education. ProQuest. Tersedia: http://e-resources.pnri.go.id: 2056/docview/ 215761672/fulltextPDF/6FA8F5584318410APQ/5?accountid=25704. Diakses [29 Agustus 2014]. 636
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Stefanou, C., Stolk, J.D., Prince, M., Chen, J.C., dan Lord, S.M. (2013). Self-regulation and Autonomy in Problem- and Project-Based Learning Environments. Jurnal Sage Online. Tersedia:Error! Hyperlink reference not valid.. Diakses [9 September 2014]. Thompson, Karen J; Beak, Joel. (2007). The Leadership Book: Enhancing The Theory-Practice Connection Through Project-Based Learning. ProQuest. Tersedia: http://eresources.pnri.go.id:2056/docview/195713839/ fulltextPDF/3BE4B5654F54850PQ/13?accountid=25704. Diakses [25 September 2014].
Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Gerak Dasar Lompat Jauh Dengan Menggunakan Alat Bantu Tradisional Nur Ahmad Muharram ([emailprotected]) Ardhi Mardiyanto Abstract The purpose of this research is to improve learning outcomes basic motion long jump through the use of teaching aids in class V SD Negeri Wonokerso 3 2013/2014 school year. This study uses a Class Action Research (CAR). The subjects were students of class V SD SD Negeri Wonokerso 3 2013/2014 amounting to 24 students consisting of 9 boys and 15 students daughter. The primary data source, such as lesson plans, learning outcomes and learning processes. Secondary data and documents syllabus Elementary School fifth grade Wonokerso 3. Data collection technique is by observation, interviews, questionnaires and documentation or records. To ensure the validity of the data is then used to check the validity of the data that is the content validity and triangulation techniques. The data analysis technique used is descriptive quantitative. The steps in the procedure PTK implementation is carried out in a participatory or collaborative (teachers, lecturers and other teams). The results showed that by using a learning tool to improve learning outcomes basic motion long jump squat style of pre-cycle to the first cycle and from the first cycle to the second cycle. Learning outcomes in the long jump squat style pre cycles in complete category is 33.3% or 8 students, at the end of the first cycle after a given learning basic movement techniques long jump squat style using the tool bar and cardboard increased to 58.3% or 14 students , then returned after a given action increased in the second cycle to 83.4% or 20 students with more emphasis memperanyak students the opportunity to do a long jump movement as a whole. The conclusions of this study is the use of teaching aids to improve learning outcomes basic motion long jump in class V SD SD Negeri Wonokerso 3 2013/2014 school year. Keywords: learning aids, long jump squat style Abstrak Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan hasil belajar gerak dasar lompat jauh melalui penggunaan alat bantu pembelajaran pada siswa kelas V SD NEGERI Wonokerso 3 tahun pelajaran 2013/2014. Penelitian ini menggunakan metode Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Subjek penelitian adalah siswa kelas V SD NEGERI Wonokerso 3 yang berjumlah 24 siswa yang terdiri dari 9 siswa putra dan 15 siswa putri. Sumber data primer, berupa RPP, hasil belajar dan proses pembelajaran. Data sekunder berupa silabus dan dokumen kelas V SD Negeri Wonokerso 3. Teknik pengumpulan data adalah dengan observasi, wawancara, angket dan dokumentasi atau arsip. Untuk menjamin validitas data maka yang digunakan untuk memeriksa validitas data yaitu dengan validitas isi dan teknik trianggulasi. Teknik analisis data yang digunakan adalah deskriptif kuantitatif. Penelitian dilakukan secara partisipatif atau kolaboratif (guru, dosen dengan tim lainnya). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan menggunakan alat bantu pembelajaran dapat meningkatkan hasil belajar gerak dasar lompat jauh gaya jongkok dari pra siklus ke siklus I dan dari siklus I ke siklus II. Hasil belajar lompat jauh gaya jongkok pada pra siklus dalam kategori tuntas adalah 33,3% atau 8 siswa, pada akhir siklus I setelah diberikan pembelajaran teknik gerak
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
637
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
dasar lompat jauh gaya jongkok menggunakan alat bantu bilah dan kardus meningkat menjadi 58,3% atau 14 siswa, kemudian kembali terjadi peningkatan setelah diberikan tindakan pada siklus II menjadi 83,4% atau 20 siswa dengan lebih menekankan memperanyak kesempatan siswa dalam melakukan gerakan lompat jauh secara keseluruhan. Simpulan penelitian ini adalah penggunakan alat bantu pembelajaran dapat meningkatkan hasil belajar gerak dasar lompat jauh pada siswa kelas V SD NEGERI Wonokerso 3 tahun pelajaran 2013/2014. Kata Kunci: Alat bantu pembelajaran, lompat jauh gaya jongkok
Pendahuluan Pendidikan di Indonesia merupakan salah satu masalah yang menjadi sorotan dari berbagai pihak baik dari masyarakat, departemen pendidikan dan kebudayaan maupun departemen lainnya. Pengembangan aspek jasmani anak dapat ditunjang melalui beberapa kegiatan antara lain melalui kegiatan olahraga. Melalui olahraga akan dapat ditingkatkan kekuatan ketrampilan kerja, kesegaran jasmani, dan pembentukan kepribadian yang baik. Hal ini berarti bahwa peranan olahraga sangat penting artinya dalam menunjang kehidupan manusia agar tetap sehat dan memiliki kesegaran jasmani yang prima sehingga dapat melaksanakan tugas sehari-hari dengan baik. Olahraga merupakan kegiatan fisik yang bersifat kompetitif dalam suatu permainan, berupa perjuangan tim maupun diri sendiri. Salah satu olahraga yang berbentuk kompetitif tersebut adalah atletik. Atletik merupakan salah satu cabang olahraga yang tertua yang telah ada dan dilakukan oleh manusia sejak jaman purba sampai sekarang ini. Bahkan dapat dikatakan sejak adanya manusia di muka bumi ini, atletik sudah ada dan dilakukan oleh manusia. Hal tersebut dikarenakan setiap gerakan dalam atletik seperti jalan, lari, lompat dan lempar merupakan perwujudan dari gerakan dasar dalam kehidupan manusia sehari-hari. Atletik merupakan induk dari semua cabang olahraga yang diajarkan dari sekolah tingkat paling rendah Sekolah Dasar (SD) sampai Perguruan Tinggi (PT), Cabang olahraga atletik didalamnya terdiri empat nomor utama yaitu jalan, lari, lompat dan lempar. Dari tiap-tiap nomor tersebut didalamnya terdapat beberapa nomor yang diperlombakan. Untuk nomor lari terdiri atas: lari jarak pendek, jarak menengah, jarak jauh atau marathon, lari gawang, lari sambung atau estafet dan lari cross country. Nomor lompat meliputi: lompat jauh, lompat tinggi, lompat jangkit, lompat tinggi galah. Nomor lempar meliputi: lempar cakram, lempar lembing, tolak peluru dan lontar martil. Berkaitan dengan nomor-nomor atletik, penelitian ini akan mengkaji dan meneliti nomor lompat khususnya lompat jauh gaya jongkok. Lompat jauh gaya jongkok merupakan rangkaian gerakan yang diawali dengan berlari, menumpu untuk menolak, melayang di udara dengan sikap jongkok dan mendarat sejauh-jauhnya. Lompat jauh gaya jongkok merupakan gaya yang paling mudah dilakukan terutama bagi anak-anak sekolah. Aip Syarifuddin (1992: 93) menyatakan bahwa, “lompat jauh gaya jongkok, pada umumnya banyak dilakukan anak-anak sekolah, karena dianggap gaya yang paling mudah untuk dipelajari”. Hal ini disebabkan karena lompat jauh gaya jongkok tidak banyak gerakan yang harus dilakukan pada saat melayang di udara dibandingkan dengan gaya yang lainnya. Dikatakan gaya jongkok karena gerakan yang dilakukan pada saat melayang di udara menyerupai atau membentuk gerakan seperti orang jongkok atau duduk. Pada dasarnya pendidikan jasmani merupakan bagian integral dari sistem pendidikan secara keseluruhan, bertujuan untuk mengembangkan aspek kesehatan, kebugaran jasmani, keterampilan berfikir kritis, stabilitas emosional, keterampilan sosial, penalaran dan tindakan 638
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
moral melalui aktivitas jasmani dan olahraga. Peranan Pendidikan Jasmani adalah sangat penting, yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk terlibat langsung dalam aneka pengalaman belajar melalui aktivitas jasmani, bermain dan olahraga yang dilakukan secara sistematis. Adapun tujuan pendidikan jasmani menurut Adang Suherman (2000: 23) bahwa, ”Secara umum tujuan pendidikan jasmani dapat diklasifikasikan kedalam empat kategori yaitu : (1) perkembangan fisik, (2) perkembangan gerak, (3) perkembangan mental dan, (4) perkembangan sosial”. Salah satu masalah utama dalam pendidikan jasmani di Indonesia hingga sekarang ini adalah belum efektifnya pengajaran pendidikan jasmani di sekolah-sekolah, kondisi seperti ini dikarenakan rendahnya kualitas pembelajaran yang terjadi. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya ialah terbatasnya kemampuan guru pendidikan jasmani dan terbatasnya sumber-sumber yang digunakan untuk mendukung pengajaran proses pendidikan jasmani. Sebagian besar guru penjas yang ada sekarang ini hanya menekankan hasil akhir tanpa memperhatikan proses pembelajaran, hal ini akan berdampak buruk bagi siswa karena kurangnya pengetahuan yang diberikan oleh guru dan secara tidak langsung akan mempengaruhi kinerja guru tersebut serta tujuan pendidikan jasmani yang tidak tercapai. Pembelajaran Penjasorkes melalui penggunaan alat bantu pembelajaran merupakan salah satu karakteristik model pembelajaran yang dapat diterapkan dalam pembelajaran penjas. Adanya model pembelajaran dengan alat bantu dapat membantu seorang guru menciptakan suasana pembelajaran yang lebih baik sehingga motivasi siswa meningkat. Kemampuan seorang guru membangkitkan motivasi belajar siswa menjadi salah satu kunci tercapainya tujuan pembelajaran. Srijono Brotosuryo, Sunardi dan M. Furqon H. (1994: 294) menyatakan, “Dalam proses belajar mengajar sarana dan alat bantu mengajar merupakan komponen yang tidak dapat dipisahkan dengan komponen-komponen lain, misalnya: tujuan, materi, metode dan sebagainya”. Oleh karena itu guru penjas yang profesional sangat menentukan keberhasilan dalam proses pembelajaran dan pendidikan. Proses pembelajaran harus dikelola dengan baik agar mencapai keberhasilan yang baik pula. Salah satu pendukung keberhasilan dalam pembelajaran adalah penggunakan alat media dalam menyampaikan pembelajaran. Alat media adalah alat bantu pembelajaran yang dapat mengaktifkan siswa dan guru dalam proses pembelajaran sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan kemampuan berfikir siswa sehingga pengalaman belajar yang diperoleh lebih bermakna. Untuk menerapkan pembelajaran yang bisa memotivasi anak dan diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar lompat jauh gaya jongkok maka, muncul gagasan untuk melakukan penelitian dengan judul “Upaya meningkatan hasil belajar gerak dasar lompat jauh dengan menggunakan alat bantu tradisional pada siswa Kelas V SD Negeri Wonokerso III Kedawung tahun pelajaran 2013/2014”
Landasan Teori Pengertian Lompat Jauh Lompat jauh adalah salah satu nomor lompat dalam cabang olahraga atletik. Lompat jauh merupakan suatu bentuk gerakan melompat mengangkat kaki ke atas ke depan dalam upaya membawa titik berat badan selama mungkin di udara (melayang di udara) yang dilakukan dengan cepat dengan jalan melakukan tolakan satu kaki untuk mencapai jarak sejauh-jauhnya.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
639
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Dalam lompat jauh terdapat tiga macam gaya yaitu gaya jongkok, gaya menggantung dan gaya berjalan di udara. Lompat jauh gaya jongkok disebut juga gaya duduk di udara (sit down in the air). Dikatakan gaya jongkok karena gerakan yang dilakukan pada saat di udara membentuk seperti orang jongkok atau duduk. Gerakan jongkok atau duduk ini terlihat seperti membungkukkan badan dan kedua lutut ditekuk, kedua tangan di depan. Pada saat mendarat kedua kaki dijulurkan ke depan, mendarat dengan bagian tumit lebih dahulu dan kedua tangan ke depan. Untuk menghindari kesalahan saat mendarat, maka diikuti dengan menjatuhkan badan ke depan.
Gambar 1. Lompat jauh gaya jongkok (Genrry A. Carr, 1997 :142) Lompat jauh gaya jongkok merupakan gaya yang paling mudah dilakukan terutama bagi anak-anak sekolah. Aip Syarifuddin (1992: 93) menyatakan bahwa, “lompat jauh gaya jongkok, pada umumnya banyak dilakukan anak-anak sekolah, karena dianggap gaya yang paling mudah untuk dipelajari”. Hal ini disebabkan karena lompat jauh gaya jongkok tidak banyak gerakan yang harus dilakukan pada saat melayang di udara dibandingkan dengan gaya yang lainnya. Konsentrasi atlet yang perlu diperhatikan pada gaya jongkok terletak pada membungkukkan badan dan menekuk kedua lutut dan menjulurkan kedua kaki ke depan dan kedua lengan tetap ke depan untuk mendarat.
Teknik Lompat Jauh Gaya jongkok Teknik Lompat Jauh Gaya jongkok, Teknik merupakan rangkuman metode yang dipergunakan dalam melakukan gerakan dalam suatu cabang olahraga. Teknik juga merupakan suatu proses gerakan dan pembuktian dalam suatu cabang olahraga, atau dengan kata lain teknik merupakan pelaksanaan suatu kegiatan secara efektif dan rasional yang memungkinkan suatu hasil yang optimal dalam latihan atau perlombaan. Teknik lompat jauh terdiri beberapa bagian yang pelaksanaannya harus dirangkaikan secara baik dan harmonis. Soegito (1992: 55) menyatakan bahwa, “faktor-faktor yang sangat menentukan untuk mencapai prestasi dalam lompat jauh adalah awalan, tumpuan, lompatan, saat melayang, dan pendaratan”. Untuk lebih jelasnya teknik lompat jauh dapat diuraikan sebagai berikut: Awalan Awalan merupakan tahap pertama dalam lompat jauh. Tujuan awalan adalah untuk mendapatkan kecepatan maksimal pada saat akan melompat dan membawa pelompat pada posisi yang optimal untuk tolakan. Awalan yang benar merupakan prasyarat yang harus dipenuhi, untuk menghasilkan jarak lompatan yang sejauh-jauhnya. Pelompat harus berlari
640
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
semakin cepat sehingga mencapai kecepatan penuh pada saat sebelum salah satu kaki menumpu. Adapun pelaksanaan awalan lompat jauh menurut Aip Syarifuddin (1992: 73) yaitu : 1. Jarak awalan tergantung pada tiap-tiap pelari (sekitar 30 sampai 40 meter). Jarak awalan harus cukup jauh dan lari cepat untuk mendapatkan momentum yang paling besar. 2. Kecepatan awalan dan irama langkah harus tetap. Pada saat melangkah konsentrasi tertuju pada lompatan yang setinggi-tingginya. 3. Langkah terakhir agak diperpendak, supaya dapat menolak ke alas dengan sempurna. 4. Sikap lari seperti pada lari jarak pendek. Awalan lompat jauh harus dilakukan dengan harmonis, lancar dan dengan kecepatan tinggi, tanpa ada gangguan langkah yang diperkecil atau diperlebar untuk memperoleh ketepatan bertumpu pada blok tumpuan. Aip Syarifuddin (1992: 91) menyatakan bahwa “untuk menjaga kemungkinan pada waktu melakukan awalan itu tidak cocok, atau ketidak tepatan awalan dan tolakan, biasanya pelombat membuat dua buah tanda (cherkmark) antara permulaan akan memulai permulaan awalan dengan papan tolakan”.
Tumpuan atau Tolakan (Take-Off) Tumpuan adalah salah satu tahap vital dalam rangkaian gerakan lompat jauh, hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan tumpuan adalah penggunaan kaki terkuat agar tolakan yang dihasilkan dapat maksimal, selain itu perubahan arah gerakan juga harus diperhatikan, yaitu perubahan dari gerak lari kearah depan dilanjutkan tolakan keatas sehingga gerakan yang dihasilkan berbentuk parabola. Menurut Aip Syarifuddin (1992: 74) “tolakan adalah perubahan atau perpindahan gerakan dari gerakan horizontal ke gerakan vertikal yang dilakukan secara cepat”. Tumpuan dilakukan dengan cara yaitu, sebelumnya pelompat menyiapkan diri untuk melakukan tolakan sekuat-kuatnya pada langkah terakhir, sehingga seluruh tubuh terangkat keatas melayang di udara. Tamsir Riyadi (1985: 96), menyatakan teknik menumpu pada lompat jauh sebagai berikut: 1. Tolakan dilakukan dengan kaki yang terkuat. 2. Sesaat akan bertumpu sikap badan agak condong kebelakang (jangan berlebihan) untuk membantu timbulnya lambungan yang lebih baik (sekitar 45°). 3. Bertumpu sebaiknya tepat pada papan tumpuan. 4. Saat bertumpu kedua lengan ikut serta diayunkan ke depan atas. Pandangan ke depan atas (jangan melihat ke bawah). 5. Pada kaki ayun (kanan) diangkat ke depan setinggi pinggul dalam posisi lutut ditekuk
Melayang di Udara (Action in The Air) Sikap dan gerakan badan di udara sangat erat kaitannya dengan kecepatan awalan dan kekuatan tolakan, kecepatan lari dan kekuatan tolakan akan menentukan seberapa lama kita mampu melayang diudara, semakin lama kita berada diudara akan semakin terlihat gaya yang dihasilkan dan akan semakin jauh jangkauan yang tercapai. Menurut Soegito (1992: 92) “sikap saat melayang adalah sikap setelah gerakan lompatan dilakukan dan badan sudah terangkat tinggi ke atas”. Karena pada waktu lepas dari papan tolak, badan si pelompat dipengaruhi oleh kekuatan yang disebut “daya penarik bumi”. Daya penarik bumi ini bertitik tangkap pada suatu titik yang disebut titik berat badan yang letaknya kira-kira pada pinggang pelompat sedikit dibawah pusar agak ke belakang. Hal ini artinya, pada saat melayang di udara merupakan letak yang akan membedakan gaya dalam lompat jauh.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
641
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Adapun cara melakukan sikap badan di udara menurut Aip Syarifuddin (1992: 75) sebagi berikut: 1. Sesaat setelah menumpu, kaki tumpu segera diluruskan selurus-lurusnya. 2. Mengangkat pinggul ke muka atas. 3. Diusahakn selama mungkin saat berada di udara dengan cara menjaga keseimbangan dan persiapan pendaratan. 4. Pada saat melayang di udara, kedua kaki sedikit ditekuk sehingga posisi badan berada dalam sikap jongkok. 5.Sikap tubuh saat melayang ditentukan oleh gaya lompat jauh yaitu: gaya jongkok (tuck style), gaya menggantung atau melenting (hang style) dan gaya berjalan di udara (walking in the air).
Pendaratan Sikap mendarat pada lompat jauh baik gaya jongkok, gaya menggantung maupun gaya berjalan di uadara adalah sama. Pendaratan merupakan tahap terakhir dari rangkaian gerakan lompat jauh. Pendaratan merupakan prestasi yang dicapai dalam lompat jauh. Mendarat dengan sikap dan gerakan yang efisien merupakan kunci pokok yang harus dipahami oleh pelompat. Aip Syarifuddin (1992: 95) menyatakan bahwa: Sikap mendarat pada lompat jauh, baik untuk lompat jauh gaya jongkok, gaya menggantung, maupun gaya jalan diudara adalah sama. yaitu : Pada waktu akan mendarat kaki dibawa kedepan, kedua tangan ke depan. Kemudian mendarat apda kedua tumit terlebih dahulu dan mengeper, dengan kedua lutut dibengkokkan (ditekuk), berat badan dibawa ke depan supaya tidak jatuh ke belakang, kepala ditundukkan, kedua tangan kedepan.
Alat Bantu Pembelajaran Pengertian Alat Bantu Pembelajaran Alat bantu merupakan alat-alat yang digunakan oleh pendidik dalam menyampaikan pembelajaran. Alat bantu berfungsi sebagai sarana peraga dalam pembelajaran, hal ini bertujuan untuk mempermudah pemahaman siswa. Srijono Brotosuryo dkk. (1994: 294) menyatakan, ”Alat bantu pembelajaran adalah alat-alat yang digunakan oleh guru sebagai sarana untuk membantu pelaksanaan kegiatan mengajar”. Menurut H.J. Gino (1998: 37) berpendapat, “alat bantu pembelajaran adalah semua alat yang digunakan dalam proses belajar mengajar dengan maksud untuk menyampaikan pesan (informasi) pembelajaran dari sumber (guru maupun sumber lain) kepada penerima (siswa)”. Alat bantu disusun berdasarkan prinsip bahwa pengetahuan manusia diterima atau ditangkap melaui panca indera. Semakin banyak panca indera yang digunakan untuk menerima informasi maka semakin jelas pengertian yang diperoleh. Media yang dapat dilihat indera mata (media visual) sangat membantu proses belajar mengajar anak dalam memahami konsep berpikir abstrak.
Manfaat Alat Bantu Pembelajaran Alat bantu mempunyai arti penting dalam kegiatan pembelajaran. Alat bantu dapat dijadikan sarana untuk menyampaikan materi pembelajaran kepada siswa. Selain itu, alat bantu akan mempermudah siswa dalam mempelajari materi pembelajaran. Lebih lanjut Srijono Brotosuryo (1994: 297) menyatakan, “dengan menggunakan alat bantu mengajar atau media, pengajaran dapat menjadi lebih konkrit dan menarik sehingga mudah untuk dimengerti dan dipahami anak didik”. Sedangkan M. Sobry Sutikno (2009: 106-107) menyatakan:
642
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Ada beberapa fungsi penggunaan media atau alat dalam proses pembelajaran, diantaranya : 1. Menarik perhatian siswa 2. Membantu mempercepat pemahaman dalam proses pembelajaran 3. Memperjelas penyajian pesan agar tidak bersifat verbalitis (dalam bentuk kata-kata tertulis atau lisan) 4. Mengatasi keterbatasan ruang 5. Pembelajaran lebih komunikatif dan produktif 6. Waktu pembelajaran bisa dikondisikan 7. Menghilangkan kebosanan siswa dalam pembelajaran 8. Meningkatkan motivasi siswa dalam mempelajari sesuatu atau menimbulkan gairah belajar 9. Melayani gaya belajar siswa beraneka ragam. 10. Meningkatkan kadar keaktifan/keterlibatan siswa dalam kegiatan pembelajaran Alat bantu atau media pembelajaran memiliki manfaat yang sangat luas dalam kegiatan belajar mengajar. Dengan menggunakan alat bantu yang baik dan tepat, maka akan mendukung pencapaian hasil belajar yang optimal. Oleh karena itu guru penjas harus mampu memanfaatkan berbagai macam alat bantu pembelajaran, jika dalam pembelajaran materi penjas banyak kendala. Rusli Lutan (2000: 46) menyatakan, “Terbuka kesempatan guru pendidikan jasmani untuk membuat sendiri alat-alat sesuai dengan kebutuhan guna menyampaikan bahan pelajaran”. Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa penggunaan alat bantu pembelajaran dapat membantu dalam menyampaikan pengertian-pengertian yang bersifat abstrak menjadi lebih konkrit dan lebih mudah dipahami siswa. Selain itu, seorang guru juga bisa membuat sendiri alat-alat sesuai dengan kebutuhan dan tujuan pembelajaran. Syarat Alat Bantu Pembelajaran yang Baik Suatu alat pembelajaran dapat dikatakan baik apabila mempunyai tujuan pendidika untuk : Mengubah pengetahuan/pengertian, pendapat dan konsep-konsep, Mengubah sikap dan persepsi, Menanamkan tingkah laku/kebiasaan yang baru. Selain itu, alat bantu harus efisien dalam penggunakannya, dalam waktu yang singkat dapat mencakup isi yang luas dan tempat yang diperlukan tidak terlalu luas. Penempatan alat bantu perlu diperhatikan ketepatannya agar dapat diamati oleh seluruh siswa.Efektif artinya memberikan hasil guru yang tinggi ditinjau dari segi pesannya dan kepentingan siswa yang sedang belajar. Sedangkan yang dimaksud dengan komunikatif ialah bahwa media tersebut mudah untuk dimengerti maksudnya.
Alat Bantu Bilah, Kardus, Bola Gantung, dan Ban Bekas Alat bantu bilah, kardus, bola gantung, dan ban bekas adalah alat bantu yang dibuat dalam upaya meningkatkan hasil belajar lompat jauh gaya jongkok siswa kelas VB SD Negeri Wonokerso 3 Tahun Pelajaran 2013/2014. Bilah terbuat dari bambu yang dipotong dengan ukuran panjang 1 meter dan lebar 5-10 cm. Alat bantu kardus yang digunakan dalam penelitian ini adalah kardus kosong dengan ukuran panjang 40 cm, lebar 25 cm dan tinggi 20 cm. Kemudian ban bekas sendiri yang digunakan adalah ban sepeda bekas, dengan ukuran diameter lingkaran 60cm. Sedangkan bola gantung yaitu bola plastik yang kemudian digantung dibambu dengan menggunakan jaring bola Dalam menentukan alat bantu yang digunakan didasarkan pada syarat-syarat penggunaan alat bantu yang baik. Media pendidikan yang memenuhi syarat,Dinbakir (2009 ) menjelaskan tentang Kriteria Pemilihan Media 1. Sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.artinya media dipilih berdasarkan tujuan instruksional yang telah ditetapkan. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
643
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
2. Tepat untuk mendukung isi pelajaran yang sifatnya fakta,konsep,prinsip atau generalisasi. 3. Praktis,luwes dan bertahan. 4. Guru terampil menggunakannya. 5. Pengelompokan sasaran.media yang efektif untuk kelompok besar belum tentu sama dengan efektifnya jika digunakan untuk kelompok kecil. 6. Mutu teknis 7. Kondisi siswa (dari segi subjek belajar) Alat batu dipilih karena dirasa sudah cukup memenuhi syarat sebagai alat bantu pembelajaran. Selain dapat dipikirkan dan mudah digunakan, alat bantu bilah, kardus, bola gantung, dan ban bekas juga mudah didapat dan ekonomis dalam pembiayaan, selain itu dalam penggunaannya, alat bantu tersebut bukan termasuk alat yang berbahaya untuk digunakan dalam pembelajaran.
Metode Penelitian Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian Tindakan Kelas ini dilaksanakan di lapangan Olahraga SD Negeri Wonokerso III Kedawung. Penelitian ini direncanakan mulai bulan Mei-Juni setiap berlangsungnya mata pelajaran Pendidikan Jasmani siswa Kelas V SD Negeri Wonokerso III Kedawung Tahun Pelajaran 2013/2014, yaitu setiap hari Rabu dari pukul 07.00 sampai 08.30 WIB. Hal ini dilakukan karena dalam penelitian tindakan kelas proses pelaksanaan penelitian tidak boleh menggangu proses belajar mengajar itu sendiri.
Subjek Penelitian Subjek dalam penelitian ini siswa kelas VB SD Negeri Wonokerso III Tahun Pelajaran 2013/2014. Jumlah keseluruhan siswa adalah sebanyak 24 siswa yang terdiri dari 9 siswa putra dan 15 putri. Seluruh siswa diamati untuk mengetahui tingkat perkembangan hasil belajar.
Data dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Data Primer, berupa RPP, hasil belajar dan proses pembelajaran penjas di SD Negeri Wonokerso III Kedawung 2. Data Sekunder, berupa, silabus dan dokumen siswa Kelas V SD Negeri Wonokerso III Kedawung
Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi informasi tentang keadaan siswa dilihat dari aspek kualitatif, dan kuantitatif. Aspek kualitatif berupa catatan lapangan pelaksanaan pembelajaran, hasil observasi dengan berpedoman pada lembar observasi. Aspek kuantitatif yang dimaksud adalah hasil penilaian belajar dari materi pokok Lompat jauh gaya jongkok. Data penelitian dikumpulkan dari berbagai sumber meliputi : a. Observasi b. Wawancara c. Dokumentasi atau arsip yang antara lain berupa kurikulum, sekenario pembelajaran, silabus buku penilaian dan buku referensi mengajar.
Uji Validitas Data Untuk menjamin validitas data dan pertanggung jawaban yang dapat dijadikan dasar yang kuat untuk menarik kesimpulan, maka yang digunakan untuk memeriksa validitas data yaitu dengan validitas isi dan teknik trianggulasi.
644
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Validitas isi mencakup sejauh mana bentuk tes yang digunakan dalam penelitian ini sudah sesuaikah dengan silabus mata pelajaran Penjasorker kelas V yang dikonsultasikan dengan observer. Sedangkan teknik triangulasi yang digunakan yang sebagai validasi keaktifan atau aktivitas siswa dan guru selama proses pembelajaran adalah triangulasi metode, yaitu dengan cara : 1. Data aktivitas siswa selama proses pembelajaran diperoleh dengan observasi lalu dicek dengan dokumentasi yang meliputi hasil kerja siswa, lembar observasi aktivitas siswa dan foto proses pembelajaran. Apabila dengan teknik pengujian tersebut dihasilkan data yang sama, maka data tersebut dinyatakan valid. 2. Data aktivitas guru selama proses pembelajaran diperoleh dengan observasi lalu dicek dengan dokumentasi yang meliputi lembar observasi kinerja guru, foto proses pembelajaran. Apabila melalui pengujian tersebut dihasilkan data yang sama maka data tersebut dinyatakan valid.
Analisis Data Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif. Menurut Suharsimi Arikunto (1989:243), “Pada umumnya penelitian deskriptif merupakan penelitian non hipotesis sehingga dalam langkah penelitiannya tidak perlu merumuskan hipotesis”. Penelitian dengan data kuantitatif memperoleh hasil perhitungan berupa angkaangka. Suharsimi Arikunto (1989: 244) mengatakan, pengukuran data kuantitatif dapat dilakukan dengan beberapa cara : 1. Dijumlahkan, dibandingkan dengan jumlah yang diharapkan dan diperoleh persentase 2. Dijumlahkan, diklasifikasikan sehingga merupakan suatu susunan urut data (arrai), untuk selanjutnya dibuat tabel, baik yang hanya berhenti sampai tabel saja, maupun yang diproses lebih lanjut menjadi perhitungan pengambilan kesimpulan ataupun untuk kepentingan visualisasi datanya.
Indikator Kinerja Penelitian Tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah meningkatnya hasil belajar gerak dasar Lompat jauh gaya jongkok siswa Kelas V SD Negeri Wonokerso III Kedawung Tahun Pelajaran 2013/2014. Setiap tindakan upaya pencapaian tujuan tersebut dirancang dalam satu unit sebagai satu siklus. Setiap siklus terdiri atas empat tahap, yaitu: (1) perencanaan tindakan, (2) pelaksanaan tindakan, (3) observasi dan interpretasi, dan (4) analisis dan refleksi untuk perencanaan siklus berikutnya. .
Hasil Penelitian Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan menggunakan alat bantu pembelajaran dapat meningkatkan hasil belajar gerak dasar lompat jauh gaya jongkok dari pra siklus ke siklus I dan dari siklus I ke siklus II. Hasil belajar lompat jauh gaya jongkok pada pra siklus dalam kategori tuntas adalah 33,3% atau 8 siswa, pada akhir siklus I setelah diberikan pembelajaran teknik gerak dasar lompat jauh gaya jongkok menggunakan alat bantu bilah dan kardus meningkat menjadi 58,3% atau 14 siswa, kemudian kembali terjadi peningkatan setelah diberikan tindakan pada siklus II menjadi 83,4% atau 20 siswa dengan lebih menekankan memperanyak kesempatan siswa dalam melakukan gerakan lompat jauh secara keseluruhan.
Simpulan Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
645
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Penelitian Tindakan Kelas yang dilaksanakan pada siswa kelas VB SD Negeri Wonokerso 3 Tahun Pelajaran 2013/2014 dilaksanakan dalam dua siklus. Setiap siklus terdiri atas empat tahapan, yaitu: (1) perencanaan, (2) pelaksanaan tindakan, (3) observasi dan interpretasi, dan (4) analisis dan refleksi. Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan dan pembahasan yang telah diungkapkan, diperoleh simpulan sebagai berikut: Penggunaan alat bantu pembelajaran (bilah bambu, kardus, bola gantung, dan ban bekas) berhasil meningkatkan hasil belajar lompat jauh gaya jongkok pada siswa kelas VB SD Negeri Wonokerso 3 Tahun Pelajaran 2013/2014. Dari hasil analisis yang diperoleh, menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan antara pra siklus, siklus I, dan siklus II. Hasil belajar lompat jauh gaya jongkok pada pra siklus dalam kategori tuntas adalah 33,3% atau 8 siswa, pada akhir siklus I menjadi 58,3% atau 14 siswa, kemudian kembali terjadi peningkatan setelah diberikan tindakan pada siklus II menjadi 83,4% atau 20 siswa.
Daftar Pustaka Adang Suherman. 2000. Dasar-dasar Penjaskes. Jakarta: Depdikbud. Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Bagian Proyek Penataran Guru SLTP Setara D-III. Agus Kristiyanto. 2010. Penelitian Tindakan Kelas (PTK) Dalam Pendidikan Jasmani & Kepelatihan olahraga. Surakarta : UNS Press. Aip Syarifudin. 1992. Atletik. Jakarta: Depdikbud, Dirjendikti, Proyek Pembinaan Tenaga Kependidikan. Dimyati dan Mudjiono. 1999. Belajar dan Pembelajaran. Dep. Pendidikan dan Kebudayaan. Dinbakir. 2009. http://dinbakir.wordpress.com/2009/05/30/media-pembelajaran. Didownload pada tanggal 16 Maret 2012 pukul 23.35. Echolis, Jhon, M.Shadily, Hassan. 2005. Kamus Inggris. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Gerry A. Carr. 1997. Atletik Untuk Sekolah. Jakarta : Grafindo Persada. H.J. Gino, Suwarni, Suripto, Maryanto dan Sutijan. 1998. Belajar dan Pembelajaran II. Surakarta: UNS Press. Imam Taufik. 2010. Kamus Praktis Bahasa Indonesia. Jakarta: Exact Ganeca. Iskandar. 2009. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Gaung Persada(GP) Press. Kemmis dan Taggart. 1994. The Action Research Planner. Dekain University. Mohammad Muhyi Farjuq. 2007. Permainan Kecerdasan Kinastetik. Jakarta: Gramedia. M. Sobry Sutikno. 2009. Belajar dan Pembelajaran Upaya Kreatif dalam Mewujudkan Pembelajaran yang Berhasil. Bandung: Prospect. Mulyasa. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung: Remaja Rosda Karya. Purwanto. 2011. Evaluasi Hasil Belajar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Rusli Lutan. 2000. Pembelajaran Penjas. Jakarta: Depdikbud. Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Bagian Proyek Penataran Guru SLTP setara D-III. Soegito. 1992. Teori dan Praktek Atletik I. Surakarta: UNS Press. Sofan Amri S.Pd, Ahmad Jauhari S.Pd, Tatik Elisah S.Pd. 2011. Implementasi Pendidikan Karakter Dalam Pembeajaran. Jakarta: Prestasi Pustaka. Srijono Brotosuryo, Sunardi dan M. Furqon H. 1994. Perencanaan Pengajaran Pendidikan Jasmani dan Kesehatan. Jakarta: Depdikbud. Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah. Direktorat Pendidikan Guru dan Tenaga Tekhnis Bagian Proyek Penataran Guru Pendidikan Jasmani dan Kesehatan SD Setara D-II. Suharsimi Arikunto. 1989. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rinneka Cipta. Susilo. 2009. Panduan Penelitian Tindakan Kelas. Sleman Yogyakarta : Pustaka Book Publisher.
646
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Syaiful Sagala. 2011. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta. Tamsir Riyadi. 1985. Petunjuk Atletik. Yogyakarta: FPOK IKIP. Zainal Aqib. 2006. Penelitian Tindakan Kelas Untuk Guru. Bandung : Yrama Widya.
Pengaruh Metode Mengajar Dan Persepsi Kinestetik Terhadap Keterampilan Dasar Bermain Sepak Bola Slamet Raharjo 4 ([emailprotected]) Abstract This research was to find out and analys the differences between learning method and kinaesthetic perceptions toward basic skills playing soccer. This research is experimental method with factorial 2x2 design applicated. The population is junior high school student eight class in Karangan Trenggalek East Java 2013/2014 period with students (N = 80). For Samples were taken with random sampling, and results were analysed with ANAVA two way (the 11st version of SPSS computer program. For test Kinesthetic Perception and Yeagley Soccer Battery, Normality was determined with Kolmogorov-Smirnov, and homogenity determined with Bartlett test. Result were (1) learning method teaches influential according to significant towards result basic skill play soccer, this matter is proved from result Fo = 9,08 > f0,95;1,38 = 4,10 or because pvalue = 0,005< 0,05. (2). There is a difference influence between kinaesthetic perception with high and low kinaesthetic perception towards basic skill play soccer, result Fo= 70,97 > f0,95; 1,38 = 4,10 or because p-value = 0,000 or l < 0,05. (3). There are no interaction between learning models and kinaesthetic perceptions toward the basic skills in playing soccer based on result Fo= 0,81 < F0,95 ; 1,36 = 4,11 or because p- value = 0,373 > 0,05. Conclusion that in will teach technique basic skill soccer playing a teacher/coach necessary will consider method will teach and be used need to know different kinaesthetic perception student one with other ability. Suggestion this practice method can be made alternatively by teachers at high school level (SLTP), physical education and sport exspecially in playing soccer. Keywords: : Learning , method, kinesthetic perception, basic skill soccer playing Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis perbedaan pengaruh metode mengajar dan persepsi kinestetik terhadap keterampilan dasar bermain sepak bola. Desain penelitian ini adalah eksperimen dengan faktorial 2x2. Populasinya siswa putra kelas delapan SLTPN I Karangan Trenggalek Jawa Timur tahun ajaran 2013/2014 yang berjumlah 80 siswa. Pengambilan sampel dengan cara acak, dan dianalisis dengan teknik ANAVA program SPSS versi 11. Untuk tes Kinesthetic Perception dan sepak bola Yeagley Soccer Battery. Untuk uji normalitas Kolmogorov-Smirnov dan uji homogenitas varians (uji Bartlett). Hasil menunjukkan (1). Metode mengajar berpengaruh secara signifikan terhadap keterampilan dasar bermain sepak bola. Hal ini terbukti dari perolehan Fo = 9,08 > F0,95;1,38 = 4,10 atau karena p-value = 0,005 < 0,05. (2). Ada perbedaan pengaruh antara persepsi kinestetik tinggi dan rendah terhadap keterampilan dasar bermain sepak bola, hasil perolehan Fo = 70,97 > F0,95 ; 1,38 = 4,10 atau karena p-value = 0,000 atau l < 0,05. (3). bahwa tidak ada interaksi (interaction effects) antara metode mengajar dan persepsi kinestetik terhadap keterampilan dasar bermain sepak bola. Terbukti dari perolehan Fo = 0,81 < F0,95 ; 1,36 = 4,11 atau karena p- value = 0,373 > 0,05. Kesimpulan bahwa dalam mengajar teknik dasar bermain sepak bola seorang guru/pelatih perlu mempertimbangkan metode mengajar dan kemampuan persepsi kinestetik siswa yang berbeda satu dengan yang lain. Kiranya metode ini sebagai salah satu alternatif para guru
4
Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Malang
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
647
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) pelajaran olahraga khususnya permainan sepak bola.
pendidikan jasmani kesehatan dan
Kata Kunci: Metode Mengajar, Persepsi Kinestetik, Keterampilan Dasar Sepak Bola
Pendahuluan Pendidikan jasmani dan olahraga tidak hanya berdampak positif pada pertumbuhan fisik siswa, melainkan juga perkembangan mental, intelektual, emosional, dan sosialnya. Pendidikan tidak lengkap tanpa pendidikan jasmani dan olahraga, dan tidak ada pendidikan jasmani dan olahraga tanpa media gerak, karena gerak sebagai aktivitas fisik merupakan dasar alami bagi manusia untuk belajar mengenal dunia dan dirinya sendiri. Fungsi dan peran utama pendidikan jasmani dan olahraga ini adalah sebagai media sosialisasi keterampilan fisik dan psikologis siswa dalam pemecahan masalah, bermasyarakat, berpemimpin, pelatih kelompoknya, atau administrasi dan organisasi, termasuk kegiatankegiatan sekolah yang sifatnya ekstrakurikuler dan kemampuannya dalam mensosialisasikan nilai-nilai aktivitas jasmani itu sendiri. Pendidikan jasmani dan olahraga di Sekolah lanjutan Tingkat Pertama pada dasarnya merupakan kesinambungan dari pendidikan jasmani dan olahraga di Sekolah Dasar dan sekaligus merupakan landasan pendidikan jasmani dan olahraga di Sekolah Menengah. Sepak bola merupakan salah satu cabang olahraga permainan paling digemari yang dapat dimainkan orang usia muda sampai usia tua. Hal ini terbukti dengan adanya pertandingan sepak bola mulai dari kelompok yunior sampai dengan kelompok senior, baik di tingkat daerah, nasional, maupun internasional. Di Indonesia, permainan sepak bola sudah dikenal semenjak jaman penjajahan dan sekarang sepak bola merupakan olahraga massal yang digemari oleh hampir semua lapisan masyarakat. Pengamatan peneliti di SLTP Negeri I Karangan Trenggalek Jawa Timur, banyak kendala dilapangan yang dapat mempengaruhi proses pencapaian tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan belum dapat terpenuhi dengan baik, karena (a) banyak materi yang diberikan dan harus dikuasai dalam satu cawu selain mata pelajaran pendidikan jasmani dan olahraga; (b) jumlah siswa yang begitu banyak yang harus mengikuti ekstrkurikuler sepak bola; (c) terbatasnya sarana dan prasarana; (d) kekhususan pelajaran sepak bola berbeda dibandingkan pelajaran lain, sesorang yang menguasai teori lari maka orang tersebut akan dapat berlari, tetapi seseorang yang menguasai teori sepak bola belum tentu akan dapat bermain sepak bola Dougherty dan Bonnano (1979), bahwa (1) Tidak ada gaya mengajar yang paling baik untuk selamanya. Setiap gaya mengajar memiliki kelebihan dan kekurangan; (2) Ada periode yang menyebabkan berhenti yang harus diamati, jika gaya mengajar beralih ke arah yang lebih menekankan kepada siswa pada akhir rangkaian kesatuan gaya mengajar; (3) Jika pelajaran ternyata tidak berhasil, maka dengan hati-hati menilai semua variabel atau faktor di dalam situasi mengajar sebelum menyalahkan gaya mengajar itu sendiri; (4) Jangan takut mengkombinasi gaya-gaya mengajar; (5) Jangan terpaku pada satu gaya mengajar; (6) Ingat bahwa gaya mengajar itu baik jika pelakunya baik atau dilakukan dengan baik. Pemilihan metode mengajar oleh seorang guru untuk proses belajar mengajar merupakan hal yang tidak mudah untuk dilakukan. selamanya. Setiap metode mengajar memiliki kelebihan dan kekurangan. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi proses belajar dan mengajar, menurut
648
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Hietmann dan Kneer (1976), adalah (1) faktor isi dan informasi dari keterampilan yang diajarkan; (2) susunan dan prosedur yang memudahkan pembelajaran; dan (3) hubungan interaksi antara guru dan murid. Perlu diingat bahwasannya keberhasilan keterampilan gerak dalam proses belajar mengajar teknik dasar bermain sepak bola tidak hanya ditentukan oleh metode mengajar saja namun ditentukan pula oleh adanya kontribusi faktor internal lain yang berupa kemampuan persepsi kinestetik siswa. Keterampilan gerak yang optimal, efisien dan efektif didapat dari proses penginderaan, sebelum seseorang bisa memahami dan mampu berbuat sesuatu. Secara potensial setiap individu memiliki kemampuan penginderaan yang berbeda dalam menangkap stimulus untuk dapat memahami dan menterjemahkan makna stimulus diperlukan proses lanjut yang disebut persepsi. Organ yang bertugas menangkap stimulus adalah mata sebagai indera penglihat, telinga sebagai indera untuk mengkap stimulus suara, indera kinestetik yang pengertiannya identik dengan propriosepsi berperan untuk merasakan posisi dan gerak tubuh. Menurut Singer (1980:205) menyoroti dari dukungan yang mendasari keberhasilan dalam kegiatan gerak yang meliputi beberapa faktor yaitu koordinasi, keseimbangan, kinestetik, dan kecepatan bergerak. Belajar gerak dalah mempelajari pola-pola gerak keterampilan tubuh, proses belajarnya melalui pengamatan dan mempraktekkan pola-pola yang dipelajari
Hakikat Metode Mengajar Dalam kegiatan proses belajar mengajar perlu adanya suatu metode untuk membantu kelancaran selama kegiatan belajar berlansung. Menurut kamus besar Bahasa Indonesia Balai Pustaka (1996), bahwa Metode adalah cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan. Belajar perlu dibedakan dengan konsep-konsep yang berhubungan seperti berpikir, berperilaku, perkembangan atau perubahan. Piaget dalam Brophy (1990), menyatakan dalam pembelajaran gerak disebut “ Skema Sensorimotor” yaitu suatu pembelajaran lebih efisien bila diberikan contoh sehingga dapat meniru dan dengan instruksi verbal dan gambaran visual dapat menggunakannya sebagai penuntun terhadap penampilan dan menjadi tambahan kesempatan dalam praktek dengan umpan balik yang korektif”. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Adam (1990), bahwa Umpan balik dalam belajar keterampilan gerak bersifat internal, selain umpan balik internal ini keterampilan gerak juga menghasilkan umpan balik eksternal melalui kejadian di lingkungannya. Metode mengajar adalah cara yang mempergunakan teknik yang beraneka ragam yang didasari oleh pengertian yang mendalam dari guru akan memperbesar minat belajar muridmurid, sehingga mempertinggi hasil belajar. Sedangkan Nana Sudjana (2000:25), bahwa Hakikat belajar-mengajar adalah peristiwa belajar yang terjadi pada siswa secara aktif berinteraksi dengan lingkungan belajar yang diatur oleh guru Pendidikan jasmani dan olahraga adalah disiplin akademik yang bersifat interdicipline pengembangannya sangat bergantung dari ilmu yang menyangga (psikologi, kesehatan, filsafat, pendidikan, pengajaran dan sebagainya. Belajar mempunyai makna sebagai proses perubahan tingkah laku akibat adanya interaksi antara individu dengan lingkungannya. Belajar gerak menurut Magill (1980) adalah Perubahan dari individu yang didasarkan dari perkembangan permanen dari individu yang dicapai oleh individu sebagai hasil praktek.
Metode Komando
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
649
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Metode mengajar teknik dasar bermain sepak bola adalah cara yang dilakukan oleh guru untuk menciptakan suatu bentuk pengajaran teknik dasar bermain sepak bola dengan kondisi yang diinginkan untuk membantu siswa dalam mencapai penguasaan keterampilan dasar bermain sepak bola. Pemilihan metode mengajar oleh seorang guru untuk proses belajar mengajar merupakan hal yang tidak mudah untuk dilakukan. Metode komando adalah suatu cara pendekatan guru dalam membuat semua keputusan selama pertemuan berlangsung akan diteruskan kepada siswa. Dalam anatomi metode ini, Mosston (1994) meninjaunya dari tiga perangkat keputusan: pra-pertemuan, selama pertemuan, dan pasca pertemuan. Dalam pra-pertemuan semua keputusan dibuat oleh guru antara lain mengenai materi pokok bahasan, tugas–tugas, organisasi, dan lain–lain. Selama pertemuan berlangsung yang dibuat oleh guru antara lain penjelasan peranan guru dan siswa, penyampaian pokok bahasan, penjelasan mengenai prosedur organisasi, kelompok, tempat kegiatan yang terdiri dari : peragaan, penjelasan, pelaksanaan, dan penilaian. Keputusan pada pasca pertemuan antara lain umpan balik dari guru kepada siswa, sasarannya harus memberi banyak waktu pada waktu pelaksanaan tugas. Implikasi dari metode komando ini adalah standar penampilan sudah mantap dan pada umumnya satu model untuk satu tugas; pokok bahasan yang dipelajari dengan cara menirukan dan mengingat melalui penampilan; setiap pokok bahasan dipilah–pilah menjadi bagian-bagian yang mudah di mengerti dan dapat diikuti oleh siswa; dalam metode komando tidak ada perbedaan individual. Dalam metode ini terdapat unsur-unsur yang khas dalam pelajaran yaitu semua keputusan dibuat oleh guru; siswa mengikuti petunjuk dan melaksanakan tugas yang diberikan oleh guru; menghasilkan tingkat kegiatan yang tinggi; dan dalam hal ini dapat membuat siswa merasa terlibat dan termotivasi pada saat melaksanakan tugas dari guru; mengembangkan perilaku yang berdisiplin dan mentaati prosedur yang telah ditetapkan selama kegiatan berlangsung. Mosston (1994), mengemukakan bahwa tujuan dari metode ini adalah “ Untuk belajar melaksanakan tugas dengan teliti, menumbuhkan sikap disiplin, memperoleh kemajuan dalam mengatasi setiap problem, saling menghargai dan menumbuhkan sikap bertanggung jawab dalam melaksanakan tugas”.
Metode Latihan Menurut Mosston (1994), metode latihan adalah pelimpahan keputusan tertentu dari guru kepada siswa dalam tugas-tugas latihan yang telah di demonstrasikan sebelumnya. Dalam metode latihan ini, ada beberapa keputusan selama pertemuan berlangsung yang dipindahkan dari guru ke siswa. Sasaran metode latihan ini berbeda dengan metode komando dalam hubungannya dengan perilaku guru dan peranan siswa. Sasaran yang berhubungan dengan tugas penampilan adalah berlatih tugas-tugas yang diberikan sebagaimana telah didemonstrasikan dan dijelaskan sebelumnya; tugas penampilan yang telah diberikan; lamanya waktu berkaitan dengan kecakapan penampilan; memiliki pengalaman dan pengetahuan tentang hasil pembelajaran yang diberikan oleh guru dalam berbagai bentuk. Peranan guru disini sedikit berubah dari metode komando menjadi metode latihan yaitu guru memberi kesempatan siswa untuk bekerja sendiri; memberi balikan secara pribadi kepada siswa; guru harus memberi kesempatan kepada siwa untuk menyesuaikan diri dengan peranan mereka, sedangkan peranan siswa dalam metode ini adalah membuat keputusan selama kegiatan berlangsung mengenai sikap; postur; tempat; urutan pelaksanaa tugas; waktu untuk memulai dan berhenti; memprakarsai pertanyaan-pertanyaan; kecepatan dan irama tugas. 650
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Dalam merencanakan pelajaran dalam metode latihan guru dapat membuat kertas tugas untuk meningkatkan efisiensi metode latihan. Kertas tugas dapat di desain untuk ditempelkan di dinding atau dibuat untuk masing-masing siswa. Fungsi kertas tugas tersebut adalah: (a) untuk membantu siswa mengingat tugasnya/apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukannya; (b) mengurangi pengulangan penjelasan dari guru; (c) mengajar siswa tentang bagaimana mengikuti tanggung jawab tertulis untuk menyelesaikan tugas-tugas; (d) Untuk mencatat kemajuan siswa untuk penilaian; (e) mengurangi kesempatan mengabaikan peragaan dan penjelasan oleh siswa, dan kemudian guru harus menyisihkan waktu lagi untuk mengulangi penjelasan yang telah diberikan. Manipulasi siswa dengan cara ini akan mengurangi interaksi guru dalam meningkatkan tanggung jawab siswa dan mengarahkan perhatian siswa kepada keterangan di kertas tugas yang harus diselesaikan. Adapun desain kertas tugas berisi tentang keterangan yang diperlukan mengenai apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukannya dengan berfokus pada tugas, memberi arah bagi siswa dalam melaksanakan tugas dan kriteria yang di dasarkan atas hasil yang dapat diketahui dan dapat dilihat oleh siswa pada lembaran tugas. Kemudian guru membuat rencana keseluruhan pelajaran, apabila kertas tugas telah merinci tugas-tugas bagi siswa, maka rencana pelajaran yang akan diberikan oleh guru tentang semua keterangan yang diperlukan untuk memimpin kelas. Komponen-komponen rencana pelajaran terdiri dari : rencana, tanggal, waktu, nama semua harus jelas. Tekanan pelajaran harus disebutkan semua kegiatan yang akan diajarkan dan peralatan yaitu semua yang diperlukan dalam pelajaran.
Persepsi Kinestetik Schmidt (1988), mengemukakan istilah kinestetik berasal dari kata “ Kin “ yang berarti motion atau gerak dan kata “ Esthesia “ yang berarti pengamatan seseorang tentang gerakannya sendiri, baik tentang gerakan anggota badannya dengan memperhatikan anggota badan lain, maupun gerakan tubuh secara keseluruhan.” Disini dapat kita lihat bahwa betapa pentingnya fungsi penginderaan dalam melakukan aktifitas gerak tertentu. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Adams (1998) bahwasannya Kinesthesia atau kinestetik adalah suatu susunan sistem syaraf yang memberikan suatu kesadaran akan posisi dan gerakan tubuh dan bagian-bagiannya di dalam ruangan tanpa melihat dengan jelas. Menurut Haywood (1986), bahwa Persepsi kinestetik adalah kemampuan untuk mengidentifikasi organ tubuh satu dengan yang lainnya, kemampuan orientasi tubuh dalam ruang, kemampuan mengetahui organ tubuh pada waktu bergerak, dan kemampuan untuk merasakan adanya kontak dengan obyek diluar dirinya. Proses masuknya stimulus disebut proses atau mekanisme perseptual. Sugiyanto (2000), mengemukakan bahwa Persepsi kinestetik melaksanakan fungsinya melalui mekanisme perseptual. Proses perseptual ini meliputi 3 macam fungsi, yaitu (1) pendeteksian fungsinya adalah untuk menentukan apakah telah terjadi stimulus; (2) perbandingan fungsinya dalah untuk menentukan apakah stimulus yang ditangkap berbeda atau sama sekali dengan dengan stimulus yang pernah ada; (3) pengenalan berfungsi untuk memahami pola dan sifat dari stimulus atau mengenali apa sebenarnya stimulus yang ditangkap. Ketiga macam fungsi perseptual tersebut pada dasarnya untuk tujuan mengenali stimulus sehingga bisa menjadi informasi yang bisa di mengerti. Fitts dalam Magill (1980), mengemukakan bahwa Pengkatagorian proses perseptual menjadi 5 (lima) macam yaitu (1) pendeteksian tentang suatu isyarat yang diterima organ visual yaitu mata; (2) diskriminasi, adalah membedakan dua stimulus yang berbeda; (3) rekognisi adalah penyampaian tentang suatu stimulus telah dikenal atau tidak; (4) identifikasi adalah Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
651
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
penyampaian suatu respon yang dikenal atau tidak terhadap adanya suatu stimulus; (5) penilaian terhadap suatu keterampilan gerak dari gerakan yang sederhana sampai pada gerakan yang kompleks.” Informasi merupakan faktor penting dalam belajar gerak keterampilan. Informasi yang ditangkap oleh sistem penginderaan. Sesuai dengan jenis informasi yang diperlukan dalam belajar gerak. Seperti yang dikemukakan oleh Barrow dan Mcgee dalam Harsono (1988), bahwa “Kinestetic sense adalah sense atau perasaan yang memberikan kita kesadaran akan posisi tubuh atau bagian–bagian dari tubuh pada waktu bergerak di udara.” Organ yang bertugas menangkap stimulus adalah (1) mata sebagai indera penglihat diperlukan untuk menagkap stimulus visual, apalagi stimulus visual yang perlu ditangkap bergerak cepat; (2) telinga sebagai indera pendengar berperan dalam gerakan menangkap stimulus yang berupa suara, misalnya dalam start lari, stimulusnya berupa bunyi aba-aba atau bunyi tembakan; (3) indera kinestetik berada pada organ otot, dan tendon. Indera berikutnya adalah (4) indera peraba yaitu kulit yaitu organ vital dari badan yang terdiri atas berbagai tipe resepstor yang berbeda, dan menyediakan informasi sensori terhadap kontrol gerak. Melalui persepsi seseorang bisa memahami dan menginterpretasi lingkungannya. Bruce Abernethy, et al (1997), bahwa Sekurang-kurangnya ada tiga prinsip yang dapat diamati dalam perkembangan kemampuan perseptual”. Salah satu prinsip tersebut adalah kematangan kemampuan perseptual berlanjut dengan baik setelah sistem sensori dan reseptor telah matang secara struktural. Makin sering melakukan gerakan, siswa makin terbiasa dengan stimulus dan respon gerakan yang dilakukan. Johnson dan Nelson (1990), mengemukakan Persepsi kinestetik adalah kemampuan untuk mempertahankan posisi, usaha dan gerak anggota tubuh atau gerak tubuh secara keseluruhan selama melakukan aktivitas atau juga diartikan sebagai indera ke enam.
Teknik Dasar Bermain Sepak Bola Sepak bola adalah suatu permainan dengan bola yang dimainkan oleh dua regu yang masing-masing regunya terdiri dari sebelas orang termasuk seorang penjaga gawang. Permainan sepak bola dilakukan dengan seluruh bagian badan kecuali dengan kedua lengannya/tangan. Hampir seluruh permainan dilakukan dengan keterampilan kaki kecuali penjaga gawang yang pada waktu memainkan bola bebas menggunakan anggota badannya dengan kaki maupun tangannya. Devaney (1986), bahwa Seorang pemain sepak bola yang hebat, harus dapat menggiring bola, menendang bola, menerima bola, dan menembak, semuanya ini dikenal dengan penguasaan bola”. Dengan demikian seorang pemain sepak bola yang tidak menguasai teknik dasar bermain tidaklah mungkin akan menjadi pemain sepak bola yang baik. (Batty, 2003) mengemukakan “Keterampilan teknis bermain sepak bola terdiri dari menendang, trapping, dribbling, volleying, heading dan throw-in”. Kualitas pemain sepak bola sangat menentukan tingkat permainan suatu tim sepak bola. Dikatakan pula oleh (Gifford, 2002) bahwasannya Seperti halnya di sekolah yang harus dipelajari terlebih dahulu adalah membaca dan menulis sebelum dapat belajar lebih lanjut, dalam sepak bola yang harus di kuasai adalah teknik dasar bermain dengan baik atau berlatih secara terarah. Hal yang sama diungkapkan oleh Kehl (1999), bahwa “Barang siapa hendak menjadi pemain sepak bola yang baik, pertama-tama harus mampu menendang dan menyundul bola/heading, juga harus dikuasai kemahiran dasar membawa bola/dribbling dan menahan bola/controlling. Sepak bola pada dasarnya adalah suatu usaha untuk menguasai bola, atau merebutnya kembali bila sedang dikuasai oleh lawan. Sneyers (1988), bahwa “Mutu suatu 652
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
kesebelasan di tentukan oleh penguasaan teknik dasar tentang sepak bola. Semakin terampil seorang pemain dengan bola, semakin mudah ia dapat menguasai meloloskan diri dari suatu situasi, semakin baik jalannya pertandingan bagi suatu kesebelasan.” . Tentang cara-cara memainkan bola, menumbuhkan naluri terhadap gerak bola, dan semuanya itu hanya dapat dikuasai dengan melakukan latihan yang berulang-ulang dan sistematis. Hal yang sama dikemukakan Scheunemann (2005) mengemukakan bahwa Keterampilan dasardalam permainan sepak bola adalah : (1) keterampilan menendang; (2) keterampilan mengontrol bola; (3) keterampilan merampas bola; (4) keterampilan melempar bola; dan (5) keterampilan menjaga gawang.” Dan yang dimaksud dengan teknik dasar bermain sepak bola dalam penelitian ini adalah menendang bola, menggiring bola/dribbling, mengontrol bola/controlling, dan menyundul bola/heading, dan melempar bola/throw-in yang di uraikan pada penjelasan berikut ini : 1. Teknik Dasar Menendang Bola merupakan teknik dasar bermain sepak bola yang sering digunakan dalam permainan sepak bola. Macam–macam teknik dasar menendang bola. (1)Teknik dasar menendang bola dengan kaki bagian dalam. Dalam mengajarkan teknik dasar menendang bola dengan kaki bagian dalam harus dilakukan bersama-sama dengan latihan menghentikan bola. (2).Teknik dasar menendang bola dengan punggung kaki. Teknik menendang bola dengan punggung kaki ini sering digunakan dalam permainan untuk menembakkan ke gawang. (3) Teknik dasar menendang bola dengan punggung kaki bagian dalam dan bagian luar. 2. Teknik Dasar Mengontrol Bola/Controlling Controlling di dalam permainan sepak bola sangat penting untuk mengontrol bola baik itu bola datar maupun bola di udara yang datang kepada seorang pemain sepak bola dari berbagai ketinggian dengan segala macam kecepatan dan sudut. Macam–macam teknik dasar mengontrol bola yaitu 1). Teknik dasar mengontrol bola dengan kaki bagian dalam. (2) Teknik dasar mengontrol bola dengan punggung kaki. (3). Teknik dasar mengontrol bola dengan paha.( 4) Teknik dasar mengontrol bola dengan dahi. 3. Teknik Dasar Menggiring Bola/Dribbling Menggiring bola dapat di artikan sebagai suatu gerakan lari menggunakan bagian kaki mendorong bola agar bergulir terus–menerus di atas tanah. Macam-macam teknik dasar menggiring bola:(1). Teknik dasar menggiring bola dengan kaki bagian dalam. Sering digunakan dalam permainan sepak bola untuk berputar dan mengubah arah bola. (2) Teknik dasar menggiring bola dengan punggung kaki. Biasanya teknik ini sering digunakan apabila didepan pemain terdapat daerah bebas dari lawan yang cukup luas sehingga jarak untuk menggiring bola cukup jauh. (3) Teknik dasar menggiring bola dengan punggung kaki bagian luar. Sering digunakan dalam pemainan sepak bola karena bagian kaki yang bersentuhan dengan bola cukup luas, pemain dapat dengan mudah bergerak ke depan atau mengubah arah sesuai dengan arah kaki pada waktu berlari. 4. Teknik Dasar Menyundul Bola/Heading Menyundul bola merupakan suatu keterampilan dasardalam permainan sepak bola dengan menggunakan bagian kepala. Macam-macam teknik menyundul bola (1). Teknik dasar menyundul bola dengan sikap berdiri ditempat. Teknik ini sering digunakan oleh seorang pemain untuk mengoperkan bola kepada kawan. (2). Teknik dasar menyundul bola dengan sikap berlari. 5. Teknik Dasar Melempar Bola/Throw-in Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
653
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Melempar bola ke dalam pada permainan sepak bola dilakukan bila terjadi bola seluruhnya melampaui garis samping, baik bola datar yang menggulir di atas tanah maupun yang melayang di udara, maka seorang pemain lawan dari pihak terakhir yang menyentuh bola, dapat melakukan lemparan ke dalam di belakang garis samping di tempat bola meninggalkan lapangan permainan. Dalam melempar bola tidak dibenarkan langsung membuat gol, dan keuntungannya di dalam melempar bola ke dalam tidak ada hukuman bagi pemain yang berdiri di posisi offside.
Metode Penelitian Desain penelitian ini adalah eksperimen dengan faktorial 2x2. Populasinya siswa putra kelas delapan SLTPN I Karangan Trenggalek Jawa Timur tahun ajaran 2013/2014 yang berjumlah 80.. Verducci (1980) prosedur analisis item tes dalam penelitian yaitu Dua puluh tujuh persen (27%) dari 80 populasi diperoleh 21 siswa yang mempunyai persepsi kinestetik tinggi dan 21 siswa yang mempunyai persepsi kinestetik rendah, sedangkan sampel yang terdapat di antara persepsi kinestetik tinggi dan rendah dibuang/dihilangkan sehingga diperoleh 42 siswa. siswa. Pengambilan sampel dengan random sampling , dan hasil penelitian dianalisis dengan teknik ANAVA dengan program SPSS versi 11. Untuk tes Kinesthetic Perception dan sepak bola Yeagley Soccer Battery(1993),. Untuk uji normalitas Kolmogorov-Smirnov (Monro, 1986) dan uji homogenitas varians (uji Bartlett). (Sudjana, 1999).
Hasil Penelitian Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa metode mengajar berpengaruh secara signifikan terhadap hasil keterampilan dasar bermain sepak bola atau hipotesis yang mengatakan terdapat perbedaan pengaruh antara metode komando dan metode latihan terhadap keterampilan dasar bermain sepak bola “diterima” atau ada pengaruh secara signifikan pada = 0,05. Hal ini terbukti dari perolehan Fo = 9,08 yang lebih besar dari F0,95;1,38 = 4,10 atau karena p-value = 0,005 lebih kecil dari 0,05. Perlu di informasikan bahwa rata-rata hasil keterampilan dasar bermain sepak bola bagi siswa yang menggunakan metode komando adalah 143,1 dengan standar deviasi 12,9 dan rata–rata keterampilan dasar bermain sepak bola yang menggunakan metode latihan adalah 156,9 dengan standar deviasi 16,0. Hipotesis statistik Ho : A1 = A ditolak dan H1: A1 A2 diterima Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa ada perbedaan pengaruh antara persepsi kinestetik tinggi dan persepsi kinestetik rendah terhadap keterampilan dasar bermain sepak bola atau hipotesis yang mengatakan terdapat perbedaan pengaruh antara persepsi kinestetik tinggi dan persepsi kinestetik rendah terhadap penguasaan keterampilan dasar bermain sepak bola “ diterima “ atau ada perbedaan yang signifikan pada : 0,05. Berdasarkan hasil perolehan Fo = 70,97 yang lebih besar dari F0,95 ; 1,38 = 4,10 atau karena p-value = 0,000 atau lebih kecil dari 0,05. Perlu di informasikan bahwa rata-rata keterampilan dasar bermain sepak bola untuk kelompok siswa yang memiliki persepsi kinestetik tinggi adalah 162,8 dengan standar deviasi 11,3, sedangkan rata-rata keterampilan dasar bermain sepak bola untuk kelompok siswa yng memilki persepsi kinestetik rendah adalah 137,3 dengan standar deviasi 7,46. Berdasarkan hasil perhitungan statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi antara metode komando dan metode latihan dengan persepsi kinestetik terhadap penguasaan keterampilan dasar bermain sepak bola. Berdasarkan uji statistik menunjukkan bahwa tidak ada
654
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
interaksi secara signifikan antara metode mengajar dan persepsi kinestetik terhadap hasil pembelajaran keterampilan dasar bermain sepak bola, hal ini terbukti dari perolehan Fo = 0,81 < F0,95 ; 1,36 = 4,11 atau karena p-value = 0,373 > 0,05, setelah diketahui bahwa antara metode mengajar dan persepsi kinestetik tidak terdapat interaksi terhadap keterampilan dasar bermain sepak bola, artinya hipotesis ditolak Hasil pengujian hipotesis pertama menunjukkan bahwa antara metode komando dan metode latihan memberikan pengaruh yang berbeda terhadap penguasaan keterampilan dasar bermain sepak bola. Hal ini menunjukkan bahwa masing–masing metode mengajar tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan masing–masing. Di satu sisi untuk metode komando cocok bagi siswa yang pemula atau siswa yang belum memiliki keterampilan dasar bermain sepak bola, pada metode ini siswa dapat mempelajari suatu keterampilan mulai dari awal artinya dari yang mudah terlebih dahulu kemudian beralih ke tingkat yang lebih sulit lagi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mean yang menggunakan metode komando adalah 2,9 dengan standar deviasi 12,9 sedangkan untuk metode latihan cocok bagi siswa yang telah tahu atau mengenal keterampilan dasar bermain sepak bola terlebih dahulu. Hal ini berdasarkan mean 3,6 dengan standar deviasi 16,0, dengan demikian dapat diartikan bahwa siswa yang senang atau menyukai permainan sepak bola cenderung lebih baik dibandingkan dengan metode komando, karena biasanya mereka sering mencoba–coba sehingga paling tidak mereka lebih mengenal dibandingkan dengan yang tidak pernah sama sekali. Pengujian hipotesis kedua yaitu persepsi kinestetik mempunyai pengaruh terhadap keterampilan dasar bermain sepak bola antara siswa yang memiliki persepsi kinestetik tinggi berbeda secara signifikan pada = 0,05 dengan siswa yang memiliki persepsi kinesteik rendah. Hal ini terbukti dari perolehan to = 8,42 yang lebih besar dari t-tabel yaitu 1,69 (t0,95;32) atau karena p-value yang diperoleh sebesar = 0,0000 lebih kecil dari 0,05, kemudian untuk kelompok siswa yang memiliki persepsi kinestetik tinggi mean/rata–rata keterampilan dasar bermain sepak bola adalah 162,8 dengan standar deviasi 11,3 dan mean/rata–rata keterampilan dasar bermain sepak bola adalah untuk kelompok siswa yang memiliki persepsi kinestetik rendah adalah 137,30 dengan standar deviasi 7,46. Siswa yang memiliki persepsi kinestetik tinggi untuk metode latihan lebih efektif dibandingkan dengan metode komando, sedangkan untuk siswa yang memiliki persepsi kinestetik rendah untuk metode komando dan metode latihan tidak memberikan pengaruh yang berbeda terhadap penguasaan keterampilan dasar bermain sepak bola. Pada hipotesis ke tiga ini menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi antara metode komando dan metode latihan dengan persepsi kinestetik terhadap penguasaan keterampilan dasar bermain sepak bola. Berdasarkan uji statistik menunjukkan bahwa tidak ada interaksi secara signifikan antara metode mengajar dan persepsi kinestetik terhadap hasil pembelajaran keterampilan dasar bermain sepak bola, hal ini terbukti dari perolehan Fo = 0,81yang lebih kecil dari F0,95 ; 1,36 = 4,11 atau karena p-value = 0,373 lebih besar dari 0,05, setelah diketahui bahwa antara metode mengajar dan persepsi kinestetik tidak terdapat interaksi terhadap keterampilan dasar bermain sepak bola, artinya hipotesis ditolak
Simpulan Dalam mengajarkan teknik dasar bermain sepak bola bagi siswa yang memiliki persepsi kinestetik tinggi, sebaiknya menggunakan metode latihan, hal ini disebabkan metode latihan memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan siswa yang memiliki persepsi kinestetik Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
655
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
rendah dengan dibuktikannya melalui penelitian ini, selain mempertimbangkan metode latihan para guru hendaknya dalam mengajar teknik dasar bermain sepak bola, terlebih dahulu harus mengetahui keadaan atau kondisi persepsi kinestetik siswa sebagai peserta didik dengan mengadakan tes persepsi kinestetik terlebih dahulu. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa dalam mengajar teknik dasar bermain sepak bola seorang guru perlu mempertimbangkan adanya kemampuan persepsi kinestetik yang dimiliki siswa. Hal ini disebabkan oleh adanya kemampuan persepsi kinestetik yang dimiliki siswa sangat berbeda antara siswa yang satu dengan yang lain. Ada siswa yang memiliki persepsi kinestetik tinggi, dan ada yang mempunyai persepsi kinestetik rendah. Perbedaan tersebut akan menuntut adanya metode mengajar yang berbeda pula, agar para siswa dapat mengikuti pelajaran secara optimal sesuai dengan kemampuan masing–masing.
Daftar Pustaka Abernethy, Bruce, et al. 1997. The Biophysical Foundations of Human Movement. Australia : The University of Queensland. Adams, William C. 1991. Foundation of Physical Education, Exercise, and Sport Sciences. USA : Malvern, Pennsylvania. Batty, Eric C, 2003. Latihan Sepakbola Metode Serangan. Bandung: Pioner Jaya. Brophy, Jere E., Good, Thomas L. 1990. Educational Psychology a Realistic Approach. London : Longman Group Ltd. Devaney, John. 1986. Rahasia Para Bintang Sepak Bola. Semarang : Dahara Prize. Dougherty, N.J., Bonnano, D. 1979. Contemporary Approaches to The Teaching of Physical Education. Minneapolis, Minnesota : Burgess Publishing Company. Gifford, Clive. 2002. Sepak Bola. Jakarta: Erlangga. Harsono. 1998. Coaching dan Aspek-Aspek Psikologis Dalam Coaching. Jakarta : Ditjen Pendidikan Tinggi PPLTK. Haywood, Kathleen M. 1986. Life Span Motor Development. Champaign, Illinois : Human Kinetics Publishers, Inc. Heitmann, Helen M., and Kneer, M. E. 1976. Physical Education Instructional Techniques, An Induvidualized Humanistic Approach. Englewood Cliffs, N.J : Prentice – Hall, Inc. Johnson, B.L., Nelson, J.K. 1990. Research Method in Physical Activity. Minneapolis, Minnesota : Burgess Publishing Company Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1996. Jakarta : Balai Pustaka Kehl, Karen Stanly. 1999. Soccer Today. USA: Peter Marshal. Magill, Richard, A. 1980. Motor Learning Concept and Application. Dubuque, Iowa : Wm. C. Brown Company Publishers. Monro, Barbara H. 1986. Statistical Methods For Health Care Research. Philadellphia : J. B. Lippincott Company. Mosston, Muska., Asworth, Sara. 1994. Teaching Physical Education. New York : Macmillan Publishing Company. Sudjana, Nana. 2000. Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung : PT. Sinar Baru Agresindo. Russel R, Pate., McClenaghan, Bruce., Rotella, Robert. 1993. Scientific Foundation of Coaching, (Terjemahan : Kasiyo Dwijoyonoto).. Semarang : IKIP Semarang Press. Schmidt, R.A. 1988. Motor Control and Learning. Champaign : Human Kinetics Publishers, Scheunemann, Timo. 2005. Dasar-dasar Sepakbola Modern. Malang: Dioma. Singer, R.N. 1980. Motor Learning and Human Performance an Aplication to Physical Education Skills and Movement Behaviors. New York: Macmillan Publishing, Company. Sneyers, Jef. 1988. Sepak Bola Latihan dan Strategi Bermain. Jakarta : PT. Rosda Jayaputra.
656
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Sudjana. 1999. Desain dan Analisis Eksperimen. Bandung : Tarsito Sugiyanto. 1999. Perkembangan dan Belajar Motorik. Jakarta : Universitas Terbuka Sugiyanto dan Kristiyanto, Agus. 2000. Belajar Gerak II. Surakarta : UNS Press. Surahkmad, Winarno. 1980. Pengantar Interksi Mengajar Belajar. Bandung : Tarsito. Verducci, Frank M. 1980. Measurement Concepts In Physical Education. St. Louis Missouri : The C. V. Mosby Company. Welkowitz, Joan., Ewen, Robert B., Cohen, Jacob. 1982. Introductory Statistic For The Behavioral Science, Orlando : Harcout Brace Jovanovich. Inc.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
657
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Dengan Pendekatan Pembelajaran Open Ended Materi Pokok SPLDV Di Kelas VIII MTsN Denanyar Jombang Ahmad Bahrul Ulum 5 ([emailprotected]) Oemi Noer Qomariyah 6 ([emailprotected]) Abstract The purpose of this study was to determine: Is cooperative learning model with open-ended approach is effective in teaching the subject matter of a linear system of equations in two variables of class VIII MTsN Denanyar Jombang? and Is the learning outcomes of students who follow the model of cooperative learning with open-ended approach is better than the learning outcomes of students who take conventional learning to the subject matter of the system of linear equations in two variables of class VIII MTsN Denanyar Jombang? This study was a quasi-experimental study. The population in this study were all eighth grade students MTsN Denanyar Jombang 2014/2015 academic year consisting of 9 kelas. Sampel this research is class VIII-G as an experimental class and the class as a class VIII-A kontrol. Uji try instruments implemented in class VIII -H. Metode collecting data used is the test method and questionnaire method. The data analysis technique used is a t-test techniques with In this study used test requirements analysis is the test of normality and homogeneity. The results showed that cooperative learning model with an effective open-ended approach to teach the subject matter of a system of linear equations of two variables visible from the student activities effectively, the ability of teachers to manage effective learning, learning skills of students in the cooperative model with an effective open-ended approach, students' response to positive learning as well as students in classical learning completeness reached 83.57%. Results grade students taught by open-ended approach better than the learning outcomes of students who are taught by conventional learning model. Keywords: Cooperative, open-ended approach, learning outcomes Abstrak Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: Apakah model pembelajaran kooperatif dengan pendekatan open ended efektif dalam mengajarkan materi pokok sistem persamaan linier dua variabel di kelas VIII MTsN Denanyar Jombang? dan Apakah hasil belajar siswa yang mengikuti pembelajaran model kooperatif dengan pendekatan open ended lebih baik dibandingkan dengan hasil belajar siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional untuk materi pokok sistem persamaan linier dua variabel di kelas VIII MTsN Denanyar Jombang? Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental semu. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII MTsN Denanyar Jombang tahun ajaran 2014/2015 terdiri dari 9 kelas. Sampel penelitian ini adalah kelas VIII-G sebagai kelas eksperimen dan kelas VIII-A sebagai kelas kontrol. Uji coba instrumen dilaksanakan di kelas VIII-H. Pengumpulan data menggunakan metode tes dan angket. Analisis data menggunakan teknik t-test yang didahului dengan uji normalitas dan uji homogenitas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model pembelajaran kooperatif dengan pendekatan open ended efektif untuk mengajarkan materi pokok sistem persamaan linier dua variabel terlihat dari aktivitas siswa efektif, kemampuan guru mengelola pembelajaran efektif, keterampilan siswa pada pembelajaran model kooperatif dengan pendekatan open ended efektif, respon siswa terhadap 5 6
Mahasiswa Prodi. Pendidikan Matematika, STKIP PGRI Jombang Dosen Prodi. Pendidikan Matematika, STKIP PGRI Jombang
658
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
pembelajaran posistif serta ketuntasan belajar siswa secara klasikal mencapai 83,57%. Hasil belajar siswa kelas yang diajar dengan pendekatan open ended lebih baik daripada hasil belajar siswa yang diajar dengan model pembelajaran konvensional. Kata Kunci : Kooperatif, Pendekatan open ended, hasil belajar
Pendahuluan Matematika sebagai salah satu disiplin ilmu merupakan pengetahuan yang sangat penting bagi kehidupan dan banyak memberi sumbangsih dalam pengembangan pengetahuan.Siswa dipersiapkan untuk latihan bertindak atas dasar pemikiran secara logis, rasioal, kritis, cermat, jujur, efisien dan efektif.National Council of Teachers of Mathematics (NCTM) pada tahun 2000, memaparkan standar matematika sekolah meliputi standar materi (mathematical content) dan standar proses (mathematical processes). Standar proses meliputi pemecahan masalah (problem solving), penalaran dan pembuktian (reasoning and proof), koneksi (connection), komunikasi (communication), dan representasi (representation). Salah satu keterampilan matematika yang perlu dikuasai siswa adalah kemampuan pemecahan masalah matematis. Pentingnya pemecahan masalah juga ditegaskan dalam NCTM (2000) yang menyatakan bahwa pemecahan masalah merupakan bagian integral dalam pembelajaran matematika, sehingga hal tersebut tidak boleh lepas dari pembelajaran matematika. Oleh karena itu, kemampuan siswa untuk memecahkan masalah matematis perlu terus dilatih sehingga siswa dapat menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya. Kemampuan pemecahan masalah matematis siswa sangat berhubungan dengan penguasaan konsep siswa.Hudojo (1998) mengungkapkan, “kemampuan yang harus dimilki siswa agar dapat mempelajari matematika dengan baik adalah penugasan konsep matematika yang memiliki hubungan hirarkis dan fungsional”.Dari pemaparan pendapat tadi memberi gambaran bahwa penguasaan konsep ini tidak cukup sampai siswa memahami materi saja, siswa sebaiknya dapat menggunakan konsep tersebut secara tepat dalam memecahkan berbagai persoalan matematika. Masalah yang diambil untuk tugas matematika dapat diperoleh dari masalah yang kontekstual (real world) dan masalah dalam matematika (Shimada dan Becker dalam Jarnawi, 1997: 2). Masalah kontekstual diambil dari masalah-masalah keseharian atau masalahmasalahyang dapat dipahami oleh pikiran siswa. Dengan masalah itu, siswa akan dibawa kepada konsep matematika melalui re-invetion atau melalui discovery. Matematika mengajarkan cara atau proses berpikir yang terstruktur, logis (rasional), kritis dan objektif. Tugas seorang guru memang sangatlah berat, karena selain untuk menguasai materi secara baik, luas dan mendalam juga harus memiliki kiat khusus melalui model dan pendekatan pembelajaran untuk membangkitkan motivasi dan meningkatkan pemahaman siswa terhadap suatu materi yang diajarkan sehingga proses pembelajaran akan lebih berarti dan bermakna serta akan meningkatkan hasil belajar bagi siswa. Salah satu pengembangan model dan pendekatan pembelajaran tesebut adalah didasarkan pada teori kognitif. Melalui aktivitas tersebut diharapkan siswa akan lebih kritis dan kreatif karena dengan kreatifitas siswa akan membantu guru dalam meningkatkan pemahaman siswa terutama dalam bidang pendidikan. Pendekatan pembelajaran (learning approach) merupakan cara guru dalam pelaksanaan pembelajaran agar konsep yang disajikan dapat beradaptasi dengan siswa (Suherman, 2001:7). Jadi, pemilihan metode, model dan pendekatan pembelajaran yang tepat dan efektif akan mempermudah proses terbentuknya pengetahuan
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
659
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
pada siswa sehingga tujuan guru untuk meningkatkan hasil belajar siswa akan lebih mudah tercapai. Berdasarkan wawancara yang dilakukan peneliti kepada guru bidang studi matematika yang mengajar di sekolah tersebut, diketahui bahwa selama ini siswa MTsN Denanyar khususnya kelas VIII memiliki kekurangan dalam hal kemampuan pemecahan masalah matematika.Dalam pembelajaran matematika, siswa kelas VIII mengalami kesulitan khususnya dalam menyelesaikan soal yang berhubungan dengan pemecahan masalah matematika, sebagaimana dikatakan bahwa kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal matematika pada umumnya belum memuaskan.Salah satu kesulitan tersebut adalah membuat model matematika dan menyelesaikan persoalan yang berkaitan dengan materi sistem persamaan linear dua variabel.Selain mengenai kondisi siswa, dari wawancara juga diketahui bahwa sebagian besar siswa menganggap bahwa soal cerita dalam pelajaran matematika yang berkaitan dengan materi tersebut masih dirasa sulit.Metode pembelajaran yang digunakan oleh gurupun masih cenderung hanya menyampaikan pengetahuan kepada siswa. Siswa hanya diposisikan sebagai orang yang tidak tahu, yang hanya menunggu apa yang guru berikan. Hal ini membuat siswa cenderung pasif Berdasarkan hal tersebut, kemampuan pemecahan masalah matematika siswa kelas VIII MTsN Denanyar masih perlu ditingkatkan. Salah satu langkah yang dapat dilakukan oleh guru untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa adalah memilih pendekatan serta model pembelajaran yang tepat dan berorientasi pada kompetensi siswa khususnya kemampuan pemecahan masalah matematika.Secara teoritis, salah satu model pembelajaran yang menjanjikan dapat mengintegrasikan siswa aktif, kritis dan kreatif dalam pembelajaran yang efektif dan inovatif adalah melalui penerapan model pembelajaran kooperatif dengan pendekatan open-ended. Menurut Slavin (1995:2) dalam belajar kooperatif, siswa belajar dalam kelompok kecil yang bersifat heterogen dari segi gender, etnis, dan kemampuan akademik untuk saling membantu satu sama lain dalam tujuan bersama. Dengan belajar dalam kelompok kecil maka siswa akan lebih berani mengungkapkan pendapatnya dan menumbuhkan rasa social yang tinggi. Hasil penelitian Huten dan De vries menunjukkan bahwa dengan belajar kooperatif membuat anggota kelompok bersemangat belajar.Sedangkan Murray dalam hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa interaksi antar siswa dalam belajar dapat meningkatkan perkembangan kognitif siswa (Slavin, 1995). Arends (1997:111) mengemukakan beberapa karakteristik pembelajaran kooperatif yaitu : (1). Siswa bekerja dalam kelompok secara kooperatif untuk menuntaskan materi belajarnya; (2) kelompok dibentuk dari siswa dengan kemampuan tinggi, sedang, rendah.; (3) jika mungkin, anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku, dan jenis kelamin berbeda; (4) penghargaan lebih berorientasi pada kelompok daripada individu. Berdasarkan pendapat di atas, yang dimaksud pembelajaran kooperatif dalam penelitian ini adalah model pembelajaran yang menekankan aspek sosial dalam pembelajaran. Siswa dibagi dalam kelompok kecil dengan anggota yang heterogen, khususnya dalam kemampuan akademik. Dalam kelompoknya, siswa bekerja sebagai sebuah tim untuk menguasai materi atau menyelesaikan tugas tugas yang diberikan. Pendekatan open-ended merupakan salah satu upaya inovasi pendidikan matematika yang pertama kali dilakukan oleh para ahli pendidikan matematika Jepang. Pendekatan ini lahir sekitar duapuluh tahun yang lalu dari hasil penelitian yang dilakukan Shigeru Shimada, Toshio Sawada, Yoshiko Yashimoto, dan Kenichi Shibuya (Nohda dalam Jarnawi, 2000 : 1). 660
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Munculnya pendekatan ini sebagai reaksi atas pendidikan matematika sekolah saat itu yang aktifitas kelasnya disebut dengan “issei jugyow” (frontal teaching); guru menjelaskan konsep baru di depan kelas kepada para siswa, kemudian memberikan contoh untuk penyelesaian beberapa soal. Prinsip pendekatan open-ended sama dengan prinsip pembelajaran berbasis masalah yaitu suatu pendekatan pembelajaran yang dalam prosesnya dimulai dengan memberi suatu masalah kepada siswa. Problem open-ended merupakan problem yang diformulasikan memiliki multi jawaban yang benar. Problem ini disebut juga problem tak lengkap atau problem terbuka. Sedangkan dasar keterbukaannya (openness) dapat diklasifikasikan ke dalam tiga tipe, yakni: 1) Process is open, prosesnya terbuka maksudnya adalah tipe soal yang diberikan mempunyai banyak cara penyelesaian yang benar, 2) end product are open, cara pengembangan lanjutan terbuka, yaitu ketika siswa telah selesai menyelesaikan masalahnya, mereka dapat mengembangkan masalah baru dengan mengubah kondisi dari masalah yang pertama (asli). Seperti diketahui bahwa masalah rutin yang biasa diberikan pada siswa sebagai latihan atau tugas selalu berorientasi pada tujuan akhir, yakni jawaban yang benar. Akibatnya proses atau prosedur yang telah dilakukan oleh siswa dalam menyelesaikan soal tersebut kurang atau bahkan tidak mendapat perhatian guru. Padahal perlu disadari bahwa proses penyelesaian masalah merupakan tujuan utama dalam pembelajaran pemecahan masalah matematika.Dengan demikian melalui model pembelajaran kooperatif dengan pendekatanopen-ended dapat memberi kesempatan kepada siswa khususnya siswa kelas VIII MTsN Denanyar untuk memperoleh pengetahuan/pengalaman menemukan, mengenali, dan memecahkan masalah dengan beberapa teknik secara berkelompok .Tujuan dari penelitian ini adalah (1). Apakah model pembelajaran kooperatif dengan pendekatan open ended efektif dalam mengajarkan materi pokok sistem persamaan linier dua variabel di kelas VIII MTsN Denanyar Jombang?, (2) Apakah hasil belajar siswa yang mengikuti pembelajaran model kooperatif dengan pendekatan open ended lebih baik dibandingkan dengan hasil belajar siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional untuk materi pokok sistem persamaan linier dua variabel di kelas VIII MTsN Denanyar Jombang?
Metode Penelitian Berdasarkan pertanyaan penelitian, maka penelitian ini dikategorikan ke dalam penelitian eksperimen Penelitian ini menggunakan quasi experimental design (rancangan eksperimen semu). Quasi experimental design digunakan untuk menguji efektifitas model pembelajaran kooperatif dengan penedekatan open ended dan membandingkan hasil belajar siswa yang dikenai pembelajaran kooperatif dengan pendekatan open-ended dan hasil belajar siswa yang dikenai model pembelajaran konvensional. Pada penelitian ini digunakan metode eksperimen model control group pretest post-test design.Tahapan pelaksanaan penelitian dimulai dengan tahap persiapan yaitu mempersiapkan instrumen penelitian, dilanjutkan dengan tahap pelaksanaan yaitu: validasi instrumen, uji coba instrumen, memberikan pretest pada kelas eksperimen dan kelas control, melaksanakan model pembelajaran dengan pendekatan open endeduntuk kelas eksperimen dan pembelajaran konvensional untuk kelas control. Selama proses pembelajaran berlangsung dilakukan pengamatan aktivitas siswa dan pengamatan kemampuan guru mengelola pembelajaran. Selanjutnya diberikan angket respon siswa kepada siswa kelas eksperimen. Pada Tahap Analisa Data dimulai dengan validasi instrument, uji coba instrument penelitian, dimana hasil uji coba dipakai sebagai dasar untuk pelaksanaan eksperimen. Subyek uji coba kelas VIII H MTsN Denanyar dengan rancangan Uji Coba berikut: Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
661
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Tabel 1 Rancangan Uji Coba Kelas Tes awal Perlakuan Tes Akhir Uji Coba T1 X T2 Keterangan : T1 = Tes Awal (sebelum perlakuan), T2 = Tes Akhir (setelah perlakuan), X = Perlakuan model pembelajaran kooperatif dengan pendekatan open ended Tehnik pengumpulan data uji coba meliputi: a). data kemampuan guru memngelola pembelajaran, b). Data aktifitas siswa, c) Data respon siswa, d). Data hasil belajar. Sedangkan Tehnik analisis data uji coba meliputi: a). data kemampuan guru mengelola pembelajaran dianalisis dengan menggunakan skor rata-rata kemampuan guru (KG) dengan kriteria sebagai berikut : Tabel 2 Kriteria kemampuan guru Mengelola pembelajaran KG Kriteria Tidak Baik 1 KG 2 Kurang Baik 2 KG 3 Cukup Baik 3 KG 4 KG = 4 Baik Kemampuan guru mengelola pembelajaran dikatakan effektif jika rata nrata dari semua skor untuk tiap RPP berada pada criteria baik atau cukup baik, b). Data aktifitas siswa dianalisis dengan menggunakan prosentase yaitu :
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Tabel 3 Kriteria batasan waktu Ideal untuk aktivitas siswa Waktu Kriteria toleransi Aktivitas siswa ideal (%) batasan efektivitas (%) Mendengarkan/memperhatikan penjelasan 22 17 – 27 guru Membaca LKS 6 1 – 11 Bekerja mengerjakan LKS / mengerjakan soal 45 40 – 50 kuis Berdiskusi/bertanya antara siswa dan guru 11 6 – 16 Berdiskusi / bertanya antara sesama siswa 16 11 – 21 Perilaku yang tidak relevan dengan KBM. 0 0–5
Data respon siswa dikelompokkan dalam kategori senang, tidak senang, baru dan tidak baru. Siswa dikatakan member respon positif jika member respon senang, baru dan berminat. Persentase dari respon positif dihitung dengan rumus
Jumlah respon positif siswa untuk tiap aspek x 100% Jumlah seluruh siswa Data hasil belajar dianalisis untuk menentukan validitas dan reliabilitas.Pada tahap eksperimen, variabel-variabel dalam penelitian ini melibatkan dua variabel bebas, dan pada pengukuran (post-test) terdapat dua variabel terikat yang diukur. Adapun variabel-variabel penelitian tersebut, sebagai berikut:Variabel bebas atau independent variableyaitu : model pembelajaran, yang terdiri atas dua model, yakni (a) Model pembelajaran kooperatif dengan pendekatan open
662
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
ended (EO), dan (b) pembelajaran konvensional.Variabel terikat (dependent variable) yaitu: hasil belajar matematika siswa. Dengan rancangan penelitian sebagai berikut:
Kelompok Eksperimen Kontrol
Tabel 4 Rancangan penelitian Pretes Perlakuan T1 T1
Posttes
X Y
T2 T2
Keterangan: T1 : Pretes pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol T2 : Posttes pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol X : Perlakuan, yaitu penerapan model pembelajaran kooperatif dengan pendekatan open ended pada pokok bahasan sistem persamaan linier dua variabel Y : Perlakuan, yaitu penerapan pembelajaran matematika konvensional pada pokok bahasan sistem persamaan linier dua variabel T1 = T2 (butir soal T1 sama dengan T2) Populasi dalam penelitian ini adalahsiswakelas VIII MTsN Denanyar tahun pelajaran 2014/2015.Kemudian untuk menarik sampel dari populasi digunakan teknik Simple Random Sampling,Adapun sampel dalam penelitian ini berasal dari populasi yang terbagi menjadi 9 kelas.Dari 9 kelas diambil dua sampel kelas yaitu kelas VIII-G (dijadikan kelas eksperimen) dan kelas VIII-A (dijadikan kelas kontrol). Tehnik Analisa data meliputi analisis deskriptif dan analisis statistik inferensial , statistic deskriptif untuk menjawab pertanyaan peneliti bahwa model pembelajaran kooperatif denga pendekatan open ended efektif jika memenuhi : a). Kemampuan guru mengelola pembelajaran efektif, b). Aktivitas siswa efektif , c) hasil belajar secara klasikal tuntas. Sedangkan statistik inferensial digunakan untuk menjawab pertanyaan peneliti yaitu Apakah hasil belajar siswa yang mengikuti pembelajaran model kooperatif dengan pendekatan open ended lebih baik dibandingkan dengan hasil belajar siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional untuk materi pokok sistem persamaan linier dua variabel di kelas VIII MTsN Denanyar Jombang? Tabel 5 Rancangan analisis data digambarkan sebagai berikut. Kelompok Eksperimen
Kelompok Kontrol
Pretest (X1) X11 X 21 X 31
Posttes (Y1) Y11 Y21 Y31
….
……
….
…..
…..
…..
….
…...
XN1,1
Pretest (X2) X12 X22 X32
Posttes (Y2) Y12 Y22 Y32
YN1,1 XN2,2 YN2,2 Adaptasi dari Ferguson (1989:360)
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
663
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Keterangan: X1 : skor kemampuan awal siswa sebagai variabel penyerta pada kelompok eksperimen, X2 : skor kemampuan awal siswa sebagai variabel penyerta pada kelompok kontrol, Y1 : skor hasil belajar siswa sebagai variabel terikat pada kelompok eksperimen, Y2 : skor hasil belajar siswa sebagai variabel terikat pada kelompok kontrol, N1 : banyaknya sampel pada kelompok eksperimen N2 : banyaknya sampel pada kelompok kontrol
Hasil Penelitian Berdasarkan hasil pengamatan, maka kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran cukup baik sehingga menurut kemampuan guru mengelola pembelajaran efektif.Dari datahasil analisis aktivitas siswa di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa aktivitas siswa efektif karena setiap aspek yang diamati berada para rentang waktu ideal. Berdasarkan jawaban siswa yang tertuang dalam angket respon siswa diperoleh hasil sebagai berikut. a. Perasaan siswa terhadap komponen mengajar Komponen Mengajar 1. Materi Pelajaran 2. Lembar Kerja Siswa (LKS) 3. Cara Belajar 4. Cara Guru Mengajar
Senang (%) 100 94,44 97,22 97,22
Tidak Senang (%) 0 5,56 2,78 2,78
b. Pendapat siswa terhadap komponen mengajar Komponen Mengajar 1. Materi Pelajaran 2. Lembar Kerja Siswa (LKS) 3. Cara Belajar 4. Cara Guru Mengajar
Baru (%) 94,44 100 100 94,44
Tidak Baru(%) 5,56 0 0 5,56
c. Minat siswa untuk mengikuti pembelajaran kooperatif dengan pendekatan open ended adalah 100% d. Komentar siswa mengenai LKS Komentar Siswa 1. Bahasa yang digunakan dalam LKS dapat dipahami 2. Penampilan LKS menarik
Ya (%) 100 97,22
Tidak (%) 0 2,78
Berdasarkan data di atas dan kriteria yang ditetapkan bahwa respon siswa dikatakan positif apabila persentase setiap aspek lebih dari atau sama dengan 80% maka dapat disimpulkan : 1. Respon siswa tentang komponen mengajar positif 2. Respon siswa untuk mengikuti pelajaran berikutnya dengan cara seperti yang telah diikuti adalah positif.
664
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Data hasil belajar siswa untuk kelas eksperimen dan kelas kontrol dapat dilihat pada lampiran. Perbandingan data hasil belajar siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol disajikan pada Tabel.5 Tabel .5 Perbandingan Hasil Belajar Siswa Banyak Siswa Rata-rata Hasil Belajar Siswa Banyaknya siswa yang tuntas belajar Persentase siswa yang tuntas belajar Ketuntasan belajar secara klasikal
Kelas Eksperimen 36 36,03 32 83,57 Tuntas
Kelas Kontrol 32 32,94 22 68,75 Tidak tuntas
Berdasarkan data ini maka kelas eksperimen mencapai ketuntasan belajar sedangkan kelas kontrol tidak mencapai ketuntasan belajar. Analisis Statistik Inferensial a. Model Regresi Model regresi kelas eksperimen adalah Y = 29,17 + 0,94X Model regresi kelas kontrol adalah Y = 25,45 + 1,09X Perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran. b. Uji independensi Hasil analisis untuk uji independensi model regresi kelas eksperimen disajikan pada Tabel 6 berikut. Tabel 6 Anava untuk Uji Independensi Model Regresi Kelas Eksperimen Source of Varians Regression Residual Total
SS 116,6509 636,3213 752,9722
Df 1 34 35
MS 116,6509 18,153
F* 6,23
Untuk taraf signifikan = 5% diperoleh F(0,95;1,34) = 4,13. Dengan demikianF*> F(0,95;1,34), sehingga Ho ditolak. Ini berarti kemampuan awal siswa (X) pada kelas eksperimen mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap hasil belajar siswa. Hasil analisis untuk uji independensi model regresi kelas kontrol disajikan pada Tabel 7 Tabel 7 Anava untuk Uji Independensi Model Regresi Kelas Kontrol Source of Varians Regression Residual Total
SS 440,976 212,899 653,875
Df 1 30 31
MS 440,9759 7,0966
F* 62,14
Untuk taraf signifikan = 5% diperoleh F(0,95;1,30) = 4,17. Dengan demikianF* F(0,95;1,30), sehingga Ho ditolak. Ini berarti kemampuan awal siswa (X) pada kelas kontrol mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap hasil belajar siswa. c. Uji Linieritas Hasil analisis uji linieritas untuk model regresi kelas eksperimen disajikan pada Tabel 8 Tabel 8 Anava untuk Uji Linieritas Model Regresi Kelas Eksperimen Source of Varians Lack of Fit
SS 198,3005
Df 6
MS 33,0501
F* 2,35
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
665
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Pure Error
394,1702
28
14,0775
Untuk taraf signifikan = 5% diperoleh F(0.95,6,28) = 2,45. Dengan demikianF* 0,05) sesuai dengan kriteria maka dapat dikatakan data dari kelompok keterampilan bolavoli, kemampuan motorik dan kontrol mempunyai varian yang sama (homogen). Pada pengujian hipotesis ini berdasarkan dari hasil tabulasi data yang diperoleh dari tes yang telah diberikan kepada testee.Uji hipotesis yang digunakan pada penelitian ini meliputi: uji paired sample t-test (uji t sampel berpasangan) yang digunakan mencari perbedaan nilai pretest dan posttest pada masing-masing kelompok. Uji Beda Rata-Rata Sampel Berpasangan (Uji Paired Sample t-Test) Nilai yang digunakan dalam penghitungan uji t paired t-test adalah nilai pretest dan posttest dari masing-masing kelompok, maka hasil perhitungan uji t paired ttest adalah sebagai berikut: Tabel 4. Uji Paired Sample t-Test Paired Differences Sig. Keterampilan bolavoli T Df (2-tailed) Mean Mean Difference pre-test 36.4 Kelompok 18.7 10.452 9 .000 I post-test 55.1 pre-test 34.7 Kelompok 8,3 4.705 9 .001 II post-test 43.0 pre-test bolavoli 34.9 3.5 4.417 9 .000 post-test bolavoli 38.4 Kelompok III Pretest motorik 35.2 5.8 6.595 9 .000 Posttest motorik 41.0 Berdasarkan hasil perhitungan tabel di atas dapat diinterprstasikan sebagai berikut: 1. Kelompok I (keterampilan bolavoli) Ho :p > 0,05, tidak terdapat perbedaan signifikan hasil belajar bolavoli sebelum dan sesudah menerima model keterampilan bolavoli. Ha :p < 0,05, terdapat perbedaan signifikan antara hasil belajar bolavoli sebelum dan sesudah menerima model keterampilan bolavoli. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
707
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Berdasarkan penghitungan diperoleh nilai thitungsebesar 10.452 dengan harga p = 0,000. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa p = 0,000 < 0,05 hal ini dapat dikatakan bahwa Ho ditolak. Dengan kata lain terdapat perbedaan yang signifikan antara hasil belajar bolavoli sebelum dan sesudah menerima model keterampilan bolavoli. Hal ini dapat dikatakan bahwa pemberian model pembelajaran berpengaruh terhadap peningkatan hasil belajar bolavoli. 2. Kelompok II (kemampuan motorik) Ho :p > 0,05, tidak terdapat perbedaan hasil belajar bolavoli antara pretest dan posttest pada kelompok kontrol motorik. Ha :p < 0,05, terdapat perbedaan hasil belajar bolavoli antara pretest dan posttest pada kelompok kontrol motorik. Melihat dari hasil perhitungan uji t sampel berpasangan (paired sample t-test) ternyata hasilnya adalah signifikan. Hal ini dapat dikatakan bahwa kemampuan motorik berpengaruh terhadap peningkatan hasil belajar bolavoli. 3. Kelompok III (Kontrol) Dilihat dari hasil perhitungan uji t sampel berpasangan (paired sample t-test) ternyata hasilnya adalah signifikan. Hal ini dapat dikatakan bahwa kelompok kontrol berpengaruh terhadap peningkatan hasil belajar bolavoli. Dari hasil penelitian, maka akan dibuat suatu pembahasan mengenai hasil-hasil dari penelitian tentang pengaruh model pembelajaran taktis dan kemampuan motorik terhadap hasil belajar bolavoli siswa putra kelas VIII SMPN 4 Lamongan. 1. Kelompok I (keterampilan bolavoli) Dengan demikian, model pembelajaran taktis dapat mempengaruhi secara signifikan terhadap hasil belajar bolavoli siswa putra. Dengan mengunakan model pembelajaran taktis siswa diberikan kemudahan dalam bermain. Menurut Metzler dan Housner (2009:9) memberikan penjelasan bahwa suatu model dalam wilayah pengetahuan isi pedagogis berangkat dari sebuah gaya mengajar, strategi pengajaran, dan model – model pembelajaran. Maka dari itu, sebuah model akan bermakna dalam implementasinya apabila disertakan dengan sebuah pendekatan. Menurut (lutan,1988) penerapan model yang tepat akan memberikan pengaruh yang positif maka model merupakan penyederhanaan suatu hubungan antara kontruk yang kompleks. Secara langsung model pembelajaran ini siswa dapat mengalami pengalaman dari hasil belajar dan pemahaman bermain bolavoli, dengan pemanfaatan suatu model pembelajaran kita juga dapat memprediksi apakah yang menjadi kendala dalam suatu pembelajaran. Melihat hasil perhitungan uji t sampel berpasangan (paired sample t-test) ternyata hasilnya adalah signifikan. Hal ini dapat dikatakan bahwa pemberian model pembelajaran berpengaruh terhadap peningkatan hasil belajar bolavoli. Hasil tersebut memberikan sesuatu bahwa model pembelajaran itu terdapat strategi pencapaian kompetensi siswa dengan pendekatan, metode dan teknik pembelajaran sehingga buat motivasi siswa belajar karena suasana pembelajaran tidak membosankan. Dalam model pembelajaran taktis ini dapat melalui berbagai langkah – langkah dalam bermain guna mencari kemampuan siswa menentukan teknik dan pola permainan yang disederhanakan. Pembelajaran permainan dengan model dan penggunaan bola sebagai alat dalam menerapkan pembelajaran pada siswa. 2. Kelompok II (kemampuan motorik) Melihat dari hasil perhitungan uji t sampel berpasangan (paired sample t-test) ternyata hasilnya adalah signifikan. Hal ini dapat dikatakan bahwa kemampuan motorik berpengaruh terhadap peningkatan hasil belajar bolavoli. Kemampuan motorik merupakan salah satu 708
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
indikator yang melekat pada individu yang erat kaitanya dengan pencapaian hasil belajar keterampilan, kemampuan motorik sanat berpengaruh terhadap penguasaan keterampilan gerak mau keterampilan dalam olahraga. Adapun komponen dasar motorik itu seperti kekuatan, kelentukan, koordinasi, 3. Kelompok III (Kontrol) Dilihat dari hasil perhitungan uji t sampel berpasangan (paired sample t-test) ternyata hasilnya adalah signifikan. Hal ini dapat dikatakan bahwa kelompok kontrol berpengaruh terhadap peningkatan hasil belajar bolavoli. Hal ini mungkin adanya aktivitas diluar penelitian yang sama dilakukan dengan kelompok eksperimen. Jadi hasil yang terlihat antara tes awal dan akhir menunjukan peningkatan hasil belajar bolavoli. Dan juga kelompok kontrol tidak diberi perlakuan keterampilan bolavoli dan motorik dan memperlihatkan peningkatan hasil belajar bolavoli.
Simpulan Hasil pengujian hipotesis tentang pengaruh model pembelajaran taktis dan kemampuan motorik terhadap hasil belajar bolavoli, maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Dapat dikatakan bahwa model pembelajaran taktis berpengaruh signifikan terhadap hasil belajar bolavoli. 2. Dapat dikatakan bahwa kemampuan motorik berpengaruh signifikan terhadap hasil belajar bolavoli.
Daftar Pustaka Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta. Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta. Creswell, W. Jhon. 2010. Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Depdikbud.2012. Pedoman Penulisan Tesis dan Disertasi. Surabaya: PPS Unesa. Griffin, Linda L., Mitchell, Stephen A., Oslin, Judith L.1997, Teaching Sport Concepts and Skill. A Tactical Games Approach, United States of America : HumanKinetics, Irsyada, Machfud. 2000. Bolavoli. Jakarta: Depdikbub RI. Kiram, Phil. Yanuar. 1992. Belajar Motorik. Depdikbud Dirjen Dikti RI. Kountur, Ronny. 2009. Metode Penelitian: untuk Penulisan Skripsi dan Tesis. Jakarta: Buana Printing. Kurniawan, Feri. 2011. Buku Pintar Olahraga: Mens Sana In Corpore Sano. Jakarta: Laskar Aksara. Lutan, Rusli. 1988. BelajarKeterampilan Motorik: Pengantar Teori dan Metode. Jakarta: Depdikbud RI Dirjen Dikti. Ma’mun, Amung dan Saputra, Yudha. M. 2000. Perkembangan Gerak dan Belajar Gerak. Jakarta: Dekdibud RI. Maksum, Ali. 2007. Statistik dalam Olahraga. Surabaya: Unesa University Press. Maksum, Ali. 2012. Metodologi Penelitian dalam Olahraga. Surabaya: Unesa University Press. Miller, Scott. A. 1998. Developmental Research Methods. New Jersey: Prentice-Hall. Nurhasan, 2003.Tes dan pengukuran (pengantar kegunaan tes dan pengukuran kriteria tes). Surabaya: Unesa University Press. Nurhasan., dkk, 2005. Petunjuk Praktis Pendidikan Jasmani (Bersatu membangun Manusia yang Sehat Jasmani dan Rohani). Surabaya: Unesa University Press. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
709
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
PBVSI. 2005. Peraturan Permainan Bolavoli. Jakarta: PBVSI. Rahyubi, Heri. 2012. Teori-Teori Belajar dan Aplikasi Pembelajaran Motorik: Deskripsi dan Tinjauan Kritis. Bandung: Nusa Media. Riduwan. 2010. Metode dan Teknik Menyusun Tesis. Cet. VIII. Bandung: Alfabeta. Sedarmayanti dan Hidayat, Syarifudin. 2002. Metodologi Penelitian. Bandung: Mandar Maju. Slamet, Suherman. 2010. Pengaruh Media Pembelajaran dalam Model Pembelajaran Taktis dan Kemampuan Motorik terhadap Hasil Belajar Keterampilan Bermain Bolavoli: Tesis Pendidikan Sps UPI Bandung. Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta. Vierra, Barbara. L. 2004. Bolavoli Tingkat Pemula. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Wijayanto, Eko.Zulki. 2012. Pengaruh Pembelajaran Permainan Bola Besar terhadap Tingkat Kesegaran Jasmani.Journal of Physical Education, Sport, Health and Recreations.Vol. 1, No. 1, Hal.6-10. Yulianawati. 1996. Bolavoli Modern. Surabaya: Unesa University Press. Yunus, M. 1992. Olahraga Pilihan Bolavoli. Depdikbud Dirjen Dikti.
710
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Perbandingan Metode Pembelajaran Whole Practice dan Part Practice Terhadap Hasil Belajar Dribbling Bolabasket (Studi Kelas V SDK Santo Yusup Surabaya) Arnaz Anggoro Saputro 12 ([emailprotected]) Abstract Dribble is one way of carrying the ball and can also help move the ball on the ground and keep away from custody. If the game of basketball can not dribling then the game would be hampered even less likely to be able to walk. Many learning methods are used in order to improve students' skills in mastering basic motion dribble. But is in fact still many students who have not been able to master this basic motion with the methods applied by educators. It required another method that is able to increase increase the ability of learners to master the basic motion of matter dribble. The purpose of this study was to determine the ratio between the practice and the whole part method practice, to determine the appropriate method applied to the students. Based on the research findings, we can conclude that learning by using part practice provide better impact on learning outcomes in the amount of 22.63 dribble be compared to wholepractice methods of 12.86%. Keywords: Basic motion dribble, pert practice methods, methods of whole practice, learning outcomes Abstrak Dribble adalah salah satu cara membawa bola dan juga dapat membantu memindahkan bola di lapangan dan menjauhkan diri dari penjagaan. Jika dalam permainan bolabasket tidak bisa dribbling maka permainan pun akan terhambat bahkan cenderung tidak dapat berjalan. Banyak metode pembelajaran yang digunakan agar dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam menguasai gerak dasar dribble. Akan tetapi dalam kenyataaannya masih banyak siswa yang belum mampu menguasai gerak dasar ini dengan metode yang diterapkan oleh para pendidik. Untuk itu diperlukan metode lain yang mampu meningkatkan meningkatkan kemampuan peserta didik dalam mengusai materi gerak dasar dribble. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbandingan antara metode part practice dan whole practice, untuk mengetahui metode yang cocok diterapkan pada siswa. Berdasarkan temuan penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dengan menggunakan metode part practice memberikan dampak yang lebih baik terhadap hasil belajar dribble yaitu sebesar 22,63 dibandinkan dengan metode whole practice sebesar 12,86%. Kata Kunci: Gerak dasar dibble, metode part practice, metode whole practice, hasil belajar
Pendahuluan Pendidikan merupakan proses alami yang berlangsung secara wajar dalam kehidupan manusia di lingkungan keluarga. Dalam perkembangannya, kehidupan manusia semakin kompleks dan maju, sehingga pendidikan keluarga yang mengutamakan pembentukan pribadi yang bersifat alami tidak lagi memadai untuk menghadapi perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Oleh karena itu diciptakan struktur pendidikan yang bersifat formal yang disebut pendidikan persekolahan(M.Nursalim dkk,2007). Pengertian pendidikan pada sistem pendidikan nasional adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan dan peranannya dimasa yang akan datang. Pendidikan berintikan interaksi antara pendidik dengan peserta didik dalam upaya membantu peserta didik menguasai tujuan-tujuan pendidikan. Interaksi pendidikan dapat 12
Dosen STKIP PGRI Jombang Prodi Pendidikan Jasmani dan Kesehatan
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
711
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
berlangsung dalam lingkungan keluarga, sekolah, ataupun masyarakat. Diantara ketiga interaksi tersebut hanya sekolah yang bersifat formal. Guru sebagai pendidik di sekolah telah dipersiapkan secara formal dalam lembaga pendidikan guru. Ia telah mempelajari ilmu, keterampilan, dan seni sebagai guru. Ia juga telah dibina untuk memiliki kepribadian sebagai pendidik. Lebih dari itu mereka juga telah diangkat dan diberi kepercayaan oeh masyarakat untuk menjadi guru, bukan sekedar dengan surat keputusan dari pejabat yang berwenang, tetapi juga dengan pengakuan dan penghargaan dari masyarakat. Guru melaksanakan tugasnya sebagai pendidik dengan rencana dan persiapan yang matang. Mereka mengajar dengan tujuan yang jelas, bahan-bahan yang telah disusun secara sistematis dan rinci, dengan cara dan alat-alat yang telah dipilah dan dirancang secara cermat. Di sekolah guru melakukan interaksi pendidikan secara berancana dan sadar. Di lingkungan sekolah telah ada kurikulum formal, yang bersifat tertulis. Guru-guru melaksanakan tugas mendidik secara formal, oleh karena itu pendidikan yang berlangsung di sekolah sering disebut pendidikan formal Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan merupakan bagian integral dari pendidikan secara keseluruhan, bertujuan untuk mengembangkan aspek kebugaran jasmani, keterampilan gerak, keterampilan berpikir kritis, keterampilan sosial, penalaran, stabilitas emosional, tindakan moral, aspek pola hidup sehat dan pengenalan lingkungan bersih melalui aktivitas jasmani, olahraga dan kesehatan terpilih yang direncanakan secara sistematis dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional. Pendidikan sebagai suatu proses pembinaan manusia yang berlangsung seumur hidup, pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan yang diajarkan di sekolah memiliki peranan sangat penting, yaitu memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk terlibat langsung dalam berbagai pengalaman belajar melalui aktivitas jasmani, olahraga dan kesehatan yang terpilih yang dilakukan secara sistematis. Pembekalan pengalaman belajar itu diarahkan untuk membina pertumbuhan fisik dan pengembangan psikis yang lebih baik, sekaligus membentuk pola hidup sehat dan bugar sepanjang hayat.(Permendiknas No.22 Tahun 2006). Percepatan arus informasi dalam era globalisasi dewasa ini menuntut semua bidang kehidupan untuk menyesuaikan visi, misi, tujuan dan strateginya agar sesuai dengan kebutuhan, dan tak ketinggalan zaman. Penyesuaian tersebut secara langsung mengubah tatanan dalam sistem makro, meso, maupun mikro, demikian hanya dengan sistem pendidikan. Sistem pandidikan nasional senantiasa harus dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan yang terjadi baik di tingkat lokal, nasional, maupun global. Pendidik diberi kebebasan dalam melakukan proses pembelajaran yang sesuai dengan keadaan dimana mereka berada, agar tujuan- tujuan yang ditetapkan dapat tercapai dengan baik. Standar kompetensi pada siswa sekolah dasar salah satunya adalah mempraktikkan berbagai keterampilan permainan olahraga dalam bentuk sederhana dan nilai- nilai yang terkandung di dalamnya, sedangkan kompetensi dasarnya adalah mempraktikkan keterampilan bermain salah satu permainan dan olahraga beregu bola besar dengan menggunakan peraturan yang dimodifikasi serta nilai kerjasama, kejujuran, menghargai, semangat, percaya diri. Dalam hal ini bolabasket termasuk didalamnya. Bolabasket memang olahraga yang tidak bisa dilakukan disembarang tempat, butuh tempat atau perlengkapan khusus untuk memainkanya. Dewasa ini bola basket memang sudah banyak diminati baik oleh kalangan perkotaan maupun pedesaan, akan tetapi biasanya terbentur masalah sarana dan prasarana. Sebagian dari mereka hanya mempelajari di bangku sekolah, dan itu pun baru diajarkan pada siswa menengah. Kebanyakan dari mereka yang baru mengenal olahraga ini mengalami kesulitan untuk bisa menguasai gerak 712
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
dasarnya, selain karena fasilitas yang tersedia hanya di sekolah, mereka juga menerima pembelajaran dari kegiatan belajar di sekolah seminggu sekali. Dari beberapa gerak dasar seperti dribbel, passing dan shooting,salah satu gerak dasar yang penting untuk dikuasai siswa adalah dribbel. Dribble merupakan bagian yang tak terpisahkan dari bolabasket dan penting bagi permainan individual dan tim. Dribble adalah salah satu cara membawa bola dan juga dapat membantu memindahkan bola di lapangan dan menjauhkan diri dari penjagaan(Hal Wiessel,1996). Jika dalam permainan bolabasket tidak bisa dribling maka permainan pun akan terhambat bahkan cenderung tidak dapat berjalan. Permasalahan dalam dribble lebih kompleks di karenakan setiap individu diharuskan dapat mengendalikan bola dengan memantulkan ke lantai lapangan. Bagi mereka yang baru mengenal olahraga bolabasket pasti akan mengalami kesulitan karena mereka belum menguasai ball handling dan fee thel ball. Banyak metode pembelajaran yang digunakan agar dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam menguasai gerak dasar dribble. Akan tetapi dalam kenyataaannya masih banyak siswa yang belum mampu menguasai gerak dasar ini dengan metode yang diterapkan oleh para pendidik. Untuk itu diperlukan metode lain yang mampu meningkatkan meningkatkan kemampuan peserta didik dalam mengusai materi gerak dasar dribble. Dalam penelitian ini ingin diketahui metode manakah yang lebih cocok untuk digunakan atau diterapkan dalam pembelajaran dribble bolabasket pada siswa kelas V. Diantara dua metode ini pasti ada salah satu yang cocok dan baik digunakan untuk membantu peserta didik, atau bahkan keduanya mampu membantu peserta didik. Untuk itu perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui perbandingan hasil belajar siswa dengan menggunakan metode whole practie dan part practice.
Landasan Teori Pembelajaran Pembelajaran pada hakikatnya adalah proses interaksi antara peserta didik dengan lingkungan, sehingga terjadi perubahan perilaku kearah yang lebih baik. Dalam interaksi tersebut banyak sekali faktor yang mempengaruhinya, baik faktor internal yang datang dari dalam diri individu, maupun faktor eksternal yang datang dari lingkungan. Dalam pembelajaran, tugas guru yang paling utama adalah mengkondisikan lingkungan agar menunjang terjadinya perubahan perilaku bagi peserta didik. Untuk mencapai suatu tujuan pembelajaran memerlukan suatu cara atau metode pembelajaran. Metode pembelajaran bukanlah suatu tujuan pembelajaran, melainkan cara untuk mencapai suatu tujuan pembelajaran sebaik-baiknya. Pembelajaran lebih menekankan pada bagaimana upaya guru untuk mendorong atau memfasilitasi siswa belajar, bukan pada apa yang dipelajari siswa. Pembelajaran lebih menggambarkan bahwa siswa lebih banyak berperan dalam mengembangkan pengetahuan bagi dirinya. Dalam pembelajaran yang menempatkan peranan guru sebagai pusat dari proses, antara lain guru berperan sebagai sumber informasi, pengelola kelas dan menjadi figur yang harus diteladani. Oleh karena itu peranan guru menjadi sangat aktif dalam proses pembelajaran. Tujuan pembelajaran pada hakekatnya mengacu pada hasil yang diharapkan. Ini berarti bahwa dalam merencanakan pembelajaran, tujuan pembelajaran ditetapkan lebih dulu, selanjutnya semua kegiatan pembelajaran diarahkan untuk mencapai tujuan tersebut. Tujuan pembelajaran dapat diklasifikasikan atas tujuan umum dan tujuan khusus.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
713
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
1. Tujuan umum dari pembelajaran adalah pernyataan umum tentang hasil pembelajaran yang diinginkan. Tujuan ini mengacu pada keseluruhan bidang studi, yaitu struktur orientasi atau struktur ganda bidang studi. Karenanya tujuan umum akan banyak mempengaruhi strategi pengorganisasian makro. 2. Tujuan khusus dari pembelajaran adalah pernyataan khusus tentang hasil pembelajaran yang diinginkan. Tujuan ini mengacu pada konstruk tertentu apakah itu fakta, konsep, prosedur atau prinsip dari bidang studi. Karenanya tujuan khusus akan banyak mempengaruhi strategi pengorganisasian mikro. (Ratumanan, 2004:3) Pembelajaran adalah kegiatan guru secara terprogram dalam desain instruksional, untuk membuat siswa belajar secara aktif, yang menekankan pada penyediaan sumber belajar (Dimyati dan Mudjiono, 2006). Pembelajaran adalah upaya memperkembangkan potensi yang dimiliki oleh anak menjadi sesuatu yang aktual (Maksum, 2009). Pembelajaran adalah proses membuat orang untuk melakukan proses belajar sesuai dengan rancangan (Winataputra dan Puspita, 1994). Dari pengertian-pengertian pembelajaran diatas dapat dimaknai oleh penulis bahwa pembelajaran merupakan suatu upaya kegiatan rancangan atau program yang didesain untuk memperkembangkan dan meningkatkan potensi yang dimiliki agar siswa belajar secara aktif. Tujuan pembelajaran olahraga: 1. Membentuk sikap disiplin, kejujuran, akan peraturan dan ketentuan yang berlaku. 2. Meningkatkan kebugaran jasmani dan kesehatan serta dayatahan tubuh yang kuat terhadap penyakit. 3. Tercapai perkembangan dan pertumbuhan dengan fisik, emosional, kognitif, afektif, psikomotor yang bagus. 4. Menyenangi aktifitas olahraga yang sehat dan baik secara jamani maupun rohani. 5. Dapat menjelaskan pentingnya olahraga serta dapat menerapkan dan melakukan kegiatan olahraga. Pembelajaran adalah kegiatan guru secara terprogram dalam desain instruksional, untuk membuat siswa belajar secara aktif, yang menekankan pada penyediaan sumber belajar (Dimyati dan Mudjiono, 2006). Pembelajaran adalah upaya memperkembangkan potensi yang dimiliki oleh anak menjadi sesuatu yang aktual (Maksum, 2009). Pembelajaran adalah proses membuat orang untuk melakukan proses belajar sesuai dengan rancangan (Winataputra dan Puspita, 1994).
Hasil Belajar Hasil belajar menurut Sudjana (1990) adalah kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajaranya. Dari dua pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah suatu kemampuan atau keterampilan yang dimiliki oleh siswa setelah siswa tersebut mengalami aktivitas belajar. Gagne dalam Sudjana(1990) mengungkapkan ada lima kategori hasil belajar, yakni : informasi verbal, kecakapan intelektul, strategi kognitif, sikap dan keterampilan. Sementara Bloom mengungkapkan tiga tujuan pengajaran yang merupakan kemampuan seseorang yang harus dicapai dan merupakan hasil belajar yaitu : kognitif, afektif dan psikomotorik. Whole practice Metode whole practice atau metode keseluruhan adalah cara mengajar yang dilakukan dengan menampilkan keterampilan secara utuh. Dalam pelaksanaanya, metode global ini mengikuti urutan sebagai berikut: 714
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
1. Pembukaan : yaitu tahap memperkenalkan keterampilan yang akan dipelajari. Tahap ini bisa dilakukan dengan cara uraian lisan, demonstrasi langsung, penayangan gambar atau foto, atau hanya lembaran tugas. Pada intinya tahap ini memberikan gambaran utuh (keseluruhan) tentang keterampilan yang akan dipelajari. Dalam pembelajaran dribble ini siswa akan ditunjukkan dengan cara demonstrasi langsung bagaimana bentuk atau langkah-langkah dalam dribble. 2. Percobaan : yaitu tahap dimana semua siswa mencoba menguasai keterampilan yang dimaksud dengan cara melakukan sendiri secara utuh dari keseluruhan rangkaian keterampilan yang dipelajari. 3. Review : yaitu tahap dimana guru mengundang siswa untuk saling mengungkapkan masalahmasalah yang ditemukan selama percobaan. Atau dalam kondisi kelas yang lebih berssifat satu arah, tahap ini sering digunakan guru untuk memberitahukan kesalahan-kesalahan yang masih mereka buat. Tahap ini diakhiri hingga semua siswa mempunyai gambaran yang jelas tentang kekurangan dan kelebihan mereka. 4. Percobaan : anak diberi kesempatan mencoba kembali dengan tujuan memperbaiki kesalahan-kesalahan yang masih dibuat. Percobaaan kedua ini tetap dilakukan secara keseluruhan, yang kemudian dilakukan review kembali. Demikian seterusnya hingga keterampilan yang bersangkutan dirasa sudah dicapai dengan baik. 5. Pemantapan : setelah beberapa kali terlibat dalam proses review dan percobaan ulang, maka siswa akan semakin mantap kemampuannya. Pada tahap ini hendaknya guru sudah semakin spesifik dalam memberikan umpan balik yang berguna untuk memantapkan keterampilan (Mahendra, 2012).
Part practice Metode part practice atau metode bagian adalah salah satu cara mengajar yang membagi keterampilan menjadi bagian-bagian. Caranya dimulai dengan mengajarkan bagian-bagian terkecil dari suatu keterampilan dan pada akhirnya digabung menjadi suatu keterampilan yang utuh. Tahapan pelaksanaanya adalah sebagai berikut : 1. Pembukaan : sama seperti dalam tahapan pengajaran metode keseluruhan, tahap ini adalah untuk memberikan pengertian yang utuh tetang materi atau keterampilan yang akan dipelajari. Lebih khusus lagi, untuk memperlihatkan kepada siswa bagaimana ketermpilan yang dimaksud terdiri dari bagian-bagian yang digabungkan. 2. Analisis : tahap untuk mengenali bagian-bagian yang membangun suatu keterampilan, bagaimana urutannya, dan apa fungsi dari masing-masing bagian. Analisis ini bermanfaat juga untuk melatih anak dalam melihat bagaimana suatu keterampilan terbangun. 3. Melatih : tahap berikutnya adalah melatih bagian-bagian secara berurutan. Mulai dari sikap awal dribble sampai dengan gerak lanjutan dribble. Demikian terus, hingga semua bagian dikuasai. 4. Sintesis : setelah setiap bagian yang membangun suatu keterampilan dapat dikuasai, kemudian dilanjutkan dengan latihan keseluruhan. Meskipun setiap bagian telah dikuasai, namun biasanya untuk menyatukan ke dalam suatu keterampilan yang utuh bagi sebagian anak merupakan hal yang sulit terutama bagi anak yang mempunyai kemampuan dasar yang rendah. Oleh karena itu pelaksanaan tahap ini memerlukan waktu yang cukup, dengan pemberian umpan balik yang cukup pula (Mahendra, 2012).
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
715
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Bolabasket Basket dimainkan oleh dua (2) tim dari lima (5) pemain masing masing. Tujuan dari setiap tim adalah untuk memasukkan bola ke dalam keranjang lawan 'dan untuk mencegah tim lain memasukkan bola ke keranjang sendiri. Keranjang lawan / sendiri: Keranjang yang diserang oleh sebuah tim adalah keranjang lawan dan keranjang yang dipertahankan oleh sebuah tim adalah keranjang sendiri. Tim yang mencetak lebih banyak poin di akhir waktu permainan akan jadi pemenang ( Official basketball rules, 2014).
Dribble Dribble adalah salah satu dasar bolabasket yang pertama diperkenalkan kepada para pemula, karena ketrampilan ini sangat penting bagi setiap pemain yang terlibat dalam pertandingan bola basket. Setiap peserta olahraga bolabasket bisa melakukan dribble yang terampil karena keterampilan dribble bisa dilatih kapanpun dan di manapun. Dribble berfungsi membantu memindahkan bola di lapangan dan menjauhkan diri dari penjagaan. Setiap tim memerlukan orang yang mampu melakukan dribble dengan baik, dan dapat membawa bola dengan cepat di lapangan pada suatu terobosan cepat (fast break) dan melindunginya terhadap penjagaan. Beberapa manfaat khusus dribble : 1. Memindahkan bola keluar dari daerah padat penjagaan ketika operan tidak memungkinkan (contoh ketika setelah rebound atau dijaga dua orang) 2. Memindahkan bola ketika penerima tidah bebas penjagaan. 3. Memindahkan bola pada saat fast break karena rekan tim tidak bebas penjagaan untuk mencetak angka. 4. Menembus penjagaan ke arah ring. 5. Menarik perhatian penjaga untuk membebaskan rekan tim. 6. Menyiapkan permainan menyerang. 7. Memperbaiki posisi atau sudut sebelum mengoper ke rekan, dan 8. Membuat peluang untuk menembak. (Wissel, 1996)
Metode Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian dengan pendekatan kuantitatif yang menekankan analisisnya pada data-data numerikal (angka) yang diolah dengan metoda statistika. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif eksperimen. Penelitian eksperimen digunakan karena dalam penelitian ini akan ada perlakuan yang diberikan pada subjek penelitian. Perlakuan berupa pemberian metode whole practice dan metode part practice terhadap siswa kelas V SDK Santo Yusup Surabaya. Nantinya pada proses penelitian atau pengambilan data menggunakan instrumen yang menekankan pada pencatatan angkaangka,baik pretest maupun posttest.
716
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Hasil Penelitian Tabel 1. Data Hasil Penelitian Metode Part Practice Pre-Test Rata-rata 18.531875 Std.Deviations 4.64 Variant 21.56 Maximum 12.52 Minimum 34.17 Presentase 22.63% Post-Test Rata-rata 14.33 Std.Deviations 2.171 Variant 4.715 Maximum 11.32 Minimum 22.89 Presentase 22.63% Nilai Beda Rata-rata 4.195 Std.Deviations 2.925 Variant 8.561 Maximum 11.41 Minimum 0.35 Presentase 22.63%
Rata-rata Std.Deviations Variant Maximum Minimum Presentase Rata-rata Std.Deviations Variant Maximum Minimum Presentase Rata-rata Std.Deviations Variant Maximum Minimum Presentase
Metode Whole Practice Pre-Test 21.069 5.33 28.47 12.9 38.05 12.86% Post-Test 18.358 4.37 19.15 12.24 34.02 12.86% Nilai Beda 2.71 1.8 3.26 7.38 0.06 12.86%
Tabel 2. Perbandingan Hasil Perlakuan Metode Rata-rata Part Whole pre-test 18.531 21.069 Gerak dasar poet-tes 14.33 18.358 dribbe perubahan 4.195 2.71 bolabasket % 22.63% 12.86% Dari hasil penelitian yang sudah didapatkan, maka akan dibuat suatu pembahasan mengenai hasil-hasil dari analisa penelitian tersebut. Pembahasan di sini membahas penguraian hasil penelitian tentang pemberian perlakuan metode whole practice dan part practice. Berdasarkan hasil olah data dari hasil penelitian dijelaskan bahwa kedua metode yang diterapkan memberikan dampak terhadap peserta didik, namun metode part practice memberikan dampak yang lebih baik yaitu sebesar 22,63% dibandingkan dengan metode whole prctice yang hanya memberikan pengaruh sebesar 12,86%.
Simpulan Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian, serta hasil penelitian, maka penelitian ini dapat disimpulkan berikut: metode pembelajaran part practice memberikan dampak yang lebih baik terhadap hasil belajar dribble pada siswa kelas V SDK Santo Yusup
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
717
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Surabaya dibanding dengan pembelajaran menggunakan metode whole practice. Metode yang cocok untuk diterapkan pada siswa adalah metode part practice.
Daftar Pustaka Ahmadi, N. 2007. Permainan Bolabasket. Solo: Era Intermedia. Arikunto, S. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Dimyati dan Mudjiono, 2006.Belajar dan Pembelajaran. Depdiknas Fiba Central Board. 2010. Official Basketball Rulles. San Juan, Puerto Rico. Diunduh pada 28 maret 2012 Kementerian Pendidikan Nasional. 2006. Standar Isi Untuk Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional. Lutan, Rusli. 1988.Belajar Keterampilan Motorik Pengantar Teori dan Metode. Jakarta: Depdikbud. Dirjendikti. Mahendra, Agus.2012. Teori Belajar Motorik. http://file.upi.edu/Direktori/FPOK/ JUR._PEND._OLAHRAGA/196308241989031AGUS_MAHENDRA/Kumpulan_makalah_bah an_pepenataran(Agus_Mahendra)/Teori_Belajar_motorik.pdf. Diunduh pada tanggal 20 Februari 2012 Maksum, A. 2009a. Metodologi Penelitian dalam Olahraga. Surabaya : Unesa. _______, A. 2009b.Statistik dalam Olahraga. Surabaya: Unesa _______, A. 2009c. Psikologi Olahraga. Surabaya : Unesa Muhajir. 2007. Belajar Bolabasket Untuk Pemula. Jakarta : Widya Cipta. Nursalim, Dkk. 2007. Psikologi Pendidikan. Surabaya : Unesa University Press Ratumanan, T. Gerson. 2004. Belajar dan Pembelajaranedisi ke-2. Surabaya : UnesaUniversityPress Sudjana, N. 1991. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar . Bandung: PT Remaja Rosdakarya Tim Penyusun, 2006. Panduan Penulisan dan Penilaian Skripsi. Surabaya: Unesa. Verduci, Frank. 1980. Measurement Concept in Physical Education. St.Louis : C.V Mosby company Winataputra dan Puspita, 1994.Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan. Jakarta: Erlangga Wissel, hal. 1996. Bolabasket Langkah Untuk Sukses. Jakarta : PT Grafindo Persada. Yafis, Akhmad. 2012. Penerapan Metode Pelatihan Teknik Dasar Dengan Metode Global, Bagian, dan Global Bagian Terhadap Service Backhand Bulutangkis. Tesis tidak diterbitkan. Surabaya : Pascasarjana Unesa
718
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Pengaruh Modifikasi Permainan Bolabasket Terhadap Kebugaran Jasmani Siswa SMPKr Petra Jombang Mecca Puspitaningsari 13 Nurdian Ahmad 13 Abstract This study aims to determine how much influence modification the basketball game against the physical fitness of students SMPKr Petra Jombang. Type in this study is quantitative experimental method. In this study using the whole opulation subject greders IX A and IX B class SMPKr Petra Jombang totaling 32 students. All students were given treatment that modification basketball game. From t-test, ttabel = 1,697 while thitung =9,871 thus dependent variable results in the study group can be interpreted otherwise thitung > ttabel take take effect difference between pre-test and posttest. Based on the results of the analysis above can be concluded that there is a dignificant effect after treated baskeball game can be from the results of the t test Keywords: modification, basketball game, Physical fitness Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh modifikasi permainan bolabasket terhadap kebugaran jasmani siswa SMPKr Petra Jombang. Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan metode eksperimen. Pada penelitian ini menggunakan subjek populasi seluruh siswa kelas IX A dan kelas IX B SMPKr Petra Jombang yang berjumlah 32 siswa. Seluruh siswa diberi perlakuan yaitu modifikasi permainan bolabasket. Dari uji-t diperoleh, ttabel = 1,833, sedangkan t hitung =9,871 dengan demikian dari hasil variabel terikat pada kelompok penelitian dinyatakan thitung > ttabel, dapat diartikan bahwa terdapat perbedaan pengaruh antara pre-test post-test. Berdasarkan hasil analisa di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan setelah diberi perlakuan dilihat dari hasil uji-t. Kata Kunci: Modifikasi, Permainan bolabasket, Kebugaran Jasmani
Pendahuluan Pada dasarnya dalam kehidupan suatu bangsa, faktor pendidikan mempunyai peranan yang sangat penting untuk menjamin perkembangan dan kelangsungan hidup bangsa tersebut. Secara langsung maupun tidak langsung pendidikan adalah suatu usaha sadar dalam menyiapkan pertumbuhan dan perkembangan anak melalui kegiatan, bimbingan, pengajaran dan pelatihan bagi kehidupan dimasa yang akan datang. Tentunya hal ini merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, anggota masyarakat dan orang tua. Untuk mencapai keberhasilan ini perlu dukungan dan partisipasi aktif yang bersifat terus menerus dari semua pihak. Berhasilnya tujuan pembelajaran ditentukan oleh banyak faktor diantaranya adalah faktor guru dalam melaksanakan proses pembelajaran, karena guru secara langsung dapat mempengaruhi, membina dan meningkatkan kecerdasan serta keterampilan siswa. Untuk mengatasi permasalahan diatas dan guna mencapai tujuan pendidikan secara maksimal, peran guru sangat penting dan diharapkan guru mampu menyampaikan semua mata pelajaran yang tercantum dalam proses pembelajaran secara tepat dan sesuai dengan konsep-konsep mata pelajaran yang akan disampaikan. 13
Dosen Program Studi Pendidikan Jasmani dan Kesehatan STKIP PGRI Jombang
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
719
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Pendidikan jasmani merupakan media untuk mendorong perkembangan motorik, kemampuan fisik, pengetahuan dan penalaran, penghayatan nilai-nilai (sikap-mental-emosionalspritual-dansosial), serta pembiasan pola hidup sehat yang bermuara untuk merangsang pertumbuhan dan perkembangan yang seimbang. Dalam pendidikan jasmani makna tersebut akan lebih diperluas menjadi belajar gerak yang akan menghasilkan pengalaman-pengalaman yang disebabkan oleh perubahan yang tidak terbatas pada peningkatan fisik saja, akan tetapi perubahan secara menyeluruh dan menyangkut sikap, pengetahuan dan ketrampilan. Ini dinyatakan dengan tingkah laku yang berubah dan mengarah kematangan orang dewasa. Adanya perubahan fisik diri manusia merupakan penguasaan kondisi kontrol dari jenis-jenis olahraga. Diantaranya perbaikan sikap badan, tinggi dan berat badan yang relatif normal, kekuatan otot dan lain-lain. Permainan bolabasket sangat populer dikalangan masyarakat, hampir setiap lapisan masyarakat mengenal cabang olah raga bolabasket. Di kalangan remaja cabang olah raga bolabasket menjadi salah satu primadona permainan olah raga yang digemari selain sepak bola dan bulu tangkis. Menurut Gore (2000: 150), basketball is a game of continuously changing tempo requiring speed acceleration, explosive movements such as rebounding, passing, jump shooting, fast breaks and high speed play. Bolabasket termasuk jenis permainan yang komplek gerakannya dan ditata dalam berbagai peraturan, artinya gerakannya terdiri dari gabungan unsur-unsur gerak yang terkoordinir rapi dan juga membentuk kondisi fisik, tenik dan taktik the content of basketball game is determined by the diversity of technical elements and the variety of tactical tasks (Bazanov, 2007: 5). Menurut Sajoto (1995: 8), kondisi fisik adalah prasyarat yang sangat diperlukan dalam usaha peningkatan prestasi seorang atlet bahkan dapat dikatakan sebagai keperluan dasar yang tidak dapat ditunda. Sedangkan menurut Maulidin (2012: 15), mengemukakan bahwa tujuan untuk meningkatkan potensi fungsional atlet dan mengembangkan kemampuan biomotor ke derajat yang lebih tinggi. Menurut Harsono (1988: 58), unsur pelatihan fisik tersebut meliputi kekuatan (strength), kecepatan (speed), kelentukan (flexibility), koordinasi (coordination), kelincahan (agility), ketepatan (accuracy), dan reaksi (reaction). Pusat kesegaran jasmani dan rekreasi (1999:1) merangkan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas fisik adalah kesegaran jasmani dan kesehatan. Kesegaran jasmani dan Kesehatan tidak dapat terwujud dengan sendirinya tanpa melalui Pendidikan dan pembudayaan. Oleh karena itu, perlu diadakan penelitian tentang pengaruh permainan bolabasket terhadap kebugaran Jasmani (Studi kasus siswa SMPKr Petra Jombang).
Landasan Teori Pendidikan jasmani Pendidikan jasmani adalah proses mendidik melalui aktivitas gerak untuk mengoptimalkan laju pertumbuhan dan perkembangan, baik fisik maupun psikis untuk menigkatkan kemampuan dan keterampilan jasmani, kecerdasan, kesegaran jasmani, sosial, kultural, emosional, dan rasa keindahan demi tercapainya tujuan pendidikan yaitu pembentukan manusia seutuhnya Harsono (dalam Subekti, 2011). BSNP (2006:512) menyatakan bahwa: Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan merupakan bagian integeral dari pendidikan secara keseluruhan, bertujuan untuk mengembangkan aspek kebugaran jasmani, keterampilan gerak, keterampilan berfikir kritis, keterampilan sosial, penalaran, 720
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
stabilitas emosional, tindakan moral, aspek pola hidup sehat dan pengenalan lingkungan bersih melalui aktifitas jasmani, olahraga dan kesehatan terpilih yang direncanakan secara sistematis dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional. Pendidikan jasmani olahraga dan kesehatan merupakan pendidikan yang memanfaatkan aktivitas jasmani yang secara sistematis, bertujuan untuk mengembangkan kesehatan, kebugaran jasmani, keterampilan gerak, keterampilan berfikir kritis, stabilitas emosional, tindakan moral dan penalaran. Pendidikan jasmani ini karenanya harus menyebabkan perbaikan dalam ‘pikiran dan tubuh’ yang mempengaruhi seluruh aspek kehidupan harian seseorang. Pendekatan holistik tubuh-jiwa ini termasuk pula penekanan pada ketiga domain kependidikan: psikomotor, kognitif, dan afektif. Dengan meminjam ungkapan Robert Gensemer, penjas diistilahkan sebagai proses menciptakan “tubuh yang baik bagi tempat pikiran atau jiwa.” Artinya, dalam tubuh yang baik ‘diharapkan’ pula terdapat jiwa yang sehat, sejalan dengan pepatah Romawi Kuno: Men sana in corporesano.
Modifikasi Olahraga Modifikasi secara umum dapat diartikan sebagai hamper segala tindakan yang bertujuan mengubah perilaku. Menurut ahli memberikan batasan tentang modifikasi perilaku adlah penerapan prinsip-prinsip belajar yang telah teruji secara eksperimental untuk mengubah perilaku yang tidak adaptif, kebiasaan-kebiasaan yang tidak adaptif dilemahkan dan dihilangkan,perilaku adaptif di timbulkan dan dikukuhkan (wolpe, 1973). Modifikasi olahhraga merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh para guru agar proses pembelajaran dapat mencerminkan DAP “ Developentally Appropriate Practice” yaitu tugas ajar yang disampaikan harus memperhatikan perubahan kemampuan atau kondisi anak dan dapat membantu mendorong kearah perubahan tersebut.
Kebugaran Jasmani Kebugaran jasmani dapat diartikan dalam berbagai kualitas hidup yang sangat berhubungan dengan status kesehatan seseorang dan menjasi bagian pendorong dan sumber kekuatan bagi perkembangan dan pertumbuhan jasmani kearah yang lebih baik, sehingga aspek lain dapat tercapai sesuai keinginan. Menurut Toho Kebugaran jasmani adalah kesanggupan tubuh untuk melakukan aktifitas tanpa mengalami kelelahan yang berarti (Kemendikbud, 2014: 239). Sedangkan menurut Paiman (2009: 273) menyatakan: Dalam kebugaran jasmani ada tida komponen yang dibagi tiga kelompok diantaranya adalah (1) kebugaran jasmani yang berhubungan dengan kesehatan yang terdiri dari: daya tahan, jantung paru, kekuatan otot, daya tahan otot, kelenturan, dan posisi tubuh: (2) kebugaran jasmani berhubungan dengan keterampilan terdiri dari: keseimbangan (stability), daya ledak power), kecepatan (speed), kelincahan (agility), koordinasi (coordination), dan kecepatan reaksi (reaction speed), (3) kebugaran jasmani berhubungan dengan keadaan tidak menderita (wellness). Ada banyak komponen-komponen untuk melatih kebugaran setiap cabang olahraga mempunyai cara berbeda dalam meningkatkan kebugaran. Sedangkan menurut Muhamad, (2009:140) beberapa unsur kebugaran tubuh yang termasuk dalam permainan bolabasket adalah 1. Keseimbangan (balance), 2 kelincahan (agility), 3 kekuatan (strength), 4 kecepatan-gerakreaksi (speed), 5 daya tahan-otot-kardiovaskuler (endurance), 6 kelentukan (flexibility), 7 koordinasi (coordination).
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
721
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Seseorang dikatakan sehat atau memiliki kebugaran jasmani apabila siswa mempunyai kesanggupan dan daya tahan untuk melakukan pekerjaan secara kontinyu dan efektif, serta tidak merasa lelah sedikitpun, artinya sehabis melakukan pekerjaan seseorang masih mempunyai cukup energi untuk melakukan pekerjaan lain. Pusat kesegaran jasmani dan rekreasi (1999:1) merangkan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas fisik adalah kesegaran jasmani dan kesehatan. Kesegaran jasmani dan Kesehatan tidak dapat terwujud dengan sendirinya tanpa melalui Pendidikan dan pembudayaan.
Permainan Bolabasket Menurut sejarahnya, permainan bola basket diciptakan oleh seorang instruktur dari pendidikan jasmani pada YMCA (Young Mens Christian Association), Springfield, Massachuses, Amerika Serikat tahun 1891 Tahun 1892, Prof. Naismith memperkenalkan permainan ini kepada masyarakat Amerika. Tahun 1892 untuk pertama kalinya dibuatkan peraturan baku permainan bolabasket. Setahun kemudian, tepatnya tahun 1893 kata “Basket Ball” secara resmi diterima dalam perbendaharaan bahasa inggris. Bertambanya waktu banyak inovasi dan modifikasi untuk meningkatkan skill dengan permainan tidak hanya 5 lawan 5 akan tetapi ada juga kejuaran 3 lawan 3 tidak hanya di kalangan mahasiswa akan tetapi juga di kalangan pelajar baik SMP dan SMA. Menurut Oktavianto (2012: 59), bolabasket merupakan olahraga permainan yang menggunakan bola besar, dimainkan dengan tangan bola boleh di oper (dilempar ke teman) boleh dipantulkan ke lantai (di tempat atau sambil berjalan) dan tujuanya memasukkan bola ke keranjang lawan. Teknik dasar permainan bolabasket terdiri dari beberapa macam cara : 1. Ball handling 2. Dribbling 3. Passing 4. Catching 5. Shooting 6. Rebounding (offense & defense) 7. Pivoting 8. Setting screen 9. Offensive moves (with & without the ball) 10. Defensive moves (slide step) (PERBASI, 2004: 30) Dari beberapa teknik dasar di atas yang dominan dilakukan dalam permaian bolabasket di kalangan pelajar adalah passing, dribble, shooting dan pivot karena teknik-teknik tersebut mudah untuk di pelajari berikut penjelasan teknik dasar yang sering diterapkan dalam permainan bola basket: Cara melempar dan menangkap bola Macam-macam operan dengan dua tangan : a. The two hand chest pass : operan setinggi dada/ tolakan dada b. The over head pass : operan atas kepala c. The bounce pass : operan pantulan d. The under hand pass : operan ayunan bawah Macam-macam operan dengan satu tangan : a. The side arm pass/the base ball pass : operan samping b. The lop pass : operan lambung c. The back pass : operan gaetan 722
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
d. The jump hand pass : operan lompat Lemparan tolakan dada dengan dua tangan Lemparan atau operan ini merupakan lemparan yang sangat banyak dilakukan dalam permainan. Lemparan ini sangat bermanfaatuntuk operan jarak pendek dengan perhitungan demi kecepatan dan kecermatan dan kawan penerima bola tidak dijaga dengan dekat. Jarak lemparan ini antara 5 sampai 7 meter. Lemparan samping Lemparan samping berguna untuk operan jarak sedang dan jarak kira-kira antara 8 sampai 20 meter, bisa dilakukan untuk serangan kilat. Lemparan di atas kepala dengan dua tangan Operan ini biasanya digunakan oleh pemain-pemain jangkung, untuk menggerakkan bola di atas sehingga melampui daya raih lawan. Operan ini juga sangat berguna untuk operan cepat, bila pengoper itu sebelumnya menerima bola di atas kepala. Lemparan bawah dengan dua dua tangan Lemparan atau operan ini sangat baik dilakukan untuk operan jarak dekat terutama sekali bila lawan melakukan penjagaan satu lawan satu. Lemparan kaitan Operan kaitan sebaiknya diajarkan setelah lemparan-lemparan yang lain dikuasai. Operan ini digunakan untuk dapat melindungi bola dan mengatasi jangkauan lawan terutama sekali bagi lemparan yang lebih pendek dari panjangnya. Ciri lemparan ini : bola dilemparkan di samping kanan/kiri, terletak di atas telinga kiri/kanan dan penerima ada di kiri kanan pelempar. Di samping operan-operan tersebut di atas, masih ada lagi macam-macam operan yang pada hakekatnya adalah merupakan kombinasi dari operan tersebut di atas. Menangkap Menangkap bola dapat dilakukan dengan satu tangan atau dengan dua tangan, baik dalam keadaan berhenti , berjalan maupun dalam keadaan berlari. Cara memantul-mantulkan bola Dribble atau memantul-mantulkan bola (membawa bola) dapat dilakukan dengan sikap berhenti, berjalan atau berlari. Pelaksanaannya dapat dikerjakan dengan tangan kanan atau tangan kiri, seperti : 1. Dribble rendah 2. Dribble tinggi 3. Dribble lambat 4. Dribble cepat Cara memasukkan bola atau menembak (shooting) Bila dilihat dari posisi badannya terhadap papan maka dapat dibedakan : 1. Menghadap papan (facing shoot) 2. Membelakngi papan (back up shoot). Sedang cara pelaksanaannya dapat dilakukan dengan sikap berhenti, memutar, melompat dan berlari. 3. Menghadap papan dengan sikap berhenti : a. tembakan dua tangan dari dada (two handed set shoot) b. tembakan dua tangan dari atas kepala (two handed over head set shoot) c. tembakan satu tangan (one hand set shoot) d. tembakan satu tangan dari atas kepala (one hand over head shoot) 4. Menghadap papan dengan sikap melompat
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
723
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
a. tembakan lompat dengan dua tangan dari atas kepala (two hand overhead jump shoot) b. tembakan lompat dengan satulengan (one hand shoot) 5. Menghadap papan dengan sikap lari a. tembakan lari menyentuh/memantul papan dengan tangan kanan atau kiri (righ/left hand lay-up shoot). b. Tembakan lari menyentuk papan dengan dua tangan dari bawah (teo hand under hand lay-up shoot) c. Tembakan lari menyentuh papan dengan dua tangan bawah (two hand over head layup shoot) d. Tembakan lari menyentuh papan dengan satu tangan bawah (one hand under hand lay-up shoot) 6. Membelakangi papan dengan sikap berhenti a. tembakan memutar lurus di bawah keranjang (straight turn shoot under basket) b. tembakan melangkah di bawah keranjang (step down shoot under basket) c. tembakan gaetan (the hock shoot) d. tembakan ayunan di bawah keranjang dengan kedua tangan (two hand under hand sweep shoot) e. tembakan ayunan di bawah keranjang dengan satu tangan (one hand under hand sweep shoot) 7. Membelakangi papan dengan sikap melompat a. tembakan melompat di bawah keranjang (up and under shoot) b. tembakan melompat memutar dengan kedua tangan (one hand jump twist shoot) c. tembakan melompat memutar dengan satu tangan (one hand jump twist shoot) Cara berputar (Pivot) Memutar badan dengan salah satu kaki menjadi as/poros putaran (setelah kita menerima bola). a. pivot kemudian dribble (membawa bola) b. pivot kemudian passing (melempar bola) c. pivot kemudian shooting (menembakan bola) Olah kaki atau gerakan kaki (foot work) Yang dimaksud dengan olah kaki atau gerakan kaki ialah : 1. Keterampilan penguasaan gerak kaki di dalam hal : a. dapat melakukan start dengan cepat dan berhenti dengan segera tanpa kehilangan keseimbangan b. cepat mengubah arahgerak baik dalam pertahanan maupun dalam penyerangan. 2. Menggiring bola dapat dibagi dua : a. Menggiring bola tinggi, gunannya untuk memperoleh posisi mendekati basket lawan. b. Menggiring bola rendah, gunanya untuk menyusup dan mengacaukan pertahanan lawan, dan menggiring bola dalam menghadapi lawan.
Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif. Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimen. Metode eksperimen dapat diartikan sebegai metode penelitian yang digunakan untuk mencari pengaruh perlakuan tertentu terhadap yang lain dalam kondisi yang
724
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
terkendalikan (Sugiyono, 2010). Desain dalam penelitian ini menggunakan One Group PretestPosttest Desaign. Dalam desain ini tidak ada kelompok kontrol dan subyek tidak ditempatkan secara acak. Dalam penelitian ini yang menjadi variable bebas adalah permainan bolabasket dan yang menjadi variable terikat adalah kebugaran jasmani. Pada penelitian ini menggunakan subjek populasi adalah seluruh siswa kelas IX A dan kelas IX B SMPKr Petra Jombang yang berjumlah 32 siswa. Penelitian ini termasuk penelitian populasi karena jumlah populasi kurang dari 100, maka seluruh subjek dilibatkan sehingga disebut penelitian populasi. Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian (Arikunto, 2006: 130). Teknik pengumpulan data dalam penellitian ini adalah tes. Bentuk tes menggunakan tes MFT (Multistage Fitnes Test).
Hasil Penelitian Deskripsi data yang akan disajikan meliputi nilai tertinggi, nilai terendah, rata-rata dan Standar deviasi yang akan disajikan dalam bentuk tabel dibawah ini: Tabel 1 Diskripsi Hasil Tes MFT Tes MFT Deskripsi Data Pre Test Nilai tertinggi 34, 30 Nilai terendah 20, 80 Rata-rata 25, 87 Standar Deviasi (SD) 3,543 Sumber : Lampiran (SPSS staistics versi 20)
Pos Test 36, 40 20,80 27,17 3,726
Berdasarkan table 4.1 di atas dapat diketahui bahwa : 1. Hasil dari tes MFT pada saat pre-test yaitu dengan rata-rata (mean) sebesar 25,87, sedangkan hasil dari tes MFT terendah adalah 20,80 dan tertinggi adalah 34,30 2. Hasil dari tes MFT pada saat post-test yaitu dengan rata-rata (mean) sebesar 27,17, sedangkan hasil terendah dari tes MFT adalah 20,80 dan tertinggi adalah 36,40 3. Standar deviasi diperoleh dari hasil antara pre-test dan post-test dapat dilihat perbedaan relatif kecil, yaitu 3,543dengan 3,726 Data diatas dapat digambarkan dalam bentuk grafik sebagai berikut: Diagram 1. Hasil Tes MFT
40,00 30,00 20,00 10,00 0,00
Mean
Maksi mal
pre-test
25,88
34,30
Minim Standa al r Deviasi 20,80 3,543
post-test
27,18
36,40
20,80
3,726
Uji normalitas digunakan untuk melihat atau menguji apakah data yang diteliti berasal dari populasi yang mengikuti sebaran normal atau tidak, untuk mengetahui data berdistribusi normal atau tidak dapat di lihat dengan Kolmogorov- Smirnov
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
725
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Pre-test Post-test
Table 2. Hasil Uji Normalitas Kolmogorov- Smirnov Shapiro-wilk Statistic Df Sig Statistic df ,121 32 ,200 ,931 32 ,085 32 ,200 ,962 32
Sig ,053 ,307
Pada pengujian normalitas data dapat dilihat dari besarnya taraf signifikan, yaitu sebesar α = 0,05 dibandingkan dengan nilai Shampiro-wilk, dengan aturan apabila nilai Shampiro-wilk> 0,05 maka data tersebut berdistribusi normal. Tabel 3. Keputusan Uji Normalitas Nilai Shampirowilk
Taraf Signifikansi
Keputusan
Pre-test
0,530
0,05
Normal
Post-test
0,307
0,05
Normal
Kelompok Data
Dari table 3 di atas dapat dilihat bawah nilai signifikansi dari pre-test 0,530 dan posttest 0,307 lebih besar dari pada α= 0,05 (5%). Jadi, hasil di atas dapat disimpulkan bahwa varians pada tiap kelompok berasal dari populasi yang adalah sama atau homogen dengan kesimpulan H0 diterima. Setelah dilakukan uji normalitas dapat disimpulkan bahwa hasil dari pengujian tersebut berdistribusi normal, maka dari hasil data penelitian tersebut layak dipakai untuk melakukan analisis selanjutnya. Paired Sample T-test adalah teknik analisa statistik yang dipakai untuk melihat ada tidaknya perbedaan mean dari dua kelompok sampel yang berpasangan. Sampel berpasangan yang dimaksud yaitu sampel yang digunakan sama dalam pengujian tetapi sampel tersebut dilakukan dua kali dalam waktu yang berbeda. Dalam hal ini, yang diuji adalah data pre-test dan post-test kebugaran jasmani siswa dengan cara MFT. hasil dari analisis data adalah sebagai berikut: Table 4. Hasil Uji Beda (Paired samples test) Paired differences mean Std. Std. 95% confidence interval Deviation Error of the difference Sig (2Men lower upper t df tailed) Pair 1 1,3031 ,7468 ,1320 1,0338 1,5723 9,871 31 ,000 Prestestpostest Karena dalam melakukan pengujian secara satu sisi (one-talied), maka keputusannya adalah apabila thitung> ttabel atau maka H0 ditolak dan H1 diterima, begitu juga sebaliknya. Dengan tingkat signifikansi α = 0,05 dan derajat bebas (df: degree of freedom)= n – 1 dan nilai α yang digunakan adalah 0,05 dan df = 31 (33 – 1), maka besarnya ttabel adalah 1,697. Berdasarkan tabel 4.4 diatas maka thitung > ttabel (9,871>1,697) maka H0 ditolak artinya secara parsial ada pengaruh yang signifikan antara hasil pre-test dan post-test permainan bolabasket mempengaruhi kebugaran jasmani.
726
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Simpulan Simpulan dalam penelitian ini adalah terdapat pengaruh modifikasi permainan bola basket terhadap kebugaran jasmani siswa SMPKr Petra Jombang. Saran perlunya pemberikan kegiatan yang melatih fisik tidak hanya dengan drill drill yang ketat akan tetapi dengan pemberian pola-pola permainan agar anak tidak merasa bosan dengan kegiatan pembelajaran. Dengan pemberian modifikasi permainan bolabasket anak merasa senang dan sangat menikmati kegiatan pembelajaran sehingga kebugaran jasmani siswa lebih meningkat.
Daftar Pustaka Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Bazanov, B. 2007. Integrative Approach Of The Technical And Tactical Aspects in Baskeball Coaching. Tallin: Tallin University. BSNP, 2006. Standar Isi Sekolah Menengah Pertama. Departemen Pendidikan Nasional. Gore, C. 2000. Physiological Tests For Elite Athletes. Champaign Illinois: Human Kinetics. Harsono. 1988. Coaching dan Aspek-Aspek Psikologis dalam Coaching. Jakarta: P2LPTK, Depdikbud http://www.brianmac.co.id.uk/vo2max.html#vo2 Maksum, A. 2012. Metodologi Penelitian dalam Olahraga. Surabaya : Unesa University Press Maulidin, 2012. Pelatihan Pec Deck dan Cable Crossover Terhadap Kekuatan Otot Lengan dan Hasil Forehand Pada Pemain Tenis. Pasca Sarjan Universitas Negeri Surabaya. Surabaya Oktavianto, M.Y.P. 2012. Sumbangan Power Lengkap dan Panjang Lengan Terhadap Kemampuan Lempar Chest Pass Bola Basket Pada Klub Bola Basket Bluesky Kabupaten Demak. Semarang. Universitas Negeri Semarang. Pusat Kesegaran Jasmani Dan Rekreasi, 1999. Tes Kesegaran Jasmai Indonesia Untuk Remaja 13-15 Tahun. Jakarta. Departemen Pendidikan Kebudayaan. Sajoto, M. 1995. Peningkatan dan Pembinaan Kondisi Fisik dalam Olahraga. Semarang: Dahara Prize. Sugiyono. 2010. Metode Peneltian pendidikan pendekatan kuantitatf, kualitatif dan R&D. Bandung : CV. Alfabeta
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
727
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Perencanaan, Pelaksanaan, dan Problematika Pembelajaran Menulis Siswa Kelas V SDN IV Sukorejo Perak Jombang Mu’minin 14 ([emailprotected]) Abstract This research was conducted with the aim to describe the planning, execution, and learning problems of students' writing class V SDN Sukorejo Silver Jombang. This study uses descriptive qualitative method, which describes all the elements related to the planning, execution, and learning problems of students' writing class V SDN Sukorejo Silver Jombang. The research was designed with qualitative descriptive procedure is performed by following the procedures pre-field activities, field work, data analysis, and inference. The results of this study indicate, that in the planning of teaching writing in general all of the teachers have been made on the three basic competencies RPP studied. However, there are still some shortcomings in the RPP. The shortage is the element (1) learning objectives and indicators, (2) learning materials, (3) measures of learning, (4) methods of learning. Key Words: writing, planning, doing, assessing Abstrak Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mendeskripsikan perencanaan, pelaksanaan, dan problematika pembelajaran menulis siswa kelas V SDN Sukorejo Perak Jombang. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang bersifat deskriptif, yang memaparkan semua unsur terkait perencanaan, pelaksanaan, dan problematika pembelajaran menulis siswa kelas V SDN Sukorejo Perak Jombang. Penelitian yang dirancang dengan prosedur diskriptif kualitatif ini dilakukan dengan mengikuti prosedur kegiatan pralapangan, pekerjaan di lapangan, analisis data, dan penyimpulan. Hasil penelitian ini menunjukkan, bahwa dalam perencanaan pembelajaran menulis pada umumnya semua guru sudah membuat RPP tentang ketiga kompetensi dasar yang diteliti. Akan tetapi, masih terdapat beberapa kekurangan dalam RPP tersebut. Kekurangan tersebut yaitu pada unsur (1) tujuan pembelajaran dan indikator, (2) materi pembelajaran, (3) langkah-langkah pembelajaran, (4) metode pembelajaran. Kata kunci: pembelajaran menulis, perencanaan, pelaksanaan, penilaian
Pendahuluan Pembelajaran bahasa Indonesia mempunyai peranan penting di sekolah. Melalui pembelajaran bahasa Indonesia, dua hal dapat dicapai sekaligus. Pertama, melalui pembelajaran bahasa siswa memperoleh pengetahuan bahasa, keterampilan berbahasa sekaligus sikap positif terhadap bahasa Indonesia. Kedua, Pembelajaran bahasa dapat menunjang bidang studi lainnya. Pembelajaran bahasa Indonesia mencakup empat aspek keterampilan, yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Keempat aspek tersebut dilaksanakan secara terpadu. Sasaran akhir pelaksanaan pembelajaran dari keempat aspek di atas adalah agar siswa memiliki kemampuan untuk berkomunikasi baik secara lisan maupun secara tertulis. Hal ini dimaksudkan agar peserta didik dapat mengembangkan berbahasa dan berpikir untuk kepentingan proses komunikasi. Menulis merupakan satu di antara empat keterampilan berbahasa yang harus dikuasai siswa. Menulis sebagai bagian dari keterampilan berbahasa merupakan bentuk komunikasi yang 14
Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia
728
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
dapat dilakukan siswa untuk mengungkapkan ide atau gagasan, pikiran, dan perasaannya dengan bahasa tulis sebagai medianya. Hal ini sejalan dengan tujuan yang dikehendaki kurikulum 2006 untuk pembelajaran menulis di Sekolah Dasar (SD), yaitu agar siswa memiliki kemampuan mengungkapkan gagasan, pendapat, pengalaman, dan pesan secara lisan dan tertulis (Depdikbud, 2004:2). Dalam Kurikulum 2006 tentang Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), dinyatakan bahwa fokus pembelajaran menulis adalah agar siswa memiliki kemampuan menulis bentuk dan jenis tulisan yang sesuai dengan tujuan dan ragam pembaca dengan memperhatikan pilihan kata yang tepat sesuai dengan konteks serta menggunakan ejaan dan tanda baca yang tepat (Depdiknas, 2006:8). Terampil menulis memungkinkan seseorang mudah mencapai keberhasilan dalam belajar dan memperoleh pekerjaan. Berbagai pekerjaan dalam kehidupan sehari-hari menuntut seseorang memiliki kemampuan dan keterampilan dalam menulis. Akhadiyah (1997:1) mengemukakan bahwa keterampilan menulis perlu ditingkatkan karena sangat bermanfaat bagi siswa terutama dalam menempuh jenjang pendidikan selanjutnya ataupun dalam kehidupan bermasyarakat. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran menulis pada siswa SD memberikan banyak manfaat, seperti mengembangkan kreativitas, cara berfikir, kecerdasan, dan kepekaan emosi siswa. Pembelajaran menulis juga diarahkan untuk membantu mereka menuangkan ide atau gagasan, pikiran, pengalaman, perasaan, dan cara memandang kehidupan. Dengan banyaknya manfaat yang akan diperoleh dalam pembelajaran menulis, selayaknya kegiatan menulis ini menjadi salah satu kegiatan yang disukai siswa. Akan tetapi, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa kebiasaan menulis belum membudaya dan hasil pembelajaran menulis belum sepenuhnya sesuai dengan tujuan yang diharapkan karena hasil pembelajaran menulis sangat memprihatinkan. Sesuai dengan kenyataan yang ditemui di lapangan, secara umum kemampuan siswa dalam menulis masih rendah. Rendahnya kemampuan tersebut ditandai adanya (1) frekuensi kegiatan menulis yang dilakukan siswa sangat rendah, (2) kualitas karya tulis siswa sangat buruk, (3) rendahnya antusiasme siswa dalam mengikuti pembelajaran menulis, dan (4) rendahnya kreativitas siswa pada saat kegiatan pembelajaran menulis berlangsung. Rendahnya keterampilan siswa dalam menulis disebabkan oleh beberapa faktor yang turut memengaruhi, di antaranya faktor ketepatan guru dalam memilih dan menerapkan strategi pembelajaran. Hal ini sejalan dengan pendapat Tompkins (1994:224) bahwa rendahnya keterampilan menulis tidak disebabkan oleh keterbatasan siswa, tetapi disebabkan oleh pendekatan yang digunakan oleh guru yang tidak mampu mengarahkan siswa untuk dapat belajar dengan baik, bukan pula karena siswa tidak mampu menulis tetapi materi yang disajikan guru kurang merangsang siswa untuk dapat berkreativitas. Ketidaktepatan guru dalam memilih dan menerapkan strategi berdampak pada ketidaktahuan siswa bagaimana memulai menulis dan akhiranya bermuara pada keengganan siswa untuk menulis. Seseorang yang enggan menulis disebabkan oleh beberapa hal: tidak tahu untuk apa dia menulis, merasa tidak berbakat untuk menulis, dan merasa tidak tahu bagaimana harus menulis. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dan mendeskripsikan pembelajaran menulis siswa kelas V SDN Sukorejo Perak Jombang, terkait: perencanaan, pelaksanaan, dan problematikanya. Penelitian ini memilih jenjang sekolah dasar (SD) khususnya kelas V dengan pertimbangan-pertimbangan berikut. Pertama, ibarat bangunan gedung, pendidikan pada Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
729
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
jenjang SD merupakan fondasi bangunan. Apabila fondasinya kokoh, terbuka kemungkinan besar untuk mengembangkan bangunan yang kuat di atasnya. Kedua, dipilihnya siswa kelas V dengan pertimbangan bahwa kelas V merupakan kelas yang diidealkan dalam proses pembelajaran. Artinya, pembelajaran di kelas V merupakan pembelajaran yang sepenuhnya diorientasikan kepada kurikulum yang berlaku. Hal ini berbeda dengan pembelajaran di kelas VI yang lebih banyak diorientasikan kepada kemampuan siswa dalam menghadapi ujian akhir. Ketiga, usia siswa kelas V SD tergolong dalam hipotesis periode kritis yang dimunculkan oleh Lenneberg (dalam Brown, 2000:53), yakni hipotesis yang mengatakan bahwa antara umur 2 sampai dengan 12 tahun seorang anak dapat memperoleh bahasa mana pun dengan kemampuan seorang penutur asli. Dengan kata lain, pada periode ini bahasa bisa dikuasai secara lebih mudah dan selepas periode ini bahasa semakin sulit dikuasai. Keempat, di dalam Kurikulum 2006 (KTSP) kelas V SD terdapat standar kompetensi yang berbunyi, ”Mengungkapkan pikiran, perasaan, informasi, dan pengalaman secara tertulis dalam bentuk karangan, surat undangan, dan dialog tertulis”. Standar kompetensi itu dikembangkan ke dalam beberapa kompetensi dasar berikut: (1) Menulis karangan berdasarkan pengalaman dengan memperhatikan pilihan kata dan penggunaan ejaan, (2) Menulis surat undangan (ulang tahun, acara agama, kegiatan sekolah, kenaikan kelas, dll.) dengan kalimat efektif dan memperhatikan penggunaan ejaan, dan (3) Menulis dialog sederhana antara dua atau tiga tokoh dengan memperhatikan isi serta perannya.
Landasan Teori Hakikat Menulis Menulis merupakan suatu proses berpikir berkelanjutan, mencobakan dan mengulas kembali. Kegiatan menulis berkembang melalui latihan secara terus menerus. Pada hakekatnya menulis dapat dibagi menjadi tiga aspek, yaitu (1) menulis sebagai proses berpikir, (2) menulis sebagai proses berpikir meliputi serangkaian aktivitas, dan (3) menulis sebagai proses berkaitan dengan membaca. Hal tersebut dipaparkan sebagai berikut. Menulis sebagai proses berpikir. Menulis sebagai suatu proses menuangkan ide, gagasan, perasaan dalam bentuk tulis. Salah satu subtansi retorika dalam menulis adalah penalaran yang baik. Hal ini berarti bahwa seorang penulis harus mampu mengembangkan cara-cara berpikir yang rasional (Syafi’ie, 1988:43). Menulis sebagai proses berpikir yang meliputi serangkaian aktivitas. Menulis sebagai proses berpikir yang berupa karangan, baik karangan ilmiah maupun karangan sastra. Karangan sebagai hasil kreativitas diperoleh melalui serangkaian aktivitas menulis. Menurut Tomkins (1994:126) rangkaian aktivitas menulis terdiri dari pramenulis, pengedrafan, perbaikan, penyuntingan, dan publikasi. Menulis sebagai proses berpikir berkaitan erat dengan membaca. Menulis berkaitan erat dengan membaca. Kegiatan membaca dan menulis merupakan kegiatan yang mempunyai hubungan yang erat dan saling mendukung. Hal ini terlihat pada saat sebelum menulis, saat menulis, dan saat sesudah menulis. Dilihat dari segi kegiatan sebelum menulis, siswa memerlukan pengetahuan awal dan informasinya berkaitan dengan topik yang digarap. Dalam memperoleh informasi yang dibutuhkan, kegiatan membaca merupakan salah satu sarana yang penting dan tepat. Dilihat dari segi kegiatan saat menulis, siswa melakukan kegiatan berpikir untuk menuangkan ide-ide atau gagasan secara jelas dengan bahasa tulis. Dalam proses tersebut diperlukan kesungguhan dalam mengolah, mengatur, dan menata gagasan-gagasan yang talah
730
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
ditulis. Dalam hal ini diperlukan kegiatan membaca secara berulang-ulang apa yang ditulis untuk mengetahui kekurangan-kekurangan yang ada sehingga tulisan tersebut dapat dipahami dengan baik oleh pembaca. Dilihat dari saat sesudah menulis, salah satu kegiatan yang dilakukan adalah siswa dapat membacakan tulisannya kepada orang lain dengan memperhatikan ketepatan lafal, intonasi, dan kelancaran dalam membaca. Hal ini dilakukan agar lebih memperjelas makna tulisan yang dihasilkan.
Prinsip Pembelajaran Menulis Pembelajaran menulis akan terlaksana secara terarah dan efektif apabila guru menggunakan prinsip-prinsip sebagai pedoman pembelajaran. Dixon dan Nessel (1983:40) mengemukakan beberapa prinsip mengenai pembelajaran menulis. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut: (1) Dalam kegiatan menulis siswa harus berdasar pada topik pribadi yang bermakna. Prinsip mengisyaratkan bahwa topik yang dipilih merupakan topik yang dipahami dan digemari oleh siswa. (2) Sebelum menulis hendaknya diberi percakapan. Prinsip ini mengisyaratkan agar kegiatan menulis didahului dengan kegiatan bebicara tentang pengalaman, pengetahuan, dan kegemaran siswa dalam kaitannya dengan topik. Oleh karena itu, sebelum menulis perlu diberi serangkaian pembahasan secara lisan tentang topik dan kerangka yang akan dikembangkan. (3) Menulis bukan merupakan suatu keterampilan yang mudah. Prinsip ini mengisyaratkan agar keterampilan menulis diajarkan dalam konteks yang menyenangkan sehingga siswa bergairah untuk menulis dan terhindar dari rasa frustasi. (4) Kegiatan menulis hendaknya diberikan dalam bentuk komunikasi bukan dalam sekedar memberikan tugas menulis begitu saja. Segala ide dan gagasan yang akan ditulis hendaknya merupakan sesuatu yang dapat mereka tuangkan melalui tulisan sehingga ide atau gagasan tersebut dapat dikomunikasikan kepada orang lain. (5) Melakukan pengoreksian kesalahan. Kesalahan tata bahasa, penyusunan frasa, dan kesalahan mekanik sebagai akibat keterbatasan pengetahuan tentang kebahasaan, hendaknya disikapi sebagai sesuatu yang wajar. Pengoreksian kesalahan tata bahasa dan mekanik dilaksanakan setelah siswa sudah selesai dalam menulis. (6) Antara pembelajaran menulis dan membaca atau keterampilan lainnya hendaknya memiliki hubungan yang jelas. Pembelajaran menulis hendaknya mempunyai keterkaitan dengan apa yang telah dibaca. Dalam mengembangkan meteri tulisan, siswa diberi tugas membaca buku bacaan yang dapat digunakan untuk memperkaya ungkapan dan memperluas isi tulisan. Berdasarkan prinsip pembelajaran menulis yang telah diuraikan di atas, guru dapat melaksanakan pembelajaran menulis dengan mudah. Selain itu, pembelajaran yang berdasarkan pada prinsip tersebut dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk menulis dengan baik sampai taraf sempurna melalui bimbingan guru. Dengan demikian, tujuan dalam pembelajaran menulis akan tercapai sesuai dengan yang diharapkan.
Metode Penelitian Penelitian ini mengunakan metode kualitatif yang bersifat deskriptif. Penggunaan pendekatan ini dimaksudkan untuk memberikan pemaparan tentang pembelajaran menulis siswa kelas V SDN Sukorejo Perak Jombang terkait: perencanaan, pelaksanaan, dan problematikanya. Penelitian deskripsi bertujuan untuk melukiskan atau memaparkan kondisi atau variabel suatu situasi sebagaimana adanya. Menurut Lofland (dalam Moleong, 2005:157) sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah berupa kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
731
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
dan lain-lain. Data dalam penelitian ini berupa hasil angket dan pendokumentasian pembelajaran menulis bahasa Indonesia siswa kelas V SDN Sukorejo Perak Jombang terutama yang berwujud data verbal dari guru. Berbagai informasi tersebut berkaitan dengan dokumendokumen (1) persiapan pembelajaran dan (2) pelaksanaan pembelajaran. Data pembelajaran menulis diperoleh melalui angket dan studi dokumentasi yang peneliti dapatkan dari SDN IV Sukorejo Perak Jombang (1) persiapan/perencanaan pembelajaran menulis, (2) pelaksanaan pembelajaran menulis termasuk metode pembelajaran yang digunakan, (3) masalah-masalah yang dihadapi guru dalam pembelajaran menulis, dan (4) upaya-upaya yang dilakukan guru dalam mengatasi masalah. Data penelitian dikumpulkan dengan teknik angket dan teknik dokumentasi. Teknik angket digunakan untuk mengumpulkan data yang terkait dengan pelaksanaan pembelajaran menulis yang dilaksanakan guru di dalam kelas. Teknik dokumentasi digunakan untuk mengumpulkan data yang terkait dengan perencanaan pembelajaran terutama yang berupa Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) pembelajaran menulis yang dibuat guru. Data penelitian dianalisis dengan teknik kualitatif bersifat deskriptif dengan langkahlangkah: (1) menelaah seluruh data yang telah dikumpulkan, (2) mereduksi data yang di dalamnya melibatkan kegiatan pengategorian dan pengklasifikasian, dan (3) menyimpulkan data verifikasi. Kegiatan penelaahan ini dimulai dengan penyimakan terhadap hasil angket secara cermat, kemudian menganalisis, mensintesis, memaknai, menerangkan, dan menyimpulkan.
Hasil Penelitian Perencanaan pembelajaran menulis merupakan kegiatan merencanakan pembelajaran yang akan dilaksanakan guru yang memungkinkan peserta belajar melahirkan pemikiran atau perasaan dengan tulisan. Dalam perencanaan pembelajaran menulis siswa kelas V SDN IV Sukorejo Perak Jombang pada umumnya semua guru sudah membuat RPP tentang ketiga Kompetensi Dasar (KD) yang diteliti. Akan tetapi, masih terdapat beberapa kekurangan dalam RPP tersebut. Kekurangan dalam perencanaan pembelajaran menulis yang disusun guru kelas V SDN IV DSukorejo Perak Jombang terdapat pada bagian: (1) tujuan pembelajaran dan indikator, (2) materi pembelajaran, dan (3) langkah-langkah pembelajaran. Tujuan pembelajaran menulis dalam RPP yang disusun guru tentang ketiga kompetensi dasar (menulis karangan, menulis surat undangan, dan menulis dialog) pada umumnya masih belum memperlihatkan adanya tujuan pembelajaran menulis sebagai proses. Hal ini terlihat dari rumusan tujuan pembelajaran yang tidak mencantumkan tujuan agar siswa dapat menyunting karangan, surat undangan, dan dialog yang disusunnya sendiri atau disusun temannya. Tidak adanya tujuan tersebut menimbulkan kesan bahwa terhadap karangan, surat undangan, dan dialog yang disusun siswa tidak pernah dilakukan kegiatan penemuan kesalahan untuk selanjutnya diadakan perbaikan atau revisi. Materi pembelajaran merupakan bahan pembelajaran/materi ajar yang yang disiapkan guru/pendidik untuk dipelajari siswa sebagai sarana pencapaian kompetensi dasar yang harus dikuasai siswa. Materi pembelajaran dalam RPP menulis karangan yang disusun guru kelas V SDN IV Sukorejo Perak Jombang pada umumnya mereka hanya menuliskan pokok bahasan tanpa memberikan materi pembelajaran secara lengkap dalam RPP yang mereka susun. Langkah-langkah pembelajaran merupakan tahapan/tindakan yang akan dilakukan dalam kegiatan pembelajaran. Penyusunan langkah-langkah pembelajaran perlu dilakukan untuk 732
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
mengkoordinasi komponen pembelajaran. Langkah-langkah pembelajaran disusun untuk membantu siswa menguasai kompetensi dasar yang diberikan. Langkah-langkah pembelajaran merupakan hal yang sangat menentukan dalam keberhasilan siswa menguasai kompetensi dasar. Langkah-langkah pembelajaran dalam RPP menulis karangan, surat undangan, dan dialog yang disusun guru bervariasi. Dari berbagai variasi/ragam tersebut terdapat kelebihan dan kelemahan dalam perumusan langkah-langkah pembelajaran yang mereka susun. Kelebihan dalam langkah-langkah pembelajaran yang disusun guru yaitu, mereka menyajikan tiga tahapan mulai dari kegiatan awal, inti, dan penutup. Pada tahap awal mereka memunculkan kegiatan apersepsi dan motivasi untuk memulai pelaksanaan pembelajaran. Dalam tahap kegiatan inti mereka memunculkan kegiatan yang tergabung dalam eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi. Kegiatan eksplorasi dilakukan agar siswa mencari informasi atau pengetahuan melalui kegiatan membaca. Kegiatan elaborasi dilakukan agar siswa menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan secara tekun dan cermat untuk menguasai suatu kompetensi dengan bimbingan guru. Kegiatan konfirmasi dilakukan agar guru dan siswa memberikan penegasan dan penguatan terkait hasil eksplorasi dan elaborasi yang telah dilakukan. Dalam tahap penutup guru membuat kegiatan penyusunan rangkuman, penilaian, tanya jawab, merencanakan tindakan tindak lanjut (remidial, pengayaan, layanan konseling, dan menyampaikan rencana pembelajaran pada pertemuan selanjutnya). Kelemahan dalam langkah-langkah pembelajaran yang disusun guru yaitu, mereka dalam menyusun rumusan langkah-langkah pembelajaran hanya tahap pramenulis dan pengedrafan. Sedangkan tahap penyuntingan dan publikasi tidak dituntut dari para siswanya. Padahal tahap penyuntingan merupakan tahap yang penting karena pada tahap ini pembelajaran berfokus pada perbaikan terhadap kesalahan-kesalahan dalam karya siswa, agar karangan, surat undangan, dan dialog yang ditulis siswa yang mengandung kesalahan segera diperbaiki atau direvisi, sehingga kesalahan itu tidak berlanjut sampai mereka dewasa. Selanjutnya, tahap publikasi juga penting dimunculkan dalam rumusan langkah-langkah pembelajaran karena tahap publikasi yang berupa pembacaan hasil karya menulis atau dengan menempelkan hasil tulisan siswa di majalah dinding/papan pajangan mampu meningkatkan daya apresiasi siswa terhadap karya tulis yang dibuatnya sendiri atau yang dibuat temannya. Pelaksanaan pembelajaran menulis merupakan kegiatan nyata di dalam kelas yang dilaksanakan guru dan siswa dengan tujuan peserta didik mampu melahirkan pikiran atau perasaan dengan tulisan. Dalam pelaksanaan pembelajaran menulis siswa kelas V SDN IV Sukorejo Perak Jombang, pada umumnya guru sudah menyusun RPP tentang ketiga kompetensi dasar yang diteliti sebagai perangkat dan pedoman sebelum melaksanakan pembelajaran di kelas. Setelah para guru melaksanakan pembelajaran menulis, peneliti dengan menggunakan teknik angket berusaha menggali data untuk memperoleh data terkait dengan metode pembelajaran yang umumnya diterapkan guru, masalah-masalah yang dihadapi guru dalam pembelajaran menulis, dan upaya-upaya yang dilakukan guru untuk menyelesaikan masalah yang muncul dalam pembelajaran menulis. Metode pembelajaran merupakan suatu cara yang digunakan guru untuk menyampaikan pesan yang terkandung dalam kurikulum kepada peserta didik. Dalam pembelajaran menulis metode merupakan cara-cara yang digunakan guru agar peserta didik mampu melahirkan pikiran atau perasaan dengan tulisan. Dalam pelaksanaan pembelajaran menulis guru umumnya menggunakan metode tanya jawab, diskusi, dan penugasan. Dari tiga metode ini yang lebih mengarah ke pembelajaran menulis adalah metode penugasan. Akan tetapi, tidak ada tindak Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
733
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
lanjut dari metode penugasan ini sehingga menimbulkan kesan hasil pekerjaan siswa dibiarkan begitu saja tanpa ada upaya menunjukkan kesalahan dan pembetulannya. Dalam melaksanakan pembelajaran, seorang guru akan menghadapi berbagai masalah atau hambatan. Masalah dalam pembelajaran menulis merupakan kesulitan-kesulitan yang dihadapi guru dan siswa dalam proses pembelajaran di kelas. Masalah yang dihadapi guru dalam pembelajaran menulis bermacam-macam. Masalah-masalah yang dihadapi guru dalam pembelajaran menulis karangan siswa kelas V SDN Sukorejo Perak Jombang: (1) siswa dalam menulis masih lambat dan pengalaman siswa kurang; (2) penulisan kata ganti dan kata sambung dilakukan secara berulang-ulang, seperti lalu, kemudian, setelah itu; (3) ada seorang siswa yang masih kurang paham dalam menentukan kerangka karangan sebelum siswa tersebut membuat karangan; (4) siswa sulit dalam membuat dan mengembangkan kerangka karangan; (5) siswa dalam pembelajaran menulis karangan masih belum bisa mandiri, mereka menginginkan untuk selalu dibimbing, sehingga guru merasa pembelajaran belum bisa berjalan maksimal. Apalagi dalam mengembangkan kerangka karangan siswa belum begitu paham; (6) siswa mengalami hambatan dalam penggunaan huruf kapital; dan (7) siswa masih mengalami masalah dalam menulis sesuai ejaan yang baik dan benar. Secara umum masalah yang dihadapi para guru dalam pembelajaran menulis karangan pada umumnya adalah siswa belum bisa mengembangkan kerangka karangan, pengalaman siswa dalam kegiatan menulis masih kurang, dan siswa kurang memahami penulisan (huruf kapital, tanda baca, kalimat efektif dan ejaan yang benar). Masalah-masalah yang dihadapi guru dalam pembelajaran menulis surat undangan siswa kelas V SDN Sukorejo Perak Jombang: (1) minimnya pembendaharaan kata yang dipunyai siswa dalam menulis surat undangan; (2) penulisan jam, tanggal, dan tanda baca masih belum tepat; (3) dalam membuat surat undangan siswa belum bisa membedakan antara surat undangan yang dikeluarkan/dibuat oleh pribadi dan dibuat oleh instansi; (4) siswa kesulitan membedakan bagian pembuka, isi, penutup surat undangan; (5) penggunaan huruf kapital dan huruf kecil masih sedikit dikuasai siswa; (6) penggunaan tanda baca kurang dikuasai; (7) kalimat yang disusun banyak yang tidak runtut; (8) surat undangan sering terkontaminasi oleh dialek-dialek bahasa daerah; (9) untuk surat tidak resmi tidak ada masalah sedangkan pembuatan surat resmi masalahnya ada pada struktur kalimat dan penggunaan bahasa tidak baku; dan (10) pembuatan surat belum bisa sempurna karena siswa kurang mengerti ejaan dan kaidah pembuatan surat. Secara umum masalah yang dihadapi para guru dalam pembelajaran menulis surat undangan adalah siswa masih minim dalam perbendaharaan kata, belum memahami struktur/bagian yang ada dalam surat undangan, sulit membedakan surat pribadi dan surat resmi, bahasa siswa terpengaruh bahasa daerah, siswa kurang memahami penulisan (huruf kapital, tanda baca, kalimat efektif, dan ejaan yang benar). Masalah-masalah yang dihadapi guru dalam pembelajaran menulis dialog adalah: (1) siswa takut mengeluarkan pendapat dan minim membaca; (2) penulisan tanda baca antara tokoh dengan dialognya tidak digunakan; (3) penulisan kata, tanda baca, dan kalimat dalam dialog tidak sesuai dengan ejaan yang baik dan benar; (4) kosa kata siswa terkontaminasi oleh dialekdialek bahasa daerah; dan (5) teks dialog yang disusun siswa masih belum sempurna, isinya tidak runtut. Secara umum masalah yang dihadapi para guru dalam pembelajaran menulis dialog adalah siswa takut mengutarakan pendapat, kegiatan membaca minim, kurang memahami kaidah penulisan naskah dialog, bahasa siswa terpengaruh bahasa daerah, teks dialog yang
734
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
disusun siswa masih belum sempurna, isinya tidak runtut, dan kurang memahami penulisan (huruf kapital, tanda baca, kalimat efektif dan penggunaan ejaan yang benar). Dari masalah-masalah yang dihadapi para guru dalam pelaksanaan pembelajaran menulis. Terlihat bahwa kegiatan menulis merupakan sebuah kompetensi yang sulit. Hal itu terjadi karena kegiatan tersebut merupakan kegiatan mengubah sebuah pemikiran ke dalam bentuk tulisan. Selain itu, setiap tulisan harus mematuhi tata bahasa dan ejaan untuk menjadikan sebuah produk tulisan yang baik dan benar. Dari berbagai problematika yang muncul dalam pembelajaran menulis, guru melakukan upaya-upaya untuk mengatasinya. Upaya merupakan usaha-usaha yang dilaksanakan guru untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam proses pembelajan menulis di kelas. Untuk mengatasi berbagai masalah yang muncul dalam pembelajaran menulis, guru melakukan upayaupaya yang bermacam-macam. Upaya-upaya yang dilakukan guru untuk menyelesaikan masalah dalam pembelajaran menulis karangan adalah siswa diberi contoh sebuah karangan sebagai tahap awal sebelum mereka melakukan proses menulis karangan, siswa dibiasakan mengunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, dan siswa diberi tugas/latihan menyusun sebuah karangan berdasarkan pengalaman yang menyenangkan. Upaya-upaya yang dilakukan guru untuk menyelesaikan masalah dalam pembelajaran menulis surat undangan adalah siswa sering dibiasakan membaca contoh surat undangan pribadi dan resmi sebagai tahap awal sebelum mereka melakukan proses menulis surat undangan dan mereka dibimbing untuk menyusun/menulis surat undangan. Upaya-upaya yang dilakukan guru untuk menyelesaikan masalah dalam pembelajaran menulis dialog adalah siswa diberi contoh naskah dialog, siswa dibiasakan membaca naskah dialog, siswa dibimbing untuk menyusun naskah dialog sederhana, dan siswa dilatih untuk memerankan naskah dialog yang telah disusun. Dari pemaparan di atas terlihat bahwa para guru sudah berupaya dengan menerapkan berbagai langkah/strategi untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi dalam pelaksanaan pembelajaran menulis. Namun, upaya untuk melakukan penyuntingan/perbaikan karya tulis tidak dimunculkan atau dituntut dari para siswanya. Tidak adanya upaya tersebut menimbulkan kesan bahwa terhadap karya tulis (karangan, surat undangan, dan naskah dialog) yang disusun siswa tidak pernah dilakukan kegiatan penemuan kesalahan untuk selanjutnya diadakan perbaikan atau revisi. Dengan demikian, karya tulis siswa yang mengandung kesalahan selamanya tidak pernah diperbaiki sehingga kesalahan itu berlanjut sampai mereka dewasa. Dalam menyusun perencanaan pembelajaran menulis, para guru kelas V SDN IV Sukorejo Perak Jombang sudah membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Namun, dalam RPP yang mereka susun masih terdapat beberapa kekurangan, yaitu pada unsur (1) tujuan pembelajaran dan indikator, (2) materi pembelajaran, dan (3) langkah-langkah pembelajaran. Kekurangan itu terkait dengan belum terlihatnya kegiatan menulis sebagai proses. Pada semua unsur tersebut belum terlihat adanya kegiatan penyuntingan yang dilakukan siswa baik terhadap tulisan mereka sendiri maupun terhadap tulisan teman mereka. Dalam pelaksanaan pembelajaran menulis para guru kelas V SDN IV Sukorejo Perak Jombang telah menerapkan metode pembelajaran. Metode pembelajaran yang meraka terapkan pada umumnya berkisar pada metode tanya jawab, diskusi, dan penugasan. Dari tiga metode ini yang lebih mengarah kepembelajaran menulis adalah metode penugasan. Akan tetapi, pada Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
735
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
umumnya tidak ada tindak lanjut dari metode penugasan ini sehingga menimbulkan kesan hasil pekerjaan siswa dibiarkan begitu saja tanpa ada upaya untuk menunjukkan kesalahan dan pembetulannya. Dari metode pembelajaran yang telah diterapkan para guru, muncul pula masalahmasalah dalam pelaksanaan pembelajaran menulis. Masalah-masalah yang muncul umumnya anak-anak kurang memahami penulisan (huruf besar, tanda baca, kalimat efektif, dan penggunaan ejaan yang benar). Masalah tersebut menunjukkan bahwa kegiatan menulis merupakan kompetensi yang sulit. Hal itu terjadi karena kegiatan tersebut merupakan kegiatan mengubah sebuah pemikiran ke dalam bentuk tulisan. Selain itu, setiap tulisan harus mematuhi tata bahasa dan ejaan untuk menjadikan sebuah produk tulisan yang baik dan benar. Dari berbagai masalah yang muncul, para guru telah melakukan upaya-upaya untuk mengatasinya agar pembelajaran menulis dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Sebagai contoh, guru sebelum melaksanakan pembelajaran menulis berupaya memberikan contoh atau model karya tulis dari kompetensi dasar yang akan dicapai.
Rekomendasi Kepada semua guru dalam menyusun perencanaan pembelajaran menulis, semua guru harus menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dengan baik. RPP yang mereka susun harus memuat (1) tujuan pembelajaran dan indikator yang tepat, (2) materi pembelajaran harus dicantumkan dalam RPP, (3) langkah-langkah pembelajaran harus terlihat kegiatan menulis sebagai proses, dan (4) metode pembelajaran (tanya jawab, diskusi, dan penugasan) yang akan dilakukan guru harus diikuti dengan kegiatan tindak lanjut sebagai upaya menunjukkan kesalahan dan pembetulan apabila dalam proses pembelajaran menulis siswa masih banyak mengalami kesalahan. Masalah-masalah yang muncul dalam pelaksanaan pembelajaran menulis harus segera ditindaklanjuti dan diadakan upaya penyelesaian oleh guru. Contoh guru harus mengevaluasi kembali kegiatan belajar mengajar yang telah dilakukan dan segera membuat metode pembelajaran yang tepat agar masalah-masalah yang dihadapi segera terselesaikan dan tujuan pembelajaran menulis dapat tercapai. Kepada pengawas Sekolah Dasar di wilayah ini harus semakin aktif dalam kegiatan monitoring klinis terkait proses pembelajaran di kelas agar antara pengawas, guru, dan siswa terjalin sebuah tim teaching untuk perbaikan dari kelemahan yang sewaktu-waktu muncul dalam proses pembelajaran di kelas khususnya pembelajaran menulis. Kepada kepala sekolah harus mengaktifkan gurunya untuk ikut KKG agar guru-gurunya mengikuti perkembangan pembelajaran khususnya pembelajaran menulis di Sekolah Dasar.
Daftar Pustaka Akhadiah, S. 1997. Pembinaan Kemampuan Menulis Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud. Brown, H. Douglas. 2000. Principles of Language Learning and Teaching (Fourth Edition). New Jersey: addison Wesley Longman. Depdikbud. 2004. Pembelajaran Kontekstual (Suplemen Kurikulum). Jakarta: Depdiknas. Depdiknas. 2006. Kurikulum Bahasa Indonesia 2006 SLTP. Jakarta: Depdiknas. Dixon, C. N. dan Nessel, D. 1983. Language Experiece Approach to Rading and Writing: Language-Experiace Reading for Second Language Learner. Englewood Cliffs: Prentice Hall.
736
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Moleong, Lexy. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Syafi’ie, Imam. 1988. Retorika dalam Menulis. Jakarta: Depdikbud. Tompkins, G. E. 1994. Teaching Writing Balancing Process and Product. New York: Macmilan College Publishing Company.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
737
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Kompetensi Guru Dalam Pelaksanaan Pembelajaran Pendidikan Jasmani Dan Kesehatan Di MIN Rejoso Kecamatan Peterongan Kabupaten Jombang Agus Budi Hartono 15 ([emailprotected]) Abstract This research is a field research with a qualitative approach. Data collection was done by conducting observations, interviews and documentation. Data analysis was performed by giving meaning to the data collected and the conclusions drawn from it meaning. The result showed that sport and physical education teacher at MIN Rejoso Peterongan district of Jombang is compliant in the category good enough for the requisite competence to be able perform well learning, namely in term of; (1) understand of knowledge of physical education and health as a field study; (2) understand the characteristics of their students; (3) is able to generate and allow the students to be active and creative in the learning process of physical education and health and is able to develop the potensial of motor skills and motor skills; (4) is able to provide guidance and develop the potential of students in the learning process to achieve the goal of physical education and health; (5) capable of planning, executing, controlling ang assessing and correcting the learning process of physical education and health; (6) have the capability of understanding and mastery of motor skills; (7) have an understanding of the elements of the physical condition; (8) has the ability to create, develop and utilize a healthy environment in order to achieve the objectives of physical education and health; (9) has the ability to identify potensial students in sports and (10) have the ability to channel his hobby of sports. Keywords: teachers competence, physical education and health education Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kompetensi guru dalam melaksanakan pembelajaran pendidikan jasmani dan kesehatan di MIN Rejoso Kecamatan Peterongan Kabupaten Jombang. Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research) dengan pendekatan kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan mengadakan pengamatan, wawancara dan dokumentasi. Analisis data dilakukan dengan memberikan makna terhadap data yang berhasil dikumpulkan dan dari makna itu ditarik kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa guru pendidikan jasmani olahraga dan kesehatan di MIN Rejoso Kecamatan Peterongan Kabupaten Jombang sudah memenuhi persyaratan dalam katagori cukup baik untuk kompetensi yang disyaratkan agar mampu melaksanakan pembelajaran dengan baik, yaitu dalam hal: (1) memahami pengetahuan pendidikan jasmani dan kesehatan sebagai bidang studi; (2) memahami karakteristik anak didiknya; (3) mampu membangkitkan dan memberi kesempatan anak didik untuk aktif dan kreatif dalam proses pembelajaran pendidikan jasmani dan kesehatan dan mampu menumbuhkembangkan potensi kemampuan motorik dan keterampilan motorik; (4) mampu memberikan bimbingan dan mengembangkan potensi anak didik dalam proses pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan jasmani dan kesehatan; (5) mampu merencanakan, melaksanakan, mengendalikan dan menilai serta mengoreksi dalam proses pembelajaran pendidikan jasmani dan kesehatan; (6) memiliki pemahaman dan penguasaan kemampuan keterampilan motorik: (7) memiliki pemahaman tentang unsur-unsur kondisi fisik; (8) memiliki kemampuan untuk menciptakan, mengembangkan dan memanfaatkan lingkungan yang sehat dalam upaya mencapai tujuan pendidikan jasmani dan kesehatan ; (9) memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi potensi anak didik dalam berolahraga dan (10) mempunyai kemampuan untuk menyalurkan hobinya dalam berolahraga. Kata Kunci: Kompetensi Guru, Pembelajaran Pendidikan Jasmani dan Kesehatan
15
Guru MIN Rejoso Peterongan Jombang
738
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Pendahuluan Guru merupakan faktor yang sangat dominan dan paling penting dalam pendidikan formal pada umumnya. Karena bagi siswa, guru sering dijadikan tokoh teladan, bahkan menjadi tokoh identifikasi diri. Guru seyogyanya mempunyai perilaku dan kemampuan yang memadai untuk mengembangkan siswa secara utuh. Untuk melaksanakan tugasnya secara baik sesuai dengan profesi yang dimilikinya, guru perlu menguasai berbagai hal sebagai kompetensi yang dimilikinya. Disisi lain, guru harus memahami dan menghayati para siswa yang dibinanya karena wujud siswa pada setiap saat tidak akan sama sebab perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi yang memberikan dampak serta nilai-nilai budaya masyarakat Indonesia sangat mempengaruhi gambaran para lulusan suatu sekolah yang diharapkan. Oleh sebab itu, gambaran perilaku guru yang diharapkan sangat mempengaruhi dan dipengaruhi oleh keadaan itu sehingga dalam melaksanakan proses belajar mengajar yang selanjutnya dikenal juga sebagai pembelajaran, guru diharapkan mampu mengantisipasi perkembangan keadaan dan tuntutan masyarakat pada masa yang akan datang. Demikian juga guru dalam pembelajaran harus memiliki kemampuan tersendiri guna mencapai harapan yang dicita-citakan dalam melaksanakan pendidikan pada umumnya dan pembelajaran pada khususnya. Untuk memiliki kemampuan tersebut, guru perlu membina diri secara baik, karena fungsi guru itu sendiri adalah membina dan mengembangkan kemampuan siswa secara profesional didalam pembelajaran. Dalam membina kemampuan para siswa, sudah barang tentu guru harus memiliki kemampuan tersendiri. Adapun kemampuan yang harus dimiliki guru meliputi kemampuan mengawasi, membina dan mengembangkan kemampuan siswa baik personal, profesional maupun sosial. Namun sampai saat ini, guru belum melaksanakan tugasnya dengan baik sesuai dengan harapan karena berbagai faktor penghambat yang menghalanginya. Salah satu faktor penghambat tersebut adalah kemampuan guru itu sendiri belum menunjang pelaksanaan tugasnya. Guru dituntut untuk dapat bekerja dengan teratur dan konsisten, tetapi kreatif dalam menghadapi pekerjaannya. Kemantapan dalam bekerja hendaknya merupakan karakteristik sehingga pola kerja seperti ini terhayati pula oleh siswa dalam pendidikan. Kemantapan dan integritas pribadi ini tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi tumbuh melalui proses belajar mengajar dan proses pendidikan yang sengaja diciptakan. Untuk itu, sebelum membina dan mengembangkan kemampuan siswa, guru itu sendiri perlu memiliki kemampuan yang sering disebut dengan kompetensi guru. Pendidikan jasmani dan kesehatan merupakan salah satu sarana pendidikan yang membantu pencapaian tujuan nasional, karena pendidikan jasmani dan kesehatan dapat didefinisikan sebagai bagian integral dari pendidikan secara keseluruhan melalui aktivitas fisik yang bertujuan untuk mengembangkan individu secara organik, neuromoskuler, intelektual, sosial, emosional dan spiritual. Dari definisi diatas tampak bahwa pendidikan jasmani dan kesehatan memiliki peran dan fungsi yang strategis dalam mengembangkan subjek didik secara totalitas. Untuk dapat merealisasikan definisi tersebut dibutuhkan kompetensi profesional. Kompetensi profesional tersebut harus menjadi bagian dari profil guru pendidikan jasmani olahraga dan kesehatan. Kompetensi profesional tersebut adalah memahami secara mendalam tentang karakteristik subjek didik, termasuk pertumbuhan dan perkembangannya. Toto Subroto Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
739
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
(2000:3) menyatakan bahwa pendidikan jasmani dan kesehatan merupakan proses pendidikan bahwa melalui proses pendidikan jasmani dan kesehatan yang kondusif siswa dibantu untuk mewujudkan dirinya sesuai dengan tahap pertumbuhan dan perkembangannya. Meskipun wujud pendidikan jasmani dan kesehatan berupa aktifitas fisik dan olahraga, namun tidak ada salah satu aspek perilaku manusia yang diangggap paling penting dan diprioritaskan untuk dicapai melalui proses pendidikan jasmani dan kesehatan di sekolah, semuanya diharapkan tercapai secara selaras, serasi dan seimbang. Agar dapat merealisasikan tujuan pendidikan jasmani dan kesehatan, maka diupayakan perbaikan mutu guru pendidikan jasmani olahraga dan kesehatan sebagai salah satu pemecahan masalah tersebut. Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian tentang kompetensi yang harus dilakukan guru pendidikan jasmani olahraga dan kesehatan terhadap pelaksanaan pembelajaran pendidikan jasmani dan kesehatan. Sebab didalam pembelajaran pendidikan jasmani dan kesehatan guru harus dapat berinteraksi langsung terhadap siswa, baik di dalam kelas ataupun di lingkungan luar kelas. Serta lewat pembelajaran pendidikan jasmani dan kesehatan, guru dapat memantau perkembangan siswa melalui unsur fisik, mental, intelektual, emosi, sosial agar terwujud tujuan pendidikan jasmani dan kesehatan. Berdasarkan uraian masalah diatas, maka rumusan masalah yang dijadikan penelitian adalah bagaimanakah kompetensi guru dalam pelaksanaan pembelajaran pendidikan jasmani dan kesehatan di MIN Rejoso Kecamatan Peterongan Kabupaten Jombang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kompetensi guru dalam pelaksanaan pembelajaran pendidikan jasmani dan kesehatan di MIN Rejoso Kecamatan Peterongan kabupaten Jombang.
Landasan Teori Kompetensi Guru Dalam merumuskan kompetensi Len Holmes (1992) mendefinisikan:A competency is a description of something which a person who works in a given occupational area should be able to do. It is description of an action, behaviour or outcome which a person should be able to demonstrate”. Jadi seorang guru bisa dikatakan memiliki kompetensi mengajar jika ia mampu mengajar siswanya dengan baik. Sehingga dapat dikatakan kompetensi guru dimaknai sebagai gambaran tentang apa yang harus dilakukan seorang guru dalam melaksanakan pekerjaannya, baik berupa kegiatan, perilaku maupun hasil yang dapat ditunjukkan dalam proses belajar mengajar. Kompetensi merupakan suatu hal yang tidak bisa dipisahkan dari kegiatan pendidikan dan pengajaran. Seorang guru bisa dikatakan memiliki kompetensi mengajar jika ia mampu mengajar siswanya dengan baik, sehingga dapat dikatakan kompetensi guru dimaknai sebagai gambaran tentang apa yang harus dilakukan seorang guru dalam melaksanakan pekerjaannya, baik berupa kegiatan, perilaku maupun hasil yang dapat ditunjukkan dalam proses belajar mengajar. Kompetensi merupakan suatu hal yang tidak bisa dipisahkan dari kegiatan pendidikan dan pengajaran. Menurut Suyanto dan Djihad Hisyam (2000) ada tiga jenis kompetensi guru, yaitu: 1. kompetensi profesional, yaitu memiliki pengetahuan yang luas pada bidang studi yang diajarkan, memilih dan menggunakan berbagai metode mengajar didalam proses belajar mengajar yang diselenggarakan; 2. kompetensi kemasyarakatan, yaitu mampu berkomunikasi dengan siswa, sesama guru dan masyarakat luas dalam konteks sosial; 740
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
3. kompetensi personal, yaitu memiliki kepribadian yang mantap dan patut diteladani. Untuk menghadapi tantangan-tantangan dalam dunia pendidikan, penting bagi guru untuk terus menerus belajar. Pengembangan kompetensi menurut Hopkins (2010;47) adalah cara guru untuk menilai terus menerus dirinya sendiri dengan tetap membuka diri akan perubahan jaman yang terjadi, dengan membuka diri untuk terus berkembang, guru akan menjadi orang yang kompeten dalam profesinya. Guru harus menyadari bahwa manusia adalah sosok yang mudah menerima perubahan. Pemerintah sendiri telah merumuskan empat jenis kompetensi guru sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, yaitu: a. kompetensi pedagogik yaitu kemampuan mengelola pembelajaran yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan, pelaksanaan pembelajaran, evaluasi pembelajaran dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Secara rinci kompetensi pedagogik meliputi : (a) memahami karakteristik peserta didik dari aspek fisik, sosial, moral, kultural, emosional dan intelektual; (b) memahami latar belakang keluarga dan masyarakat peserta didik dan kebutuhan belajar dalam konteks kebhinekaan budaya; (c) memahami gaya belajar dan kesulitan belajar peserta didik; (d) memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik; (e) menguasai teori dan prinsip belajar serta pembelajaran yang mendidik; (f) mengembangkan kurikulum yang mendorong keterlibatan peserta didik dalam pembelajaran; (g) merancang pembelajaran; (h) melaksanakan pembelajaran yang mendidik; (i) mengevaluasi proses dan hasil pembelajaran; b. kompetensi kepribadian yaitu merupakan kemampuan yang melekat dengan diri. Oleh karena itu pribadi guru sering dianggap sebagai model atau panutan. Sebagai seorang model guru harus memiliki kompetensi yang berhubungan dengan pengembangan kepribadian (personal competencies). Kompetensi kepribadian meliputi: (a) menampilkan diri sebagai pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif dan berwibawa; (b) menampilkan diri sebagai pribadi yang berakhlak mulia dan sebagai teladan bagi peserta didik dan masyarakat; (c) mengevaluasi kinerja sendiri; (d) mengembangkan diri secara berkelanjutan; (e) kemampuan yang berhubungan dengan pengalaman ajaran agama sesuai dengan keyakinan agama yang dianutnya; (f) kemampuan untuk menghormati dan menghargai antar umat beragama; (g) kemampuan untk berperilaku sesuai dengan norma, aturan dan sistem nilai yang berlaku di masyarat dan (h) mengembangkan sifat-sifat terpuji sebagai seorang guru; c. kompetensi profesional yaitu kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkan untuk membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi. Kompetensi profesional adalah kompetensi atau kemampuan yang berhubungan dengan penyesuaian tugas-tugas keguruan. Kompetensi ini merupakan kompetensi yang sangat penting karena langsung berhubungan dengan kinerja yang ditampilkan. Lingkup kompetensi ini meliputi: (a) kemampuan untuk menguasai landasan kependidikan; (b) pemahaman dalam bidang psikologi pendidikan; (c) kemampuan dalam penguasaan materi pelajaran sesuai dengan bidang studi yang diajarkan; (d) kemampuan dalam mengaplikasikan berbagai metodologi dan strategi pembelajaran; (e) kemampuan merancang dan memanfaatkan berbagai media dan sumber belajar; (f) kemampuan dalam melaksanakan evaluasi pembelajaran; (g) kemampuan dalam menyusun program pembelajaran; (h) kemampuan dalam melaksanakan unsur penunjang, misalnya
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
741
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
administrasi sekolah, bimbingan dan penyuluhan; (i) kemampuan dalam melaksanakan penelitian dan berpikir ilmiah untuk meningkatkan kinerja; d. kompetensi sosial yaitu kemampuan berkomunikasi secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik dan masyarakat sekitar. Dengan kompetensi ini, guru diharapkan: (a) berkomunikasi secara efektif dan empatik dengan peserta didik, orang tua peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan dan masyarakat; (b) kemampuan untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan teman sejawat untuk meningkatkan kemampuan profesional; (c) kemampuan untuk mengenal dan memahami fungsi-fungsi setiap lembaga kemasyarakatan; (d) kemampuan untuk menjalin kerja sama baik secara individual maupun secara kelompok; (e) berkontribusi terhadap pengembangan pendidikan di sekolah dan masyarakat; (f) berkontribusi terhadap pengembangan pendidikan di tingkat lokal, regional, nasional dan global; (g) memanfaatkan tehnologi informasi dan komunikasi (ICT) untuk berkomunikasi dan pengembangan diri. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pasal 20 ayat (b) mengamanatkan bahwa dalam rangka melaksanakan tugas keprofesionalannya, guru berkewajiban meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, tehnologi dan seni. Pernyataan Undang-Undang tersebut mengisyaratkan bahwa seorang pendidik haruslah seseorang yang profesional, memiliki wawasan, pengetahuan dan keterampilan untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai petugas yang profesional yang ditunjukkan dengan memiliki kualifikasi akademik minimal S1, memenuhi standar kompetensi guru serta memiliki sertifikat pendidik profesional. Mengingat begitu pentingnya peranan guru dalam keberhasilan peserta didik, maka hendaknya guru mampu beradaptasi dengan berbagai perkembangan yang ada dan meningkatkan kompetensinya karena guru pada saaat ini tidak saja sebagai pengajar, tetapi juga sebagai pengelola proses belajar mengajar. Sebagai orang yang mengelola proses belajar tentunya harus mampu meningkatkan kemampuan dalam membuat perencanaan pelajaran, pelaksanaan dan pengelolaan pengajaran yang efektif, penilaian hasil belajar yang objektif, sekaligus memberikan motivasi pada peserta didik dan juga membimbing peserta didik terutama ketika mereka sedang mengalami kesulitan belajar.
Profesi Guru Guru adalah suatu jabatan yang termasuk dalam jabatan profesi.Adapun ciri pokok profesi adalah, pertama, profesi mempunyai fungsi dan signifikansi sosial karena diperlukan untuk mengabdi kepada masyarakat. Di lain pihak, pengakuan masyarakat merupakan syarat mutlak bagi suatu profesi, bahkan jauh lebih penting dari pengajuan pemerintah. Kedua, profesi menuntut keterampilan tertentu yang diperoleh melalui pendidikan dan latihan yang “lama” dan intensif serta dilakukan dalam lembaga tertentu yang secara sosial dapat dipertanggung jawabkan. Proses diperolehnya keterampilan itu bukan hanya rutin, melainkan bersifat produktif terhadap suatu masalah. Ketiga, profesi didukung oleh suatu disiplin ilmu, bukan hanya berdasarkan akal sehat semata. Keempat, ada kode etik yang menjadi pedoman perilaku anggotanya beserta sanksi yang jelas dan tegas terhadap pelanggar kode etik. Pengawasan terhadap ditegakkannya kode etik dilakukan oleh organisasi profesi. Kelima, sebagai konsekuensi dari layanan yang diberikan kepada masyarakat, anggota profesi secara perorangan maupun kelompok memperoleh imbalan finansial. Saat ini jika menghendaki guru diterima dan
742
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
diakui sebagai profesi, maka guru sendiri harus memahami apa sebenarnya makna dan bagaimana tanggung jawab profesional itu. Dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, pasal (1) ayat (1) dinyatakan, “Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi siswa pada jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah.”Menurut Rice dan Bishoprik dalam Ibrahim Bafadal (2004), guru profesional adalah guru yang mampu mengelola dirinya sendiri dalam melaksanakan tugas-tugasnya sehari-hari. Sedang menurut Glickman dalam Ibrahim Bafadal menegaskan bahwa seseorang akan bekerja secara profesional bilamana orang tersebut memiliki kemampuan (ability) dan motivasi (motivation), seorang guru dapat dikatakan profesional bila memiliki kemampuan tinggi dan motivasi kerja yang tinggi. Syarat guru profesional merupakan hal yang harus dimiliki oleh setiap guru, karena profesionalnya guru datang dari guru itu sendiri.Hal ini akan tercermin dalam penampilan pelaksanaan pengabdian tugas-tugas yang ditandai dengan keahlian baik dalam materi maupun metode. Siapa saja bisa terampil dalam mengajar kepada orang lain, tetapi hanya mereka yang berbekal pendidikan profesional keguruan yang bisa menegaskan dirinya memiliki pemahaman teoritik dan praktik bidang keahlian kependidikan. Kualifikasi pendidikan ini hanya bisa diperoleh melalui pendidikan formal bidang dan jenjang tertentu. Sedangkan kriteria pada sosok guru profesional adalah: (a) kesalehan pribadi, seorang guru harus mampu menjaga kebaikan dirinya dengan mengembangkan sikap dewasa, berakhlak mulia dan dapat menjadi teladan bagi siapa saja, sehingga kewibawaan akan tumbuh pada dirinya; (b) kepekaan sosial, guru harus memiliki ketajaman hati terhadap persoalan-persoalan masyarakat. Guru yang memiliki jiwa sosial yang tinggi akan senang membantu tanpa pamrih dan ikhlas terhadap siswa, sesama rekan guru, atasan/bawahan, orang tua murid dan masyarakat sekitarnya; (c) integritas keilmuan, guru yang memiliki integritas keilmuan adalah guru yang mampu menguasai materi yang diampunya sesuai dengan disiplin ilmu yang dimilikinya, baik penguasaan mengenai konsep teori dan hukum, maupun esensi dari konsep tersebut. Materi pelajaran yang diberikan pun harus relevan dengan kehidupan siswa. Ini berarti guru harus menguasai secara kontekstual materi-materi yang diajarkannya, bahkan termasuk kemampuan menerapkan materi yang diajarkannya dalam perkembangan Iptek; (d) keahlian pedagogis, ada beberapa aspek yang mesti dipahami guru, diantaranya adalah kemampuan memahami dan mengembangkan karakter, potensi dan gaya belajar siswa, membimbing siswa dalam menghadapi masalah, memahami SK/KD dan mengembangkannya menjadi indikator-indikator belajar, memilih strategi pembelajaran dan penilaian yang efektif untuk siswanya, mengelola kelas dan melakukan tindak lanjut penilaian. Semua itu akan berhasil dengan baik jika guru mampu merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi aspek-aspek tersebut. Jika aspek tersebut mampu dijalankan guru dengan baik, maka peran guru sebagai pendidik, pengajar dan pembimbing terlaksana dengan baik dan meyakinkan; (e) kepemimpinan. Guru-guru kita masih sedikit yang melakukan kegiatan mengorganisasi proses belajar mengajar, padahal kemampuan guru mengelola pembelajaran akan mempengaruhi efektivitas dan tingkat keberhasilan pembelajaran. Muhammad (2004) menyatakan bahwa, seorang guru profesional dituntut juga harus banyak belajar, membaca, menulis dan mendalami teori tentang profesi yang digeluti. Kualitas profesionalisme didukung oleh lima kompetensi sebagai berikut: (a) keinginan untuk selalu menampilkan perilaku yang mendekati standar ideal; (b) selalu meningkatkan dan memelihara citra profesi; (c) senantiasa mengejar kesempatan pengembangan profesional yang Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
743
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
dapat meningkatkan dan memperbaiki kualitas pengetahuan dan keterampilannya; (d) mengejar kualitas dan cita-cita dalam profesi.Sedangkan prinsip-prinsip profesionalisme menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 pasal 7 (1) antara lain: (1) memiliki bakat, minat, panggilan jiwa dan idealisme; (b) memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia; (c) memiliki kualitas latar belakang pendidikan yang sesuai dengan bidang tugas; (d) memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas; (e) memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas profesionalitas; (f) memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja; (g) memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat; (h) memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan; dan (i) memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru. Menyadari akan profesi merupakan wujud eksistensi guru sebagai komponen yang bertanggung jawab dalam keberhasilan pendidikan, maka menjadi satu tuntutan bahwa guru harus sadar akan peran dan fungsinya sebagai pendidik. Hal ini dipertegas Pidarta (1999) bahwa kesadaran diri merupakan inti dari dinamika gerak laju perkembangan profesi seseorang, merupakan sumber dari kebutuhan mengaktualisasi diri. Makin tinggi kesadaran seseorang makin kuat keinginannya untuk meningkatkan profesi. Semakin sering profesi guru dikembangkan melalui berbagai kegiatan, maka semakin mendekatkan guru pada pencapaian predikat guru yang profesional dalam menjalankan tugasnya sehingga harapan kinerja guru yang lebih baik akan tercapai.
Peran Guru dalam Proses Pendidikan Peran guru dalam pendidikan menjadikan guru sebagai pahlawan yang berjasa terhadap pelaksanaan pendidikan. Karena hanya dengan meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, maka kemajuan dan nasib bangsa dapat ditentukan. Ada beberapa peran guru yang perlu dipahami karena hal itu berpengaruh terhadap pelaksanaan pendidikan di sekolah. Diantara peran guru tersebut adalah: a. sebagai pendidik dan pengajar, bahwasanya setiap guru berperan melakukan transfer ilmu pengetahuan, mengajarkan dan membimbing anak didiknya serta mengajarkan tentang segala sesuatu yang berguna bagi mereka di masa depan, b. sebagai anggota masyarakat, guru berperan dalam membangun interaksi dan hubungan sosial masyarakat dan bagian dari masyarakat, c. sebagai administrator, seorang guru berperan melaksanakan semua administrasi sekolah yang berkaitan dengan pendidikan dan pembelajaran, d. sebagai pengelola pembelajaran, bahwasanya guru berperan aktif dalam menguasai berbagai metode pembelajaran dan memahami situasi belajar mengajar di dalam maupun di luar sekolah. Dalam UU RI. No.20 tahun 2003 bab XI pasal 39 tentang pendidik dan tenaga kependidikan disebutkan bahwa tugas seorang guru adalah: “merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi”. Sedangkan pada pasal berikutnya, ayat kedua disebutkan bahwa pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban (a) menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis dan dialogis; (b) mempunyai komitmen secara profesional 744
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
untuk meningkatkan mutu pendidikan; (c) memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya. Pendek kata, di pundak guru ada beban tanggung jawab yang sangat besar dan berat. Beban itu semakin berat dengan besarnya tantangan global yang menantang dan memberikan ancaman terhadap eksistensi guru. Sehingga tidak ada kata lain bagi guru, selain harus berbenah menyiapkan diri menghadapi semua kemungkinan yang terjadi sejalan dengan semakin beratnya tantangan guru di masa kini dan masa depan. Para guru harus berani merefleksi, instropeksi serta melakukan koreksi terhadap segala kelemahan dan kekurangan guru selama ini dalam menjalankan tugas profesinya sebagai guru.
Hakikat Pendidikan Jasmani dan Kesehatan Pendidikan jasmani dan kesehatan merupakan proses pendidikan artinya bahwa melalui proses pendidikan jasmani dan kesehatan yang kondusif siswa dibantu untuk mewujudkan dirinya sesuai dengan tahap pertumbuhan dan perkembangannya secara optimal sehingga siswa mencapai suatu taraf kedewasaan tertentu. Taraf kedewasaan tersebut mengandung arti bukan hanya ditandai oleh tumbuhnya aspek fisik yang optimal dan proporsional, namun bersamaan dengan itu berkembang pula aspek mental, emosional dan sosial yang serasi sesuai dengan tahap-tahap perkembangannya. Seperti kutipan dari CA Bucher (1960) didalam buku Sukintaka (2004:16), bahwa pendidikan jasmani dan kesehatan merupakan bagian integral dari pendidikan total yang mencoba mencapai tujuan untuk mengembangkan kebugaran jasmani, mental, sosial serta emosional bagi masyarakat, dengan wahana aktifitas jasmani. Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat dipahami bahwa pendidikan jasmani dan kesehatan merupakan bagian integral dari pendidikan keseluruhan yang memberi kontribusi kepada perkembangan individu melalui media alamiah yaitu aktifitas fisik dan gerak termasuk olahraga. Tujuan pendidikan jasmani dan kesehatan adalah untuk memperkembangkan individu secara keseluruhan. Maksudnya bukan hanya memperkembangkan aspek jasmani, namun memperkembangkan pula aspek mental, intelektual, sosial, emosional, moral, spiritual dan estetika. Pernyataan tersebut selaras dengan pernyataan Toto Subroto (2000:6) bahwa, meskipun pendidikan jasmani dan kesehatan itu merupakan proses pendidikan melalui aktivitas jasmani dan olahraga, namun tujuan yang hendak dicapai oleh pendidikan jasmani dan kesehatan bukan hanya terkait dengan aspek fisik, tapi lebih bersifat pedagogis dan proporsional. Artinya nilainilai pendidikan yang terkait dengan aspek intelektual, moral, sikap, keterampilan fisik dan kebugaran jasmani serta estetika dikembangkan secara selaras, seimbang dan serasi.
Hakikat Guru Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan Pendidikan dapat dikatakan baik bila pendidikan itu dapat memberi kesempatan berkembangnya semua aspek pribadi manusia atau dengan kata lain rumusan tujuan berisikan pengembangan aspek pribadi manusia. Sukintaka (2004:27) mengutip Winarno Surachmad (1980) menyatakan bahwa, mengajar merupakan peristiwa yang terikat oleh tujuan, terarah oleh tujuan dan dilaksanakan semata-mata untuk mencapai tujuan. Oleh sebab itu, guru pendidikan jasmani olahraga dan kesehatan harus benar-benar memahami tujuan pendidikan sehingga guru tersebut akan mampu menentukan langkah-langkah yang tepat sehingga pencapaian tujuan akan lebih terjamin. Ciri guru pendidikan jasmani dan kesehatan yang efektif adalah: (1) mampu mengelola lingkungan belajar siswa secara efektif, efisien dan menimbulkan rasa aman bagi siswa; (2) mampu mengelola lingkungan belajar siswa yang dilandasi oleh rasa cinta kasih, keterbukaan, semangat dan antusias, sabar, ikhlas serta
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
745
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
penuh rasa empati; (3) menguasai bahan pelajaran, terampil dalam menggunakan berbagai metode dan gaya mengajar yang bervariasi dan menggunakan pendekatan individual; (4) selalu tampil rapi, bersih, semangat, riang dan gembira (Toto Subroto, 2000:57). Selanjutnya menurut Toto Subroto (2000:31) tentang tugas guru pendidikan jasmani olahraga dan kesehatan adalah: (1) membimbing aktivitas siswa, siswa hanya dapat berenang jika ia melakukan berenang sendiri, hal yang tidak mungkin terjadi jika siswa dapat berenang hanya dengan membaca buku tentang berenang; (2) membimbing pengalaman siswa, berkat pengalaman siswa memperoleh pengertian, sikap, penghargaan, kebiasaan, kecakapan, keterampilan; (3) membantu siswa tumbuh dan berkembang, melalui pendidikan dan pengajaran pendidikan jasmani dan kesehatan yang kondusif diharapkan siswa dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Pembelajaran tidak semata-mata ditujukan kepada ujian, namun lebih dari itu hasil belajar tersebut berfungsi positif bagi kehidupan anak di kemudian hari. Melihat bahwa tugas dan peran guru pendidikan jasmani olahraga dan kesehatan kompleks dan sukar untuk melaksanakannya dengan efektif, maka yang dibutuhkan adalah profil serta karakteristik personal guru pendidikan jasmani olahraga dan kesehatan yang pada umumnya memenuhi persyaratan berjiwa Pancasila dan UUD 45 serta melaksanakan kompetensi guru. Disamping itu ada persyaratan utama bagi guru yakni mempunyai kelebihan dalam bidang pengetahuan dan norma yang berlaku. Bagi guru pendidikan jasmani olahraga dan kesehatan, disamping profil dan persyaratan utama, sebaiknya guru mempunyai persyaratan kompetensi pendidikan jasmani dan kesehatan agar ia mampu melaksanakan tugas dengan baik. Persyaratan yang dimaksud adalah: (1) memahami pengetahuan pendidikan jasmani dan kesehatan sebagai bidang studi; (2) memahami karakteristisk anak didiknya; (3) mampu membangkitkan dan memberi kesempatan anak didik untuk aktif dan kreatif dalam proses pembelajaran pendidikan jasmani dan kesehatan dan mampu menumbuhkembangkan potensi kemampuan motorik dan keterampilan motorik; (4) mampu memberikan bimbingan dan mengembangkan potensi anak didik dalam proses pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan jasmani dan kesehatan; (5) mampu merencanakan, melaksanakan, mengendalikan dan menilai serta mengoreksi dalam proses pembelajaran pendidikan jasmani dan kesehatan; (6) memiliki pemahaman dan penguasaan kemampuan keterampilan motorik: (7) memiliki pemahaman tentang unsur-unsur kondisi fisik; (8) memiliki kemampuan untuk menciptakan, mengembangkan dan memanfaatkan lingkungan yang sehat dalam upaya mencapai tujuan pendidikan jasmani dan kesehatan ; (9) memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi potensi anak didik dalam berolahraga dan (10) mempunyai kemampuan untuk menyalurkan hobinya dalam berolahraga (Sukintaka, 2004:72). Syarat tersebut harus dimiliki dan mampu dijalankan oleh guru pendidikan jasmani olahraga dan kesehatan, sebab profesi tersebut banyak diharapkan masyarakat dan dapat memberi pengaruh besar terhadap lahirnya generasi baru yang sesuai dengan tujuan pendidikan nasional seutuhnya.
Metode Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research) dengan pendekatan kualitatif, sehingga diupayakan memunculkan data-data lapangan yang sebenarnya sesuai kondisi sesungguhnya. Subyek penelitian pada penelitian ini adalah orang yang berkaitan
746
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
dengan kompetensi guru yaitu guru pendidikan jasmani olahraga dan kesehatan di MIN Rejoso Kecamatan Peterongan kabupaten Jombang. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah observasi dengan cara mengamati secara langsung, tanpa alat atau instrument lain. Wawancara dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara yang sudah disusun dan ditentukan sebelumnya, sedangkan dokumentasi dilakukan untuk mengumpulkan data melalui tulisan, arsip, dokumen, tempat atau orang yang berkaitan dengan penelitian. Metode analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskripstif kualitatif, yaitu dengan cara menghimpun informasi secara mendalam mengenai pelaksanaan pembelajaran pendidikan jasmani dan kesehatan kemudian informasi dan data yang diperoleh tersebut disinkronkan dengan persyaratan kompetensi yang harus dimiliki oleh guru pendidikan jasmani olahraga dan kesehatan.
Hasil Penelitian Hasil penelitian yang diperoleh bahwa guru pendidikan jasmani olahraga dan kesehatan di MIN Rejoso Kecamatan Peterongan Kabupaten Jombang sudah memenuhi persyaratan dalam katagori cukup baik untuk kompetensi yang disyaratkan agar mampu melaksanakan pembelajaran dengan baik, yaitu dalam hal: (1) memahami pengetahuan pendidikan jasmani dan kesehatan sebagai bidang studi; (2) memahami karakteristik anak didiknya; (3) mampu membangkitkan dan memberi kesempatan anak didik untuk aktif dan kreatif dalam proses pembelajaran pendidikan jasmani dan kesehatan dan mampu menumbuhkembangkan potensi kemampuan motorik dan keterampilan motorik; (4) mampu memberikan bimbingan dan mengembangkan potensi anak didik dalam proses pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan jasmani dan kesehatan; (5) mampu merencanakan, melaksanakan, mengendalikan dan menilai serta mengoreksi dalam proses pembelajaran pendidikan jasmani dan kesehatan; (6) memiliki pemahaman dan penguasaan kemampuan keterampilan motorik: (7) memiliki pemahaman tentang unsur-unsur kondisi fisik; (8) memiliki kemampuan untuk menciptakan, mengembangkan dan memanfaatkan lingkungan yang sehat dalam upaya mencapai tujuan pendidikan jasmani dan kesehatan ; (9) memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi potensi anak didik dalam berolahraga dan (10) mempunyai kemampuan untuk menyalurkan hobinya dalam berolahraga.
Simpulan Kompetensi guru dalam pelaksanaan pembelajaran pendidikan jasmani dan kesehatan di MIN Rejoso Kecamatan Peterongan Kabupaten Jombang dalam katagori cukup baik, yaitu dalam hal: (1) memahami pengetahuan pendidikan jasmani dan kesehatan sebagai bidang studi; (2) memahami karakteristik anak didiknya; (3) mampu membangkitkan dan memberi kesempatan anak didik untuk aktif dan kreatif dalam proses pembelajaran pendidikan jasmani dan kesehatan dan mampu menumbuhkembangkan potensi kemampuan motorik dan keterampilan motorik; (4) mampu memberikan bimbingan dan mengembangkan potensi anak didik dalam proses pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan jasmani dan kesehatan; (5) mampu merencanakan, melaksanakan, mengendalikan dan menilai serta mengoreksi dalam proses pembelajaran pendidikan jasmani dan kesehatan; (6) memiliki pemahaman dan penguasaan kemampuan keterampilan motorik: (7) memiliki pemahaman tentang unsur-unsur kondisi fisik; (8) memiliki kemampuan untuk menciptakan, mengembangkan dan
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
747
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
memanfaatkan lingkungan yang sehat dalam upaya mencapai tujuan pendidikan jasmani dan kesehatan; (9) memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi potensi anak didik dalam berolahraga dan (10) mempunyai kemampuan untuk menyalurkan hobinya dalam berolahraga dalam katagori cukup baik. Saran peneliti agar guru pendidikan jasmani olahraga dan kesehatan di MIN Rejoso Kecamatan Peterongan Kabupaten Jombang dapat lebih meningkatkan kompetensi profesionalnya adalah dengan cara: (1) kepala sekolah bisa menyusun program penyetaraan bagi guru-guru yang memiliki kualifikasi D3 agar mengikuti penyetaraan S1, sehingga mereka dapat menambah wawasan keilmuan dan pengetahuan yang menunjang tugasnya; (2) untuk meningkatkan profesionalisme guru yang sifatnya khusus, bisa dilakukandengan mengikutsertakan guru melalui seminar dan pelatihan untuk meningkatkan kinerja guru dalam membenahi dan metodologi pembelajaran
Daftar Pustaka Abin Syamsudin, Nandang Budiman. 2003. Profesi Keguruan. Jakarta: Universitas Terbuka. Aip Syarifuddin. 1994. Dasar-dasar di Dalam Proses Belajar mengajar Pendidikan Jasmani. Jakarta. IKIP Jakarta. Cece Wijaya dan Tabrani Rusyan. 1994. Kemampuan dasar Guru dalam Proses Belajar. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Komisi disiplin Ilmu Keolahragaan. 2000. Ilmu Keolahragaan dan Rencana Pengembangannya. Jakarta. Depdiknas Dirjen Dikti Sekretariat Dewan Dikti. Moh. Uzer Usman. 2001. Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Oemar Hamalik. 2003. Pendidikan Guru. Jakarta: PT Bumi Aksara. Rusli Lutan. 2001. Mengajar Pendidikan Jasmani. Jakarta: Depdiknas. Sardiman. 1990. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Rajawali Pers. Sukintaka. 2004. Teori Pendidikan Jasmani. Bandung: Nuansa. Siedentop, D. 1983. Developing Teaching Skills in Physical Education. Mountain View, CA : Mayfield Publishing. Toto Subroto. 2000. Pemantapan Kemampuan belajar. Jakarta: Depdikbud. Undang-Undang Republik Indonesia No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. 2006. Jakarta: Eka Jaya.
748
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
BENTUK TUTURAN MASYARAKAT MANDURO SEBAGAI PENDUKUNG PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA Diana Mayasari 16 ([emailprotected]) Abstract This study aims to describe Mandurese utterances of the form of vocabulary, phonology, morphology, and syntax. This research was qualitative descriptive. The sample was established using the purposive sampling technique. The data collection techniques used were interview, observation and Swadesh Morris quiationnaire to gather data from the sample. The data analysis techniques used were inductive analysis with methods of agih and padan. The results of this study indicate that Mandurese utterance is creol with vocabulary has similarities with Indonesian and Javanese languages, which consists of nouns, verbs, adverbs, prepositions, interjections, pronouns, numbers, adjectives, and conjunctions. The phonological form consists of vowel (V), consonants (C), dipthongs, and clusters. The phonological structures found are CV+CVC, VCVC, CVC+ CV+CVC, CCVC+CV+CV, VCV+CVCC, CVV+CV+CVC, CCVC, VCCV+CVC, dan CVCC+CVV. The morphological form found are affixes, suffixes, prefixsuffix, and reduplication.The syntactic form has elements of the subject, predicate, object, adverb, and complement. The research product can be used as support the teaching of Indonesian. Keywords: form of utterance, phonology, morphology, vocabulary, syntax Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk tuturan masyarakat Manduro dari struktur fonologi, morfologi, kosakata, dan sintaksis. Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Sampel penelitian dipilih menggunakan teknik purposive sampling. Teknik pengumpulan data yang digunakan wawancara, pengamatan, dan angket Swadesh Morris. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis induktif dengan metode padan dan agih. Hasil penelitian menunjukkan tuturan masyarakat Manduro berupa creol dengan kosakata yang terpengaruh oleh Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa yang terdiri dari kata benda, kata kerja, kata keterangan, kata seru, kata depan, kata bilangan, kata sifat,kata ganti, kata penghubung. Bentuk fonologi terdiri dari fonem vokal (V), konsonan (K), diftong, dan kluster. Struktur fonologi yang ditemukan adalah KV+KVK, VKVK, KVK+ KV+KVK, KKVK+KV+KV, VKV+KVKK, KVV+KV+KVK, KKVK, VKKV+KVK, KV+KV dan KVKK+KVV. Bentuk morfologi yang ditemukan berupa bentuk imbuhan yang terdiri dari imbuhan berupa awalan, akhiran, awalanakhiran dan proses reduplikasi. Bentuk sintaksis yang ditemukan unsur subjek (S), predikat (P), objek (O), keterangan (K), dan pelengkap (Pel.). Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan pendukung pembelajaran bahasa Indonesia. Kata kunci :bentuk tuturan,fonologi, morfologi, kosakata, sintaksis
Pendahuluan Bahasa merupakan warisan leluhur yang harus dijaga keberadaannya. Salah satu wujud dari bahasa adalah tuturan yang digunakan masyarakat Manduro yang memiliki bentuk yang berbeda dengan masyarakat yang berada di sekitarnya. Masyarakat yang dominan beretnis Madura tersebut, dalam bertutur menggunakan logat dan dialek yang berbeda dengan suku Madura. Tuturan yang digunakan oleh masyarakat Manduro memiliki perbedaan kosakata dengan bahasa Madura, bahasa Indonesia, dan bahasa Jawa. Hidayahrohmah (2013,p.1) menyatakan bahwa bahasa Madura yang digunakan oleh masyarakat Manduro telah mengalami 16
STKIP PGRI Jombang
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
749
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
pergeseran. Pendapat lain dikemukakan Permadi (2011,p.14) bahwa masyarakat Manduro menggunakan bahasa Madura dan bahasa Jawa, namun kosakata yang mereka gunakan terdapat perbedaan dengan dua bahasa tersebut. Terkait dengan hal tersebut, bahasa merupakan bagian yang urgent dalam pembelajaran. Berdasarkan observasi peneliti Desa Manduro memiliki dua sekolah dasar yang memiliki peserta didik dengan kemampuan multilingualnya, yakni bahasa Indonesia, bahasa Jawa dan bahasa Manduro. Wujud tuturan masyarakat Manduro belum diketahui oleh masyarakat luas, begitu juga dengan para guru yang mendampingi proses pembelajaran. Berdasarkan standar proses pada kurikulum 2013 (salinan Permenikbud No. 65 Tahun 2013 tentang standar proses) disebutkan bahwa sasaran pembelajaran disesuaikan dengan kompetensi lulusan mencakup adanya pengembangan tiga hal, yakni sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang dielaborasi untuk setiap satuan pendidikan. Tiga ranah tersebut memiliki keterkaitan dengan bahasa peserta didik khususnya pada aktifitas menyaji yang terdapat dalam ranah keterampilan berbahasa. Keterampilan tersebut akan terwujud dalam kecakapan berbahasa yang akan mempengaruhi bagaimana isi dan cara peserta didik menyajikan hasil proses pembelajaran. Kecakapan bahasa peserta didik merupakan salah satu komponen yang harus diketahui guru sebelum melaksanakan proses pembelajaran. Kecakapan tersebut akan terwujud dalam komponen-komponen bahasa itu sendiri melalui komunikasi secara langsung dan pemahaman terhadap teks tertulis meliputi komponen fonologi, morfologi, sintaksis, semantik dan pragmatik. Pemahaman terhadap kecakapan berbahasa siswa merupakan pertimbangan penting untuk menetapkan tujuan pembelajaran, merencanakan tugas-tugas belajar dan menilai perkembangan siswa. Selain itu pemahaman guru terhadap kecakapan bahasa siswa akan mempermudah menyampaikan isi pelajaran, melaksanakan interaksi sosial di dalam kelas dan menentukan langkah-langkah yang harus ditempuh dalam pembelajaran bahasa. Kecakapan bahasa yang dimiliki peserta didik dalam pembelajaran bahasa di SD Manduro tidak lepas dari tuturan masyarakat Manduro. Tuturan masyarakat Mandura berdasarkan pernyataan Robins (1992, p. 14) memiliki maksud dan bentuk tertentu sebagai landasan analisis para linguis. Hasil penelitian ini akan mendeskripsikan bentuk tuturan masyarakat Manduro melalui struktur fonologi, morfologi, dan sintaksis. Fokus penelitian ini adalah wujud tuturan masyarakat Manduro yang belum banyak diketahui oleh masyarakat luas sehingga perlu adanya penelitian yang mendeskripsikan tuturan tersebut melalui kajian kegramatikalannya, yakni bentuk fonologi yang terdiri dari fonem vokal, konsonan, diftong dan kluster.Pada bentuk morfologi dianalisis dari aspek imbuhan bentuk reduplikasi dan sintaksis pada jenis kata dan struktur kalimat. Tujuan penelitian adalah mendeskripsikan wujud tuturan masyarakat Manduro berdasarkan bentuk fonologi, morfologi, dan sintaksis. Manfaat penelitian ini secara teoretis diharapkan dapat memperkaya pengetahuan gramatikal khususnya bidang kajian tuturan masyarakan Manduro, yakni bentuk fonologi, morfologi, dan sintaksis. Secara praktis diharapkan dapat digunakan sebagai bahan analisis kontrastif linguistik, sehingga dapat diaplikasikan sebagai sumbangsih linguistik terhadap pembelajaran bahasa khususnya Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa.
750
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Landasan Teori Bahasa merupakan warisan leluhur yang harus dijaga keberadaannya. Salah satu wujud dari bahasa adalah tuturan yang digunakan masyarakat Manduro yang memiliki bentuk yang berbeda dengan masyarakat yang berada di sekitarnya. Masyarakat yang dominan beretnis Madura tersebut, dalam bertutur menggunakan logat dan dialek yang berbeda dengan suku Madura. Tuturan yang digunakan oleh masyarakat Manduro memiliki perbedaan kosakata dengan bahasa Madura, bahasa Indonesia, dan bahasa Jawa. Hidayahrohmah (2013,p.1) menyatakan bahwa bahasa Madura yang digunakan oleh masyarakat Manduro telah mengalami pergeseran. Pendapat lain dikemukakan Permadi (2011,p.14) bahwa masyarakat Manduro menggunakan bahasa Madura dan bahasa Jawa, namun kosakata yang mereka gunakan terdapat perbedaan dengan dua bahasa tersebut. Terkait dengan hal tersebut, bahasa merupakan bagian yang urgent dalam pembelajaran. Berdasarkan observasi peneliti Desa Manduro memiliki dua sekolah dasar yang memiliki peserta didik dengan kemampuan multilingualnya, yakni bahasa Indonesia, bahasa Jawa dan bahasa Manduro. Wujud tuturan masyarakat Manduro belum diketahui oleh masyarakat luas, begitu juga dengan para guru yang mendampingi proses pembelajaran. Berdasarkan standar proses pada kurikulum 2013 (salinan Permenikbud No. 65 Tahun 2013 tentang standar proses) disebutkan bahwa sasaran pembelajaran disesuaikan dengan kompetensi lulusan mencakup adanya pengembangan tiga hal, yakni sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang dielaborasi untuk setiap satuan pendidikan. Tiga ranah tersebut memiliki keterkaitan dengan bahasa peserta didik khususnya pada aktifitas menyaji yang terdapat dalam ranah keterampilan berbahasa. Keterampilan tersebut akan terwujud dalam kecakapan berbahasa yang akan mempengaruhi bagaimana isi dan cara peserta didik menyajikan hasil proses pembelajaran. Kecakapan bahasa peserta didik merupakan salah satu komponen yang harus diketahui guru sebelum melaksanakan proses pembelajaran. Kecakapan tersebut akan terwujud dalam komponen-komponen bahasa itu sendiri melalui komunikasi secara langsung dan pemahaman terhadap teks tertulis meliputi komponen fonologi, morfologi, sintaksis, semantik dan pragmatik. Pemahaman terhadap kecakapan berbahasa siswa merupakan pertimbangan penting untuk menetapkan tujuan pembelajaran, merencanakan tugas-tugas belajar dan menilai perkembangan siswa. Selain itu pemahaman guru terhadap kecakapan bahasa siswa akan mempermudah menyampaikan isi pelajaran, melaksanakan interaksi sosial di dalam kelas dan menentukan langkah-langkah yang harus ditempuh dalam pembelajaran bahasa. Kecakapan bahasa yang dimiliki peserta didik dalam pembelajaran bahasa di SD Manduro tidak lepas dari tuturan masyarakat Manduro. Tuturan masyarakat Mandura berdasarkan pernyataan Robins (1992, p. 14) memiliki maksud dan bentuk tertentu sebagai landasan analisis para linguis. Hasil penelitian ini akan mendeskripsikan bentuk tuturan masyarakat Manduro melalui struktur fonologi, morfologi, dan sintaksis. Fokus penelitian ini adalah wujud tuturan masyarakat Manduro yang belum banyak diketahui oleh masyarakat luas sehingga perlu adanya penelitian yang mendeskripsikan tuturan tersebut melalui kajian kegramatikalannya, yakni bentuk fonologi yang terdiri dari fonem vokal, konsonan, diftong dan kluster.Pada bentuk morfologi dianalisis dari aspek imbuhan bentuk reduplikasi dan sintaksis pada jenis kata dan struktur kalimat. Tujuan penelitian adalah Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
751
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
mendeskripsikan wujud tuturan masyarakat Manduro berdasarkan bentuk fonologi, morfologi, dan sintaksis. Manfaat penelitian ini secara teoretis diharapkan dapat memperkaya pengetahuan gramatikal khususnya bidang kajian tuturan masyarakan Manduro, yakni bentuk fonologi, morfologi, dan sintaksis. Secara praktis diharapkan dapat digunakan sebagai bahan analisis kontrastif linguistik, sehingga dapat diaplikasikan sebagai sumbangsih linguistik terhadap pembelajaran bahasa khususnya Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa.
Fonologi Merujuk hasil penelitian di Albanian yang dikutip Andreou (2007,p. 9) menyatakan bahwa kesadaran fonologi, secara khusus dari anak-anak bilingual diteliti secara menyeluruh sejak diusulkan bahwa secara jelas dan konsisten ada keterkaitan antara kesadaran fonologi dan kemahiran membaca anak yang berlatar belakang multilingual; selanjutnya, diklaim bahwa nilai pengetahuan fonologi digunakan untuk menampilkan tugas kemampuan membaca yang lebih baik ( Chiappe & Siegel, 1999; Mutter & Diethelm, 2001; Stuart, 1999 dalam Andreou, 2007, p. 9). Berdasarkan hasil penelitian tersebut Andreou (2007, p.12) melakukan riset dengan hasil sebagai berikut. Anak-anak yang menguasai tiga bahasa menunjukkan kesadaran fonologi yang lebih baik dari pada mereka yang menguasai dua bahasa. Hal tersebut dikarenakan anak-anak trilingual lebih berhati-hati dalam memilih leksikon dalam berbicara dengan tiga bahasa yang dikuasainya. Pada bentuk fonologi akan ditelaah melalui bentuk vokal, konsonan, diftong, daan kluster.
Vokal Bunyi vokal dihasilkan dengan udara yang keluar dari paru-paru tanpa adanya hambatan, dipengaruhi oleh gerakan bibir dan gerakan lidah (Ahmad dan Abdulloh, 2012,p.31). Berikut vokal dalam Bahasa Indonesia. Tabel 1 Vokal Bahasa Indonesia Posisi lidah Tinggi Sedang Rendah
Depan /i/ /e/
Tengah /ə/ /a/
Belakang /u/ /o/
Konsonan Konsonan terjadi setelah arus udara melewati pita suara yang terbuka sedikit atau agak lebar diteruskan ke rongga mulut atau rongga hidung dengan mendapat hambatan ditempattempat tertentu. Diantara klasifikaasi konsonaan seperti huruf bilabial (/b/, /p/, /m/), labiodental (/f/,/v/), laminoalveolar (/t/,/d/), dan dorsovelar (/k/,/g/) dan sebagainya (Chaer, 2007,p.113117).
Doftong Chaer (2007,p. 115) mengemukakan bahwa diftong terjadi karena posisi lidah ketika memproduksi bunyi ini pada bagian awalnya dan bagian akhirnya tidak sama. Muslich (2008,p. 69) mengemukakan bahwa ketika dua deret bunyi vokoid diucapkan dengan satu hembusan udara, akan terjadi ketidaksamaan sonoritas. Salah satu bunyi vokoid itu lebih tinggi dari pada bunyi vokoid yang lainnya. Peristiwa meningggi dan menurunnnya sonoritas inilah yang disebut diftong.
752
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Kluster Kluster dalam bahasa Indonesia terjadi sebagai akibat pengaruh struktur fonetis unsur serapan. Pada umumnya kluster dalam bahasa Indonesia seputar kombinasi sebagai berikut. (1) Jika kluster atas dua kontoid, yang berlaku adalah : (a) Kontoid pertama hanyalah sekitar [p], [b], [t], [d], [k], [g], [f], dan [s]; (b) Kontoid kedua hanyalah sekitar [l], [r], [w], [s], [m], [n], [k] Contoh: [pl] pada [pleonasme] [bl] pada [gamblang] [sr] pada [pasrah] (2) Jika kluster terdiri atas tiga kontoid, yang berlaku adalah (a) Kontoid pertama selalu [s] (b) Kontoid kedua [t] atau [p] (c) Kontoid ketiga [r] atau [l] Contoh : [str] pada [strategi] [skr] pada [skripsi]
Morfologi Morfologi bahasa adalah konstruksi-konstruksi bentuk-bentuk terikat yang terdapat di antara konstituen-konstituennya (Blomfield, 1995,p.200). Pada bentuk morfologi akan ditelaah melalui aspek proses morfologis yang terdiri dari proses afiksasi, dan reduplikasi.
Afiksasi Afiks yang diletakkan di awal atau di muka bentuk disebut dengan prefiks. Dalam bahasa Indonesia misalnya mem-, di-, ber-, ke-, ter-, se-, pem-, dan pe-/per. Sedangkan dalam Bahasa Jawa imbuhan di depan memiliki jumlah yang relatif cukup banyak. Nurhayati (2001: 13) mengemukakan imbuhan di depan untuk bahasa Jawa terdiri dari [N- (n-, ny-, m-, ng-)], [Dak/tak-], [Kok-/tok], [di-],[ka-], [ke-], [a-], [aN-], [paN-], [ma-], [mer-], [sa-], [pa-], [pi-], [pra-], [tar-], [kuma-], [kami-] dan [kapi-]. Afiks yang diletakkan di dalam bentuk dasar dikenal dengan infiks. Dalam bahasa Indonesia terdapat tiga macam infiks yaitu –el, -em, dan –er. Contoh dalam penggunaan kata belajar yakni dari kata ajar dan gerigi dari kata gigi. Nurhayati (2001, p.23) menyatakan bahwa pengimbuhan tengah atau seselan dalam Bahasa Jawa terdiri dari 4 morfem, yaitu [–in-], [-um-], [-er-], dan [-el-.] Afiks yang diletakkan di belakang bentuk dasar disebut dengan sufiks. Dalam bahasa Indonesia misalnya –kan, -i, -nya, -wati, -wan, -man, -isme, dan –isasi. Sedangkan bentuk akhiran dalam Bahasa Jawa adalah –i, -ake, -a, -en, -na, -ana, -an dan –e (Nurhayati, 2001: p.25). Kemudian, konfiks terdiri dari dua unsur, satu di muka bentuk dasar satu di belakang bentuk dasar, dan berfungsi sebagai satu morfem terbagi (Ahmad dan Abdulloh, 2012,p.64). Proses pengulangan (reduplikasi) merupakan peristiwa pembentukan kata dengan jalan mengulang bentuk dasar, baik seluruhnya maupun sebagian, baik bervariasi fonem maupun tidak, baik berkombinasi dengan afiks maupun tidak (Muslich, 2008, p.48-49). Ramlan (1985, p.57) menyatakan bahwa proses pengulangan atau reduplikasi (rangkep dalam bahasa Jawa) adalah pengulangan satuan gramatik sebagian atau seluruhnya dengan adanya variasi fonem ataupun tidak. Macam-macam reduplikasi terdiri dari bentuk ulang seluruh, bentuk ulang sebagian, bentuk ulang kombinasi afiks, dan bentuk ulang perubaahan fonem. Sintaksis Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
753
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Chaer (2009: 3) mengungkapkan bahwa sintaksis adalah subsistem yang membicarakan penataan dan pengaturan kata-kata ke dalam satuan yang lebih besar yakni kata, frase, klausa, kalimat, dan wacana. Pada bentuk sintaksis akan ditelaah melalui fungsi, peraan dan kategori sintaksis. Analisis fungsi sintaksis dimaksudkan untuk mendapatkan perian teknis fungsi-fungsi yang terdapat dalam kalimat atau klausa. Fungsi-fungsi itu mencakup subjek, predikat, objek, pelengkap, dan keterangan yang harus diisi kategori sintaksis (jenis kata). Fungsi sintaksis tidak memiliki makna tertentu tetapi harus diisi makna tertentu, yakni peran sintaksis.
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang bersifat deskriptif. Kualitatif oleh Creswell (2009, p.4) diartikan sebagai metode-metode untuk mengeksplorasi dan memahami makna yang oleh sejumlah individu atau sekelompok orang dianggap berasal dari masalah sosial atau kemanusiaan.Tuturan masyarakat Manduro belum banyak diketahui oleh masyarakat luas dan terdapat perbedaan dengan tuturan dengan masyarakat desa lainnya i Kabupaten Jombang. Pelaksananaan penelitian dilakukan pada bulan Oktober-Desember 2014 dan bulan Januari 2015. Tempat penelitian ini berada diempat Dusun Desa Manduro, Kecamatan Kabuh, Kabupaten Jombang yakni dusun Gesing, Dander, Matu’an dan Guo. Subjek penelitian adalah masyarakat Manduro. Peneliti mengambil 4 sampel penelitian menggunakan teknik purposive sampling dengan mengutamakan pada perangkat desa yang benar-benar menguasai tuturan masyarakat Manduro terdiri dari 4 perangkat, yakni Siti Fatimah (25 tahun) sebagai informan utama, Jamiluddin, Riyono, dan Bu Jamiluddin sebagai informan pendamping. Objek penelitian adalah tuturan masyarakat Manduro. Penelitian kualitatif menggunakan metode pengumpulan data secara kualitatif yaitu pengamatan dan wawancara (Moleong, 2011, p. 9). Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui pengamatan dan wawancara dengan instrumen angket Swadesh Morris, catatan lapangan, daftar pertanyaan dan kamera digital Nikon Cooplex. Analisis data dalam penelitian ini bersifat analisis induktif berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan di lapangan kemudian dikonstruksikan menjadi sebuah teori (Sugiyono, 2008,p.15). Analisis induktif dalam penelitian ini dilakukan dengan metode padan dan agih.metode agih, yakni metode analisis bahasa yang alat penentunya bagian dari bahasa itu sendiri dan metode padan, yakni metode analisis bahasa yang alat penentunya di luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian bahasa yang bersangkutan (Sudaryanto, 1995,p.13-15). Metode padan digunakan untuk menganalisis masing-masing struktur tuturan masyarakat Manduro dengan membandingkan dengan konstruksi fonologi, morfologi dan sintaksis Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa.
Hasil Penelitian Hasil penelitian dijelaskan meliputi bentuk fonologi, morfologi, dan sintaksis. Berikut uraian masing-masing-masing komponen tersebut. Fonologi Bentuk fonem dan suku kata yang terdapat pada tuturan masyarakat manduro ditemukan bentuk-bentuk sebagai berikut.
754
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Tabel 2 Fonem da Konstruksinya No 1 – 3 4 5
Fonem Wujud Vokal /ia/ Konsonan /au/ Diftong /ea/ Kluster /ue/ /ie/
6
/ai/ /kl/ Klam-bi-na’bajunya’ /pr/ Pring‘bam-bu’ /kh/ Akhir-an‘ter-akhir’ /bl/ A-blonjo ‘berbelanja’
7 8 9 10
Konstruksi KV+KVK KV+KV VKVK KVK+ KV+KVK KKVK+KV+KV VKV+KVK KVV+KV+KVK
Contoh Jekeh ‘bangun’ Bini ‘istri’ Emah ‘mana’ Bersihen ‘bersihkan’ Klambina ‘bajunya’ Bentuk Ajereng ‘masak’ Kaabiten ‘terlalu lama’
KKVK
Theh ‘itu’
VKKV+KVK
Kanggui i’untuk’ Bentuk diftong Akhiran ‘terakhir’
VKKV+KVK
Uraian beberapa bentuk vokal, konsonan, diftong, dan kluster sebagai berikut. KVK + KV + KK pada kata bersihen ‘bersihkan’. Berikut tuturan dengan kata bersihen. Siti : Ndang bersihen bungkono sek rusuh nah ‘Ayo, bersihkan batang-batang yang membuat kotor’ KV + KVK pada kata jekeh ‘bangun’ Berikut tuturan dengan kata jekeh. Siti: Gik, ndang jekeh ‘Gik, ayo cepat bangun.’
Morfologi Tataran morfologi difokuskan pada bentuk imbuhan dan reduplikasi. Berikut masingmasing uraian dua proses tersebut. Tabel 3 Imbuhan dan Reduplikasi No 1
Proses Imbuhan Awalan Sisipan Akhiran
AwalanakThiran
2
Reduplikasi
Wujud
keterangan
{a-} {a-} + maen = amaen {-na};{-i}; {-ake}; {-an} {dana}+{-na} menjadi danana ‘dananya’ {tanem}+{i} menjadi tanemi ‘ditanami’ {guna}+ {ake} menjadi gunaake ‘menggunakan’ {salam}+ {an} menjadi salaman {ke-an}; {peN-an}; {di-ake} {ke-} + {giat}+ {-an} = kegiatan {PeN}+ {keluar}+ {-an} = pengeluaran {di} + {sesuai} + {ake} = disesuaiake Tor-montoran, Nak-kanak, Reng-berengah, Jen ojennah,
Ciri khas tuturan manduro Terpengaruh dari bahasa Indonesia dan bahasa Jawa
Terpengaruh dari bahasa Indonesia dan bahasa Jawa Pengulangan suku kata kedua dari kata kedua diletakkan di
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
755
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
No
Proses
Wujud Reng – berengah, rek-kerek
keterangan awal.
Sintaksis Hasil penelitian pada tataran sintaksis diklasifikasikan berdasarkan jenis kosakata dan struktur kalimat. Berikut masing-masing uraian jenis kosakata dan struktur kalimat tuturan masyarakat Manduro.
Jenis kosakata Hasil penelitian menunjukkan ada 9 jenis kata. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan dengan bahasa Indonesia dan bahasa Jawa dalam tuturan masyarakat Manduro belum ditemukan kata sandang. Pembahasan akan ditekankan pada masing-masing jenis kata, yakni kata benda, kata kerja, kata keterangan, kata ganti, kata sambung, kata depan, kata bilangan dan kata seru sebagai berikut: Tabel 4 Jenis kosakata No Jenis kata Jumlah Contoh 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kata benda Kata kerja Kata Tketerangan Kata sifat Kata ganti Kata sambung Kata bilangan Kata depan Kata seru
56 47 86 10 5 14 4 4 12
Jogung ‘jagung’ Nanem ‘tanam’ bereh ‘gersang’ Panas ‘panas’ Theh ‘itu’ Mbik ‘dengan’ Do ‘dua’ Ning ‘di ‘ Hoalah
Kata Benda Contoh penggunaan pada data berikut. (1)Bukoh ‘rumah’,(1) Ibu Jamil : Dung tedungan mbudena bukoh. ‘Tidur-tiduran di belakang rumah’ Tang anak ‘anak saya’, (2) Pak Jamilun: Mak, tak tao tang anak? ‘Mak, tidak melihat anak saya?’. Secara teori kata benda menduduki fungsi subjek dan objek pada kalimat verbal sedangkan pada kalimat nominal menduduki predikat. Kata benda yang terdapat pada kalimat (1) dan (2) menduduki fungsi sebagai objek pada kalimat verbal. Kata Kerja Contoh penggunaan pada data berikut. Nyosol ‘menjemput’(3) Pak Jamilun: Uwes, engkok asekola’ah geluh nyosol tang anak. ‘Ya sudah, saya ke sekolah dulu menjemput anak saya.’ A maen ‘bermain’ (4)Pak Jamilun: A maen mbik reng-berengah ning jen o jenah. ‘Bermain dengan teman-temannya dalam hujan.’ Kata kerja menduduki fungsi predikat pada kalimat aktif transitif. Kata kerja pada kalimat (3) berfungsi sebagai predikat karena kalimat tersebut merupakan kalimat aktif
756
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
transitif dan kata kerja pada kalimat (4) menduduki fungsi sebagai predikat pada kalimat intransitif.
Kata Keterangan Contoh penggunaan pada data berikut. Kata keterangan keadaan = berik ‘habis ‘, (5) Pak Riyono: “Yo carana dek remah mosok adek pesenah bokoh berik.” ‘Ya caranya bagimana masak uang tembakau yang kemarin sudah gak ada.’ Kata keterangan waktu dan tempat = sak durunga ‘sebelum’; ning kantor ‘di kantor’ , (6) Siti : “Sak durunga ngajar biasana engko rek ano delok apa apolong deluk guru-guru ning kantor.” ‘Sebelum mengajar biasanya nanti berkumpul sebentar dengan guru-guru yang sedang di kantor.’ Kata keterangan pada kalimat (5) dan (6), menduduki fungsi keterangan baik keterangan keadaan, keterangan waktu, dan keterangan tempat.Fungsi keterangan dapat muncul lebih dari satu dalam sebuah kalimat, bisa di awal, di tengah, dan di akhir.
Kata Ganti Ditemukan 5 kata ganti dalam tuturan Manduro.Yang terdiri dari kata iki ‘ini’, tu ‘itu’, theh ‘itu’, diye ‘itu’, engkok ‘saya’. Contoh penggunaan pada data berikut. (7)Pak Jamilun : Uwes engkok asekola’ah geluh nyosol tang anak. ‘Ya sudah saya mau ke sekolah dulu menjemput anak saya.’ Kata ganti pada kalimat (7) berupa kata ganti personal. Selain kata ganti personal, kata ganti juga dapat digunakan untuk menggantikan kata benda, yakni berupa kata ganti nomina.
Kata Sambung Ditemukan 14 kata sambung dalam tuturan Manduro yang terdiri dari kata sambung setara, yakni mbek ‘dengan’, pang ‘kalau’, bereng ‘juga’, teros e ‘lalu’, yeh ‘terdiri’, lak ruah ‘karena’,ta ‘atau’, perlu ‘harus’, rek ano ‘seperti’, tape ‘tapi’, palang ‘daripada’. Contoh penggunaan pada data berikut. Kata mbek ’dengan’, bentuk kalimat: (8)Siti: Emm...madie kok ngeberi eding cak en mantan lorah berik riyeh pak jamilun mbek bini na. ‘Kabarnya yang akan mencalonkan lurah adalah mantan lurah pak Jamilun dengan istrinya.’
Kata Depan Ditemukan 4 kata depan dalam tuturan Manduro yakni kata ning, ndok, ndek, neng yang berarti di. Contoh penggunaan pada data berikut. Ning ‘di’,(9) Siti : Ningsabeh dilaun reh bereh dorong e tanemen apa-apa. ‘Di sawah gersang sedang tidak ada tanaman apa-apa’.
Kata Bilangan Contoh penggunaan pada data berikut.Do ‘dua’, contoh kalimat (10) Ibu : Do kilo. ‘Dua kilo.’ Secara teori kata bilangan digunakan untuk menunjukkan urutan, tongkat, ukuran, pecahan dan jumlah. Pada kalimat (10) kata bilangan berfungsi menunjukkan jumlah.
Kata Seru
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
757
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Ditemukan 12 kata seru dalam tuturan Manduro, seperti kata eh, hoalah, em, loh, oh.Contoh penggunaan pada data berikut. Hoalah(11) Ibu : Hoalah, yo wes.Kata Sifat Ditemukan 10 kata sifat dalam tuturan Manduro, seperti kata cepet, cokop, benyak, panas, lama. Contoh penggunaan pada data berikut. Kaabiten, ‘lama’, (12) Pak Riyono: Waktuna... pa nanem jagung kan kedik kaabiten saapah teloh bulen pang cang ijo kan pitung puluh areh taoh nototen nem beran. ‘Waktunya kalau tanam jagung nanti kelamaan sekitar tiga bulan kalau kacang ijo 70 hari bisa sampai musim hujan.’
Struktur kalimat Struktur kalimat yang ditemukan banyak yang tidak gramatikal karena berasal dari tuturan konteks nonformal. Fungsi dan kategori peran sintaksisdigunakan untuk analisis kalimat. Wujud berbagai unsur dan urutannya terdapat dalam data berikut. Tabel 5 Konstruksi Sintaksis No Unsur Fungtor Data 1 S SPK Fatimah: Hahahah.... pesenah bokonah lak adek berik ruah pengeluaran lebih... lebih mbenyak. 2 P Pesenah bokonah = S Lak adek ruah = P Pengeluaran lebih lebih benyak = K Bokonah = kata benda 3 O KPOPOK Pak Riyono: Jen ojenan se kejek kik nanem jogung, nanem kacang ijo kan perlok cepet. 4 K Jen o jenan sekejek kik = K Nanem = P 5 Pel. Jogung = O Nanem = P Kacang ijo = O Kan perlok cepet =K Struktur kalimat yang ditemukan banyak yang tidak gramatikal karena berasal dari tuturan konteks nonformal. Wujud berbagai unsur dan urutannya terdapat dalam beberapa data berikut. Data (1): kalimat dengan fungsi SP dan PK Ibuk:Ping ndangajereng! S P ‘ Ping, cepat masak!’ Siti: Ajerenga...sak apa mak? P K ‘ Masak seberapa mak’ Pada kalimat tersebut merupakan kalimat imperatif, interogatif dan deklaratif yang memiliki struktur seperti uraian di atas fungsi subjek berkategori nomina sebagai pelaku mengawali kalimat yang menandakan bahwa kalimat tersebut memiliki alur maju, keterangan
758
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
berfungsi menerangkan jumlah (kuantitas) dan tujuan, fungsi predikat berperan tindakan berkategori verba. Berdasarkan uraian tersebut kalimat pertama merupakan kalimat yang gramatikal dikarenakan terdiri dari predikat dan terdapat subjek. Kalimat kedua dapat dikatakan sebagai kalimat karena mempunyai sifat-sifat kalimat, yaitu mempunyai nada dan tanda baca, dapat berdiri sendiri, tetapi memiliki gramatikal yang kurang lengkap dengan tidak adanya subjek Data (2): Kalimat dengan fungtor POK Fatimah:Yokare neguh danana cokop ta njek P O K ‘ Ya tinggal lihat dananya ada apa nggak’ Pada kalimat tersebut merupakan kalimat deklaratif yang memiliki struktur seperti diuraikan di atas fungsi predikat berperan tindakan berkategori verba dan objek berperan sebagai sasaran berkategori sebagai nomina, dan keterangan berperan menjelaskan keadaan dan berkateogori adverbia. Berdasarkan analisis kalimat tersebut dapat dikatakan sebagai kalimat karena mempunyai sifat-sifat kalimat, yaitu mempunyai nada dan tanda baca, dapat berdiri sendiri, tetapi memiliki gramatikal yang kurang lengkap dengan tidak adanya subjek Data (3): kalimat dengan fungtor KOK Pak Riyono: Yo carana dek remah mosok adek Ket. Cara O pesenah bokoh berik K ‘Ya caranya bagimana masak uang tembakau yang kemarin sudah gak ada’ Pada kalimat tersebut merupakan kalimat deklaratif yang memiliki struktur seperti diuraikan di atas fungsi keterangan berfungsi menerangkan keterangan cara, objek berperan sebagai sasaran berkategori sebagai nomina, dan keterangan yang kedua berperan menjelaskan keadaan berkategori adverbia. Berdasarkan analisis masing-masing fungsi sintaksis dapat kalimat tersebut disimpulkan sebagai kalimat karena mempunyai sifat-sifat kalimat, yaitu mempunyai nada dan tanda baca, dapat berdiri sendiri, tetapi memiliki gramatikal yang kurang lengkap dengan tidak adanya subjek dan predikat. Data (4): kalimat dengan fungtor SPK Fatimah: Hahahah.... pesenah bokonahlak adek berik ruah pengeluaran S P lebih... lebih mbenyak. K ‘Hahahah, uang tembakaunya sudah habis/ tidak ada pengeluarannya lebih banyak’. Pada kalimat tersebut merupakan kalimat deklaratif yang memiliki struktur seperti diuraikan di atas fungsi subjek berfungsi menerangkan pelaku, fungsi predikat berperan sebagai keadaan dan berkategori adverbia, dan fungsi keterangan berperan sebagai penjelas keadaan yang berkategori adverbia. Berdasarkan struktur tersebut kalimat di atas merupakan kalimat tunggal yang gramatikal karena terdapat subjek dan predikat. Data (5): kalimat dengan fungtor POK Pak riyono: Tanem cang ijo anggita jang P O K ‘Rencananya mau ditanami kacang ijo’ Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
759
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Pada kalimat tersebut merupakan kalimat deklaratif yang memiliki struktur seperti diuraikan di atas fungsi predikat berperan tindakan dan berkategori verba, fungsi objek berperan sebagai sasaran berkategori sebagai nomina, dan fungsi keterangan berperan sebagai penjelas berkategori adverbia. Berdasarkan analisis masing-masing fungsi sintaksis dapat disimpulkan sebagai kalimat karena mempunyai sifat-sifat kalimat, yaitu mempunyai nada dan tanda baca, dapat berdiri sendiri, tetapi memiliki gramatikal yang kurang lengkap dengan tidak adanya subjek, sehingga kalimat tersebut merupakan kalimat yang tidak gramatikal. Data (6): kalimat dengan fungtor Konj.PO Fatimah:Teros etanemen apate? Konjungsi P O ‘Terus mau ditanami apa paman?’ Pada kalimat tersebut merupakan kalimat interogatif yang memiliki struktur seperti diuraikan diatas. Fungsi predikat berperan tindakan berkategori verba dan objek berperan sebagai sasaran berkategori sebagai nomina. berdasarkan analisis fungsi pada kalimat tersebut dapat dikatakan sebagai kalimat karena mempunyai sifat-sifat kalimat, yaitu mempunyai nada dan tanda baca, dapat berdiri sendiri, tetapi memiliki gramatikal yang kurang lengkap dengan tidak adanya subjek. Konjungsi yang berada di awal kalimat menyebabkan kalimat tersebut tidak gramatikal. Data (7): kalimat Konj.PO Fatimah:Mek tek e tanemi jagung ? Konj. P O ‘Kenapa tidak ditanami jagung?’ Pada kalimat tersebut merupakan kalimat interogatif yang memiliki struktur seperti di atas fungsi konjungsi berupa kata tanya, fungsi predikat berperan tindakan berkategori verba dan objek berperan sebagai sasaran berkategori sebagai nomina. berdasarkan analisis masingmasing fungsi kalimat di atas dapat dikatakan sebagai kalimat karena mempunyai sifat-sifat kalimat, yaitu mempunyai nada dan tanda baca, dapat berdiri sendiri, tetapi memiliki gramatikal yang kurang lengkap dengan tidak adanya subjek, sehingga kalimat tersebut merupakan kalimat yang tidak gramatikal. Data (8): kalimat dengan fungtor KPOK Pak riyono: Waktuna... pa nanem jagungkan K P O kedik kaabiten saapah K teloh bulen pang cang ijokan 70 areh taoh nototen ne berek an ‘Waktunya tanam jagung nanti terlalu lama sekitar tiga bulan kalau kacang ijo 70 hari bisa sampai musim hujan.’ Pada kalimat tersebut merupakan kalimat deklaratif yang memiliki struktur seperti diuraikan di atas fungsi keterangan berfungsi menerangkan waktu berkategori nomina, fungsi predikat berperan tindakan berkategori verba, fungsi objek berperan sebagai sasaran berkategori sebagai nomina, dan fungsi keterangan kedua berperan sebagai penjelas keadaan yang berkategori adverbia. Berdasarkan analisis masing-masing fungsi pada kalimat tersebut dapat dikatakan sebagai kalimat karena mempunyai sifat-sifat kalimat, yaitu mempunyai nada dan tanda baca, dapat berdiri sendiri, tetapi memiliki gramatikal yang kurang lengkap dengan tidak adanya subjek. 760
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Data (9): kalimat dengan fungtor KPOPOK Pak Riyono: Jen o jenah se ke Jek kik nanem K P jogung, nanem kacang ijokan O P O perlok cepet K ‘Musim hujan sebentar lagi menanam jagung menanam kacang hijau harus cepat’ Pada kalimat tersebut merupakan kalimat deklaratif yang memiliki struktur seperti diuraikan di atas fungsi keterangan berperan menerangkan waktu berkatogori adverbia, fungsi predikat berperan tindakan berkategori verba dan objek berperan sebagai sasaran berkategori sebagai nomina, dan objek kedua berperan sebagai sasaran yang berkategori nomina. Berdasarkan analisis kalimat tersebut dapat dikatakan sebagai kalimat karena mempunyai sifatsifat kalimat, yaitu mempunyai nada dan tanda baca, dapat berdiri sendiri, tetapi memiliki gramatikal yang kurang lengkap dengan tidak adanya subjek.
Simpulan 1. Kosakata yang diperoleh meliputi jenis kata benda, kata kerja, kata keterangan, kata sambung, kata depan, kata ganti, kata sifat dan kata bilangan. 2. Struktur fonologi yang diperoleh memiliki keuniversalan dengan struktur fonologi Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa. Pada diftong ditemukan /ia/;/au/;/ea/;/ue/;/ie/;/ai/, sedangkan kluster ditemukan perangkapan hanya pada suku pertama kata tersebut, yakni /kl/;/pr/;/kh/;/bl/. 3. Struktur morfologi ditemukan awalan [a-], konfiks [ke-an], [PeN-an], [di-ake] dan akhiran [na]. Selain itu ditemukan proses reduplikasi yang unik yakni pengulangan di ambil dari suku pertama pada kata kedua yang diulang. 4. Struktur sintaksis pada tuturan kalimat masyarakat Manduro dapat disimpulkan banyak ditemukan kalimat deklaratif. Urutan kata memiliki urutan yang sama dengan urutan kata bahasa Indonesia dan bahasa Jawa yang terdiri dari subjek, predikat, objek, keterangan dan pelengkap. Fungsi kalimat menempati fungsi yang sesesuai yakni kata benda menduduki subjek dan objek, kata kerja menduduki predikat, kata keterangan menduduki keterangan dan jenis kata lainnya menduduki pelengkap. Selain itu ditemukan juga adverbia dan adjektifa yang berfungsi sebagai predikat dan nomina yang berfungsi sebagai keterangan. Jenis kalimat yang sering ditemukan adalah kalimat tunggal. Berdasarkan analisis konstruksi tuturan masyarakat Manduro tersebut, tuturan yang digunakan masyarakat tersebut merupakan creol, sebagai akibat dari kontak bahasa antara bahasa Madura, bahasa Jawa, dan bahasa Indonesia.
Daftar Pustaka Ahmad. H.P. dan Abdulloh, Alex. 2012. Linguistik umum. Jakarta: Erlangga. Andreou. George. 2007. Phonological awareness bilingual and Trilingual School Children.The linguistic jurnal, 2007: volume 3, issue 3 editor:Paul Robertson and John Adamson, Asian EFL Journal). Bernard, Spolsky dan Francais M. Hult. 2008.The hanbook of educational linguistics. United kingdom: Blackwell Publishing.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
761
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Bloomfield, Leonardo. 1995. Bahasa (Terjemahan I. Sutikno). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. (Buku asli diterbitkan tahun 1961). Chaer, Abdul. 2007. Linguistik umum. Jakarta : PT. Rineka Cipta. ______.(2009). Sintaksis Bahasa Indonesia pendekatan proses. Jakarta : PT. Rineka Cipta. Creswell, Jhon. W. 2010. Research design pendekatan kualitatif. kuantitatif, dan mixed (Terjemahan Achmad Fawaid).Yogyakarta: Pustaka Pelajar. (Buku Asli Diterbitkan Tahun 2009). Depdiknas. 2013. Peraturan Pemerintah RI Nomor 65, Tahun 2013, tentang Standar Proses Pembelajaran. Ghazali, Akhmad. Syukur. 2010. Pembelajaran keterampilan berbahasa dengan pendekatan komunikatif-interaktif. Bandung: PT Refika Aditama. Hidayarohmah, Wahyu. Nur. 2013. Pergeseran Bahasa Madura pada Masyarakat Desa Manduro Kecamatan Kabuh Kabupaten Jombang.Ejournal.unesa.ac.id.vol 1. No 1. Muslich, Masnur. 2008. Tata bentuk bahasa Indonesia kajian ke arah tata bahasa deskrispstif.Jakarta: BumiAksara. Moleong, Lexy. J. 2011. Metodologi penelitian kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya Offset. Nurhayati, Endang. 2001. Fonologi Bahasa Jawa. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta. Permadi, Ahmad. Dewa. 2013. Deskripsi konstruksi sosial dalam membentuk identutas simbolik oreng Manduro. (Jurnal:UnairantroUnairDotNet, vol 2/no. 1/ Jan-Pebruari 2013 (232247)). Pinter, A. 2011. Children leraning second languages. United States: Palgrave Macmillan. Ramlan. 1987. Morfologi suatu tinjaun deskriptif. Yogyakarta: CV. Karyono. Robins, R.H. 1992. Linguistik umum sebuah pengantar. Yogyakarta: Kanisius. Sudaryanto.1993. Metode dan aneka teknik analisis bahasa pengantar penelitian wahana kebudayaan secara linguitis. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Sugiyono. 2008. Metode penelitian pendidikan (pendekatan kuantitatif, kualitatif, dan R&D). Bandung: Alfabeta.
762
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Penerapan Model Pembelajaran Scramble Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Bahasa Arab Siswa Kelas V MI Muhammadiyah I Jombang Tahun Pelajaran 2013/2014 Mindaudah 17 ([emailprotected]) Abstract The problem faced by students in grade V in MI Muhammadiyah I Jombang is the difficulty in improving learning outcomes Arabic, caused by many things, including the assumption that Arabic is a complex language, even there are some students who consider Arabic as a frightening specter . So the assumption is an obstacle in the process of learning Arabic in schools that also have an impact on student learning outcomes, it is necessary for learning models are fun, creative, and innovative. One form of innovative learning model is a learning model Scramble. This study aims to decrypt Application scramble learning model in improving student learning outcomes in subjects in class V Arabic. This study includes quantitative research. by using the research population, the number of respondents 34 graders V. Methods of data collection that test, observation, interviews, and documentation. Data were analyzed using t test (test of difference) of two sample paired with SPSS 16.0 for Windows. The results of the data analysis shows that there is the effect of applying the learning model Scramble in improving learning outcomes Arabic graders V MI Muhammadiyah I Jombang 2013/2014 school year. Keywords: Scramble Model, Results Learning Arabic Abstrak Permasalahan yang dihadapi peserta didik kelas V di MI Muhammadiyah I Jombang adalah kesulitan dalam meningkatkan hasil belajar Bahasa Arab, disebabkan oleh berbagai hal, diantaranya adalah adanya anggapan bahwa Bahasa Arab adalah bahasa yang rumit, bahkan terdapat beberapa siswa yang menganggap bahasa Arab sebagai momok yang menakutkan. Sehingga anggapan tersebut menjadi penghambat dalam proses pembelajaran bahasa Arab di Sekolah sehingga juga berdampak pada hasil belajar siswa, untuk itu diperlukan model pembelajaran yang menyenangkan, kreatif, dan inovatif . Salah satu bentuk model pembelajaran yang inovatif adalah model pembelajaran Scramble. Penelitian ini bertujuan untuk mendekripsikan Penerapan model pembelajaran scramble dalam meningkatkan hasil belajar siswa kelas V dalam mata pelajaran Bahasa Arab. Penelitian ini termasuk penelitian kuantitatif. dengan menggunakan penelitian Populasi, jumlah responden 34 siswa kelas V. Metode pengumpulan data yaitu tes, observasi, wawancara, dan dokumentasi. Teknik analisis data menggunakan uji t (uji beda) dua sampel berpasangan dengan program SPSS 16.0 for Windows. Hasil analisa data menunjukkan bahwa ada pengaruh penerapan model pembelajaran Scramble dalam meningkatkan hasil belajar Bahasa Arab siswa kelas V MI Muhammadiyah I Jombang tahun pelajaran 2013/2014. Kata Kunci: Model Scramble, Hasil Belajar Bahasa Arab
Pendahuluan Pendidikan adalah merupakan suatu upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia yang berlangsung seumur hidup. Pendidikan merupakan hak semua Warga Negara Indonesia sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 Ayat 1 (UndangUndang Dasar 1945). Selain itu pendidikan mempunyai tujuan Instruksional sebagaimana 17
Dosen Prodi. Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Jombang
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
763
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
tercantum dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003. Dalam rangka mewujudkan tujuan utama pendidikan nasional yang sesuai dengan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional maka seorang guru dituntut mampu menciptakan kondisi belajar yang kondusif yang melibatkan siswa secara menyeluruh dengan demikian maka pembelajaran akan lebih bermakna. Keberhasilan seorang guru dalam menciptakan kondisi tersebut ditunjang dari keterampilan dalam mengelola kelas, pemilihan media pembelajaran dan penggunaan model-model pembelajaran yang tepat. Untuk mencapai hasil yang maksimal dalam dunia pendidikan, saat ini berkembang berbagai model pembelajaran. Secara harfiah model pembelajaran merupakan strategi yang digunakan guru untuk meningkatkan motivasi belajar, sikap belajar dikalangan siswa, maupun berpikir kritis, memiliki ketrampilan sosial, dan pencapaian hasil pembelajaran yang lebih optimal. Karena itulah, perkembangan model pembelajaran dari waktu ke waktu terus mengalami perubahan. Model-model pembelajaran tradisional kini mulai ditinggalkan berganti dengan model yang lebih modern. (Isjoni, 2009) Model pembelajaran adalah bentuk pembelajaran yang tergambar dari awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh guru di kelas. Dalam model pembelajaran terdapat strategi pencapaian kompetensi peserta didik dengan pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran. Model pembelajaran disini diartikan sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan pembelajaran. Model pembelajaran adalah bentuk pembelajaran yang tergambar dari awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh guru di kelas. Dalam model pembelajaran terdapat strategi pencapaian kompetensi peserta didik dengan pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran. Selain memperhatikan tujuan, dan hasil yang ingin dicapai model pembelajaran memiliki lima unsur dasar, yaitu (1) syntax, yaitu langkah-langkah operasional pembelajaran, (2) social system, adalah suasana dan norma yang berlaku dalam pembelajaran, (3) principles of reaction, menggambarkan bagaimana seharusnya guru memandang, memperlakukan, dan merespon peserta didik, (4) support system, segala sarana, bahan, alat, atau lingkungan belajar yang mendukung pembelajaran, dan (5) instructional dan nurturant effects hasil belajar yang diperoleh langsung berdasarkan tujuan pembelajaran (instructional effects) dan hasil belajar (nurturant effects). (Lindayani, dkk., 2011). Berdasarkan hal diatas pengembangan model pembelajaran dalam kegiatan pembelajaran perlu dikembangkan. salah satunya adalah model pembelajaran scramble, tujuan daripada model pembelajaran Scramble adalah agar peserta didik lebih semangat dan dapat aktif dalam mengikuti pelajaran sehingga dapat mencapai hasil belajar yang memuaskan. Model Pembelajaran Scramble merupakan teknik yang sesuai untuk meningkatkan hasil belajar siswa dengan metode yang sederhana namun menarik sehingga peserta didik akan lebih termotivasi, semangat, disiplin dan antusias mengikuti kegiatan belajar dari awal hingga akhir. Model pembelajaran scramble memiliki beberapa kelebihan diantaranya adalah sebagai berikut adalah (1) Memudahkan mencari jawaban, (2) mendorong siswa untuk belajar mengerjakan soal tersebut (3) semua siswa terlibat, (4) kegiatan tersebut dapat mendorong pemahaman siswa terhadap materi pelajaran, (5) melatih untuk disiplin. (www.sriudin.com/2011/07/modelpembelajaran-scramble.html. Hasil belajar dibidang pendidikan adalah hasil dari pengukuran terhadap siswa yang meliputi faktor kognitif, afektif dan psikomotor setelah mengikuti proses pembelajaran yang diukur dengan menggunakan instrumen tes atau instrumen yang relevan. Jadi hasil belajar adalah hasil pengukuran dari penilaian usaha belajar yang dinyatakan dalam bentuk simbol, huruf maupun kalimat yang menceritakan hasil yang sudah dicapai oleh setiap anak pada 764
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
periode tertentu. Hasil belajar dapat diukur melalui tes yang sering dikenal dengan tes prestasi belajar. Tes merupakan sejumlah pertanyaan yang memiliki jawaban yang benar atau salah. Tes diartikan juga sebagai sejumlah pertanyaan yang membutuhkan jawaban, atau sejumlah pertanyaan yang harus diberikan tanggapan dengan tujuan mengukur tingkat kemampuan seseorang untuk mengungkap aspek tertentu dari orang yang dikenai tes. (Harun Rasyid, 2007). Mata pelajaran Bahasa Arab dimaksudkan untuk meningkatkan keaktifan siswa dalam berbahasa. Sesuai dengan tujuan umum yang hendak dicapai dari proses pembelajaran Bahasa Arab untuk MI kelas V, yaitu agar murid mengenal dasar-dasar Bahasa Arab dan berani berbahasa Arab secara aktif. (A.Syaekhuddin, dkk, 2009). Majelis DIKDASMEN (Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah) PP Muhammadiyah, dalam rangka menanamkan nilai-nilai keIslaman bagi siswa memasukkan pelajaran bahasa Arab ke dalam kurikulum pembelajarannya. Pelajaran bahasa Arab dipadukan dalam pendidikan Al-Islam dan Kemuhammadiyahan, yang disingkat ISMUBA (Islam, Muhammadiyah dan Bahasa Arab). Dengan bahasa Arab siswa diharapkan memiliki pengetahuan keislaman, sekaligus memiliki ketrampilan berbahasa yang meliputi menyimak, membaca, menulis dan berbicara. Setelah peneliti melakukan observasi tentang kondisi dilapangan peneliti menemukan permasalahan yang dialami oleh para siswa kelas V MI Muhammadiyah I Jombang Tahun Pelajaran 2013/2014 yaitu kesulitan dalam meningkatkan hasil belajar siswa khususnya pada mata pelajaran Bahasa Arab dengan kriteria ketuntasan minimal (KKM) yang ditetapkan sebesar 75. Dari 34 siswa yang sudah mencapai ketuntasan belajar sebesar 53% atau sekitar 18 siswa sedangkan siswa yang belum mencapai ketuntasan belajar sebesar 47% atau dengan jumlah 16 siswa. Melihat kondisi pada saat pembelajaran peneliti mengamati bahwa kegiatan pada saat proses pembelajaran guru masih menggunakan model konvensional (ceramah, tanya jawab, penugasan) oleh karena itu perlu dilakukan pembelajaran yang inovatif, kreatif dan menyenangkan. Atas dasar pemikiran diatas peneliti tertarik untuk mengajukan judul “Penerapan Model Pembelajaran Scramble Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Bahasa Arab Arab Kelas V MI Muhammadiyah Jombang, Tahun Pelajaran 2013/2014”
Kajian Pustaka Model Pembelajaran Scramble Pengembangan model pembelajaran oleh guru merupakan suatu keniscayaan yang yang harus dilakukan dalam kegiatan pembelajaran. Guru merupakan ujung tombak keberhasilan kegiatan pembelajaran di sekolah yang terlibat langsung dalam merencanakan dan melaksanakan kegiatan pembelajaran. Secara harfiah model pembelajaran merupakan strategi yang digunakan guru untuk meningkatkan motivasi belajar, sikap belajar dikalangan siswa, maupun berpikir kritis, memiliki ketrampilan sosial, dan pencapaian hasil pembelajaran yang lebih optimal. Karena itulah, perkembangan model pembelajaran dari waktu ke waktu terus mengalami perubahan. Modelmodel pembelajaran tradisional kini mulai ditinggalkan berganti dengan model yang lebih modern. (Isjoni, 2009:8) Sedangkan menurut Joyce (dalam Trianto, 2007) mengartikan model pembelajaran sebagai suatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas atau pembelajaran dalam tutorial dan untuk menentukan perangkat-perangkat pembelajaran termasuk didalamnya buku, film, komputer, kurikulum, dan lain-lain. Model pembelajaran disini diartikan sebagai kerangka konseptual yang digunakan Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
765
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
sebagai pedoman dalam melakukan pembelajaran. Lebih lanjut Joyce & Weil, 1980 dalam (Rusman, 2010) menyatakan bahwa Model pembelajaran adalah suatu rencana atau pola yang dapat digunakan untuk membentuk kurikulum dan pembelajaran jangka panjang, merancang bahan-bahan pembelajaran, dan membimbing pembelajaran di kelas atau di luar kelas. Dalam model pembelajaran terdapat strategi pencapaian kompetensi peserta didik dengan pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran. Model pembelajaran adalah bentuk pembelajaran yang tergambar dari awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh guru di kelas. Dalam model pembelajaran terdapat strategi pencapaian kompetensi peserta didik dengan pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran. Selain memperhatikan tujuan, dan hasil yang ingin dicapai model pembelajaran memiliki lima unsur dasar, yaitu (1) syntax, yaitu langkah-langkah operasional pembelajaran, (2) social system, adalah suasana dan norma yang berlaku dalam pembelajaran, (3) principles of reaction, menggambarkan bagaimana seharusnya guru memandang, memperlakukan, dan merespon peserta didik, (4) support system, segala sarana, bahan, alat, atau lingkungan belajar yang mendukung pembelajaran, dan (5) instructional dan nurturant effects hasil belajar yang diperoleh langsung berdasarkan tujuan pembelajaran (instructional effects) dan hasil belajar (nurturant effects). (Lindayani, dkk., 2011:34). Berdasarkan hal diatas pengembangan model pembelajaran dalam kegiatan pembelajaran perlu dikembangkan. salah satunya adalah model pembelajaran scramble, tujuan daripada model pembelajaran Scramble adalah agar siswa lebih semangat dan dapat aktif dalam mengikuti pelajaran sehingga dapat mencapai hasil belajar yang memuaskan. Model Pembelajaran Scramble merupakan teknik yang sesuai untuk meningkatkan hasil belajar siswa dengan metode yang sederhana namun menarik sehingga siswa akan lebih termotivasi, semangat, disiplin dan antusias mengikuti kegiatan belajar dari awal hingga akhir. Model pembelajaran scramble memiliki beberapa kelebihan diantaranya adalah sebagai berikut adalah (1) Memudahkan mencari jawaban, (2) mendorong siswa untuk belajar mengerjakan soal tersebut (3) semua siswa terlibat, (4) kegiatan tersebut dapat mendorong pemahaman siswa terhadap materi pelajaran, (5) melatih untuk disiplin. (www.sriudin.com/2011/07/modelpembelajaran-scramble.html.) Beberapa langkah yang harus dilakukan dalam model pembelajaran scramble adalah sebagai berikut menyiapkan media; (1) Buatlah jawaban yang sudah diacak hurufnya, (2) Buatlah pertanyaan yang sesuai dengan kompetensi yang ingin dicapai. Langkah-langkah; (1) Guru menyajikan materi sesuai dengan kompetensi yang ingin dicapai. (2) Membagikan lembar kerja sesuai contoh. (Lindayani.,dkk,2008:130). Dari uraian di atas maka peneliti menganalisa bahwa metode pembelajaran yang digunakan oleh guru juga sangat mempengaruhi pencapaian hasil belajar peserta didik.
Hasil Belajar Hasil belajar dibidang pendidikan adalah hasil dari pengukuran terhadap siswa yang meliputi faktor kognitif, afektif dan psikomotor setelah mengikuti proses pembelajaran yang diukur dengan menggunakan instrumen tes atau instrumen yang relevan. Jadi hasil belajar adalah hasil pengukuran dari penilaian usaha belajar yang dinyatakan dalam bentuk simbol, huruf maupun kalimat yang menceritakan hasil yang sudah dicapai oleh setiap anak pada periode tertentu. Prestasi belajar dapat diukur melalui tes yang sering dikenal dengan tes prestasi belajar. Tes merupakan sejumlah pertanyaan yang memiliki jawaban yang benar atau salah. Tes diartikan juga sebagai sejumlah pertanyaan yang membutuhkan jawaban, atau sejumlah pertanyaan yang harus diberikan tanggapan dengan tujuan mengukur tingkat kemampuan 766
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
seseorang untuk mengungkap aspek tertentu dari orang yang dikenai tes. (Harun Rasyid, 2007:12). berbagai faktor yang mempengaruhi proses dan prestasi belajar meliputi a. Faktor lingkungan diantaranya (1) Lingkungan alami Keadaan suhu dan kelembaban udara berpengaruh terhadap belajar peserta didik di sekolah. Belajar dalam keadaan udara yang segar akan lebih baik hasilnya daripada belajar dalam keadaan udara yang panas dan pengap, (2) Lingkungan sosial budaya. Lingkungan sosial budaya di luar sekolah mendatangkan problem tersendiri bagi kehidupan siswa di sekolah. Mengingat pengaruh yang kurang menguntungkan dari lingkungan pabrik, pasar, dan arus lalu lintas tentu akan berdampak pada proses belajar dan prestasi belajar peserta didik. b. Faktor instrumental diantaranya (1) kurikulum. Muatan kurikulum akan mempengaruhi intensitas dan frekuensi belajar peserta didik. Kondisi Psikologis Pemadatan kurikulum dengan alokasi waktu yang disediakan relatif sedikit secara psikologis disadari atau tidak menggiring guru pada pilihan untuk melaksanakan percepatan belajar peserta didik untuk mencapai target kurikulum. Jadi kurikulum diakui dapat menghambat proses dan hasil belajar peserta didik di sekolah (2) program, Program pengajaran yang guru buat akan mempengaruhi kemana proses belajar itu berlangsung. Gaya belajar anak digiring ke suatu aktivitas belajar yang menunjang keberhasilan program pengajaran yang dibuat oleh guru. Program pengajaran yang dibuat tidak hanya berguna bagi guru, tetapi juga bagi anak didik. Bagi guru dapat menyeleksi perbuatan sendiri dan kata -kata atau kalimat yang dapat menunjang tercapainya tujuan pengajaran. Bagi anak didik dapat memilih bahan pelajaran atau kegiatan yang menunjang ke arah penguasaan materi seefektif dan seefisien mungkin, (3) sarana dan prasarana, Sarana dan fasilitas mempengaruhi kegiatan pembelajaran mengajar disekolah. Anak didik tentu dapat belajar lebih baik dan menyenangkan bila suatu sekolah dapat memenuhi segala kebutuhan belajar anak didik. Masalah yang anak didik hadapi dalam relatif kecil. Hasil belajar anak didik tentu akan lebih baik. (4) guru, Untuk menjadi seorang guru yang baik itu tidak dapat diandalkan kepada bakat ataupun hasrat (emansipasi) ataupun lingkungan belaka, namun harus disertai kegiatan studi dan latihan serta praktek/ pengalaman yang memadai agar muncul sikap guru yang diinginkan sehingga melahirkan kegairahan kerja yang menyenangkan. Pendapat tersebut di atas cukup beralasan karena memang yang mempengaruhi hasil belajar anak didik tidak hanya latar belakang pendidikan/ pengalaman mengajar, tetapi juga dipengaruhi oleh sikap mental guru dalam memandang tugas yang diembannya. (5) kondisi fisiologis, Kondisi fisiologis pada umumnya sangat berpengaruh terhadap kemampuan belajar seseorang. Orang yang dalam keadaan segar jasmaninya akan berlainan belajarnya dari orang yang dalam keadaan kelelahan. Anak-anak yang kekurangan gizi ternyata kemampuan belajarnya di bawah anakanak yang tidak kekurangan gizi; mereka lekas lelah, mudah mengantuk, dan sukar menerima pelajaran. (6) kondisi psikologis Faktor -faktor psikologis yang utama mempengaruhi proses dan hasil belajar anak didik ada beberapa yaitu :minat, Adalah suatu rasa lebih suka dan rasa keterikatan pada suatu hal atau aktivitas, tanpa ada yang menyuruh. Minat pada dasarnya adalah penerimaan akan suatu hubungan antara diri sendiri. Semakin kuat dan dekat hubungan tersebut, semakin besar minat. kecerdasan, Seseorang yang memiliki intelegensi baik (IQ-nya tinggi) Umumnya mudah belajar dan hasilnya pun cenderung baik. Sebaliknya, orang yang intelegensinya rendah, cenderung mengalami kesukaran dalam belajar, lambat berpikir, sehingga prestasi belajarnya pun rendah. Kecerdasan mempunyai peranan yang besar dalam ikut menentukan berhasil tidaknya Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
767
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
seseorang mempelajari sesuatu atau mengikuti suatu program pendidikan dan pengajaran. Dan orang yang lebih cerdas pada umumnya akan lebih mampu belajar daripada orang yang kurang cerdas. bakat, Disamping intelegensi (kecerdasan), bakat merupakan faktor yang besar pengaruhnya terhadap proses dan hasil belajar seseorang. bakat memungkinkan seseorang untuk mencapai prestasi dalam bidang tertentu, akan tetapi diperlukan latihan, pengetahuan, pengalaman, dan dorongan atau motivasi agar bakat itu dapat terwujud. motivasi, Seringkali anak didik yang tergolong cerdas tampak bodoh karena tidak memiliki motivasi untuk mencapai prestasi sebaik mungkin. Selanjutnya Kuat lemahnya motivasi belajar seseorang turut mempengaruhi keberhasilan belajar. Karena itu, motivasi belajar perlu diusahakan, terutama yang berasal dari dalam diri (motivasi intrinsik) dengan cara senantiasa memikirkan masa depan yang penuh tantangan dan harus dihadapi untuk mencapai cita-cita. Senantiasa memasang tekad bulat dan selalu optimis bahwa cita-cita dapat dicapai dengan belajar. kemampuan kognitif Ada tiga kemampuan yang harus dikuasai sebagai jembatan untuk sampai pada penguasaan kemampuan kognitif, yaitu persepsi, mengingat, dan berpikir. Persepsi adalah proses yang menyangkut masuknya pesan atau informasi ke dalam otak manusia. Melalui persepsi manusia terus-menerus mengadakan hubungan dengan lingkungannya. Hubungan ini lewat indranya, yaitu indra penglihatan, pendengar, peraba, perasa, dan pencium. (Djamarah,2002).
Metode Penelitian Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode kuantitatif dengan jenis penelitian eksperimen, dengan rancangan Penelitian ini adalah : Desain 2 : Pre-test and Post-test Group. Adapun desain/ rancangan yang peneliti sebagai berikut: Hasil tes sebelum metode dijalankan
Variabel X Metode Pembelajaran Scramble
Variabel Y Tes evaluasi
Hasil Belajar Bahasa Arab
Hasil tes sesudah metode dijalankan
Didalam desain ini observasi dilakukan sebanyak 2 kali yaitu sebelum eksperimen dan sesudah eksperimen. Observasi yang dilakukan sebelum eksperimen (01) disebut pre-test, dan observasi sesudah eksperimen (02) disebut post-test. Perbedaan antara 01 dan 02 yakni 01 – 02 diasumsikan merupakan efek dari treatment atau eksperimen. (Arikunto, 2006) Penelitian diawali dengan menetukan subyek penelitian berdasarkan jumlah seluruh peserta siswa kelas V di MI Muhammadiyah Jombang Tahun Pelajaran 2013/2014 adalah 34
768
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
peserta didik. Menurut Arikunto (2006) di dalam bukunya mengatakan bahwa apabila subyeknya kurang dari 100 lebih baik diambil semua sehingga penelitiannya merupakan penelitian populasi, artinya bahwa peneliti mengambil seluruh siswa kelas V sebagai subyekTetapi, jika jumlah subyeknya besar, dapat diambil antara 10-15% atau 20-25%. Dari hal diatas maka diambilah penelitian ini adalah jenis penelitian populasi karena subyek kurang dari 100.
Prosedur Pengumpulan Data Prosedur pengumpulan data dengan menentukan tahap-tahap pengumpulan data sebagai berikut: 1. Tahap persiapan a.menentukan jenis data, b. menentukan sumber data c. menentukan analisis data 2. Tahap pelaksanaan Dalam tahap ini peneliti terjun langsung ke lokasi penelitian dengan mengadakan observasi dan mencari dokumen-dokumen yang diperlukan. 3. Tahap pengolahan Data Setelah data terkumpul, kemudian diolah dengan menggunakan rumus analisa data yang sesuai. Teknik Analisis Data yang digunakan peneliti dalam menguji hipotesis pada metode penelitian kuantitatif dengan jenis penelitian eksperimen dengan hasil yang diperoleh dari data observasi, tes, dokumentasi yaitu dengan menggunakan rumus statistik uji t-test (uji beda) dua sampel berpasangan karena sesuai dengan judul penelitian. Selanjutnya peneliti menggunakan rumus uji t-test karena bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya pengaruh, dan besarnya pengaruh Penerapan Model Pembelajaran Scramble dalam Meningkatkan hasil belajar Bahasa Arab siswa kelas V di MI Muhammadiyah Jombang. Dalam mengolah data peneliti menggunakan alternatif program SPSS 16.0 for Windows. Langkah-langkah melakukan analisis data sebagai berikut: 1. menentukan uji hipotesis nol (Ho) dan hipotesis alternatif (Ha); 2. mencari nilai probabilitas/ sig (p) dengan taraf signifikan (α) 5 %; 3. menentukan diterima atau ditolaknya Ho dan Ha dengan kriteria pengujian sebagai berikut: a. jika nilai p > α atau nilai t hitung < t tabel maka Ho diterima dan Ha ditolak b. jika nilai p < α atau nilai t hitung > t tabel maka Ho ditolak dan Ha diterima 4. kesimpulan.
Hasil dan Pembahasan Agar memperoleh data yang lengkap, tepat dan benar yang peneliti peroleh dari MI Muhammadiyah I Jombang peneliti menentukan tahap-tahap pengumpulan data sebagai berikut. Tahap persiapan yaitu menentukan jenis data, menentukan sumber data, dan analisis data. Data secara khusus yang dilakukan dalam pengumpulan data mengenai prestasi belajar peserta didik, didapatkan dari nilai tes peserta didik selama proses pembelajaran dengan menggunakan penilaian tertulis yang mengarah pada ranah kognitif. Setelah data hasil penelitian diperoleh langkah selanjutnya yang dilakukan peneliti adalah menganalisis data tersebut untuk mengetahui uji kebenaran hipotesis, yakni “Penerapan Model Pembelajaran Scramble dalam
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
769
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Meningkatkan Hasil Belajar Bahasa Arab siswa Kelas V MI Muhammadiyah I Jombang Tahun 2013/2014”. Hipotesis akan diuji dan dianalisis dengan teknik uji t (uji beda) dua sampel berpasangan. Sebelum ditetapkan kesimpulan dari hasil analisis tersebut, terlebih dahulu ditetapkan hipotesis. Ho = tidak ada Pengaruh “Penerapan Model Pembelajaran Scramble dalam Meningkatkan Hasil Belajar Bahasa Arab Siswa Kelas V MI Muhammadiyah I Jombang Tahun Pelajaran 2013/2014”. Ha= ada pengaruh “Penerapan Model Pembelajaran Scramble dalam Meningkatkan Hasil Belajar Bahasa Arab Siswa Kelas V MI Muhammadiyah I Jombang Tahun Pelajaran 2013/2014” . Dengan kriteria pengujian hipotesis: a. jika nilai p > α atau nilai t hitung < t tabel maka Hipotesis nol (Ho) diterima dan Hipotesis alternatif (Ha) ditolak. b. jika nilai p < α atau nilai t hitung > t tabel maka Hipotesis nol (Ho) ditolak dan Hipotesis alternatif (Ha) diterima. Adapun output atau hasil penghitungan atau pengolahan data dengan menggunakan SPSS 16.0 for Windows dengan metode paired sample T-tes secara lengkap dapat dilihat pada tabel. Table 7 t-test (paired sample statistics) Paired Samples Statistics Mean
N
Std. Deviation
Std. Error Mean
Pair 1 Hasil Sesudah
82,5529
34
8,05057
1.38066
Hasil Sebelum
73,8088
34
6,15232
1.05511
Sumber : diolah dari SPSS
Tabel 7. Paired samples statistics menunjukkan ringkasan dari rata-rata dan standard deviasi dari kedua perbandingan. Untuk yang sesudah dengan diterapkan model pembelajaran Scramble nilai rata-rata peserta didik adalah 82,5529. Sedangkan yang sebelum diterapkan model pembelajaran Scramble nilai rata-rata peserta didik adalah 73,8088. Table 8 t-test (paired samples test) Paired Samples Test Paired Differences 95% Confidence Interval of the Difference Mean Hasil Sebelum- 8,74412 Sesudah
Std. Deviation 5,80951
Std. Error Mean 9,9632
Lower 10,77115
Upper 6,71708
t 8,776
df
Sig. (2tailed)
33
.000
Dari hasil output Paired Sample Test. Pada tabel ini terlihat bahwa mean sebesar 8,74412 dengan standar deviasi sebesar 5,80951. Nilai t-hitung sebesar 8,776. Sedangkan nilai Sig (2tailed) sebesar 0.00 < 0.05 sehingga dapat disimpulkan bahwa Ha diterima, dan dapat dikatakan bahwa ada “Penerapan Model Pembelajaran Scramble dalam Meningkatkan Hasil Belajar Bahasa Arab Siswa Kelas V MI Muhammadiyah I Jombang Tahun Pelajaran 2013/2014”.
770
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Interpretasi Nilai tertinggi dari hasil belajar siswa sesudah diterapkan model pembelajaran Scramble adalah 100 dan nilai terendah adalah 73,3. Sedang nilai tertinggi dari prestasi belajar peserta didik yang sebelum diterapkan model pembelajaran Scramble adalah 93,3 dan nilai terendah adalah 53,3. Hasil analisis statistik dengan menggunakan aplikasi program SPSS 16.0 for Windows dengan metode paired sample T-tes didapat nilai Mean hasil belajar sesudah diterapkan model pembelajaran Scramble sebesar 82,5529 = 82,55 dan Mean hasil belajar sebelum diterapkan model pembelajaran Scramble sebesar 73,8088 = 73,81. Sehingga selisih dari rata-rata keduanya adalah 8,74412 = 8,74. Sementara nilai t-hitung didapat sebesar 8.776 = 8.78. Jika nilai ini dikonsultasikan pada daftar t-tabel dengan taraf signifikan (α) 5 % dan df = N - 1 = 33 maka didapatkan t-tabel sebesar 2,042. Sehingga t-hitung (8.78) > t-tabel (2,042). Selain itu dari hasil analisis dan statistik dengan menggunakan aplikasi program SPSS 16.0 for Windows juga didapatkan nilai probabilitas sebesar 0.00 karena nilai probabilitas < taraf signifikan (α) yang ditetapkan dan t-hitung > t-tabel, dengan keterangan angka 0.00 < 0.05 dan 8.78 > 2.042 maka Hipotesis nol (Ho) ditolak dan Hipotesis alternatif (Ha) diterima. Dari analisa uji statistik diatas maka dapat dinyatakan hipotesis alternatif (Ha) telah terbukti sehingga dinyatakan bahwa ada “Penerapan Model Pembelajaran Scramble dalam Meningkatkan Hasil Belajar Bahasa Arab Siswa Kelas V MI Muhammadiyah I Jombang Tahun Pelajaran 2013/2014”. Hal diatas membuktikan upaya peningkatan hasil belajar mata pelajaran Bahasa Arab siswa kelas V di MI Muhammadiyah I Jombang Tahun 2013/2014 dapat ditempuh melalui penerapan model-model pembelajaran kooperatif salah satu diantaranya dengan penerapan model pembelajaran Scramble. Karena dengan penerapan model pembelajaran Scramble ini mampu meningkatkan hasil belajar siswa. Hal ini terbukti pada saat penerapan model pembelajaran Scramble mata pelajaran Bahasa Arab pada peserta didik kelas V menunjukkan dapat merangsang keaktifan dalam kegiatan pembelajaran, membangun kretifitas, berpikir kritis, melatih kedisiplinan serta meningkatkan ketrampilan berbahasa yang meliputi aspek : menyimak, membaca, menulis dan berbicara. Selain itu memang terbukti model pembelajaran scramble mampu meningkatkan hasil belajar, sebab siswa yang lebih aktif dalam proses pembelajaran dan menjadi narasumber bagi siswa yang kurang mampu.
Simpulan Setelah dilakukan penelitian, deskripsi data, analisis data, interpretasi dan pembahasan, maka langka akhir dari suatu penelitian tersebut adalah pemberian simpulan dan yang dapat peneliti simpulkan sebagai berikut: 1. Penerapan Model Pembelajaran Scramble dapat meningkatkan hasil belajar Bahasa Arab siswa kelas V MI Muhammadiyah I Jombang Tahun Pelajaran 2013/2014. Hal ini dibuktikan dari hasil analisa data statistik. bahwa hipotesis alternatif (Ha) diterima dengan kriteria tertentu. 2. Nilai rata-rata hasil belajar siswa yang sesudah diterapkan model pembelajaran Scramble adalah 82,55. Sedangkan nilai rata-rata hasil belajar siswa sebelum diterapkan model pembelajaran Scramble adalah 73,81. Sehingga selisih dari rata-rata keduanya adalah 8.74. Hal ini menunjukkan bahwa proses pembelajaran dengan menerapkan model pembelajaran Scramble mempunyai pengaruh yang baik dalam meningkatkan prestasi belajar Bahasa Arab siswa kelas V MI Muhammadiyah I Jombang Tahun Pelajaran 2013/2014. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
771
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Daftar Pustaka Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Djamarah Bahri Syaiful. 2002. Psikologi Belajar. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Harun Rayid dan Mansur. 2007. Penilaian Hasil Belajar. Bandung: CV. Wacana Prima. Isjoni. 2009. Pembelajaran Kooperatif Meningkatkan Kecerdasan Komunikasi Antar Peserta Didik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Lindayani, Dyah Amiyah dan Murtadlo, M Ali. 2011. Manajemen Pembelajaran Inovatif. Surabaya: Arta Sarana Media. Muhibbin Syah, 2006, Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru, PT Remaja Rosdakarya, Bandung. Rusman, 2010, Model-model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru, Rajawali Pers PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Syaekhuddin, dkk, Belajar Bahasa Arab Untuk Madrasah Ibtidaiyah Kelas V, Jakarta: Penerbit Erlangga. Undang-Undang Dasar 1945 dan Amandemenya. Surakarta: Pustaka Mandiri www.sriudin.com/2011/07/model-pembelajaran-scramble.html, diunggah pada hari Senin, tanggal 6 April 2015.
772
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
“Javanesse Cultural School” (JCS) Untuk Anak Usia Dini: Sebuah Konsepsi Untuk Mengembalikan Karakter Lokal M. Syaifuddin S.18 ([emailprotected]) Erni Munastiwi 19 ([emailprotected]) Abstract With regard to erode cultural attention by the public at the level of the children, this study aims to formulate Cultural Based-Early Childhood Education. Borg & Gall’s Research & Development (2005) was the basic methodological disposal in formulating this study. The conception found was "Javanesse Cultual School" (JCS), which comprised several aspects of penetration such as; Language, Interiors, Fashion, Custom, Game, and Song. This six interiors were expected to be able to build Childhood ‘s cultural values. Keywords: cultural values, formulation, JCS Abstrak Berkenaan dengan mengikisnya perhatian cultural oleh masyarakat di tingkat anak-anak, Penelitian ini bertujuan untuk menformulasi Pendidikan Anak Usia Dini Berbasis Budaya. Metode Research and Development Borg & Gall 2005 menjadi dasar metodologis dalam menformulasi penelitian ini. Konsepsi yang telah ditemukan adalah “Javanesse Cultual School” (JCS) yang terdiri beberapa penetrasi aspek diantaranya; Language, Interiors, Fashion, Custom, Game, dan Song. Enam interior tersebut diharapkan mampu membangun nilai-nilai pada diri Anak Usia Dini. Kata Kunci: nilai cultural, formulasi, JCS
Pendahuluan Beberapa antropolog dan arkeolog telah membuktikan bahwa kearifan lokal di daerah manapun sedang mengalami pengikisan yang sangat drastis dan malah menjadi komoditaskomoditas binis lokalitas yang tidak mampu mengajarkan apapun kepada penduduknya melainkan menjadikan mereka individu-individu yang kapitalis. Dampak buruknya adalah karakter masyarakat lokal atau lokalitas kelompok masyarakat semakin sulit untuk diidentifikasi. Lebih parahnya lagi nilai-nilai lokalitas semakin menghilang akibat dihindari dan dibenci oleh empunya nilai itu sendiri, gengsi dan merasa ketinggalan dengan globalisasi. Akibatnya adalah disparitas sosial semakin homogen, sehingga sikap humanis masyarakat semakin menurun. Di Indonesia, khususnya Jawa, kenyataan tersebut tidak hanya terjadi pada masyarakat di tingkat dewasa, akan tetapi merambah kepada perilaku anak-anak. Akibat desakan kebudayaan dari luar, anak-anak semakin tidak mengenal karakter-karakter yang mengandung nilai-nilai tanah kelahirannya, akan tetapi mereka cenderung berkomunikasi dengan layar game yang menuntutnya untuk sibuk dengan dirinya sendiri tanpa belajar berinteraksi dengan masyarakat sekelilingnya dan tanpa mengenal permainan-permainan lokal yang mengajarkan ketangkasan, kecerdasan sosial dan keagungan sikap. Pendidikan anak usia dini merupakan pendidikan awal pembentukan manusia. Pada usia ini otak berkembang 80 persen sampai usia 8 tahun. Penelitian menunjukkan bahwa anak lahir 18 19
Dosen Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris, STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia Dosen Jurusan pendidikan anak usia dini, UIN Sunan Kalijaga Yogjakarta
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
773
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
dengan 100 milyar sel otak. Ketika memasuki usia dini, koneksi tersebut berkembang sampai beberapa kali lipat dari koneksi awal yaitu sekitar 20.000 koneksi (Jalongo: 2007: 77) 20. Pernyataan tersebut membuktikan bahwa pengenalan dan penanaman nilai-nilai kultural harus dimulai sejak usia dini agar identitas lokal masyarakat tetap kuat meski bersinggungan dengan kultur dan material manapun. Akhir-akhir ini bahkan muncul gaya hidup baru bahwa anak usia dini banyak di sekolahkan di sekolah-sekolah PAUD internasional yang menamakan dirinya sebagai International Pre-School. Di satu sisi hal ini baik buat pengembangan wawasan anak usia dini, akan tetapi di sisi yang lain mengakibatkan anak usia dini tidak pernah mengetahui nilai-nilai nenek moyangnya. Tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk tetap mempertahankan karakter sosial masyarakat Indonesia sesuai dengan dengan pengertian pendidikan karakter dalam PP No.58 yaitu pendidikan yang melibatkan penanaman pengetahuan, kecintaan dan penanaman perilaku kebaikan yang menjadi sebuah pola/kebiasaan. Maka pengetahuan yang ditanamkan adalah berbagai pengetahuan yang bermanfaat bagi kehidupan siswa mendatang. Kecintaan adalah kecintaan terhadap sesama serta kecintaan terhadap identitas negeri. Penanaman perilaku kebaikan adalah perilaku yang berdasarkan nilai-nilai budaya bangsa. Untuk mencapai tujuan tersebut maka perlu adanya sebuah formulasi setting pendidikan anak usia dini yang mencerminkan nilai-nilai lokal masyarakatnya. Di Indonesia, khususnya di Jawa, tiap daerah mempunyai nilai-nilai lokal yang fariatif, sehingga formulasinya harus mampu secara fleksible mengikuti alur budaya yang diyakini. Oleh karena itu diperlukan adanya sebuah penelitian yang mendalam dimulai dengan sebuah formulasi setting Javanese Cultural School, kemudian dilanjutkan dengan pelaksanaan, dan pemantauan perkembangan karakter peserta didik.
Metode Penelitian Penelitian ini lebih mengedepankan kajian-kajian kualitatif dengan menginterelasikan dua metode yang keduanya sangat konstruktif untuk dipakai dalam sebuah formulasi pendidikan yang bersifat kultural. Untuk menformulasi Javanesse Cultural School penelitian ini memadukan metode R & D dan Ethnography atau bisa disebut Etnographical R&D. Perpaduan ini bertujuan untuk saling melengkapi, artinya sebuah R&D diimplementasikan dalam nuansa etnografis, sehingga sehingga perkembangan karakter peserta didik mampu dideskripsikan, baik secara sosiologis maupun psikologis. Borg dan Gall (1983: 772) menyatakan bahwa penelitian dan pengembangan (R&D) adalah suatu proses yang digunakan untuk mengembangkan atau mengvalidasi produk-produk yang dugunakan dalam pendidikan dan pembelajaran, dalam artian pendekatan R&D ini sangat cocok untuk menilai atau mengverifikasi berbagai model dalam pembelajaran dalam proses belajar mengajar di lembaga pendidikan atau bahkan untuk menilai atau mengverifikasi pola atau model pendukung terhadap jalannya belajar mengajar seperti halnya supervisi pendidikan21. Tahap-tahap yang harus dilalui dalam R&D ini adalah; 1) tahap penelitian dan pengumpulan informasi (research and information collecting); 2) tahap perencanaan (planning), 3) membangun pra-rencana produk (develop prelimnary form of product), 4) tahap melakukan uji pendahuluan di lapangan (preliminary field testing), 5) tahap melakukan revisi produk 20 21
Jalongo, Mary Renck. 2007. Early Childhood Language Arts. USA: Pearson Education, Inc. Borg, W.R.& Gall, M.D. (1983). Educational Research: an Inroduction. Fourth edition. New York: Longman.
774
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
operasional (operational product revision), 6) tahap melakukan uji produk di lapangan (main field testing), 7) tahap revisi produk operasional (operasional produ revision), 8) tahap melakukan uji operasional di lapangan (operational field testing), 9) tahap revisi produk akhir (final product revision), 10) tahap penyebaran dan pelaksanaan (dissemination and implementation) Borg & Gall (1989: 784-785). Fungsi R&D dalam penelitian ini adalah sebagai dasar untuk menformulasi bentukbentuk pendidikan yang spesifik. Sedangkan Ethnography berfungsi sebagai metode untuk melihat perkembangan peserta didik, baik secara psikologis maupun sosial, sehingga data yang dihasilkan cenderung lebih natural. Alasan utama penggunaan metode ethnography adalah bahwa anak usia dini merupakan masa-masa keemasan untuk berkembang, maka tidak seharusnya diganggu dengan kepentingan penelitian yang sifatnya tampak melibatkan mereka. Membiarkan mereka berkembang secara alami, di sisi yang lain peneliti memahami secara kultural dengan berperan sebagai insider. Alasan tersebut diperkuat oleh pernyataan Aubrey. At. All (2005) bahwa: The aim of ethnography is to make a person’s implicit behaviours explicit, in the belief that these insights will lead to a greater understanding of why people do the things they do. Ethnography also aims to help us understand others and ourselves a little better. Ethnographers are interested in patterns of behaviour, and the impact and consequences of human actions. Central to ethnography is the belief that human behavior is rule bound and rule governed. Ethnographers believe that through systematic observation they may come to identify recurring patterns of human behaviour and social activity22. Pernyataan tersebut mengindikasikan bahwa dengan pendekatan ethnography, peneliti akan mampu memahami alasan-alasan tentang berbagai hal yang dilakukan oleh peserta didik. Perkembangan peserta didik, baik scara intercultural maupun ekstrakultural menjadi ukuran utama keberhasilan konsep Javanesse Cultural School. Pendekatan ini lebih terfokus kepada pengamatan mendalam terhadap perilaku individu, baik objek penelitian atau individu-individu yang berada di sekitar objek penelitian.
Hasil Penelitian Penelitian dilakukan dengan melakukan beberapa tahap diantaranya; 1) formulasi Javanese Cultural School , 2) kedua adalah aplikasi Javanese Cultural School dalam waktu satu bulan, 3) evaluasi Javanese Cultural School, 4) aplikasi Javanese Cultural School tahap kedua, dan 5) evaluasi aplikasi tahap akhir.
Formulasi Javanese Cultural School Javanese Cultural School (JCS) diformulasi berdasarkan alasan yang kuat diantaranya adalah: 1) kemunduran pemahaman budaya yang dialami oleh kebanyakan masyarakat Jawa, 2) menurunnya sikap-sikap ke-Jawaan atau adat-istiadat yang seharusnya dianut oleh orang Jawa, dan 3) semakin berkurangnya media-media yang bertugas metransfer nilai-nilai Jawa, baik media seni, pembelajaran dan sebagainya. Tujuan awal JCS adalah diperuntukkan untuk semua tingkat satuan pendidikan, akan tetapi konsep yang paling utama ditanamkan pada anak usia dini. Oleh karena itu rancangan konseptual ini merupakan rancangan konseptual JCS yang difokuskkan untuk anak usia dini. 22
Carol Aubrey, Tricia David, Ray Godfrey and Linda Thompson. Early Childhood Educational Research published in the Taylor & Francis e-Library, 2005.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
775
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Anak usia dini mengalami perkembangan signifikan di umur satu sampai delapan tahun. Umur tersebut merupakan masa imitative, artinya anak memulai aktifitas-aktifitas mengimitasi figure yang ada disekelilingnya, karakter individu yang ada disekelilingnya. Memang, banyak dikatakan bahwa anak membawa karakter bawaannya sendiri-sendiri, akan tetapi pengaruh dunia sosial di sekelilingya lebih signifikan membentuk siapa dia. Kemunduran pemahaman budaya yang dialami anak disebabkan oleh kemunduran pemahaman budaya yang dialami oleh orang tuanya. Sedangkan kemuduruan pemahaman budaya yang dialami oleh orang tuanya bisa jadi disebabkan oleh hal yang sama atau desakan dari budaya luar yang membuatnya terpaksa berubah. Hasilnya adalah, penurunan nilai-nilai budaya sendiri dan banyak mengadopsi budaya yang mencoba mendesak dia dari luar. Budaya dari luar tersebut bisa jadi berbentuk materi atau media yang lebih membuat dia tertarik untuk mendapatkannya karena materi atau media dari dalam lebih bersifat lemah daripada yang dari luar. Oleh karena itu, fungsi JCS adalah menciptakan materi atau media budaya sebagai alat untuk mentranformasi budaya pada umur anak yang paling dasar. Materi atau media tersebut dirangkum dalam bentuk sekolah karena sekolah karna pembatasaanya lebih terkontrol daripada ketika media atau materi tersebut dilepas di langsung di masyarakat. Konsep JCS secara makro adalah sebagai berikut: LANGUAG
JC S
E INTERIO RS
JAWA
FASHIO N CUSTO M GAME
ATTITU DES
VALUES
SONG Konsep JCS adalah konsep menvisualisasikan kembali nuansa Jawa dalam sebuah sekolah. Artinya sekolah tersebut tidak hanya mengajarkan etika-etika Jawa, akan tetapi mengkondisikan peserta didik seperti berada di lingkungan masyarakat Jawa yang sebenarnya. Tentunya, guru dan seluruh lingkungan sekolah diperlukan untuk benar-benar paham semua unsur tersebut. Konsep ini diawali dengan language, bahasa mempunyai peranan penting untuk membangun karakter ana usia dini. Bahasa Jawa yang terdiri dari tiga tingkatan yang ketiganya difungsikan untuk berkomunikasi dengan tipe individu yang berbeda, diindikasikan mampu memberikan pemahaman kepada anak usia dini tentang memberikan penghargaan kepada orang lain meski hanya dengan menggunakan media wicara. Tingkatan tersebut di antaranya adalah; 1. Ngoko, level bahasa ini cenderung difungsikan untuk berbicara dengan individu yang sama umurnya. Seperti halnya teman sekelas menunjukkan bahwa level umur mereka sama, sehingga untuk mengatakan kamu, maka digunakan kata kon, awakmu, atau peno. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam masyarakat Jawa ketika individu satu bicara dengan individu lain yang sama umurnya, maka yang disuguhkan adalah keakraban, kegotongroyongan. Tidak ada sekat apapun dalam berkomunikasi antar sebaya. 776
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
2. Kromo, level bahasa ini difungsikan untuk berkomunikasi dengan orang yang umurnya sedikit lebih tua dari kita. Adik ketika bicara dengan kakaknya, adik kelas ketika bicara dengan kakak kelasnya, keponakan ketika bicara dengan pamannya. Pada intinya level tetap menggunakan bahasa ngoko, akan tetapi ada beberapa pattern yang dirubah, seperti halnya ketika mengatakan ‘kamu’ ke orang yang sedikit lebih tua, maka pattern tersebut berubah menjadi ‘sampean’. Fungsi etis dalam level bahasa ini adalah untuk menghormati orang yang; lebih dulu ahir, lebih dulu tahu, dan atau mempunyai orang tua yang menjadi kakak atau paman dari orang tua kita. 3. Kromo Inggil, yang cenderung berfungsi sangat spesifik, yakni untuk berkomunikasi dengan orang yang sangat dihormati, dituakan, disegani, dan atau diagungkan dalam lingkup keluarga maupun masyarakat. Misalnya jika kita mengatakan ‘sampean’ terhadap kakak kita, maka terhadap orang tua, tokoh masyarakat, atau guru kita dengan sebutan ‘panjenengan’. Aspek bahasa tidak bisa disepelekan begitu saja, karena aspek ini mempunya andil besar dalam pembentukan karakter anak usia dini. Ketika anak usia dini terbiasa menghormati orang yang lebih tua, maka secara natural ia akan menjadi lebih humanis kepada siapapun. Ketika anak usia dini terbiasa dengan pola komuniasi yang santun, maka ia akan terbiasa berperilaku santun dan mampu menahan diri dari sikap emosional. Interiors merupakan aspek yang tidak kalah penting dengan bahasa. Kenapa interior menjadi hal yang relative signifikan dalam pembentukan karakter anak usia dini? Jawabannya ialah bahwa anak usia dini perlu dikondisikan untuk mengenal masa lalu nenek moyangnya lewat media visual aktif. Artinya media visual berupa bentuk desain sekolah Jawa bukanlah media visual pasif seperti halnya berbagai video yang telah tersedia jutaan jenisnya di jejaring sosial. Media visual aktif ialah penonton atau penikmat mampu meraba, merasakan, dan memahami tiap lekuk objek pembelajarannya dan bahkan mampu membiasakan diri dengan objek tersebut serta mampu meneretas ke dalam dimensi sejarah atas bimbingan para gurunya.
Gambar 2: http://rumahoke.com/wp-content/ uploads/2014/06/desain-rumah-jawa-kuno-5.jpg
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
777
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Jika sebuah pendidikan anak usia dini berbasis budaya menggunakan lokasi belajar pada rumah yang berinterior seperti contoh di atas, hal tersebut mampu memberikan nuansa tersendiri bagi peserta didik. Lingkungan belajar paling tidak harus mempunyai tema yang mampu mengarahkan peserta didik untuk mendapatkan gambaran-gambaran tertentu tentang latar belakang sebuah kebudayaan. Lingkungan sekolah yang dikondisikan berbudaya akan membawa peserta didik secara alamiah berbudaya pula. Fashion. Menyesuaikan dengan interior yang diberi nuansa tradisional, maka pakaian atau kostum yang dipakai oleh peserta didik adalah kostum-kostum yang cenderung tradisional. Kostum yang dipakai dalam JCS ini merupakan kostum tematik. Fungsi pemakaian busana tradisional tersebut adalah untuk mengenalkan kembali pada peserta didik tentang berpakaian menurut adat, bermartabat budaya, dan memberikan kebanggaan tersendiri bagi tiap pemakainya. Dalam masyarakat Jawa, busana adalah sebuah eksistensi diri, sebuah identitas golongan masyarakat. JCS memberikan ruang bagi peserta didik untuk memahami dan merasakan secara etnografis bagaimana merasakan busana berbagai golongan. Dalam konsep JCS peserta didik dikenalkan dengan tiga jenis busana, yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat seperti contoh di bawah ini;
Jawa Timur
Jawa Tengah
Jawa Barat
Pengenalan busana tersebut semata-mata agar peserta didik tahu bahwa potensi lokal mereka sangat kaya. Pengenalan tersebut diberlakukan dengan cara sebagai berikut; 1) dalam satu minggu ada tiga hari waktu untuk berpkaian adat, 2) tiga hari yang lain peserta didik dibiasakan memakai searagam indentitas Nusantara, yakni Batik. Tujuan daripada itu semua adalah menumbuhkan satu kecintaan dan image kepada anak usia dini, bahwa pakaian yang bagus adalah pakaian lokal yang penuh karakter dan bukan pakaian yang selama ini tampak di televisi. Dalam pikiran mereka pastinya akan terjadi berbagai gesekan, akan tetapi pembiasaan untuk memakai pakaian tradisional merupakan cara untuk melegitimasikan dalam diri anak usia dini bahwa pakaian lokal mereka adalah yang terbaik daripada pakaian yang lain-lain. Custom dalam hal ini adalah kebiasaan. Berbicara tentang kebiasaan, maka hal ini mempunyai hubungan erat dengan etika. Artinya, etika merupakan alasan-alasan fundamental tentang sikap hidup masyarakat jawa sehari-hari. Prinsip dasar etika Jawa adalah prinsip rukun dan hormat (Suseno, 1985:39)23. Prinsip rukun utuk mempertahankan masyarakat dalam keadaan harmonis, Rukun mengandung usaha terus menerus oleh semua individu untuk bersikap tenang dang menyingkirkaan hal-hal yang bersifat kekerasan. Prinsip hormat, 23
Suseno Franz Magnis, 1985, Etika Jawa, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
778
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
hendaknya ketika individu berbicara dan bersikap terhadap mengandung sikap hormat sesuai dengan derajat dan kedudukannya Bagi orang Jawa, manusia yang bijaksana adalah manusia yang menjaga ketentraman satu sama lain, sehingga aturan-aturan hidupnya-pun mencerminkan sebuah kebersamaan dan saling menghargai. Kebiasaan masyarakat Jawa yang diterapkan dalam JCS adalah etika-etika sederhana yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Pendidikan yang berhubungan dengan etika bisa juga disebut dengan pendidikan Budi Pekerti. Beberapa kebiasaan orang Jawa yang dapat diterapkan diantaranya adalah: 1. Puluk, ialah sebuah kebiasaan orang Jawa untuk makan dengan menggunakan tangan secara langsung. Kebiasaan ini diperlukan untuk membiasakan seseorang agar bersikap sederhana. Mengatur volume makanan yang akan dimasukkan ke dalam mulut dengan perkiraan indra peraba tangan. 2. Mlaku Mbungkuk, ketika seseorang yang lebih muda lewat didepan orang tua, maka jalan seseorang tersebut selayaknya membungkuk. Hal ini berfungsi untuk menghormati diri dan keberadaan orang tua tersebut yang tentunya telah hidup lebih lama dari kita. 3. Lungguh, atau duduk. Bagi orang Jawa cara duduk bagi laki-laki dan wanita berbeda. Jika laki-laki cenderung sila¸atau menyilangkan kaki kanan ke kiri dan sebaliknya, sedangkan perempuan sendeklu, yakni merapatkan paha kanan dan kiri. Hal ini berfungsi secara klinis dan psikologis. Sila adalah lambing kelaki-lakian sedangkan sendeklu secara klinis mampu menjaga organ kewanitaan. 4. Ora ilok, adalah beberapa larangan orang Jawa yang mempunnyai makna dalam keseharian kita. Beberapa larangan tersebut diantaranya; a. Mangan karo ngomonong, makan sambil berbicara. Pada faktanya banyak masyarakat kita yang justru menggunakan acara makan sebagai wahana bincang-bincang, akan tetapi orang Jawa melarang hal tersebut. Alasan utamanya adalah alasan klinis dan etis. Secara klinis makan sambil berbicara dapat mengakibatkan tersedak dan mengganggu proses mengunyah. Sedangkan secara etis makan sambil berbicara itu dianggap tidak menghormati makanan. Bagi orang Jawa makanan itu adalah benda hidup, sehingga ketika makan harus dirasakan sambil menyatakan rasa sukur dalam hati bahwa pada twrsebut telah diberi kebaikan oleh Tuhan berupa makanan. b. Lungguh neng nduwur bantal mengko wudunen, tidak boleh duduk di atas bantal nanti bisulan. Memang tidak logis, akan tetapi hal ini bertujuan untuk mengajari anak agar mampu menempatkan sesuatu pada tempat dan prosinya. Perilaku-perilaku Jawa di atas hanyalah contoh kecil dari etika orang Jawa yang karakternya cenderung sederhana, menghargai satu sama lain, dan mensukuri atas kuasa Tuhan. Hal tersebut adalah konsep orang Jawa dalam memahami hidup damai. Game, atau permainan. Orang Jawa, mempunyai banyak jenis permainan yang sifatnya membangun ketangkasan, kecerdasan, dan kesetiaan terhadap teman. Beberapa permainan tersebut diantaranya; a. Betengan, Sekitar enam sampai sepuluh anak dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama dan kelompok kedua. Setiap kelompok berkumpul di sebuah tiang atau pohon yang berjarak sekitar 15 meter. Tiang ini disebut dengan beteng. Tugas utama adalah merebut atau menyentuh beteng musuh. Permainan dimulai ketika salah satu anggota kelompok (A1) berlari mendekat ke arah tiang kelompok kedua. Kemudian salah satu anggota kelompok kedua (B1) harus menyentuh anggota kelompok pertama yang tadi berlari mendekat. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
779
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
b. Delikan, Sekitar 5 – 10 anak berkumpul kemudian mereka melakukan hompimpa untuk menentukan satu anak yang jadi. Satu anak tersebut berdiri di sebuah tiang sambil menutup mata dan menghitung atau mengucapkan wis…wis? (sudah). Sementara anak yang lain harus sembunyi.Sambil bilang durung..durung (belum). Jika satu anak tersebut sudah tidak mendengar ucapan durung, berarti dia harus mulai mencari. Permainan ini diakhiri jika satu anak tersebut sudah berhasil menemukan teman-teman yang dicarinya, minimal satu anak. c. Jamuran, Permainan yang ketiga adalah jamuran. Sekitar 6-10 anak sambil bergandengan tangan mengelilingi seorang anak yang berada di tengah. Kemudian mereka berputar sambil menyanyikan lagu Jamuran. Jamuran ya ge ge thok Jamu apa ya ge ge thok Jamur gajih mberjijih sak ara-ara Semprat-semprit Jamur apa Setelah lagu berhenti, maka anak-anak juga berhenti berputar. Permainan ini juga sering dilakukan di sebuah lapngan yang luas di bawah pendaran cahaya bulan pernama. Permainan di atas hanyalah beberapa contoh permainan Jawa. Dari tiga permainan tersebut bisa dpahami bahwa permainan betengan benar-benar mengajar ketangkasan, artinya anak dikondisikan untuk mampu mempertahankan apa menjadi tanggunjawabnya. Sedangkan Delikan mengajarkan intuisi dan kecerdasan berfikir anak. Artinya anak diajari untuk memperkirakan berbagai kemungkinan tentang persembunyian lawan. Jamuran merupakan permainan yang bersifat teamworking, artinya anak diajarkan tentang bagaimana melakukan sebuah kerjasama dengan orang lain. Song, orang Jawa merupakan individu yang penuh dengan nyanyian. Beberapa aspek hidup mereka sering beriringan dengan nyanyian. Seperti halnya ketika membajak sawah, mereka sering melantunkan lagu-lagu lamban yang memberikan dorongan dalam batinnya untuk bersikap sabar. Lagu anak-anak juga banyak sekali mewarnai dolanan-dolanan anak seperti halnya; cublek-cublek suweng, lir-ilir, sor kuplok, dan sebagainya yang rata-rata mempunyai ajaran dasar untuk anak. Satu contoh lagu sor kuplok yang hanya terdiri satu bait; sor kuplok padhang mbulan esok-esok mangan ketan, dudohe setengah wajan, ibuhe tele’e jaran. Sor Koplok mencoba memberi gambaran reflektif bahwa Sor Koplok tetaplah ngisore kuplok (di bawah topi) ada otak yang mampu meneretas melintasi ruang dan waktu. Jika otak terasa liar dan mempertuhankan segalanya, maka kembalikan ia ke hati, karena hati adalah mikro kosmos yang mampu menjaga keseimbangan kosmos dalam bentuk apapun (syaifuddin, 2013: 04)24. JCS adalah sebuah sekolah yang konstruksi kurikulumnya adalah kurikulum berbasis Jawa. Semua unsur Jawa masuk, baik dari segi bahasa, bentuk fisik sekolah (interior), pakaian (fashion), kebiasaan (custom), permainan, dan berbagai lagunya. Semua unsure tersebut dilibatkan untuk memberikan nuansa ajaran dasar kepada anak usia dini, sehingga karakter kejawaan begitu melekat.
Simpulan Berdasarkan berbagai pengamatan yang mendalam, konsepsi sekolah anak usia dini berbasis kultural yang juga disebut sebaga JCS harus melibatkan berbagai unsur diantaranya adalah; 1) bentuk fisik sekolah (interior), 2) pakaian (fashion), 3) kebiasaan (custom), 4) 24
Sholih, Muhammad Syaifuddin, 2013. Sor Kuplok. Matahari Publishing Yogyakarta
780
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
permainan, dan 5) lagu-lagu. Lima unsure tersebut berpadu dalam rangkaian kurikulum anak usia dini, sehingga rasa cinta terhadap budaya lokal akan semakin tumbuh. Jika rasa cinta terhadap budaya Jawa semakin tumbuh, konsekwensinya adalah generasi muda akan berusaha menghidupkan kembali budaya lokalnya dengan memadukan teknologi yang sedang berkembang sesuai dengan zamannya.
Daftar Pustaka Archaeologizing Heritage? Transcultural Entanglements between Local Social Practices and Global Virtual Realities Proceedings of the 1st International Workshop on Cultural Heritage and the Temples of Angkor (Chair of Global Art History, Heidelberg University, 2–5 May 2010) http://rumahoke.com/wp-content/ Jalongo, Mary Renck. 2007. Early Childhood Language Arts. USA: Pearson Education, Inc. Sholih, Muhammad Syaifuddin, 2013. Sor Kuplok. Matahari Publishing Yogyakarta Suseno Franz Magnis, 1985, Etika Jawa, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
781
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Pelaksanaan Pendidikan Inklusif Pada Sekolah Dasar Di Kabupaten Banyuwangi Aliya Fatimah 25 ([emailprotected]) Abstract The purpose of this research is to describe (1) The implementation of inclusive education in Islamiyah Muhammadiyah school Banyuwangi. (2) The availability of equipment an inclusive education. (3) The effectiveness of implementation on inclusive education in Banyuwangi Regency. This research have be done in Islamiyah Muhammadiyah school in Banyuwangi Regency. This research were analized by using kualitatif approach. The data collected by interview, observation, documentation and picture. Beside a head master as aresourcher, this writer also used same informant to support this study. This research slowed that: (1) The implementation of inclusive education at elementary scholl in Banyuwangi Regency to govermant policy namely KTSP, an it was arranged based on the unit of education and the still not effective and it is need the perfection. The class management that was used by the Theachers has ideal approach, the teacher’s group work (KKG) for GPK (special treatment’s teacher does not follow well. (2) The implementation of inclusive education still has immaterial characteristic that is only motivation, and the school does not have a medium or facilities to support thelearning proses. (3) The effectiveness of inclusive education in Banyuwangi Regency, the implementation of inclusive education still not organized bacouse it does not have any support from Banyuwangi government in order that the result is not effective. Key words: The Inplementation of inclusive education at elementary school. Abstrak Tujuan penelitian ini adalah mendiskripsikan (1) Pelaksanaan pendidikan inklusif di MI Islamiyah Muhammadiyah Banyuwangi, (2) Ketersediaan daya dukung dari pelaksanaan pendidikan inklusif, (3) Efektifitas pelaksanaan pendidikan inklusif di Kabupaten Banyuwangi. Penelitian ini dilakukan di MI Islamiyah Muhammadiyah Kabupaten Banyuwangi. Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Metode pengambilan data dilakukan dengan wawancara mendalam, observasi, dokumentasi, dan foto. Informan yang terlibat adalah kepala sekolah, guru, dan beberapa narasumber. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Pelaksanaan pendidikan inklusif yang ada di sekolah dasar di Kabupaten Banyuwangi menggunakan kurikulum yang mengacu pada kebijakan pemerintah yaitu KTSP, tetapi belum efektif dan masih perlu penyempurnaan. (2) Daya dukung yang dirasakan oleh sekolah penyelenggara pendidikan inklusif masih bersifat non materiil yang berupa motivasi, untuk dukungan sarana prasarana atau fasilitas untuk pendidikan inklusif belum ada. (3) Efektivitas pendidikan inklusif di sekolah dasar Banyuwangi sudah berjalan tetapi belum terorganisasi hal tersebut dikarenakan belum adanya dukungan dari pemerintah Banyuwangi sehingga pelaksanaannya belum efektif. Kata kunci : Pelaksanaan Pendidikan Inklusif Sekolah Dasar.
Pendahuluan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasa l5 ayat 1 menyebutkan setiap warga Negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan bermutu. Undang-undang tersebut diisyaratkan bahwa pemerintah melalui Menteri Pendidikan nasional untuk menyelenggarakan pendidikan bermutu untuk semua warga negara Indonesia
25
Universitas Bakti Indonesia Banyuwangi, Jawa Timur, Indonesia
782
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
tanpa kecuali. Hal yang demikian ini juga berlaku bagi anak-anak yang memiliki hambatan dalam belajar atau Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Pendidikan khusus merupakan penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. (UU sisdiknas 20/2003, Psl. 15) Pendidikan khusus juga diberikan bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa. Pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa berfungsi mengembangkan potensi keunggulan peserta didik menjadi prestasi nyata sesuai dengan karakteristik keistimewaannya. Pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa ini bertujuan mengaktualisasikan seluruh potensi keistimewaannya tanpa mengabaikan keseimbangan perkembangan kecerdasan spiritual, intelektual, emosional, sosial, estetik, kinestetik, dan kecerdasan lainnya. Pendapat ini mempertegas bahwa pendidikan yang diselenggarakan secara terintegrasi, kurang memberikan makna yang universal terhadap pelayanan pendidikan. Pendidikan terintegrasi masih bernuansa diskriminasi, berbeda dengan sistem inklusi. Pendidikan inklusi menghadirkan lingkungan belajar yang menyenangkan, termasuk kelas harus dikelola sedemikian rupa, sehingga anak-anak belajar dikelas dalam suasana lingkungan yang nyaman, menyenangkan, mudah beraktifitas. Bentuk dan muatan kurikulum di desain sesuai dengan kebutuhan, memaksimalkan potensi anak dan memberikan pembelajaran yang relevan dengan kebutuhan anak secara obyektif. Perlakuan secara objektif terhadap anak belum banyak dilakukan dilembaga-lembaga pendidikan, kebanyakan lembaga pendidikan hanya memberikan pelayanan secara umum, kurang memberikan kesempatan bagi anak-anak berkebutuhan khusus belajar bersama dengan anak normal pada umumnya, sebenarnya setiap anak seyogyanya mendapatkan pelayanan secara obyektif (Muhammad, 2008:48). Pendidikan untuk semua (Education for All) menuju inklusi merupakan konsekwensi dari diterbitkannya Konvensi Hak Anak (KHA) yang diproklamirkan dalam piagam PBB tanggal 20 Nofember 1989, bahwa anak-anak karena kerapuhannya, memerlukan asuhan dan perlindungan khusus. Konvensi Hak Anak menempatkan penekanan khusus pada tanggung jawab keluarga atas pengasuhan dan perlindungan utama. Dengan demikian peran keluarga sangat strategis dalam upaya ikut mensukseskan pengembangan sekolah inklusi, begitu juga stakeholder. Anak-anak luar biasa mendapatkan pendidikan di sekolah luar biasa (SLB) sesuai dengan spesialisasinya, yaitu SLB-A untuk sekolah anak tuna netra, SLB-B untuk sekolah anak tuna rungu, SLB-C untuk sekolah anak tuna grahita, SLB-D untuk sekolah anak tuna daksa. Selain SLB juga disediakan Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), sekolah ini menampung berbagai jenis anak berkelainan, sehingga di dalamnya mungkin terdapat anak tuna netra, tuna rungu, tuna grahita, tuna daksa,atau mungkin tuna ganda, system ini merupakan model segregasi untuk menuju integrative, atau dikenal dengan pendidikan terpadu, yaitu dengan mengintegrasikan anak luar biasa ke sekolah reguler, namun masih terbatas pada anak-anak yang mampu mengikuti kurikulum di sekolah tersebut. Kebijakan tersebut dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang mengisyaratkan bahwa pemerintah harus memberikan pelayanan pendidikan bermutu untuk semua tanpa adanya diskriminasi.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
783
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Pendidikan inklusi adalah pendidikan yang memberikan pelayanan pendidikan bermutu kepada semua anak yang termarjinalisasikan, terpinggirkan, dan terisolir serta memberikan bimbingan kepada peserta didik yang memiliki berbagai perbedaan latar belakang ekonomi, budaya, social, agama, bahasa, lamban belajar (slow leaner), kesulitan belajar,diskakulia, disgrafia, disleksia, tuna grahita, tuna netra, tuna laras, hiperaktif, autism serta kebutuhan lainnya. Dengan demikian memunculkan sebuah pertanyaan besar, apakah mampu sekolah regular melaksanakan pendidikan inklusi. SDN Rogojampi 3, SDN Watukebo 3, MI Islamiyah Muhammadiyah dan SDN Boyolangu 2 adalah sebagian sekolah yang menyelenggarakan pendidikan inklusi di kota Banyuwangi, sekolah tersebut memberikan pelayanan pendidikan pada semua anak tanpa memandang latar belakang anak. Anak biasa (normal) belajar bersama-sama dengan anak yang berkebutuhsn khusus (ABK) dengan pelayanan sama. Pendidikan Inklusi yang pada dasarnya adalah merupakan penggabungan dari pendidikan regular dengan anak yang berkebutuhan khusus tentungan memiliki berbagai hambatan dan masalah, Adapun hambatan yang ada disekolah-sekolah inklusi ini tentunya lebih banyak di banding sekolah regular biasa, beberapa hambatan yang sampai sekarang masih menjadi satu permasalahan antara lain kurangnya guru pembimbing khusus karena pada dasarnya guru-guru yang ada disekolah regular adalah guru yang dari luar pendidikan luar biasa, kemudian masalah sarana dan prasarana juga merupakan salah satu hambatan dalam proses pembelajaran. Untuk di daerah Banyuwangi sendiri permasalahan yang juga menjadi hambatan sekolah inklusi adalah belum adanya payung hukum dari pemerintah daerah, dan bagaimana sekolah tersebut bisa mengatasi dan menyelesaikan permasalahan yang ada, hal tersebut merupakan sesuatu yang sangat menarik untuk diteliti. Apakah pendidikan inklusi yang dilakukan sudah sesuai dengan harapan pemerintah dan masyarakat sebagai pengguna jasa pendidikan. Sesuai dengan uraian diatas maka Peneliti tertarik untuk meneliti Pendidikan Inklusif pada MI Islamiyah Muhammadiyah Kabupaten Banyuwangi. Hal tersebut dikarenakan MI Islamiyah Muhammadiyah merupakan sekolah termuda dalam penyelenggara pendidikan inklusif akan tetapi sudah dapat dijadikan sebagai model pelaksanaan sekolah inklusif khususnya di sekolah dasar Kabupaten Banyuwangi. Bertolak dari permasalahan dan informasi diatas, maka tulisan ini akan difokuskan untuk (1) mengetahui bagaimana kondisi objektif pelaksanaan pendidikan inklusif di MI Islamiyah Muhammadiya Kabupaten Banyuwangi, (2) melihat apakah kurikulum merupakan salah satu faktornketercukupan daya dukung penyelenggaraan pendidikan inklusif di MI Islamiyah Muhammadiyah, (3) mengetahui sejauh mana efektifitas pelaksanaan pendidikan inklusif di MI Islamiyah Muhammadiya Kabupaten Banyuwangi.
Landasan Teori Konsep Pendidikan Inklusif Banyak ahli pendidikan mengemukakan konsep pendidikan inklusi secara beragam. Namun hakekatnya memiliki tujuan yang sama. Menurut Hildegun Oslen (2002: 3) pendidikan inklusi berarti harus mengakomodasi semua anak tanpa memandang kondisi fisik, intelektual, social emosional, linguistic, atau kondisi lainnya. Ini harus mencakup anak-anak penyandang cacat, dan berbakat. Anak-anak jalanan dan pekerja, semua dari populasi terkecil atau
784
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
berpindah-pindah. Anak dari kelompok etnis minoritas, linguistic, atau budaya dan anak-anak dari area atau kelompok yang kurang beruntung atau termarjinalisasi. Pengertian inklusi dan ramah pembelajaran menurut adaptasi LIRP versi Indonesia (UNESCO 2004): adalah mengikut sertakan anak berkelainan di kelas regular bersama dengan anak-anak yang lainnya, itu dalam arti sempit. Pengertian secara luas inklusi berarti melibatkan seluruh anak tanpa kecuali seperti : 1. Anak yang menggunakan bahasa yang berbeda dengan bahasa pengantar yang digunakan di dalam kelas, 2. Anak yang beresiko putus sekolah karena sakit, kelaparan atau tidak berprestasi dengan baik, 3. Anak yang berasal dari golongan agama atau kasta yang berbeda, 4. Anak yang sedang hamil, 5. Anak yang terinveksi HIV / AIDS, 6. Anak yang berusia sekolah tetapi tidak sekolah.
Pelaksanaan Pendidikan Inklusi Di Sekolah Dasar Reguler Dilihat Dari Segi Kurikulum Pada kurikulum 2004 dan kurikulum 2006 pengembangan kurikulum sekolah menjadi wewenang satuan pendidikan itu sendiri dengan tetap mengacu pada pedoman yang dikeluarkan oleh Badan Standart Nasional (BSNP) serta memperhatikan rambu-rambu undang-undang no 20 tahun 2003, yaitu pasal 1 ayat 19,pasal 18 ayat 1,2,3, dan 4; pasal 32 ayat 1,2, dan 3; pasal 35 ayat 2; pasal36 ayat 1,2,3, dan 4;pasal37 ayat 1,2, dan 3; pasal 38 ayat 1 dan 2, termasuk juga peraturan pemerintah (PP) no 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP). Setiap satuan pendidikan dalam penyelenggaraan pendidikan bagi peserta didiknya harus berpegangan pada kurikulum. Kurikulum yang saat ini adalah kurikulum 2006 atau sering disebut dengan Kurikilum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sampai saat sekarang sekolah yang sudah menggunakan Kurikulum 2013. Satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan inklusi tetap menggunakan kurikulum yang berlaku pada satuan pendidikan yang bersangkutan. Hanya saja khusus bagi anak didik tertentu perlu diadakan penyesuaian dengan kemampuan dan kebutuhan khusus bagi anak yang berkelainan dan atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.Bentuk penyesuaian kurikulum dengan kebutuhan khusus anak didik dituangkan dalam program pengajaran individual (PPI) atau Program Individual. PPI merupakan rencana pendidikan bagi seorang anak didik. Semua anak didik yang berkelainan dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa harus dibuatkan PPI. PPI merupakan program yang dinamis artinya sensitive terhadap berbagai perubahan kemajuan anak didik, disusun oleh sebuah tim dari berbagai perubahan kemajuan anak didik, disusun oleh sebuah tim dari berbagai profesi keahlian. Anak didik berkelainan atau anak didik yang memiliki kelainan adalah anak didik yang secara signifikan (berarti) mengalami kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, mental, intelektual, emosional, dan atau social, sehingga mereka memerlukan pendidikan khusus. Dengan demikian, meskipun anak didik mengalami kelainan atau penyimpangan tertentu, tetapi kelainan/ penyimpangannya tidak signifikan sehingga anak tersebut tidak memerlukan pendidikan khusus, anak didik tersebut bukan tergolong anak didik yang memiliki kelainan. Buku pedoman penyelenggaraan pendidikan terpadu atau inklusi yang diterbitkan oleh Direktorat Pendidikan Luar Biasa, Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
785
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Depdiknas tahun 2003, untuk pendidikan inklusi, anak didik yang memiliki kelainan dapat dikelompokkan menjadi: a. Tuna netra atau gangguan pengelihatan, b. Tuna rungu atau gangguan pendengaran, c. Tuna wicara atau gangguan komunikasi, d. Tuna grahita atau gangguan kecerdasan, e. Tuna daksa atau gangguan fisik dan kesehatan, f. Tuna laras atau gangguan emosi dan prilaku, g. Berkesulitan belajar, h. Lamban belajar, i. Autistik, j. Gangguan motorik, k. Korban penyalahgunaan narkoba, l. Gangguan dari dua atau lebih jenis-jenis di atas.
Karakteristik dan Kebutuhan Khusus (Special Needs Characreristic) Setiap anak baik yang memiliki kelainan atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa memiliki karakteristik (ciri-ciri) tertentu yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Perbedaan karakteristik/ ciri-ciri tersebut juga menggambarkan adanya perbedaan kebutuhan layanan pendidikan bagi setiap anak didik. Tim pengembang kurikulum / TPK (dalam hal ini pengembang PPI), terlebih dahulu perlu mengetahui kebutuhan khusus (special needs) setiap anak tersebut, baik yang berkaitan dengan kemampuan/ kesanggupan maupun ketidakmampuan anak didik secara individual. Untuk keperluan pengembangan PPI, kebutuhan khusus (special needs) anak didik diidentifikasi melalui pengenalan karakteristik yang menonjol.
Tingkat kecerdasan Ditinjau dari segi kecerdasan, peserta didik yang membutuhkan pendidikan khusus dikelompokkan menjadi 3, yaitu (1) kecerdasan dibawah normal, (2) kecerdasan normal, (3) kecerdasan diatas normal. 1) Kecerdasan di bawah normal Kecerdasan di bawah normal anak lamban belajar (slow learner) dan tuna grahita. Karakteristik yang menonjol dari anak didik lamban belajar salah satunya adalah memiliki kecepatan belajar dibawah anak didik seusianya, sehingga untuk menyelesaikan materi pelajaran tertentu membutuhkan waktu yang lebih lama. Sehingga ini berakibat lamanya dalam menyelesaikan materi pelajaran di sekolah dasar. Anak tuna grahita ringan salah satu karakteristiknya yang menonjol adalah kemampuan akademiknya maksimal setara dengan anak didik sekolah dasar kelas 4 (empat). Kemudian salah karakteristik yang sangat menonjol anak didik tunagrahita sedang adalah kemampuan akademiknya maksimal setara dengan kemampuan akademik anak sekolah dasar kelas 2 (dua).
2) Anak didik dengan kecerdasan normal Anak didik dengan kecerdasan normal adalah anak didik yang memerlukan pendidikan khusus yang memiliki kecerdasan normal adalah (a) tunanetra, (b) tunarungu, (c) tunadaksa, (d) tunalaras,(e) mengalami kesulitan belajar khusus, yang meliputi; (1) kesulitan belajar membaca (disleksia), (2) kesulitan belajar menulis (disgrafia), (3) kesulitan belajar berhitung (diskalkulia). Meskipun kecerdasan relative normal, anak didik tersebut mengalami kelainan fisik, social, emosional, dan/atau sensoris neorologis, sehingga mereka mengalami hambatan pada saat belajar. Anak-anak didik ini sebenarnya mampu menyelesaikan tugas-tugas akademik seperti 786
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
yang lainnya, hanya saja memerlukan waktu sedikit lebih lama dibandingkan dengan anak didik normal lain yang seusianya.
3) Anak didik yang memiliki kecerdasan diatas normal Anak didik yang memiliki kecerdasan normal adalah : (a) anak didik yang superior, kadar kecerdasannya antara 110-125, (b) gifed yaitu anak didik yang memiliki kadar kecerdasan antara 125-140, (c) genius yaitu anak didik yang memiliki kecerdasan di atas 140. Anak didik yang memiliki kecerdasan di atas normal, memiliki kelebihan di banding dengan anak didik yang memiliki kadar kecerdasan normal dan di bawah normal. Kelebihan itu terletak pada salah satu atau lebih dari ; (1) kemampuan intelek umum, (2) kemampuan akademik khusus, (3) kemampuan berfikir kreatif, (4) kemampuan memimpin, (5) kemampuan salah satu bidang seni, dan (6) kemampuan psikomotor. Anak didik yang mengalami kadar kecerdasan diatas normal memiliki kecepatan belajar diatas kecepatan belajar anak didik lain seusianya. Sehingga untuk menyelesaikan materi yang diajarkan tidak banyak waktu yang diperlukan.
Metode Penelitian Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain penelitian kualitatif, yaitu merupakan sebuah proses penyelidikan untuk memahami masalah tentang pendidikan inklusi yang ada di kabupaten Banyuwangi, yang kemudian disusun secara terperinci dalam sebuah latar ilmiah. Pendekatan kualitatif sering digunakan oleh para peneliti dalam penyusunan teori dasar (grounded theory) yang termasuk dalam kajian grounded research (Bogdan,1992). Glaser dan Straus (dalam Singarimbun dan Effendi, 1995:9) menyatakan bahwa grounded research merupakan suatu pendekatan baru yang didasarkan pada sumber teori dan data dengan mengembangkan konsep-konsep di lapangan. Pada umumnya seorang peneliti terlibat secara penuh dalam penelitiannya dari awal sampai akhir. Sedangkan metode kualitatif merupakan prosedur penelitian yang nanti akan menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Jadi pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holyistic (menyeluruh), sehingga tidak boleh mengisolasikan individu atau organisasi ke dalam variable atau hipotesis, tetapi perlu memandangnya sebagai bagian dari suatu kesatuan (Bogdan dan Taylor dalam Moloeng,1995; 3) Melalui penelitian ini, peneliti akan dapat mengenal subjek secara pribadi dan lebih dekat. Dalam hal ini bisa terjadi karena adanya pelibatan peneliti dengan subyek penelitian. Pelibatan langsung ini akan dapat mengeksplorasikan situasi, kondisi yang ada di sekolahsekolah inklusi di Banyuwangi. Dengan demikian data yang terkumpul melalui wawancara, observasi, dan dokumentasi, terutama dengan subyek penelitian peneliti cenderung untuk memilih pendekatan kualitatif dalam penelitian
Tehnik Pengumpulan data Dalam penelitian ini, Peneliti menggunakan beberapa tehnik pengumpulan data,yaitu Tehnik Observasi Partisipan Observasi dapat dilakukan dengan dua cara, yang kemudian digunakan untuk menyebut jenis observasi yaitu: 1) Observasi non sistematis, yang dilakukan oleh pengamat dengan tidak menggunakan instrument pengamatan, 2) Observasi sistematis,
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
787
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
yang dilakukan oleh mengamat dengan menggunakan pedoman sebagai instrument pengamatan (Suharsimi: 131).
Hasil Penelitian Salah satu sekolah penyelenggara pendidikan Inklusif adalah Madrasah Ibtidaiyah Islamiyah Muhammadiyah berdiri sejak tahun 2000 dengan nama MI Islamiyah Muhammadiyah, Sekolah ini dibangun diatas tanah seluas 925 m2 denga luas bangunan 442 m2 dengan model 2 lantai, sekolah ini merupakan sekolah yang dikelola oleh lembaga Muhammadiyah di kecamatam Muncar dibawah naungan Departemen Pendidikan Agama kabupaten Banyuwangi. MI Islamiyah Muhammadiyah merupakan salah satu sekolah yang berada di pinggiran di Banyuwangi, untuk menuju kota Banyuwangi harus menempuh jarah sekitar 40 kilometer. Sampai saat ini untuk daerah kecamatan Muncar sekolah Madrasah Ibtidaiyah belum mendapatkan tempat yang baik di masyarakat maupun dilingkungan pendidikan sekolah dasar. Hal tersebut memacu semangat kepala sekolah beserta dewan guru untuk bisa membuktikan bahwa pada dasarnya pendidikan dimanapun adalah sama. MI Islamiyah Muhammadiyah di samping mengutamakan mutu pendidikan secara umum yang telah dibuktikan dengan out put yang baik MI Islamiyah Muhammadiyah merupakan satu-satunya sekolah inklusif dikecamatan Muncar, dimana sekolah ini dapat menerima anak berkebutuhan khusus, sedangkan untuk sekolah luar biasa sendiri lokasinya sangat jauh dari daerah ini. Masyarakat sekitar MI Islamiyah Muhammadiyah adalah masyarakat yang hetrogen ada beberapa yang bekerja sebagai nelayan, petani, pedagang, maupun profesi yang lain seperti bekerja sebagai tenaga kerja Indonesia yang sampai bertahun-tahun meninggalkan rumah. Karena di sekitar MI islamiyah Muhammadiyah masih banyak anak-anak yang membutuhkan pelayanan khusus jadi masyarakat sekitar sangat mendukung dijadikannya sekolah tersebut sebagai sekolah inklusif, karena masyarakat yakin bahwa sekolah ini akan memberikan pelayanan bagi siswa-siwa yang membutuhkan pelayanan khusus (ABK) maupun pada anakanak pada umumnya tanpa adanya diskriminasi atau perbedaan dalam pemberian pelayanan pendidikan.
Pelaksanaan Pendidikan Inklusif MI Islamiyah Muhammadiyah Banyuwangi Bagian ini akan didiskripsikan pelaksanaan inklusif di MI Islamiyah Muhammadiyah ditinjau dari segi kurikulumnya. Selanjutnya akan dinjelaskan problem yang muncul diawal menjadi sekolah inklusif, sampai pada saat ini. Hal ini memperjelas proses menjadi sekolah inklusif, maka akan digambarkan persiapan-persiapan yang dilakukan oleh pihak sekolah, Proses menjadi Sekolah Inklusif dan Perkembangannya. Di daerah sekitar MI Islamiyah Muhammadiyah orang tua siswa yang ABK sangat berharap putranya bisa sekolah di MI Islamiyah Muhammadiyah Muncar dengan alasan yang pertama yaitu dekat dengan tempat tinggal siswa kemudian bisa mendampingi secara langsung juga factor biaya yang sangat terjangkau oleh kalangan masyarakat. Dari segi pendidik sendiri (guru), ada beberapa guru yang menerima siswa tersebut dengan apa adanya, ada juga guru yang tidak bisa menerima keberadaan siswa tersebut karena dihawatirkan akan mengganggu proses belajar mengajar. Kepala sekolah sangat antusias untuk menerima siswa ABK di MI Islamiyah Muhammadiyah karena beliau siapapun yang didaftarkan disekolah ini harus diterima dengan baik baik dengan kondisi normal maupun yang memiliki kebutuhan khusus, kemudian kondisi
788
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
orang tua siswa yang sangat koomperatif sekali dengan fihak sekolah, contohnya selalu mendampingi putranya dalam belajar sehingga tidak sampai mengganggu siswa yang lain, memberikan informasi tentang kesehatan putranya setiap saat kepada fihak sekolah. Keputusan yang diambil oleh MI Islamiyah Muhammadiyah untuk menjadi sekolah inklusif sekarang sudah menunjukkan hasil yang baik, sehingga akan membantu kemajuan pendidikan di kabupaten Banyuwangi. Mulai tahun 2010 MI Islamiyah Muhammadiyah telah mencanangkan diri menjadi salah satu pelaksana pendidikan inklusif, hal ini dijelaskan oleh kepala sekolah pada tanggal 09 Desember 2010. Setelah melaksanakan pendidikan inklusif MI Islamiyah Muhammadiyah selalu mendapat perhatian serta bimbingan dari SMPLB Banyuwangi selaku kordinator serta pembimbing pendidikan inklusif, dari ketelatenan semua fihak sekolah serta usaha yang semaksimal mungkin, maka MI Islamiyah Muhammadiyah bisa mengelola pelaksanaan pendidikan inklusif dengan baik. Meskipun pada dasarnya sekolah tersebut masih mengalami banyak sekali hambatan dalam pendidikan inklusif ini.
Pengembangan kurikulum dalam pendidikan inklusif Kurikulum adalah seperangkat rencana atau pengaturan pelaksanaan pembelajaran dan atau pendidikan yang didalamnya mencakup pengaturan tentang tujuan, isi (materi), proses dan evaluasi. Tujuan berarti apa yang akan dicapai, materi berarti apa yang akan dipelajari, proses berarti apa yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan dan evaluasi berarti apa yang harus dilakukan untuk mengetahui keberhasilan pencapaian tujuan. Berdasarkan pengertian kurikulum tersebut, secara umum terdapat empat komponen utama yang harus ada dalam kurikulum yaitu (1) tujuan (2) isi/materi (3) proses dan (4) evaluasi. Tujuan adalah seperangkat kemampuan atau kompetensi yang akan dicapai setelah para siswa menyelesaikan program pendidikan dalam kurun waktu tertentu, tujuan pembelajaran secara umum terbagi menjadi tiga jenis kemampuan, yaitu (1) kognitif, (2) afektif, (3) psikomotorik. Isi (materi) adalah isi atau konten yang harus dipelajari oleh siswa supaya bisa mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Materi pembelajaran bisa berupa informasi , konsep, teori, dan lain-lain. Materi pembelajaran harus relevan atau mendukung terhadap pencapaian kompetensi dasar dan standar kompetensi, dalam kurikulum 2006 (KTSP), rumusan materi tidak lagi tersedia dalam kurikulum, tetapi harus dibuat atau dikembangkan sendiri oleh sekolah/guru. Materi biasanya dikembangkan oleh guru dengan mengacu kepada sumber yang relevan. Kemudian setelah isi/materi ada proses yang atrinya adalah kegiatan atau aktivitas yang akan dijalani oleh siswa supaya bisa menguasai materi yang diajarkan dan bisa mencapai tujuan-tujuan pembelajaran yang ditetapkan, proses kurang lebih sama pengertiannya dengan kegiatan belajar mengajar (KBM) atau pengalaman belajar, yakni serangkaian kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan oleh siswa dan guru. Selanjutnya adalah evaluasi adalah proses kegiatan yang dilakukan untuk mengetahui tingkat keberhasilan/ pencapaian tujuan-tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Peneliti akan mendiskripsikan tentang kurikulum untuk siswa yang berkebutuhan khusus yang mengikuti pendidikan inklusif di sekolah regular. Berikut pemaparan dari salah satu pembimbing inklusif Dr.Budiono M pd. Dari pendidikan luar biasa UNESA; Begini bu, untuk pendidikan inklusif itu memang ada beberapa model dalam pengembangan kurikulumnya sendiri, yaitu ada empat macam 1) model duplikasi, 2) model Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
789
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
modifikasi, 3) model sunstitusi, 4) model omisi. Dari beberapa model tersebut semua akan menerapkan empat komponen yang ada yaitu tujuan, isi, proses dan evaluasi.(PI UNESA/ Dr Budiono, Mpd/24 Januari 2011). MI Islamiyah Muhammadiyah dalam pengembangan kurikulum inklusi sendiri telah menggunakan model modifikasi. Modifikasi berarti merubah untuk disesuaikan. Dalam kaitan dengan model kurikulum untuk siswa berkebutuhan khusus, maka model modifikasi berarti cara pengembangan kurikulum, dengan memodifikasi kurikulum umum yang diberlakukan untuk siswa-siswa regular dirubah untuk disesuaikan dengan kemampuan siswa yang berkebutuhan khusus. Dengan demikian, siswa yang berkebutuhan khusus menjalani kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. Dalam kurikulum modifikasi, ada beberapa hal yang perlu modifikasi yaitu: (1) Modifikasi tujuan, berarti tujuan-tujuan pembelajaran yang ada dalam kurikulum umum diubah untuk disesuaikan dengan kondisi siswa berkebutuhan khusus. Sebagai konsekwensi dari modifikasi tujuan, maka siswa yang berkebutuhan khusus akan memiliki rumusan kompetensi sendiri yang berbeda dengan siswa-siswa regular, baik berkaitan dengan standar kompetensi lulusan (SKL), standar kompetensi (SK), kompetensi dasar (KD) maupun indicator. (2) Modifikasi isi, berarti materi-materi pelajaran yang diberlakukan untuk siswa regular yang dirubah untuk disesuaikan dengan kondisi anak yang berkebutuhan khusus. Dengan demikian anak yang berkebutuhan khusus mendapatkan sajian materi yang sesuai dengan kemampuannya. Modifikasi materi bisa berkaitan dengan materi yan tingkat kedalaman, keluasan, dan kesulitan yang berbeda atau lebih rendah daripada materi yang diberikan kepada siswa regular. (3) Modifikasi proses, berarti ada berbedaan dalam kegiatan pembelajaran yang dijalani oleh siswa yang berkebutuhan khusus dengan yang dilami oleh siswa pada umumnya. Metode atau strategi pembelajaran umum yang diberlakukan untuk siswa-siswa regular tidak diterapkan untuk siswa berkebutuhan khusus. Jadi mereka memperoleh pembelajaran khusus yang sesuai dengan kemampuannya. (4) Modifikasi evaluasi, berarti ada perubahan dalam system penilaian untuk disesuaikan dengan kondisi siswa berkebutuhan khusus. Dengan kata lain, siswa berkebutuhan khusus menjalani system evaluasi yang berbeda dengan siswa-siswa yang lainnya. Perubahan tersebut bisa berkaitan dengan perubahan soal-soal ujian, berubahan dalam waktu evaluasi, teknik/cara evaluasi, atau tempat evaluasi.termasuk juga dalam perubahan criteria kelulusan, system kenaikan kelas, bentuk raport juga ijasah. Kurikulum modifikasi diterapkan di MI Islamiyah karena melihat kondisi siswa yang berkebutuhan khususnya lebih banyak yang mengalami hambatan dalam belajar, jadi model modifikasi lebih mudah untuk dilakukan oleh guru regular maupun GPK. Model modifikasi yang dilakukan di sekolah MI Islamiyah Muhammadiyah adalah modifikasi pada level satuan pendidikan sekolah yaitu standar kompetensi kelulusan (SKL), standar kompetensi (SK), kompetensi dasar (KD), modifikasi indicator. Data dibawah ini adalah contoh dari modifikasi yang dibuat oleh salah satu guru mata pelajaran IPA di MI Islamiyah Muhammadiyah. Berikut adalah contoh modifikasi Kompetensi Dasar mata pelajaran IPA kelas lima.
790
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Standar Kompetensi(SK) (umum) Mengidentifikasi cara makhluk hidup menyesuaikan diri degan lingkungannya
Kompetensi Dasar(KD) (umum) Mengidentifikasi penyesuaian diri hewan dengan lingkungan tertentu untuk mempertahankan hidupnya.
Kompetendi Dasar (KD) (modifikasi) Berkebutuhan khusus ringan Mengidentifikasi jenis-jenis hewan yang hidup di darat.
Berkebutuhan khusus sedang Mengidentifikasi jenis-jenis hewan yang ditemui dirumah dan sekitarnya.
Dari data di atas akan memberikan suatu kemudahan pada pelaksanaan pendidikan inklusif baik pada siswa yang berkebutuhan khusus maupun pada guru mata pelajaran, sehingga tidak terlalu berat beban dalam proses belajar mengajar. Peneliti juga akan mendapatkan contoh tentang indikator yang telah dimodifikasi,yang dibuat oleh guru mata pelajaran IPS di MI Islamiyah Muhammadiyah. Contoh Modifikasi Indikator mata pelajaran IPS kelas lima semester satu. Standar kompetensi (SK) (umum)
Kompetensi Dasar (KD) (umum)
Indikator (umum)
Indikator (modifikasi) Hambatan Hambatan Kecerdasan Kecerdasan ringan sedang
Menghargai berbagai peninggalan dan tokoh sejarah yang berskala nasional pada masa HindhuBudha dan Islam, keragaman kenampakan alam dan suku bangsa serta kegiatan ekonomi di Indonesia.
Mengenal keragaman kenampakan alam dan buatan serta pembagian wilayah waktu di Indonesia dengan menggunakan peta/atlas/globe dan media lainnya.
Menggambar peta Indonesia. Menunjukka n pada peta pembagian wilayah waktu di Indonesia.
Membuat denah sekolah. Mengidentifikas i fase-fase waktu dalam satu hari (pagi, siang, sore, malam) dikaitkan dengan ragam aktifitas yang dilakukan (tidur, bangun, sekolah, bermain dll.)
Membuat denah ruang kelas. Mengidentifikasi fase-fase waktu dalam satu hari (pagi, siang, sore, malam), dikaitkan dengan raga, aktifitas yang dilakukan (tidur, bangun, sekolah, bermain dll.)
Contoh modifikasi materi pembelajaran di sekolah inklusif MI Islamiyah Muhammadiyah pada mata pelajaran IPA kelas lima: Standar Kompetensi: mengidentifikasi cara mahluk hidup menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Kompetensi Materi Kompetensi Materi (modifikasi) Dasar (KD) Pelajaran Dasar (KD) Hambatan Hambatan (umum) (umum) (modifikasi) kecerdasan ringan kecerdasan sedang Mengidentifikasi Jenis/ragam Mengidentifi Jenis-jenis hewan Jenis-jenis hewan penyesuaian diri bentuk kasi jenisyang hidup yang ditemui hewan dengan penyesuaian jenis di darat didarat. (hidup) dirumah lingkungan diri hewan dan dan sekitarnya.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
791
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
tertentu untuk mempertahankan hidupnya.
terhadap lingkungan tertentu
dilingkungan sekitar.
Dari beberapa modifikasi yang telah dilaksanakan oleh MI Islamiyah Muhammadiyah, ada beberapa hal yang masih menjadi hambatan dalam pelaksanaan proses belajar mengajar. Contoh dari hambatan pada MI Islamiyah Muhammadiyah Jenis Hambatan Hambatan Kecerdasan
Modifikasi Proses yang Digunakan a. Penyajian materi dengan penjelasan yang sederhana. Bahasa yang mudah disertai dengan contoh-contoh. b. Penggunaan objek-objek konkrit dalam penjelasan konsep. c. Pemberian materi dan tugas-tugas yang kadarnya lebih mudah. d. Pemberian pembelajaran tambahan secara individual di luar jam belajar bersama. e. Penekanan pembelajar pada kompetensi-kompetensi fungsional (skill yang dibutuhkan ubtuk kemandirian dalam aktivitas kehidupan sehari-hari) f. Pemanfaatan teman sebangku atau sekelas sebagai tutor g. Waktu pembelajaran ditambah.
Jadi dari data di atas peneliti mengambil kesimpulan bahwa MI Islamiyah Muhammadiyah telah melaksanakan pendidikan inklusif dengan menggunakan kurikulum modifikasi, adapun hasil pelaksanaan kurikulum ini dapat membantu proses pembelajaran pada pendidikan inklusif ini, hal ini dapat dibuktikan dengan hasil evaluasi akhir yang masih mendapatkan peringkat terbaik pada ujian akhir nasional tingkat kecamatan Muncar. Berdasarkan uraian hasil penelitian dan pembahasan tentang pelaksanaan pendidikan sekolah dasar inklusif di kabupaten Banyuwangi, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Kondisi Objektif Pendidikan Inklusif di Kabupaten Banyuwangi. Efektivitas pelaksanaan pendidikan inklusif di Kabupaten Banyuwangi sampai saat ini masih perlu pembenahan, hal tersebut dikarenakan masih belum tertatanya system pembelajaran maupun pengelolaan pendidikan inklusif. Dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif, tenaga pendidik juga harus diperhatikan dengan baik dalam hal ini peran GPK yang ada di Kabupaten Banyuwangi masih belum maksimal. GPK yang ada sebaiknya adalah guru yang memiliki kualifikasi pendidikan S1 Psikologi atau S1 PLB, sehingga dalam membimbing ABK benar-benar sesuai dengan latar belakang pendidikannya.
2. Efektivitas Pelaksanaan Pendidikan Sekolah Dasar Inklusif di Kabupaten Banyuwangi Pelaksanaan pendidikan inklusif di Banyuwangi sudah berjalan dengan baik,tetapi masih belum efektif. Hal tersebut dapat dilihat dari kesiapan tenaga pendidikan yang masih belum terlatih dalam penanganan ABK, sarana yang dibutuhkan dalam pelaksanaan pendidikan inklusif juda masih kurang terpenuhi serta dukungan dari pemerintah Kabupaten Banyuwangi masih belum ada, sehingga pendidikan inklusif di Kabupaten Banyuwangi masih belum terorganisasi.
792
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Rekomendasi Beberapa saran yang dapat Peneliti sampaikan berkenaan dengan penelitian ini untuk berbagai fihak adalah sebagai berikut: a. Kepala Sekolah melakukan perubahan manajemen, proses pembelajaran ABK harus menggunakan PPI yang dirancang bersama-sama dengan orang tua murid, GPK, kepala sekolah, dan lebih bagus lagi jika melibatkan professional (pedagogic,psikolog). Hal ini sesuai dengan kaidah yang telah ada dan dimaksudkan semua komponen sehingga tidak muncul banyak permasalahan dalam perjalanannya. b. Kepala Sekolah bekerjasama dengan konsultan ahli dalam hal perencanaan pengembangan inklusif ke depan yang meliputi Perguruan Tinggi dan yayasan inklusif seperti Hellen Keller International. c. Khusus Dinas Pendidikan Kabupaten Banyuwangi harus mengadministrasikan data sekolah inklusif, memperhatikan serta membantu pelaksanaan pendidikan inklusif, supaya pelaksanaan pendidikan inklusif dapat berjalan sesuai dengan ketentuan yang ada.
Daftar Pustaka Dapa, A., Duyo. U. dan Marentek. (2007) Manajemen Pendidikan Inklusi. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Dirjen Dikti, (2004). Pedoman Sertifikasi Konpetensi Pendidik. Jakarta:Departemen Pendidikan Nasional. Dirjen Dikti, TK/SD, (2004). Manajemen Berbasis Sekolah. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Direktorat Luar Biasa. (2007).Pengembangan Kurikulum. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa.(2007). Kebutuhan dan Pengelolaan Sarana dan Prasarana Pendidikan. Departemen Pendidikan Nasional. Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa.(2007). Manajemen Sekolah Inklusif. Departemen Pendidikan Nasional. Direktorat Luar Biasa.(2004). Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Terpadu/Inklusi. Jakarta: Depdiknas. Direktorat Pendidikan Luar Biasa.(2004). Buku 4 Pengadaan dan Pembinaan Tenaga Kependidikan. Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional. Direktorat Pendidikan Luar Biasa. (2004). Buku 7 : Manajemen Sekolah. Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional. Direktorat Pendidikan Luar Biasa.(2004). Buku 4: Menciptakan Kelas Inklusif Ramah Terhadap Peserta Didik : Direktorat Jendral Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah bekerja sama dengan Hellen Keller International. Dunn William.(2000). Pengantar Analisa Kebijakan Publik. Yogyakarta: Gajah Mada Universitas Press. Handojo,Y.(2003). Petunjuk Praktis dan Pedoman untuk mengajar anak normal, autis, dan prilaku lain. Jakarta: Buana Ilmu Populer. Komariyah Aan &Triatna Cepi.(2005). Visionerry Leadership menuju sekolah efektif. Jakarta :Buana Aksara. Puspita Dewi, E. (2010) Analisis kesiapan psikologi guru dalam pelaksanaan pendidikan inklusif di SMP Negeri 18 Malang, Malang: Universitas Muhammadiyah Malang Peraturan Pemerintah No 19.(2005) Standar Pendidikan Nasional. Jakarta: Sinar Grafika. Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 70.(2009). Tentang Pendidikan Inklusi. Soetomo.(1993). Dasar –dasar Interaksi Belajar Mengajar. Surabaya: Usaha Nasional. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
793
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Sugiyono.(2007). Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif dan R&D. Bandung:ALFABETA. Suryadi. A & Tilaar.H.A.R.(1994). Analisis Kebijakan, suatu pengantar. Bandung: Remaja Rosda Karya offset. Tarmansyah.(2007).Buku Ajar Inklusi Dirjen Dikti. Jakarta: Depdiknas. Tarmansyah.(2009). Inklusi Pendidikan untuk Semua. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. (1945) Amandemen dengan Penjelasannya. Surabaya: Setiaji. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23/2003.(2008).Tentang Perlindungan Anak.Jakarta: Sinar Grafika Undang-Undang Republi Indonesia Nomor 23/2004.(2006) Tentang Pemerintah Daerah. Bandung: Nuansa Aulia.
794
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
795
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Prosiding Volume 1 Nomor 1 Tahun 2015 Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia 25 - 26 April 2015
Terima kasih Ikutilah Seminar Nasional Ke-2 Tanggal 23 - 24 April 2016 Prosiding Volume 2 Nomor 1 Tahun 2016
796
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
797
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur, Indonesia, 25 - 26 April 2015 ISSN 2443-1923
798
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 1 Tahun 2015
Lihat lebih banyak...